Perlakuan Fisik dan Kimia pada Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol dengan Metode Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak

PERLAKUAN FISIK DAN KIMIA PADA AMPAS TEBU
UNTUK PRODUKSI BIOETANOL DENGAN METODE
SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SERENTAK

FARIZ ADRIAN RIWANTO

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perlakuan Fisik dan Kimia pada
Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol dengan Metode Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013
Fariz Adrian Riwanto
NIM G44090059

ii

iii

ABSTRAK
FARIZ ADRIAN RIWANTO. Perlakuan Fisik dan Kimia pada Ampas
Tebu untuk Produksi Bioetanol dengan Metode Sakarifikasi dan Fermentasi
Serentak. Dibimbing oleh IRMA HERAWATI SUPARTO dan YOPI.
Ampas tebu merupakan limbah biomassa dari tanaman tebu setelah proses
penggilingan dan ekstraksi niranya. Kandungan lignoselulosanya dapat
dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti bioetanol. Pada penelitian
ini, ampas tebu dihidrolisis oleh enzim xilanase kemudian akan difermentasikan
oleh ragi Saccharomyces cerevisiae menjadi bioetanol melalui proses sakarifikasi

dan fermentasi serentak (SFS). Tiga parameter yang dianalisis pada penelitian ini
ialah perlakuan awal, penambahan enzim, dan lamanya waktu fermentasi. Proses
SFS dilakukan dengan waktu inkubasi selama 0, 24, 48, dan 72 jam. Ampas tebu
yang diberikan NaOH dengan tambahan enzim pada jam ke-0 dan jam ke-72
menghasilkan konsentrasi bioetanol berturut-turut 53 % dan 56 %. Ampas tebu
yang diberi NaOH tanpa tambahan enzim pada jam ke-0 dan jam ke-72
menghasilkan konsentrasi bioetanol berturut-turut 50 % dan 55 %. Penambahan
enzim dan jam ke-72 adalah kondisi terbaik dari proses SFS untuk menghasilkan
bioetanol pada penelitian ini. Akan tetapi, bioetanol hasil fermentasi belum bisa
menjadi bahan bakar karena kadarnya masih jauh dari batas minimum kadar
bioetanol untuk bahan bakar.
Kata kunci: ampas tebu, bioetanol, Saccharomyces cerevisiae, SFS, xilanase

ABSTRACT
FARIZ ADRIAN RIWANTO. Physical and Chemical Treatment of Bagasse
for Bioethanol Production with Simultaneous Saccharification and Fermentation
Method. Supervised by IRMA HERAWATI SUPARTO and YOPI.
Bagasse is a waste biomass from sugar cane after mill process and nira
liquid extraction. As a lignosellulosic material, it can be used for alternative
energy resources such as bioethanol. In this experiment, bagasse was hydrolysed

by xylanase and fermented by Saccharomyces cerevisiae to bioethanol through
simultaneous saccharification and fermentation processes (SSF). Three parameters
analyzed were treatment condition, enzyme addition, and fermentation time. SSF
processes were running for 0, 24, 48 and 72 hours. Bagasse treated with NaOH
and enzyme addition at 0 hour and 72 hours respectively produced bioethanol of
53 % dan 56 %. Bagasse treated with NaOH without enzyme at 0 hour and 72
hours respectively produced bioethanol of 50 % dan 55 %. Enzyme addition and
72 hours in SSF process was the best condition to produce bioethanol in this
experiment. However, the yield of fermentation is not sufficiently satisfactory to
be used as fuel due to the low level of ethanol.
Key words: bioethanol, Saccharomyces cerevisiae, SSF, bagasse, xylanase

iv

v

PERLAKUAN FISIK DAN KIMIA PADA AMPAS TEBU
UNTUK PRODUKSI BIOETANOL DENGAN METODE
SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SERENTAK


FARIZ ADRIAN RIWANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

vi

Judul Skripsi: Perlakuan Fisik dan Kimia pada Ampas Tebu untuk Produksi
Bioetanol dengan Metode Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak
: Fariz Adrian Riwanto
Nama

NIM
: G44090059

Disetujui oleh

セ@

Dr dr Irma Herawati Suparto, MS
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

1 0 DEC 2013



Pembimbing II

vii
Judul Skripsi : Perlakuan Fisik dan Kimia pada Ampas Tebu untuk Produksi

Bioetanol dengan Metode Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak
Nama
: Fariz Adrian Riwanto
NIM
: G44090059

Disetujui oleh

Dr Yopi
Pembimbing II

Dr dr Irma Herawati Suparto, MS
Pembimbing I

Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


viii

ix

PRAKATA
Puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya kepada kita semua. Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan hasil penelitian yang berjudul “Perlakuan Fisik dan Kimia
pada Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol dengan Metode Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak”. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga
September 2013 di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Cibinong.
Penulis berterima kasih kepada Ibu Irma Herawati Suparto sebagai
pembimbing I dan Bapak Yopi sebagai pembimbing II atas bimbingannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini. Penulis juga berterima kasih
kepada Apridah Camelia, Rohanah, Awan Purnawan, dan Dicky Guslianto atas
bantuan dan bimbingannya selama di laboratorium. Ucapan terima kasih tak
terhingga kepada kedua orang tua dan kakak atas nasihat, semangat, bantuan
materi, dan doa-doanya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada

Nadia Ulfa Jabbar Robbani dan teman-teman Kimia 46 IPB yang telah
mendukung selama penelitian berlangsung. Laporan ini dibuat dengan tujuan
untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada
Departemen Kimia. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.
Semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan penulis sendiri
khususnya.

Bogor, November 2013

Fariz Adrian Riwanto

x

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
METODOLOGI

Alat dan Bahan
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Perlakuan Awal Biomassa
Analisis Gula Total
Analisis Gula Pereduksi
Penentuan Jenis Gula secara Kualitatif
Dialisis Hasil Perlakuan Awal NaOH
Peremajaan dan Produksi S. cerevisiae
Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak
Penentuan Konsentrasi Etanol
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Sampel dan Perlakuan Awal Biomassa
Peremajaan Isolat Saccharomycess cerevisiae
Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak
Penentuan Konsentrasi Etanol
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA


xiii 
xiii 
xiii 



















12 
13 
13 
14 
14 

xiii

DAFTAR TABEL
1 Kandungan awal gula total dan gula pereduksi pada ampas tebu
2 Konsentrasi gula total ampas tebu hasil fermentasi

6
10

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Ampas tebu hasil pemanasan dan pengeringan
Kromatogram (KLT) ampas tebu hasil perlakuan awal
Isolat S. cerevisiae hasil peremajaan
Proses fermentasi ampas tebu dalam reaktor
Kurva gula total ampas tebu hasil fermentasi
Kromatogram (GC) konsentrasi etanol dari ampas tebu

5
7
8
10
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Bagan alir penelitian
Konsentrasi standar gula total dari glukosa
Konsentrasi standar pereduksi total dari xilosa
Konsentrasi gula total dan gula pereduksi ampas tebu hasil perlakuan awal
Konsentrasi gula total ampas tebu hasil fermentasi
Kromatogram (GC) konsentrasi etanol dari ampas tebu

