Pemodelan Spasial Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi Di Kepulauan Sumatera
PEMODELAN SPASIAL DEFORESTASI MENGGUNAKAN
PENDEKATAN TIPOLOGI DI KEPULAUAN SUMATERA
NURDIN SULISTIYONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemodelan Spasial
Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Nurdin Sulistiyono
E161100041
RINGKASAN
NURDIN SULISTIYONO. Pemodelan Spasial Deforestasi Menggunakan
Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera. Dibimbing oleh I NENGAH
SURATI JAYA, LILIK BUDI PRASETYO dan TATANG TIRYANA.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, masyarakat internasional menaruh
perhatian yang besar terhadap persoalan deforestasi. Pemantauan luas hutan
merupakan suatu hal yang penting dan diperlukan dalam skema REDD. Monitoring
diperlukan sebagai peringatan bahaya deforestasi. Monitoring penutupan
lahan/hutan dalam skala regional yang luas memerlukan waktu dan biaya yang
besar. Penggunaan citra satelit resolusi rendah seperti Terra MODIS MOD13Q1
merupakan salah satu solusi untuk melakukan pemantauan penutupan hutan dalam
level regional maupun nasional.
Tingginya tingkat deforestasi yang terjadi di Kepulauan Sumatera diduga
dipicu oleh berbagai faktor. Penelitian ini meneliti bagaimana perilaku deforestasi
terkait dengan tipologi daerah, serta bagaimana deforestasi sedang dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti fisik, biologi, sosial, ekonomi dan / atau budaya masyarakat
setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan model spasial
deforestasi berdasarkan faktor pemicu dalam setiap tipologi di Kepulauan
Sumatera. Kelas tipologi dikembangkan atas dasar faktor sosio-ekonomi
menggunakan ukuran jarak standar-euclidean dan keanggotaan setiap cluster
ditentukan dengan menggunakan metode tetangga terjauh. Metode regresi logistik
digunakan untuk memodelkan dan memperkirakan distribusi spasial deforestasi.
Studi ini menemukan bahwa tipologi deforestasi di Kepulauan Sumatera dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelas tipologi dengan tingkat laju peningkatan jumlah
keluarga pertanian sebagai faktor penentunya. Model spasial deforestasi pada
tipologi 1 dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu jumlah keluarga pertanian, elevasi, dan
jarak dari jalan; sementara pada tipologi 2 terdapat lima faktor dominan yang
mempengaruhi model deforestasi, yaitu, jumlah keluarga pertanian, kemiringan,
elevasi, jarak dari jalan dan jarak dari sungai.
Hasil pemantauan perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dalam kurun waktu tahun 2000- 2012, luas
penutupan hutan di Kepulauan Sumatera terus mengalami penurunan dengan cepat.
Hasil pemantauan penutupan hutan setelah dikurangi luas HTI diperkirakan pada
tahun 2000 seluas 12,150,500.0 ha (25.7%), kemudian menurun pada tahun 2006
menjadi 10,398,324.8 ha (22.0%) dan pada tahun 2012 terdeteksi seluas
9,960,893.3 ha (21.0%). Hasil penutupan lahan hutan yag dihasilkan pada
penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penutupan hutan oleh
Kementerian Kehutanan dengan selisih 9.5 – 19.3% lebih rendah. Berdasarkan
analisis post clasification comparison, laju deforestasi pada periode 2000 – 2006
sebesar 292,029.2 ha/tahun dan menurun pada periode tahun 2006 – 2012 sebesar
72,905.3 ha/tahun.
Hasil pengujian akurasi tipologi deforestasi terhadap pengelompokan daerah
administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera menunjukan bahwa
nilai overall accuracy terbaik dengan nilai akurasi sebesar 73.1% adalah
pengelompokan menjadi dua tipologi dengan satu peubah yakni pertambahan laju
jumlah keluarga pertanian sebagai variabel kunci. Besarnya nilai rata-rata nilai laju
deforestasi untuk tipologi 1 (laju deforestasi rendah) sebesar 1,156.5 ha/th dan
tipologi 2 (laju deforestasi tinggi) sebesar 3,968.8 ha/th.
Kondisi penutupan patch hutan yang terdeforestasi di tipologi 1 lebih
terfragmentasi dibandingkan dengan tipologi 2. Pola spasial patch hutan yang
terdeforestasi deforestasi pada kedua tipologi berdasarkan indeks clumpiness
menunjukan pola yang mengelompok. Namun demikan kondisi pengelompokan
penutupan hutan di tipologi 2 lebih besar dibandingkan pada tipologi 1. Hal ini
menunjukan deforestasi akibat pembukaan hutan untuk perkebunan yang terjadi di
tipologi 2 lebih banyak dilakukan oleh perkebunan besar, sebaliknya di tipologi 1
pembukaan hutan untuk perkebunan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dan
perusahaan perkebunan dalam skala kecil.
Hasil analisis regresi logistik diperoleh model spasial dari deforestasi di
tipologi 1 adalah Logit (deforestasi) = 1.355 + (0.012 * total keluarga pertanian) (0.08 * elevasi) - (0.019 * jarak dari jalan), sedangkan model spasial deforestasi
pada tipologi 2 adalah logit (deforestasi) = 1.714 + (0.007 * total keluarga
pertanian) - (0021 * kemiringan) - (0.051 * elevasi) - (0.038 jarak dari jalan) +
(0.039 * jarak dari sungai). Hasil uji validasi model deforestasi pada tahun 2000 2006 memiliki nilai akurasi keseluruhan sekitar 68.5% (tipologi 1) dan 74.5%
(tipologi 2), model deforestasi di tahun 2006 - 2012 memiliki nilai Overall
Accuracy sebesar 65.4% (tipologi 1) dan 72.2% (tipologi 2).
Urutan faktor pemicu deforestasi dimulai dari faktor pemicu yang
mempunyai kontribusi terbesar pada tipologi 1 berturut-turut adalah; ketinggian
tempat, jarak dari jalan, jumlah keluarga pertanian, sedangkan pada tipologi 2
peluang terjadinya deforestasi dipengaruhi oleh faktor pemicu deforestasi
ketinggian tempat, jarak dari jalan, slope, jarak dari sungai, dan jumlah keluarga
pertanian. Model spasial deforestasi tahun 2000 – 2006 yang dihasilkan cukup baik
digunakan untuk memprediksi peluang terjadinya deforestasi yang terjadi pada
tahun 2006 – 2012 dengan nilai overall accuracy sebesar 65.4% untuk tipologi 1
dan 72.2% untuk tipologi 2.
Kata kunci: model deforestasi, regresi logistik, tipologi, Kepulauan Sumatera
SUMMARY
NURDIN SULISTIYONO. Spatial Modeling of Deforestation Using Typology
Approach in Sumatra Islands. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA, LILIK
BUDI PRASETYO and TATANG TIRYANA.
In the last two decades, the international community has given great attention
to the issues of deforestation. Forest monitoring is an important part of REDD
scheme. Monitoring plays a role in the case of a warning for the danger of
deforestation. Monitoring of forest/land cover on a regional scale using field
measurement system may time consuming and costly. The use of low resolution
imageries Terra MODIS MOD13Q1 satellite data could be one of the solutions for
forest monitoring activities to provide forest cover information either at regional or
national level.
High rate deforestation occurred in Sumatra Islands had been allegedly
triggered by various factors. This study examined how the deforestation behaviour
was related to the area typology, as well as how the deforestation is being affected
by many factors such as physical, biology, social, economy and/or culture of the
local community. The objective of this study wasto formulate a spatial model of
deforestation based on triggered factors within each typology in Sumatra Islands.
The typology classes were developed on the basis of socio-economic factors using
the standardized-euclidean distance measure and the membership of each cluster
was determined using the furthest neighbor method. The logistic regression method
was used for modeling and estimating the spatial distribution of deforestation.The
study found that deforestation typology could be classified into two classes, referred
to as typology one and typology two using the rate of increasing farmers household
factor. The spatial deforestation model in typology one has been mainly affected by
three factors i.e. sum of household farmer, elevation, and distance from road ; while
in typology two, there are five dominant factors affecting the deforestation model,
i.e., sum of household farmer, slope, elevation, distance from road and distance
from river.
Result of land cover change using Terra MODIS (MOD13Q1) imageries
occurred in Sumatra between 2000 –2012 period, the coverage of forest area in the
Islands of Sumatra continues to decline rapidly. Forest area excluding timber estate
in 2000 was about at 12,150,500.0 ha (25.7%), then decreased in 2006 to
10,398,324.8 ha (22.0%) and by 2012 it was detected at 9,960,893.3 ha (21.0%).
The study shows that the deforestation rate in 2000 to 2006 was 292,029.2 ha per
year, while in 2006 to 2012 the deforestation rate decreased to 72,905.3 ha per year.
These results tend to be lower compared to the results of classification by the
Ministry of Forestry (MoF) by using Landsat imagery. The difference percentage
of MoF and MODIS classification was in the range of 9.5 – 19.3%.
Results of typological deforestation accuracy test on regional classificaion of
administrative regencies/cities in the Islands of Sumatra showed that the best
overall accuracy test with an accuracy value of 73.1% is the classification into two
typologies with one variable (increase rate of farming households) as a key variable.
The average value of deforestation rate for typology 1 (low deforestation rate) was
1,156.53 ha /yr and for typology 2 (high deforestation rate) was 3,968.81 ha /yr.
The selected typological deforestation was two-typology classification model with
the increase rate of farming households as a determining factor.
The condition of forest cover in the typology 1 more fragmented than the
typology 2. The spatial pattern of deforestation in the second typology based
clumpiness index showed clumped patterns. However, so the grouping condition of
forest cover in the typology of 2 greater than the typology 1. This shows the
deforestation due to clearing for plantations occur in the second typology is mostly
done by large estates, on the contrary in the typology 1 clearing for plantations is
mostly done by the community and small-scale plantations.
The results of logistic regression analysis obtained spatial model of
deforestation in typology one is Logit (deforestation) = 1.355 + (0.012*total of
farmer household) – (0.08*elevation) – (0.019*distance from road) and spatial
model of deforestation in typology two is logit (deforestation) = 1.714 +
(0.007*total of farmer household) – (0.021*slope) – (0.051*elevation) - (0.038
distance from road) + (0.039* distance from river). The result of validation test of
deforestation model in 2000 – 2006 has a value of overall accuracy about 68.5%
(typology one) and 74.5% (typology two), model of deforestation in 2006 – 2012
has value of overall accuracy about 65.4% (typology one) and 72.2% (typology
two).
The sequence starts from the drivers factors of deforestation in the typology
1 were altitude, distance from the road, the number of farm households. The
sequence starts from the driving factors of deforestation in the typology 2 were
influenced by factors of altitude, distance from the road, slope, distance from the
river, and the number of farm households. The spatial model of deforestation in
2000 - 2006 produced quite well used to predict the probability of deforestation that
occurred in the year 2006 - 2012 with a value of 65.4% overall accuracy for the
typology 1 and 72.2% for the typology 2.
Key words: deforestation modeling, logistic regression, typology, Sumatra Islands
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMODELAN SPASIAL DEFORESTASI MENGGUNAKAN
PENDEKATAN TIPOLOGI DI KEPULAUAN SUMATERA
NURDIN SULISTIYONO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir M Buce Saleh, MS
(Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)
Dr Samsuri, S Hut, MSi
(Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU)
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Iwan Setiawan, MSc
(Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan Bogor)
Dr Samsuri, S Hut, MSi
(Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi dengan judul “Model Spasial Deforestasi Menggunakan
Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera” dapat diselesaikan. Disertasi ini
diajukan sebagai salah syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Doktor
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan disertasi dibiayai ini oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
melalui beasiswa BPPS serta bantuan penelitian Rektor Universitas Sumatera Utara.
Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada International Journal of Sciences:
Basic and Applied Research (IJSBAR) dengan judul Detection of Deforestation
Using Low Resolution Satellite Images in the Islands of Sumatra 2000-2012
Volume 24 (1): 350-366 tahun 2015 dan Journal of Tropical Forest Management
dengan judul Spatial Model of Deforestation in Sumatran Islands using typological
approach Volume 21 (2): 99-109 tahun 2015.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1.
Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
dengan penuh kesabaran memberikan arahan, motivasi dan pembelajaran yang
diberikan kepada penulis secara langsung maupun tidak langsung selama
menempuh pendidikan
2. Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc yang dengan kerelaan dan kesabarannya
menjadi mitra diskusi untuk membuka cakrawala berpikir lebih komprehensif
khususnya dalam permodelan spasial.
3. Dr Tatang Tiryana, S Hut, MSc yang memberikan arahan cara menulis ilmiah
yang baik dan benar serta pengelolaan sumberdaya hutan.
4. Dr Ir M Buce Saleh MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas
koreksi, komentar dan sarannya serta pencerahan mengenai pemodalan spasial
sehingga disertasi ini menjadi lebih baik.
5. Dr Samsuri, S Hut, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan
sidang promosi atas masukan, koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan
disertasi menjadi lebih baik.
6. Dr Ir Iwan Setiawan, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang promosi atas
masukan, koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan disertasi menjadi
lebih baik.
7. Seluruh penyelenggara dan pelaksana Sekolah Pascasarjana IPB, terutama
pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang memberikan pelayanan
terbaiknya selama studi terlebih lagi selama masa penyelesaian studi.
8. Rektor Universitas Sumatera Utara yang memberikan bantuan biaya studi dan
biaya penelitian.
9. Segenap warga laboratorium Remote Sensing dan GIS (Ruang Alos) yang
penuh kekeluargaan dan semangat saling membantu sehingga menciptakan
suasana di laboratorium yang nyaman dan kondusif.
10. Bapak Yudi Setiawan dan Ida Bagus Ketut Wedastra yang telah dengan sabar
melayani diskusi penelitian khususnya mengenai MODIS.
11. Teman-teman IPH atas persahabatan dan kerjasamanya selama masa studi dan
setelahnya.
12. Istri dan anak-anak tercinta, kedua orang tua penulis yang selalu memberikan
semangat dan doa sehingga penulis mampu untuk menjalani pendidikan ini
dengan sabar.
13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi
ini dapat diselesaikan.
Bogor, Agustus 2015
Nurdin Sulistiyono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Novelty Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
5
5
6
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Iklim
Kondisi Biofisik
Kondisi Sosial Ekonomi
Fungsi Kawasan
7
7
8
8
10
12
DETEKSI DEFORESTASI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT
RESOLUSI SPASIAL RENDAH
Pendahuluan
Metodologi
Hasil Dan Pembahasan
Simpulan
14
14
15
21
29
TIPOLOGI DAN POLA SPASIAL DEFORESTASI
Pendahuluan
Metodologi
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
30
30
31
33
41
MODEL SPASIAL DEFORESTASI
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
42
42
43
52
62
PEMBAHASAN UMUM
64
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
70
70
70
DAFTAR ISI (Lanjutan)
DAFTAR PUSTAKA
71
LAMPIRAN
78
RIWAYAT HIDUP
96
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan
Sumatera .............................................................................................. 9
Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera .............. 9
Rekapitulasi data kepadatan penduduk tahun 2000 – 2011
pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ........................................ 10
Rekapitulasi data jumlah keluarga pertanian tahun 2003 - 2011
pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ........................................ 11
Rekapitulasi data jumlah penduduk miskin tahun 2002 - 2012
pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ........................................ 11
Rekapitulasi data PDRB tahun 2003 - 2011 pada tiap provinsi di
Kepulauan Sumatera.......................................................................... 12
Data kawasan hutan pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera....... 13
Data penyebaran HTI pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera .... 13
Jumlah citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 yang digunakan
untuk mendeteksi deforestasi di Kepulauan Sumatera ...................... 15
Informasi yang terkandung dalam band pixel reliability citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 ....................................................... 17
Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2000 ...................................................................... 21
Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2006 ...................................................................... 21
Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2012 ...................................................................... 22
Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2000 ...................................................................... 22
Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2006 ...................................................................... 22
Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2012 ...................................................................... 23
Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi
penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2000 .............. 24
Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi
penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2006 .............. 24
Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi
penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2012 .............. 24
Perbandingan luas penutupan lahan hutan hasil klasifikasi
menggunakan Satelit Terra MODIS MOD13Q1 dengan data
penutupan lahan Kementerian Kehutanan menggunakan citra
satelit landsat ..................................................................................... 25
Rekapitulasi luas hutan pada masing-masing Provinsi
di Kepulauan Sumatera ..................................................................... 26
Rekapitulasi luas hutan per fungsi kawasan di Kepulauan
Sumatera ............................................................................................ 27
23 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokkan menjadi 2
tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan
Sumatera berdasarkan analisis klaster ............................................... 34
24 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokan menjadi 3
tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan
Sumatera berdasarkan analisis klaster ............................................... 34
25 Daerah administrasi kabupaten yang tergolong
dalam masing-masing model tipologi terpilih ................................... 35
26 Data yang digunakan untuk membangun model
spasial deforestasi .............................................................................. 44
27 Hasil pemilihan faktor pemicu pada model deforestasi tipologi 1 .... 55
28 Hasil pemilihan faktor pemicu pada model deforestasi tipologi 2 .... 56
29 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu
deforestasi di Tipologi 1 .................................................................... 67
30 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu
deforestasi di Tipologi 2 .................................................................... 67
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian ............................................................ 4
2 Lokasi Penelitian.................................................................................. 7
3 Grid horizontal dan vertical akusisicitra MODIS
(Sumber : https://lpdaac.usgs.gov)..................................................... 16
4 Proses penggabungan citra Terra MODIS MOD13Q1
yang telah dimasking ......................................................................... 18
5 Proses ground truth menggunakan google earth ............................... 19
6 Hasil mosaik citra satelit MODIS MOD13Q1 yang telah
dimasking (a, b, c), hasil klasifikasi terbimbing citra
satelit MODIS MOD13Q1 (d, e, f) .................................................... 25
7 Deforestasi aktual pada kawasan Hutan Produksi tahun
2000 – 2006 ....................................................................................... 28
8 Deforestasi aktual pada kawasan Hutan Produksi tahun
2006 – 2012 ....................................................................................... 28
9 Pembagian tipologi deforestasi administrasi kabupaten/kota
di Kepulauan Sumatera ...................................................................... 36
10 Luas penutupan kelas hutan pada masing-masing tipologi
pada tahun 2000, 2006 dan 2012 ....................................................... 37
11 Distribusi patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 1,
a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012 .................................... 38
12 Distribusi patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 2,
a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012 .................................... 38
13 Dinamika temporal landscape metric patch hutan yang
terdeforestasi pada masing-masing tipologi ...................................... 39
14 Tahapan pembentukan model deforestasi menggunakan
model regresi logistik......................................................................... 52
15 Faktor pemicu deforestasi: a) kepadatan penduduk (X1), b) jumlah
keluarga pertanian (X2), c) jumlah penduduk miskin (X3), d) PDRB
(X4), e) slope (X5), f) elevasi (X6), g) jarak dari sungai (X7),
h) jarak dari pusat pemukiman (X8), i) jarak dari jalan (X9) ............. 53
16 Penempatan piksel sampel penyusun model spasial
deforestasi tahun 2000 – 2006 pada tipologi 1 .................................. 54
17 Penempatan piksel sampel penyusun model spasial
deforestasi tahun 2000 – 2006 pada tipologi 2 .................................. 54
18 Hubungan faktor pemicu deforestasi dengan peluang
deforestasi pada tipologi 1 ................................................................. 56
19 Hubungan faktor pemicu deforestasi dengan peluang
deforestasi pada tipologi 2 ................................................................. 58
20 a) Sebaran nilai peluang deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 1
berdasarkan model regresi logistik, b) Model prediksi deforestasi
tahun 2006 – 2012 tipologi 1 berdasarkan model regresi logistik .... 60
21 a) Sebaran nilai peluang deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 2
berdasarkan model regresi logistik, b) Model prediksi deforestasi
tahun 2006 – 2012 tipologi 2 berdasarkan model regresi logistik .... 61
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Output SPSS dendogram menggunakan metode furthest
neighbor clustering ............................................................................ 78
Hasil uji korelasi antar peubah x yang menjadi driving factor
deforestasi tipologi 1 ......................................................................... 80
Hasil uji korelasi antar peubah x yang menjadi driving factor
deforestasi tipologi 2 ......................................................................... 81
Output spss regresi logistik biner model spasial deforestasi
tipologi 1 dengan nilai terstandarisasi ............................................... 82
Output spss regresi logistik biner model spasial deforestasi
tipologi 2 dengan nilai terstandarisasi ............................................... 89
Hasil uji validasi model spasial deforestasi ....................................... 95
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan tropika merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Melalui fungsinya sebagai penyedia jasa ekositem, hutan tropika di
Indonesia diyakini mempunyai berbagai macam manfaat dan kegunaan diantaranya
sebagai habitat yang paling sesuai bagi berbagai macam jenis satwa dan sebagai
tempat penyimpan cadangan karbon. Melalui proses penyimpanan karbon oleh
pohon-pohon yang ada di hutan, proses pemanasan global dapat ditekan. Hutan
tropika mempunyai peranan penting dalam isu perubahan iklim dan
keanekaragaman hayati. Isu perubahan iklim menjadi perhatian yang serius
mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya, perubahan iklim telah mengancam
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia sebagai akibat dari
akumulasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir (Heal dan Kriström 2002).
Hutan tropika di Kepulauan Sumatera memiliki manfaat yang sangat besar,
baik manfaat sosial, ekonomi, budaya, politik maupun ekologi. Sebagai gambaran
besarnya manfaat hutan yang berada di Kepulauan Sumatera, hasil penelitian van
Beukering et al. (2003) menyebutkan besarnya manfaat nilai ekonomi total dari
Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL) sebesar US$ 316 juta/tahun, nilai ini
merupakan total dari manfaat ekonomi suplai air, perikanan, pencegah banjir,
pertanian, energi, ekoturisme, keanekaragaman hayati, penyimpan karbon,
pencegahan kebakaran hutan, hasil hutan non kayu, serta hasil hutan kayu. TNGL
hanya merupakan salah satu dari 11 taman nasional yang ada di Kepulauan
Sumatera. Hutan di Kepulauan Sumatera juga merupakan habitat bagi lebih dari
10,000 spesies tanaman, 201 spesies mamalia, dan 580 spesies avifauna (Whitten
et al. 2000).
Hutan di Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1.7 % pada kurun waktu
1990-2000, kemudian laju deforestasi mengalami penurunan menjadi 0.5 % dalam
kurun waktu 2000-2010. Angka laju deforestasi Indonesia lebih tinggi dibanding
dengan rata-rata deforestasi negara-negara Asia Tenggara yang berada pada angka
1 % periode 1990-2000 dan 0.4% dalam kurun waktu 2000-2010 (Sumargo et al.
2011). Deforestasi yang terus berlangsung di Indonesia saat ini disebabkan oleh
banyak faktor. Penebangan liar (illegal logging), pembukaan hutan untuk
perkebunan serta kebakaran hutan merupakan penyebab utama kerusakan hutan di
Indonesia (Sunderlin dan Resosudarmo 1997; Margono et al. 2012).
Keberadaan hutan di Kepulauan Sumatera terus mengalami tekanan, seiring
perkembangan waktu keberadaan hutan tropika terus mengalami penurunan dalam
hal kuantitas (luas) maupun kualitasnya melalui proses deforestasi dan degradasi
hutan. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan menyebutkan luas
penutupan hutan pada tahun 2011 sebesar 14.84 juta ha (Kementerian Kehutanan
2012), kemudian menurun pada tahun 2012 seluas 13.97 juta ha (Kementerian
Kehutanan 2014). Sementara itu, hasil penelitian Margono et al. (2012)
menyebutkan bahwa hutan Sumatera berkurang 72% pada periode 1990-2000 dan
berkurang sebesar 28 % pada periode 2000-2010.
