Tetralogi Pulau Buru Bumi Manusia

Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia)
Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia) Pramoedya akhirnya selesai.
Buku ketiga, Jejak Langkah, paling tebal di antara ke empat buku yang disebut tetralogi ini.
Dalam buku ketiga ini Minke mulai melangkah dan menapaki jalan pergerakan. Perjalanan dari
mulai pertama kali menapakkan kaki di Batavia, hari pertama di STOVIA, bertemu dengan Ang
San Mei yang kemudian ia nikahi, sampai dengan Mei meninggal karena hepatitis. Minke
dikeluarkan dari STOVIA dengan beban mengganti uang biaya pendidikan dan uang saku selama
di STOVIA.
Langkah baru Minke dimulai begitu ia keluar dari pelataran STOVIA. Minke kemudia bekerja di
agen adpertensi. Tidak lama, Minkepun membuat penerbitan sendiri yang diberi nama “Medan
Prijaji,” seiring dengan berdirinya perkumpulan atau organisasi modern pertama yaitu Sarikat
Prijaji. Perkumpulan para priyayi (yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak bagi
pergerakan nasional) ternyata tidak bertahan lama. Minke tidak putus asa, ia bersama beberapa
orang kemudian mendirikan perkumpulan yang dinamai Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kelak
menjadi cikal bakal Syarikat Islam setelah dipimpin oleh Crokroaminoto. Selama
perjuangangannya itu Minke bertemu dengan Prinses Kasiruta, Putri Ambon yang sedang dalam
masa pembuangan di Jawa. Dan merekapun menikah.
Minke berkembang menjadi seorang pengusaha sukse sekaligus pemimpin pergerakan yang
konsisten melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Tapi
kehidupan dan perjuangan Mingke masih dibayang-bayangi orang dari masa lalunya, Robert
Suurhoff! Yang ternyata mendirikan kelompok anti pribumi yang punya tugas “menumpas”

pergerakan pribumi di luar jalur “resmi” dan kebal hukum.
Langkah Mingke dihentikan oleh Pemerintah Kolonial Belandan dengan mengutus seorang
Komisaris Polisi untuk mengawasi Minke dan kemudian menjemput Mingke untuk dibawa ke
pengasingan di daerah Timur Indonesia.
Buku keempat, berjudul Rumah Kaca. Kali ini bukan Minke yang bercerita, tapi Komisaris Polisi
bernama Jaques Pangemann, yang memang bertugas mengawasi Mingke dan kemudian
mengantar ke tempat pembuangannya. Pangemanann mengandaikan memiliki rumah kaca yang
di dalamnya ada Minke beserta keluarga, pegawai, serta pengikutnya. Setiap kegiatan, tindakan,
perkataan Minke, apapun yang dilakukannya pasti akan sampai di telinga dan meja
Pangemanann. Ia melukiskan perang batin yang terjadi dalam dirinya selama ia mengemban
tugas itu. Bagaimana tidak, Pangemanann sendiri adalah seorang pribumi yang (kebetulan)
diadopsi oleh keluarga Perancis dan diberi pendidikan Eropa, selain itu jauh di lubuk hatinya ia
adalah pengagum Minke dan perjuangan yang dilakukan Minke, bahkan diam-diam
Pangemanann menganggap Minke sebagai gurunya sebagaimana Minke menganggap Multatuli
sebagai guru rohaninya.

Uang, jabatan dan kekuasaan telah membuat Pangemanann mengesampingkan banyak hal. Demi
ketiga hal itu, Pangemanann rela melepaskan anak istrinya. Pangemanann tidak lagi bisa
memilah dan memilih, ia terobsesi kepada Minke dan seluruh pergerakan serta orang-orang yang
mengikuti jejak Minke.

Pangemanann menceritakan bagaimana Minke setelah kembali dari pengasingannya dan
kemudian meninggal di Betawi. Perjalanannya ditutup dengan kehadiran Nyai Ontosoroh yang
telah menikah dengan Jean Marais dan pindah ke Perancis. Ia datang untuk mencari Mingke dan
yang ia temukan hanya kuburannya saja.
Tokoh dan peristiwa dalam buku Pram ternyata adalah nyata adanya. Berikut ini adalah kutipan
dari wawancara dengan Pram dan Hesri yang diambil dari
http://www.antenna.nl/wvi/bi/puis/pram/toer.html tentang tokoh-tokoh dalam tetralogi Pulau
Buru.
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880. TAS yang tak
menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung
TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan Putri
Hindia (1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 TAS mendirikan dulu badan
hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji.
Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang
Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional
pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai
dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional, ia mendirikan Sarikat Dagang
Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto, .
Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A.

Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena
Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki
forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung,
Lampung, selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi
Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Inilah
harian pertama yang benar-benar milik pribumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911
dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap
menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R.
Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi
pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6 bulan, namun baru diberangkatkan
setahun kemudian karena masalah perekonomian penerbitan Medan Prijaji dengan para
krediturnya.
Sekembali dari Ambon, TAS tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya
diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, TAS sakit-sakitan
dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918. Mula-mula ia dimakamkan di Mangga

Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973. Di nisannya tertulis, Perintis

Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia.

Tetralogi Pulau buru yang menceritakan tentang R.M. T.A.S. (1875-1918) yang merupakan
pelopor jurnalistik terutama investigasi. Ia lahir dan hidup jauh sebelum penulisnya lahir. Dalam
tiga buku pertama, Pram “menjadi” Minke yang menceritakan perjalanan hidupnya dari ketika ia
masih sekolah di H.B.S. sampai dengan ia dijemput untuk diasingkan. Sementara di buku
keempat, Pram menjelma menjadi Jaques Pangemanann, yang merangkum kehidupan Minke
sampai dengan hari Mingke meninggal. Untuk mampu “memerankan” Minke dan Pangemanann,
Pram tentu saja telah melakukan pemahaman sejarah, yaitu usaha menempatkan diri ke dalam
peristiwa, thinking oneself into the events, untuk memahami pikiran para pelaku (Dhakidae,
2003:194). usaha ini desebut “Sejarah Dalam.” Untuk mengimbanginya, Pram juga tentu saja
mengumpulkan banyak akta tentang Mingke sekaligus cerita fiksi yagn melingkupinya sebagi
penyeimbang pemahaman sejarahnya. Yang belakangan ini disebut sebagai “Sejarah luar.”
Perpaduan kedua “teknik’ pemahaman sejarah itu membuat buku ini terasa baru bagi
pembacanya, terutama mereka yang lahir dan besar di masa Orde Baru. Selama bertahun-tahun
belajar di bangku sekolah, kita diajarkan sejarah melalui mata pelajaran sejarah dan PSPB yang
mengajarkan sejarah mainstream versi pemerintah Orde Baru yang tidak kenal siapa itu Raden
Mas Tirto Adhi Soerjo. Banyak hal baru yang bisa ditemukan dalam buku-buku Pram yang
berbeda dengan sejarah mainstream. Mungkin karena hal inilah pemerintah Orde Baru melarang
diterbitkannya keempat buku ini.

Daftar Pustaka :
Dhakidae, Daniel, Cendekiwan dan Kekuasaan, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003
Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, Rumah Kaca), Lentera Dipantara, 2005

Tetralogi Pulau Buru
Pertama kali saya mengenal karya Pramoedya Ananta Toer adalah pada bulan Juni
2001 melalui buku berjudul Gadis Pantai. Saya yang punya nafsu baca besar tapi
modal seadanya, mendapat pinjaman buku ini dari teman se-kost. Dia juga
meminjami 3 buku pertama dari Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa dan Jejak Langkah (pada akhirnya buku ini menjadi milik saya). Dari
membaca buku-buku tersebut, saya langsung jatuh cinta setengah mati terhadap
semua karya Pramoedya Ananta Toer. Selanjutnya saya buru semua karya
Pramoedya Ananta Toer setiap kali saya punya rizki berlebih.
Bumi manusia: Tetralogi Pulau Buru menceritakan tentang biografi (?) dr salah satu
toko kebangkitan nasional yg tidak tercatat dalam sejarah, RM Tirto Adhi Soerjo.
Dalam buku tersebut RM TAS dinyatakan dalam tokoh yang bernama Minke. Bumi
Manusia menceritakan masa saat Minke menjalani HBS di Surabaya. Saat itulah
Minke mengenal Nyai Ontosoroh, melalui anak perempuannya, Annelis. Nyai ini
banyak sekali mempengaruhi kehidupan dan jalan pikiran Minke sehingga menjadi

pribadi yg berpikiran jauh lebih maju dari generasi lain seusianya. Annelis yg
merupakan keturunan indo dari Nyai Ontosoroh dan seorang belanda bernama
Robert Mellema, akhirnya menikah dgn Minke secara Islam. Pernikahan ini tidak
diakui Pemerintah Belanda. Dan karena perebutan warisan antara Nyai dengan anak
sah Robert Mellema, Annelis terpaksa berpisah dengan Minke untuk dibawa ke
Belanda. Dalam buku ini lebih banyak menceritakan proses pembelajaran Minke
yang merupakan anak sekolahan yang mendasarkan semua pemikirannya pada
buku dan ajaran guru sekolahnya. Wujud dari pembelajaran itu adalah mulainya
Minke menulis artikel dalam bahasa belanda pada sebuah surat kabar lokal.