16
17
18
19
20
23

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan bakar minyak (BBM) merupakan suatu energi tak terbarukan yang
sangat penting bagi manusia. Penggunaan BBM menjadi kebutuhan bagi
masyarakat Indonesia setiap harinya. Hal ini semakin menambah beban
pemerintah, terutama ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia (Badger 2002).
Pemerintah memiliki beban yang besar dalam mengatur subsidi minyak yang
telah menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Berbagai cara telah
dilakukan pemerintah untuk mengurangi kebergantungan Indonesia terhadap
pemakaian BBM, salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai bahan bakar pengganti
BBM. Kebijakan tersebut menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui
seperti bahan bakar nabati sebagai energi alternatif yang tepat untuk
dikembangkan.
Bioetanol merupakan suatu energi terbarukan yang dibuat dari biomassa
(tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi). Keuntungan
bioetanol antara lain, mampu mengurangi asap, mengurangi emisi gas rumah
kaca, dan memiliki angka oktan yang tinggi. Bioetanol yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar harus memiliki kemurnian alkohol di atas 99.5% (BSN
2009). Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat berlimpah
khususnya tanaman, sehingga banyak sekali potensi bahan bakar nabati yang bisa
dikembangkan di Indonesia. Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai
bioetanol adalah tebu (Anindyawati 2009). Tanaman ini hanya dapat tumbuh di
daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan dengan
umur tanaman sejak ditanam hingga bisa dipanen mencapai kurang lebih satu
tahun. Di Indonesia, tebu banyak dibudidayakan di Pulau Jawa dan Sumatra.
Tanaman tebu memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bioetanol
dibandingkan tanaman lainnya karena tebu memiliki banyak kandungan selulosa
dan hemiselulosa, serta ketersediaan tebu yang cukup melimpah di alam (Canilha
et al. 2012).
Tanaman tebu dapat diubah menjadi etanol melalui proses fermentasi. Pada
proses fermentasi, gula-gula sederhana yang ada pada ampas tebu difermentasi
menjadi etanol (Hermiati et al. 2009). Sebelum memulai fermentasi, perlu
dilakukan perlakuan awal pada ampas tebu untuk mengubah struktur biomassa
selulosik sehingga selulase dapat menjangkau selulosa dan mengkonversi polimer
karbohidrat menjadi gula-gula sederhana yang dapat difermentasi (Candido et al.
2012). Tujuannya untuk memecah kerangka lignin dan menghancurkan struktur
kristalin selulosa. Perlakuan awal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan pembentukan gula dengan
hidrolisis enzimatik, menghindari degradasi atau hilangnya karbohidrat,
menghindari pembentukan produk samping yang akan mengganggu proses
hidrolisis dan fermentasi, dan efektif secara biaya. Perlakuan awal dapat
dilakukan secara fisik, kimia, fisik-kimia, dan biologi (Sudiyani et al. 2010).

2

Fermentasi yang sedang berkembang saat ini adalah sakarifikasi dan
fermentasi serentak (SFS). Sakarifikasi akan mengubah selulosa menjadi
selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa, kemudian
fermentasi yang berperan mengubahnya menjadi etanol. SFS pertama kali
dilakukan di Jepang, yaitu kombinasi antara hidrolisis menggunakan enzim
selulase dan ragi S. cerevisiae untuk fermentasi gula menjadi etanol secara
simultan. Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi
menjadi monosakarida tidak kembali menjadi polisakarida karena monosakarida
langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu, dengan menggunakan satu
reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan. Pada
proses fermentasi terjadi perubahan glukosa menjadi bioetanol dengan
menggunakan ragi. Salah satu ragi yang sering digunakan dalam proses
fermentasi adalah S. cerevisiae. Ragi jenis ini sangat mudah menyesuaikan diri,
tahan terhadap panas, dan dapat menghasilkan kadar etanol yang tinggi
(Hernandez et al. 2009). Penelitian ini bertujuan mendapatkan kadar dan hasil
etanol terbaik dengan melakukan perlakuan fisik dan kimia pada ampas tebu
dengan metode sakarifikasi dan fermentasi serentak menggunakan enzim xilanase
dan ragi S. cerevisiae.

METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah satu set alat fermentor, ultrasentrifugasi
(Hitachi CS 150NX), autoklaf, inkubator, laminar, spektrofotometer UV-vis
(Hitachi U-3900H), peralatan gelas, mesin giling, oven, wadah kromatografi lapis
tipis (KLT), pengering rambut, dan kromatografi gas (GC) (Agilent Technologies
6890N).
Bahan-bahan yang digunakan adalah ampas tebu, NaOH 2.5 N, membran
dialisis, H2SO4 pekat, fenol 5%, dinitrosalisilat (DNS), silika gel untuk
kromatografi lapis tipis, penampak noda DAP (difenilamin, anilin, aseton, asam
fosfat), n-butanol, asam asetat, standar glukosa, standar xilosa, pepton, ekstrak
malt, ekstrak ragi, enzim xilanase dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), S. cerevisiae dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan
akuades.
 

Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Sampel (ampas tebu) dijemur di bawah sinar matahari selama 12 jam hingga
agak kering, lalu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 80 oC selama 12 jam.
Sampel dihaluskan dengan mesin penggiling hingga ukuran 50 mesh sehingga
ukuran partikel lebih seragam dan disimpan di tempat yang kering. Sampel dibuat
larutan dengan konsentrasi 7.5 %.

3

Perlakuan Awal Biomassa
Penambahan basa. Sampel dibuat larutan dengan melarutkan 7.5 g dalam
100 mL akuades. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan NaOH 2.5 N, lalu
dihomogenkan hingga larut. Larutan sampel kemudian dipanaskan dalam
penangas air pada suhu 100 oC selama 1 jam. Sampel kemudian ditambahkan HCl
pekat hingga memiliki pH 5.
Keadaan panas. Sampel dibuat larutan dengan melarutkan 7.5 g dalam 100
mL akuades. Larutan sampel kemudian dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu
121 oC selama 1 jam.
Tanpa perlakuan. Sampel dibuat larutan dengan melarutkan 7.5 g dalam
100 mL akuades tanpa penambahan dan perlakuan apapun.
Analisis Gula Total
Metode analisis gula total yang digunakan mengacu pada metode Dubois et
al. (1956), yaitu sebanyak 0.5 mL sampel hasil perlakuan awal dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0.5 mL larutan fenol 5% dan
direaksikan dengan 2.5 mL H2SO4 pekat. Setelah itu, campuran diinkubasi selama
15 menit pada suhu ruang di lemari asam. Tabung reaksi berisi campuran
dipanaskan dalam air bersuhu 40 °C selama 15 – 30 menit (hingga terjadi
perubahan warna). Analisis gula total dilakukan dengan pembacaan absorbans
pada panjang gelombang 490 nm menggunakan spektrofotometer UV-vis. Untuk
menentukan konsentrasi gula total pada sampel, dibuat standar glukosa.
Analisis Gula Pereduksi
Sebanyak 0.5 mL sampel dan 0.5 mL DNS dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 100 °C selama 30 menit
hingga terjadi perubahan warna. Lalu inkubasi dilanjutkan pada suhu ruang
selama 30 menit. Absorbans larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm.
Untuk menentukan konsentrasi gula pereduksi pada sampel, dibuat standar
glukosa dan xilosa (Miller 1959).
Penentuan Jenis Gula secara Kualitatif
Eluen dibuat dengan memasukkan n-butanol, asam asetat, dan akuades ke
dalam bejana KLT (2:1:1). Sebanyak 4 μL (tiap aplikasi 1 μL) sampel
diaplikasikan pada silika gel dan dikeringkan dengan pengering rambut. Sampel
dimasukkan ke dalam wadah berisi eluen yang telah jenuh selama 1 jam. Setelah
kering, sampel disemprot dengan penampak noda DAP dan dikeringkan kembali
dengan pengering rambut. Sampel lalu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 120
o
C selama 5–10 menit.
Dialisis Hasil Perlakuan Awal NaOH
Membran dialisis sepanjang 3 m dicuci dengan akuades yang mengalir
selama 3 – 4 jam. Membran kemudian direndam dalam larutan Na2S 0.3% selama
1 menit pada suhu 80 °C kemudian direndam dalam akuades bersuhu 60 °C
selama 5 menit. Selanjutnya membran direndam dalam larutan H2SO4 0.02%
selama 5 menit pada suhu 80 °C. Setelah itu, dicuci dengan akuades bersuhu 60
°C lalu direndam dalam akuades yang ditempatkan dalam gelas piala 2 L. Hasil
perlakuan awal dimasukkan ke dalam kantung membran dialisis dan dijepit

