Evaluation of galohgor effect on wound healing process of female rats (Rattus norvegicus) sprague dawley strain

EVALUASI PENGARUH PEMBERIAN GALOHGOR
TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TIKUS BETINA
(Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY

YARA YULISTIA PERMANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Evaluasi Pengaruh Pemberian
Galohgor terhadap Penyembuhan Luka Tikus Betina (Rattus norvegicus) Galur
Sprague Dawley adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Mei 2011

Yara Yulistia Permana
NRP I151080031

ABSTRACT

YARA YULISTIA PERMANA. Evaluation of Galohgor Effect on Wound
Healing Process of Female Rats (Rattus norvegicus) Sprague Dawley Strain.
Under direction of FAISAL ANWAR, KATRIN ROOSITA, and WIWIN
WINARSIH.
Galohgor, a kind of herbal medicine that also known as a traditional food
supplement, contains nutrient, especially beta-caroten and bioactive compound.
This herbal medicine affects the uterine involution and wound healing process
after delivery. The proliferative phase of wound healing is characterized by
angiogenesis, collagen deposition, granulation tissue formation, epithelialization,
and wound contraction. Re-epithelialization of the epidermis occurs, in
which epithelial cells proliferate and providing cover for the new tissue. The
objective of this study is to elaborate the effect of galohgor supplementation on

beta-caroten, retinol, zinc and iron level on blood, and wound healing process.
Twenty four female mice 2 months old, 200 g weight, were divided into 2 groups,
i.e. group without jamu as control and group with jamu supplementation. Each
group was divided into 2 subgroups, i.e. group were given dorsal cutaneous injury
diameter 0.5 cm and without dorsal cutaneous injury. Each of the subgroups
composed of 2 mice based on the period of termination, i.e.: 3rd, 7th and 12th day
after wounded. The blood and skin histological samples were collected on each
termination days. The data were analyzed by independent samples t-test. The
results showed that galohgor suplemented group had relatively higher serum βcarotene and lower serum retinol than control groups. Blood performance, zinc
and iron level were not different significantly between groups. According to its
limphocytes counting, re-ephitelization, angiogenesis, and colagen deposition of
immunohistology of wound skin, galohgor supplemented group was healed faster
than control group. The result showed that the herbal medicines Galohgor is
hastened wound healing process.

Keywords : herbal medicines “galohgor”, wound healing, blood performance,
histology.

RINGKASAN
YARA YULISTIA PERMANA. Evaluasi Pengaruh Pemberian Galohgor terhadap

Penyembuhan Luka Tikus Betina (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley
Dibimbing oleh FAISAL ANWAR, KATRIN ROOSITA, dan WIWIN
WINARSIH.
Galohgor adalah salah satu jenis jamu yang dikonsumsi sebagai suplemen
oleh para ibu nifas di daerah Jawa Barat, antara lain di Desa Sukajadi, Kecamatan
Tamansari, Kabupaten Bogor. Jamu diyakini dapat memperbanyak Air Susu Ibu
(ASI), memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, dan mempercepat
pemulihan rahim setelah melahirkan .
Galohgor umumnya dibuat sendiri oleh masyarakat. Salah satu ramuan
Galohgor dibuat dari 38 jenis daun, akar, atau batang, 5 jenis rempah-rempah, 6
jenis temu-temuan, dan 7 jenis biji-bijian. Jamu galohgor tersebut terbukti
memiliki kandungan zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh (Pajar 2002). Hasil
penelitian pada hewan percobaan (Roosita 2003) menunjukkan bahwa jamu
galohgor berpengaruh pada involusi uterus dan produksi susu induk tikus. Namun
demikian, mekanisme penyembuhan luka pada involusi uterus belum diketahui
dengan jelas. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
pemberian galohgor terhadap kadar beta karoten, zat besi, seng, dan proses
penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus sp.).
Proses penyembuhan luka mengakibatkan perubahan fisiologis dan
peningkatan kebutuhan zat gizi. Zat gizi yang dibutuhkan antara lain vitamin A,

