Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

(1)

PENGARUH HORMON TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) DAN MEDROKSIPROGESTERON ASETAT (MPA) TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA DAN SPERMATOGENESIS TIKUS

JANTAN (Rattus novergicus L.) GALUR SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Far)

Oleh :

LANDUNG HARI SUTRISNO NIM : 106102003411

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

NAMA : LANDUNG HARI SUTRISNO

NIM : 106102003411

JUDUL : PENGARUH HORMON TESTOSTERON UNDEKANOAT

(TU) DAN MEDROKSIPROGESTERON ASETAT (MPA)

TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA DAN

SPERMATOGENESIS TIKUS JANTAN (Rattus novergicus L) GALUR SPRAGUE DAWLEY

Disetujui oleh: Pembimbing I

Azrifitria, M.Si, Apt NIP. 197211272005012004

Pembimbing II

Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed NIP. 197204062003121001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Drs. M. Yanis Musdja M.Sc., Apt


(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul

PENGARUH HORMON TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) DAN MEDROKSIPROGESTERON ASETAT (MPA) TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA DAN SPERMATOGENESIS TIKUS

JANTAN (Rattus novergicus L) GALUR SPRAGUE DAWLEY Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan tim penguji oleh

Landung Hari Sutrisno NIM: 106102003411

Menyetujui, Pembimbing:

1. Pembimbing I Azrifitria, M.Si, Apt. ... 2. Pembimbing II Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed ...

Penguji:

1. Ketua Penguji Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt. ... 2. Anggota Penguji I Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt. ... 3. Anggota Penguji II Nurmeilis, M.Si, Apt. ... 4. Anggota Penguji III Eka Putri, M.Si, Apt. ...

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Prof. DR. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And Tanggal lulus : 30 September 2010


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN.

Jakarta, September 2010

Landung Hari Sutrisno 106102003411


(5)

ABSTRAK

Judul : Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan hormon kontrasepsi pria yang sedang dikembangkan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penyuntikan formulasi tunggal (TU+MPA) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi (TU/MPA) dan kosolven (TU/MPA)) yang paling efektif dalam menekan spermatogenesis hingga azoospermia. Penelitian dilakukan dengan penyuntikan formulasi tunggal (TU 2,5mg + MPA 1,25mg, TU 5mg + MPA 0,75mg, TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi TU 2,5mg/MPA 1,25mg, mikroemulsi TU 5mg/MPA 0,75mg, mikroemulsi TU 5mg/MPA 1,125mg, kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg) pada tikus jantan (Rattus novergicus L) galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 8 kelompok selama tiga bulan. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali pada minggu ke-0 dan minggu ke-8, kemudian dibedah minggu ke-12. Berdasarkan analisa data, menunjukkan bahwa berat badan kelompok formulasi tunggal dan formulasi kombinasi tidak terdapat perbedaan bermakna (p ≥ 0,05) dengan kontrol normal. Hasil analisa data konsentrasi spermatozoa, baik formulasi tunggal, formulasi kombinasi dan kontrol normal memperlihatkan perbedaan bermakna (p ≤ 0,05), dimana formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi TU 2,5mg/MPA 1,25mg) paling baik menekan konsentrasi spermatozoa hingga mencapai oligozoospermia berat (rata-rata konsentrasi spermatozoa 1 juta/ml). Hasil analisa data penilaian histologi spermatogenesis menunjukkan perbedaan bermakna (p ≤ 0,05) antara formulasi tunggal, formulasi kombinasi dan kontrol normal. Formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi TU 2,5mg/MPA 1,25mg) paling berpengaruh terhadap perkembangan spermatogenesis dimana banyak sel spermatogenik yang tidak berkembang.

Kata kunci : Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA), spermatozoa, spermatogenesis, tikus jantan galur Sprague Dawley


(6)

ABSTRACT

Title : Effect of Hormone Testosterone Undecanoate (TU) and Medroxyprogesterone Acetate (MPA) concentrations on Spermatozoa and spermatogenesis Histology Male Rats (Rattus Novergicus L) strain of Sprague Dawley

Testosterone Undekanoat (TU) and Medroxyprogesterone Acetate (MPA) is a hormonal male contraceptive is being developed. The purpose of this study is to find a single injection of formulations (TU+MPA), combination formulations (microemulsions (TU/MPA) and kosolven (TU/MPA)) are most effective in suppressing spermatogenesis to azoospermia. This research carried out by injecting a single formulation (TU 2,5mg + MPA 1,25mg, TU 5mg + MPA 0,75mg, TU 5mg + MPA 1,125mg) and combination formulations (microemulsions TU 2,5 mg/MPA 1,25 mg, microemulsion TU 5mg/MPA 0,75mg, microemulsion TU 5mg/MPA 1,125 mg, kosolven TU 2.5 mg/MPA 1.25 mg) in male rats (Rattus novergicus L) Sprague Dawley strain were divided into 8 groups for three months. Injecting done twice at week 0 and week 8, then dissected the 12th week. Based on data analysis, showed that the weight loss group single formulation and formulation combinations there were no significant differences (p ≥ 0.05) with normal controls. Results of data analysis the concentration of spermatozoa, either a single formulation, formulation combination and normal controls showed significant differences (p ≤ 0.05), where a single formulation (TU 5mg + MPA 1,125mg) and formulations combination (microemulsion TU 2,5 mg/MPA 1,25 mg) best reduce the concentration of spermatozoa to reach severe oligozoospermia (mean sperm concentration of 1 million/ml). Results Histological assessment of spermatogenesis data analysis shows significant differences (p ≤ 0.05) between single formulation, formulation and combination of normal controls. Single formulation (TU 5mg + MPA 1,125mg) and combination formulations (microemulsions TU 2,5mg/MPA 1,25 mg), the most influential on the development of spermatogenesis in which many cells that are not developing spermatogenic.

Keywords : Testosterone Undecanoate (TU) and Medroxyprogesterone Acetate (MPA), sperm, spermatogenesis, male rats Sprague Dawley strain


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena dengan segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus novergicus L.) Galur Sprague Dawley”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. DR. (hc). dr. M.K. Tadjudin Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak. Drs. M. Yanis Musdja M.Sc, Apt, selaku Ketua Program Studi Farmasi.

3. Azrifitria, M.Si, Apt, selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulisan skripsi ini.

4. Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed, selaku pembimbing II yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulisan skripsi ini.

5. Ayahanda Sutrisno S.Pd, MM., Ibunda Sumarni S.Pd dan nenek tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan baik moril maupun materil. Tiada apapun di dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta dan kasih sayang yang telah engkau berikan, kepada merekalah skripsi ini kupersembahkan. Kepada adikku Arum Haryany Sutrisno dan Pandu Aji Sutrisno yang secara tidak langsung telah banyak memberikan motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Para staf dan karyawan program studi Farmasi. Staf Administrasi Farmasi, mba Via dan seluruh laboran, Kak Eris dan Kak Nurul yang telah banyak membantu selama proses penelitian.

8. Para karyawan program studi farmasi, Mas Opik, Mas Toni yang telah banyak membantu selama penelitian.

9. Kepada sahabat sepenelitian Indira Irma Anggraeni dan Rico, terima kasih atas bantuan, motivasi dan kebersamaannya selama penelitian.

10.Rista Prihatini dan Silma Awalia yang telah menjadi pembimbing III hingga penulis dapat dengan baik menyelesaikan skripsi ini.

11.Nadia Kristina, Zuliana Mufarihah, Suny Koswara, Laili Latifah untuk kebersamaan, dukungan, motivasi, semangat serta bantuannya selama penelitian.

