Pola Spasial, Temporal Dan Perilaku Deforestasi Di Sumatera
POLA SPASIAL, TEMPORAL DAN PERILAKU
DEFORESTASI DI SUMATERA
SYAMSU RIJAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pola Spasial,
Temporal dan Perilaku Deforestasi Di Sumatera adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Syamsu Rijal
NIM E161110021
RINGKASAN
SYAMSU RIJAL. Pola Spasial, Temporal dan Perilaku Deforestasi di
Sumatera. Dibimbing oleh M BUCE SALEH, I NENGAH SURATI JAYA, dan
TATANG TIRYANA.
Deforestasi yang terjadi di Indonesia bahkan dunia selama ini cenderung
dinilai berdasarkan besaran laju dan luas area deforestasi. Penilaian deforestasi
seperti ini berpotensi memberikan informasi yang keliru tentang kondisi hutan
suatu wilayah. Laju deforestasi yang tinggi secara umum dipahami sebagai wilayah
dengan kerusakan hutan yang tinggi. Begitu pula sebaliknya, wilayah dengan laju
deforestasi yang rendah dinilai sebagai daerah dengan kondisi hutan yang lebih
baik. Laju deforestasi yang rendah atau bahkan nol dipahami sebagai wilayah yang
tidak mengalami deforestasi. Faktanya, laju yang rendah pada satu wilayah tidak
selalu berarti memiliki hutan yang lebih baik.
Penilaian deforestasi yang didasarkan pada besarnya nilai laju dan luas area
deforestasi telah dijadikan ukuran untuk menggambarkan kondisi hutan suatu
wilayah bahkan negara. Selain permasalahan penilaian deforestasi, perlu pula
pengetahuan tentang perilaku deforestasi yang ditentukan oleh faktor pendorong
yang berbeda pada tiap wilayah. Deforestasi pada suatu wilayah dapat memiliki
pola spasial tertentu yang berbeda dengan pola spasial deforestasi di wilayah lain.
Untuk itu, permasalahan deforestasi khususnya di Sumatera perlu dikaji lebih dalam
yang memperhatikan aspek spasial, temporal dan perilaku deforestasi pada masingmasing wilayah.
Penelitian ini mencoba memformulasikan penilaian deforestasi dengan
membangun profil deforestasi. Profil deforestasi dibangun berdasarkan variabel
proporsi luas hutan awal, kejadian deforestasi dan laju deforestasi. Penelitian ini
juga mengkaji karakteristik deforestasi berdasarkan faktor-faktor pendorong yang
terkait dengan model spasial deforestasi. Kemudian, model deforestasi secara
spasial dibangun pada masing-masing profil deforestasi yang terbentuk. Selain itu,
penelitian ini juga mengidentifikasi pola spasial deforestasi di Sumatera secara
detail yang mewakili profil deforestasi dan model spasial deforestasi.
Hasil penelitian menemukan adanya 24 profil deforestasi di Sumatera yang
termasuk dalam 10 provinsi (152 kabupaten/kota). Deforestasi di Sumatera
didominasi oleh profil Small-Lately-Low Deforestation yang terjadi pada 16
kabupaten/kota. Jumlah kabupaten/kota yang tidak mempunyai hutan (No Forest
Area) sebanyak 12 kabupaten/kota dan Small-No Deforestation terjadi pada 5
kabupaten/kota. Deforestasi tingkat provinsi di Sumatera periode 1990 hingga 2013
merupakan bentuk Early deforestation (90%). Deforestasi tertinggi terjadi di
Provinsi Riau dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau.
Bagian model spasial menerangkan pola perilaku deforestasi berdasarkan
faktor pendorong pada masing-masing profil, yang dibangun berdasarkan variabel
biofisik dan sosial. Variabel biofisik terdiri dari prosentase luas hutan awal, slope,
elevasi, jaringan jalan, jaringan sungai. Variabel sosial terdiri dari kepadatan
penduduk dan kepadatan umur produktif. Model spasial deforestasi yang terbangun
memperlihatkan bobot pengaruh masing-masing variabel pada tiap profil
deforestasi.
Model spasial deforestasi yang terbentuk menunjukkan bahwa pada
deforestasi yang terjadi di Sumatera dipengaruhi oleh faktor pendorong biofisik dan
sosial. Bobot pada model tersebut menjelaskan bahwa faktor sosial berkontribusi
lebih besar terhadap terjadinya deforestasi. Faktor biofisik tetap memberikan
dorongan terhadap deforestasi. Kondisi biofisik wilayah memberikan pengaruh
yang berbeda terhadap kejadian deforestasi, terutama pada saat faktor ekonomi
relatif sama. Faktor biofisik yang dominan adalah proporsi luas hutan.
Pola spasial deforestasi dinilai berdasarkan metrik spasial deforestasi yang
dibangkitkan melalui indeks spasial. Pola spasial deforestasi yang terjadi di
Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu periode 1990 hingga 2014 adalah pola
spasial deforestasi yang mengelompok, dengan tingkat keterhubungan yang tinggi
dan tidak terfragmentasi. Pola spasial deforestasi ini mengindikasikan bahwa secara
umum deforestasi di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu disebabkan oleh
ekspansi perkebunan skala besar.
Metrik Cl, Ct dan Pd mampu memberikan informasi tentang pola sebaran
spasial deforestasi. Hubungan pola spasial deforestasi tingkat desa dengan laju
deforestasi menunjukkan bahwa masing-masing metrik membentuk dua pola.
Kata kunci: profil deforestasi, model spasial, pola spasial
SUMMARY
SYAMSU RIJAL. Pattern of spatial, temporal and behavioral deforestation
in Sumatra. Supervised by M BUCE SALEH, I NENGAH SURATI JAYA, dan
TATANG TIRYANA.
Deforestation in Indonesia and even in the world has been commonly been
assessed based on the rate and area size of deforestation. Such deforestation
assessment may give a misleading information on the forest condition in a certain
region. A region with high deforestation rate is generally defined as the region with
high forest destruction, while a region with low deforestation rate could be the area
with better forest condition. The low or zero rate of deforestation is often mis
interpretated as no deforestation. In fact, the low deforestation rate of an area does
not always mean having a better forest condition.
In addition to the problem of deforestation assessment, it is also necessary to
know the behavior of deforestation that is driven by different driving forces for each
region. The spatial pattern of deforestation might also differ from one region to
another. Therefore, study on deforestation, especially in Sumatra, is necessary to
assess spatial, behavioral, and temporal patterns of the deforestation.
Objective of the study was to formulate an alternative deforestation
assessment on development of a deforestation profile in the region. The
deforestation profile was developed based on three variables, i.e. the proportion of
initial forest area, the incidence of deforestation, and the rate of deforestation. This
study also examined the characteristics of deforestation based on driving forces
related on spatial models of deforestation. The deforestation models spatially were
developed for representing each class of deforestation profile. In addition, this study
also identified the spatial patterns of deforestation in Sumatra in detail which
represents the profile of deforestation and spatial models of deforestation.
The study found that 24 deforestation profiles in 10 provinces, covering 152
districts/cities of Sumatra. Deforestation in Sumatra was dominated by SmallLately Low Deforestation, which occurred in 16 districts/cities. The number of
districts/cities with no forest area was 12 districts/cities and Small-No
Deforestation occured in 5 districts/cities. The provincial level of deforestation in
Sumatra in the period of 1990 to 2013 was an Early deforestation (90%). The
highest deforestation was found in Riau province while the lowest one was in the
province of Riau Islands.
The spatial model explained that behavioral pattern of deforestation based on
driving forces in each profile, developed using biophysical and social variables.
Biophysical variables consist of a percentage of the initial forest area, slope,
elevation, road networks and river networks. Social variables consist of population
density and density of productive age. The spatial model of deforestation was
awakened shows the influence of the weight of each variable in each profile of
deforestation.
The spatial model of deforestation in Sumatra was developed by considering
the biophysical and social driving factors. Weight of the model explains that social
factors contributed more on deforestation occurrences than biophysical factor.
Biophysical factors continue to give impetus to deforestation. Biophysical
conditions of the region have different effects on the incidence of deforestation,
especially when the economic factors were relatively equal. The dominant of
biophysical factors is the proportion of forest area.
The spatial pattern of deforestation was assessed based on spatial metric
measures derived from several spatial indexes. For the period of 1990 to 2014, the
spatial patterns of deforestation in Kampar and Indragiri Hulu regencies were
clustered with a high connectivity/high contiguity and unfragmented. The spatial
pattern of deforestation in Kampar and Indragiri Hulu regencies indicated that the
causes of deforestation was mainly due to the expansion of large-scale plantations.
The Cl, Ct and Pd metrics provided information about the spatial distribution
patterns of deforestation. The relationship between the spatial patterns of
deforestation at village level and the rate of deforestation revealed that each metric
formed two patterns of the distribution pattern of deforestation.
Keywords: profile deforestation, spatial models, spatial pattern
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POLA SPASIAL, TEMPORAL DAN PERILAKU
DEFORESTASI DI SUMATERA
SYAMSU RIJAL
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr Ir Roland Alexander Barkey, MSc
2. Dr Dra Nining Puspaningsih, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Dr Riva Rivani, S Hut MAgr
2. Dr Dra Nining Puspaningsih, MSi
Judul Disertasi : Pola Spasial, Temporal dan Perilaku Deforestasi di Sumatera
Nama
: Syamsu Rijal
NIM
: E161110021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS
Ketua
Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr
Anggota
Dr Tatang Tiryana, S Hut, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Hardjanto, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian Tertutup: 29 Juni 2016
Tanggal Ujian Promosi: 19 Juli 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi dengan judul “Pola spasial, temporal dan perilaku
deforestasi di Sumatera” dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah
syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan disertasi ini sebagian dibiayai oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan melalui beasiswa BPPS tahun 2001 hingga 2014 dan program Hibah
Doktor/Disertasi Doktor tahun 2016 dari Kemenristekdikti RI. Bagian pertama dari
disertasi ini telah dipublikasikan pada International Journal of Sciences: Basic and
Applied Research (IJSBAR) dengan judul Deforestation Profile of Regency Level
in Sumatra Volume 25 (2): 385-402 tahun 2016. Bagian kedua disiapkan untuk
dipublikasikan pada jurnal ilmiah Geomatika-Badan Informasi Geospasial (BIG).
Bagian ketiga telah dipublikasikan di Journal of Tropical Forest Management
dengan judul Spatial Metric of Deforestation in Kampar and Indragiri Hulu, Riau
Province Volume 22 Nomor 1 Edisi April 2016. Temuan lain pada bagian ketiga
direncanakan akan dipublikasikan pada Jurnal International Telkomnika.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan
penuh kesabaran memberikan arahan, cakrawala berpikir, motivasi, dan
sikap hidup kepada penulis selama menempuh pendidikan.
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr yang dengan kerelaan dan
kesabarannya memberikan bimbingan, masukan, arahan dan pelajaran tentang
semangat hidup.
Dr. Tatang Tiryana, S. Hut, M.Sc yang selalu menyediakan waktu untuk
diskusi dan berbagi keluh juga kesah, serta senantiasa memberi semangat dan
motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan studi.
Dr. Ir. Roland A. Barkey, M. Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup
dan sebagai Kepala Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi
Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala
dorongan, motivasi, bantuan dan masukan pada tulisan kepada penulis.
Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M. Si selaku penguji luar komisi pada ujian
tertutup dan promosi atas berbagai perhatian dan pengertian serta masukan
dan saran kepada penulis.
Dr Riva Rivani, S. Hut, M. Agr atas masukan, pengertian dan saran serta
kesediaan waktu dalam ujian promosi demi penyempurnaan disertasi ini.
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku Ketua PS Ilmu Pengelolaan Hutan atas
kesabaran dan pengertiannya yang meluangkan waktu untuk memonitor,
mendorong, mendengar dan memberikan solusi penyelesaian studi.
Dirjen Dikti, Kemenristek-Dikti RI atas bantuan beasiswa BPPS tahun 2011,
Sandwich-like Program/PKPI 2014 dan Beasiswa Hibah Doktor 2016.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Prof. Dr. Ir. Yusran Jusuf, M. Si selaku Dekan Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin yang senantiasa memberikan masukan, semangat
dan kepercayaan dalam menyelesaikan studi.
Prof. Dr. Christoph Kleinn dan Dr. Lutz Fehrmann (Forest Inventory and
Remote Sensing Laboratory, Goettingen University, Jerman) atas bantuan,
kerjasama dan fasilitasinya selama penelitian dan Sandwich di Jerman.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Agr selaku Dekan Pascasarjana IPB, pimpinan SPS
IPB dan segenap staff atas segala bantuan, kerjasama dan pelayanan yang
diberikan sehingga penyelesaian studi dapat dicapai dengan baik.
Keluarga besar Laboratorium Remote Sensing dan GIS (Ruang ALOS), atas
setiap kebersamaan, kekeluargaan dan bantuan yang sangat berarti dan luar
biasa sebagai teman, saudara dan keluarga dalam urun tangan membantu
penyelesaian penelitian dan studi ini.
M Ripqi Lubis, Fitrah dan Staff BPKH XIX Riau atas bantuan selama
pengambilan data lapangan.
