Pulau Buru Antara Stigma dan Realitas

PULAU BURU: ANTARA STIGMA DAN REALITAS
Mau ke Pulau Buru? Untuk apa? Nggak seram ya? Itu kan tempat
pembuangan?" Ungkapan keheranan ini muncul dari seorang teman, saat
saya mengutarakan niat untuk mengunjungi Pulau Buru, yang terletak di
Maluku, pada pertengahan September kemarin.
Bagi sebagian orang, Pulau Buru memang terdengar menyeramkan, sebab,
di pulau ini, belasan ribu orang pernah dibuang, ditelantarkan dan disiksa,
lantaran pemerintah Orde Baru menganggap mereka sebagai musuh negara
dan antek Partai Komunis Indonesia. Mulai 1969, "musuh-musuh negara"
itu dipaksa hidup di pulau yang terletak di Laut Banda ini. Tanpa peralatan
yang memadai, mereka yang dibuang, dipaksa memenuhi sendiri
kebutuhannya: membuat barak tempat tinggal dan membabat hutan untuk
sawah. Beberapa di antara mereka adalah Hersri Setiawan dan Pramoedya
Ananta Toer, seniman dan penulis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
yang dituduh antek PKI.
Perangkat Penindas
Negara adalah Perangkat PenindasLouis Althusser, seorang filsuf politik
dalam bukunya Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis dan
Cultural Studies mengatakan, negara adalah perangkat penindas. Artinya,
negara yang dibangun atas kekuasaan yang ada padanya, merupakan wujud
dominasi politik atas masyarakat. Di sini, menurut Althusser, negara hadir

sebagai bentuk dominasi politik atas masyarakat dalam dua dimensinya,
yaitu:
1.Represive State Apparatus (RSA), yaitu bentuk dominasi melalui
pemaksaan dan represif;
2.Ideological State Apparatus (ISA), yaitu jalur mempengaruhi atau
hegemonisasi.
Ideologi adalah wujud hubungan individu yang imajiner dari kondisikondisi nyata, dan Althusser melihat ideologi dalam seluruh tatanan, yang
disebut apparatus. Menurut Althusser, salah satu apparatus untuk
menjalankan ideologi adalah media massa.
Pemerintah Orde Baru, yang menganggap komunis sebagai musuh besarnya,
selalu melakukan aksi penindasan dan stigmatisasi terhadap semua unsur
yang berbau komunisme. Salah satu caranya adalah ideological state
apparatus melalui manipulasi media massa. Penguasa Orde Baru
mempropagandakan Pulau Buru sebagai tempat buangan yang kelam dan
mengerikan. Siapa saja yang menjadi antek PKI, akan diasingkan ke pulau
buangan yang menyeramkan ini. Di sini jelas terlihat, penguasa ingin
melanggengkan kekuasaannya. Untuk itu, harus ada alat atau tempat, untuk

menakut-nakuti rakyat. Dengan begitu, rakyat tidak berani mengikuti
perilaku orang-orang yang dibuang ini.

Propaganda Politik
Hate crimes are criminal acts committed with a bias motive. It is this motive
that makes hate crimes different from other crimes. A hate crime is not one
particular offence. It could be an act of intimidation, threats, property
damage, assault, murder or any other criminal offence. (Terjemahan
bebas: Hate crime adalah perilaku kriminal yang dilakukan dengan motif
bias. Inilah yang membuat hate crime menjadi berbeda dengan tindak
kriminal lainnya.
Hate crime bukanlah hanya sebuah perilaku pelanggaran hukum. Hal ini
bisa berupa tindak intimidasi, pengancaman, perusakan harta benda,
penyerangan, pembunuhan atau perilaku kriminal lainnya). (Hate Crime
Laws: A Practical Guide, Polandia: OSCE Office for Democratic
Institutions and Human Rights (ODIHR), 2009, hal 16).
Stigmatisasi merupakan bentuk yang lahir dari hate crime, yang bisa
dilakukan oleh sekelompok masyarakat, dan juga oleh penguasa terhadap
kelompok yang dianggap mengancam kekuasaannya. Di sini, penguasa yang
mewakili negara, tidak bisa dilihat melakukan tindak kejahatan (state
crime), sebab, ia tidaklah mungkin melanggar hukum yang dibuat oleh
dirinya sendiri. Oleh sebab itu, penyebaran hate crime yang dilakukan oleh
negara kerap disebut sebagai state violence atau kekerasan oleh negara.

Penguasa sebagai wakil negara tidak bisa bersih dari citra penindas. Perilaku
penindasan tersebut dilegalisasikan dalam bentuk undang-undang atau
aturan yang kemudian disosialisasikan dalam masyarakat.
Di sinilah terjadi hegemonisasi ideologi penguasa melalui media, sehingga
masyarakat kemudian merasa bahwa hal tersebut merupakan hal yang lazim
dan sudah seyogianya untuk dipatuhi. Walau hal tersebut belum tentu benar.
Penguasa Orde Baru, selama bertahun-tahun, telah berhasil memberi cap
Pulau Buru sebagai tempat buangan nan mengerikan. Pun, selang puluhan
tahun setelah pemulangan kembali mereka yang terbuang, stigma kelam
Pulau Buru, masih saja lekat terasa. Padahal, wajah Pulau Buru sekarang,
sungguh berbeda. Desa Savanah Jaya, yang terletak di Kecamatan Waeapo,
satu desa dari 20 unit penampungan tahanan politik dulu, telah menjelma
menjadi desa subur.
Para transmigran dari Jawa, yang dulu pernah hidup berdampingan,
membuka lahan sawah dengan para tahanan politik, telah mengubah stigma

buangan Pulau Buru menjadi daerah penghasil beras dan sayuran bagi warga
Maluku.
Jalan di sini telah diaspal licin dan mulus, hingga memudahkan warga untuk
memasarkan hasil bumi mereka ke ibu kota kabupaten, Namlea, yang

berjarak 30 kilometer. Di sepanjang jalan antara Savanah Jaya dan Namlea,
tumbuh pohon kayu putih. Tanaman ini tumbuh liar begitu saja. Tanpa
ditanam. Masyarakat tinggal memetik dan menyulingnya menjadi minyak
kayu putih. Ketel-ketel penyulingan terlihat di beberapa tempat,
menyebarkan harum minyak kayu putih yang terasa segar membelai hidung.
Stigma Pulau Buru sebagai tempat pembuangan nan kelam, kini, memang
harus diubah. Pulau Buru adalah tempat subur dan indah. Pertanyaan rekan
saya di atas, agaknya kini telah terjawab.(**)
(Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan, 21 Oktober 2009)