2
Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan dari hutan ke non hutan secara
permanen. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) deforestasi adalah
konversi hutan menjadi penggunaan lain atau pengurangan berjangka panjang atas
penutupan tajuk di bawah 10 persen. Data yang dikeluarkan oleh Forest Watch
Indonesia (FWI) menyebutkan laju deforestasi di Pulau Sumatera sebesar
412,421.9 ha/th (Sumargo et al. 2011).
Deforestasi dalam skala besar di daerah tropis yang disebabkan oleh kegiatan
penyediaan lahan-lahan untuk pertanian/perkebunan merupakan salah satu contoh
dari perubahan penggunaan lahan yang berdampak besar terhadap keanekaragaman
hayati, tanah, degradasi dan kemampuan bumi untuk mendukung kebutuhan
manusia (Lambin et al. 2003). Dampak dari deforestasi dan degradasi hutan tropika
berupa kerusakan hutan telah menjadi isu penting pada tingkat global, hal ini
dikarenakan besarnya dampak secara kumulatif terhadap keanekaragaman hayati,
produktivitas tanah serta iklim global (Geist dan Lambin 2001; Laurance et al.
2014).
Deforestasi memicu terjadinya perubahan iklim global karena menurunnya
daya serap hutan terhadap emisi karbon. Besarnya kandungan karbon yang tidak
terserap menimbulkan kenaikan temperatur dan pergeseran musim. Salah satu
dampaknya adalah kebakaran hutan dan naiknya permukaan air laut. Deforestasi
juga menjadi salah satu pemicu peningkatan temperatur rata-rata tahunan Indonesia
yang diperkirakan sebesar 0.3o C sejak tahun 1990 yang terjadi konsisten sepanjang
tahun pada semua musim (Boer dan Faqih 2004).
Disisi lain dalam skala lanskap, proses deforestasi seringkali diiringi dengan
proses fragmentasi. Fragmentasi suatu lanskap dicirikan oleh jumlah dan ukuran
serta distribusi bagian-bagian dalam lanskap tersebut. Semakin besar jumlah patch,
dan semakin kecil ukurannya dan makin tersebar di dalam suatu lanskap, maka
lanskap tersebut semakin terfragmentasi (Rutledge 2003). Fragmentasi akan
membagi suatu lanskap/ekosistem ke dalam bagian-bagian kecil patch sebagai
akibat dari kegiatan manusia, seperti pembangunan lahan pertanian, pemukiman
dan industri. Jika didifinisikan, fragmentasi dalam ekosistem adalah: (1)
meningkanya jumlah patch; (2) menurunnya ukuran rata-rata patch dan (3)
meningkatnya panjang total edge, dimana edge adalah perbatasan antara dua patch
yang berbeda kelas.
Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh deforestasi, maka
berbagai upaya untuk mengurangi dampak deforestasi dan degradasi berbagai telah
dilakukan oleh negara-negara di dunia salah satunya melalui program REDD.
Program REDD pada dasarnya ditujukan untuk memperlambat laju deforestasi dan
degradasi hutan dengan memberikan kredit karbon. Dana yang diberikan digunakan
untuk kegiatan konservasi karbon, yang berdampak untuk memperlambat laju
deforestasi degradasi hutan (CIFOR 2009). Dalam perkembangannya melalui
mekanisme REDD+ aspek konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan,
serta pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan juga bisa
dimasukan sebagai salah satu mekanisme yang dapat diberikan insentif. Hal
penting yang harus diketahui dalam mekanisme REDD+ ini adalah informasi
besarnya perubahan penutupan dan penggunaan lahan yang telah terjadi.
Deforestasi merupakan bagian dari mekanisme perubahan penutupan lahan.
Kejadian deforestasi di berbagai tempat di dunia disebabkan oleh faktorfaktor yang sangat beragam. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan berbagai
3
karakteristik ekosistem biofisik hutannya, serta kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya yang berbeda-beda juga menyebabkan faktor pendorong terjadinya
deforestasi menjadi beragam pada setiap daerah. Geist dan Lambin (2001) telah
melakukan studi tentang deforestasi yang terjadi di hutan tropis termasuk Indonesia.
Hasil studi ini menemukan bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya
deforestasi pada hutan tropis adalah: perluasan lahan untuk pertanian, penebangan
kayu dan pembangunan infrastruktur. Sedangkan faktor yang melandasinya adalah:
faktor ekonomi, institusi dan kebijakan, teknologi, sosial budaya, dinamika
pertumbuhan penduduk dan faktor lain seperti: karakteristik lahan, sifat-sifat
biofisik tanaman/lahan dan gejolak sosial.
Berdasarkan uraian di atas, pemodelan spasial deforestasi pada skala regional
(Kepulauan Sumatera) berdasarkan faktor-faktor pendorong dengan
mengintegrasikan model statistik, sistem informasi geografis serta penginderaan
jarak jauh melalui pemodelan spasial deforestasi menjadi penting untuk dilakukan.
Pemodelan spasial ini akan berguna dalam hal menyediakan informasi bagi
pengambil kebijakan yang berkaitan dengan aspek spasial di Kepulauan Sumatera.
Perumusan Masalah
Penelitian-penelitian yang dilakukan Allen dan Barnes (1985); Meyer dan
Turner (1992); Pahari dan Murai (1999) menyebutkan perubahan penggunaan lahan
termasuk deforestasi pada skala global disebabkan oleh permasalahan pertambahan
penduduk. Hasil penelitian Rudel (1989) terhadap 36 negara yang memiliki hutan
tropis, menyebutkan faktor pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang
memainkan peranan penting terhadap penyebab terjadinya deforestasi. Penelitian
kuantitatif yang menyebutkan faktor umum seperti kemakmuran dan pertumbuhan
populasi penduduk sebagai penyebab deforestasi dinilai telah mengabaikan faktor
spesifik seperti faktor biofisik, kedekatan (proximity) dan faktor sosial ekonomi
lainnya (Rudel 2007). Kebijakan yang dihasilkan dari penyederhanaan
permasalahan penyebab deforestasi dengan menganggap faktor pemicu deforestasi
sama pada setiap daerah dinilai kurang tepat.
Indonesia adalah negara dengan karakteristik lanskap hutan yang sangat
beragam. Karakteristik berbagai tipe lanskap hutan di Indonesia tidak semua sama,
masing-masing memiliki sifat yang spesifik dan mempunyai permasalahan yang
berbeda-beda. Hal ini juga terjadi di masing-masing daerah administrasi
kabupaten/kota di Kepulauan Sumatera, dimana faktor pemicu (driving force)
terjadinya deforestasi pada masing-masing daerah tersebut berbeda-beda.
Pengelompokan daerah-daerah administrasi berdasarkan faktor-faktor dominan
yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi menjadi penting untuk dilakukan.
Pengelompokan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengelompokan daerah-daerah
administrasi dalam hal potensi peluang terjadinya deforestasi.
Identifikasi faktor pemicu deforestasi diantaranya dapat dilakukan dengan
melakukan penelitian pemodelan spasial deforestasi. Beberapa penelitian mengenai
model spasial deforestasi pernah dilakukan pada beberapa tempat di Kepulauan
Sumatera diantaranya Melati (2012) di Provinsi Riau. Mulyanto dan Jaya (2004) di
HPH PT. Duta Maju Timber Provinsi Sumatera Barat, serta Linkie et al. (2004) di
Lembah Tapan, Provinsi Jambi. Sementara itu Brun et al. (2015) memodelkan
4
deforestasi dalam cakupan yang lebih luas yakni negara Indonesia, termasuk
Sumatera di dalamnya. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut faktor pemicu
yang menjadi penyebab deforestasi di berbagai tempat di Kepulauan Sumatera
berbeda-beda.
Dilain pihak, dalam strategi penyusunan baseline dalam mekanisme REDD+,
pengetahuan akan model spasial deforestasi menjadi penting untuk diketahui.
Model spasial deforestasi ini nantinya dapat digunakan untuk memprediksi lokasi
serta besarnya deforestasi dimasa yang datang. Fenomena perubahan
penutup/penggunaan lahan pada dasarnya merupakan fenomena yang dapat dikaji
dengan pendekatan spasial.
Kepulauan Sumatera memiliki luas wilayah 47,322,331.3 ha dan merupakan
salah satu pulau besar yang ada di Indonesia. Dengan cakupan luas wilayah yang
besar perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk memantau dinamika penutupan
hutan yang terjadi pada berbagai waktu. Monitoring ini diperlukan untuk
mengetahui laju deforestasi dan lokasi dimana terjadinya deforestasi.
Verhagen (2007) mengemukakan bahwa pemodelan penggunaan lahan
menggunakan pendekatan regresi logistik telah menjadi salah satu pendekatan yang
paling sering digunakan selama dua dekade terakhir. Penelitian pemodelan
perubahan penggunaan lahan menggunakan regresi logistik telah banyak dilakukan
di berbagai tempat di dunia. Deforestasi sebagai bagian dari model perubahan
penggunaan lahan juga dapat dimodelkan menggunakan pendekatan ini. Dalam
penelitian ini pemodelan deforestasi dilakukan berdasarkan faktor-faktor pemicu
deforestasi pada masing-masing tipologi deforestasi yang terbentuk.
Gambar 1 berikut ini menggambarkan kerangka pemikiran yang dipakai pada
penelitian ini.
Pemicu terjadinya
deforestasi
yang berbeda
Kondisi Biofisik dan
sosial ekonomi yang
berbeda
Pengelompokan Daerah
Adiministrasi berdasarkan
Faktor sosial ekonomi dominan
pemicu terjadinya deforestasi
Daerah yang mempunyai
potensi laju deforestasi yang
tinggi
Daerah yang mempunyai
potensi deforestasi yang
rendah
Model
Deforestasi
Mitigasi deforestasi
Penyusunan baseline
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Driving
Forcedeforestasi
Faktor Biofisik
Faktor Sosial
Ekonomi
5
Perumusan masalah penelitian berdasarkan uraian tersebut sebelumnya
disusun dalam bentuk pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian yang muncul
dalam penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimana mengatasi permasalahan ketersediaan data dan informasi
penutupan lahan hutan secara cepat dalam cakupan wilayah yang luas
seperti Kepulauan Sumatera?
2. Bagaimana tipologi dan pola spasial deforestasi yang terjadi di Kepulauan
Sumatera?
3. Bagaimana model spasial deforestasi dengan menggunakan pendekatan
tipologi serta faktor-faktor apa yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi
di masing-masing tipologi yang terbentuk?
Novelty Penelitian
Penelitian deteksi deforestasi menggunakan data citra satelit resolusi spasial
rendah Terra MODIS MOD13Q1 pada umumnya memanfaatkan data kanal
Enhanced Vegetation Index (EVI) dan kanal Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI) (Lunetta et al. 2006; Clark et al. 2010; Spruce et al. 2011; Setiawan
dan Yoshino 2013; Setiawan et al. 2015). Hasil penelitian yang disajikan pada
disertasi ini menunjukkan bahwa penggunaan metode sederhana dengan
memanfaatkan kanal pixel reliability dan vi quality sebagai kanal yang memberikan
informasi kualitas data mampu digunakan untuk mendeteksi deforestasi dengan
tingkat akurasi yang cukup baik.
Penelitian pemodelan deforestasi pada skala global/regional yang luas
belum memperhatikan tipologi wilayah (Allen dan Barnes 1985; Rudel 1989;
Meyer dan Turner 1992; Pahari dan Murai 1999; Brun et al. 2015). Kebaharuan lain
dari disertasi ini adalah membangun model spasial deforestasi berdasarkan citra
satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 dengan memperhatikan
tipologi wilayah yang disusun berdasarkan karakteristik faktor sosial ekonomi yang
menjadi pemicu deforestasi. Hasil temuan penting pada penelitian ini menunjukan
faktor pemicu deforestasi di Kepulauan Sumatera bervariasi atau tidak sama pada
masing-masing tipologi wilayah yang terbentuk. Hal ini menunjukan penanganan
deforestasi pada skala global/regional tidak bisa disamaratakan untuk semua tempat.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun model spasial
deforestasi pada skala regional yang luas di Kepulauan Sumatera. Adapun tujuan
khusus penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan informasi perubahan penutupan lahan hutan menggunakan
citra satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 secara cepat
pada kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2012.