Teman-teman Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi Kehutanan,
Fakultas Kehutanan Unhas atas bantuan dan dukungan selama penelitian.
Teman-teman IPH khususnya angkatan 2011, Pengurus Forum Mahasiswa
Pascasarjana IPB (Forum WACANA IPB) periode 2012-2013, Pengurus dan
Keluarga Besar Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB Sulawesi Selatan
(RUMANA IPB SULSEL), Team Safe House atas persahabatan,
persaudaraan dan kerjasamanya selama masa studi.
Ayahanda H. Mappangara dan Ibunda Hj. Emy Tappa serta adik-adikku
Syamsu Dhuha, Ibnu Chaldon, S. Sos, Fauziah, SH, Sulpiana dan Fadly
Ramadhan atas segala doa, motivasi dukungan dan pesan dalam menjalani
hidup dan menyelesaikan studi akhir di IPB.
Bapak Dr. Ir. H. Tri Panji, MS dan Wondo Sutyowati, SE selaku ayah dan
ibu mertua serta adinda Fauzan Al Hakim, STP dan Ibu Hj. Desmawaty atas
segala doa, bantuan, dukungan dan dorongan dalam menyelesaikan studi di
IPB.
Istriku tercinta Shinta Permatasari, STP, M. Si dan Putriku Aleena Calluna
Dzakwania Fazila atas doa, dukungan, dorongan, kesabaran dan kebersamaan
selama ini.
Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi
ini dapat diselesaikan.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat yang luas bagi penulis maupun
yang membaca tulisan ini.
Bogor,
Juli 2016
Syamsu Rijal
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Novelty Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Iklim
Kondisi Biofisik
Kondisi Hutan dan Tutupan Lahan
Kondisi Sosial Ekonomi
3 PROFIL DEFORESTASI DI SUMATERA
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengolahan Data
Analisis Data
Keterangan :
Sintesa Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Luas Hutan, Luas, Laju dan Sebaran Deforestasi
Profil Deforestasi di Sumatera
Simpulan
4 MODEL SPASIAL DEFORESTASI DI SUMATERA
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengolahan Data
Analisis Data
Sintesa Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 METRIK SPASIAL DEFORESTASI DI KABUPATEN KAMPAR DAN
INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengolahan Data
Analisis Data
Sintesa Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Area Deforestasi
Metrik Spasial Deforestasi
Korelasi dan Kombinasi Metrik Spasial Deforestasi
Keterangan :
v
v
vi
1
1
3
4
6
6
11
11
11
12
13
14
15
15
16
16
16
19
19
19
19
27
32
34
34
35
35
36
37
38
41
42
42
43
43
44
46
48
48
53
56
57
Indeks spasial dan faktor penyebab deforestasi
Simpulan
6 PEMBAHASAN UMUM
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
59
60
62
66
66
67
68
77
96
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
Luas hutan tiap provinsi di Sumatera tahun 1990, 2000 dan 2013
Matrik spatio-temporal deforestasi di Sumatera
Matrik tingkat kerawananan deforestasi di Sumatera
Luas hutan tertinggi dan terendah tingkat kabupaten/kota tahun
1990 dan 2013 di Sumatera
Laju deforestasi tertinggi dan periode deforestasi tertinggi tingkat
kabupaten/kota periode1990 − 2013 di Sumatera
Perubahan tutupan lahan hutan menjadi tutupan lain selama periode
1990−2013 di Sumatera
Proporsi spasial-temporal deforestasi berdasarkan luas hutan awal
tingkat provinsi di Sumatera periode 1990-2013
Profil dan sebaran tingkat kerawanan deforestasi di Sumatera
Tingkat kerawanan profil deforestasi berdasarkan rata-rata LDT
Hasil pembobot berdasarkan analisis AKU pada Profil I
Hasil pembobot berdasarkan analisis AKU pada Profil II
Hasil pembobot berdasarkan analisis AKU pada Profil III
Uji akurasi tutupan lahan Kabupaten Kampar dan Indagiri Hulu
Deforestasi beberapa periode di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu
Kombinasi pola spasial deforestasi tingkat desa di Kabupaten
Kampar dan Indragiri Hulu.
13
13
14
18
19
20
21
23
30
31
31
38
39
40
48
48
56
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Kerangka dan alur pikir penelitian
Peta lokasi penelitian
Luas hutan awal per provinsi di Sumatera
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 1990–1996
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 1996–2000
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 2000–2006
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 2006–2011
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera 2011–2013
5
12
20
24
24
25
25
26
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Profil deforestasi berbasis spasial-temporal di Sumatera periode
1990–2013
Peta profil deforestasi Sumatera periode 1990–2013
Peta tingkat kerawanan deforestasi Sumatera periode 1990–2013
Diagram alir penelitian
Sebaran areal deforestasi di Kabupaten Kampar periode
1990–2000 (a), 2000–2010 (b) dan 2010–2014 (c)
Sebaran areal deforestasi di Kabupaten Indragiri Hulu periode
1990–2000 (a), 2000–2010 (b) dan 2010–2014 (c)
Illustrasi metrik spasial; clumpiness index (a), Contiguity Mean
Index (b) dan Patch Density (c) (McGarigal 2001)
Metrik spasial; clumpiness index (a), Contiguity MN Index (b)
dan Patch Density (c) pada beberapa periode
Hubungan laju deforestasi dengan Clumpiness Index per desa
Hubungan laju deforestasi dengan indeks Contig MN per desa
Hubungan antara laju deforestasi dengan indeks PD per desa
28
29
32
47
50
51
54
54
58
58
59
DAFTAR LAMPIRAN
1 Luas kabupaten, luas hutan awal dan luas deforestasi tingkat
kabupaten di Sumatera periode 1990, 2000, 2013
2 Laju dan rata-rata deforestasi (r), Annual Rate of Deforestasi (ARD)
tingkat kabupaten di Sumatera periode 1990, 2000, 2013
3 Proporsi luas hutan awal (PLHA), Proporsi kejadian deforestasi
(PKD) dan Profil Deforestasi di Sumatera
4 Sebaran Profil dan tingkat kerawanan deforestasi di Sumatera
5 Metrik spasial Clumpiness Index, Contiguity Mean Index, Patch
Density, luas deforestasi dan laju deforestasi periode 1990-2014
77
82
87
92
93
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan tutupan lahan hutan di daerah tropis menjadi topik utama terkait
perdagangan karbon dunia (Gullison et al. 2007; Miles dan Kapos 2008; Phelps et
al. 2010; Mon et al. 2012) dan dampaknya terhadap perubahan iklim. Dampak
perubahan iklim dapat mempengaruhi kehidupan manusia dan komponen hidup
lainnya seperti akumulasi gas rumah kaca di atmosfer (Heal dan Kristorm 2002 dan
Ozanne et al. 2003). Peran hutan yang lestari menjadi penting dalam konteks
menjaga iklim global, penyimpanan karbon, proses hidrologi dan keanekaragaman
hayati (Achard 2002; Ozanne et al. 2003; FAO 2012). Perubahan tutupan hutan
yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan hutan menjadi tutupan lain atau
non hutan (deforestasi) (FAO 2000 dan FAO 2005). Deforestasi telah menjadi
masalah lingkungan global, selain isu-isu degradasi lahan, keanekaragaman hayati,
keamanan pangan dan kelestarian lingkungan (Olson et al. 2004 dan Foley et al.
2005). Perluasan areal deforestasi khususnya didaerah tropis menyebabkan
turunnya kualitas lingkungan. Dampak lainnya adalah perubahan iklim global,
menurunnya kualitas habitat, hingga kepunahan spesies (Vance dan Geohegan
2002).
Istilah deforestasi masih dapat diperdebatkan. Sunderlin dan Resosudarmo
(1997) mendefenisikan deforestasi sebagai perubahan penutupan hutan menjadi
areal atau wilayah non hutan untuk penggunaan lain secara permanen. FAO (1996)
menyatakan bahwa deforestasi adalah konversi hutan menjadi penggunaan lahan
lain. Secara kuantitatif, deforestasi juga diartikan sebagai pengurangan tutupan
tajuk pohon menjadi kurang dari ambang minimum 10% untuk jangka panjang
dengan tinggi pohon minimum 5 m pada areal seluas minimum 0.5 ha. Deforestasi
dalam penelitian ini diartikan sebagai tutupan hutan (land cover) yang mengalami
perubahan berupa kehilangan tutupan secara permanen baik tutupan hutan yang
utuh, terpotong-potong secara spasial (terfragmentasi) baik dalam bentuk ateal
bukaan besar atau kecil yang lokasinya tersebar.
Degradasi hutan merupakan perubahan yang terjadi di dalam hutan yang
berdampak negatif pada tegakan atau tapak (Lund 2009). Degradasi menurunkan
komposisi spesies, keanekaragaman hayati, dan produktivitas hutan (FAO 2010).
Degradasi hutan menjadi isu global karena kontribusinya yang siginifikan terhadap
perubahan iklim global. Degradasi lahan akan mengakibatkan penurunan
produktivitas lahan pada masa yang akan datang (Oldeman 1992). Degradasi lahan
memberikan dampak tidak langsung berupa terjadinya kemiskinan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan (Lamb et al. 2005). Degradasi hutan juga merupakan proses
penting dalam fragmentasi lanskap (Bastilla et al. 2000).
Deforestasi memunculkan hutan-hutan yang terfragmentasi (Samsuri 2014).
Deforestasi juga memberi dampak pada peningkatan fragmentasi hutan yang
menghasilkan peningkatan isolasi patch hutan (Reddy et al. 2013 dan Newman et
al. 2014). Bagian hutan yang terpisah di sebuah lanskap yang didominasi oleh
kehidupan manusia yang luasannya cenderung di bawah satu hektar (Laurence
2005). Pembukaan hutan dan konversi hutan yang terus berlangsung menjadi
berbagai penggunaan lain telah memisahkan hutan yang kompak atau utuh. Pada
lokasi tertentu, hutan yang utuh dan terkonsentrasi cukup luas masih ditemukan
2
(2002). Hutan yang luas ini dikonversi menjadi lahan pertanian (Morton et al.
2007). Aktifitas pembukaan hutan dan konversi hutan menyebabkan fragmentasi
lanskap hutan. Aktifitas ini juga menyebabkan rusaknya biota hutan dan hilangnya
habitat yang cocok bagi spesies yang sensitif (Mendoza et al. 2005). Hal ini juga
meningkatkan kompetisi dari spesies umum (Laurence et al. 2009) dan isolasi
genetik sub populasi (Goosem 2007). Fragmentasi juga merupakan salah satu faktor
utama pemicu kehilangan biodiversitas lanskap hutan (Fahrig 2003). Di sisi lain,
fragmentasi merupakan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati (CBD 2005)
seperti yang terjadi pada beberapa spesies tertentu.
Deforestasi yang terjadi mengakibatkan kenaikan temperatur bahkan
perubahan siklus musim. Akibat dari situasi ini adalah sering terjadinya kebakaran
hutan dan naiknya permukaan air laut. Kebakaran hutan di Indonesia terus terjadi
setiap tahun. Kebakaran sangat luas terjadi pada tahun 1982 sebesar 3.2 juta hektar
dan tahun 1994 seluas 9 765 000 ha (FWI 2002). Deforestasi juga memicu
terjadinya degradasi lahan Sumatera. Salah satu contoh degradasi hutan terjadi di
Sumatera Utara yang mencapai 2.4 juta hektar lahan kritis (Kaprawi dan
Purbatakusuma 2011). Penelitian lain mengungkapkan bahwa deforestasi di hutan
tropis terjadi pada tahun 1990. Deforestasi tersebut menyebabkan emisi gas rumah
kaca sebesar 17% (Gullison et al. 2007). Emisi gas rumah kaca yang meningkat
diyakini telah menaikkan suhu bumi di seluruh dunia (Shindell et al. 2004 dan
Hansen et al. 2006).
Deforestasi mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan indikator perubahan
lingkungan (Tiner 2004). Indikator lingkungan perlu dikembangkan seperti
indikator penilaian deforestasi. Deforestasi selama ini dinilai berdasarkan area
terdeforestasi dan diukur pada waktu sekarang (Ferraz et al. 2009). Begitu pula
dengan penelitian deforestasi di Indonesia. Penelitian tentang laju dan luas
deforestasi telah banyak dilakukan khususnya di Sumatera. Diantara penelitian di
Sumatera tersebut adalah penelitian FAO yang menyatakan bahwa sumberdaya
hutan mengalami deforestasi sebesar 1.7% periode 1990 hingga 2000 (FAO 2010).
FAO juga menunjukkan bahwa deforestasi cenderung menurun 0.5% periode 2000
hingga 2010. Deforestasi di Indonesia seluas 15.15 juta ha pada tahun 2009 (FWI
2011). Deforestasi di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan deforestasi
negara-negara Asia Tenggara. Deforestasi negara-negara di Asia Tenggara hanya
mencapai 1% periode 1990 hingga 2000. Bahkan, deforestasi Asia Tenggara ini
hanya 0.4% periode 2000 hingga 2010 (FAO 2010).
