Optimasi Fuzzy Inference System Dengan Particle Swarm Optimization (Pso) Untuk Prediksi Awal Musim Hujan

OPTIMASI FUZZY INFERENCE SYSTEM DENGAN PARTICLE
SWARM OPTIMIZATION (PSO) UNTUK PREDIKSI
AWAL MUSIM HUJAN

NOVIANDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimasi Fuzzy Inference
System dengan Particle Swarm Optimization (PSO) untuk Prediksi Awal Musim
Hujan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Noviandi
NIM G651140201

RINGKASAN
NOVIANDI. Optimasi Fuzzy Inference System dengan Particle Swarm
Optimization (PSO) untuk Prediksi Awal Musim Hujan. Dibimbing oleh AGUS
BUONO dan IMAS SUKAESIH SITANGGANG.
Curah hujan yang terjadi pada suatu wilayah akan menjelaskan awal musim
hujan (AMH). AMH merupakan karakteristik dari musim hujan yang penting
untuk diketahui, namun karakteristik hujan sendiri sangat sulit untuk di prediksi.
Hujan merupakan unsur yang paling kompleks dari siklus hidrology sehingga
sangat sulit untuk di modelkan dan di prediksi. Prediksi AMH adalah informasi
yang memiliki beberapa peranan, karena informasi tersebut menjadi dasar dalam
penetapan rencana, pengambilan keputusan, dan kepentingan manajemen
sehingga resiko iklim dapat diperkecil. Dalam penelitian ini, optimasi Fuzzy
Inference System (FIS) dengan Particle Swarm Optimization (PSO) dilakukan
untuk prediksi AMH. Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model FIS,
mengoptimasi parameter FIS dengan algoritme PSO untuk prediksi AMH dengan

prediktor ASPL Nino 3.4 dan IOD.
Penelitian ini dilakukan di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, provinsi
Nusa Tenggara Timur. Data yang digunakan merupakan data curah hujan harian
tahun 1973 hingga 2013, data IOD dan data ASPL Nino 3.4 yang digunakan
sebagai data uji dan data latih untuk prediksi AMH. Tahapan penentuan AMH
dilakukan dengan menghitung nilai rataan curah hujan tahunan periode 1973-2013
menggunakan metode Liebmann. Model prediksi dilakukan dengan menggunakan
metode FIS mamdani, dengan fungsi keanggotaan menggunakan fungsi zmf,
gaussian dan smf.
Hasil perhitungan AMH dengan metode Liebmann menunjukkan bahwa
AMH terjadi diantara bulan September sampai dengan bulan Desember. Hasil
perhitungan korelasi memperlihatkan bahwa nilai korelasi ASPL Nino 3.4 bulan
Juli, Agustus, September dan IOD bulan September dijadikan sebagai prediktor
yang masing-masing memiliki nilai korelasi sebesar 0.296, 0.342, 0.381 dan
0.285. Hasil prediksi AMH menunjukkan bahwa model fold 5 merupakan model
fold terbaik berdasarkan nilai korelasi dan RMSE terbaik berdasarkan analisis
menggunakan 23 aturan sebesar 0.57 dan 2.96. Berdasarkan nilai parameter pada
fold 5 yang dioptimasi dengan algoritme PSO terhadap data prediktor dan respon.
Nilai model FIS-PSO sesudah optimasi terhadap fold 5 yang merupakan model
fold terbaik memiliki nilai korelasi terbaik dengan nilai korelasi sebesar 0.91 dan

nilai RMSE sebesar 8.46 yang merupakan nilai RMSE terkecil dibandingkan
dengan model fold yang lain.

Kata kunci: awal musim hujan, nilai korelasi, fuzzy inference system, particle
swarm optimization.

SUMMARY
NOVIANDI. Optimization of Fuzzy Inference System with Particle Swarm
Optimization (PSO) to Predict Wet Season Onset. Supervised by AGUS BUONO
and IMAS SUKAESIH SITANGGANG.
Rainfall which is occurred in an area explain the wet season onset (AMH).
AMH is a characteristic of the rainy season which is important to know, but the
characteristics of the rain itself is very difficult to predict. Rain is the most
complex elements of hydrology cycle so it is very difficult to be modeled and to
be predicted. AMH prediction is information that has some role, because this
information is basic in plan setting, decision making, and management interests
that climate risks can be minimized. In this study, optimization of Fuzzy Inference
System (FIS) using Particle Swarm Optimization (PSO) was done for the
prediction of AMH. The purpose of this study is to construct a model of FIS to
optimize. FIS parameters using PSO algorithm for prediction of AMH with

predictor of ASPL Nino 3.4 and IOD.
The study area in Waingapu, East Sumba, East Nusa Tenggara province.
The data used are the daily rainfall data of 1973-2013, IOD and ASPL Nino 3.4
are used as testing data and training data to predict AMH. Determing AMH was
done by calculating the value of the average annual rainfall in the period 19732013 using Liebmann. Prediction models were calculated using FIS Mamdani,
with membership functions using zmf function, gaussian function and smf
function.
The result of wet season onset calculation using Liebmann method show that
wet season onset was occured between September to Desember. The results of the
correlation calculations show that the correlation ASPL Nino 3.4 in July, August,
September and IOD in September serve as predictors each having a correlation
value of 0.296, 0.342, 0.381 and 0.285. AMH prediction results show that the
model on fold 5 has high correlation and lowest RMSE based on analysis using 23
rules of 0.57 and 2.96. Based on the parameter on 5 fold optimized with PSO
algorithm to the data predictor and response. FIS-PSO model value after the
optimization of the fold 5 which is the best fold models have the best correlation
of 0.91 and RMSE of 8.46 which is the smallest RMSE value compared to those
of another models.

Keywords: wet season onset, correlation value, fuzzy inference system, particle

swarm optimization.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

OPTIMASI FUZZY INFERENCE SYSTEM DENGAN
PARTICLE SWARM OPTIMIZATION UNTUK PREDIKSI
AWAL MUSIM HUJAN

NOVIANDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Wahjuni, MT

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini
disusun sebagai laporan penelitian yang telah dilakukan penulis sejak bulan
Agustus 2015 dengan judul Optimasi Fuzzy Inference System Dengan Particle
Swarm Optimization (PSO) Untuk Prediksi Awal Musim Hujan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Agus Buono, MSi
MKom dan Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom selaku pembimbing,
serta Dr. Ir Sri Wahjuni, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan

dan masukan untuk perbaikan tesis ini. Di samping itu saya juga mengucapkan
terima kasih kepada Orang tua tercinta saya Ibu Rasima, keluarga besar saya yang
telah memberikan dukungan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah
memberikan beasiswa dalam program beasiswa unggulan, Bapak Dedi Triyanto
yang telah memberikan kesempatan saya dalam mengerjakan projek Dikti.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

September 2016
Noviandi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi
vii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Anomali Suhu Permukaan Laut (ASPL) Nino 3.4
Indian Ocean Dipole (IOD)
Awal Musim Hujan
Fuzzy Inference System (FIS)
Fungsi Keanggotaan
Particle Swarm Optimization (PSO)
3 METODOLOGI
Area Studi
Tahapan Penelitian
Pengambilan Data
Praproses dan Penetuan Awal Musim Hujan
Analisis Korelasi

Data Latih dan Data Uji
Pelatihan dengan FIS
Pengujian Model FIS
Optimasi Parameter FIS dengan PSO
Evaluasi Model AMH
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Awal Musim Hujan Menurut Metode Liebmann
Pemilihan Prediktor
Model Fuzzy Inference System untuk Prediksi AMH
Optimasi Parameter FIS dengan Algoritme PSO
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
1
2