2. Membangun tipologi deforestasi berdasarkan driving factor sosial ekonomi
pada daerah administrasi kabupaten/kota di Kepulauan Sumatera serta
mendapatkan gambaran pola spasial deforestasi yang terjadi pada masingmasing tipologi yang terbentuk.
6
3. Membangun model spasial deforestasi berdasarkan faktor-faktor yang
menjadi pemicunya pada masing-masing tipologi deforestasi yang
terbentuk.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian pemodelan spasial
deforestasi dengan menggunakan pendekatan tipologi ini antara lain :
1. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan mengenai faktor-faktor
yang dapat menjadi pemicu terjadinya deforestasi pada masing-masing
tipologi sehingga dapat dilakukan upaya-upaya yang dapat meminimalisir
terjadinya deforestasi di masa yang akan datang.
2. Memberikan informasi pemodelan spasial deforestasi yang dapat digunakan
untuk memprediksi kemungkinan terjadinya deforestasi baik dari segi
kuantitas (luas) dan lokasi (spasial) di masa yang akan datang yang sangat
berguna dalam penyusunan baseline dalam mekanisme REDD dan mitigasi
deforestasi.
7
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Sumatera yang terletak pada kordinat
95,0o BT – 109.2o BT dan 6,0o LU – 6.2o LS Indonesia seperti ditunjukkan pada
Gambar 2. Secara administrasi Pulau Sumatera dibagi menjadi 10 provinsi dan 141
kabupaten/Kota dengan luas total Pulau Sumatera sebesar 47,322,331.3 ha.
Pemilihan lokasi penelitian di Pulau Sumatera didasari oleh fakta bahwa Pulau
Sumatera adalah pulau ke 3 terbesar di Indonesia dengan laju deforestasi yang
cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 – Juni 2015.
Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Geographic Information System –
Remote Sensing, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Gambar 2 Lokasi Penelitian
8
Iklim
Kepulauan Sumatera tergolong daerah tipe iklim A (sangat basah) yang
puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari.
Berdasarkan iklim ini, KepulauanSumatera memiliki hutan gambut yang umumnya
berada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, hutan hujan
tropis, dan hutan muson. Selain itu juga memiliki Hutan hujan tropis yang
umumnya menempati daerah tipe iklim A dan B pula. Jenis hutan ini menutupi
sebagian besar Pulau Sumatera. Hutan Mangrove berada di pantai timur Sumatera.
Dari pola hujan Sumatera Utara termasuk tipe hujan equatorial artinya puncak
hujan terjadi dua kali setahun pada saat posisi matahari berada di atas equator. Atau
tepatnya puncak curah hujan terjadi satu bulan setelah matahari tepat di atas
khatulistiwa: yaitu bulan April/Mei atau Oktober/November.
Oldeman menyebutkan, Sumatera Utara bagian timur (pantai timur dan
lereng timur) semakin menuju pantai atau hilir, curah hujan semakin rendah atau
tipe E2, sebaliknya semakin menuju ke lereng pegunungan atau hulu curah hujan
semakin tinggi (tipe C1, B1 atau A). Bahkan di Langkat dan Simalungun daerah
hulu merupakan tipe A, artinya bulan basah lebih dari 9 bulan atau hampir
sepanjang tahun terjadi hujan. Sebaliknya di bagian barat (pantai barat-lereng barat)
curah hujan semakin besar menuju pantai (hilir) dan semakin kecil menuju lereng
pegunungan atau hulu. Demikian juga di pantai barat tipe iklimnya A artinya
hampir sepanjang tahun hujan terjadi.
Curah hujan untuk bagian timur Sumatera Utara di hulu lebih besar dari di
hilir, sementara di bagian barat hilir lebih besar dari di hulu. Daerah Aliran Sungai
(DAS) dipantai timur umumnya panjang dan luas sehingga potensi air hujan yang
ditangkap cukup besar dan perlu pengelolaan yang serius supaya supaya tidak banjir
di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. DAS di bagian barat rata-rata
kecil dan tidak panjang, kecuali DAS Batang Natal. Perkembangan perkotaan
mengakibatkan curah hujan di lereng yang menghadap pantai dan perkotaan pun
akan bertambah besar, sebab angin ke arah lereng akan didorong angin laut yang
kuat, hal ini mengakibatkan hujan orografis akan semakin mudah terbentuk, maka
intensitas hujan pun akan semakin tinggi. Hujan orografis dapat terjadi dengan
mudah di Sumatera dikarenakan oleh adanya deretan Pegunungan Bukit Barisan,
dimana masa udara dipaksa naik oleh adanya pegunungan tersebut, sehingga
terjadilah hujan orografis tersebut.
Kondisi Biofisik
Kondisi atau jenis tanah yang terdapat di Kepulauan Sumatera antara lain
alluvial Hidromorfik Kuning, Organosol, Podsolik Merah Kuning, Podsolik Coklat,
Latosol, Litosol, Andosol, dan ada beberapa jenis tanah lainnya yang juga tersebar
di seluruh wilayah. Kepulauan Sumatera berada pada iklim tropis basah, dengan
kondisi tersebut menyebabkan curah hujan yang banyak. Sehingga hidrologi di sana
atau keadaan akuifer di Kepulauan Sumatera mudah ditemukan hampir disemua
wilayah Kepulauan Sumatera.
Berdasarkan data digital elevation model (DEM) yang bersumber dari Shuttle
Radar Topographic Mission (SRTM), informasi distribusi kelas kelerengan lahan
9
disajikan dalam Tabel 1, sedangkan distribusi kelas ketinggian tiap provinsi yang
ada di Kepulauan Sumatera disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 1 Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
No
Kelas Slope
Provinsi
1
Bengkulu
2
Jambi
3
Kepulauan
Bangka Belitung
4
Kepulauan Riau
5
Lampung
6
Nanggroe Aceh
Darussalam
7
Riau
8
Sumatera Barat
9
Sumatera
Selatan
10
Sumatera Utara
Total
Total
0-8%
8 - 15 %
15 - 25 %
25 - 40 %
> 40 %
606,218.7
469,575.0
420,568.7
370,481.2
113,225.0
1,980,068.7
3,324,050.0
482,012.5
483,062.5
490,481.2
126,731.2
4,906,337.5
1,575,793.7
53,831.2
24,743.7
20,800.0
2,900.0
1,678,068.7
552,281.2
96,250.0
65,850.0
55,937.5
13,825.0
784,143.7
2,383,762.5
381,137.5
323,737.5
239,887.5
56,156.2
3,384,681.2
1,605,500.0
556,337.5
749,656.2
1,749,831.2
990,856.2
5,652,181.2
8,019,362.5
493,000.0
206,537.5
181,025.0
42,931.2
8,942,856.2
1,033,050.0
493,793.7
1,071,812.5
1,199,406.2
397,293.7
4,195,356.2
7,179,293.7
614,562.5
394,918.7
413,081.2
119,468.7
8,721,325.0
3,141,231.2
1,507,131.2
935,450.0
1,021,375.0
472,125.0
7,077,312.5
29,420,543.7
5,147,631.2
4,676,337.5
5,742,306.2
2,335,512.5
47,322,331.2
Sumber :data olahan DEM Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
Tabel 2 Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
No
Total
Kelas Ketinggian (mdpl)
Provinsi
0 - 200
200 - 700
700 - 1200
1200 - 2000
> 2000
854,425.0
622,912.5
330,368.7
158,350.0
14,012.5
1,980,068.7
1
Bengkulu
2
3,711,437.5
533,131.2
328,087.5
312,562.5
21,118.8
4,906,337.5
3
Jambi
Kepulauan
Bangka Belitung
1,668,618.8
9,450.0
0
0
0
1,678,068.7
4
Kepulauan Riau
750,831.3
31,675.0
1,637.5
0
0
784,143.7
5
2,576,743.3
486,100.0
282,075.0
39,662.5
100.0
3,384,681.2
6
Lampung
Nanggroe Aceh
Darussalam
2,385,662.5
1,118,968.7
906,750.0
978,200.0
262,600.0
5,652,181.2
7
Riau
8,564,362.5
360,943.7
17,493.7
56.2
0
8,942,856.2
8
Sumatera Barat
1,579,906.3
1,477,056.2
746,675.0
359,718.7
32,000.0
4,195,356.2
9
Sumatera Selatan
7,362,968.8
716,400.0
392,400.0
222,600.0
26,956.2
8,721,325.0
10
Sumatera Utara
3,641,768.8
1,428,081.2
1,173,956.2
822,306.2
11,200.0
7,077,312.5
Total
33,096,725.0
6,784,718.7
4,179,443.7
2,893,456.2
367,987.5
47,322,331.2
Sumber :data olahan DEM Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
Pulau Sumatera didominasi oleh kelas lereng (62.17%) dan kelas lereng agak
curam, curam dan sangat curam mencapai (26.95%). Sebagian besar Pulau
Sumatera berada di bawah ketinggian 700 mdpl (84.28%) dan sisanya berada pada
10
ketinggian diatas 700 mdpl. Pegunungan Bukit Barisan dengan beberapa
puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut, merupakan barisan
gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari ujung utara ke arah
selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan pantai
yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang
luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat
Bangka dan Laut China Selatan.
Kondisi Sosial Ekonomi
Secara administratif Kepulauan Sumatera terbagi dalam 10 Provinsi yakni
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jambi, Riau Kepulauan, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan
Lampung serta 141 kabupaten/kota pada tahun 2012. Data penyebaran kepadatan
penduduk pada tiap provinsi disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rekapitulasi data kepadatan penduduk tahun 2000 – 2011 pada tiap
provinsi di Kepulauan Sumatera
Provinsi
Bengkulu
Jambi
Kepulauan Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Lampung
Nanggroe Aceh Darussalam
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Total
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
2000
2006
2012
542.0
624.5
763.4
241.8
268.1
342.2
499.0
623.9
855.7
128.0
213.3
213.3
590.1
638.9
818.2
93.8
238.3
246.3
157.5
154.5
201.2
629.5
809.0
874.9
547.9
750.5
859.3
1,425.0
1,642.0
1,728.2
4,854.5
5,962.9
6,902.6
Sumber : Badan Pusat Statistik tahun 2000, 2006, 2012
Sebaran kepadatan penduduk per provinsi di Pulau Sumatera tidak tersebar
secara merata. Provinsi yang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi pada tahun
2012 adalah Provinsi Sumatera Utara yang mencapai 1,728.2 jiwa/km2 dan yang
terendah adalah Provinsi Riau dengan kepadatan penduduknya sekitar 213.3
jiwa/km2 (Tabel 3). Kepadatan penduduk yang rendah memungkinkan adanya
eskpansi penggunaan lahan karena banyak lahan yang secara fisik belum dikelola.