Sumatera mengalami konversi hutan sebesar 70% pada periode 1990–2010
(Margono et al. 2012). Sumatera merupakan pulau dengan laju deforestasi paling
tinggi di Indonesia. Laju deforestasi di Sumatera diperkirakan sebesar 6.5 juta ha
(28%) pada kurun waktu 1985–1997 (GWF 2002). Sumatera telah kehilangan
sekitar 7.54 juta ha hutan primer atau seluas 47% periode 1990–2010. Hutan primer
yang tersisa sebesar 30.4% (Margono et al. 2012). Provinsi Riau dan Sumatera
Selatan merupakan provinsi di Sumatera yang mengalami kehilangan hutan primer
lebih dari 50% pada periode 1990–2010. Kehilangan hutan terbesar di Sumatera
terjadi di Provinsi Riau yakni sebesar 42% pada tahun 1990 hingga 2010 (Margono
et al. 2012).
3
Perumusan Masalah
Deforestasi yang terjadi selama ini dinilai dengan hanya melihat besaran laju
dan luas deforestasinya saja. Penilaian deforestasi yang hanya berdasarkan laju
deforestasi berpotensi memberikan informasi yang keliru. Laju deforestasi yang
tinggi secara umum dipahami sebagai daerah yang kehilangan dan kerusakan hutan
yang tinggi. Sebaliknya, daerah yang memiliki laju deforestasi yang rendah dinilai
sebagai daerah yang lebih baik dibanding daerah dengan laju yang tinggi. Faktanya
adalah nilai laju deforestasi yang rendah atau bahkan nol (tidak terjadi deforestasi)
tidak selalu berarti bahwa daerah tersebut memiliki hutan yang lebih baik. Nilai laju
rendah bahkan laju nol (tidak terjadi deforestasi) pada suatu periode pengamatan
dapat disebabkan karena wilayah tersebut telah kehilangan total luas hutan pada
periode deforestasi sebelumnya. Potensi kesalahan ini terus berlanjut. Formulasi
deforestasi dibutuhkan untuk mendeskripsikan kejadian deforestasi pada suatu
daerah atau wilayah yang lebih baik. Sejauh ini, metode penilaian yang didasarkan
pada laju dan luas deforestasi dijadikan barometer untuk mencerminkan secara
umum kondisi hutan suatu wilayah atau negara. Penilaian laju deforestasi dijadikan
ukuran dan dasar pengambilan keputusan. Upaya mencari dan menemukan metode
penilaian baru dalam penyempurnaan penilaian deforestasi belum banyak
dilakukan. Diantara metode penilaian tersebut adalah Ferraz et al. (2009) dan Hietel
et al. (2004). Akan tetapi penelitian tersebut masih fokus pada nilai laju dan
kejadian deforestasi. Penelitian ini mencoba memformulasikan metode penilaian
deforestasi dengan mempertimbangkan faktor lain selain laju dan luas area
deforestasi yakni faktor keberadaan hutan awal pada suatu wilayah dan proses
kejadian deforestasi.
Permasalahan deforestasi dan berbagai upaya penanggulangannya telah
banyak dilakukan di Indonesia. Upaya penanggulangan dilakukan melalui berbagai
kebijakan dan program. Akan tetapi, persoalan deforestasi di Indonesia khususnya
di Sumatera masih terus terjadi hingga saat ini. Kegagalan penanggulangan
permasalahan deforestasi di Sumatera bahkan di Indonesia diantaranya disebabkan
oleh kurangnya pemahaman tentang karakteristik terjadinya deforestasi pada suatu
wilayah. Perbedaan keragaman wilayah dengan penanganan yang sama dalam
penanggulangan deforestasi menjadi salah satu penyebab kegagalan
penanggulangan permasalahan deforestasi.
Informasi tentang keragaman wilayah dalam memahami karakteristik
kejadian deforestasi sangat penting. Penelitian tentang keragaman wilayah
deforestasi ini dilakukan untuk membangun model spasial deforestasi. Model
deforestasi dibangun pada pewakil profil deforestasi yang telah dibentuk
sebelumnya. Model deforestasi dibangun berdasarkan faktor pendorong terjadinya
deforestasi yang terdiri dari faktor bioisik dan sosial). Faktor pendorong deforestasi
suatu wilayah diyakini berbeda dengan wilayah lain. Penelitian model spasial
deforestasi berdasarkan faktor pendorong deforestasi dilakukan pada profil
deforestasi dengantingkat kerawanan rendah, sedang dan tinggi. Wilayah Sumatera
secara umum dan Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Utara secara khusus
merupakan wilayah kajian yang sangat menarik karena merupakan pulau dan
provinsi dengan deforestasi rendah hingga tertinggi di Indonesia (Margono et al.
2012; Sulistiyono et al. 2015a).
4
Selain profil dan model spasial deforestasi, penanganan deforestasi selama ini
terfokus pada kajian tentang pola spasial deforestasi. Penelitian ini mengungkapkan
pentingnya melengkapi pemahaman deforestasi dengan pola spasial temporal
deforestasi. Pola spasial temporal tentang sebaran dan pola perkembangan kejadian
deforestasi pada beberapa periode pengamatan akan memberikan dukungan
informasi yang lebih baik dibanding sebelumnya. Penelitian ini mencoba
menghubungkan pola spasial temporal deforestasi dengan faktor pendorong yang
akan memberikan informasi yang lebih baik dan lengkap.
Secara umum rangkaian penelitian dapat dilihat pada kerangka pikir dan alur
penelitian pada Gambar 1. Bagian pertama penelitian ini menguraikan tentang
pentingnya penambahan informasi lain dalam penilaian deforestasi. Informasi yang
ditambahkan dalam penyusunan informasi baru (profil deforestasi) adalah luas
hutan awal, proses kejadian deforestasi dan laju deforestasi. Penelitian profil
deforestasi ini merupakan perpaduan antara pola spasial dan temporal deforestasi.
Lokasi penelitian difokuskan pada 152 wilayah kabupaten/kota di Sumatera.
Bagian kedua menguraikan tentang pentingnya informasi keragaman wilayah
dan faktor pendorong terjadinya deforestasi. Identifikasi faktor pendorong
deforestasi digunakan untuk membuat model spasial deforestasi. Bagian ini
menjelaskan model spasial masing-masing profil deforestasi yang memperlihatkan
perilaku berbeda. Wilayah kajian difokuskan pada pewakil masing-masing profil
deforestasi yang terdiri dari profil dengan tingkat kerawanan deforestasi rendah
(Kab. Dairi, Sumatera Utara), profil dengan tingkat kerawanan deforestasi sedang
(Kab. Kerinci, Jambi) dan profil dengan tingkat kerawanan deforestasi tinggi (Kab.
Kampar, Riau). Kabupaten Dairi memiliki 15 kecamatan, Kabupaten Kerinci
memiliki 16 kecamatan dan Kabupaten Kampar memiliki 18 kecamatan.
Bagian ketiga penelitian merupakan bagian yang menilai pola spasial
deforestasi yang difokuskan pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Kampar dan
Indragiri Hulu di Provinsi Riau. Identifikasi pola spasial menggunakan metrik yang
dibangkitkan melalui Fragstat. Ketiga metrik yang digunakan adalah Clumpiness
Index, Contiguity Index dan Patch Density. Ketiga metrik kemudian dianalisis lebih
jauh pada hampir 400 desa di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu. Bagian ini
mengungkapkan pola spasial deforestasi selama periode 1990 hingga 2013 pada
level desa di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu.
Novelty Penelitian
Kebaharuan (novelty) penelitian ini adalah penelitian yang menggabungkan
dinamika spasial dan temporal dengan dinamika perilaku deforestasi di Sumatera.
Kebaharuan penelitian ini adalah membuktikan bahwa laju deforestasi tidak cukup
menjelaskan dinamika deforestasi suatu wilayah dengan merumuskan profil
deforestasi yang merupakan metode baru dalam penilaian deforestasi tingkat
kabupaten di Sumatera. Novelty lainnya adalah menemukan model spasial
deforestasi yang memadukan variabel biofisik wilayah dan variabel sosial yang
beragam berdasarkan perilaku faktor pendorong deforestasi (driving force).
Kebaruan penelitian berikutnya adalah mampu mengidentifikasi dan
mendeskripsikan pola spasial deforestasi yang terjadi pada satu periode deforestasi
(sebaran, konektivitas dan fragmentasi) pada suatu wilayah hingga level desa.
5
Deforestasi
Laju dan luas deforetasi
Pola temporal-spasial deforestasi
Luas hutan awal
Sumatera
Laju deforestasi
Kejadian deforestasi
Profil deforestasi tingkat kabupaten
Faktor
pendorong
Profil I, II, III
Dairi, Kerinci, Kampar
Pola perilaku deforestasi
Biofisik
dan sosial
Analisis Komponen
Utama
Model Spasial
Model spasial deforestasi di Sumatera
Pola spasial deforestasi
Contiguity
Clumpiness
Patch Density
Provinsi Riau
Level desa Kabupaten
Kampar dan Indragiri
Hulu
Level Kabupaten
Kampar dan Indragiri
Hulu
Fragstat
Metrik spasial deforestasi
Gambar 1 Tahapan penelitian
6
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola spasial,
temporal dan perilaku deforestasi di Sumatera. Tujuan khusus penelitian adalah :
1. Mengidentifikasi dan memformulasikan profil deforestasi sebagai alternatif
penilaian deforestasi di Sumatera
2. Membangun model spasial deforestasi berdasarkan faktor pendorong
deforestasi di Sumatera
3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan pola spasial deforestasi tingkat
kabupaten dan desa di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu, Provinsi
Riau.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang luas bagi semua
pihak baik dari segi keilmuan, pemahaman dan pengetahuan maupun segi praktis
penanggulangan deforestasi dan pengelolaan hutan dan sumberdaya alam
khususnya di Indonesia.
Sistematika Disertasi
Kerangka pendekatan penelitian ini menguraikan dan menjelaskan berbagai
permasalahan dan hal-hal yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.
Secara garis besar sistematika penyusunan disertasi ini dibagi dalam tujuh bagian
dengan susunan sebagai berikut:
1 PENDAHULUAN
Penilaian deforestasi yang hanya berdasarkan laju deforestasi berpotensi
memberikan informasi yang keliru. Metode penilaian yang didasarkan pada laju
dan luas deforestasi dijadikan ukuran untuk mencerminkan secara umum kondisi
hutan suatu wilayah atau negara. Penilaian laju deforestasi dijadikan ukuran dan
dasar pengambilan keputusan. Upaya membangun metode penilaian baru dalam
penyempurnaan penilaian deforestasi belum banyak dilakukan. Penelitian ini
mencoba
memformulasikan
metode
penilaian
deforestasi
dengan
mempertimbangkan faktor lain selain laju dan luas area deforestasi yakni faktor
keberadaan hutan awal pada suatu wilayah dan proses kejadian deforestasi.
Selain itu, kegagalan penanggulangan permasalahan deforestasi di Sumatera
bahkan di Indonesia disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang karakteristik
terjadinya deforestasi pada suatu wilayah. Perbedaan keragaman wilayah dengan
penanganan yang sama dalam penanggulangan deforestasi menjadi salah satu
penyebabnya. Informasi tentang keragaman wilayah dalam memahami
karakteristik kejadian deforestasi sangat penting.
Penelitian tentang keragaman wilayah deforestasi ini dilakukan untuk
membangun model spasial deforestasi. Model deforestasi dibangun pada pewakil
profil deforestasi yang telah dibentuk sebelumnya. Model deforestasi dibangun
berdasarkan faktor pendorong terjadinya deforestasi yang terdiri dari faktor biofisik
dan sosial). Penelitian model spasial deforestasi berdasarkan faktor pendorong
deforestasi dilakukan pada profil deforestasi dengan tingkat kerawanan rendah,
sedang dan tinggi.
Penelitian ini juga mengungkapkan pentingnya melengkapi pemahaman
deforestasi dengan pola spasial temporal deforestasi. Pola spasial temporal tentang
7
sebaran dan pola perkembangan kejadian deforestasi pada beberapa periode
pengamatan akan memberikan dukungan informasi yang lebih baik dibanding
sebelumnya. Penelitian ini mencoba menghubungkan pola spasial temporal
deforestasi dengan faktor pendorong yang akan memberikan informasi yang lebih
baik dan lengkap. Identifikasi pola spasial menggunakan metrik yang dibangkitkan
melalui Fragstat. Ketiga metrik yang digunakan adalah Clumpiness Index,
Contiguity Index dan Patch Density. Bagian ini mengungkapkan pola spasial
deforestasi selama periode 1990 hingga 2013 pada level desa di Kabupaten Kampar
dan Indragiri Hulu. Uraian tentang bagian ini lebih rinci dapat dilihat pada bab
pendahuluan.
2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Bagian ini mendeskripsikan tentang kondisi umum lokasi penelitian.