2
2
2
3
3
4
4
4
5
7
7
7
8
9
9
10
10
11
17
17

19
19
19
20
20
26
31
31
31
32
34
61

DAFTAR TABEL
1 Rentang nilai variabel fuzzy
2 Himpunan-himpunan fuzzy pada fold 1
3 Kombinasi aturan yang digunakan dalam FIS
4 Nilai prediksi AMH
5 Hasil koefisien korelasi dan RMSE model FIS
6 Nilai parameter model FIS sebelum dan sesudah optimasi algoritme PSO
7 Hasil AMH prediksi dengan menggunakan parameter optimal

12
21
25
26
26
27
30

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Wilayah Nino di Samudera Pasifik
Diagram blok fuzzy inference system
(a) Contoh kurva zmf (b) Contoh kurva smf
Fungsi keanggotaan gaussian
Tahapan penelitian
Grafik curah hujan Kota Waingapu tahun 1980 sebagai contoh
pendugaan AMH dengan menggunakan metode Liebmann
7 Tahapan 5-fold cross validation
8 Struktur FIS untuk menentukan AMH prediksi
9 Contoh proses menentukan implikasi
10 Proses fuzzy inference system
11 Hasil AMH Kota Waingapu (1973-2013)
12 Jumlah intensitas terjadinya AMH Kota Waingapu (1973-2013)
13 (a) Nilai korelasi ASPL Nino 3.4 dengan AMH aktual (b) Nilai korelasi
IOD dengan AMH aktual
14 Representasi fungsi keanggotaan variabel IOD September
15 Representasi fungsi keanggotaan variabel ASPL Nino 3.4 Juli
16 Representasi fungsi keanggotaan variabel ASPL Nino 3.4 Agustus
17 Representasi fungsi keanggotaan variabel ASPL Nino 3.4 September
18 Representasi fungsi keanggotaan variabel AMH
19 Representasi fungsi keanggotaan optimal variabel IOD September
20 Representasi fungsi keanggotaan optimal variabel ASPL Nino 3.4 Juli
21 Representasi fungsi keanggotaan optimal variabel ASPL Nino 3.4
Agustus
22 Representasi fungsi keanggotaan optimal variabel ASPL Nino 3.4
September
23 Representasi fungsi keanggotaan optimal variabel AMH
24 Nilai prediksi AMH sebelum dan sesudah di optimasi algoritme PSO
terhadap fold 5

3
4
6
7
8
9
10
11
14
16
19
20
20
21
22
23
23
24
27
28
28
29
30
31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Himpunan-himpunan fuzzy dan fungsi keanggotaan
2 64 Kombinasi aturan fuzzy variabel input dan variabel output
3 Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dan RMSE model FIS
4 Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dan RMSE model FIS-PSO
5 Data latih fold 1 (1981-2013)
6 Data latih fold 2 (1973-1980;1989-2013)
7 Data latih fold 3 (1973-1988;1997-2013)
8 Data latih fold 4 (1973-1996;2005-2013)
9 Data latih fold 5 (1973-2004)
10 Data Uji tiap-tiap fold

35
50
52
53
54
55
56
57
58
59

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Curah hujan yang terjadi pada suatu wilayah akan menjelaskan awal musim
hujan (AMH). Definisi AMH setiap wilayah akan selalu berbeda, hal itu
bergantung pada kondisi klimatologis. AMH merupakan karakteristik dari musim
hujan yang penting untuk diketahui, namun karakteristik hujan sendiri sangat sulit
untuk diprediksi. Hujan merupakan unsur yang paling kompleks dari siklus
hidrology sehingga sangat sulit untuk dimodelkan dan diprediksi (French et al.
1997 dalam Hung et al. 2009). Fenomena iklim memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam menentukan AMH. Beberapa fenomena iklim yang mempengaruhi
adalah sirkulasi meridional Utara-Selatan (Hadley) yang berubah menjadi
monsoon, sirkulasi zona Barat-Timur (Walker) yang mengindikasikan fenomena
El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan sistem angin lokal (Tresnawati et al.
2010). Salah satu faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia adalah adanya
aktivitas ENSO di wilayah Pasifik. Aktivitas ENSO di Pasifik diukur
menggunakan Suhu Permukaan Laut (SPL). Kondisi anomali suhu permukaan laut
Nino 3.4 (ASPL Nino 3.4) adalah indikator yang digunakan untuk melihat
fenomena ENSO di wilayah Pasifik sedang berlangsung atau tidak dengan cara
melihat rata-rata anomali yang terjadi (Hendon 2003).
Selain fenomena ENSO, fenomena IOD juga mempengaruhi AMH. IOD
merupakan penyimpangan iklim di daerah Samudera Hindia, dimana terjadinya
penurunan SPL dari keadaan normal di Samudera Hindia tropis bagian Timur
(pantai Barat Sumatera) dan kenaikan temperatur dari normalnya di Samudera
Hindia tropis bagian Barat atau bagian Timur Afrika (Saji et al. 1999) dan
(Webster et al. 1999).
Prediksi AMH adalah informasi yang memiliki beberapa peranan, karena
informasi tersebut menjadi dasar dalam penetapan rencana, pengambilan
keputusan, dan kepentingan manajemen sehingga resiko iklim dapat diperkecil.
Prediksi AMH sudah banyak dilakukan dengan berbagai metode. Estiningtyas
(2007) melakukan pengembangan model prediksi hujan dengan metode Filter
Kalman, SPL Nino 3.4 dijadikan sebagai prediktor dan diperoleh nilai parameter
validasi yang tinggi dengan koefisien korelasi lebih dari 90%. Swarinoto dan
Makmur pada tahun 2010 melakukan simulasi prediksi probabilitas AMH dan
panjang musim hujan terkait kondisi ASPL, ASPL Nino 3.4 dan IOD sebagai
prediktor yang sudah dilakukan di Zona Musim (ZOM) 126 Denpasar, hasil
menunjukkan bahwa SSTA berpengaruh dalam menentukan nilai probabilitas
maju mundur AMH dan panjang pendek PMH di ZOM 126 Denpasar khusus nya
pada saat Nino 3.4 dan IODM SSTA lemah. Elshafie et al. (2011)
membandingkan Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) dan Artificial
Neural Network (ANN) untuk memprediksi curah hujan dengan melihat lima
kriteria pengukur dan ANFIS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan
ANN dengan hasil Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 0.052 sedangkan
ANN sebesar 0.074.
Dalam penelitian ini, optimasi Fuzzy Inference System (FIS) dengan Particle
Swarm Optimization (PSO) dilakukan untuk prediksi AMH. FIS adalah kerangka