12.Sebelas pejuang (Amalia, Sheila, Elli, Ardian, Irma, Tiwi, Hilda, Yayah, Rico, Lisna dan penulis) atas perjuangan dan keyakinan sehingga dapat sidang dan wisuda tepat waktu.

13.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis, khususnya bagi mahasiswa farmasi, masyarakat pada umumnya dan bagi dunia ilmu pengetahuan.

Jakarta, September 2010 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesa ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Sistem Reproduksi Hewan Jantan ... 6

2.2 Testis ... 7

2.2.1 Anatomi Testis ... 7

2.2.2 Fisiologi Testis ... 7

2.3 Epididimis dan Duktus (vas) Deferens ... 9

2.3.1 Anatomi Epididimis dan Duktus (vas) Deferens ... 9

2.3.2 Fisiologi Epididimis dan Duktus (vas) Deferens ... 9

2.4 Spermatogenesis ... 11

2.4.1 Tahap-Tahap Spermatogenesis ... 11

2.4.2 Sel Spermatogenik ... 12

2.4.3 Siklus Epitel Seminiferus ... 16

2.5 Peranan Hormon Pada Spermatogenesis ... 18

2.6 Testosteron Undekanoat ... 21

2.7 Medroksiprogesteron Asetat ... 22

BAB III KERANGKA KONSEP ... 25

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 26

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26


(10)

4.2.1 Alat ... 26

4.2.2 Bahan ... 26

4.3 Prosedur Penelitian ... 27

4.4 Perlakuan Hewan Percobaan ... 28

4.4.1 Hewan Perlakuan ... 28

4.4.2 Cara dan Dosis Perlakuan ... 29

4.4.3 Pembuatan Preparasi ... 29

4.4.4 Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa ... 31

4.4.5 Pengukuran Histologi Spermatogenesis ... 33

4.5 Analisa Data ... 34

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1 Hasil Penelitian ... 35

5.1.1 Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ... 35

5.1.2 Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa ... 37

5.1.3 Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis ... 39

5.2 Pembahasan ... 41

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Anatomi sistem reproduksi tikus jantan ... 6

2. Testis dan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus ... 8

3. Tahapan pembentukan spermatogenesis ... 12

4. Tahapan perkembangan sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus ... 17

5. Mekanisme pengaturan hormon spermatogenesis ... 19

6. Rumus bangun Testosteron Undekanoat ... 21

7. Rumus bangun Medroksiprogesteron Asetat ... 23

8. Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok ... 36

9. Grafik konsentrasi spermatozoa vas deferens setelah perlakuan ... 38

10.Grafik penilaian histologi spermatogenesis ... 40

11.Nebido ... 58

12.Depo Progestin ... 58

13.Mikroemulsi ... 58

14.Kosolven ... 58

15.Larutan George ... 59

16.Tikus jantan ... 59

17.Kamar hitung hemasitometer ... 59

18.Mikroskop cahaya ... 59

19.Penimbangan tikus ... 60

20.Pengambilan Depo Progestin ... 60

21.Pengambilan Nebido ... 60

22.Pengambilan mikroemulsi ... 60

23.Penyuntikan TU dan MPA ... 60

24.Pembiusan tikus ... 60

25.Persiapan hewan yang akan dibedah ... 61

26.Pembedahan ... 61

27.Pengambilan jaringan/organ ... 61

28.Testis dan vas deferens ... 61

29.Vas deferens ... 61

30.Testis ... 61

31.Penampungan spermatozoa ... 62

32.Pengawetan testis ... 62

33.Pengambilan larutan george ... 62

34.Pengenceran spermatozoa dengan larutan george ... 62

35.Spermatozoa pada kamar hemasitometer ... 62


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rancangan Percobaan ... 27

2. Pengenceran yang Dilakukan dan Kotak yang Dihitung ... 31

3. Cara Pengenceran ... 31

4. Rumus Konsentrasi Spermatozoa ... 32

5. Nilai Histologi Spermatogenik ... 33

6. Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok ... 35

7. Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferens Setelah Perlakuan ... 37

8. Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis ... 39

9. Dosis TU dan MPA pada Manusia ... 63

10.Dosis TU dan MPA pada hewan percobaan (Tikus) ... 65

11.Berat Badan Tikus Tiap Kelompok ... 85

12.Hasil uji Normalitas Berat Badan Tikus Jantan ... 96

13.Hasil uji Homogenitas Berat Badan ... 98

14.Hasil uji Kruskall Wallis Berat Badan Tikus Jantan ... 99

15.Hasil uji LSD Berat Badan Tikus Jantan ... 100

16.Hasil uji normalitas konsentrasi spermatozoa ... 135

17.Hasil uji Homogenitas Konsentrasi Spermatozoa ... 136

18.Hasil uji Kruskall Wallis Konsentrasi Spermatozoa ... 137

19.Hasil uji LSD Konsentrasi Spermatozoa ... 137

20.Hasil uji Normalitas Histologi Spermatogenesis ... 140

21.Hasil uji Homogenitas Histologi Spermatogenesis ... 141

22.Hasil uji LSD Histologi Spermatogenesis ... 142 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Keterangan Hewan Uji ... 56

2. Sertifikat Bahan Uji Medroksiprogestin Asetat (MPA) ... 57

3. Bahan dan Alat Penelitian ... 58

4. Kegiatan Penelitian ... 60

5. Perhitungan Dosis ... 63

6. Perhitungan Penyuntikan pada Hewan Percobaan ... 67

7. Skema Kerja Pembuatan Preparasi ... 76

8. Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferens ... 78

9. Berat Badan Tikus Jantan ... 85

10.Spermatozoa pada Kamar Hitung Hemasitometer ... 87

11.Histologi Spermatogenesis ... 92

12.Uji Normalitas Terhadap Berat Badan Tikus Jantan ... 96

13.Uji Homogenitas Terhadap Berat Badan Tikus Jantan ... 98

14.Uji Kruskal Wallis dan Uji LSD Terhadap Berat Badan Tikus Jantan... 99

15.Uji Normalitas Konsentrasi Spermatozoa ... 135

16.Uji Homogenitas Konsentrasi Spermatozoa ... 136

17.Uji Kruskal Wallis dan Uji LSD Terhadap Konsentrasi Spermatozoa ... 137

18.Uji Normalitas Histologi Spermatogenesis ... 140

19.Uji Homogenitas Histologi Spermatogenesis ... 141


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alat kontrasepsi pria yang pertama kali dikembangkan adalah alat kontrasepsi yang dapat mencegah spermatozoa bertemu dengan ovum. Keadaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mekanis, yaitu dengan pemakaian kondom atau vasektomi. Kontrasepsi dengan menggunakan kondom dan teknik vasektomi ditemukan banyak kekurangannya sehingga saat ini dikembangkan metode kontrasepsi hormonal pria (Reddy, 2000). Telah dilakukan penelitian yang menjelaskan metode kontrasepsi pria dapat dilakukan dengan cara pemberian hormon, dimana proses spermatogenesis dikendalikan melalui hipotalamus-hipofisis-testis (Moeloek, 1991). Tujuan utama kontrasepsi hormonal pada pria adalah untuk menekan spermatogenesis sampai tercapai kondisi azoospermia yang bersifat sementara tanpa efek samping (Kamischke, 2000).