Penelitian ini diawali dengan cakupan area studi yang luas yakni seluruh pulau
Sumatera (152 kabupaten/kota). Kemudian, dilanjutkan dengan area yang lebih
spesifik sebagai pewakil profil deforestasi. Kabupaten Dairi (Sumatera Utara),
Kabupaten Kerinci (Jambi) dan Kabupaten Kampar (Riau) merupakan pewakil
profil deforestasi. Ketiga wilayah ini meiliki kondisi biofisik dan sosial yang
beragam. Bagian terakhir, penelitian difokuskan pada dua Kabupaten (profil
sangat rawan) yaitu Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu Provinsi Riau. Analisis
dilakukan hingga level desa.
Metode penelitian setiap bagian penelitian ini hampir sama. Data yang
digunakan adalah data tutupan lahan Kementerian Kehutanan tahun 2013. Untuk
bagian ketiga, data yang digunakan adalah data landsat rekaman 1990, 2000, 2011
dan 2014. Selain itu, data lain yang digunakan adalah data slope dan elevasi, data
jaringan jalan dan jaringan sungai serta data sosial dari BPS RI. Analisis penelitian
ini menggunakan software ArcGIS, Envi, Xlstat, Fragstat dan Microsoft excel.
Perhitungan laju deforestasi menggunakan pendekatan laju tahunan yang
dikemukakan oleh Puyravaud. Selain itu dilakukan pula Analisis Komponen
Utama (AKU) pada dua bagian penelitian ini.
3 PROFIL DEFORESTASI DI SUMATERA
Bagian ini menguraikan kelemahan penilaian deforestasi yang terjadi
selama ini yakni hanya berdasarkan pada nilai laju dan luas deforestasi. Profil
deforestasi merupakan analisis alternatif yang lebih baik untuk menjelaskan
kejadian deforestasi. Terdapat 24 profil deforestasi yang terjadi di Kepulauan
Sumatera pada 10 provinsi (152 kabupaten/kota). Deforestasi di Sumatera
didominasi oleh profil Small-Lately-Low Deforestation (16 kabupaten/kota) dan
terendah adalah profil Medium-lately-Moderate dan Medium-lately-High
Deforestation yang terjadi pada masing-masing satu kabupaten/kota. Jumlah
kabupaten/kota yang tidak mempunyai hutan (No Forest Area) sebanyak 12
kabupaten/kota dan Small-No Deforestation pada 5 kabupaten/kota. Deforestasi
tingkat provinsi di Kepulauan Sumatera periode 1990 hingga 2013 merupakan
bentuk Early deforestation (90%). Profil deforestasi juga menemukan bahwa
penilaian laju o (nol) yang dimaknai sebagai daerah tidak terdeforestasi mampu
diuraikan lebih baik. Jumlah kabupaten/kota di Sumatera yang tidak mempunyai
8
hutan (No Forest Area) sebanyak 12 kabupaten/kota sedangkan yang memiliki
hutan kecil tapi tidak terdeforestasi (Small-No Deforestation) terjadi di lima
kabupaten/kota. Profil deforestasi berbasis spasial-temporal di Sumatera
didominasi oleh profil tidak rawan yang terjadi pada 87 kabupaten/kota (64.44%).
Kategori rawan terjadi pada 27 kabupaten/kota (20.00%). Kategori sangat rawan
terjadi pada 21 kabupaten/kota (15.56%). Pola deforestasi di Sumatera terus
terjadi secara beragam dengan kejadian dan kecepatan serta tingkat kerawanan
yang berbeda. Penjelasan detail dapat dilihat pada Bab 3.
4 MODEL SPASIAL DEFORESTASI DI SUMATERA
Karakteristik deforestasi disusun berdasarkan faktor pendorong terjadinya
deforestasi di Sumatera. Penelitian ini menghasilkan model deforestasi berdasarkan
faktor pendorong deforestasi di Sumatera. Model spasial deforestasi menggunakan
wilayah profil deforestasi tingkat kabupaten yang telah terbentuk pada bab 3 yakni
profil tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Bagian ini diawali dengan
mengidentifikasi faktor pendorong deforestasi. Faktor pendorong tersebut
dikelompokkan menjadi tujuh variabel yakni tutupan hutan, slope, elevasi, jalan,
sungai, jumlah penduduk dan umur produktif. Pemberian bobot dilakukan dengan
metode Analisis Komponen Utama.
Model spasial deforestasi yang terbentuk menunjukkan bahwa pada
deforestasi yang terjadi di Sumatera dipengaruhi oleh faktor pendorong biofisik
dan sosial. Nilai bobot pada model tersebut menjelaskan bahwa faktor sosial
lebih memberikan pengaruh terhadap terjadinya deforestasi di Sumatera. Faktor
biofisik tetap memberikan dorongan terhadap deforestasi di Sumatera. Faktor
biofisik yang secara umum berpengaruh lebih terhadap kejadian deforestasi
adalah proporsi luas hutan awal. Semakin tersedia hutan di suatu daerah, maka
semakin besar dorongan terjadinya deforestasi pada wilayah tersebut. Penjelasan
detail dapat dilihat ada Bab 4.
5 METRIK SPASIAL DEFORESTASI DI KABUPATEN KAMPAR DAN
INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU
Setelah mengetahui profil dan model spasial deforestasi di Sumatera, maka
dipilih dua kabupaten sebagai pewakil dalam penilaian pola spasial deforestasi.
Kabupaten yang diilih merupakan pewakil profil sangat rawan yaitu Kabupaten
Kampar dan Indragiri Hulu Provinsi Riau.
Analisis metrik spasial deforestasi menunjukkan bahwa pola spasial
deforestasi di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu baik pada tingkat kabupaten
maupun desa adalah pola clumped, high contiguity dan unfragmented. Pola
spasial deforestasi yang terjadi tetap pada pola yang sama, meskipun dengan laju
yang rendah maupun tinggi. Ketiga metrik spasial deforestasi mampu
menjelaskan informasi tentang pola sebaran spasial temporal deforestasi.
Deforestasi di Kabupaten Kampar tergolong deforestasi periode awal yakni
periode 1990–2000 (early deforestation) sedangkan deforestasi di Kabupaten
Indragiri Hulu tergolong deforestasi yang terjadi pada periode akhir (lately
deforestation). Secara umum, penyebab deforestasi Kampar yaitu perkebunan
9
skala besar, ekstensifikasi lahan pertanian yang luas dan pengembangan
permukiman skala besar. Sementara itu, penyebab deforestasi di Indragiri Hulu
disebabkan oleh perkebunan skala besar, aktivitas pertanian skala kecil, dan
kebakaran hutan. Penjelasan lebih detail dapat dilihat pada bab 5.
6 PEMBAHASAN UMUM
Bagian pembahasan umum mensintesa hasil-hasil temuan penelitian pada
bab sebelumnya. Deforestasi di Sumatera dapat lebih dikenali dengan
mengidentifikasi profil deforestasinya dan mengenali faktor pendorong yang
menyebabkan daerah tersebut mengalami deforestasi. Deforestasi di Sumatera
didorong oleh ketersediaan luas hutan awal. Semakin besar areal hutan yang
dimiliki oleh satu kabupaten, maka deforestasi semakin cenderung terjadi. Selain
itu, laju yang rendah dapat lebih diuraikan dengan baik. Penelitian ini
menemukan bahwa 17 kabupaten/kota yang memiliki nilai laju rendah dapat
dijelaskan lebih detail.
Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor pendorong yang berbeda akan
memberikan pengaruh (perilaku) deforestasi yang berbeda pula. Di Sumatera,
kejadian deforestasi lebih dipengaruhi oleh faktor sosial yakni kepadatan
penduduk dan kepadatan umur produktif. Faktor biofisik yang memberikan
pengaruh lebih besar adalah proporsi luas hutan yang dimiliki suatu daerah.
Berdasarkan metrik spasial deforestasi yang terjadi selama periode 1990
hingga 2013, ditemukan bahwa pola spasial deforestasi selama ini terjadi secara
mengelompok, memiliki keterhubungan yang tinggi dan tidak terfragmentasi.
Pola ini membuktikan bahwa kejadian deforestasi di Kabupaten Kampar dan
Indragiri Hulu merupakan kejadia deforestasi yang disebabkan oleh perkebunan
skala besar. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada bab 6.
7 SIMPULAN DAN SARAN
Bagian ini akan menyimpulkan hasil-hasil temuan penelitian yang telah
diperoleh. Profil deforestasi merupakan analisis alternatif yang lebih baik untuk
menjelaskan kejadian deforestasi. Terdapat 24 profil deforestasi yang terjadi di
Kepulauan Sumatera dan didominasi oleh profil Small-Lately-Low Deforestation
(16 kabupaten/kota. Profil deforestasi berbasis spasial-temporal di Sumatera
didominasi oleh profil tidak rawan yang terjadi pada 87 kabupaten/kota (64.44%).
Model spasial deforestasi yang terbentuk menunjukkan bahwa pada deforestasi
yang terjadi di Sumatera dipengaruhi oleh faktor pendorong biofisik dan sosial.
Faktor sosial lebih memberikan pengaruh dibanding faktor biofisik. Faktor
biofisik yang secara umum berpengaruh lebih terhadap kejadian deforestasi
adalah proporsi luas hutan awal. Semakin tersedia hutan di suatu daerah, maka
semakin besar dorongan terjadinya deforestasi pada wilayah tersebut. Analisis
metrik spasial deforestasi menunjukkan bahwa pola spasial deforestasi di
Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu baik pada tingkat kabupaten maupun desa
adalah pola clumped, high contiguity dan unfragmented. Pola spasial deforestasi
10
yang terjadi tetap pada pola yang sama, meskipun dengan laju yang rendah
maupun tinggi. Secara umum, penyebab deforestasi adalah perkebunan skala
besar. Uraian lengkap dapat dilihat pada bab 7.
Rangkaian setiap bab dalam tulisan ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Pendahuluan
Kondisi Umum
Lokasi Penelitian
Profil Deforestasi di Sumatera
Model Spasial Deforestasi di Sumatera
Metrik Spasial Deforestasi
Pulau
Sumatera
10 Provinsi
(152 Kab./kota)
Profil I, II, III
Dairi, Kerinci, Kampar
Level Kabupaten dan Desa
Kampar dan Indragiri Hulu
Pembahasan Umum
Simpulan dan Saran
Gambar 2 Flow chart keterkaitan antar bab penelitian
11
2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Sumatera. Kepulauan Sumatera
mencakup pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kepulauan
Sumatera terletak antara 950 sampai 109.20 Bujur Timur (Gambar 3). Kepulauan
Sumatera terbagi menjadi 10 provinsi dan terdiri dari 152 kabupaten/kota. Luas
Kepulauan Sumatera adalah 47 693 691.34 ha (BPS 2013).
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan dengan tiga lokasi penelitian.
Tahap pertama, lokasi penelitian pada tingkat kabupaten di Sumatera. Tahap kedua,
penelitian dilaksanakan di tiga kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan
Jambi. Tahap ketiga, lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kampar dan
Indragiri Hulu Provinsi Riau pada tingkat kabupaten dan desa.
Kepulauan Sumatera dijadikan sebagai daerah penelitian karena laju
deforestasi yang tinggi. Kepulauan Sumatera juga merupakan tiga pulau terbesar
yang mengalami deforestasi di Indonesia (Sulistiyono et al. 2015a). Konversi hutan
Sumatera menjadi areal non hutan telah menarik minat para peneliti nasional dan
internasional (Tomich et al. 2001; Margono et al. 2012; Romijn et al. 2013;
Sulistiyono et al. 2015a; Setiawan et al. 2015). Provinsi Riau dan Jambi dipilih
sebagai lokasi penelitian karena merupakan provinsi yang memiliki luas dan laju
deforestasi sangat tinggi di Sumatera bahkan di Indonesia (Margono et al. 2012).
Penelitian ini dilaksanakan sejak Juni 2013 hingga Juni 2016. Analisis data
penelitian dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS, Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Pengolahan data penelitian ini
sebagian dilaksanakan di Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi
Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Unhas dan sebagian dilaksanakan pula di Forest
Inventory and Remote Sensing Laboratory, Goettingen University, Jerman.
Iklim
Iklim Kepulauan Sumatera tergolong ke dalam tipe iklim A (sangat basah).
Iklim tipe A merupakan iklim dengan puncak musim hujan antara Oktober dan
Januari. Berdasarkan tipe iklim ini, Kepulauan Sumatera memiliki hutan gambut
dan mangrove yang umumnya berada di daerah tipe iklim A atau B, dan lokasinya
berada di pantai timur Sumatera. Selain itu, Sumatera juga memiliki Hutan hujan
tropis yang umumnya menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini
menutupi sebagian besar Pulau Sumatera (Sulistiyono 2015).
12
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Kondisi Biofisik
Kondisi biofisik jenis tanah di Kepulauan Sumatera antara lain alluvial
Hidromorfik Kuning, Organosol, Podsolik Merah Kuning, Podsolik Coklat,
Latosol, Litosol, Andosol, dan ada beberapa jenis tanah lainnya yang juga tersebar
di seluruh wilayah. Kepulauan Sumatera berada pada iklim tropis basah sehingga
menyebabkan curah hujan yang banyak. Kondisi hidrologi atau keadaan akuifer di
Kepulauan Sumatera tersebar hampir di semua wilayah Kepulauan Sumatera.