4

dengan penjepit dialisis. Hasil perlakuan awal yang telah siap dimasukkan ke
dalam akuades. Kemudian pengaduk magnet dimasukkan ke dalam wadah dan
diletakkan di dalam ruang pendingin menggunakan plat penangas. Akuades
diganti sebanyak 4 kali setiap 8 jam.
Peremajaan dan Produksi S. cerevisiae
Sebanyak 0.3 g ekstrak malt, 0.5 g pepton, 0.3 g ekstrak ragi, 10 g glukosa,
dan 1.5 g agar dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL yang telah diisi akuades
100 mL yang dilakukan sambil diaduk di atas penangas dengan pengaduk magnet.
Larutan kemudian ditutup dengan sumbat kapas. Erlenmeyer kemudian
dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121 °C selama 30 menit. Larutan
dipindahkan ke cawan petri yang telah disterilkan dalam autoklaf dan didiamkan
beberapa saat hingga memadat. Isolat S. cerevisiae disiapkan. Masing-masing
isolat diinokulasikan ke media padat. Pengerjaan dilakukan di dalam laminar.
Hasil peremajaan di atas diambil isolatnya untuk diproduksi dalam jumlah
banyak. Media dibuat dengan 0.3 g ekstrak malt, 0.5 g pepton, 0.3 g ekstrak ragi,
10 g glukosa dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 L berisi akuades 430 mL sambil
diaduk di atas penangas dengan pengaduk magnet. Larutan diambil 30 mL dan
dimasukkan ke labu Erlenmeyer 100 mL (prekultur) lalu ditutup sumbat kapas
dan sisa 400 mL dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 L (kultur). Kedua
Erlenmeyer kemudian dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121 °C selama 30
menit. Sedikit isolat S. cerevisiae hasil peremajaan diinokulasikan. Pengerjaan
dilakukan di dalam laminar. Erlenmeyer yang berisi prekultur dan isolat
diinkubasi di inkubator selama 3 hari. Setelah 3 hari, prekultur dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 1 L berisi kultur dan inkubasi dilanjutkan selama 4 hari. Hasil
inkubasi disentrifusa dengan kecepatan 15000 rpm pada suhu 4 °C selama 20
menit dan diambil selnya. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-vis
pada panjang gelombang 600 nm.
Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak
Medium untuk SFS sebanyak 20 mL dibuat dengan menambahkan 2.7 mL
sampel ampas tebu (5%), 5 mL YP Medium (media peremajaan), 5 mL buffer
NaOAc 0.05 M (pH 5.0), 0.56 mL enzim xilanase (5 U/mL), 0.7 mL OD sel 80 (S.
cerevisiae) dan ditambahkan akuades hingga 20 mL. Sampel, YP medium dan
buffer disterilisasi pada suhu 121 oC selama 20 menit dalam autoklaf. Sampel
diberi perlakuan berbeda dengan dan tanpa penambahan enzim. Tiap perlakuan
dibuat triplo. Kontrol dibuat tanpa penambahan OD sel 80 (S. cerevisiae).
Fermentor dijalankan pada kecepatan 200 rpm dan suhu 30 oC. Proses sampling
dilakukan pada jam ke-0, 24, 48, dan 72. Supernatan diambil melalui sentrifusa
pada kecepatan 15000 rpm, suhu 4 oC selama 20 menit.
Penentuan Konsentrasi Etanol
Sebanyak 89 mL aseton dicampurkan dengan 1 mL butanol. Sebanyak 900
μL larutan tersebut direaksikan dengan 100 μL etanol hasil fermentasi, lalu
disentrifusa dengan kecepatan 12000 rpm selama 2 menit. Supernatan diambil dan
dihitung konsentrasi etanolnya dengan GC. Sebelum sampel diinjeksikan ke
dalam GC, terlebih dahulu diukur larutan standar yang akan digunakan sebagai
dasar perhitungan konsentrasi etanol (Samsuri et al. 2007).

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persiapan Sampel dan Perlakuan Awal Biomassa
Ampas tebu merupakan limbah biomassa dari tanaman tebu setelah proses
penggilingan dan ekstraksi niranya. Ampas tebu termasuk biomassa
berlignoselulosa yang dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti
bioetanol atau biogas. Kandungan kimia ampas tebu adalah selulosa,
hemiselulosa, lignin, silika dan pektin. Komposisinya sangat bervariasi
bergantung pada varietas tebu, tingkat kematangan, cara panen dan efisiensi
proses pengambilan nira (Hardjo et al. 1989). Persiapan sampel dilakukan dengan
menjemur ampas tebu di bawah sinar matahari yang bertujuan untuk
menghilangkan bakteri pemakan tebu serta mengeringkan ampas tebu agar lebih
mudah diolah pada proses penggilingan (Gambar 1). Pengeringan selanjutnya
dengan oven bertujuan agar pemanasan dilakukan secara merata. Selanjutnya
sampel digiling hingga berukuran 50 mesh agar ukuran seragam dan memudahkan
reaksi pada proses fermentasi.


b

Gambar 1 Ampas tebu hasil (a) pemanasan dan (b) pengeringan
Sampel diberikan tiga perlakuan berbeda, yaitu penambahan NaOH,
pemanasan pada suhu 121 °C, dan tanpa perlakuan. Proses ini bertujuan untuk
mengubah struktur biomassa hemiselulosik sehingga xilanase dapat menjangkau
hemiselulosa dan mengkonversi karbohidrat menjadi gula-gula sederhana yang
dapat difermentasikan. Tujuannya untuk memecah kerangka lignin dan
menghancurkan struktur kristalin selulosa. Manfaat dari proses ini adalah
meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan pembentukan gula dengan
hidrolisis enzimatik, menghindari degradasi atau hilangnya karbohidrat,
menghindari pembentukan produk samping yang akan mengganggu proses
hidrolisis dan fermentasi, dan efektif secara biaya (Sudiyani 2010). Pada
perlakuan penambahan NaOH, sampel ditambahkan HCl pekat hingga pH 5. Hal
ini bertujuan agar S. cerevisae dapat bekerja secara optimal pada pH 5. Selain itu,
larutan yang terlalu basa dapat mengganggu proses analisis GC. Pemanasan
dilakukan pada suhu 121 °C agar semua bakteri yang berpotensi menyebabkan
kontaminasi mati. Semua sampel yang telah diberi perlakuan dianalisis
kandungan gulanya dengan analisis gula total, gula pereduksi, dan kromatografi
lapis tipis.