2
komputasi berdasarkan pada konsep teori fuzzy (Jang et al. 1997). Fuzzy inference
dapat memetakan input menjadi output berdasarkan if-then rule yang diberikan.
FIS terdiri atas metode Sugeno, Mamdani dan Tsukamoto. Perbedaan dari metode
ini adalah cara menentukan output. Metode Mamdani merupakan metode yang
pertama kali dibangun dan berhasil diterapkan dalam rancang bangun sistem
kontrol menggunakan teori himpunan fuzzy (Naba 2009). Dalam penelitian ini,
melakukan optimasi terhadap parameter fuzzy dengan menggunakan algoritme
PSO. PSO merupakan salah satu teknik optimasi yang sering digunakan. Konsep
algoritme PSO adalah menerbangkan solusi yang potensial sehingga mempercepat
ke solusi yang terbaik (Eberhart & Kennedy 1995). Algoritme PSO diinisialisasi
dengan sekumpulan particle dan kemudian mencari solusi terbaik. Setiap particle
memiliki vektor posisi dan kecepatan yang diinisialisasi secara random di awal
untuk mencapai nilai swarm terbaik (global best) dan nilai particle terbaik (local
best) (Engelbrecht 2007).
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana hubungan ASPL Nino 3.4 dan IOD dalam menentukan hasil
prediksi AMH?
2. Bagaimana membuat pemodelan dan prediksi AMH menggunakan FIS
berdasarkan ASPL Nino 3.4 dan IOD?
3. Bagaimana hasil prediksi AMH setelah dioptimasi menggunakan PSO?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah membangun model FIS, mengoptimasi
parameter FIS dengan algoritme PSO untuk prediksi AMH dengan prediktor
ASPL Nino 3.4 dan IOD.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah menghasilkan suatu model FIS dan FIS-PSO
untuk memprediksi AMH. Hasil prediksi AMH dapat membantu petani dalam
menyusun strategi pola tanam yang cocok agar tidak terjadi kegagalan panen.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:
1. Fokus untuk memprediksi AMH di wilayah Kota Waingapu Provinsi Nusa
Tenggara Timur dengan menggunakan model FIS.
2. Mengoptimasi fungsi keanggotaan pada FIS dengan PSO.
3. Data curah hujan yang digunakan adalah data yang diambil dari titik observasi
pada stasiun hujan di Kota Waingapu Provinsi Nusa Tenggara Timur periode
tahun 1973-2013.

3
4. Data ASPL Nino 3.4 dari situs National Oceanic Atmospheric Administration
(NOAA) dan IOD dari situs Japan Marine Earth Science and Technology
Center (JAMSTEC) tahun 1973-2013.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Anomali Suhu Permukaan Laut (ASPL) Nino 3.4
Anomali Suhu Permukaan Laut (ASPL) merupakan perbedaan tekanan
udara antara Darwin (Australia) dan Tahiti (Afrika Barat) yang dijadikan sebagai
indikator untuk melihat terjadinya anomali (penyimpangan) iklim atau cuaca (El
Nino dan La Nina). Anomali Iklim atau cuaca didefinisikan sebagai kejadian
perubahan iklim yang ekstrim secara konsisten melebihi frekuensi normalnya
dalam waktu yang panjang. El Nino yang merupakan salah satu bentuk
penyimpangan iklim di Samudera Pasifik ditandai dengan kenaikan SPL di daerah
katulistiwa bagian tengah dan timur. Dalam kondisi normal, daerah konveksi atau
daerah yang memiliki panas yang disebabkan oleh gerak vertikal keatas bergeser
ke tengah-tengah Samudera Pasifik. Kondisi ini mengakibatkan musim penghujan
yang biasanya terjadi di akhir tahun akan menjadi musim kemarau karena
pengaruh El Nino (Zein 2014).
Menurut International Research Institute for Climate and Society (IRI)
tahun 2015 terdapat empat wilayah Nino, yaitu Nino 1+2, Nino 3, Nino 3.4 dan
Nino 4. Daerah yang pertama kali mengalami peningkatan suhu ketika terjadi
peristiwa El Nino adalah Nino 1+2 yang terletak antara ekuator 0°- 10°LS dan
80°- 90°BB. Nino 3 terletak pada wilayah tengah Samudra Pasifik yaitu antara
5°LU - 5°LS dan 90°- 150°BB yang merupakan zona yang paling berkaitan erat
dengan kondisi El Nino. Wilayah Nino 3.4 terletak antara ekuator 5°LS - 5°LU
dan 170°- 120°BB dan memiliki variabilitas besar pada skala waktu El Nino. Nino
4 terletak pada bagian barat Samudra Pasifik antara 5°LU - 5°LS dan 150°BB 160°BT. Peta wilayah Nino dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Wilayah Nino di Samudera Pasifik
(Sumber: www.ncdc.noaa.gov)
Wilayah Nino 3.4 memiliki efek yang sangat kuat pada pergeseran curah
hujan di Pasifik Barat karena daerah ini masih dipengaruhi oleh angin pasat pada

4
saat kecepatannya melemah, sehingga sering digunakan untuk variabilitas iklim
global yang berdampak luas (Adhani et al. 2014).

Indian Ocean Dipole (IOD)
Fenomena Indian Ocean Dipole Mode (IODM) pertama kali dikemukakan
oleh (Saji et al. 1999) dan (Webster et al. 1999). IOD memiliki pengaruh besar
terhadap iklim dari daerah di seluruh dunia (Ashok et al. 2003). Dipole Mode
merupakan fenomena interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia yang dihitung
berdasarkan selisih nilai antara anomali suhu muka laut perairan timur Afrika
dengan perairan di sebelah barat Sumatera. Perbedaan nilai anomali suhu muka
laut disebut sebagai Dipole Mode Indeks (DMI) (BMKG 2015), dengan kondisi
DMI positif memberikan dampak kekeringan untuk wilayah Indonesia, dimana
kurangnya curah hujan di Indonesia bagian barat, sedangkan kondisi DMI negatif
berdampak meningkatnya curah hujan di Indonesia bagian barat. Periode IOD
positif ditandai dengan lebih dinginnya suhu di Samudera Hindia bagian timur
dibandingkan dengan suhu di Samudera Hindia bagian barat. Dampak IOD tidak
hanya di Lautan Hindia melainkan mempengaruhi osilasi selatan.
Awal Musim Hujan
Menurut BMKG (2015) AMH ditetapkan berdasar jumlah curah hujan
dalam satu dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 milimeter dan diikuti oleh
beberapa dasarian berikutnya. Selain BMKG, penentuan AMH juga dilakukan
oleh Liebmann et al. (2007) dengan cara menghitung nilai rataan curah hujan
pertahun. AMH menurut Liebmann adalah akumulasi anomali curah hujan harian
mencapai nilai minimum.
Fuzzy Inference System (FIS)
Fuzzy inference system (FIS) menurut Jang et al. (1997) merupakan suatu
kerangka komputasi yang didasarkan pada himpunan fuzzy, aturan fuzzy yang
berbentuk if-then dan penalaran fuzzy.
Rule 1
Variabel
Input

Fuz
zy
Aggregasi

Rule n

Fuzzy

Defuzzifikasi

Crisp

Output

Fu
zz
y

Variabel
Input

Crisp or
Fuzzy

Variabel
Input

Gambar 2 Diagram blok fuzzy inference system
(Sumber: Jang et al. 1997)
Gambar 2 menjelaskan bahwa dalam FIS terdapat beberapa tahapan untuk
menghasilkan output berupa nilai crisp. FIS dibangun dari beberapa metode yaitu,
metode Mamdani, metode Sugeno dan metode Tsukamoto. Setiap metode

5
memiliki perbedaan dalam mendefinisikan nilai output. Metode mamdani
merupakan metode pertama FIS yang dibangun oleh Ebrahim Mamdani pada
tahun 1975. Output tipe Mamdani berupa himpunan fuzzy yang diperoleh dengan
cara mengitung luas bawah kurva himpunan fuzzy pada bagian THEN (output).
Beberapa tahapan yang dilakukan tipe Mamdani adalah:
1. Pada tahap fuzzifikasi, setiap variabel input dan output ditentukan nilai derajat
keanggotaan.
2. Implikasi bertujuan untuk mendapatkan keluaran aturan If-Then berdasarkan
derajat kebenaran antecedent.
3. Agregasi adalah proses mengkombinasikan keluaran semua aturan If-Then.
Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan mengambil nilai
maksimum aturan, kemudian digunakan untuk memodifikasi daerah fuzzy dan
mengaplikasikannya ke output dengan menggunakan operator OR. Jika semua
proposisi telah dievaluasi, maka output akan berisi suatu himpunan fuzzy yang
merefleksikan konstribusi dari tiap-tiap proposisi.
4. Defuzzifikasi.
Input defuzzifikasi merupakan himpunan fuzzy hasil agregasi dan output
berupa bilangan tunggal untuk diisikan ke variabel output FIS. Terdapat
beberapa metode pada komposisi aturan Mamdani diantaranya adalah metode
centroid. Untuk menghitung luas bawah kurva pada tahap defuzzifikasi
dilakukan dengan menggunakan persamaan 1 (Wang 1997).