DEFORESTASI DI SUMATERA
SYAMSU RIJAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pola Spasial,
Temporal dan Perilaku Deforestasi Di Sumatera adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Syamsu Rijal
NIM E161110021
RINGKASAN
SYAMSU RIJAL. Pola Spasial, Temporal dan Perilaku Deforestasi di
Sumatera. Dibimbing oleh M BUCE SALEH, I NENGAH SURATI JAYA, dan
TATANG TIRYANA.
Deforestasi yang terjadi di Indonesia bahkan dunia selama ini cenderung
dinilai berdasarkan besaran laju dan luas area deforestasi. Penilaian deforestasi
seperti ini berpotensi memberikan informasi yang keliru tentang kondisi hutan
suatu wilayah. Laju deforestasi yang tinggi secara umum dipahami sebagai wilayah
dengan kerusakan hutan yang tinggi. Begitu pula sebaliknya, wilayah dengan laju
deforestasi yang rendah dinilai sebagai daerah dengan kondisi hutan yang lebih
baik. Laju deforestasi yang rendah atau bahkan nol dipahami sebagai wilayah yang
tidak mengalami deforestasi. Faktanya, laju yang rendah pada satu wilayah tidak
selalu berarti memiliki hutan yang lebih baik.
Penilaian deforestasi yang didasarkan pada besarnya nilai laju dan luas area
deforestasi telah dijadikan ukuran untuk menggambarkan kondisi hutan suatu
wilayah bahkan negara. Selain permasalahan penilaian deforestasi, perlu pula
pengetahuan tentang perilaku deforestasi yang ditentukan oleh faktor pendorong
yang berbeda pada tiap wilayah. Deforestasi pada suatu wilayah dapat memiliki
pola spasial tertentu yang berbeda dengan pola spasial deforestasi di wilayah lain.
Untuk itu, permasalahan deforestasi khususnya di Sumatera perlu dikaji lebih dalam
yang memperhatikan aspek spasial, temporal dan perilaku deforestasi pada masingmasing wilayah.
Penelitian ini mencoba memformulasikan penilaian deforestasi dengan
membangun profil deforestasi. Profil deforestasi dibangun berdasarkan variabel
proporsi luas hutan awal, kejadian deforestasi dan laju deforestasi. Penelitian ini
juga mengkaji karakteristik deforestasi berdasarkan faktor-faktor pendorong yang
terkait dengan model spasial deforestasi. Kemudian, model deforestasi secara
spasial dibangun pada masing-masing profil deforestasi yang terbentuk. Selain itu,
penelitian ini juga mengidentifikasi pola spasial deforestasi di Sumatera secara
detail yang mewakili profil deforestasi dan model spasial deforestasi.
Hasil penelitian menemukan adanya 24 profil deforestasi di Sumatera yang
termasuk dalam 10 provinsi (152 kabupaten/kota). Deforestasi di Sumatera
didominasi oleh profil Small-Lately-Low Deforestation yang terjadi pada 16
kabupaten/kota. Jumlah kabupaten/kota yang tidak mempunyai hutan (No Forest
Area) sebanyak 12 kabupaten/kota dan Small-No Deforestation terjadi pada 5
kabupaten/kota. Deforestasi tingkat provinsi di Sumatera periode 1990 hingga 2013
merupakan bentuk Early deforestation (90%). Deforestasi tertinggi terjadi di
Provinsi Riau dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau.
Bagian model spasial menerangkan pola perilaku deforestasi berdasarkan
faktor pendorong pada masing-masing profil, yang dibangun berdasarkan variabel
biofisik dan sosial. Variabel biofisik terdiri dari prosentase luas hutan awal, slope,
elevasi, jaringan jalan, jaringan sungai. Variabel sosial terdiri dari kepadatan
penduduk dan kepadatan umur produktif. Model spasial deforestasi yang terbangun
memperlihatkan bobot pengaruh masing-masing variabel pada tiap profil
deforestasi.
Model spasial deforestasi yang terbentuk menunjukkan bahwa pada
deforestasi yang terjadi di Sumatera dipengaruhi oleh faktor pendorong biofisik dan
sosial. Bobot pada model tersebut menjelaskan bahwa faktor sosial berkontribusi
lebih besar terhadap terjadinya deforestasi. Faktor biofisik tetap memberikan
dorongan terhadap deforestasi. Kondisi biofisik wilayah memberikan pengaruh
yang berbeda terhadap kejadian deforestasi, terutama pada saat faktor ekonomi
relatif sama. Faktor biofisik yang dominan adalah proporsi luas hutan.
Pola spasial deforestasi dinilai berdasarkan metrik spasial deforestasi yang
dibangkitkan melalui indeks spasial. Pola spasial deforestasi yang terjadi di
Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu periode 1990 hingga 2014 adalah pola
spasial deforestasi yang mengelompok, dengan tingkat keterhubungan yang tinggi
dan tidak terfragmentasi. Pola spasial deforestasi ini mengindikasikan bahwa secara
umum deforestasi di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu disebabkan oleh
ekspansi perkebunan skala besar.
Metrik Cl, Ct dan Pd mampu memberikan informasi tentang pola sebaran
spasial deforestasi. Hubungan pola spasial deforestasi tingkat desa dengan laju
deforestasi menunjukkan bahwa masing-masing metrik membentuk dua pola.
Kata kunci: profil deforestasi, model spasial, pola spasial
SUMMARY
SYAMSU RIJAL. Pattern of spatial, temporal and behavioral deforestation
in Sumatra. Supervised by M BUCE SALEH, I NENGAH SURATI JAYA, dan
TATANG TIRYANA.
Deforestation in Indonesia and even in the world has been commonly been
assessed based on the rate and area size of deforestation. Such deforestation
assessment may give a misleading information on the forest condition in a certain
region. A region with high deforestation rate is generally defined as the region with
high forest destruction, while a region with low deforestation rate could be the area
with better forest condition. The low or zero rate of deforestation is often mis
interpretated as no deforestation. In fact, the low deforestation rate of an area does
not always mean having a better forest condition.
In addition to the problem of deforestation assessment, it is also necessary to
know the behavior of deforestation that is driven by different driving forces for each
region. The spatial pattern of deforestation might also differ from one region to
another. Therefore, study on deforestation, especially in Sumatra, is necessary to
assess spatial, behavioral, and temporal patterns of the deforestation.
Objective of the study was to formulate an alternative deforestation
assessment on development of a deforestation profile in the region. The
deforestation profile was developed based on three variables, i.e. the proportion of
initial forest area, the incidence of deforestation, and the rate of deforestation. This
study also examined the characteristics of deforestation based on driving forces
related on spatial models of deforestation. The deforestation models spatially were
developed for representing each class of deforestation profile. In addition, this study
also identified the spatial patterns of deforestation in Sumatra in detail which
represents the profile of deforestation and spatial models of deforestation.
The study found that 24 deforestation profiles in 10 provinces, covering 152
districts/cities of Sumatra. Deforestation in Sumatra was dominated by SmallLately Low Deforestation, which occurred in 16 districts/cities. The number of
districts/cities with no forest area was 12 districts/cities and Small-No
Deforestation occured in 5 districts/cities. The provincial level of deforestation in
Sumatra in the period of 1990 to 2013 was an Early deforestation (90%). The
highest deforestation was found in Riau province while the lowest one was in the
province of Riau Islands.
The spatial model explained that behavioral pattern of deforestation based on
driving forces in each profile, developed using biophysical and social variables.
Biophysical variables consist of a percentage of the initial forest area, slope,
elevation, road networks and river networks. Social variables consist of population
density and density of productive age. The spatial model of deforestation was
awakened shows the influence of the weight of each variable in each profile of
deforestation.
The spatial model of deforestation in Sumatra was developed by considering
the biophysical and social driving factors. Weight of the model explains that social
factors contributed more on deforestation occurrences than biophysical factor.
Biophysical factors continue to give impetus to deforestation. Biophysical
conditions of the region have different effects on the incidence of deforestation,
especially when the economic factors were relatively equal. The dominant of
biophysical factors is the proportion of forest area.
The spatial pattern of deforestation was assessed based on spatial metric
measures derived from several spatial indexes. For the period of 1990 to 2014, the
spatial patterns of deforestation in Kampar and Indragiri Hulu regencies were
clustered with a high connectivity/high contiguity and unfragmented. The spatial
pattern of deforestation in Kampar and Indragiri Hulu regencies indicated that the
causes of deforestation was mainly due to the expansion of large-scale plantations.
The Cl, Ct and Pd metrics provided information about the spatial distribution
patterns of deforestation. The relationship between the spatial patterns of
deforestation at village level and the rate of deforestation revealed that each metric
formed two patterns of the distribution pattern of deforestation.
Keywords: profile deforestation, spatial models, spatial pattern
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POLA SPASIAL, TEMPORAL DAN PERILAKU
DEFORESTASI DI SUMATERA
SYAMSU RIJAL
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr Ir Roland Alexander Barkey, MSc
2. Dr Dra Nining Puspaningsih, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Dr Riva Rivani, S Hut MAgr
2. Dr Dra Nining Puspaningsih, MSi
Judul Disertasi : Pola Spasial, Temporal dan Perilaku Deforestasi di Sumatera
Nama
: Syamsu Rijal
NIM
: E161110021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Muhammad Buce Saleh, MS
Ketua
Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr
Anggota
Dr Tatang Tiryana, S Hut, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Hardjanto, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian Tertutup: 29 Juni 2016
Tanggal Ujian Promosi: 19 Juli 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi dengan judul “Pola spasial, temporal dan perilaku
deforestasi di Sumatera” dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah
syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan disertasi ini sebagian dibiayai oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan melalui beasiswa BPPS tahun 2001 hingga 2014 dan program Hibah
Doktor/Disertasi Doktor tahun 2016 dari Kemenristekdikti RI. Bagian pertama dari
disertasi ini telah dipublikasikan pada International Journal of Sciences: Basic and
Applied Research (IJSBAR) dengan judul Deforestation Profile of Regency Level
in Sumatra Volume 25 (2): 385-402 tahun 2016. Bagian kedua disiapkan untuk
dipublikasikan pada jurnal ilmiah Geomatika-Badan Informasi Geospasial (BIG).
Bagian ketiga telah dipublikasikan di Journal of Tropical Forest Management
dengan judul Spatial Metric of Deforestation in Kampar and Indragiri Hulu, Riau
Province Volume 22 Nomor 1 Edisi April 2016. Temuan lain pada bagian ketiga
direncanakan akan dipublikasikan pada Jurnal International Telkomnika.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan
penuh kesabaran memberikan arahan, cakrawala berpikir, motivasi, dan
sikap hidup kepada penulis selama menempuh pendidikan.
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr yang dengan kerelaan dan
kesabarannya memberikan bimbingan, masukan, arahan dan pelajaran tentang
semangat hidup.
Dr. Tatang Tiryana, S. Hut, M.Sc yang selalu menyediakan waktu untuk
diskusi dan berbagi keluh juga kesah, serta senantiasa memberi semangat dan
motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan studi.
Dr. Ir. Roland A. Barkey, M. Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup
dan sebagai Kepala Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi
Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala
dorongan, motivasi, bantuan dan masukan pada tulisan kepada penulis.
Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M. Si selaku penguji luar komisi pada ujian
tertutup dan promosi atas berbagai perhatian dan pengertian serta masukan
dan saran kepada penulis.
Dr Riva Rivani, S. Hut, M. Agr atas masukan, pengertian dan saran serta
kesediaan waktu dalam ujian promosi demi penyempurnaan disertasi ini.
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku Ketua PS Ilmu Pengelolaan Hutan atas
kesabaran dan pengertiannya yang meluangkan waktu untuk memonitor,
mendorong, mendengar dan memberikan solusi penyelesaian studi.
Dirjen Dikti, Kemenristek-Dikti RI atas bantuan beasiswa BPPS tahun 2011,
Sandwich-like Program/PKPI 2014 dan Beasiswa Hibah Doktor 2016.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Prof. Dr. Ir. Yusran Jusuf, M. Si selaku Dekan Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin yang senantiasa memberikan masukan, semangat
dan kepercayaan dalam menyelesaikan studi.
Prof. Dr. Christoph Kleinn dan Dr. Lutz Fehrmann (Forest Inventory and
Remote Sensing Laboratory, Goettingen University, Jerman) atas bantuan,
kerjasama dan fasilitasinya selama penelitian dan Sandwich di Jerman.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Agr selaku Dekan Pascasarjana IPB, pimpinan SPS
IPB dan segenap staff atas segala bantuan, kerjasama dan pelayanan yang
diberikan sehingga penyelesaian studi dapat dicapai dengan baik.
Keluarga besar Laboratorium Remote Sensing dan GIS (Ruang ALOS), atas
setiap kebersamaan, kekeluargaan dan bantuan yang sangat berarti dan luar
biasa sebagai teman, saudara dan keluarga dalam urun tangan membantu
penyelesaian penelitian dan studi ini.
M Ripqi Lubis, Fitrah dan Staff BPKH XIX Riau atas bantuan selama
pengambilan data lapangan.
Teman-teman Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi Kehutanan,
Fakultas Kehutanan Unhas atas bantuan dan dukungan selama penelitian.