Kontrasepsi hormonal berfungsi untuk menekan sekresi hormon gonadotropin Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sehingga produksi dan kualitas spermatozoa dapat dikendalikan dengan tetap memelihara libido normal (Yurnadi, 2008). Proses spermatogenesis dipengaruhi pada kerja Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Luteinizing Hormone (LH) bekerja pada sel-sel interstisial atau sel Leydig, yang merangsang


(15)

pembentukan testosteron yang diperlukan untuk perkembangan normal sel dari keturunan spermatogenik. Follicle Stimulating Hormone (FSH) diketahui bekerja pada sel Sertoli yang merangsang spermatogenesis dan memudahkan sintesis dan sekresi protein pengikat androgen (Junqueira, 2007). Adapun kontrasepsi hormonal yang dapat menekan produksi spermatozoa, diantaranya analog gonadotropin releasing hormone (GnRH), hormon-hormon steroid seperti androgen, progestin, dan estrogen (Moeloek, 1991).

Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan kontrasepsi hormonal yang paling efektif dalam menginduksi spermatogenesis sehingga mencapai azoospermia. Penggunaan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) memiliki masa kerja yang panjang, sehingga mempunyai efek farmakokinetik dan farmakodinamik lebih baik dibandingkan dengan bahan lain, seperti kombinasi Testosteron Enantat (TE) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) (Gu, 2004).

Moeloek (2001) telah melakukan penelitian kontrasepsi hormonal pada pria di Jakarta dan Palembang. Dari hasil penelitian di Jakarta diperoleh pencapaian azoospermia 100% dengan pemberian 500 mg Testosteron Undekanoat (TU) + 250 mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA) selama 48 minggu dengan interval 12 minggu. Sedangkan di Palembang terjadi pencapaian 100% azoospermia setelah 24 minggu dengan interval 12 minggu (Moeleok, 2001). Sementara dari hasil penelitian Gu (2004), pemberian hormon Testosteron Undekanoat (TU) +


(16)

Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dengan interval 8 minggu dapat menekan spermatogenesis sampai azoospermia pada pria Cina. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat mempengaruhi proses spermatogenesis karena terjadi hambatan sekresi gonadotropin (Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)) sehingga menghambat spermatogenesis dan cukup berpotensi untuk dikembangkan menjadi alat kontrasepsi hormonal pada pria (Gu, 2004).

Penelitian yang telah banyak dilakukan, belum ada yang melakukan studi menggunakan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dalam formulasi kombinasi. Telah diketahui bahwa Testosteron Undekanoat (TU) 1000mg + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) 150mg dan Testostesron Undekanoat 1000mg + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) 300mg dapat menekan spermatogenesis hingga mencapai azoospermia pada pria Cina (Gu, 2004). Di Indonesia, penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) 500mg + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) 250mg menyebabkan azoospermia pada sukarelawan di Jakarta dan Palembang (Moeloek, 2001). Berdasarkan penelitian tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui formulasi kombinasi yang paling efektif menekan spermatogenesis hingga mencapai azoospermia dengan dosis yang berbeda-beda. Formulasi kombinasi ini, diharapkan dapat digunakan sebagai hormon kontrasepsi pria yang lebih baik dari sediaan formulasi tunggal karena sudah mengandung dua zat


(17)

aktif (Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA)) dan lebih praktis dalam pemberian.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui formulasi tunggal dan formulasi kombinasi yang paling efektif pengaruhnya terhadap konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh penyuntikan formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) terhadap konsentrasi spermatozoa tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley?

2. Apakah terdapat perbedaan spermatogenesis antara penyuntikan formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA)?

1.3 Hipotesa

1. Terjadi penurunan jumlah konsentrasi spermatozoa setelah penyuntikan formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA)

2. Terdapat perbedaan spermatogenesis antara formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA).


(18)

1.4 Tujuan Penelitian

1. Menguji pengaruh formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) terhadap konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley.

2. Mencari formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang paling efektif menghambat spermatogenesis dan konsentrasi spermatozoa.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Mengetahui pengaruh formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) terhadap konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley.

2. Mengetahui formulasi tunggal dan formulasi kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang paling efektif menghambat spermatogenesis dan konsentrasi spermatozoa.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Reproduksi Hewan Jantan

Sistem reproduksi hewan jantan terdiri atas testis, epididimis, duktus deferens, kelenjar aksesori (kelenjar vesikulosa, prostat dan bulbouretralis), uretra dan penis. Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim. (William, 2005).

Gambar 1. Anatomi sistem reproduksi tikus jantan (Suckow, 2006)


(20)

2.2 Testis

2.2.1 Anatomi Testis

Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dan sedikit gepeng. Testis terletak dalam skrotum dan dikelilingi oleh simpai tebal jaringan ikat kolagen, yaitu tunika albuginea. Tunika albuginea menebal pada permukaan posterior testis dan membentuk mediastinum testis, yaitu tempat penjuluran yang membagi kelenjar menjadi sekitar 250 kompartemen piramid yang disebut lobulus testis. Setiap lobulus dihuni oleh 1-4 tubulus seminiferus. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum saat testis masih berada dalam rongga abdomen. Sedangkan permukaan posterior menjadi tempat masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Skrotum memiliki peran penting dalam memelihara testis pada suhu di bawah suhu intra abdomen, yaitu sekitar 4°C-7°C (Manika, 1991).

2.2.2 Fisiologi Testis

Testis merupakan organ yang berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa dan menghasilkan hormon (testosteron). Sekitar 80%, testis terdiri dari tubulus seminiferus yang berkelak-kelok, yang di dalamnya berlangsung spermatogenesis. Tubulus yang berkelak-kelok dalam lobulus semua duktusnya kemudian meninggalkan testis dan masuk ke dalam epididimis (Heffner, 2008).

Tubulus seminiferus merupakan tempat terjadinya spermatogenesis. Tubulus seminiferus di kelilingi oleh membran basal. Di


(21)

dekat membran basal ini terdapat sel progenitor untuk produksi spermatozoa. Epitel yang mengandung spermatozoa yang sedang berkembang disepanjang tubulus disebut epitel seminiferus atau epitel germinal. Pada potongan melintang testis, spermatosit dalam tubulus berada dalam berbagai tahap pematangan. Di antara spermatosit terdapat sel Sertoli. Sel ini berperan secara metabolik dan struktural untuk menjaga spermatozoa yang sedang berkembang. Sel Sertoli memfagosit sitoplasma spermatid yang telah dikeluarkan. Sel ini juga berfungsi pada proses aromatisasi prekursor androgen menjadi estrogen, suatu produk yang menghasilkan pengaturan umpan balik lokal pada sel Leydig yang memproduksi androgen. Selain itu sel Sertoli juga menghasilkan protein pengikat androgen. Produksi androgen sendiri terjadi di dalam kantong dari sel khusus (sel Leydig) yang terdapat di daerah interstitial antara tubulus-tubulus seminiferus (Heffner, 2008).

Gambar 2. Testis dan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus (Junqueira, 2007).


(22)

2.3 Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens

2.3.1 Anatomi Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens

Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk koma yang menahan batas posterolateral testis. Epididimis dibentuk oleh saluran berkelok-kelok secara tidak teratur yang disebut duktus epididimis. Duktus epididimis diperkirakan mempunyai tiga regio : kaput (kepala), korpus (badan), dan kauda (ekor). Permukaan sel epitel duktus ini ditutupi oleh mikrovili panjang yang bercabang dan tidak teratur yang biasa disebut stereosilia. Epitel duktus epididimis turut serta dalam pengambilan dan pencernaan badan-badan residu yang dikeluarkan selama proses spermatogenesis berlangsung. Duktus-duktus epididimis dari setiap testis menyatu untuk membentuk sebuah saluran berdinding tebal dan berotot yang disebut duktus (vas) deferens. Dari setiap testis duktus deferens berjalan keluar dari kantong skrotum dan kembali ke dalam rongga abdomen dan berakhir di ureter di bagian leher kandung kemih. Dinding duktus deferens tebal dan berotot dengan lubang kecil sehingga terasa padat dan dapat diraba (lewat kulit) di bagian leher skrotum dan dapat diikat atau dipotong pada saat vasektomi (Fawcett, 2002).