Nyai Ontosoroh diceritakan sebagai perempuan pribumi yang berotak cemerlang, yang menjadi
istri simpanan dan mendapat pembelajaran dari Robert Mellema dan membaca koleksi bukubukunya sehingga berpikiran sangat modern dan mandiri. Nyai Ontosoroh menjadi sangat spesial
jika dibandingkan dengan kondisi umumnya saat itu, dia adalah seorang otodidak yang terlalu
independen. Satu hal yang dapat saya tangkap dari buku ini yaitu belajar, belajar dan belajar akan
dapat membuka wawasan dan cara berpikir kita. Artinya adalah open minded terhadap semua
hal, sedangkan belajar sendiri dapat dilakukan dengan membaca, baik dari buku maupun
kejadian nyata yang ada di sekitar kita, sehingga kita dapat mengambil hikmahnya. Saat saya
membaca tetralogi ini, saya juga mengandaikan jika saya hidup di jaman Minke maka saya akan
menjadi orang biasa yang hanya bisa mengikuti arus yang ada, bukan seorang Minke yang
sanggup melawan arus dan menjadi pionir. Hmmmm….membaca buku ini membuat saya

berpikir ulang terhadap semua tokoh-tokoh pembaharu, baik dari jaman kebangkitan nasional
dulu atau tokoh-tokoh masa kini yang kelihatannya menantang arus. Salut untuk mereka semua

Buku kedua Anak Semua Bangsa, pada bagian awal menceritakan tentang perjalanan Annelis ke
Belanda dan penderitaanya sampai kemudian meninggal. Selanjutnya Minke sendiri tidak
berlarut-larut dalam kesedihan, dia tetap melanjutkan menulis. Ibunda Minke menginginkan agar
Minke mencoba menulis dalam bahasa Jawa, akar budaya Minke, sedangkan teman-teman
Minke yang lain menginginkannya menulis dalam bahasa Melayu, yang pada saat itu merupakan
bahasa sehari-hari yang paling banyak digunakan di Hindia. Namun Minke menolak dengan
alasan bahwa bahwa koran berbahasa Melayu merupakan bacaan bagi orang yang berpendidikan
rendah. Menurut Minke tulisannya akan lebih berarti apabila dalam bahasa Belanda. Namun
perkenalannya dengan salah seorang angkatan muda Tiongkok, dan juga diskusinya dengan Nyai
Ontosoroh, mulai membuka pikiran Minke tentang kebangkitan suatu bangsa.
Selanjutnya, Minke mulai membuat tulisan dengan perspektif yang baru setelah berlibur bersama
Nayi Ontosoroh di perkebunan tebu Sidoarjo. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, dia berharap
tulisan ini akan terbit dan dapat mempengaruhi pembaca. Namun ternyata pihak penerbit yang
biasanya menunggu karya-karyanya malah menolak mentah-mentah karena ternyata hal-hal yang
berhubungan dengan gula sudah menjadi semacam mafia yang menyangkut hajat hidup para
penguasa. Dengan rasa sakit hati Minke menghancurkan tulisan kebanggaannya itu. Namun
ternyata penerbit yang sudah pernah membacanya bergerak lebih maju dan akhirnya terjadi