Fe, Zn, protein, dan lemak. Vitamin A berperan dalam fungsi kekebalan tubuh,
memodulasi berbagai aspek dari fungsi imunitas, termasuk komponen non
spesifik imunitas dan spesifik imunitas. Vitamin A mempunyai peranan penting
dalam pemeliharaan sel epitel (Permaesih 2009). Vitamin A dalam jamu
galohgor diperoleh dari bahan penyusun jamu yang berasal daun-daunan yang
berwarna hijau dan kacang-kacangan.
Penelitian diawali dengan tahapan pembuatan jamu yang meliputi proses
perendaman bahan-bahan yang berupa kacang-kacangan dan biji-bijian dalam air
mendidih selama 4 jam, kemudian ditiriskan dan dihancurkan dengan
menggunakan quencher. Bahan-bahan yang berupa daun-daunan, rempah-rempah
dan temu-temuan dicincang menggunakan chopper. Kemudian kedua jenis bahan
tersebut dicampur sehingga berbentuk pasta. Pasta tersebut dimasukkan kedalam
drum dryer dengan berat 1 kilogram dengan suhu 80oC selama 1 jam sehingga
dihasilkan jamu dalam bentuk lempengan. Lempengan tersebut kemudian
dihancurkan dengan blender dan diayak dengan ayakan mekanis ukuran 60 mess.
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus
(Rattus sp.) betina dewasa galur Spraque-Dawley (SD) yang berumur 2 bulan
dengan berat ± 200 gram. Tikus tersebut diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka
LPPM IPB.
Rancangan percobaan ini merupakan rancangan acak kelompok dengan

faktor kelompok hari dan perlakuan pemberian jamu. Sebanyak 24 ekor tikus
dibagi secara acak ke dalam dua kelompok percobaan, yaitu kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak
diberikan jamu. Sedangkan kelompok perlakuan adalah kelompok yang diberikan

jamu. Masing-masing kelompok dibagi menjadi 2 subkelompok, yaitu kelompok
yang diberi perlukaan dan kelompok yang tidak diberi perlukaan. Sehingga ada 4
kelompok percobaan, yaitu kelompok kontrol tanpa perlukaan, kelompok kontrol
dengan perlukaan, kelompok jamu tanpa perlukaan, dan kelompok jamu dengan
perlukaan. Masing-masing subkelompok tersebut terdiri atas 6 ekor. Setiap sub
kelompok, dibagi lagi dalam tiga (3) kali pengamatan, yaitu pengamatan hari ke3, hari ke-7, dan ke-12 setelah perlukaan.
Tikus dipelihara dalam kandang dari kotak plastik dengan alas serbuk kayu
untuk menjaga suhu dan menyerap urin. Pada bagian atas kandang diberi kawat
kasa sebagai penutup sekaligus tempat pemberian pakan dan minum. Tiap
kandang terdiri dari dua (2) ekor tikus dengan tiap tikus diberi ciri berupa
penanda warna hitam pada punggung tikus. Setelah mengalami perlukaan, setiap
kandang hanya berisi 1 ekor tikus. Serbuk kayu pada kandang tikus diganti 3 hari
sekali.
Seluruh tikus diadaptasi selama 10 hari sebelum percobaan dengan diberi
pakan standar berbentuk pellet dan air minum (aquadest) secara ad libitum.

Pakan yang diberikan yaitu pakan komersil dari PT INDOFEED dengan
kandungan protein (18 %), lemak (4 %), serat (4 %), abu (11 %), dan metabolisme
energi (2000 kkal/kg pakan).
Setelah mengalami proses adaptasi, tikus
mengalami perlakuan berupa pencekokan jamu dan perlukaan.
Pencekokan jamu dilakukan satu kali sehari yaitu pada pagi hari (jam 910 pagi) dengan dosis 0,37 g/kg berat badan tikus (Roosita 2003). Selama
pemberian jamu, semua tikus percobaan tetap diberikan pakan dan minum secara
ad libitum. Perlukaan pada tikus perlakuan dilakukan pada hari ke-3 setelah
pencekokan jamu. Sebelum tikus mengalami perlukaan, rambut di sekitar daerah
sayatan dicukur hingga terlihat kulitnya, lalu disayat sepanjang 0,5 cm pada
bagian punggung secara aseptis. Selanjutnya Masing-masing kelompok dilakukan
analisis serum (untuk analisis kandungan seng, kadar feritin, kadar retinol dan
kadar beta karoten), whole blood tikus (untuk pengamatan gambaran darah yang
meliputi jumlah eritrosit, leukosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit) dan
pemeriksaan histopatologi kulit tikus yang mengalami perlukaan pada hari ke-3,
ke-7, dan ke-12 setelah perlukaan.
Berdasarkan hasil uji beda independent samples t-test dapat disimpulkan
bahwa dari kedua kelompok yang diuji, kelompok tikus yang diberi jamu dan
kontrol tidak memiliki perbedaan kadar beta karoten, kadar retinol, kadar seng dan
kadar ferritin.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
untuk rata-rata kadar hematokrit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, jumlah
leukosit antara kelompok tikus yang diberi jamu dan kontrol untuk semua
kelompok hari.
Pengamatan histopatologi untuk melihat proses penyembuhan luka tikus,
secara statistik menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan untuk
rata-rata jumlah sel neutrofil, limfosit, makrofag, persentase re-epitelisasi, dan
neokapilerisasi antara tikus yang diberi jamu dan kontrol untuk terminasi hari ke-7
dan ke-12. Akan tetapi, pada hari ke-3 (p