(1)

dimana z* merupakan center average defuzzifier, pusat himpunan fuzzy ke t
dengan
sebagai tingginya yang disebut juga dengan derajat keanggotaan.
Fungsi Keanggotaan
Fungsi keanggotaan sangat penting untuk mempresentasikan masalah.
Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik input
data ke dalam nilai keanggotaan. Derajat fungsi keanggotaan memiliki interval
antara 0 sampai 1 (Kusumadewi dan Purnomo 2010). Pendekatan fungsi adalah
salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan. Ada
beberapa fungsi keanggotaan yang digunakan yaitu:
1. Kurva zmf dan smf
Kurva zmf dikenal juga dengan kurva sigmoid yang berhubungan dengan
penurunan permukaan secara linier, sedangkan kurva smf berhubungan
dengan kenaikan permukaan secara linier. Gambar 3 menunjukkan bentuk
fungsi keanggotaan zmf dan smf yang diperoleh dari matlab, dimana kurva
masing-masing kurva memiliki dua parameter yaitu, y = smf (x, [a b]) dan y =
zmf (x, [a b]).

6

a

a

(a)

b

b

(b)

Gambar 3 (a) Contoh kurva zmf (b) Contoh kurva smf
(Sumber: Matlab R2012b)
Fungsi keanggotaan untuk kurva zmf terdapat pada persamaan
(Kusumadewi dan Purnomo 2010).

2

(2)
{

Fungsi keanggotaan untuk kurva smf terdapat pada persamaan 3 (Kusumadewi
dan Purnomo 2010).

(3)
{

2. Kurva Gaussian ditentukan dengan dua parameter {c, σ} dengan mengikuti
persamaan 4 (Kusumadewi dan Purnomo 2010).
Gaussian( x; c,  )  e

 x  c  2
2 2

(4)

7
dimana c mempresentasikan titik tengah, σ mempresentasikan lebar fungsi
keanggotaan dan x merupakan domain kurva. Fungsi keanggotaan Gaussian
dapat dilihat pada Gambar 4 (Kusumadewi dan Purnomo 2010).
1

Derajat
Keanggotaan
0

c

σ
Domain
Gambar 4 Fungsi keanggotaan gaussian
(Sumber: Kusumadewi dan Purnomo 2010)
Particle Swarm Optimization (PSO)
Optimasi dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik atau optimal.
Terdapat beberapa metode optimasi diantaranya adalah Particle Swarm
Optimization (PSO). PSO pertama kali diusulkan oleh Eberhart R dan Kennedy J
pada tahun 1995. Konsep PSO bekerja dengan cara menginisialisasi secara acak
dan mencari solusi optimal dengan memperbarui generasi. Konsep fungsi optimasi
dari PSO dilihat dari Particle Swarm dengan cara mempertimbangkan fungsi
optimum global. Teknik pencarian algoritme PSO bersifat paralel yang multi agen
dengan mempertahankan segerombolan partikel dan setiap partikel merupakan
solusi yang potensial dimana solusi terbaik dapat dipresentasikan sebagai titik atau
surface di area n-dimensional.
Penerapan algoritme PSO saat optimasi memiliki dua tahap yaitu,
representasi solusi dan fungsi fitness. Learning Rates yang disimbolkan dengan c1
dan c2 merupakan konstanta untuk menilai kemampuan partikel, c1 faktor learning
untuk partikel dan c2 faktor learning untuk swarm. Kemampuan sosial swarm c2
yang menunjukkan bobot dari partikel terhadap memorinya, bersamaan dengan
r1dan r2 sebagai nilai random vector. Nilai c1 dan c2 antara 0-2. Pada algoritme
PSO keseimbangan eksplorasi global dan local secara utama dikontrol oleh
Inertia Weight (ϴ) dan merupakan parameter penurunan kecepatan untuk
menghindari stagnasi particle di lokal optimum (Eberhart dan Shi 2001).

3 METODOLOGI
Area Studi
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data curah hujan Kota
Waingapu. Kota Waingapu merupakan ibukota Kabupaten Sumba Timur, Nusa

8
Tenggara Timur. Kabupaten ini membujur pada posisi 119o45 – 120o52 BT dan
9o16 – 10o20’ LS dengan luas wilayah 44.3 Km2 atau 4.430 Hektar. Kota
Waingapu sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumba, sebelah Selatan dan
Timur berbatasan dengan Kecamatan Pandawai, sedangkan Barat berbatasan
dengan kecamatan Pandawai dan Kecamatan Haharu. (Diskominfo Kabupaten
Sumba Timur 2015).
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan seperti pada Gambar 5.
Mulai

Pengambilan Data

ASPL Nino 3.4
dan IOD

Curah Hujan
Harian

Praproses dan Penentuan Awal
Musim Hujan (AMH) Merujuk
Liebman et al. 2007

Analisis Korelasi

AMH Aktual

Parameter Prediksi dan Respon

ASPL Nino 3.4
dan IOD

AMH Aktual

Pembagian Data

Data Latih

Data Uji

Latih pemodelan dengan FIS
Mamdani .
1. Pembentukan himpunan fuzzy
2. Aplikasi fungsi implikasi
3. Komposisi aturan
4. Defuzzifik asi

Hasil analisis model prediksi

Memvalidasi menggunakan
data uji

Model FIS tervalidasi

Model FIS-PSO tervalidasi

Analisis dan Evaluasi model
FIS-PSO dengan AMH
aktual

Analisis dan Evaluasi model
FIS dengan AMH aktual
Model AMH prediksi
optimal
Model FIS AMH prediksi
terbaik

Selesai
Optimasi parameter model
FIS AMH prediksi terbaik
dengan algoritme PSO

Tidak
Parameter Optimal
Ya
Parameter optimal

Gambar 5 Tahapan penelitian

9
Pengambilan Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Data curah hujan harian
Data curah hujan harian dari stasiun BMKG Kabupaten Waingapu tahun
1973-2013. Data curah hujan harian kemudian digunakan untuk penentuan
data AMH data latih dan data uji.
2. Data IOD
Data IOD diperoleh dari Japan Marine Earth Science and Technology Center
(JAMSTEC) dari tahun 1973-2013. Data IOD diperoleh dari
http://www.jamstec.go.jp/.
3. Data ASPL Nino 3.4
Data ASPL Nino 3.4 diperoleh dari National Oceanic Atmospheric
Administration (NOAA) dan diperoleh dari http://www.cpc.ncep.noaa.gov/.
Praproses dan Penetuan Awal Musim Hujan
Tahapan praproses terhadap data curah hujan harian dilakukan dengan
persiapan data dan analisis. Praproses dilakukan untuk pembersihan data yang
hilang, data tidak valid dan data yang tidak terukur dengan cara menentukan nilai
rata-rata curah hujan pada hari yang sama dengan tujuan untuk memudahkan
dalam penentuan AMH. Proses selanjutnya yaitu penentuan AMH dengan metode
Liebmann. Metode Liebmann adalah metode kumulatif anomali curah hujan
harian untuk penentuan awal musim. Awal mula perhitungan awal musim
(Liebmann et al. 2007) dengan menghitung nilai rataan curah hujan per tahun
periode 1973-2013 dengan rumus sebagai berikut:


[

̅]

(5)

dimana:
A(day) = Akumulasi anomali curah hujan
R
= Curah hujan harian (mm/hari)
n
= Hari ke n
= Curah hujan rataan pertahun
R
Langkah selanjutnya, menghitung nilai akumulasi anomali curah hujan.
Akumulasi curah hujan diperoleh dengan cara yang didapat dari menjumlahkan
nilai awal anomali curah hujan dengan nilai sesudahnya yang kemudian
ditentukan nilai minimum.
Akumulasi
Anomali
(mm/Dasarian)

400
200
0
-200
-400

Awal musim hujan

Tanggal Dasarian
Gambar 6 Grafik curah hujan Kota Waingapu tahun 1980 sebagai contoh
pendugaan AMH dengan menggunakan metode Liebmann

10
Gambar 6 menunjukkan contoh penggunaan metode Liebmann berdasarkan
persamaan 6 untuk menduga awal musim hujan. Nilai minimum dari akumulasi
curah hujan dikatakan sebagai AMH.
Analisis Korelasi
Analisis korelasi antara AMH dengan IOD dan ASPL Nino 3.4 digunakan
untuk menentukan prediktor. Analisis korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien
yang menunjukkan hubungan antara dua variabel. Dua variabel yang digunakan
adalah AMH dengan IOD dan AMH dengan ASPL Nino 3.4. Nilai koefisien
korelasi dihitung dengan menggunakan persamaan (6) (Walpole 1992):

dimana:
r
n
Σxi
Σyi



=
=
=
=





(∑

(∑
)



)(∑

)

(∑

(6)
)

Besarnya korelasi antara AMH dengan IOD dan ASPL Nino 3.4
Banyaknya pasangan data IOD, ASPL Nino 3.4 dan AMH
Total jumlah dari variabel IOD atau ASPL Nino 3.4
Total jumlah dari variabel AMH

Koefisien korelasi (r) menunjukkan kekuatan hubungan antara dua peubah dengan
rentang nilai korelasi -1 ≤ r ≤ 1 (Walpole 1992).
Data Latih dan Data Uji
Memisahkan data latih dan data uji dalam penelitian dilakukan dengan
metode k-fold cross validation. K-fold cross validation dilakukan perulangan
sebanyak k untuk membagi data secara acak menjadi k-subset yang saling bebas.
Proses pembagian data latih dan data uji dengan k-fold cross validation dapat
dilihat pada Gambar 7.
Data
Uji
Data
Latih
Data
Latih
Data
Latih
Data
Latih

Data
Latih
Data
Uji
Data
Latih
Data
Latih
Data
Latih

Data
Latih
Data
Latih
Data
Uji
Data
Latih
Data
Latih

Data
Latih
Data
Latih
Data
Latih
Data
Uji
Data
Latih

Data
Latih
Data
Latih
Data
Latih
Data
Latih
Data
Uji

Gambar 7 Tahapan 5-fold cross validation
Data yang digunakan adalah data bulan-bulan berkorelasi antara AMH
dengan ASPL Nino 3.4, dan AMH dengan IOD, untuk proses k-fold cross
validation. Jumlah k sebanyak 5 fold untuk menghasilkan 5 model prediksi. Pada
iterasi pertama, kelompok satu dari data prediktor sebagai data uji, kelompok dua

11
data prediktor sampai kelompok lima sebagai data latih, dan data AMH kelompok
dua sampai kelompok lima sebagai target. Iterasi kedua, data prediktor kelompok
dua sebagai data uji, sedangkan yang lainnya sebagai data latih. Proses yang sama
dilakukan sampai iterasi kelima.
Pelatihan dengan FIS
Proses pelatihan terhadap data latih dilakukan untuk mendapatkan model
prediksi. Model prediksi dilakukan dengan menggunakan metode FIS Mamdani,
karena metode FIS Mamdani bersifat intuitif dan sangat cocok diberikan human
input (Naba 2009). Proses FIS Mamdani pada penelitian ini terdiri atas empat
langkah, seperti yang ditunjukan Gambar 8.
Negatif
IOD
September

Normal
Positif
Lemah

ASPL Nino
3.4 Juli

Sedang
Kuat
Lemah

ASPL Nino
3.4 Agustus

Sedang
Kuat
Lemah

ASPL Nino
3.4 September

Sedang

Rule 1
Jika IOD September Negatif Dan ASPL Nino 3.4 Juli
Lemah Dan ASPL Nino 3.4 Agustus Lemah Dan ASPL
Nino 3.4 Lemah Maka AMH Mundur
Rule 2
Jika IOD September Negatif Dan ASPL Nino 3.4 Juli
Lemah Dan ASPL Nino 3.4 Agustus Lemah Dan ASPL
Nino 3.4 Sedang Maka AMH Mundur
Rule 3
Jika IOD September Negatif Dan ASPL Nino 3.4 Juli
Lemah Dan ASPL Nino 3.4 Agustus Sedang Dan ASPL
Nino 3.4 Kuat Maka AMH Maju

Maju
Mundur

Rule 4
Jika IOD September Negatif Dan ASPL Nino 3.4 Juli
Lemah Dan ASPL Nino 3.4 Agustus Sedang Dan ASPL
Nino 3.4 Lemah Maka AMH Mundur

AMH Prediksi

Rule 5
Jika IOD September Negatif Dan ASPL Nino 3.4 Juli
Sedang Dan ASPL Nino 3.4 Agustus Kuat Dan ASPL
Nino 3.4 Sedang Maka AMH Maju

Kuat
Rule Lainnya

Fuzzifikasi

Implikasi

Agregasi

Defuzzifikasi

Gambar 8 Struktur FIS untuk menentukan AMH prediksi
(Sumber : Hartati dan Sitanggang (2010))
Fuzzifikasi
Pada tahap fuzzifikasi, dilakukan penentuan himpunan fuzzy dari nilai crisp
variabel input dan variabel output. Variabel input dan variabel output dibagi
menjadi beberapa himpunan fuzzy. Menentukan himpunan fuzzy variabel input dan
output adalah dengan mengkategorikan nilai IOD September, ASPL Nino 3.4 Juli,
Agustus dan September berdasarkan rentang nilai pada Tabel 1. Setiap kategori
ditentukan nilai derajat keanggotaan berdasarkan fungsi keanggotaan yang
digunakan. Dalam penelitian ini, fungsi keanggotaan yang digunakan adalah,
fungsi zmf, gaussian, smf. Fungsi zmf, gaussian, dan fungsi smf terdiri atas dua
parameter, yaitu:
1. Fungsi zmf dan smf, terdiri atas parameter a dan b. Parameter a menjelaskan
tentang arah kurva dan parameter b menjelaskan tentang kemiringan kurva.
Parameter a diperoleh dengan cara merata-ratakan setiap nilai himpunan fuzzy.
Nilai parameter b diperoleh dengan menggunakan persamaan (7)
(wolframmathworld 2016).
(7)