keributan besar di perkebunan tebu itu sehingga diputuskan agar Minke segera berangkat ke
Betawi untuk melanjutkan pendidikannya di STOVIA sekaligus melupakan semua kejadian yang
telah lalu.
Dalam perjalanan ke Betawi menggunakan kapal laut, Minke berkenalan dengan penulis belanda
yang pindah bekerja ke surat kabar Semarang. Dari penulis itu Minke semakin mengetahui mafia
seperti apa yang berhubungan dengan gula. Dalam pemberhentiannya di Semarang, Minke
dijemput oleh petugas sekaut untuk kembali lagi ke Surabaya dalam rangka sidang lanjutan
kasus keluarga Annelis. Di akhir buku diceritakan tentang kedatangan anak kandung Robert
Mellema yang datang untuk mengklaim harta warisan ayahnya. Inti dari buku kedua ini adalah
pengenalan Minke terhadap lingkungan sekitar yang lebih nyata yang ternyata berbeda jauh
dengan apa yang selama ini diketahui dan dipelajarinya dari buku dan sekolah.
Jejak langkah : Buku ketiga Jejak Langkah, merupakan buku favorit saya diantara tetralogi
pulau buru. Buku ini menceritakan perjalanan Minke dalam menyelesaikan sekolahnya di
sekolah kedokteran STOVIA di Batavia. Pada masa inilah, rasa kebangsaan Minke muncul. Dia
banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh nasional saat itu, misalnya dr Wahidin, dr Sutomo & RA
Kartini. Minke juga berkenalan dan akhirnya menikah dengan Ang San Mei, wanita tionghoa
yang merupakan aktivis pergerakan revolusi China yang melarikan diri ke Hindia Belanda.
Namun pernikahan ini tidak berumur lama karena Ang San Mei akhirnya meninggal. Karena
merawat Mei ini, Minke dikeluarkan dari STOVIA dan harus membayar biaya sekolah selama
ini. Dengan bantuan dari Nyai Ontosoroh, Minke dapat menyelesaikan masalah dan mulai

menjajagi untuk mendirikan organisasi. Walaupun belum sesuai harapan, organisasi itu bisa
berdiri. Buku ini menceritakan detil tentang sepak terjang Minke dalam berorganisasi maupun
menjadi penulis bahkan sampai memiliki surat kabar sendiri. Juga pernikahan selanjutnya
dengan Princess dari kerajaan di Maluku yang juga berpendidikan tinggi sehingga bisa bahu
membahu dengan Minke dalam mengurusi surat kabarnya. Karena suatu kesalahan dalam
menulis yang dilakukan oleh anak buahnya, Minke akhirnya ditangkap polisi dan diasingkan ke
luar Jawa.

Membaca buku ketiga ini benar-benar membangkitkan perasaan nasionalisme saya. Bukan
rasa yang muncul ketika mendengar dan membaca pelajaran IPS jaman SD dulu, namun rasa
cinta tanah air yang tumbuh dari pemahaman yang mendalam dari penjelasan Pramudya yang
detil dalam buku ini. Sekali lagi, cara bertutur Pramudya yang sungguh sangat luar biasa,
membuat saya lebih mengerti daripada saat membaca buku-buku sejarah jaman sekolah dulu.
Saya selalu memotivasi adik-adik saya untuk membaca tetralogi ini untuk menggugah rasa
kebangsaan mereka. Namun mungkin cara bertutur Pram yang unik masih terlalu berat buat adikadik saya sehingga mereka lebih memilih untuk membaca Harry Potter atau yang lebih tinggi
sedikit, Tetralogi-nya Andrea Hirata (yang keempat belum terbit dan membuat saya sangat
penasaran) dan karya-karya Habiburrahman el Shirazy.
Rumah kaca : Buku terakhir Rumah Kaca, merupakan cerita dari sudut pandang seorang polisi
Belanda bernama Jaques Pangemanann. Bagaimana Pangemanann yang merupakan intel
Belanda mengawasi seluruh aktivitas pergerakan yang ada di Hindia Belanda, terutama