6

Tabel 1 Kandungan awal gula total dan gula pereduksi pada ampas tebu
Kandungan
Gula
Gula Total

Gula Pereduksi

Perlakuan
NaOH
Panas
Tanpa Perlakuan
NaOH
Panas
Tanpa Perlakuan

Konsentrasi
Gula (ppm)
7225
7845
6810
1022
1579
1315

Hasil percobaan menunjukkan bahwa konsentrasi gula total tertinggi
diperoleh pada sampel yang diberikan perlakuan panas, yaitu sebesar 7845 ppm,
diikuti dengan sampel yang diberikan NaOH sebesar 7225 ppm, dan sampel yang
tidak diberikan perlakuan sebesar 6810 ppm (Tabel 1). Perlakuan panas yang
diberikan sangat efektif karena berhasil memecah gula-gula kompleks menjadi
gula-gula sederhana, meskipun tidak semuanya menjadi gula sederhana. Hal ini
dibuktikan dengan melihat hasil konsentrasi gula pereduksi yang didapat, yaitu
sebesar 1579 ppm dari hasil perlakuan panas. Pemberian NaOH yang diharapkan
mampu memecah gula-gula kompleks justru sebaliknya, yang ditunjukkan dengan
konsentrasi gula pereduksi hasil pemberian NaOH lebih kecil dibandingkan tanpa
diberi perlakuan. Hal ini disebabkan adanya proses dialisis pada sampel yang
diberi perlakuan NaOH sehingga gula-gula sederhana yang berukuran kecil
seperti glukosa dan xilosa ikut terlarut (Riyanti 2009).
Analisis gula total dilakukan untuk mengukur kandungan total gula yang
terdapat pada sampel. Analisis gula total menggunakan metode fenol-asam sulfat.
Penambahan asam sulfat pekat dapat menguraikan seluruh gula yang memiliki
rantai yang panjang menjadi gula-gula sederhana. Reaksi tersebut menyebabkan
sampel menjadi warna jingga yang diukur pada panjang gelombang 490 nm
(Dubois et al. 1956). Analisis gula pereduksi bertujuan mengukur banyaknya gula
pereduksi yang terbentuk dari perlakuan awal pada ampas tebu. Analisis gula
pereduksi menggunakan metode DNS. Reagen DNS yang terdiri atas komponen
utama asam 3.5-dinitrosalisilat berwarna kuning akan mengalami reaksi reduksi
menjadi asam 3-amino-5-nitrosalisilat. Reaksi reduksi pada gugus nitro
disebabkan adanya gula pereduksi yang merupakan hasil perlakuan awal oleh air
(Miller 1959). Reagen DNS berfungsi untuk memberikan warna pada larutan
sehingga absorbansnya dapat diukur dengan spektrofotometer Uv-vis pada
panjang gelombang 540 nm. Warna yang terbentuk dari kuning sampai jingga
bergantung pada kadar gula sederhana dalam larutan, semakin banyak kadar gula
sederhana maka warnanya akan semakin pekat. Derajat polimerisasi diperoleh
dari perbandingan gula total dan gula pereduksi. Dengan mengukur derajat
polimerisasi dapat diperkirakan jumlah rantai monosakarida dominan yang
terdapat pada sampel. Analisis sampel hasil pemberian perlakuan awal secara
kualitatif salah satunya adalah menggunakan KLT (Gambar 2).

7

Gambar 2 Kromatogram ampas tebu hasil perlakuan awal. Keterangan: sampel
(a) perlakuan dengan NaOH, (b) perlakuan panas, (c) tanpa perlakuan,
(d) standar xilosa, dan (e) standar glukosa.
Analisis ini bertujuan mengetahui jenis gula sederhana yang terdapat pada
sampel setelah diberi perlakuan awal. Fase diam yang digunakan adalah silika gel.
Eluen yang digunakan adalah n-butanol, asam asetat, dan akuades dengan
perbandingan 2:1:1. Standar yang digunakan adalah glukosa dan xilosa. Glukosa
dan xilosa memiliki Retention factor (Rf) yang berbeda, xilosa yang memiliki
bobot molekul yang rendah lebih panjang mengalami pergerakan pada fase diam.
Semakin tinggi bobot molekul atau tingkat kepolaran standar semakin rendah nilai
Rf. Kromatogram standar glukosa dan xilosa memiliki nilai Rf sebesar 0.60 dan
0.65. Kromatogram sampel yang diberi perlakuan NaOH, panas, dan tanpa
perlakuan berturut-turut memiliki nilai Rf sebesar 0.32, 0.63, dan 0.62. Hasil ini
menunjukkan bahwa ada sebagian gula-gula kompleks yang terkonversi menjadi
gula-gula sederhana, sedangkan hasil yang kurang baik ditunjukkan pada sampel
yang diberi perlakuan NaOH.

Peremajaan Isolat Saccharomycess cerevisiae
Salah satu keuntungan menggunakan S. cerevisiae dalam pembuatan
bioetanol karena S. cerevisiae sangat mudah menyesuaikan diri, tahan terhadap
panas, kemampuannya melakukan metabolisme terhadap gula menjadi etanol dan
gas karbondioksida, dan dapat menghasilkan kadar etanol yang tinggi. Peremajaan
isolat S. cerevisiae dilakukan pada media padat. Suhu yang digunakan adalah 121
°C yang diyakini dapat mematikan bakteri pengganggu dan kontaminan yang
akan menghambat proses fermentasi (Hernandez et al. 2009). Isolat yang telah
diremajakan kemudian diinkubasi selama 96 jam pada suhu ruang sekitar 30 °C.
Hasil isolat yang telah diremajakan memiliki penampakan seperti yang terdapat
pada Gambar 3, yaitu warna yang koloni cerah, berwarna putih kekuningan, dan
permukaan yang halus.