Teman-teman IPH khususnya angkatan 2011, Pengurus Forum Mahasiswa
Pascasarjana IPB (Forum WACANA IPB) periode 2012-2013, Pengurus dan
Keluarga Besar Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB Sulawesi Selatan
(RUMANA IPB SULSEL), Team Safe House atas persahabatan,
persaudaraan dan kerjasamanya selama masa studi.
Ayahanda H. Mappangara dan Ibunda Hj. Emy Tappa serta adik-adikku
Syamsu Dhuha, Ibnu Chaldon, S. Sos, Fauziah, SH, Sulpiana dan Fadly
Ramadhan atas segala doa, motivasi dukungan dan pesan dalam menjalani
hidup dan menyelesaikan studi akhir di IPB.
Bapak Dr. Ir. H. Tri Panji, MS dan Wondo Sutyowati, SE selaku ayah dan
ibu mertua serta adinda Fauzan Al Hakim, STP dan Ibu Hj. Desmawaty atas
segala doa, bantuan, dukungan dan dorongan dalam menyelesaikan studi di
IPB.
Istriku tercinta Shinta Permatasari, STP, M. Si dan Putriku Aleena Calluna
Dzakwania Fazila atas doa, dukungan, dorongan, kesabaran dan kebersamaan
selama ini.
Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi
ini dapat diselesaikan.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat yang luas bagi penulis maupun
yang membaca tulisan ini.
Bogor,
Juli 2016
Syamsu Rijal
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Novelty Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Iklim
Kondisi Biofisik
Kondisi Hutan dan Tutupan Lahan
Kondisi Sosial Ekonomi
3 PROFIL DEFORESTASI DI SUMATERA
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengolahan Data
Analisis Data
Keterangan :
Sintesa Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Luas Hutan, Luas, Laju dan Sebaran Deforestasi
Profil Deforestasi di Sumatera
Simpulan
4 MODEL SPASIAL DEFORESTASI DI SUMATERA
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengolahan Data
Analisis Data
Sintesa Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 METRIK SPASIAL DEFORESTASI DI KABUPATEN KAMPAR DAN
INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengolahan Data
Analisis Data
Sintesa Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Area Deforestasi
Metrik Spasial Deforestasi
Korelasi dan Kombinasi Metrik Spasial Deforestasi
Keterangan :
v
v
vi
1
1
3
4
6
6
11
11
11
12
13
14
15
15
16
16
16
19
19
19
19
27
32
34
34
35
35
36
37
38
41
42
42
43
43
44
46
48
48
53
56
57
Indeks spasial dan faktor penyebab deforestasi
Simpulan
6 PEMBAHASAN UMUM
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
59
60
62
66
66
67
68
77
96
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Kelas kelerengan (slope) pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
Kelas ketinggian pada tiap provinsi di Kepulauan Sumatera
Luas hutan tiap provinsi di Sumatera tahun 1990, 2000 dan 2013
Matrik spatio-temporal deforestasi di Sumatera
Matrik tingkat kerawananan deforestasi di Sumatera
Luas hutan tertinggi dan terendah tingkat kabupaten/kota tahun
1990 dan 2013 di Sumatera
Laju deforestasi tertinggi dan periode deforestasi tertinggi tingkat
kabupaten/kota periode1990 − 2013 di Sumatera
Perubahan tutupan lahan hutan menjadi tutupan lain selama periode
1990−2013 di Sumatera
Proporsi spasial-temporal deforestasi berdasarkan luas hutan awal
tingkat provinsi di Sumatera periode 1990-2013
Profil dan sebaran tingkat kerawanan deforestasi di Sumatera
Tingkat kerawanan profil deforestasi berdasarkan rata-rata LDT
Hasil pembobot berdasarkan analisis AKU pada Profil I
Hasil pembobot berdasarkan analisis AKU pada Profil II
Hasil pembobot berdasarkan analisis AKU pada Profil III
Uji akurasi tutupan lahan Kabupaten Kampar dan Indagiri Hulu
Deforestasi beberapa periode di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu
Kombinasi pola spasial deforestasi tingkat desa di Kabupaten
Kampar dan Indragiri Hulu.
13
13
14
18
19
20
21
23
30
31
31
38
39
40
48
48
56
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Kerangka dan alur pikir penelitian
Peta lokasi penelitian
Luas hutan awal per provinsi di Sumatera
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 1990–1996
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 1996–2000
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 2000–2006
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera periode 2006–2011
Spasial-temporal deforestasi di Sumatera 2011–2013
5
12
20
24
24
25
25
26
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Profil deforestasi berbasis spasial-temporal di Sumatera periode
1990–2013
Peta profil deforestasi Sumatera periode 1990–2013
Peta tingkat kerawanan deforestasi Sumatera periode 1990–2013
Diagram alir penelitian
Sebaran areal deforestasi di Kabupaten Kampar periode
1990–2000 (a), 2000–2010 (b) dan 2010–2014 (c)
Sebaran areal deforestasi di Kabupaten Indragiri Hulu periode
1990–2000 (a), 2000–2010 (b) dan 2010–2014 (c)
Illustrasi metrik spasial; clumpiness index (a), Contiguity Mean
Index (b) dan Patch Density (c) (McGarigal 2001)
Metrik spasial; clumpiness index (a), Contiguity MN Index (b)
dan Patch Density (c) pada beberapa periode
Hubungan laju deforestasi dengan Clumpiness Index per desa
Hubungan laju deforestasi dengan indeks Contig MN per desa
Hubungan antara laju deforestasi dengan indeks PD per desa
28
29
32
47
50
51
54
54
58
58
59
DAFTAR LAMPIRAN
1 Luas kabupaten, luas hutan awal dan luas deforestasi tingkat
kabupaten di Sumatera periode 1990, 2000, 2013
2 Laju dan rata-rata deforestasi (r), Annual Rate of Deforestasi (ARD)
tingkat kabupaten di Sumatera periode 1990, 2000, 2013
3 Proporsi luas hutan awal (PLHA), Proporsi kejadian deforestasi
(PKD) dan Profil Deforestasi di Sumatera
4 Sebaran Profil dan tingkat kerawanan deforestasi di Sumatera
5 Metrik spasial Clumpiness Index, Contiguity Mean Index, Patch
Density, luas deforestasi dan laju deforestasi periode 1990-2014
77
82
87
92
93
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan tutupan lahan hutan di daerah tropis menjadi topik utama terkait
perdagangan karbon dunia (Gullison et al. 2007; Miles dan Kapos 2008; Phelps et
al. 2010; Mon et al. 2012) dan dampaknya terhadap perubahan iklim. Dampak
perubahan iklim dapat mempengaruhi kehidupan manusia dan komponen hidup
lainnya seperti akumulasi gas rumah kaca di atmosfer (Heal dan Kristorm 2002 dan
Ozanne et al. 2003). Peran hutan yang lestari menjadi penting dalam konteks
menjaga iklim global, penyimpanan karbon, proses hidrologi dan keanekaragaman
hayati (Achard 2002; Ozanne et al. 2003; FAO 2012). Perubahan tutupan hutan
yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan hutan menjadi tutupan lain atau
non hutan (deforestasi) (FAO 2000 dan FAO 2005). Deforestasi telah menjadi
masalah lingkungan global, selain isu-isu degradasi lahan, keanekaragaman hayati,
keamanan pangan dan kelestarian lingkungan (Olson et al. 2004 dan Foley et al.
2005). Perluasan areal deforestasi khususnya didaerah tropis menyebabkan
turunnya kualitas lingkungan. Dampak lainnya adalah perubahan iklim global,
menurunnya kualitas habitat, hingga kepunahan spesies (Vance dan Geohegan
2002).
Istilah deforestasi masih dapat diperdebatkan. Sunderlin dan Resosudarmo
(1997) mendefenisikan deforestasi sebagai perubahan penutupan hutan menjadi
areal atau wilayah non hutan untuk penggunaan lain secara permanen. FAO (1996)
menyatakan bahwa deforestasi adalah konversi hutan menjadi penggunaan lahan
lain. Secara kuantitatif, deforestasi juga diartikan sebagai pengurangan tutupan
tajuk pohon menjadi kurang dari ambang minimum 10% untuk jangka panjang
dengan tinggi pohon minimum 5 m pada areal seluas minimum 0.5 ha. Deforestasi
dalam penelitian ini diartikan sebagai tutupan hutan (land cover) yang mengalami
perubahan berupa kehilangan tutupan secara permanen baik tutupan hutan yang
utuh, terpotong-potong secara spasial (terfragmentasi) baik dalam bentuk ateal
bukaan besar atau kecil yang lokasinya tersebar.
Degradasi hutan merupakan perubahan yang terjadi di dalam hutan yang
berdampak negatif pada tegakan atau tapak (Lund 2009). Degradasi menurunkan
komposisi spesies, keanekaragaman hayati, dan produktivitas hutan (FAO 2010).
Degradasi hutan menjadi isu global karena kontribusinya yang siginifikan terhadap
perubahan iklim global. Degradasi lahan akan mengakibatkan penurunan
produktivitas lahan pada masa yang akan datang (Oldeman 1992). Degradasi lahan
memberikan dampak tidak langsung berupa terjadinya kemiskinan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan (Lamb et al. 2005). Degradasi hutan juga merupakan proses
penting dalam fragmentasi lanskap (Bastilla et al. 2000).
Deforestasi memunculkan hutan-hutan yang terfragmentasi (Samsuri 2014).
Deforestasi juga memberi dampak pada peningkatan fragmentasi hutan yang
menghasilkan peningkatan isolasi patch hutan (Reddy et al. 2013 dan Newman et
al. 2014). Bagian hutan yang terpisah di sebuah lanskap yang didominasi oleh
kehidupan manusia yang luasannya cenderung di bawah satu hektar (Laurence
2005). Pembukaan hutan dan konversi hutan yang terus berlangsung menjadi
berbagai penggunaan lain telah memisahkan hutan yang kompak atau utuh. Pada
lokasi tertentu, hutan yang utuh dan terkonsentrasi cukup luas masih ditemukan
2
(2002). Hutan yang luas ini dikonversi menjadi lahan pertanian (Morton et al.
2007). Aktifitas pembukaan hutan dan konversi hutan menyebabkan fragmentasi
lanskap hutan. Aktifitas ini juga menyebabkan rusaknya biota hutan dan hilangnya
habitat yang cocok bagi spesies yang sensitif (Mendoza et al. 2005). Hal ini juga
meningkatkan kompetisi dari spesies umum (Laurence et al. 2009) dan isolasi
genetik sub populasi (Goosem 2007). Fragmentasi juga merupakan salah satu faktor
utama pemicu kehilangan biodiversitas lanskap hutan (Fahrig 2003). Di sisi lain,
fragmentasi merupakan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati (CBD 2005)
seperti yang terjadi pada beberapa spesies tertentu.
Deforestasi yang terjadi mengakibatkan kenaikan temperatur bahkan
perubahan siklus musim. Akibat dari situasi ini adalah sering terjadinya kebakaran
hutan dan naiknya permukaan air laut. Kebakaran hutan di Indonesia terus terjadi
setiap tahun. Kebakaran sangat luas terjadi pada tahun 1982 sebesar 3.2 juta hektar
dan tahun 1994 seluas 9 765 000 ha (FWI 2002). Deforestasi juga memicu
terjadinya degradasi lahan Sumatera. Salah satu contoh degradasi hutan terjadi di
Sumatera Utara yang mencapai 2.4 juta hektar lahan kritis (Kaprawi dan
Purbatakusuma 2011). Penelitian lain mengungkapkan bahwa deforestasi di hutan
tropis terjadi pada tahun 1990. Deforestasi tersebut menyebabkan emisi gas rumah
kaca sebesar 17% (Gullison et al. 2007). Emisi gas rumah kaca yang meningkat
diyakini telah menaikkan suhu bumi di seluruh dunia (Shindell et al. 2004 dan
Hansen et al. 2006).
Deforestasi mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan indikator perubahan
lingkungan (Tiner 2004). Indikator lingkungan perlu dikembangkan seperti
indikator penilaian deforestasi. Deforestasi selama ini dinilai berdasarkan area
terdeforestasi dan diukur pada waktu sekarang (Ferraz et al. 2009). Begitu pula
dengan penelitian deforestasi di Indonesia. Penelitian tentang laju dan luas
deforestasi telah banyak dilakukan khususnya di Sumatera. Diantara penelitian di
Sumatera tersebut adalah penelitian FAO yang menyatakan bahwa sumberdaya
hutan mengalami deforestasi sebesar 1.7% periode 1990 hingga 2000 (FAO 2010).
FAO juga menunjukkan bahwa deforestasi cenderung menurun 0.5% periode 2000
hingga 2010. Deforestasi di Indonesia seluas 15.15 juta ha pada tahun 2009 (FWI
2011). Deforestasi di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan deforestasi
negara-negara Asia Tenggara. Deforestasi negara-negara di Asia Tenggara hanya
mencapai 1% periode 1990 hingga 2000. Bahkan, deforestasi Asia Tenggara ini
hanya 0.4% periode 2000 hingga 2010 (FAO 2010).