pengamatannya terhadap sepak terjang Minke sampai akhirnya Minke diasingkan di luar Jawa.
Setelah itu juga diceritakan apa yang terjadi terhadap organisasi dan surat kabar yang dimiliki
Minke yang semuanya dibredel dan dikuasai pemerintah Belanda. Bahkan harta benda Minke
juga dikuasai oleh Pangemanann. Setelah selesai menjalani pengasingan, Minke menjadi
terlunta-lunta dan akhirnya mati mengenaskan karena semua akses kepada harta dan temantemannya telah terputus. Bahkan Minke tidak bisa menghubungi Nyai Ontosoroh, yang sekarang
tinggal di Perancis, untuk meminta pertolongan seperti biasanya.
Pangemanann sendiri akhirnya dijerat oleh perasaan bersalahnya sendiri dan kekuasaan yang
semakin menurun seiring bertambahnya usia. Di akhir buku diceritakan tentang kedatangan Nyai
Ontosoroh, yang sekarang dipanggil Madame Le Boucq yang berusaha mencari tahu tentang
Minke namun hanya menemukan makamnya saja. Pangemanann mengembalikan semua naskahnaskah karya Minke kepada Madame Le Boucq diiringi penyesalan yang mendalam dan penyakit
yang menggerogoti kesehatannya.
Demikian ulasan saya …semoga bisa menimbulkan keinginan membaca bagi yang belum
membacanya…
Keempat cerita tersebut dibacakan secara lisan kepada tahanan-tahanan lain semasa Pramoedya
diasingkan di Pulau Buru oleh pemerintah Indonesia antara tahun 1965-1979. Setelah Pramoedya
bebas, dia menerbitkan keempat cerita tersebut dalam bentuk novel yang kemudian dilarang
peredarannya tak lama setelah diterbitkan. Pemerintah Indonesia menuduh bahwa karyakaryanya mengandung pesan Marxisme-Leninisme yang dianggap tersirat dalam kisah-kisahnya.
Keempat buku tersebut adalah (disertai tahun penerbitan dan pelarangan; semuanya diterbitkan
Hasta Mitra):



Bumi Manusia (1980; 1981)



Anak Semua Bangsa (1981; 1981)



Jejak Langkah (1985; 1985)



Rumah Kaca (1988; 1988)

Ketiga karya terakhir ini bahkan langsung dilarang oleh Kejaksaan Agung hanya 1-2 bulan
setelah terbit.
Di luar negeri, Tetralogi Buru diterbitkan dengan nama The Buru Quartet. Penerjemah Bumi
Manusia dan Anak Semua Bangsa ke dalam bahasa Inggris, Max Lane, yang sejak April 1980
bertugas sebagai pegawai di Kedubes Australia di Jakarta, harus dikembalikan ke negaranya
pada September 1981 karena menerjemahkan kedua buku tersebut. Karya itu diterjemahkan ke
bahasa Rusia pada tahun 1986 oleh E. Rudenko dengan kata pengantar oleh V. Sikorsky
(judulnya "Mir Chelovechesky") dan diterbitkan oleh badan penerbit "Progress".

Sinopsis
Tetralogi kisah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia antara 18981918, ini bercerita tentang kehidupan Minke, putra seorang bupati yang
memperoleh pendidikan Belanda pada masa pergantian abad ke-19 ke abad
ke-20. Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1900 ketika tokoh utamanya, Raden Mas Minke lahir. Nama Minke
adalah nama samaran dari seorang tokoh pers generasi awal Indonesia yakni
Raden Tirto Adhi Soerjo. Cerita novel ini sebenarnya ada unsur sejarahnya,
termasuk biografi RTAS tersebut yang juga nenek moyang penulis. Cerita
lainnya diambil dari berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup
waktu tersebut. Termasuk di antaranya rekaman pengadilan pertama pribumi
Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga
Belanda totok yang terjadi di Surabaya.
Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan
kebebasan yang telah direbutnya sendiri ..
Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya
mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhanasederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya.
Kan begitu Tuan Jenderal?
.. dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari
segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya.

— Jejak Langkah - Pramoedya Ananta Toer
#quotage #jejak langkah #pramoedya ananta toer
 reblog
teertage:


Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang
gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.
Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan
padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

— Anak Semua Bangsa - Pramoedya Ananta Toer
#quotage #anak semua bangsa #pramoedya ananta toer
 notes reblog
teertage:

Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan.
Rumah, Gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat,
Gus, dia tempat kepercayaan sesama. pada yang meninggali. Kau sudah bosan?
Kedua wanita, Gus, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang
kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri
untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal.
Seperti itu juga kau harus pandang ibumu yang sudah tua ini, dan berdasarkan itu pula anakanakmu yang perempuan nanti kau harus persiapkan.
Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau kemana-mana: ilmu,
pengetahuan, kemampuan, ketrampilan kebiasaan, keahlian, dan terakhir kemajuan. Tanpa
turangga takkan jauh langkahmu, pendek pengelihatanmu.
Keempat kukila, burung itu, lambang keindahan, kelangenan (hobby), segala yang tak punya
hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang hanya
sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu, Gus, lambang kewaspadaan,
kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris yang
empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan.
Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani
menghadapi akibatnya ..

— Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer
#Quotage #Bumi Manusia #pramoedya ananta toer #Literature