8

Gambar 3 Isolat S. cerevisiae hasil peremajaan
Dalam penelitian ini, peremajaan isolat dilakukan untuk mempersiapkan
isolat segar saat akan melakukan proses fermentasi dengan tujuan mendapatkan
isolat yang aktif, memiliki sistem metabolisme yang segar dan lebih baik karena
sebelumnya isolat tersebut berada dalam kondisi inaktif di dalam lemari
pendingin. Peremajaan biakan adalah upaya yang dilakukan untuk
mempertahankan sifat alami S. cerevisiae. Selain itu, peremajaan biakan dapat
mencegah terjadinya kerusakan isolat seperti penurunan viabilitas dan stabilitas
sel suatu isolat yang dapat menurunkan potensi sel isolat tersebut (Hernandez et
al. 2009).
Produksi Enzim Xilanase Ekstrak Kasar dari S. cerevisiae 
Ampas tebu memiliki komposisi hemiselulosa dengan komponen utama
berupa xilan yang berikatan dengan selulosa, lignin dan polisakarida yang lain
untuk menyusun dinding sel tanaman. Dibandingkan dengan bahan lignoselulosa
yang lain, ampas tebu memiliki kandungan hemiselulosa yang tertinggi, yaitu 25–
40%. Komponen hemiselulosa dapat didegradasi oleh enzim xilanase menjadi
produk xilobiosa, xilotriosa dan xilosa (Moreira et al. 2012). Xilanase merupakan
enzim yang mampu menghidrolisis ikatan 1,4-β yang terdapat pada hemiselulosa
dalam hal ini ialah xilan atau polimer dari xilosa dan xilooligosakarida. Menurut
Singleton et al. (2006) xilanase dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat yang
dihidrolisis dan produk akhirnya, yaitu β-xilosidase, eksoxilanase, dan
endoxilanase. Singleton et al. (2006) juga menyatakan bahwa xilanase mampu
memecahkan polisakarida non pati yang tidak dapat larut dalam gandum, yaitu
xilan.
Produksi enzim xilanase dari S. cerevisiae dilakukan sampai hari ke-4
menggunakan inkubator pada kecepatan 150 rpm dan suhu 30 °C. Prekultur
dilakukan sampai hari ke-3, kemudian hasil prekultur dipindahkan ke dalam
kultur yang berisi media dengan komposisi yang sama seperti pada prekultur
tetapi volumenya ditingkatkan. Tujuan prekultur adalah agar bakteri bisa
beradaptasi pada media cair sebelum ditumbuhkan pada lingkungan yang baru,
sebagai stimulasi atau rangsangan isolat untuk mengeluarkan enzim

9

(Wahyuningsih 2011). Media kultur bakteri berubah dari kuning bening menjadi
kuning keruh. Hal tersebut merupakan salah satu ciri adanya pertumbuhan dan
sistem metabolisme bakteri. Enzim tersebut merupakan salah satu metabolit
sekunder yang dihasilkan pada saat kurva pertumbuhan mikroba mencapai fase
stasioner (Waluyo 2007).
Enzim xilanase termasuk ke dalam enzim ekstraseluler (eksoenzim), yang
berarti enzim tersebut disekresikan ke luar sel dan berdifusi ke dalam media.
Sebagian besar eksoenzim ini bersifat hidrolitik, yaitu dapat menguraikan molekul
kompleks menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana (Waluyo 2007). Untuk
mendapatkan enzim ekstrak kasar xilanase, sama seperti enzim ekstraseluler
lainnya, yaitu dengan cara sentrifugasi. Cara ini bertujuan memisahkan enzim
yang terdapat pada supernatan dari biomassanya.
Pengujian aktivitas enzim xilanase ekstrak kasar menggunakan metode DNS
yang direaksikan selama 30 menit. Penambahan DNS tersebut bertujuan
mengukur banyaknya gula pereduksi yang terbentuk dari hidrolisis ampas tebu
oleh xilanase. Gula pereduksi yang terbentuk bereaksi dengan asam 3.3dinitrosalisilat dalam larutan DNS menjadi asam 3-amino-5-nitrosalisilat. Reaksi
tersebut menghasilkan warna kuning hingga jingga yang menyerap cahaya pada
panjang gelombang 540 nm. Semakin pekat warna kuning yang dihasilkan, gula
pereduksi yang dihasilkan semakin banyak akibat aktivitas enzim xilanase. Nilai
aktivitas enzim hasil pengukuran adalah sebesar 1.428 U/mL.

Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak
Pada proses SFS, hidrolisis selulosa dan fermentasi gula tidak dilakukan
secara terpisah atau bertahap, tetapi secara simultan. Proses SFS memiliki
keunggulan dibandingkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi bertahap.
Beberapa keunggulan tersebut adalah meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan
mengkonversi gula yang terbentuk dari hasil hidrolisis selulosa yang menghambat
aktivitas enzim selulase, mengurangi kebutuhan enzim, meningkatkan rendemen
produk, mengurangi kebutuhan kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi
menjadi etanol, waktu proses lebih pendek, dan volume reaktor lebih kecil karena
hanya digunakan satu reaktor. Beberapa kendala yang perlu diatasi pada proses
SFS diantaranya suhu hidrolisis dan fermentasi yang tidak sama, toleransi mikrob
terhadap etanol, penghambatan kerja enzim oleh etanol, dan kesulitan
memisahkan sel ragi dari sisa lignin dan serat yang dapat mengakibatkan
kebutuhan ragi meningkat sehingga menurunkan produksi etanol (Sun dan Cheng
2002).

10

Gambar 4 Proses fermentasi ampas tebu dalam reaktor
Kondisi fermentor (Gambar 4) dijalankan pada kecepatan 200 rpm dan suhu
30 oC. Proses sampling dilakukan pada jam ke-0, 24, 48, dan 72 untuk
menentukan kadar etanol dari hasil fermentasi. Supernatan diambil setelah sampel
dilakukan sentrifusa pada kecepatan 15000 rpm, suhu 4 oC selama 20 menit. Dari
hasil fermentasi ini dapat dilihat secara kasar terbentukmya etanol dengan analisis
gula total dan gula pereduksi. Secara teori, 1 g/L gula dikonversi menjadi 0.51 g/L
etanol pada proses fermentasi. Tabel 2 menunjukkan konsentrasi gula total ampas
tebu hasil fermentasi.
Tabel 2 Konsentrasi gula total ampas tebu hasil fermentasi
Perlakuan
NaOH
Panas
Tanpa
Perlakuan
NaOH
Panas
Tanpa
Perlakuan

Pemberian
Enzim
+

-

Konsentrasi Gula Total (ppm)
Jam ke-0
Jam ke-24 Jam ke-48 Jam ke-72
4240
4555
3400
1940
2470
2900
2390
945
5910

7440

5810

4140

4015
2910

4385
2915

3240
3020

2560
1935

6490

9290

5345

4235

Dari hasil analisis gula total setelah proses fermentasi, diprediksi bahwa
produktivitas etanol tertinggi tercapai pada konsentrasi gula total pada sampel
yang diberi perlakuan NaOH, sehingga ampas tebu yang diberi perlakuan NaOH
yang akan dianalisis selanjutnya dengan GC. Hal ini dilihat dari degradasi
konsentrasi gula total sebelum dilakukan proses fermentasi. Konsentrasi gula total
pada sampel yang diberi perlakuan NaOH cenderung menurun nilainya setelah
dilakukan proses fermentasi. Kecenderungan yang terjadi yaitu semakin naiknya
konsentrasi gula akan menghasilkan produktivitas etanol yang makin tinggi. Hal
ini disebabkan semakin banyaknya substrat yang tersedia untuk digunakan dalam
metabolisme ragi sehingga akan menghasilkan metabolit, yaitu etanol yang
semakin banyak pula (Ergun dan Mutlu 2000). Jika dibandingkan nilai
produktivitasnya maka akan jelas sekali bahwa dengan peningkatan konsentrasi
substrat akan meningkatkan perolehan etanol. Konsentrasi gula total yang

11

dihasilkan dari jam ke-0 hingga jam ke-96 memiliki pola yang sama. Konsentrasi
gula total terendah ditunjukkan pada jam ke-72. Semua kurva menunjukkan pola
yang sama, yaitu naik pada jam ke-24 dan turun pada jam ke-72 (Gambar 5). Hal
ini menunjukkan bahwa enzim xilanase dan ragi S. cerevisiae bekerja cepat dalam
mengkonversi gula menjadi etanol. Konsentrasi gula total pada jam ke-72 yang
dihasilkan dari ampas tebu yang diberi perlakuan NaOH, panas, dan tanpa
perlakuan (dengan enzim) masing-masing sebesar 1940 ppm, 945 ppm, dan 4140
ppm. Sedangkan ampas tebu yang diberi perlakuan NaOH, panas, dan tanpa
perlakuan (tanpa enzim) masing-masing sebesar 2560 ppm, 1935 ppm, dan 4235
ppm. Jadi dari hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa konsentrasi
etanol yang terbesar ada pada sampel yang difermentasi selama 72 jam.