Ekspansi penggunaan lahan dalam skala yang luas banyak terjadi pada pembukaan
hutan untuk areal perkebunan kelapa sawit. Penyebaran perkebunan kelapa sawit di
Kepulauan Sumatera terjadi merata di semua provinsi. Provinsi Riau, Sumatera
Utara dan Jambi merupakan provinsi-provinsi yang yang mempunyai luas
pe
PENDEKATAN TIPOLOGI DI KEPULAUAN SUMATERA
NURDIN SULISTIYONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemodelan Spasial
Deforestasi Menggunakan Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Nurdin Sulistiyono
E161100041
RINGKASAN
NURDIN SULISTIYONO. Pemodelan Spasial Deforestasi Menggunakan
Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera. Dibimbing oleh I NENGAH
SURATI JAYA, LILIK BUDI PRASETYO dan TATANG TIRYANA.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, masyarakat internasional menaruh
perhatian yang besar terhadap persoalan deforestasi. Pemantauan luas hutan
merupakan suatu hal yang penting dan diperlukan dalam skema REDD. Monitoring
diperlukan sebagai peringatan bahaya deforestasi. Monitoring penutupan
lahan/hutan dalam skala regional yang luas memerlukan waktu dan biaya yang
besar. Penggunaan citra satelit resolusi rendah seperti Terra MODIS MOD13Q1
merupakan salah satu solusi untuk melakukan pemantauan penutupan hutan dalam
level regional maupun nasional.
Tingginya tingkat deforestasi yang terjadi di Kepulauan Sumatera diduga
dipicu oleh berbagai faktor. Penelitian ini meneliti bagaimana perilaku deforestasi
terkait dengan tipologi daerah, serta bagaimana deforestasi sedang dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti fisik, biologi, sosial, ekonomi dan / atau budaya masyarakat
setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan model spasial
deforestasi berdasarkan faktor pemicu dalam setiap tipologi di Kepulauan
Sumatera. Kelas tipologi dikembangkan atas dasar faktor sosio-ekonomi
menggunakan ukuran jarak standar-euclidean dan keanggotaan setiap cluster
ditentukan dengan menggunakan metode tetangga terjauh. Metode regresi logistik
digunakan untuk memodelkan dan memperkirakan distribusi spasial deforestasi.
Studi ini menemukan bahwa tipologi deforestasi di Kepulauan Sumatera dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelas tipologi dengan tingkat laju peningkatan jumlah
keluarga pertanian sebagai faktor penentunya. Model spasial deforestasi pada
tipologi 1 dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu jumlah keluarga pertanian, elevasi, dan
jarak dari jalan; sementara pada tipologi 2 terdapat lima faktor dominan yang
mempengaruhi model deforestasi, yaitu, jumlah keluarga pertanian, kemiringan,
elevasi, jarak dari jalan dan jarak dari sungai.
Hasil pemantauan perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dalam kurun waktu tahun 2000- 2012, luas
penutupan hutan di Kepulauan Sumatera terus mengalami penurunan dengan cepat.
Hasil pemantauan penutupan hutan setelah dikurangi luas HTI diperkirakan pada
tahun 2000 seluas 12,150,500.0 ha (25.7%), kemudian menurun pada tahun 2006
menjadi 10,398,324.8 ha (22.0%) dan pada tahun 2012 terdeteksi seluas
9,960,893.3 ha (21.0%). Hasil penutupan lahan hutan yag dihasilkan pada
penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penutupan hutan oleh
Kementerian Kehutanan dengan selisih 9.5 – 19.3% lebih rendah. Berdasarkan
analisis post clasification comparison, laju deforestasi pada periode 2000 – 2006
sebesar 292,029.2 ha/tahun dan menurun pada periode tahun 2006 – 2012 sebesar
72,905.3 ha/tahun.
Hasil pengujian akurasi tipologi deforestasi terhadap pengelompokan daerah
administrasi kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Sumatera menunjukan bahwa
nilai overall accuracy terbaik dengan nilai akurasi sebesar 73.1% adalah
pengelompokan menjadi dua tipologi dengan satu peubah yakni pertambahan laju
jumlah keluarga pertanian sebagai variabel kunci. Besarnya nilai rata-rata nilai laju
deforestasi untuk tipologi 1 (laju deforestasi rendah) sebesar 1,156.5 ha/th dan
tipologi 2 (laju deforestasi tinggi) sebesar 3,968.8 ha/th.
Kondisi penutupan patch hutan yang terdeforestasi di tipologi 1 lebih
terfragmentasi dibandingkan dengan tipologi 2. Pola spasial patch hutan yang
terdeforestasi deforestasi pada kedua tipologi berdasarkan indeks clumpiness
menunjukan pola yang mengelompok. Namun demikan kondisi pengelompokan
penutupan hutan di tipologi 2 lebih besar dibandingkan pada tipologi 1. Hal ini
menunjukan deforestasi akibat pembukaan hutan untuk perkebunan yang terjadi di
tipologi 2 lebih banyak dilakukan oleh perkebunan besar, sebaliknya di tipologi 1
pembukaan hutan untuk perkebunan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dan
perusahaan perkebunan dalam skala kecil.
Hasil analisis regresi logistik diperoleh model spasial dari deforestasi di
tipologi 1 adalah Logit (deforestasi) = 1.355 + (0.012 * total keluarga pertanian) (0.08 * elevasi) - (0.019 * jarak dari jalan), sedangkan model spasial deforestasi
pada tipologi 2 adalah logit (deforestasi) = 1.714 + (0.007 * total keluarga
pertanian) - (0021 * kemiringan) - (0.051 * elevasi) - (0.038 jarak dari jalan) +
(0.039 * jarak dari sungai). Hasil uji validasi model deforestasi pada tahun 2000 2006 memiliki nilai akurasi keseluruhan sekitar 68.5% (tipologi 1) dan 74.5%
(tipologi 2), model deforestasi di tahun 2006 - 2012 memiliki nilai Overall
Accuracy sebesar 65.4% (tipologi 1) dan 72.2% (tipologi 2).
Urutan faktor pemicu deforestasi dimulai dari faktor pemicu yang
mempunyai kontribusi terbesar pada tipologi 1 berturut-turut adalah; ketinggian
tempat, jarak dari jalan, jumlah keluarga pertanian, sedangkan pada tipologi 2
peluang terjadinya deforestasi dipengaruhi oleh faktor pemicu deforestasi
ketinggian tempat, jarak dari jalan, slope, jarak dari sungai, dan jumlah keluarga
pertanian. Model spasial deforestasi tahun 2000 – 2006 yang dihasilkan cukup baik
digunakan untuk memprediksi peluang terjadinya deforestasi yang terjadi pada
tahun 2006 – 2012 dengan nilai overall accuracy sebesar 65.4% untuk tipologi 1
dan 72.2% untuk tipologi 2.
Kata kunci: model deforestasi, regresi logistik, tipologi, Kepulauan Sumatera
SUMMARY
NURDIN SULISTIYONO. Spatial Modeling of Deforestation Using Typology
Approach in Sumatra Islands. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA, LILIK
BUDI PRASETYO and TATANG TIRYANA.
In the last two decades, the international community has given great attention
to the issues of deforestation. Forest monitoring is an important part of REDD
scheme. Monitoring plays a role in the case of a warning for the danger of
deforestation. Monitoring of forest/land cover on a regional scale using field
measurement system may time consuming and costly. The use of low resolution
imageries Terra MODIS MOD13Q1 satellite data could be one of the solutions for
forest monitoring activities to provide forest cover information either at regional or
national level.
High rate deforestation occurred in Sumatra Islands had been allegedly
triggered by various factors. This study examined how the deforestation behaviour
was related to the area typology, as well as how the deforestation is being affected
by many factors such as physical, biology, social, economy and/or culture of the
local community. The objective of this study wasto formulate a spatial model of
deforestation based on triggered factors within each typology in Sumatra Islands.
The typology classes were developed on the basis of socio-economic factors using
the standardized-euclidean distance measure and the membership of each cluster
was determined using the furthest neighbor method. The logistic regression method
was used for modeling and estimating the spatial distribution of deforestation.The
study found that deforestation typology could be classified into two classes, referred
to as typology one and typology two using the rate of increasing farmers household
factor. The spatial deforestation model in typology one has been mainly affected by
three factors i.e. sum of household farmer, elevation, and distance from road ; while
in typology two, there are five dominant factors affecting the deforestation model,
i.e., sum of household farmer, slope, elevation, distance from road and distance
from river.
Result of land cover change using Terra MODIS (MOD13Q1) imageries
occurred in Sumatra between 2000 –2012 period, the coverage of forest area in the
Islands of Sumatra continues to decline rapidly. Forest area excluding timber estate
in 2000 was about at 12,150,500.0 ha (25.7%), then decreased in 2006 to
10,398,324.8 ha (22.0%) and by 2012 it was detected at 9,960,893.3 ha (21.0%).
The study shows that the deforestation rate in 2000 to 2006 was 292,029.2 ha per
year, while in 2006 to 2012 the deforestation rate decreased to 72,905.3 ha per year.
These results tend to be lower compared to the results of classification by the
Ministry of Forestry (MoF) by using Landsat imagery. The difference percentage
of MoF and MODIS classification was in the range of 9.5 – 19.3%.
Results of typological deforestation accuracy test on regional classificaion of
administrative regencies/cities in the Islands of Sumatra showed that the best
overall accuracy test with an accuracy value of 73.1% is the classification into two
typologies with one variable (increase rate of farming households) as a key variable.
The average value of deforestation rate for typology 1 (low deforestation rate) was
1,156.53 ha /yr and for typology 2 (high deforestation rate) was 3,968.81 ha /yr.
The selected typological deforestation was two-typology classification model with
the increase rate of farming households as a determining factor.
The condition of forest cover in the typology 1 more fragmented than the
typology 2. The spatial pattern of deforestation in the second typology based
clumpiness index showed clumped patterns. However, so the grouping condition of
forest cover in the typology of 2 greater than the typology 1. This shows the
deforestation due to clearing for plantations occur in the second typology is mostly
done by large estates, on the contrary in the typology 1 clearing for plantations is
mostly done by the community and small-scale plantations.
The results of logistic regression analysis obtained spatial model of
deforestation in typology one is Logit (deforestation) = 1.355 + (0.012*total of
farmer household) – (0.08*elevation) – (0.019*distance from road) and spatial
model of deforestation in typology two is logit (deforestation) = 1.714 +
(0.007*total of farmer household) – (0.021*slope) – (0.051*elevation) - (0.038
distance from road) + (0.039* distance from river). The result of validation test of
deforestation model in 2000 – 2006 has a value of overall accuracy about 68.5%
(typology one) and 74.5% (typology two), model of deforestation in 2006 – 2012
has value of overall accuracy about 65.4% (typology one) and 72.2% (typology
two).
The sequence starts from the drivers factors of deforestation in the typology
1 were altitude, distance from the road, the number of farm households. The
sequence starts from the driving factors of deforestation in the typology 2 were
influenced by factors of altitude, distance from the road, slope, distance from the
river, and the number of farm households. The spatial model of deforestation in
2000 - 2006 produced quite well used to predict the probability of deforestation that
occurred in the year 2006 - 2012 with a value of 65.4% overall accuracy for the
typology 1 and 72.2% for the typology 2.
Key words: deforestation modeling, logistic regression, typology, Sumatra Islands
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMODELAN SPASIAL DEFORESTASI MENGGUNAKAN
PENDEKATAN TIPOLOGI DI KEPULAUAN SUMATERA
NURDIN SULISTIYONO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir M Buce Saleh, MS
(Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)
Dr Samsuri, S Hut, MSi
(Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU)
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Iwan Setiawan, MSc
(Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan Bogor)
Dr Samsuri, S Hut, MSi
(Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi dengan judul “Model Spasial Deforestasi Menggunakan
Pendekatan Tipologi di Kepulauan Sumatera” dapat diselesaikan. Disertasi ini
diajukan sebagai salah syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Doktor
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan disertasi dibiayai ini oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
melalui beasiswa BPPS serta bantuan penelitian Rektor Universitas Sumatera Utara.
Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada International Journal of Sciences:
Basic and Applied Research (IJSBAR) dengan judul Detection of Deforestation
Using Low Resolution Satellite Images in the Islands of Sumatra 2000-2012
Volume 24 (1): 350-366 tahun 2015 dan Journal of Tropical Forest Management
dengan judul Spatial Model of Deforestation in Sumatran Islands using typological
approach Volume 21 (2): 99-109 tahun 2015.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1.
Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
dengan penuh kesabaran memberikan arahan, motivasi dan pembelajaran yang
diberikan kepada penulis secara langsung maupun tidak langsung selama
menempuh pendidikan
2. Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc yang dengan kerelaan dan kesabarannya
menjadi mitra diskusi untuk membuka cakrawala berpikir lebih komprehensif
khususnya dalam permodelan spasial.
3. Dr Tatang Tiryana, S Hut, MSc yang memberikan arahan cara menulis ilmiah
yang baik dan benar serta pengelolaan sumberdaya hutan.
4. Dr Ir M Buce Saleh MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas
koreksi, komentar dan sarannya serta pencerahan mengenai pemodalan spasial
sehingga disertasi ini menjadi lebih baik.
5. Dr Samsuri, S Hut, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan
sidang promosi atas masukan, koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan
disertasi menjadi lebih baik.
6. Dr Ir Iwan Setiawan, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang promosi atas
masukan, koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan disertasi menjadi
lebih baik.
7. Seluruh penyelenggara dan pelaksana Sekolah Pascasarjana IPB, terutama
pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang memberikan pelayanan
terbaiknya selama studi terlebih lagi selama masa penyelesaian studi.
8. Rektor Universitas Sumatera Utara yang memberikan bantuan biaya studi dan
biaya penelitian.
9. Segenap warga laboratorium Remote Sensing dan GIS (Ruang Alos) yang
penuh kekeluargaan dan semangat saling membantu sehingga menciptakan
suasana di laboratorium yang nyaman dan kondusif.
10. Bapak Yudi Setiawan dan Ida Bagus Ketut Wedastra yang telah dengan sabar
melayani diskusi penelitian khususnya mengenai MODIS.
11. Teman-teman IPH atas persahabatan dan kerjasamanya selama masa studi dan
setelahnya.
12. Istri dan anak-anak tercinta, kedua orang tua penulis yang selalu memberikan
semangat dan doa sehingga penulis mampu untuk menjalani pendidikan ini
dengan sabar.
13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi
ini dapat diselesaikan.
Bogor, Agustus 2015
Nurdin Sulistiyono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Novelty Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
5
5
6
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Iklim
Kondisi Biofisik
Kondisi Sosial Ekonomi
Fungsi Kawasan
7
7
8
8
10
12
DETEKSI DEFORESTASI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT
RESOLUSI SPASIAL RENDAH
Pendahuluan
Metodologi
Hasil Dan Pembahasan
Simpulan
14
14
15
21
29
TIPOLOGI DAN POLA SPASIAL DEFORESTASI
Pendahuluan
Metodologi
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
30
30
31
33
41
MODEL SPASIAL DEFORESTASI
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
42
42
43
52
62
PEMBAHASAN UMUM
64
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
70
70
70
DAFTAR ISI (Lanjutan)
DAFTAR PUSTAKA
71
LAMPIRAN
78
RIWAYAT HIDUP
96
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan
Sumatera .............................................................................................. 9
Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera .............. 9
Rekapitulasi data kepadatan penduduk tahun 2000 – 2011
pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ........................................ 10
Rekapitulasi data jumlah keluarga pertanian tahun 2003 - 2011
pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ........................................ 11
Rekapitulasi data jumlah penduduk miskin tahun 2002 - 2012
pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera ........................................ 11
Rekapitulasi data PDRB tahun 2003 - 2011 pada tiap provinsi di
Kepulauan Sumatera.......................................................................... 12
Data kawasan hutan pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera....... 13
Data penyebaran HTI pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera .... 13
Jumlah citra satelit Terra MODIS MOD13Q1 yang digunakan
untuk mendeteksi deforestasi di Kepulauan Sumatera ...................... 15
Informasi yang terkandung dalam band pixel reliability citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 ....................................................... 17
Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2000 ...................................................................... 21
Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2006 ...................................................................... 21
Matrik keterpisahan klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2012 ...................................................................... 22
Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2000 ...................................................................... 22
Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2006 ...................................................................... 22
Matrik kesalahan pada klasifikasi terbimbing citra Terra MODIS
MOD13Q1 tahun 2012 ...................................................................... 23
Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi
penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2000 .............. 24
Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi
penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2006 .............. 24
Hasil uji validasi klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra
satelit Terra MODIS MOD13Q1 dibandingkan dengan klasifikasi
penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2012 .............. 24
Perbandingan luas penutupan lahan hutan hasil klasifikasi
menggunakan Satelit Terra MODIS MOD13Q1 dengan data
penutupan lahan Kementerian Kehutanan menggunakan citra
satelit landsat ..................................................................................... 25
Rekapitulasi luas hutan pada masing-masing Provinsi
di Kepulauan Sumatera ..................................................................... 26
Rekapitulasi luas hutan per fungsi kawasan di Kepulauan
Sumatera ............................................................................................ 27
23 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokkan menjadi 2
tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan
Sumatera berdasarkan analisis klaster ............................................... 34
24 Rekapitulasi hasil pengujian pengelompokan menjadi 3
tipologi daerah administrasi kabupaten di Kepulauan
Sumatera berdasarkan analisis klaster ............................................... 34
25 Daerah administrasi kabupaten yang tergolong
dalam masing-masing model tipologi terpilih ................................... 35
26 Data yang digunakan untuk membangun model
spasial deforestasi .............................................................................. 44
27 Hasil pemilihan faktor pemicu pada model deforestasi tipologi 1 .... 55
28 Hasil pemilihan faktor pemicu pada model deforestasi tipologi 2 .... 56
29 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu
deforestasi di Tipologi 1 .................................................................... 67
30 Nilai peluang deforestasi pada berbagai nilai faktor pemicu
deforestasi di Tipologi 2 .................................................................... 67
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian ............................................................ 4
2 Lokasi Penelitian.................................................................................. 7
3 Grid horizontal dan vertical akusisicitra MODIS
(Sumber : https://lpdaac.usgs.gov)..................................................... 16
4 Proses penggabungan citra Terra MODIS MOD13Q1
yang telah dimasking ......................................................................... 18
5 Proses ground truth menggunakan google earth ............................... 19
6 Hasil mosaik citra satelit MODIS MOD13Q1 yang telah
dimasking (a, b, c), hasil klasifikasi terbimbing citra
satelit MODIS MOD13Q1 (d, e, f) .................................................... 25
7 Deforestasi aktual pada kawasan Hutan Produksi tahun
2000 – 2006 ....................................................................................... 28
8 Deforestasi aktual pada kawasan Hutan Produksi tahun
2006 – 2012 ....................................................................................... 28
9 Pembagian tipologi deforestasi administrasi kabupaten/kota
di Kepulauan Sumatera ...................................................................... 36
10 Luas penutupan kelas hutan pada masing-masing tipologi
pada tahun 2000, 2006 dan 2012 ....................................................... 37
11 Distribusi patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 1,
a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012 .................................... 38
12 Distribusi patch hutan yang terdeforestasi pada tipologi 2,
a) periode 2000-2006, b) periode 2006-2012 .................................... 38
13 Dinamika temporal landscape metric patch hutan yang
terdeforestasi pada masing-masing tipologi ...................................... 39
14 Tahapan pembentukan model deforestasi menggunakan
model regresi logistik......................................................................... 52
15 Faktor pemicu deforestasi: a) kepadatan penduduk (X1), b) jumlah
keluarga pertanian (X2), c) jumlah penduduk miskin (X3), d) PDRB
(X4), e) slope (X5), f) elevasi (X6), g) jarak dari sungai (X7),
h) jarak dari pusat pemukiman (X8), i) jarak dari jalan (X9) ............. 53
16 Penempatan piksel sampel penyusun model spasial
deforestasi tahun 2000 – 2006 pada tipologi 1 .................................. 54
17 Penempatan piksel sampel penyusun model spasial
deforestasi tahun 2000 – 2006 pada tipologi 2 .................................. 54
18 Hubungan faktor pemicu deforestasi dengan peluang
deforestasi pada tipologi 1 ................................................................. 56
19 Hubungan faktor pemicu deforestasi dengan peluang
deforestasi pada tipologi 2 ................................................................. 58
20 a) Sebaran nilai peluang deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 1
berdasarkan model regresi logistik, b) Model prediksi deforestasi
tahun 2006 – 2012 tipologi 1 berdasarkan model regresi logistik .... 60
21 a) Sebaran nilai peluang deforestasi tahun 2006 – 2012 tipologi 2
berdasarkan model regresi logistik, b) Model prediksi deforestasi
tahun 2006 – 2012 tipologi 2 berdasarkan model regresi logistik .... 61
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Output SPSS dendogram menggunakan metode furthest
neighbor clustering ............................................................................ 78
Hasil uji korelasi antar peubah x yang menjadi driving factor
deforestasi tipologi 1 ......................................................................... 80
Hasil uji korelasi antar peubah x yang menjadi driving factor
deforestasi tipologi 2 ......................................................................... 81
Output spss regresi logistik biner model spasial deforestasi
tipologi 1 dengan nilai terstandarisasi ............................................... 82
Output spss regresi logistik biner model spasial deforestasi
tipologi 2 dengan nilai terstandarisasi ............................................... 89
Hasil uji validasi model spasial deforestasi ....................................... 95
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan tropika merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Melalui fungsinya sebagai penyedia jasa ekositem, hutan tropika di
Indonesia diyakini mempunyai berbagai macam manfaat dan kegunaan diantaranya
sebagai habitat yang paling sesuai bagi berbagai macam jenis satwa dan sebagai
tempat penyimpan cadangan karbon. Melalui proses penyimpanan karbon oleh
pohon-pohon yang ada di hutan, proses pemanasan global dapat ditekan. Hutan
tropika mempunyai peranan penting dalam isu perubahan iklim dan
keanekaragaman hayati. Isu perubahan iklim menjadi perhatian yang serius
mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya, perubahan iklim telah mengancam
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia sebagai akibat dari
akumulasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir (Heal dan Kriström 2002).
Hutan tropika di Kepulauan Sumatera memiliki manfaat yang sangat besar,
baik manfaat sosial, ekonomi, budaya, politik maupun ekologi. Sebagai gambaran
besarnya manfaat hutan yang berada di Kepulauan Sumatera, hasil penelitian van
Beukering et al. (2003) menyebutkan besarnya manfaat nilai ekonomi total dari
Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL) sebesar US$ 316 juta/tahun, nilai ini
merupakan total dari manfaat ekonomi suplai air, perikanan, pencegah banjir,
pertanian, energi, ekoturisme, keanekaragaman hayati, penyimpan karbon,
pencegahan kebakaran hutan, hasil hutan non kayu, serta hasil hutan kayu. TNGL
hanya merupakan salah satu dari 11 taman nasional yang ada di Kepulauan
Sumatera. Hutan di Kepulauan Sumatera juga merupakan habitat bagi lebih dari
10,000 spesies tanaman, 201 spesies mamalia, dan 580 spesies avifauna (Whitten
et al. 2000).
Hutan di Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1.7 % pada kurun waktu
1990-2000, kemudian laju deforestasi mengalami penurunan menjadi 0.5 % dalam
kurun waktu 2000-2010. Angka laju deforestasi Indonesia lebih tinggi dibanding
dengan rata-rata deforestasi negara-negara Asia Tenggara yang berada pada angka
1 % periode 1990-2000 dan 0.4% dalam kurun waktu 2000-2010 (Sumargo et al.
2011). Deforestasi yang terus berlangsung di Indonesia saat ini disebabkan oleh
banyak faktor. Penebangan liar (illegal logging), pembukaan hutan untuk
perkebunan serta kebakaran hutan merupakan penyebab utama kerusakan hutan di
Indonesia (Sunderlin dan Resosudarmo 1997; Margono et al. 2012).