2.3.2 Fisiologi Epididimis dan Duktus (Vas) Deferens

Epididimis merupakan daerah penumpukan dan penyimpanan spermatozoa setelah meninggalkan testis. Secara umum epididimis memiliki fungsi utama, yaitu transportasi, pemekatan (konsentrasi), pematangan dan penyimpanan spermatozoa. Duktus-duktus epididimis melaksanakan beberapa fungsi penting tersebut. Sewaktu meninggalkan


(23)

testis, spermatozoa belum mampu bergerak atau membuahi (belum matang secara fisiologis). Spermatozoa memperoleh kedua kemampuan tersebut selama perjalanannya melintasi epididimis. Proses pematangan ini dirangsang oleh testosteron yang tertahan di dalam cairan tubulus oleh protein pengikat androgen. Kapasitas spermatozoa untuk membuahi semakin ditingkatkan ketika disekresikan ke dalam saluran reproduksi wanita, yang disebut kapasitasi (Sherwood, 2001).

Epididimis juga memekatkan spermatozoa beberapa ratus kali lipat dengan menyerap sebagian besar cairan yang masuk dari tubulus seminiferus. Spermatozoa yang telah matang secara perlahan bergerak melintasi epididimis ke dalam duktus deferens akibat kontraksi ritmik otot polos di dinding saluran-saluran tersebut. Duktus (vas) deferens berfungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa yang penting. Hal ini disebabkan karena spermatozoa yang terkemas rapat relatif inaktif dan kebutuhan metabolit mereka juga rendah. Spermatozoa dapat disimpan dalam duktus deferens selama beberapa hari walaupun tidak mendapat pasokan nutrisi dari darah dan hanya mendapat makanan dari gula-gula sederhana yang terdapat disekresi tubulus (Sherwood, 2001).


(24)

2.4 Spermatogenesis

2.4.1 Tahap-Tahap Spermatogenesis

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Proses ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Pada saat terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel-sel yang baru dibentuk dapat mengikuti satu dari dua jalur. Sel-sel ini dapat terus membelah sebagai sel induk, yang disebut spermatogonium tipe A, atau dapat berdeferensiasi selama siklus mitosis yang progresif menjadi spermatogonium B. Spermatogonium B merupakan sel progenitor yang akan berdeferensiasi menjadi spermatosit primer. Segera setelah terbentuk, sel-sel ini memasuki tahap profase dari pembelahan meiosis pertama. Spermatosit primer merupakan sel terbesar dalam garis keturunan spermatogenik ini dan ditandai dengan adanya kromosom dalam berbagai tahap proses penggelungan di dalam intinya (Fawcett, 2002).

Dari pembelahan meiosis pertama ini timbul sel berukuran lebih kecil yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek dan berada dalam tahap interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan meiosis kedua. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid. Karena tidak ada fase-S (sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua pada spermatosit, jumlah DNA per sel berkurang setengah selama pembelahan kedua ini, yang menghasilkan sel haploid (n). Oleh karena itu, proses meiosis


(25)

menghasilkan sel dengan jumlah kromosom haploid. Dengan adanya pembuahan, sel memperoleh kembali jumlah diploid yang normal (Junqueira, 2007).

Gambar 3. Tahapan pembentukan spermatogenesis (Junqueira, 2007).

2.4.2 Sel Spermatogenik

Perkembangan sel spermatogenik merupakan suatu kejadian yang sangat kompleks dari berbagai tipe sel spermatogenik yang disebut spermatogenesis. Sebagian besar sel-sel yang menyusun epitel seminiferus adalah sel spermatogenik dengan berbagai tahap perkembangan tertentu (Naz, 2006). Telah dijelaskan pada tahap-tahap perkembangan spermatogenenesis, bahwa perkembangan spermatogonium menjadi spermatozoa memerlukan beberapa perkembangan tertentu.


(26)

Proses perkembangan tersebut dibagi menjadi tiga tahap:

a. Spermatositogenesis: Diferensiasi spermatogonia menjadi spermatosit primer.

b. Meiosis: perkembangan sel, dimana spermatosit primer memiliki kromosom diploid membentuk spermatid haploid.

c. Spermiogenesis: Transformasi spermatid menjadi spermatozoa (sperma).

Diferensiasi Spermatogonia

Spermatogonia yang terletak di lapisan paling luar tubulus secara terus menerus membelah dengan cara mitosis dimana sel baru yang terbentuk identik dengan sel induk. Peristiwa ini disebut proliferasi mitotik. Proliferasi ini menghasilkan pasokan kontinyu sel-sel germinativum baru.

Menurut gambaran inti selnya, pada manusia dikenal tiga jenis spermatogonia :

a. Spermatogonia gelap tipe A, dengan inti sel lonjong berwarna gelap. Sel-sel tersebut membelah diri secara berkala untuk mempertahankan jumlah spermatogonia dan juga untuk membentuk spermatogonia pucat tipe A yang memiliki inti lonjong pucat.

b. Spermatogonia pucat tipe A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi spermatogia B (menjadi spermatogonia pucat tipe A yang lain).

c. Spermatogonia tipe B mempunyai inti bulat yang mengandung kromatin padat dengan membran inti. Bila spermatogonia tipe B


(27)

membelah diri dengan cara mitosis, sel tersebut menghasilkan sel-sel anak yang sel-seluruhnya berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Leeson, 1996).

Setelah pembelahan mitosis spermatogonia, salah satu sel anak tetap berada diluar tubulus sebagai spermatogonium yang tidak berdiferensiasi untuk mempertahankan lapisan sel germinativum. Sementara itu, sel-sel anak lainnya berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer masuk ke fase istirahat selama kromosom mengalami duplikasi dan untai-untai ganda tetap bersatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis pertama (Sherwood, 2001).

Pembelahan Meiosis Spermatosit

Pembelahan meiosis pertama dari spermatosit primer, diikuti dengan pembelahan meiosis kedua spermatosit sekunder, dimana jumlah kromosom berkurang dan DNA spermatid menjadi haploid (n).

Profase I pada pembelahan meiosis pertama melibatkan empat tahap:

1. Leptoten 2. Zigoten 3. Pakiten 4. Diakinase

Kromosom dari spermatosit primer mulai migrasi, membentuk benang panjang selama leptoten dan pasangan homolog selama zigoten. Selanjutnya hasil migrasi singkat kromosom terjadi selama pakiten. Pertukaran kromosom homolog terjadi selama diakinase.


(28)

Metafase I, pasangan kromosom homolog berbaris di garis khatulistiwa. Setiap pasangan kromosom berpisah dan bermigrasi ke kutub yang berlawanan dari sel pada anafase I, dan sel-sel terpisah membentuk dua spermatosit sekunder selama telofase I spermatosit sekunder adalah sel yang relatif kecil, dan karena mereka berumur pendek, mereka tidak mudah terlihat di epitel seminiferus. Selama mitosis spermatogonia dan meiosis dari spermatosit, pembelahan melibatkan dua komponen : pembelahan nukleus dan pembelahan sitoplasma (sitokinesis) (Gartner, 2007).

Spermiogenesis

Spermiogenesis merupakan tahap akhir produksi spermatozoa. Spermiogenesis adalah proses transformasi spermatid menjadi spermatozoa, yaitu sel yang sangat dikhususkan untuk menyampaikan DNA jantan kepada ovum. Tidak terjadi pembelahan sel selama proses ini berlangsung (Junqueira, 2007).