Konsentrasi Gula Total
(ppm)

8000

NaOH
Panas
Tanpa Perlakuan

6000

4000

2000

0
0

24

48

72

Waktu Fermentasi (jam)

a)

Konsentrasi Gula Total
(ppm)

10000

NaOH
Panas
Tanpa Perlakuan

8000
6000
4000
2000
0
0

24

48

72

Waktu Fermentasi (jam)

b)
Gambar 5 Kurva gula total ampas tebu hasil fermentasi (a) dengan enzim dan
(b) tanpa enzim
Telah dijelaskan bahwa dengan kenaikan konsentrasi substrat akan
menaikkan perolehan etanol, namun tetap saja ada batas maksimal konsentrasi

12

substrat untuk proses fermentasi etanol. Menurut Tao et al. (2003), penurunan
produksi etanol pada konsentrasi gula berlebih merupakan efek dari inhibisi
substrat. Konsentrasi substrat yang tinggi akan mengurangi jumlah oksigen
terlarut. Dalam proses fermentasi ini, oksigen tetap dibutuhkan walaupun dalam
jumlah yang sedikit. S. cerevisiae membutuhkan oksigen untuk mempertahankan
kehidupan dan menjaga konsentrasi sel tetap tinggi (Tao et al. 2003).

Penentuan Konsentrasi Etanol
 

Konsentrasi etanol dari hasil SFS pada ampas tebu yang diberikan perlakuan
NaOH ditunjukkan pada Gambar 6 dengan kromatogram GC. Puncak yang
muncul pada kromatogram dapat dipastikan bahwa puncak tersebut adalah etanol
dengan membandingkan kromatogram sampel dengan kromatogram standar
etanol 78%.

a)

b)
Gambar 6 Kromatogram konsentrasi etanol dari ampas tebu dengan perlakuan
NaOH pada jam ke-72 (a) dengan enzim dan (b) tanpa enzim
Dari hasil analisis dengan GC, diperoleh konsentrasi etanol dari ampas tebu
yang diberi NaOH dengan penambahan enzim pada jam ke-0 dan jam ke-72
masing-masing sebesar 53.06 % dan 56.41 %, sedangkan konsentrasi etanol dari
ampas tebu yang diberi NaOH tanpa penambahan enzim pada jam ke-0 dan jam
ke-72 masing-masing sebesar 49.86 % dan 54.95 %. Hasil yang diperoleh cukup

13

bagus karena sesuai dengan hasil teoritis, yaitu konsentrasi etanol dari ampas tebu
yang diberi penambahan enzim lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi
etanol dari ampas tebu tanpa penambahan enzim. Hal ini menunjukkan bahwa
enzim xilanase bekerja dengan baik dalam memecah gula-gula kompleks menjadi
gula-gula sederhana. Sedangkan konsentrasi etanol dari ampas tebu pada jam ke72 lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi etanol dari ampas tebu pada jam
ke-0 karena S. cerevisiae memiliki waktu yang cukup untuk mengubah gula
menjadi etanol dan jam ke-72 merupakan waktu optimal yang dibutuhkan S.
cerevisiae dalam mengubah gula menjadi etanol. Ampas tebu yang diberi
perlakuan panas dan tanpa perlakuan tidak dilakukan analisis GC karena
diprediksi memiliki konsentrasi etanol yang tidak jauh berbeda dengan
konsentrasi etanol dari ampas tebu yang diberi NaOH. Hal ini dilihat dari data
konsentrasi gula total yang dihasilkan dari ketiga perlakuan yang nilainya tidak
jauh berbeda.
Hasil konsentrasi etanol yang diperoleh dari ampas tebu pada berbagai
perlakuan awal masih belum dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar
bensin karena masih memiliki konsentrasi etanol rata-rata sebesar 53%. Menurut
BSN (2009), kadar bioetanol yang dapat digunakan sebagai pengganti bensin
mempunyai kadar sebesar 99.5%. Usaha meningkatkan konsentrasi etanol juga
dilakukan oleh Samsuri et al. (2007) dengan perlakuan secara biologi. Akan
tetapi, konsentrasi etanol tertingginya hanya diperoleh 32%.
Metode yang digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui konsentrasi
etanol adalah kromatografi gas (GC). GC dioperasikan pada tekanan di atas
tekanan atmosfer. Pada GC, sampel dalam bentuk cair diinjeksikan ke dalam gas
inert sebagai fase gerak atau sering disebut gas pembawa. Prinsip dari metode ini
adalah distribusi analit volatil diantara fase diam dan gerak. Sampel akan dibawa
melalui kolom kemas atau kapiler sehingga komponen-komponen dapat
dipisahkan berdasarkan kemampuan komponen untuk terdistribusi diantara fase
gerak dan diam. Fase gerak yang digunakan adalah gas Helium. Sementara itu,
fase diam yang digunakan adalah kolom kapiler HP-5. Kolom ini digunakan
karena memiliki kriteria utama dalam pemilihan fase diam, seperti zat yang
digunakan harus inert, kestabilan suhu, dan volatilitas yang rendah (Harvey 2000).
Detektor yang digunakan adalah Flame Ionisation Detector (FID), dengan suhu
detektor 250 °C. Volume sampel yang diinjek sebesar 0,6 μL dan suhu injektor
yang digunakan adalah 200 °C. GC memiliki sensitivitas tinggi, resolusi yang
baik, dan selektif untuk identifikasi dan kuantifikasi senyawa. Salah satu teknik
analisis modern ini merupakan teknik standar untuk mengidentifikasi keberadaan
dari suatu target molekul (Dass 2007).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Bioetanol dapat dihasilkan dari ampas tebu dengan metode sakarifikasi dan
fermentasi serentak (SFS) menggunakan enzim xilanase dan ragi S. cerevisiae.
Pada ketiga perlakuan awal, konsentrasi etanol dari ampas tebu tertinggi

14

dihasilkan pada jam ke-72 dengan penambahan enzim. Ampas tebu yang diberi
perlakuan NaOH memiliki konsentrasi etanol tertinggi. Semakin besar konsentrasi
gula, maka semakin besar konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses
fermentasi. Sedangkan semakin lama waktu fermentasi, konsentrasi etanol
semakin tinggi dengan waktu optimal pada jam ke-72. Bioetanol hasil fermentasi
pada penelitian ini belum bisa menjadi bahan bakar karena nilainya masih jauh
dari batas minimal kadar etanol untuk bahan bakar.