Keberadaan hutan di Kepulauan Sumatera terus mengalami tekanan, seiring
perkembangan waktu keberadaan hutan tropika terus mengalami penurunan dalam
hal kuantitas (luas) maupun kualitasnya melalui proses deforestasi dan degradasi
hutan. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan menyebutkan luas
penutupan hutan pada tahun 2011 sebesar 14.84 juta ha (Kementerian Kehutanan
2012), kemudian menurun pada tahun 2012 seluas 13.97 juta ha (Kementerian
Kehutanan 2014). Sementara itu, hasil penelitian Margono et al. (2012)
menyebutkan bahwa hutan Sumatera berkurang 72% pada periode 1990-2000 dan
berkurang sebesar 28 % pada periode 2000-2010.
2
Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan dari hutan ke non hutan secara
permanen. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) deforestasi adalah
konversi hutan menjadi penggunaan lain atau pengurangan berjangka panjang atas
penutupan tajuk di bawah 10 persen. Data yang dikeluarkan oleh Forest Watch
Indonesia (FWI) menyebutkan laju deforestasi di Pulau Sumatera sebesar
412,421.9 ha/th (Sumargo et al. 2011).
Deforestasi dalam skala besar di daerah tropis yang disebabkan oleh kegiatan
penyediaan lahan-lahan untuk pertanian/perkebunan merupakan salah satu contoh
dari perubahan penggunaan lahan yang berdampak besar terhadap keanekaragaman
hayati, tanah, degradasi dan kemampuan bumi untuk mendukung kebutuhan
manusia (Lambin et al. 2003). Dampak dari deforestasi dan degradasi hutan tropika
berupa kerusakan hutan telah menjadi isu penting pada tingkat global, hal ini
dikarenakan besarnya dampak secara kumulatif terhadap keanekaragaman hayati,
produktivitas tanah serta iklim global (Geist dan Lambin 2001; Laurance et al.
2014).
Deforestasi memicu terjadinya perubahan iklim global karena menurunnya
daya serap hutan terhadap emisi karbon. Besarnya kandungan karbon yang tidak
terserap menimbulkan kenaikan temperatur dan pergeseran musim. Salah satu
dampaknya adalah kebakaran hutan dan naiknya permukaan air laut. Deforestasi
juga menjadi salah satu pemicu peningkatan temperatur rata-rata tahunan Indonesia
yang diperkirakan sebesar 0.3o C sejak tahun 1990 yang terjadi konsisten sepanjang
tahun pada semua musim (Boer dan Faqih 2004).
Disisi lain dalam skala lanskap, proses deforestasi seringkali diiringi dengan
proses fragmentasi. Fragmentasi suatu lanskap dicirikan oleh jumlah dan ukuran
serta distribusi bagian-bagian dalam lanskap tersebut. Semakin besar jumlah patch,
dan semakin kecil ukurannya dan makin tersebar di dalam suatu lanskap, maka
lanskap tersebut semakin terfragmentasi (Rutledge 2003). Fragmentasi akan
membagi suatu lanskap/ekosistem ke dalam bagian-bagian kecil patch sebagai
akibat dari kegiatan manusia, seperti pembangunan lahan pertanian, pemukiman
dan industri. Jika didifinisikan, fragmentasi dalam ekosistem adalah: (1)
meningkanya jumlah patch; (2) menurunnya ukuran rata-rata patch dan (3)
meningkatnya panjang total edge, dimana edge adalah perbatasan antara dua patch
yang berbeda kelas.
Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh deforestasi, maka
berbagai upaya untuk mengurangi dampak deforestasi dan degradasi berbagai telah
dilakukan oleh negara-negara di dunia salah satunya melalui program REDD.
Program REDD pada dasarnya ditujukan untuk memperlambat laju deforestasi dan
degradasi hutan dengan memberikan kredit karbon. Dana yang diberikan digunakan
untuk kegiatan konservasi karbon, yang berdampak untuk memperlambat laju
deforestasi degradasi hutan (CIFOR 2009). Dalam perkembangannya melalui
mekanisme REDD+ aspek konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan,
serta pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan juga bisa
dimasukan sebagai salah satu mekanisme yang dapat diberikan insentif. Hal
penting yang harus diketahui dalam mekanisme REDD+ ini adalah informasi
besarnya perubahan penutupan dan penggunaan lahan yang telah terjadi.
Deforestasi merupakan bagian dari mekanisme perubahan penutupan lahan.
Kejadian deforestasi di berbagai tempat di dunia disebabkan oleh faktorfaktor yang sangat beragam. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan berbagai
3
karakteristik ekosistem biofisik hutannya, serta kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya yang berbeda-beda juga menyebabkan faktor pendorong terjadinya
deforestasi menjadi beragam pada setiap daerah. Geist dan Lambin (2001) telah
melakukan studi tentang deforestasi yang terjadi di hutan tropis termasuk Indonesia.
Hasil studi ini menemukan bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya
deforestasi pada hutan tropis adalah: perluasan lahan untuk pertanian, penebangan
kayu dan pembangunan infrastruktur. Sedangkan faktor yang melandasinya adalah:
faktor ekonomi, institusi dan kebijakan, teknologi, sosial budaya, dinamika
pertumbuhan penduduk dan faktor lain seperti: karakteristik lahan, sifat-sifat
biofisik tanaman/lahan dan gejolak sosial.
Berdasarkan uraian di atas, pemodelan spasial deforestasi pada skala regional
(Kepulauan Sumatera) berdasarkan faktor-faktor pendorong dengan
mengintegrasikan model statistik, sistem informasi geografis serta penginderaan
jarak jauh melalui pemodelan spasial deforestasi menjadi penting untuk dilakukan.
Pemodelan spasial ini akan berguna dalam hal menyediakan informasi bagi
pengambil kebijakan yang berkaitan dengan aspek spasial di Kepulauan Sumatera.
Perumusan Masalah
Penelitian-penelitian yang dilakukan Allen dan Barnes (1985); Meyer dan
Turner (1992); Pahari dan Murai (1999) menyebutkan perubahan penggunaan lahan
termasuk deforestasi pada skala global disebabkan oleh permasalahan pertambahan
penduduk. Hasil penelitian Rudel (1989) terhadap 36 negara yang memiliki hutan
tropis, menyebutkan faktor pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang
memainkan peranan penting terhadap penyebab terjadinya deforestasi. Penelitian
kuantitatif yang menyebutkan faktor umum seperti kemakmuran dan pertumbuhan
populasi penduduk sebagai penyebab deforestasi dinilai telah mengabaikan faktor
spesifik seperti faktor biofisik, kedekatan (proximity) dan faktor sosial ekonomi
lainnya (Rudel 2007). Kebijakan yang dihasilkan dari penyederhanaan
permasalahan penyebab deforestasi dengan menganggap faktor pemicu deforestasi
sama pada setiap daerah dinilai kurang tepat.
Indonesia adalah negara dengan karakteristik lanskap hutan yang sangat
beragam. Karakteristik berbagai tipe lanskap hutan di Indonesia tidak semua sama,
masing-masing memiliki sifat yang spesifik dan mempunyai permasalahan yang
berbeda-beda. Hal ini juga terjadi di masing-masing daerah administrasi
kabupaten/kota di Kepulauan Sumatera, dimana faktor pemicu (driving force)
terjadinya deforestasi pada masing-masing daerah tersebut berbeda-beda.
Pengelompokan daerah-daerah administrasi berdasarkan faktor-faktor dominan
yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi menjadi penting untuk dilakukan.
Pengelompokan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengelompokan daerah-daerah
administrasi dalam hal potensi peluang terjadinya deforestasi.
Identifikasi faktor pemicu deforestasi diantaranya dapat dilakukan dengan
melakukan penelitian pemodelan spasial deforestasi. Beberapa penelitian mengenai
model spasial deforestasi pernah dilakukan pada beberapa tempat di Kepulauan
Sumatera diantaranya Melati (2012) di Provinsi Riau. Mulyanto dan Jaya (2004) di
HPH PT. Duta Maju Timber Provinsi Sumatera Barat, serta Linkie et al. (2004) di
Lembah Tapan, Provinsi Jambi. Sementara itu Brun et al. (2015) memodelkan
4
deforestasi dalam cakupan yang lebih luas yakni negara Indonesia, termasuk
Sumatera di dalamnya. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut faktor pemicu
yang menjadi penyebab deforestasi di berbagai tempat di Kepulauan Sumatera
berbeda-beda.
Dilain pihak, dalam strategi penyusunan baseline dalam mekanisme REDD+,
pengetahuan akan model spasial deforestasi menjadi penting untuk diketahui.
Model spasial deforestasi ini nantinya dapat digunakan untuk memprediksi lokasi
serta besarnya deforestasi dimasa yang datang. Fenomena perubahan
penutup/penggunaan lahan pada dasarnya merupakan fenomena yang dapat dikaji
dengan pendekatan spasial.
Kepulauan Sumatera memiliki luas wilayah 47,322,331.3 ha dan merupakan
salah satu pulau besar yang ada di Indonesia. Dengan cakupan luas wilayah yang
besar perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk memantau dinamika penutupan
hutan yang terjadi pada berbagai waktu. Monitoring ini diperlukan untuk
mengetahui laju deforestasi dan lokasi dimana terjadinya deforestasi.
Verhagen (2007) mengemukakan bahwa pemodelan penggunaan lahan
menggunakan pendekatan regresi logistik telah menjadi salah satu pendekatan yang
paling sering digunakan selama dua dekade terakhir. Penelitian pemodelan
perubahan penggunaan lahan menggunakan regresi logistik telah banyak dilakukan
di berbagai tempat di dunia. Deforestasi sebagai bagian dari model perubahan
penggunaan lahan juga dapat dimodelkan menggunakan pendekatan ini. Dalam
penelitian ini pemodelan deforestasi dilakukan berdasarkan faktor-faktor pemicu
deforestasi pada masing-masing tipologi deforestasi yang terbentuk.
Gambar 1 berikut ini menggambarkan kerangka pemikiran yang dipakai pada
penelitian ini.
Pemicu terjadinya
deforestasi
yang berbeda
Kondisi Biofisik dan
sosial ekonomi yang
berbeda
Pengelompokan Daerah
Adiministrasi berdasarkan
Faktor sosial ekonomi dominan
pemicu terjadinya deforestasi
Daerah yang mempunyai
potensi laju deforestasi yang
tinggi
Daerah yang mempunyai
potensi deforestasi yang
rendah
Model
Deforestasi
Mitigasi deforestasi
Penyusunan baseline
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Driving
Forcedeforestasi
Faktor Biofisik
Faktor Sosial
Ekonomi
5
Perumusan masalah penelitian berdasarkan uraian tersebut sebelumnya
disusun dalam bentuk pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian yang muncul
dalam penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimana mengatasi permasalahan ketersediaan data dan informasi
penutupan lahan hutan secara cepat dalam cakupan wilayah yang luas
seperti Kepulauan Sumatera?
2. Bagaimana tipologi dan pola spasial deforestasi yang terjadi di Kepulauan
Sumatera?
3. Bagaimana model spasial deforestasi dengan menggunakan pendekatan
tipologi serta faktor-faktor apa yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi
di masing-masing tipologi yang terbentuk?
Novelty Penelitian
Penelitian deteksi deforestasi menggunakan data citra satelit resolusi spasial
rendah Terra MODIS MOD13Q1 pada umumnya memanfaatkan data kanal
Enhanced Vegetation Index (EVI) dan kanal Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI) (Lunetta et al. 2006; Clark et al. 2010; Spruce et al. 2011; Setiawan
dan Yoshino 2013; Setiawan et al. 2015). Hasil penelitian yang disajikan pada
disertasi ini menunjukkan bahwa penggunaan metode sederhana dengan
memanfaatkan kanal pixel reliability dan vi quality sebagai kanal yang memberikan
informasi kualitas data mampu digunakan untuk mendeteksi deforestasi dengan
tingkat akurasi yang cukup baik.