12
dimana:
b = skewness/kemiringan kurva
σ = Simpangan baku
2. Fungsi gaussian, terdiri atas parameter c dan σ. Parameter c untuk
menunjukkan nilai pusat kurva dan parameter σ untuk menunjukkan lebar
kurva. Nilai c diperoleh dengan cara mencari nilai rata-rata domain kurva
keanggotaan yang digunakan, yaitu:
Tabel 1 Rentang nilai variabel fuzzy
Fungsi

Nama Variabel

IOD
Input
ASPL Nino 3.4

Himpunan Fuzzy
Positif
Normal
Negatif
Kuat
Sedang
Lemah

Rentang Nilai
Setiap Variabel
[> 0.4]
[-0.4 0.4]
[< -0.4]
[> 0.5]
[-0.5 0.5]
[< -0.5]

(Sumber: BMKG 2015)
Setiap nilai parameter digunakan untuk menentukan derajat keanggotan pada
masing-masing fold. Misalkan nilai parameter variabel input IOD September
dengan himpunan fuzzy negatif (a = -1.13 dan b= 0.08), normal (c = -0.06 dan σ =
0.22), positif (a = 0.47 dan b= 0.01). Variabel ASPL Nino 3.4 Juli dengan
himpunan fuzzy lemah (a = -0.57 dan b= 0.67), sedang (c = -0.104 dan σ = 0.32),
kuat (a = 0.99 dan b= -0.79). Variabel ASPL Nino 3.4 Agustus dengan himpunan
fuzzy lemah (a = -1.27 dan b= 0.04), sedang (c = -0.09 dan σ = 0.32), kuat (a =
0.18 dan b= -1.15). Variabel ASPL Nino 3.4 September dengan himpunan fuzzy
lemah (a = -1.39 dan b= 0.23), sedang (c = 0.04 dan σ = 0.34), kuat (a = 0.24 dan
b= -0.63). Variabel output AMH dengan himpunan fuzzy maju (c = 1.01 dan σ =
0.02) dan mundur (c = 0.79 dan σ = 0.06).
Berdasarkan nilai parameter tersebut maka diperoleh batasan fungsi
keanggotaan untuk menentukan nilai derajat keanggotaan, seperti persamaan
berikut.

(8)
{

(9)

13

(10)
{

(11)
{

(12)

(13)
{

(14)
{

(15)

(16)
{

14

(17)
{

(18)

(19)
{

(20)
(21)

Aplikasi Fungsi Implikasi
Langkah selanjutnya adalah mengaplikasikan fungsi implikasi (w) dengan
menggunakan metode Min. Implikasi adalah proses untuk mendapatkan output
dari aturan If-Then. Fungsi implikasi menyatakan suatu derajat keanggotaan yaitu
nilai minimum dari keempat variabel input berdasarkan aturan yang sudah
dibentuk. Gambar 9 menunjukkan contoh proses implikasi dengan menggunakan
metode MIN.
Negatif

Lemah
0.98

0.54

0.34
IOD
September
(-0.45)
Input 1

Lemah

ASPL Nino
3.4 Juli
(-1.39)
Input 2

ASPL Nino
3.4 Agustus
(0.34)
Input 3

Lemah

Maju

0.16
ASPL Nino
3.4 Sept
(0.62)
Input 4

Hasil
Implikasi

Gambar 9 Contoh proses menentukan implikasi
Dengan menggunakan fungsi keanggotaan persamaan 8, 11, 15, dan 19
diperoleh nilai keanggotaan setiap nilai input pada himpunan fuzzy sebagai berkut:
µ IOD September Negatif (-0.42) =
=

15

=
=
=

µ ASPL Nino 3.4 Juli Lemah (-0.46)

=
=
=
=
=

µ ASPL Nino 3.4 Agustus lemah (-0.64) =
=
=
=
=

µ ASPL Nino 3.4 September Lemah (-0.23) =
=
=
=
=
Derajat keanggotaan (w) pada himpunan fuzzy masing-masing dalam bagian
implikasi adalah:
w = min (µ IOD September Negatif (-0.42), µ ASPL Nino 3.4 Juli Lemah (-0.46), µ ASPL Nino 3.4
Agustus lemah (-0.64), µ ASPL Nino 3.4 Agustus lemah (-0.23))
= min (0.34, 0.98, 0.54, 0.16)
= 0.16
Proses implikasi dilakukan untuk semua aturan. Maka nilai minimum disetiap
aturan digunakan untuk proses agregasi.
Agregasi atau Komposisi Aturan
Setelah output setiap aturan If-Then ditentukan pada tahap implikasi, maka
tahap selanjutnya melakukan agregasi. Agregasi yaitu proses mengkombinasikan
output semua aturan If-Then menjadi himpunan fuzzy tunggal, sehingga dapat

16
mendefinisikan setiap himpunan fuzzy yang dimasukkan. Untuk menghasilkan
himpunan fuzzy set tunggal, tahapan ini menggunakan metode Maximum. Metode
Maximum digunakan untuk memodifikasi daerah fuzzy dan mengaplikasikan ke
output dengan menggunakan operator OR. Proses fuzzy inference system disajikan
pada Gambar 10.

Gambar 10 Proses fuzzy inference system
Defuzzifikasi
Input dari proses defuzzifikasi adalah himpunan fuzzy yang diperoleh dari
komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan adalah bilangan
tunggal untuk diisikan ke suatu variabel keluaran FIS. Bentuk umum proses
defuzzifikasi dinyatakan dengan (z*). Metode yang digunakan pada tahap
defuzzifikasi adalah metode centroid untuk mendapatkan nilai crisp dengan cara
mengambil titik pusat daerah fuzzy (Wang 1997). Berdasarkan persamaan 1, maka
perhitungan nilai defuzzifikasi adalah sebagai berikut:

Berikut perhitungan untuk mendapatkan nilai
= 0.95 (batas bawah kurva) + 0.02 (nilai lebar kurva)
= 0.97 (titik tengah kurva)

17

=
=
=
=
=
=
=
=

= 0.23
(

) =
=
=
=
=
=
=
=

-1.47


0.1
0.89

Dengan menggunakan cara perhitungan yang sama dengan , maka nilai dan
masing-masingnya adalah 0.92 dan 0.90. Langkah selanjutnya melakukan tahap
defuzzifikasi untuk mendapatkan nilai tengah dengan menggunakan metode
centroid, yaitu:

Nilai pusat yang dihasilkan, dikali dengan nilai rataan AMH = 328. Hasil
perkalian dijadikan sebagai nilai AMH prediksi. Pada penelitian ini, tahap
pembuatan model FIS AMH prediksi dilakukan dengan menggunakan Matlab
R2012b.
Pengujian Model FIS
Setelah melakukan pelatihan terhadap data latih untuk menghasilkan model
prediksi langkah selanjutnya melakukan pengujian dengan menggunakan data uji.
Pengujian model dilakukan untuk melihat nilai akurasi AMH aktual dengan
prediksi AMH model FIS dan AMH aktual dengan prediksi AMH model FISPSO.
Optimasi Parameter FIS dengan PSO
Algoritme PSO digunakan untuk mengoptimalkan fungsi keanggotaan dari
setiap variabel input dan variabel output. Dalam algoritme PSO, populasi dari
solusi akan di inisialisasi secara random. Setiap solusi potensial menghasilkan
kecepatan acak dan disebut dengan partikel. Kecepatan pergerakan dipengaruhi
oleh kecepatan yang di update dalam setiap iterasinya. Perubahan kecepatan
setiap partikel dipengaruhi oleh nilai kecepatan sebelumnya yaitu pbest dan gbest.