Sumatera mengalami konversi hutan sebesar 70% pada periode 1990–2010
(Margono et al. 2012). Sumatera merupakan pulau dengan laju deforestasi paling
tinggi di Indonesia. Laju deforestasi di Sumatera diperkirakan sebesar 6.5 juta ha
(28%) pada kurun waktu 1985–1997 (GWF 2002). Sumatera telah kehilangan
sekitar 7.54 juta ha hutan primer atau seluas 47% periode 1990–2010. Hutan primer
yang tersisa sebesar 30.4% (Margono et al. 2012). Provinsi Riau dan Sumatera
Selatan merupakan provinsi di Sumatera yang mengalami kehilangan hutan primer
lebih dari 50% pada periode 1990–2010. Kehilangan hutan terbesar di Sumatera
terjadi di Provinsi Riau yakni sebesar 42% pada tahun 1990 hingga 2010 (Margono
et al. 2012).
3
Perumusan Masalah
Deforestasi yang terjadi selama ini dinilai dengan hanya melihat besaran laju
dan luas deforestasinya saja. Penilaian deforestasi yang hanya berdasarkan laju
deforestasi berpotensi memberikan informasi yang keliru. Laju deforestasi yang
tinggi secara umum dipahami sebagai daerah yang kehilangan dan kerusakan hutan
yang tinggi. Sebaliknya, daerah yang memiliki laju deforestasi yang rendah dinilai
sebagai daerah yang lebih baik dibanding daerah dengan laju yang tinggi. Faktanya
adalah nilai laju deforestasi yang rendah atau bahkan nol (tidak terjadi deforestasi)
tidak selalu berarti bahwa daerah tersebut memiliki hutan yang lebih baik. Nilai laju
rendah bahkan laju nol (tidak terjadi deforestasi) pada suatu periode pengamatan
dapat disebabkan karena wilayah tersebut telah kehilangan total luas hutan pada
periode deforestasi sebelumnya. Potensi kesalahan ini terus berlanjut. Formulasi
deforestasi dibutuhkan untuk mendeskripsikan kejadian deforestasi pada suatu
daerah atau wilayah yang lebih baik. Sejauh ini, metode penilaian yang didasarkan
pada laju dan luas deforestasi dijadikan barometer untuk mencerminkan secara
umum kondisi hutan suatu wilayah atau negara. Penilaian laju deforestasi dijadikan
ukuran dan dasar pengambilan keputusan. Upaya mencari dan menemukan metode
penilaian baru dalam penyempurnaan penilaian deforestasi belum banyak
dilakukan. Diantara metode penilaian tersebut adalah Ferraz et al. (2009) dan Hietel
et al. (2004). Akan tetapi penelitian tersebut masih fokus pada nilai laju dan
kejadian deforestasi. Penelitian ini mencoba memformulasikan metode penilaian
deforestasi dengan mempertimbangkan faktor lain selain laju dan luas area
deforestasi yakni faktor keberadaan hutan awal pada suatu wilayah dan proses
kejadian deforestasi.
Permasalahan deforestasi dan berbagai upaya penanggulangannya telah
banyak dilakukan di Indonesia. Upaya penanggulangan dilakukan melalui berbagai
kebijakan dan program. Akan tetapi, persoalan deforestasi di Indonesia khususnya
di Sumatera masih terus terjadi hingga saat ini. Kegagalan penanggulangan
permasalahan deforestasi di Sumatera bahkan di Indonesia diantaranya disebabkan
oleh kurangnya pemahaman tentang karakteristik terjadinya deforestasi pada suatu
wilayah. Perbedaan keragaman wilayah dengan penanganan yang sama dalam
penanggulangan deforestasi menjadi salah satu penyebab kegagalan
penanggulangan permasalahan deforestasi.
Informasi tentang keragaman wilayah dalam memahami karakteristik
kejadian deforestasi sangat penting. Penelitian tentang keragaman wilayah
deforestasi ini dilakukan untuk membangun model spasial deforestasi. Model
deforestasi dibangun pada pewakil profil deforestasi yang telah dibentuk
sebelumnya. Model deforestasi dibangun berdasarkan faktor pendorong terjadinya
deforestasi yang terdiri dari faktor bioisik dan sosial). Faktor pendorong deforestasi
suatu wilayah diyakini berbeda dengan wilayah lain. Penelitian model spasial
deforestasi berdasarkan faktor pendorong deforestasi dilakukan pada profil
deforestasi dengantingkat kerawanan rendah, sedang dan tinggi. Wilayah Sumatera
secara umum dan Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Utara secara khusus
merupakan wilayah kajian yang sangat menarik karena merupakan pulau dan
provinsi dengan deforestasi rendah hingga tertinggi di Indonesia (Margono et al.
2012; Sulistiyono et al. 2015a).
4
Selain profil dan model spasial deforestasi, penanganan deforestasi selama ini
terfokus pada kajian tentang pola spasial deforestasi. Penelitian ini mengungkapkan
pentingnya melengkapi pemahaman deforestasi dengan pola spasial temporal
deforestasi. Pola spasial temporal tentang sebaran dan pola perkembangan kejadian
deforestasi pada beberapa periode pengamatan akan memberikan dukungan
informasi yang lebih baik dibanding sebelumnya. Penelitian ini mencoba
menghubungkan pola spasial temporal deforestasi dengan faktor pendorong yang
akan memberikan informasi yang lebih baik dan lengkap.
Secara umum rangkaian penelitian dapat dilihat pada kerangka pikir dan alur
penelitian pada Gambar 1. Bagian pertama penelitian ini menguraikan tentang
pentingnya penambahan informasi lain dalam penilaian deforestasi. Informasi yang
ditambahkan dalam penyusunan informasi baru (profil deforestasi) adalah luas
hutan awal, proses kejadian deforestasi dan laju deforestasi. Penelitian profil
deforestasi ini merupakan perpaduan antara pola spasial dan temporal deforestasi.
Lokasi penelitian difokuskan pada 152 wilayah kabupaten/kota di Sumatera.
Bagian kedua menguraikan tentang pentingnya informasi keragaman wilayah
dan faktor pendorong terjadinya deforestasi. Identifikasi faktor pendorong
deforestasi digunakan untuk membuat model spasial deforestasi. Bagian ini
menjelaskan model spasial masing-masing profil deforestasi yang memperlihatkan
perilaku berbeda. Wilayah kajian difokuskan pada pewakil masing-masing profil
deforestasi yang terdiri dari profil dengan tingkat kerawanan deforestasi rendah
(Kab. Dairi, Sumatera Utara), profil dengan tingkat kerawanan deforestasi sedang
(Kab. Kerinci, Jambi) dan profil dengan tingkat kerawanan deforestasi tinggi (Kab.
Kampar, Riau). Kabupaten Dairi memiliki 15 kecamatan, Kabupaten Kerinci
memiliki 16 kecamatan dan Kabupaten Kampar memiliki 18 kecamatan.
Bagian ketiga penelitian merupakan bagian yang menilai pola spasial
deforestasi yang difokuskan pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Kampar dan
Indragiri Hulu di Provinsi Riau. Identifikasi pola spasial menggunakan metrik yang
dibangkitkan melalui Fragstat. Ketiga metrik yang digunakan adalah Clumpiness
Index, Contiguity Index dan Patch Density. Ketiga metrik kemudian dianalisis lebih
jauh pada hampir 400 desa di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu. Bagian ini
mengungkapkan pola spasial deforestasi selama periode 1990 hingga 2013 pada
level desa di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu.
Novelty Penelitian
Kebaharuan (novelty) penelitian ini adalah penelitian yang menggabungkan
dinamika spasial dan temporal dengan dinamika perilaku deforestasi di Sumatera.
Kebaharuan penelitian ini adalah membuktikan bahwa laju deforestasi tidak cukup
menjelaskan dinamika deforestasi suatu wilayah dengan merumuskan profil
deforestasi yang merupakan metode baru dalam penilaian deforestasi tingkat
kabupaten di Sumatera. Novelty lainnya adalah menemukan model spasial
deforestasi yang memadukan variabel biofisik wilayah dan variabel sosial yang
beragam berdasarkan perilaku faktor pendorong deforestasi (driving force).
Kebaruan penelitian berikutnya adalah mampu mengidentifikasi dan
mendeskripsikan pola spasial deforestasi yang terjadi pada satu periode deforestasi
(sebaran, konektivitas dan fragmentasi) pada suatu wilayah hingga level desa.
5
Deforestasi
Laju dan luas deforetasi
Pola temporal-spasial deforestasi
Luas hutan awal
Sumatera
Laju deforestasi
Kejadian deforestasi
Profil deforestasi tingkat kabupaten
Faktor
pendorong
Profil I, II, III
Dairi, Kerinci, Kampar
Pola perilaku deforestasi
Biofisik
dan sosial
Analisis Komponen
Utama
Model Spasial
Model spasial deforestasi di Sumatera
Pola spasial deforestasi
Contiguity
Clumpiness
Patch Density
Provinsi Riau
Level desa Kabupaten
Kampar dan Indragiri
Hulu
Level Kabupaten
Kampar dan Indragiri
Hulu
Fragstat
Metrik spasial deforestasi
Gambar 1 Tahapan penelitian
6
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola spasial,
temporal dan perilaku deforestasi di Sumatera. Tujuan khusus penelitian adalah :
1. Mengidentifikasi dan memformulasikan profil deforestasi sebagai alternatif
penilaian deforestasi di Sumatera
2. Membangun model spasial deforestasi berdasarkan faktor pendorong
deforestasi di Sumatera
3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan pola spasial deforestasi tingkat
kabupaten dan desa di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu, Provinsi
Riau.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang luas bagi semua
pihak baik dari segi keilmuan, pemahaman dan pengetahuan maupun segi praktis
penanggulangan deforestasi dan pengelolaan hutan dan sumberdaya alam
khususnya di Indonesia.
Sistematika Disertasi
Kerangka pendekatan penelitian ini menguraikan dan menjelaskan berbagai
permasalahan dan hal-hal yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.
Secara garis besar sistematika penyusunan disertasi ini dibagi dalam tujuh bagian
dengan susunan sebagai berikut:
1 PENDAHULUAN
Penilaian deforestasi yang hanya berdasarkan laju deforestasi berpotensi
memberikan informasi yang keliru. Metode penilaian yang didasarkan pada laju
dan luas deforestasi dijadikan ukuran untuk mencerminkan secara umum kondisi
hutan suatu wilayah atau negara. Penilaian laju deforestasi dijadikan ukuran dan
dasar pengambilan keputusan. Upaya membangun metode penilaian baru dalam
penyempurnaan penilaian deforestasi belum banyak dilakukan. Penelitian ini
mencoba
memformulasikan
metode
penilaian
deforestasi
dengan
mempertimbangkan faktor lain selain laju dan luas area deforestasi yakni faktor
keberadaan hutan awal pada suatu wilayah dan proses kejadian deforestasi.
Selain itu, kegagalan penanggulangan permasalahan deforestasi di Sumatera
bahkan di Indonesia disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang karakteristik
terjadinya deforestasi pada suatu wilayah. Perbedaan keragaman wilayah dengan
penanganan yang sama dalam penanggulangan deforestasi menjadi salah satu
penyebabnya. Informasi tentang keragaman wilayah dalam memahami
karakteristik kejadian deforestasi sangat penting.
Penelitian tentang keragaman wilayah deforestasi ini dilakukan untuk
membangun model spasial deforestasi. Model deforestasi dibangun pada pewakil
profil deforestasi yang telah dibentuk sebelumnya. Model deforestasi dibangun
berdasarkan faktor pendorong terjadinya deforestasi yang terdiri dari faktor biofisik
dan sosial). Penelitian model spasial deforestasi berdasarkan faktor pendorong
deforestasi dilakukan pada profil deforestasi dengan tingkat kerawanan rendah,
sedang dan tinggi.
Penelitian ini juga mengungkapkan pentingnya melengkapi pemahaman
deforestasi dengan pola spasial temporal deforestasi. Pola spasial temporal tentang
7
sebaran dan pola perkembangan kejadian deforestasi pada beberapa periode
pengamatan akan memberikan dukungan informasi yang lebih baik dibanding
sebelumnya. Penelitian ini mencoba menghubungkan pola spasial temporal
deforestasi dengan faktor pendorong yang akan memberikan informasi yang lebih
baik dan lengkap. Identifikasi pola spasial menggunakan metrik yang dibangkitkan
melalui Fragstat. Ketiga metrik yang digunakan adalah Clumpiness Index,
Contiguity Index dan Patch Density. Bagian ini mengungkapkan pola spasial
deforestasi selama periode 1990 hingga 2013 pada level desa di Kabupaten Kampar
dan Indragiri Hulu. Uraian tentang bagian ini lebih rinci dapat dilihat pada bab
pendahuluan.
2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Bagian ini mendeskripsikan tentang kondisi umum lokasi penelitian.