Saran
Penelitian dengan variasi perlakuan awal lainnya sangat disarankan untuk
menghasilkan konsentrasi etanol yang lebih tinggi. Selain itu, penggunaan enzim
dan ragi lain pada proses fermentasi juga sangat disarankan, misalnya enzim
selulase yang merupakan campuran dari beberapa enzim dan bisa menggunakan
ragi lain seperti Trichoderma reesei.

 

DAFTAR PUSTAKA
Anindyawati T. 2009. Prospek enzim dan limbah lignoselulosa untuk produksi
bioetanol. BS 44 (1): 49 – 56.
Badger PC. 2002. Ethanol from Cellulose: A General Review in Janick J and
Whipkey A (Ed.). Trends in New Crops and New Uses.17−21.ASHS Press,
Alexandria, VA.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. Etanol Nabati. SNI 3565.2009. Jakarta (ID):
BSN.
Candido RG, Godoy GG, Gonçalves AR. 2012. Study of sugarcane bagasse
pretreatment with sulfuric acid as a step of cellulose obtaining. Eng Technol
61: 101-105.
Canilha L, Chandel AK, Milessi TS, Antunes FA, Freitas WL, Felipe MGA, Silva
SS. 2012. Biocoversion of sugarcane biomass into ethanol: an overview
about composition, pretreatment methods, detoxification of hydrolysates,
enzymatic saccharification, and ethanol fermention. J Biomed Biotechnol 115. doi:10.1155/2012/989572.
Dass C. 2007. Fundamentals of Contemporary Mass Spectrometry. New Jersey
(US): John Wiley & Sons, Inc.
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric
method for determination of sugars and related substance. J Anal Chem 28
(3): 350-356.
Ergun M, Mutlu SF. 2000. Application of a statistical technique to production of
ethanol from sugar beet molasses by saccharomyces cerevisiae. Bioresource
Technol 73: 251-255.
Hardjo S, Indrasti NS, Bantatjut T. 1989. Biokonversi : Pemanfaatan Limbah
Industri Pertanian. PAU-IPB, Bogor.

15

Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. United States of America:
McGraw Hill Companies, Inc.
Hermiati E, Djumali M, Titi CS, Ono S, Bambang P. 2009. Pemanfaatan
biomassa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol. Jurnal Litbang
Pertanian 29 (4): 121-130.
Hernandez CC, Carrillo EP, Saldivar SO. 2009. Production of bioethanol from
steam-flaked sorghum and maize. J Cereal Sci 50: 131–137.
Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of
reducing sugar. J Anal Chem 31: 426-428.
Moreira LR, Ferreira GV, Santos SS, Ribeiro A, Siquira F, Filho EX. 2012. The
hydrolysis of agroindustrial residues by holocellulose degrading enzyme.
Braz J Microbiol: 498-505.
Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Jakarta (ID):
Sekretariat Negara.
Riyanti EI. 2009. Biomassa sebagai bahan baku etanol. Jurnal Litbang Pertanian
28 (3): 101-110.
Samsuri M, Gozan M, Mardias R, Baiquni M, Hermansyah H, Wijanarko A,
Prasetya B, Nasikin M. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi
etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xylanase.
Makara Teknologi 11 (1): 17-24.
Samsuri M. 2006. Pengaruh perlakuan jamur pelapuk putih dan steaming pada
produksi etanol dari bagas melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara
serentak (SSF) [tesis]. Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik UI, Depok.
Singleton P, Sainsbury D. 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular
Biology 3rd Edition. John Wiley and Sons. Sussex, England.
Sudiyani Y, Riyanto H, Syarifah A. 2010. Pemanfaatan biomassa limbah
lignoselulosa untuk bioetanol sebagai sumber energi baru terbarukan.
Ecolab 4 (1): 1-54.
Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: A review. Bioresource Technol 83: 1–11.
Wahyuningsih. 2011. Peranan enzim mananase dari Saccharopolyspora flava
pada hidrolisis substrat tepung mannan umbi porang untuk menghasilkan
oligosakarida [skripsi]. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Waluyo L. 2007. Mikrobiologi Umum. Malang, Universitas Muhammadiyah
Malang.
Widjaja A, Gunawan S. 2012. Pengembangan Teknologi Produksi Bioetanol
Generasi 2 Melalui Pemanfaatan Selulosa dan Hemiselulosa dalam Jerami
Padi. Prosiding Insinas. Hal 1-6.
Tao F, Miao JY, Shi G Y, Zhang KC. 2003. Ethanol fermentation by an acidtolerant Zymomonas mobilis under non-sterilized condition. Process
Biochem 40: 183-187.

16

Lampiran 1 Bagan Alir Penelitian
Bagasse
Oven 80 oC , 1 hari
Giling 50 mesh
Perlakuan awal

Serbuk
NaOH 1,5 %
100 °C, 1 jam

Panas
121 °C 30 menit

Tanpa
Perlakuan

Perlakuan 2

Perlakuan 1

Perlakuan 3

Sentifusa

Supernatan
Uji Gula Total

Uji Gula Pereduksi
KLT

Konsentrasi
Gula Total

Kromatogram
Data 1
Kadar Gula

+
Enzim Xilanase

Saccharomyces
cerevisiae

Konsentrasi
Etanol
Tertinggi

Konsentrasi
Gula Pereduksi

Enzim Xilanase

Konsentrasi
Etanol
Tertinggi

GC

Kromatogram

17

Lampiran 2 Konsentrasi standar gula total dari glukosa
a) konsentrasi standar gula total dari glukosa
Konsentrasi
(ppm)
20
40
60
80
100

1
(ppm)
0.242
0.527
0.700
0.924
1.101

2
(ppm)
0.274
0.468
0.739
0.870
1.094

3
(ppm)
0.216
0.482
0.633
0.895
1.052

Rerata
(ppm)
0.244
0.492
0.691
0.896
1.082

b) kurva konsentrasi standar gula total dari glukosa

Absorbansi

1.5

1

0.5

y = 0.010x + 0.057
R² = 0.997

0
0

20

40

60

80

Konsentrasi standar gula total

100

18

Lampiran 3 Konsentrasi standar pereduksi total dari xilosa
a) konsentrasi standar gula pereduksi dari xilosa
Konsentrasi
(ppm)
20
40
60
80
100
200
300

1
(ppm)
0.005
0.061
0.095
0.272
0.366
0.763
1.186

2
(ppm)
0.005
0.069
0.170
0.265
0.363
0.762
1.179

3
(ppm)
0.005
0.059
0.164
0.254
0.350
0.754
1.184

Rerata
(ppm)
0.005
0.063
0.143
0.264
0.360
0.760
1.183

b) kurva konstenrasi standar gula pereduksi dari xilosa

Absorbansi

1.5
y = 0.004x - 0.089
R² = 0.998

1

0.5

0
0

100

200

Konsentrasi standar gula pereduksi (xilosa)

300

19

Lampiran 4 Konsentrasi gula total dan gula pereduksi ampas tebu hasil perlakuan
awal
a) konsentrasi gula total dari ampas tebu hasil perlakuan awal