18
Nilai random yang berbeda dibangkitkan sebagai akselerasi pbest dan gbest. Pbest
adalah partikel yang memberikan potensi solusi lebih baik dari partikel
sebelumnya, sedangkan gbest adalah solusi terbaik yang pernah diperoleh partikel
dalam suatu populasi. Pada penelitian ini proses algoritme PSO yang digunakan
adalah proses algoritme PSO yang sudah dilakukan oleh Eberhart & Shi (2001).
Proses algoritme PSO tersebut terdiri atas beberapa proses yaitu:
1. Inisialisai sebuah populasi atau partikel dengan posisi acak dan kecepatan
dalam dimensi d terhadap ruang masalah.
2. Evaluasi nilai fungsi tujuan untuk setiap partikel dengan menggunakan
fungsi fitness atau fungsi yang akan dioptimalkan.
3. Bandingakan partikel yang dievaluasi dengan partikel pbest. Jika nilainya
lebih baik dari pbest, maka set nilai pbest sama dengan nilai tersebut dan
lokasi pbest sama dengan lokasi partikel yang dievaluasi menggunakan
fungsi fitness tersebut.
4. Bandingkan evaluasi fitness dengan partikel keseluruhan sebelumnya yang
lebih baik. Jika nilai gbest lebih baik, kemudian mereset gbest untuk
partikel saat ini.
5. Hitung perubahan kecepatan dan posisi partikel menggunakan persamaan
berikut (Engelbrecht 2007):
(
)
(22)
dimana:
= kecepatan partikel i dalam dimensi d
= posisi partikel i dalam dimensi d saat ini
= koefisien akselerasi pengaruh personal
= koefisien akselerasi pengaruh sosial
= pbest (personal best)
= gbest (global best)
= variabel random
6. Loop langkah 2 sampai kriteria terpenuhi, biasanya mencapai nilai
optimum atau sampai pada jumlah iterasi tertentu.
Proses optimasi dengan algoritme PSO membutuhkan beberapa parameter,
yaitu:
1. Jumlah partikel
Jumlah partikel yang digunakan adalah 28, 24 partikel dari variabel input
dan 4 partikel dari variabel output. Partikel yang digunakan merupakan
parameter fungsi keanggotaan setiap variabel.
2. Dimensi dari partikel ditentukan dari masalah yang akan dioptimasi.
3. C1 (learning factor untuk partikel), C2 (learning factor untuk swarm).
Nilai yang digunakan sama yaitu 2.
4. Perubahan maksimum partikel selama iterasi berlangsung, dengan batasan
yang digunakan adalah -1 sampai 1.
5. Kondisi berhenti apabila mencapai iterasi maksimum. Iterasi yang
digunakan yaitu 100 kali.
6. Inertia weight (w)
Inertia weight digunakan untuk menjaga keseimbangan antara kemampuan
eksplorasi global dan local.

19
Evaluasi Model AMH
Data observasi dan model prediksi dapat di evaluasi untuk menghasilkan
model prediksi yang lebih baik. Model prediksi yang baik adalah jika nilai
koefisien korelasi mendekati -1 dan 1 dan nilai RMSE mendekati nol. Nilai
koefisien korelasi dihitung dengan menggunakan persamaan (6), sedangkan
RMSE menggunakan persamaan (23) (Walpole 1992)




(23)

dimana:
Xt = Nilai AMH hasil obeservasi yang disebut juga dengan AMH aktual
Ft = Nilai prediksi AMH
Nilai kesalahan (error) digunakan untuk mengetahui besarnya nilai
simpangan nilai dugaan terhadap nilai aktual.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Awal Musim Hujan Menurut Metode Liebmann
Perhitungan AMH dilakukan terhadap curah hujan harian di wilayah kota
Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur tahun 1973-2013.
Hasil penentuan AMH dengan menggunakan metode Liebmann untuk tiap tahun
titik pengamatan ditunjukkan pada Gambar 11.

Hari ke-

400
300
200
100
0
73 75 77 79 81 83 85 87 89 91 93 95 97 99 01 03 05 07 09 11 13

Tahun

Gambar 11 Hasil AMH Kota Waingapu (1973-2013)
Gambar 11 menunjukkan kejadian awal musim hujan harian periode 1973
sampai 2013 dengan menggunakan metode Liebman. Berdasarkan hasil
perhitungan AMH diatas, dapat ditampilkan bahwa AMH terjadi diantara bulan
September sampai dengan bulan Desember. Jumlah intensitas terjadinya AMH
dapat dilihat pada Gambar 12.

20

Banyak AMH

25

20
17

20
15
10
5

1

3

0
September

Oktober

November

Desember

Bulan AMH

Gambar 12 Jumlah intesitas terjadinya AMH Kota Waingapu (1973-2013)
Pemilihan Prediktor
Pemilihan prediktor dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis
korelasi dengan perhitungan korelasi Pearson antara IOD - AMH aktual dan
ASPL Nino 3.4 – AMH aktual. Hasil perhitungan korelasi yang ditunjukkan pada
Gambar 13 memperlihatkan bahwa nilai korelasi ASPL Nino 3.4 bulan Juli,
Agustus, September dan IOD bulan September dijadikan sebagai prediktor yang
masing-masing nilai korelasi sebesar 0.296, 0.342, 0.381 dan 0.285.

Gambar 13 (a) Nilai korelasi ASPL Nino 3.4 dengan AMH aktual
(b) Nilai korelasi IOD dengan AMH Aktual
Model Fuzzy Inference System untuk Prediksi AMH
Data latih dan data uji ditentukan dengan menggunakan nilai prediktor yang
berkorelasi. Data latih digunakan untuk mendapatkan model, sedangkan data uji
digunakan untuk mengetahui tingkat akurasi dari model yang telah dihasilkan.
Data latih dan data uji ditentukan dengan menggunakan metode k-fold cross
validation. Metode k-fold cross validation merupakan salah satu variasi dari
metode cross validation.
Metode k-fold cross validation dibagi atas 5-fold yang mana setiap fold
memiliki 8 data uji dan 32 data latih. Kelima fold tersebut adalah:
a) Fold 1, data tahun 1973-1980 sebagai data uji dan data tahun 1981-2013
sebagai data latih.

21
b) Fold 2, data tahun 1981-1988 sebagai data uji dan data tahun 1973-1980;19892013 sebagai data latih.
c) Fold 3, data tahun 1989-1996 sebagai data uji dan data tahun 1973-1988;19972013 sebagai data latih.
d) Fold 4, data tahun 1997-2004 sebagai data uji dan data tahun 1973-1996;20052013 sebagai data latih.
e) Fold 5, data tahun 2005-2013 sebagai data uji dan data tahun 1973-2004
sebagai data latih.
Fold 1
Himpunan-himpunan fuzzy yang digunakan pada fold 1 terlihat pada Tabel
2. Setiap fungsi keanggotaan pada himpunan-himpunan fuzzy terdiri atas
parameter-parameter yang dikategorikan berdasarkan rentang nilai pada Tabel 1,
sedangkan himpunan-himpunan fuzzy dan fungsi keanggotaan untuk fold lainnya
disajikan pada Lampiran 1.
Tabel 2 Himpunan-himpunan fuzzy pada fold 1
Parameter
Nama Himpunan
Variabel
Fuzzy
a
b
Negatif
-0.436
0.004
IOD September
Normal
0.154
0.176
Positif
-0.525
0.742
Lemah
-1.586
-0.905
ASPL Nino 3.4 Juli
Sedang
0.308
-0.024
Kuat
0.550
0.830
Lemah
-0.883
1.430
ASPL Nino 3.4 Agustus Sedang
0.334
-0.062
Kuat
1.112
1.329
Lemah
-0.909
-0.226
ASPL Nino 3.4
Sedang
0.312
-0.043
September
Kuat
0.937
1.500
Mundur
0.056
0.953
AMH
Maju
0.024
1.041
Setiap variabel pada himpunan-himpunan fuzzy pada fold 1
direpresentasikan menggunakan kurva zmf, gaussian dan kurva smf, seperti yang
terlihat pada Gambar 14 sampai dengan Gambar 18.