Spermatid dapat dikenali dari ukurannya yang kecil dan intinya dengan daerah kromatin padat. Letak spermatid di dalam tubulus seminiferus adalah di dekat lumen. Spermiogenesis adalah suatu proses perkembangan rumit yang mencakup pembentukan akrosom, pemadatan dan pemanjangan inti, pembentukan flagelum, dan hilangnya sebagian besar sitoplasma. Hasil akhirnya adalah spermatozoa matang yang kemudian dilepaskan ke dalam lumen tubulus seminiferus (Gartner, 2007).


(29)

Spermiogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase : a. Fase golgi

Sitoplasma spermatid mengandung kompleks Golgi di dekat inti, mitokondria, sepasang sentriol, ribosom bebas, dan tubulus retikulum endosplasma halus. Granula proakrosom berkumpul di kompleks Golgi dan kemudian menyatu membentuk satu granula akrosom yang terdapat dalam vesikel akrosom.

b. Fase akrosom

Vesikel dan granula akrosom menyebar untuk menutupi belahan anterior inti yang memadat yang dikenal akrosom. Akrosom mengandung beberapa enzim hidrolitik, seperti hialuronidase, asam fosfatase, neuraminidase, dan protease. Jadi, akrosom berfungsi sebagai lisosom.

c. Fase pematangan

Sitoplasma residu dibuang dan difagositosis oleh sel Sertoli dan spermatozoa dilepaskan ke dalam lumen tubulus (Junqueira, 2007). 2.4.3 Siklus Epitel Seminiferus

Satu siklus seminiferus merupakan satu tingkat perkembangan sel tertentu dari epitel tubulus seminiferus dimana, terjadi perkembangan dari satu sel menjadi satu tingkat sel yang lebih dewasa pada siklus yang sama. Epitel seminiferus testis terdiri dari sel Sertoli dan sel spermatogenik. Perkembangan epitel seminiferus bergantung pada perbedaan waktu proliferasi dan diferensiasi sel induk spermatogonia. Pada tikus, waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus epitel seminiferus adalah 12,9 hari (13


(30)

hari). Sedangkan satu siklus spermatogenesis (spermatogonia menjadi spermatozoa) adalah 51,6 hari (sekitar 8 minggu). Sehingga dapat dikatakan bahwa satu siklus spermatogenesis memerlukan 4 siklus epitel seminiferus. Pada potongan melintang tubulus seminiferus testis tikus tipe asosiasi sel dibagi dalam 14 tahapan. Setiap asosiasi sel, terdiri dari sekumpulan sel spermatogenik yang selalu tersusun teratur dari spermatogonia, spermatosit dan spermatid yang terdapat pada berbagai tingkat perkembangan (Franca, 1998).

Tahapan spermatogenesis tersusun dari susunan antara spermatogonia A, spermatogonia intermedia, spermatogonia B, spermatosit primer dalam berbagai tahap profase (leptoten, zigoten, pakiten, diploten dan diakinase) dan spermatid dengan 19 langkah spermatogenesis (Franca, 1998).

Gambar 4. Tahapan perkembangan sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Dunkel, 1997)


(31)

Pada manusia, satu siklus epitel seminiferus membutuhkan waktu 16 hari dan waktu yang diperlukan untuk satu siklus spermatogenesis 64 hari (sekitar 8 minggu). Sedangkan satu siklus spermatogenesis memerlukan 4-5 siklus epitel seminiferus dimana tipe asosiasi sel dibagi dalam 6 tahapan (Weinbauer, 1999). Pentingnya mengidentifikasi tahapan spermatogenesis berkaitan dengan sifat siklus dan proses biokimia yang terjadi selama pematangan epitel spermatogenik (Heninger, 2004).

2.5 Peranan Hormon Pada Spermatogenesis

Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh organ hipotalamus, hipofisis dan testis sendiri. Pengaturan pembentukan spermatogenesis dimulai dengan sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin, yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH). Selanjutnya, Luteinizing Hormone (LH) merupakan rangsangan utama untuk sekresi testosteron pada sel Leydig yang diperlukan untuk perkembangan normal sel spermatogenik, sedangkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) untuk merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi protein pengikat androgen oleh sel Sertoli, yang merupakan komponen tubulus testis yang berguna menyokong pematangan sel spermatozoa dalam proses spermatogenesis (Sherwood, 2001).


(32)

Gambar 5. Mekanisme pengaturan hormon spermatogenesis (Dee, 2004)

Maka, dapat disimpulkan bahwa hormon memiliki peranan yang penting terhadap terbentuknya spermatogenesis. Adapun hormon yang terlibat diantaranya testosteron, Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), estrogen, dan hormon pertumbuhan lainnya (Naz, 2006).

A. Testosteron

Testosteron merupakan salah satu bentuk hormon kelamin pria, androgen. Androgen berasal dari testis dan sebagian diproduksi oleh kelenjar adrenal. Androgen sendiri terdiri dari beberapa hormon, yaitu testosteron, hidrotestosteron dan androstenedion. Namun demikian, jumlah testosteron lebih banyak dibandingkan dengan hormon yang lain. Hormon ini memegang peranan penting pada satu tahap penting proses pembelahan sel-sel germinal untuk pembentukan spermatozoa, terutama pembelahan meiosis untuk membentuk spermatosit sekunder. Hormon ini mengontrol


(33)

perkembangan organ reproduksi pria dan tanda seks sekunder pada pria berupa pembesaran laring, perubahan suara, pertumbuhan rambut ketiak, pubis, dada, kumis dan jenggot serta untuk pertumbuhan otot dan tulang (Ascobat, 2008).

B. Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) Luteinizing Hormone (LH) disekresikan oleh sel karminofil dari kelenjar hipofisis bagian anterior. Berperan dalam stimulasi sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron, juga berperan dihasilkannya estradiol. Follicle Stimulating Hormone (FSH) merangsang pertumbuhan testis dan mempertinggi produksi protein pengikat androgen (ABP) oleh sel Sertoli. Peningkatan ABP ini menyebabkan tingginya konsentrasi testosteron yang penting bagi pembentukan dan pematangan spermatozoa pada proses spermatogenesis. Dengan demikian Follicle Stimulating Hormone (FSH) bekerja menyiapkan kadar androgen yang cukup untuk sel germinal dan memacu pendewasaan spermatozoa di dalam epididimis (Junqueira, 2007). C. Estrogen

Dibentuk oleh sel-sel Sertoli ketika sedang distimulasi oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Hormon ini kemungkinan diperlukan pada proses spermiasi. Sel-sel Sertoli juga mengsekresikan suatu protein pengikat androgen yang mengikat baik testosteron dan estrogen maupun keduanya ke dalam cairan tubulus seminiferus, yang diperlukan untuk maturasi spermatozoa (Suherman, 2008).


(34)

D. Hormon pertumbuhan lainnya

Seperti juga pada sebagian besar hormon lainnya diperlukan untuk mengatur latarbelakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogenesis (Sherwood, 2001).

2. 6 Testosteron Undekanoat

Testosteron Undekanoat (TU) (hydroxy-4androsten-3-one 17-undecanoate) merupakan testosteron ester golongan asam lemak alifatik yang mempunyai rantai samping panjang, sehingga lebih bersifat lipofilik. Esterifikasi testosteron menghasilkan molekul yang kurang polar dan dapat larut dalam minyak dan jaringan lemak. Testosteron Undekanoat (TU) merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisis esternya. Testosteron Undekanoat (TU) mempunyai waktu paruh yang panjang yakni 6-10 minggu. Hal ini disebabkan karena rantai samping alifatik yang panjang, semakin panjang rantai karbon maka waktu paruhnya akan memanjang pula (Woferst, 2007).