Perlakuan
NaOH
Panas
Tanpa Perlakuan

Ulangan
1
0.545
0.581
0.520

Absorbans
Ulangan Ulangan
2
3
0.553
0.518
0.569
0.590
0.512
0.501

Konsentrasi
Rerata
0.539
0.580
0.511

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

48.167
52.300
45.400

7225
7845
6810

Keterangan : FP : Faktor Pengenceran
 

b) konsentrasi gula pereduksi dari ampas tebu hasil perlakuan awal

Perlakuan
NaOH
Panas
Tanpa Perlakuan

Absorbans
Ulangan Ulangan Ulangan
1
2
3
0.507
0.503
0.516
0.847
0.838
0.843
0.678
0.688
0.686

Keterangan : FP : Faktor Pengenceran 

Konsentrasi
Rerata
0.509
0.843
0.684

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

204.556
315.889
263.000

1022
1579
1315

20

Lampiran 5 Konsentrasi gula total ampas tebu hasil fermentasi

a) konsentrasi gula total hasil fermentasi ampas tebu dengan NaOH dan
enzim

Jam Ke0
2
4
6
8
24
48
72

Absorbans
Ulangan Ulangan Ulangan
1
2
3
0.357
0.323
0.339
0.344
0.316
0.323
0.332
0.306
0.317
0.341
0.334
0.338
0.341
0.323
0.331
0.370
0.348
0.364
0.305
0.262
0.284
0.190
0.162
0.207

Konsentrasi
Rerata
0.340
0.328
0.318
0.338
0.332
0.361
0.284
0.186

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

148.222
144.222
141.111
147.556
145.556
155.222
129.556
97.11

22233.333
21633.333
21166.667
22133.333
21833.333
23283.333
19433.333
14566.667

b) konsentrasi gula total hasil fermentasi ampas tebu dengan NaOH tanpa
enzim

Jam Ke0
2
4
6
8
24
48
72

Absorbans
Ulangan Ulangan Ulangan
1
2
3
0.326
0.320
0.328
0.299
0.316
0.310
0.302
0.285
0.297
0.317
0.323
0.325
0.293
0.282
0.274
0.382
0.305
0.361
0.280
0.274
0.265
0.222
0.238
0.223

Konsentrasi
Rerata
0.325
0.308
0.295
0.322
0.283
0.349
0.273
0.228

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

143.222
137.778
133.222
142.222
129.333
151.444
126.000
110.889

21483.333
20666.667
19983.333
21333.333
19400.000
22716.667
18900.000
16633.333

21

Lampiran 5 Konsentrasi gula total ampas tebu hasil fermentasi (Lanjutan)
c) konsentrasi gula total hasil fermentasi ampas tebu dengan panas dan enzim

Jam Ke0
2
4
6
8
24
48
72

Absorbans
Ulangan Ulangan Ulangan
1
2
3
0.241
0.201
0.223
0.266
0.290
0.274
0.220
0.211
0.217
0.223
0.250
0.235
0.300
0.268
0.283
0.282
0.208
0.261
0.214
0.217
0.218
0.115
0.128
0.117

Konsentrasi
Rerata
0.222
0.277
0.216
0.236
0.284
0.250
0.216
0.120

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

108.889
127.222
107.000
113.667
129.556
118.444
107.111
75.000

16333.333
19083.333
16050.000
17050.000
19433.333
17766.667
16066.667
11250.000

d) konsentrasi gula total hasil fermentasi ampas tebu dengan panas tanpa enzim

Jam Ke0
2
4
6
8
24
48
72

Absorbans
Ulangan Ulangan Ulangan
1
2
3
0.209
0.283
0.261
0.243
0.231
0.284
0.305
0.292
0.301
0.300
0.335
0.325
0.307
0.307
0.314
0.257
0.248
0.249
0.208
0.294
0.273
0.191
0.172
0.195

Konsentrasi
Rerata
0.251
0.253
0.299
0.320
0.309
0.251
0.258
0.186

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

118.667
119.222
134.778
141.667
138.111
118.778
121.111
97.00

17800.000
17883.333
20216.667
21250.000
20716.667
17816.667
18166.667
14550.000

22

Lampiran 5 Konsentrasi gula total ampas tebu hasil fermentasi (Lanjutan)
e) konsentrasi gula total hasil fermentasi ampas tebu tanpa perlakuan dan enzim

Jam Ke0
2
4
6
8
24
48
72

Absorbans
Ulangan Ulangan Ulangan
1
2
3
0.431
0.449
0.473
0.530
0.513
0.561
0.334
0.373
0.331
0.440
0.415
0.473
0.495
0.413
0.461
0.543
0.592
0.524
0.432
0.417
0.484
0.349
0.317
0.333

Konsentrasi
Rerata
0.451
0.535
0.346
0.443
0.456
0.553
0.444
0.333

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

185.333
213.222
150.333
182.556
187.111
219.333
183.111
146.000

27800.000
31983.333
22550.000
27383.333
28066.667
32900.000
27466.667
21900.000

f) konsentrasi gula total hasil fermentasi ampas tebu tanpa perlakuan tanpa enzim

Jam Ke0
2
4
6
8
24
48
72

Absorbans
Ulangan Ulangan Ulangan
1
2
3
0.493
0.481
0.495
0.513
0.583
0.572
0.642
0.673
0.704
0.517
0.561
0.590
0.510
0.514
0.532
0.673
0.695
0.661
0.400
0.423
0.417
0.348
0.321
0.349

Konsentrasi
Rerata
0.490
0.556
0.673
0.556
0.519
0.676
0.413
0.339

(ppm)

Konsentrasi*FP
(ppm)

198.222
220.333
259.333
220.333
207.889
260.444
172.778
148.111

29733.333
33050.000
38900.000
33050.000
31183.333
39066.667
25916.667
22216.667

23

Lampiran 6 Kromatogram (GC) konsentrasi etanol dari ampas tebu
a) konsentrasi etanol dari ampas tebu hasil fermentasi yang diberi perlakuan
NaOH+enzim pada jam ke-0

b) konsentrasi etanol dari ampas tebu hasil fermentasi yang diberi perlakuan
NaOH+enzim pada jam ke-72

24

Lampiran 6 Kromatogram (GC) konsentrasi etanol dari ampas tebu (Lanjutan)
c) konsentrasi etanol dari ampas tebu hasil fermentasi yang diberi perlakuan
NaOH tanpa enzim pada jam ke-0

d) konsentrasi etanol dari ampas tebu hasil fermentasi yang diberi perlakuan
NaOH tanpa enzim pada jam ke-72

25

26

Lampiran 6 Kromatogram (GC) konsentrasi etanol dari ampas tebu (Lanjutan)
e) konsentrasi standar etanol 78%

27

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta, 23 April 1991 dan anak ketiga dari pasangan Eddy
Suwanto dan Regita Wijayati. Pada tahun 2009, penulis lulus dari Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Bekasi dan melanjutkan studi di Departemen
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA), Institut Pertanian
Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Selama masa kuliah,
penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan menjadi asisten praktikum. Kegiatan
ekstrakurikuler yang pernah diikuti selama kuliah sebagai Bendahara Departemen
Pengembangan Kimia dan Seni, Himpunan Profesi Ikatan Mahasiswa Kimia
(IMASIKA) IPB (2011-2013). Penulis juga