Gambar 14 Representasi fungsi keanggotaan variabel IOD September

22
Fungsi keanggotaan untuk variabel IOD September adalah:

{

(

)

(

)

}

{

}

Gambar 15 Representasi fungsi keanggotaan variabel ASPL Nino 3.4 Juli
Fungsi keanggotaan untuk variabel ASPL Nino 3.4 Juli adalah:

{

)

(

(
{

}

)
}

23

Gambar 16 Representasi fungsi keanggotaan variabel ASPL Nino 3.4
Agustus
Fungsi keanggotaan untuk variabel ASPL Nino 3.4 Agustus adalah:

{

(

(

)

}

)

{

}

Gambar 17 Representasi fungsi keanggotaan variabel ASPL Nino 3.4
September
Fungsi keanggotaan untuk variabel ASPL Nino 3.4 September adalah:

{

(

)

}

24

(

)

{

}

Gambar 18 Representasi fungsi keanggotaan variabel AMH
Fungsi keanggotaan untuk variabel AMH adalah:

Model FIS untuk menghasilkan prediksi AMH digunakan aturan yang
dikombinasi dari 4 variabel input dikali 3 himpunan fuzzy yaitu IOD (negatif,
normal, positif), ASPL Nino 3.4 (lemah, sedang, kuat) dan 1 variabel output dikali
2 himpunan fuzzy (maju dan mundur). Sehingga menghasilkan 64 aturan
kombinasi yang disajikan pada Lampiran 2. Dengan melakukan studi literature,
maka aturan yang digunakan pada fuzzy inference system sebanyak 36 aturan dari
64 aturan. Menurut Irawan dan Prasetya bahwa IOD untuk daerah NTT tidak
terlalu berdampak pada penambahan dan pengurangan curah hujan. Berdasarkan
penelitian tersebut dapat dibuat aturan yang akan digunakan dalam fuzzy inference
system, seperti yang disajikan pada Tabel 3.

25
Tabel 3 Kombinasi aturan yang digunakan dalam FIS
IOD
Nino 3.4
Rules
AMH
September
Juli
Agustus September
1
Negatif
Lemah
Lemah
Lemah
Maju
2
Negatif
Lemah
Lemah
Sedang
Maju
3
Negatif
Lemah
Sedang
Kuat
Mundur
4
Negatif
Lemah
Sedang
Lemah
Maju
5
Negatif
Sedang
Kuat
Sedang
Mundur
6
Negatif
Sedang
Kuat
Kuat
Mundur
7
Negatif
Sedang
Lemah
Lemah
Maju
8
Negatif
Sedang
Lemah
Sedang
Maju
9
Negatif
Kuat
Sedang
Kuat
Mundur
10
Negatif
Kuat
Sedang
Lemah
Mundur
11
Negatif
Kuat
Kuat
Sedang
Mundur
12
Negatif
Kuat
Kuat
Kuat
Mundur
17
Normal
Sedang
Kuat
Sedang
Mundur
18
Normal
Sedang
Kuat
Kuat
Mundur
19
Normal
Sedang
Lemah
Lemah
Maju
20
Normal
Sedang
Lemah
Sedang
Maju
21
Normal
Kuat
Sedang
Kuat
Mundur
22
Normal
Kuat
Sedang
Lemah
Mundur
23
Normal
Kuat
Kuat
Sedang
Mundur
24
Normal
Kuat
Kuat
Kuat
Mundur
25
Normal
Lemah
Lemah
Lemah
Maju
26
Normal
Lemah
Lemah
Sedang
Maju
27
Normal
Lemah
Sedang
Kuat
Mundur
28
Normal
Lemah
Sedang
Lemah
Maju
33
Positif
Kuat
Sedang
Kuat
Mundur
34
Positif
Kuat
Sedang
Lemah
Mundur
35
Positif
Kuat
Kuat
Sedang
Mundur
36
Positif
Kuat
Kuat
Kuat
Mundur
37
Positif
Lemah
Lemah
Lemah
Maju
38
Positif
Lemah
Lemah
Sedang
Maju
39
Positif
Lemah
Sedang
Kuat
Mundur
40
Positif
Lemah
Sedang
Lemah
Maju
41
Positif
Sedang
Kuat
Sedang
Mundur
42
Positif
Sedang
Kuat
Kuat
Mundur
43
Positif
Sedang
Lemah
Lemah
Maju
44
Positif
Sedang
Lemah
Sedang
Maju
Dengan menggunakan Matlab R2012b, setiap parameter dan aturan yang
telah ditentukan pada setiap fold yang berdasarkan data prediktor dan respon,
diperoleh nilai prediksi AMH yang tersaji pada Tabel 4.

26
Tabel 4 Nilai Prediksi AMH
Fold 1
Prediksi
Tahun
AMH
1973
310

Fold 2
Prediksi
Tahun
AMH
1981
309

Fold 3
Prediksi
Tahun
AMH
1989
314

Fold 4
Prediksi
Tahun
AMH
1997
337

Fold 5
Prediksi
Tahun
AMH
2005
321

1974

312

1982

305

1990

306

1998

336

2006

333

1975

331

1983

314

1991

308

1999

328

2007

329

1976

315

1984

312

1992

309

2000

305

2008

325

1977

314

1985

311

1993

311

2001

314

2009

322

1978

315

1986

311

1994

305

2002

319

2010

323

1979

313

1987

315

1995

310

2003

310

2011

328

1980

312

1988

314

1996

309

2004

305

2012

336

Dari hasil prediksi AMH yang disajikan pada Tabel 4, dapat diketahui model
fold terbaik berdasarkan nilai koefisien korelasi dan nilai RMSE yang diperoleh
dari perhitungan data AMH aktual dengan data prediksi AMH. Nilai koefisien
korelasi dan RMSE disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil koefisien korelasi dan RMSE model FIS
Koefisien
RMSE
korelasi
Fold 1
-0.84
40.66
Fold 2
-0.46
50.31
Fold 3
0.10
64.95
Fold 4
0.22
10.59
Fold 5
0.57
2.96
Berdasarkan perhitungan tersebut, Tabel 5 menunjukkan bahwa fold 5 dapat
dikatakan sebagai model FIS terbaik karena memiliki nilai korelasi tertinggi
diantara kelima jenis fold dengan nilai 0.57, dan nilai RMSE terendah dari kelima
jenis fold dengan nilai 2.96. Hasil perhitungan nilai korelasi dan RMSE pada
kelima jenis fold disajikan pada Lampiran 3.
Optimasi Parameter FIS dengan Algoritme PSO
Optimasi merupakan aktivitas untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Salah
satu algoritme optimasi yang digunakan untuk mengoptimalkan parameter FIS
adalah algoritme PSO. Penggunaan algoritme PSO diterapkan pada fold 5 sebagai
model FIS terbaik. Hasil parameter fold 5 setelah dioptimasi PSO disajikan pada
Tabel 6.

27
Tabel 6 Nilai parameter model FIS sebelum dan sesu