(35)

Testosteron Undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk injeksi (liquid). Sediaan tersebut diberikan dengan cara injeksi secara intramuskular. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisis Testosteron Undekanoat (TU) tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk kompleks homon-reseptor. Kompleks hormon-reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan DNA. Tujuan utama pemberian Testosteron Undekanoat (TU) adalah mempertahankan tingginya kadar testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kotrasepsi pria (Ilyas, 2008).

2.7 Medroksiprogesteron Asetat

Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan esterifikasi progesteron pada rantai C-17 grup hidroksil sehingga menghasilkan rantai alkil. Semakin panjang rantai alkil ini semakin lama pula efek kerjanya di dalam tubuh, karena waktu biotransformasinya menjadi lebih lama (Henzl, (1991) dalam disertasi Ilyas (2007)). Berbentuk serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau dan stabil dalam air. Medroksiprogesteron Asetat (MPA) memiliki titik cair antara 200°C-210°C dan mudah larut dalam kloroform, aseton dan di-oksan, dapat larut dalam etanol dan metanol, sukar larut dalam eter, serta tidak larut dalam air (Moeloek, 1991).


(36)

Gambar 7. Rumus bangun Medroksiprogesteron Asetat (Andajaningsih, 1995).

Medroksiprogesteron Asetat (MPA) adalah suatu progesteron sintetik yang memiliki efek kerja panjang (long acting) di dalam tubuh bila diberikan secara intramuskular. Penggunaan progesteron pada pria didasari oleh prinsip kerja yang sama pada wanita, yaitu menekan sekresi gonadotropin hipofisis yang menghambat produksi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) melalui umpan balik negatif dan selanjutnya akan menekan spermatogenesis sehingga dapat digunakan sebagai kontarsepsi pria. Pada pria progesteron dihasilkan oleh testis dan kelenjar adrenal testis sebagai hasil antara biosintesis androgen testis dan kortiko steroid meskipun dalam jumlah relatif sedikit (Moeloek, 1991).

Pemberian progestin pada laki-laki normal akan menekan fungsi testis secara efektif, menurunkan jumlah sperma dan menekan libido serta potensi seks. Dari berbagai penelitian diketahui dosis efektif Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang dapat menurunkan konsentrasi dan viabilitas spermatozoa, serta kadar hormon testosteron pada tikus galur


(37)

Sprague-Dawley adalah dosis 1,25 mg. Sedangkan untuk menekan produksi hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) pada pria dan wanita adalah dosis 150 mg dan dosis ini dapat bertahan di dalam tubuh selama tiga bulan ( Yurnadi, 2008). Pemberian kombinasi 500 mg Testosteron Undekanoat (TU) dengan 250 mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menekan spermatogenesis sampai azoospermia (Gu, 2004).

Penggunaan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menekan spermatogenesis tetapi juga menekan sekresi testosteron. Hal ini menyebabkan penurunan libido, sehingga perlu dikombinasikan dengan Testosteron Undekanoat (TU). Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan kontrasepsi paling efektif dan waktu yang dibutuhkan untuk menghambat sekresi gonadotropin (Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)) dapat lebih lama (Kusmana, 2001).


(38)

BAB III

KERANGKA KONSEP

Pembuatan preparasi

Penyuntikan minggu ke 8 Penyuntikan minggu ke 0

Penimbangan

Pengamatan histologi spermatogenesis

Pengukuran konsentrasi spermatozoa

Pembedahan minggu ke 12

Penimbangan

Penimbangan

Testis Vas deferens

Analisa data Aklimatisasi 1 minggu Tikus jantan (Rattus novergicus L) galur Sprague Dawley


(39)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Biologi Universitas Indonesia. Penelitian berlangsung selama 5 bulan, terhitung dari bulan Mei 2010 sampai dengan September 2010.

4.2 Alat dan Bahan 4.2.1 Alat

Gelas piala, cawan arloji, kaca objek dan penutupnya, tabung reaksi, wadah pembiusan, timbangan analitik (Precisa XT 220A), Hemositometer Improved Neubeur, mikroskop cahaya (motic), alat bedah, botol minuman, kandang, alat bedah 1 set, mikropipet, Spuit Therumo Syringe 1 ml, kapas, sarung tangan, masker.

4.2.2 Bahan

Tikus jantan (Rattus novergicus L) galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 200-250 gram, makanan dan minuman tikus, NaCl fisiologis, Medroksiprogesteron Asetat (MPA), Testosteron Undekanoat (TU), Nebido, Depo progestin, Eter, Alkohol, larutan Hematoksilin, larutan Bouin (asam pikrat, formaldehid 4%, asam asetat), larutan xilol, larutan Eosin, larutan George, Alkohol, Parafin, larutan Paraformaldehid 4%, Aquabidestilat.


(40)

4.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental yang terdiri atas 8 kelompok perlakuan dengan masing-masing terdiri dari 3 ekor tikus jantan (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley.

Hal ini memenuhi rumus Federer, yaitu : (n-1) (t-1) ≥ 15 keterangan :

(n-1) (8-1) ≥ 15 n : jumlah hewan percobaan tiap kelompok (n-1) 7 ≥ 15 t : jumlah kelompok

7n-7 ≥ 15 7n ≥ 22 n ≥ 3,1 ~ 3

Tabel 1. Rancangan Percobaan

No Kelompok Dosis (mg) Waktu

penyuntikan(minggu)

Pengukuran spermatozoa dan testis

TU MPA

1. K1 FT

(N + DP)

2,5 1,25 0 8 minggu 12

2 K2 FT

(N + DP)

5 0,75 0 8 minggu 12

3 K3 FT

(N + DP)

5 1,125 0 8 minggu 12

4 K4 FK

ME

2,5 1,25 0 8 minggu 12

5 K5 FK

ME


(41)

6 K6 FK ME

5 1,125 0 8 minggu 12

7 K7 FK

Kos

2,5 1,25 0 8 minggu 12

8 Kontrol

normal

minggu 12

Ket : K = Kelompok

FT = formulasi tunggal FK = formulasi kombinasi

N = Nebido (Testosteron Undekanoat (TU))

DP = Depo progestin (Medroksiprogesteon Asetat (MPA)) ME = Mikro Emulsi ( TU/MPA)

Kos = Kosolven (TU/MPA)

4.4 Perlakuan Hewan Percobaan 4.4.1 Hewan Perlakuan

Sebelum percobaan, tikus diaklimatisasi selama 1 minggu dengan pemberian makanan dan minuman secukupnya. Penimbangan dilakukan sebelum dan sesudah penyuntikan untuk mengetahui pertambahan berat badan masing-masing kelompok. Kemudian, setiap ekor tikus diberi tanda pengenal agar tidak salah dalam perlakuan, selanjutnya dilakukan penyuntikan sesuai dengan rancangan percobaan.


(42)

4.4.2 Cara dan Dosis Perlakuan

Tikus disuntik dengan formulasi tunggal (TU + MPA) dan formulasi kombinasi (TU/MPA) sesuai dengan dosis rancangan percobaan. Penyuntikan dilakukan sebanyak 2 kali pada minggu 0 dan minggu ke-8 secara IM (intra muskular) pada bagian paha kanan dan pada paha kiri. Penyuntikan dilakukan sebanyak 2 kali agar kombinasi TU + MPA efektif dalam menghambat sekresi hormon gonadotropin (LH dan FSH) (Yurnadi, 2008). Tikus yang telah mendapat perlakuan kemudian dipelihara dan dirawat sampai minggu ke-12 untuk dipreparasi.