Penelitian pemodelan deforestasi pada skala global/regional yang luas
belum memperhatikan tipologi wilayah (Allen dan Barnes 1985; Rudel 1989;
Meyer dan Turner 1992; Pahari dan Murai 1999; Brun et al. 2015). Kebaharuan lain
dari disertasi ini adalah membangun model spasial deforestasi berdasarkan citra
satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 dengan memperhatikan
tipologi wilayah yang disusun berdasarkan karakteristik faktor sosial ekonomi yang
menjadi pemicu deforestasi. Hasil temuan penting pada penelitian ini menunjukan
faktor pemicu deforestasi di Kepulauan Sumatera bervariasi atau tidak sama pada
masing-masing tipologi wilayah yang terbentuk. Hal ini menunjukan penanganan
deforestasi pada skala global/regional tidak bisa disamaratakan untuk semua tempat.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun model spasial
deforestasi pada skala regional yang luas di Kepulauan Sumatera. Adapun tujuan
khusus penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan informasi perubahan penutupan lahan hutan menggunakan
citra satelit resolusi spasial rendah Terra MODIS MOD13Q1 secara cepat
pada kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2012.
2. Membangun tipologi deforestasi berdasarkan driving factor sosial ekonomi
pada daerah administrasi kabupaten/kota di Kepulauan Sumatera serta
mendapatkan gambaran pola spasial deforestasi yang terjadi pada masingmasing tipologi yang terbentuk.
6
3. Membangun model spasial deforestasi berdasarkan faktor-faktor yang
menjadi pemicunya pada masing-masing tipologi deforestasi yang
terbentuk.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian pemodelan spasial
deforestasi dengan menggunakan pendekatan tipologi ini antara lain :
1. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan mengenai faktor-faktor
yang dapat menjadi pemicu terjadinya deforestasi pada masing-masing
tipologi sehingga dapat dilakukan upaya-upaya yang dapat meminimalisir
terjadinya deforestasi di masa yang akan datang.
2. Memberikan informasi pemodelan spasial deforestasi yang dapat digunakan
untuk memprediksi kemungkinan terjadinya deforestasi baik dari segi
kuantitas (luas) dan lokasi (spasial) di masa yang akan datang yang sangat
berguna dalam penyusunan baseline dalam mekanisme REDD dan mitigasi
deforestasi.
7
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Sumatera yang terletak pada kordinat
95,0o BT – 109.2o BT dan 6,0o LU – 6.2o LS Indonesia seperti ditunjukkan pada
Gambar 2. Secara administrasi Pulau Sumatera dibagi menjadi 10 provinsi dan 141
kabupaten/Kota dengan luas total Pulau Sumatera sebesar 47,322,331.3 ha.
Pemilihan lokasi penelitian di Pulau Sumatera didasari oleh fakta bahwa Pulau
Sumatera adalah pulau ke 3 terbesar di Indonesia dengan laju deforestasi yang
cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 – Juni 2015.
Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Geographic Information System –
Remote Sensing, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Gambar 2 Lokasi Penelitian
8
Iklim
Kepulauan Sumatera tergolong daerah tipe iklim A (sangat basah) yang
puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari.
Berdasarkan iklim ini, KepulauanSumatera memiliki hutan gambut yang umumnya
berada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, hutan hujan
tropis, dan hutan muson. Selain itu juga memiliki Hutan hujan tropis yang
umumnya menempati daerah tipe iklim A dan B pula. Jenis hutan ini menutupi
sebagian besar Pulau Sumatera. Hutan Mangrove berada di pantai timur Sumatera.
Dari pola hujan Sumatera Utara termasuk tipe hujan equatorial artinya puncak
hujan terjadi dua kali setahun pada saat posisi matahari berada di atas equator. Atau
tepatnya puncak curah hujan terjadi satu bulan setelah matahari tepat di atas
khatulistiwa: yaitu bulan April/Mei atau Oktober/November.
Oldeman menyebutkan, Sumatera Utara bagian timur (pantai timur dan
lereng timur) semakin menuju pantai atau hilir, curah hujan semakin rendah atau
tipe E2, sebaliknya semakin menuju ke lereng pegunungan atau hulu curah hujan
semakin tinggi (tipe C1, B1 atau A). Bahkan di Langkat dan Simalungun daerah
hulu merupakan tipe A, artinya bulan basah lebih dari 9 bulan atau hampir
sepanjang tahun terjadi hujan. Sebaliknya di bagian barat (pantai barat-lereng barat)
curah hujan semakin besar menuju pantai (hilir) dan semakin kecil menuju lereng
pegunungan atau hulu. Demikian juga di pantai barat tipe iklimnya A artinya
hampir sepanjang tahun hujan terjadi.
Curah hujan untuk bagian timur Sumatera Utara di hulu lebih besar dari di
hilir, sementara di bagian barat hilir lebih besar dari di hulu. Daerah Aliran Sungai
(DAS) dipantai timur umumnya panjang dan luas sehingga potensi air hujan yang
ditangkap cukup besar dan perlu pengelolaan yang serius supaya supaya tidak banjir
di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. DAS di bagian barat rata-rata
kecil dan tidak panjang, kecuali DAS Batang Natal. Perkembangan perkotaan
mengakibatkan curah hujan di lereng yang menghadap pantai dan perkotaan pun
akan bertambah besar, sebab angin ke arah lereng akan didorong angin laut yang
kuat, hal ini mengakibatkan hujan orografis akan semakin mudah terbentuk, maka
intensitas hujan pun akan semakin tinggi. Hujan orografis dapat terjadi dengan
mudah di Sumatera dikarenakan oleh adanya deretan Pegunungan Bukit Barisan,
dimana masa udara dipaksa naik oleh adanya pegunungan tersebut, sehingga
terjadilah hujan orografis tersebut.
Kondisi Biofisik
Kondisi atau jenis tanah yang terdapat di Kepulauan Sumatera antara lain
alluvial Hidromorfik Kuning, Organosol, Podsolik Merah Kuning, Podsolik Coklat,
Latosol, Litosol, Andosol, dan ada beberapa jenis tanah lainnya yang juga tersebar
di seluruh wilayah. Kepulauan Sumatera berada pada iklim tropis basah, dengan
kondisi tersebut menyebabkan curah hujan yang banyak. Sehingga hidrologi di sana
atau keadaan akuifer di Kepulauan Sumatera mudah ditemukan hampir disemua
wilayah Kepulauan Sumatera.
Berdasarkan data digital elevation model (DEM) yang bersumber dari Shuttle
Radar Topographic Mission (SRTM), informasi distribusi kelas kelerengan lahan
9
disajikan dalam Tabel 1, sedangkan distribusi kelas ketinggian tiap provinsi yang
ada di Kepulauan Sumatera disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 1 Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
No
Kelas Slope
Provinsi
1
Bengkulu
2
Jambi
3
Kepulauan
Bangka Belitung
4
Kepulauan Riau
5
Lampung
6
Nanggroe Aceh
Darussalam
7
Riau
8
Sumatera Barat
9
Sumatera
Selatan
10
Sumatera Utara
Total
Total
0-8%
8 - 15 %
15 - 25 %
25 - 40 %
> 40 %
606,218.7
469,575.0
420,568.7
370,481.2
113,225.0
1,980,068.7
3,324,050.0
482,012.5
483,062.5
490,481.2
126,731.2
4,906,337.5
1,575,793.7
53,831.2
24,743.7
20,800.0
2,900.0
1,678,068.7
552,281.2
96,250.0
65,850.0
55,937.5
13,825.0
784,143.7
2,383,762.5
381,137.5
323,737.5
239,887.5
56,156.2
3,384,681.2
1,605,500.0
556,337.5
749,656.2
1,749,831.2
990,856.2
5,652,181.2
8,019,362.5
493,000.0
206,537.5
181,025.0
42,931.2
8,942,856.2
1,033,050.0
493,793.7
1,071,812.5
1,199,406.2
397,293.7
4,195,356.2
7,179,293.7
614,562.5
394,918.7
413,081.2
119,468.7
8,721,325.0
3,141,231.2
1,507,131.2
935,450.0
1,021,375.0
472,125.0
7,077,312.5
29,420,543.7
5,147,631.2
4,676,337.5
5,742,306.2
2,335,512.5
47,322,331.2
Sumber :data olahan DEM Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
Tabel 2 Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
No
Total
Kelas Ketinggian (mdpl)
Provinsi
0 - 200
200 - 700
700 - 1200
1200 - 2000
> 2000
854,425.0
622,912.5
330,368.7
158,350.0
14,012.5
1,980,068.7
1
Bengkulu
2
3,711,437.5
533,131.2
328,087.5
312,562.5
21,118.8
4,906,337.5
3
Jambi
Kepulauan
Bangka Belitung
1,668,618.8
9,450.0
0
0
0
1,678,068.7
4
Kepulauan Riau
750,831.3
31,675.0
1,637.5
0
0
784,143.7
5
2,576,743.3
486,100.0
282,075.0
39,662.5
100.0
3,384,681.2
6
Lampung
Nanggroe Aceh
Darussalam
2,385,662.5
1,118,968.7
906,750.0
978,200.0
262,600.0
5,652,181.2
7
Riau
8,564,362.5
360,943.7
17,493.7
56.2
0
8,942,856.2
8
Sumatera Barat
1,579,906.3
1,477,056.2
746,675.0
359,718.7
32,000.0
4,195,356.2
9
Sumatera Selatan
7,362,968.8
716,400.0
392,400.0
222,600.0
26,956.2
8,721,325.0
10
Sumatera Utara
3,641,768.8
1,428,081.2
1,173,956.2
822,306.2
11,200.0
7,077,312.5
Total
33,096,725.0
6,784,718.7
4,179,443.7
2,893,456.2
367,987.5
47,322,331.2
Sumber :data olahan DEM Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)
Pulau Sumatera didominasi oleh kelas lereng (62.17%) dan kelas lereng agak
curam, curam dan sangat curam mencapai (26.95%). Sebagian besar Pulau
Sumatera berada di bawah ketinggian 700 mdpl (84.28%) dan sisanya berada pada
10
ketinggian diatas 700 mdpl. Pegunungan Bukit Barisan dengan beberapa
puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut, merupakan barisan
gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari ujung utara ke arah
selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan pantai
yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang
luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat
Bangka dan Laut China Selatan.
Kondisi Sosial Ekonomi
Secara administratif Kepulauan Sumatera terbagi dalam 10 Provinsi yakni
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jambi, Riau Kepulauan, Bangka Belitung, Sumatera Selatan dan
Lampung serta 141 kabupaten/kota pada tahun 2012. Data penyebaran kepadatan
penduduk pada tiap provinsi disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rekapitulasi data kepadatan penduduk tahun 2000 – 2011 pada tiap
provinsi di Kepulauan Sumatera
Provinsi
Bengkulu
Jambi
Kepulauan Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Lampung
Nanggroe Aceh Darussalam
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Total
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
2000
2006
2012
542.0
624.5
763.4
241.8
268.1
342.2
499.0
623.9
855.7
128.0
213.3
213.3
590.1
638.9
818.2
93.8
238.3
246.3
157.5
154.5
201.2
629.5
809.0
874.9
547.9
750.5
859.3
1,425.0
1,642.0
1,728.2
4,854.5
5,962.9
6,902.6
Sumber : Badan Pusat Statistik tahun 2000, 2006, 2012
Sebaran kepadatan penduduk per provinsi di Pulau Sumatera tidak tersebar
secara merata. Provinsi yang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi pada tahun
2012 adalah Provinsi Sumatera Utara yang mencapai 1,728.2 jiwa/km2 dan yang
terendah adalah Provinsi Riau dengan kepadatan penduduknya sekitar 213.3
jiwa/km2 (Tabel 3). Kepadatan penduduk yang rendah memungkinkan adanya
eskpansi penggunaan lahan karena banyak lahan yang secara fisik belum dikelola.
Ekspansi penggunaan lahan dalam skala yang luas banyak terjadi pada pembukaan
hutan untuk areal perkebunan kelapa sawit. Penyebaran perkebunan kelapa sawit di
Kepulauan Sumatera terjadi merata di semua provinsi. Provinsi Riau, Sumatera
Utara dan Jambi merupakan provinsi-provinsi yang yang mempunyai luas
pe