Penelitian ini diawali dengan cakupan area studi yang luas yakni seluruh pulau
Sumatera (152 kabupaten/kota). Kemudian, dilanjutkan dengan area yang lebih
spesifik sebagai pewakil profil deforestasi. Kabupaten Dairi (Sumatera Utara),
Kabupaten Kerinci (Jambi) dan Kabupaten Kampar (Riau) merupakan pewakil
profil deforestasi. Ketiga wilayah ini meiliki kondisi biofisik dan sosial yang
beragam. Bagian terakhir, penelitian difokuskan pada dua Kabupaten (profil
sangat rawan) yaitu Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu Provinsi Riau. Analisis
dilakukan hingga level desa.
Metode penelitian setiap bagian penelitian ini hampir sama. Data yang
digunakan adalah data tutupan lahan Kementerian Kehutanan tahun 2013. Untuk
bagian ketiga, data yang digunakan adalah data landsat rekaman 1990, 2000, 2011
dan 2014. Selain itu, data lain yang digunakan adalah data slope dan elevasi, data
jaringan jalan dan jaringan sungai serta data sosial dari BPS RI. Analisis penelitian
ini menggunakan software ArcGIS, Envi, Xlstat, Fragstat dan Microsoft excel.
Perhitungan laju deforestasi menggunakan pendekatan laju tahunan yang
dikemukakan oleh Puyravaud. Selain itu dilakukan pula Analisis Komponen
Utama (AKU) pada dua bagian penelitian ini.
3 PROFIL DEFORESTASI DI SUMATERA
Bagian ini menguraikan kelemahan penilaian deforestasi yang terjadi
selama ini yakni hanya berdasarkan pada nilai laju dan luas deforestasi. Profil
deforestasi merupakan analisis alternatif yang lebih baik untuk menjelaskan
kejadian deforestasi. Terdapat 24 profil deforestasi yang terjadi di Kepulauan
Sumatera pada 10 provinsi (152 kabupaten/kota). Deforestasi di Sumatera
didominasi oleh profil Small-Lately-Low Deforestation (16 kabupaten/kota) dan
terendah adalah profil Medium-lately-Moderate dan Medium-lately-High
Deforestation yang terjadi pada masing-masing satu kabupaten/kota. Jumlah
kabupaten/kota yang tidak mempunyai hutan (No Forest Area) sebanyak 12
kabupaten/kota dan Small-No Deforestation pada 5 kabupaten/kota. Deforestasi
tingkat provinsi di Kepulauan Sumatera periode 1990 hingga 2013 merupakan
bentuk Early deforestation (90%). Profil deforestasi juga menemukan bahwa
penilaian laju o (nol) yang dimaknai sebagai daerah tidak terdeforestasi mampu
diuraikan lebih baik. Jumlah kabupaten/kota di Sumatera yang tidak mempunyai
8
hutan (No Forest Area) sebanyak 12 kabupaten/kota sedangkan yang memiliki
hutan kecil tapi tidak terdeforestasi (Small-No Deforestation) terjadi di lima
kabupaten/kota. Profil deforestasi berbasis spasial-temporal di Sumatera
didominasi oleh profil tidak rawan yang terjadi pada 87 kabupaten/kota (64.44%).
Kategori rawan terjadi pada 27 kabupaten/kota (20.00%). Kategori sangat rawan
terjadi pada 21 kabupaten/kota (15.56%). Pola deforestasi di Sumatera terus
terjadi secara beragam dengan kejadian dan kecepatan serta tingkat kerawanan
yang berbeda. Penjelasan detail dapat dilihat pada Bab 3.
4 MODEL SPASIAL DEFORESTASI DI SUMATERA
Karakteristik deforestasi disusun berdasarkan faktor pendorong terjadinya
deforestasi di Sumatera. Penelitian ini menghasilkan model deforestasi berdasarkan
faktor pendorong deforestasi di Sumatera. Model spasial deforestasi menggunakan
wilayah profil deforestasi tingkat kabupaten yang telah terbentuk pada bab 3 yakni
profil tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Bagian ini diawali dengan
mengidentifikasi faktor pendorong deforestasi. Faktor pendorong tersebut
dikelompokkan menjadi tujuh variabel yakni tutupan hutan, slope, elevasi, jalan,
sungai, jumlah penduduk dan umur produktif. Pemberian bobot dilakukan dengan
metode Analisis Komponen Utama.
Model spasial deforestasi yang terbentuk menunjukkan bahwa pada
deforestasi yang terjadi di Sumatera dipengaruhi oleh faktor pendorong biofisik
dan sosial. Nilai bobot pada model tersebut menjelaskan bahwa faktor sosial
lebih memberikan pengaruh terhadap terjadinya deforestasi di Sumatera. Faktor
biofisik tetap memberikan dorongan terhadap deforestasi di Sumatera. Faktor
biofisik yang secara umum berpengaruh lebih terhadap kejadian deforestasi
adalah proporsi luas hutan awal. Semakin tersedia hutan di suatu daerah, maka
semakin besar dorongan terjadinya deforestasi pada wilayah tersebut. Penjelasan
detail dapat dilihat ada Bab 4.
5 METRIK SPASIAL DEFORESTASI DI KABUPATEN KAMPAR DAN
INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU
Setelah mengetahui profil dan model spasial deforestasi di Sumatera, maka
dipilih dua kabupaten sebagai pewakil dalam penilaian pola spasial deforestasi.
Kabupaten yang diilih merupakan pewakil profil sangat rawan yaitu Kabupaten
Kampar dan Indragiri Hulu Provinsi Riau.
Analisis metrik spasial deforestasi menunjukkan bahwa pola spasial
deforestasi di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu baik pada tingkat kabupaten
maupun desa adalah pola clumped, high contiguity dan unfragmented. Pola
spasial deforestasi yang terjadi tetap pada pola yang sama, meskipun dengan laju
yang rendah maupun tinggi. Ketiga metrik spasial deforestasi mampu
menjelaskan informasi tentang pola sebaran spasial temporal deforestasi.
Deforestasi di Kabupaten Kampar tergolong deforestasi periode awal yakni
periode 1990–2000 (early deforestation) sedangkan deforestasi di Kabupaten
Indragiri Hulu tergolong deforestasi yang terjadi pada periode akhir (lately
deforestation). Secara umum, penyebab deforestasi Kampar yaitu perkebunan
9
skala besar, ekstensifikasi lahan pertanian yang luas dan pengembangan
permukiman skala besar. Sementara itu, penyebab deforestasi di Indragiri Hulu
disebabkan oleh perkebunan skala besar, aktivitas pertanian skala kecil, dan
kebakaran hutan. Penjelasan lebih detail dapat dilihat pada bab 5.
6 PEMBAHASAN UMUM
Bagian pembahasan umum mensintesa hasil-hasil temuan penelitian pada
bab sebelumnya. Deforestasi di Sumatera dapat lebih dikenali dengan
mengidentifikasi profil deforestasinya dan mengenali faktor pendorong yang
menyebabkan daerah tersebut mengalami deforestasi. Deforestasi di Sumatera
didorong oleh ketersediaan luas hutan awal. Semakin besar areal hutan yang
dimiliki oleh satu kabupaten, maka deforestasi semakin cenderung terjadi. Selain
itu, laju yang rendah dapat lebih diuraikan dengan baik. Penelitian ini
menemukan bahwa 17 kabupaten/kota yang memiliki nilai laju rendah dapat
dijelaskan lebih detail.
Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor pendorong yang berbeda akan
memberikan pengaruh (perilaku) deforestasi yang berbeda pula. Di Sumatera,
kejadian deforestasi lebih dipengaruhi oleh faktor sosial yakni kepadatan
penduduk dan kepadatan umur produktif. Faktor biofisik yang memberikan
pengaruh lebih besar adalah proporsi luas hutan yang dimiliki suatu daerah.
Berdasarkan metrik spasial deforestasi yang terjadi selama periode 1990
hingga 2013, ditemukan bahwa pola spasial deforestasi selama ini terjadi secara
mengelompok, memiliki keterhubungan yang tinggi dan tidak terfragmentasi.
Pola ini membuktikan bahwa kejadian deforestasi di Kabupaten Kampar dan
Indragiri Hulu merupakan kejadia deforestasi yang disebabkan oleh perkebunan
skala besar. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada bab 6.
7 SIMPULAN DAN SARAN
Bagian ini akan menyimpulkan hasil-hasil temuan penelitian yang telah
diperoleh. Profil deforestasi merupakan analisis alternatif yang lebih baik untuk
menjelaskan kejadian deforestasi. Terdapat 24 profil deforestasi yang terjadi di
Kepulauan Sumatera dan didominasi oleh profil Small-Lately-Low Deforestation
(16 kabupaten/kota. Profil deforestasi berbasis spasial-temporal di Sumatera
didominasi oleh profil tidak rawan yang terjadi pada 87 kabupaten/kota (64.44%).
Model spasial deforestasi yang terbentuk menunjukkan bahwa pada deforestasi
yang terjadi di Sumatera dipengaruhi oleh faktor pendorong biofisik dan sosial.
Faktor sosial lebih memberikan pengaruh dibanding faktor biofisik. Faktor
biofisik yang secara umum berpengaruh lebih terhadap kejadian deforestasi
adalah proporsi luas hutan awal. Semakin tersedia hutan di suatu daerah, maka
semakin besar dorongan terjadinya deforestasi pada wilayah tersebut. Analisis
metrik spasial deforestasi menunjukkan bahwa pola spasial deforestasi di
Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu baik pada tingkat kabupaten maupun desa
adalah pola clumped, high contiguity dan unfragmented. Pola spasial deforestasi
10
yang terjadi tetap pada pola yang sama, meskipun dengan laju yang rendah
maupun tinggi. Secara umum, penyebab deforestasi adalah perkebunan skala
besar. Uraian lengkap dapat dilihat pada bab 7.
Rangkaian setiap bab dalam tulisan ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Pendahuluan
Kondisi Umum
Lokasi Penelitian
Profil Deforestasi di Sumatera
Model Spasial Deforestasi di Sumatera
Metrik Spasial Deforestasi
Pulau
Sumatera
10 Provinsi
(152 Kab./kota)
Profil I, II, III
Dairi, Kerinci, Kampar
Level Kabupaten dan Desa
Kampar dan Indragiri Hulu
Pembahasan Umum
Simpulan dan Saran
Gambar 2 Flow chart keterkaitan antar bab penelitian
11
2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Sumatera. Kepulauan Sumatera
mencakup pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kepulauan
Sumatera terletak antara 950 sampai 109.20 Bujur Timur (Gambar 3). Kepulauan
Sumatera terbagi menjadi 10 provinsi dan terdiri dari 152 kabupaten/kota. Luas
Kepulauan Sumatera adalah 47 693 691.34 ha (BPS 2013).
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan dengan tiga lokasi penelitian.
Tahap pertama, lokasi penelitian pada tingkat kabupaten di Sumatera. Tahap kedua,
penelitian dilaksanakan di tiga kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan
Jambi. Tahap ketiga, lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kampar dan
Indragiri Hulu Provinsi Riau pada tingkat kabupaten dan desa.
Kepulauan Sumatera dijadikan sebagai daerah penelitian karena laju
deforestasi yang tinggi. Kepulauan Sumatera juga merupakan tiga pulau terbesar
yang mengalami deforestasi di Indonesia (Sulistiyono et al. 2015a). Konversi hutan
Sumatera menjadi areal non hutan telah menarik minat para peneliti nasional dan
internasional (Tomich et al. 2001; Margono et al. 2012; Romijn et al. 2013;
Sulistiyono et al. 2015a; Setiawan et al. 2015). Provinsi Riau dan Jambi dipilih
sebagai lokasi penelitian karena merupakan provinsi yang memiliki luas dan laju
deforestasi sangat tinggi di Sumatera bahkan di Indonesia (Margono et al. 2012).
Penelitian ini dilaksanakan sejak Juni 2013 hingga Juni 2016. Analisis data
penelitian dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS, Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Pengolahan data penelitian ini
sebagian dilaksanakan di Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi
Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Unhas dan sebagian dilaksanakan pula di Forest
Inventory and Remote Sensing Laboratory, Goettingen University, Jerman.
Iklim
Iklim Kepulauan Sumatera tergolong ke dalam tipe iklim A (sangat basah).
Iklim tipe A merupakan iklim dengan puncak musim hujan antara Oktober dan
Januari. Berdasarkan tipe iklim ini, Kepulauan Sumatera memiliki hutan gambut
dan mangrove yang umumnya berada di daerah tipe iklim A atau B, dan lokasinya
berada di pantai timur Sumatera. Selain itu, Sumatera juga memiliki Hutan hujan
tropis yang umumnya menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini
menutupi sebagian besar Pulau Sumatera (Sulistiyono 2015).
12
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Kondisi Biofisik
Kondisi biofisik jenis tanah di Kepulauan Sumatera antara lain alluvial
Hidromorfik Kuning, Organosol, Podsolik Merah Kuning, Podsolik Coklat,
Latosol, Litosol, Andosol, dan ada beberapa jenis tanah lainnya yang juga tersebar
di seluruh wilayah. Kepulauan Sumatera berada pada iklim tropis basah sehingga
menyebabkan curah hujan yang banyak. Kondisi hidrologi atau keadaan akuifer di
Kepulauan Sumatera tersebar hampir di semua wilayah Kepulauan Sumatera.