4.4.3 Pembuatan Preparasi

Setelah minggu ke-12, tikus dibius dengan eter, kemudian dibedah. Diambil bagian testis dan duktus (vas) deferens, lalu dibuat preparasi. Jaringan testis yang telah diambil, difiksasi dalam larutan Bouin dan dibiarkan selama kurang lebih 24 jam. Kemudian dilakukan pencucian, yaitu mencuci organ dengan alkohol 70% yang dilakukan berulang-ulang selama kurang lebih 30 menit. Hal ini bertujuan agar warna kuning (larutan Bouin) berkurang atau tampak jernih. Jaringan didehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat dari alkohol 70%, 80%, 96% dan alkohol absolut selama kurang lebih 1 jam untuk menarik molekul air yang keluar dari jaringan. Selanjutnya jaringan dijernihkan dengan larutan benzil benzoat selama 24 jam, lalu dalam benzol sebanyak 2 kali 15 menit sampai jaringan tampak jernih atau transparan (Ilyas, 2007).

Setelah itu, dilakukan infiltrasi dengan parafin dalam beberapa tahap, yaitu jaringan direndam dalam parafin I selama 30 menit, parafin II


(43)

selama 60 menit, dan parafin III selama 90 menit. Infiltrasi dilakukan dalam oven dengan suhu 56°C-58°C. Perlakuan berikutnya adalah penanaman jaringan yang telah diinfiltrasi dalam parafin cair lalu diletakkan dalam kotak kertas sesuai dengan ukuran masing-masing jaringan yang akan ditanam. Kotak kertas yang telah berisi jaringan dimasukkan dalam lemari es dan dibiarkan membeku (Kusmana, 2001).

Selanjutnya, pemotongan jaringan setebal 3-6µm dengan menggunakan pisau mikrotom putar dan hasil irisan ditempelkan pada kaca objek. Preparat pada kaca objek dipanaskan sampai jaringan mengembang dengan sempurna. Sebelum jaringan diwarnai, sediaan direndam dalam xilol selama 5 menit sebanyak 2 kali. Hal tersebut bertujuan agar sisa parafin yang masih merekat pada jaringan dapat dihilangkan. Xilol dihilangkan dengan merendam jaringan pada larutan alkohol bertingkat dari konsentrasi tinggi turun secara bertahap (100%, 90%, 80%, dan 70%) masing-masing selama 3 menit. Untuk pewarnaan dilakukan dengan hematoksilin dan eosin (HE). Jaringan yang telah diwarnai dijernihkan dengan xilol selama 5 menit agar jaringan tampak lebih cerah. Pada tahap akhir, jaringan testis pada kaca objek diberi entelan dan ditutup dengan kaca penutup sehingga dapat dilakukan pengamatan (Woferst, 2007).

Parameter pengamatan mikroskopik pada tubulus seminiferus testis meliputi tahap-tahap spermatogenesis. Sedangkan pada duktus (vas) deferens pengamatan dilakukan terhadap konsentrasi spermatozoa yang dinyatakan dalam juta/mL (Kusmana, 2001).


(44)

4.4.4 Pengukuran Konsentrasi Spermatozoa

Pengukuran konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara mengambil spermatozoa pada duktus (vas) deferens. Spermatozoa yang didapat diletakkan pada kaca arloji yang berisi cairan NaCl sebanyak 250 µ L. Spermatozoa dimasukkan kedalam bilik hitung Neubauer (Hemasitometer) sampai kamar Neubauer terisi rata. Kemudian dihitung jumlah spermatozoa pada salah satu kamar. Setelah diketahui jumlah spermatozoa, maka dapat dilakukan pengukuran untuk menentukan konsentrasi spermatozoa (yang dinyatakan dalam juta/mL) sesuai dengan tabel dibawah ini (Ilyas, 2007).

 Bila dari 1 kotak didapat :

Tabel 2. Pengenceran yang Dilakukan dan Kotak yang Dihitung No Jumlah Spermatozoa Pengenceran Kotak yang Dihitung

1 > 40 50 kali 5 kotak

2 15-40 20 kali 10 kotak

3 <15 10 kali 25 kotak

 Dari jumlah spermatozoa yang diketahui, maka dilakukan pengenceran spermatozoa berdasarkan jumlah spermatozoa yang terhitung (Ilyas, 2007).

Tabel 3. Cara Pengenceran

No Pengenceran Pembuatan Pengenceran

1 50 kali a. 980 µ L larutan George + 20 µ L spermatozoa b. 2450 µ L lar. George + 50 µ L spermatozoa


(45)

2 20 kali 950 µ L lar. George + 50 µ L spermatozoa 3 10 kali a. 900 µ L lar. George + 100 µ L spermatozoa

b. 450 µ L lar. George + 50 µ L spermatozoa

 Setelah dilakukan pengenceran, dilakukan perhitungan spermatozoa dengan jumlah kotak yang dihitung sesuai dengan jumlah spermatozoa dan cara pengenceran pada tabel diatas. Kemudian dilakukan pengukuran spermatozoa sesuai rumus di bawah ini (Ilyas, 2007).

Tabel 4. Rumus Konsentrasi Spermatozoa No Kotak Rumus konsentrasi spermatozoa

1 5 n x 10.000 x faktor pengenceran (50) x 5 2 10 n x 10.000 x faktor pengenceran (20) x 2,5 3 25 n x 10.000 x faktor pengenceran (10)

Ket : n = jumlah spermatozoa setelah pengenceran

Dari perhitungan jumlah spermatozoa, dapat dihitung pula frekuensi timbulnya azoospermia. Azoospermia adalah suatu keadaan dimana tidak ada spermatozoa dalam cairan semen. Sedangkan oligozoospermia adalah suatu keadaan dimana terdapat sedikit spermatozoa dalam cairan semen (spermatozoa ≤ 20 juta/mL) (WHO, 1999). Penetapan timbulnya azoospermia dilakukan dengan cara membagi banyaknya individu yang mengalami azoospermia (Az) dengan banyaknya individu dalam satu kelompok (n) dikalikan 100% (Kusmana, 2001).


(46)

4.4.5 Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis

Pengukuran dilakukan untuk mengetahui spermatogenesis dalam tubulus seminiferus. Metode yang dapat digunakan untuk menilai spermatogenesis adalah dengan menggunakan tabel Johnsen (1970). Penilaian dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai tiap tubulus dalam sediaan kemudian dibagi dengan jumlah tubulus yang dinilai. Angka rata-rata yang didapat merupakan nilai akhir untuk sediaan tersebut. Cara ini mempunyai keuntungan cepat untuk dilakukan, dapat dibandingkan dengan antara perlakuan yang satu dan yang lain serta memberi gambaran tentang spermatozoa (Kusmana, 2001).

Tabel 5. Nilai Histologi Spermatogenik

Nilai Kriteria Histologi

10 Spermatogenesis lengkap dan teratur dengan spermatozoa banyak dan epitel seminiferus normal. Lumen tubulus terbuka 9 Spermatozoa banyak, tetapi epitel seminiferus tidak teratur,

tampak bagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing). Lumen tubulus tertutup

8 Jumlah spermatozoa dalam tubulus kurang dari sepuluh 7 Tidak tampak spermatozoa dalam tubulus, tetapi masih banyak

spermatid

6 Tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus kurang dari sepuluh


(47)

5 Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus, tetapi masih banyak spermatosit

4 Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus dan jumlah spermatosit kurang dari lima

3 Sel kelamin dalam tubulus hanya terdiri atas spermatogonia 2 Dalam tubulus tidak ada sel kelamin, hanya sel Sertoli 1 Dalam tubulus tidak ada sel

4.5 Analisa Data

Data hasil penelitian dianalisa untuk melihat adanya perbedaan berat badan, konsentrasi spermatozoa dan spermatogenesis dari masing-masing kelompok perlakuan. Data-data yang diperoleh dianalisa menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 17 yang meliputi uji homogenitas, uji kenormalan, uji parametrik (Anova) atau non parametrik (Kruskall Wallis).

Hipotesis :

Ho: tidak ada perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok Ha : terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok Kriteria pengujian :

Bila nilai sig ≤ 0,05 Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan.

Bila nilai sig ≥ 0,05 Ho diterima, berarti tidak terdapat perbedaan (Nasikin, 2007).


(48)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus

Hasil pengukuran berat badan tikus baik pada kelompok formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi serta kelompok yang tidak mendapat perlakuan menunjukkan peningkatan berat badan.

Tabel 6. Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok

No Tanggal Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok (Gram)

I II III IV V VI VII VIII

1 28 April 10 263,33 253,33 253,33 246,66 260,00 253,33 253,33 246,66 2 7 Mei 10 270,00 260,00 270,00 251,66 280,00 253,33 266,66 251,66 3 12 Mei 10 306,66 296,66 308,66 275,00 298,66 286,66 298,00 278,33 4 17 Mei 10 311,00 305,33 317,00 280,66 306,66 301,00 307,33 284,00 5 22 Mei 10 317,00 313,66 324,66 285,66 314,66 308,00 316,66 288,66 6 27 Mei 10 333,33 321,00 330,00 291,66 304,00 317,33 322,66 303,00 7 1 Juni 10 343,00 327,33 339,33 299,00 314,33 324,00 328,66 309,33 8 6 Juni 10 354,66 338,00 347,33 312,33 325,66 335,00 336,33 315,66 9 11 Juni 10 368,00 345,33 361,66 319,00 335,00 344,00 348,66 320,66 10 16 Juni 10 370,00 344,00 364,66 321,00 344,00 349,66 355,00 324,66 11 21 Juni 10 379,00 348,00 371,66 331,00 348,66 356,00 359,66 328,00 12 26 Juni 10 385,66 356,33 381,66 344,33 359,00 351,33 372,00 333,00


(49)

13 1 Juli 10 394,33 368,66 394,66 355,00 377,33 381,66 392,33 355,33 14 2 Juli 10 398,33 379,00 399,00 368,33 372,00 393,33 389,00 368,66 15 7 Juli 10 394,33 373,66 397,33 354,66 375,66 387,66 379,00 365,33 16 12 Juli 10 397,33 384,66 389,33 352,00 348,00 370,33 358,00 365,66 17 17 Juli 10 396,00 381,66 398,33 351,33 346,00 369,66 379,33 373,33 18 22 Juli 10 402,33 388,66 406,33 359,66 352,66 395,66 393,00 384,33 19 27 Juli 10 408,33 396,33 412,66 366,00 363,66 406,33 408,33 390,00 20 30 Juli 10 446,66 399,66 413,66 369,66 370,33 407,00 410,66 396,33


(50)

5.1.2 Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa

Hasil perhitungan/pengukuran konsentrasi spermatozoa dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7. Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferens Setelah Perlakuan No Kelompok Hewan

Percobaan Jumlah spermatozoa dalam 10 kotak (ekor) Konsentrasi Spermatozoa (Juta/mL) Rata-rata Konsentrasi Tiap Tikus (Juta/ml) Rata-rata Konsentrasi Tiap Kelompok (Juta/ml) Kanan kiri Kanan Kiri

1 I (TU 2,5 mg + MPA 1,25

mg)

Tikus 1 19 19 9,5 9,5 9,5

9,9

Tikus 2 21 23 10,5 11,5 11

Tikus 3 18 19 9 9,5 9,25

2 II (TU 5 mg + MPA 0,75

mg)

Tikus 1 10 12 5 6 5,5

5,6

Tikus 2 12 14 6 7 6,5

Tikus 3 10 10 5 5 5

3 III (TU 5 mg + MPA 1,125

mg)

Tikus 1 2 2 1 1 1

1

Tikus 2 2 3 1 1,5 1,25

Tikus 3 1 2 0,5 1 0,75

4 IV( ME TU 2,5 mg / MPA

1,25 mg)

Tikus 1 2 2 1 1 1

1

Tikus 2 1 2 0,5 1 0,75

Tikus 3 2 3 1 1,5 1,25


(51)

mg / MPA

0,75 mg)

Tikus 2 19 19 9,5 9,5 9,5 9,1

Tikus 3 20 21 10 10,5 10,25

6 VI ( ME TU 5 mg / MPA

1,125 mg)

Tikus 1 9 11 4,5 5,5 5

4,6

Tikus 2 6 10 3 5 4

Tikus 3 10 10 5 5 5

7 VII ( Kos TU 2,5 mg /

MPA 1,25

mg)

Tikus 1 16 17 8 8,5 8,25

9,3

Tikus 2 19 22 9,5 11 10,25

Tikus 3 18 20 9 10 9,5

8 VIII (kontrol normal)

Tikus 1 70 80 35 40 37,5

37,5

Tikus 2 70 84 35 42 38,5

Tikus 3 72 74 36 37 36,5


(52)

5.1.3 Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis

Hasil perhitungan/pengukuran histologi spermatogenesis dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 8. Pengukuran/Penilaian Histologi Spermatogenesis No Kelompok Hewan

Percobaan

Skor / Nilai Rata-rata Penilaian Tiap Tikus

Rata-rata Penilaian Tiap Kelompok Kanan Kiri

1 I (TU 2,5 mg + MPA 1,25

mg)

Tikus 1 9 9 9 9,15

Tikus 2 9,4 9,3 9,35

Tikus 3 9 9,2 9,1

2 II (TU 5 mg + MPA 0,75

mg)

Tikus 1 8,2 8,4 8,3 8,16

Tikus 2 8,1 8,2 8,15

Tikus 3 8 8,1 8,05

3 III (TU 5 mg + MPA 1,125

mg)

Tikus 1 6 6,4 6,2 6.16

Tikus 2 6,3 6,3 6,3

Tikus 3 6 6 6

4 IV (ME TU 2,5 mg / MPA

1,25 mg)

Tikus 1 6 6,1 6,05 6,1

Tikus 2 6 6 6

Tikus 3 6,2 6,3 6,25

5 V (ME TU 5 mg / MPA

0,75 mg)

Tikus 1 8,2 8,3 8,25 8,28

Tikus 2 8,3 8,4 8,35

Tikus 3 8,2 8,3 8,25


(53)

5 mg / MPA

1,125 mg)

Tikus 2 7 7,2 7,1

Tikus 3 7,4 7,4 7,4

7 VII (Kos TU 2,5 mg +

MPA 1,25

mg)

Tikus 1 9 9,1 9,05 9,2

Tikus 2 9,3 9,2 9,25

Tikus 3 9,2 9,4 9,3

8 VIII (Kontrol normal)

Tikus 1 9,75 10 10

10

Tikus 2 10 10 10

Tikus 3 9,625 9,75 10

Keterangan : Penilaian histologi spermatogenesis dapat dilihat pada tabel 5 Bab IV.


(54)

5.2 Pembahasan

Hasil uji normalitas dan homogenitas berat badan menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (p ≥ 0,05). Namun terdapat data yang tidak homogen (p ≤ 0,05) dan homogen (p ≥ 0,05), sehingga analisa dilanjutkan dengan uji ANOVA (untuk data yang terdistribusi normal (p ≥ 0,05) dan homogen (p ≥ 0,05)) dan uji nonparametrik Kruskal Wallis (untuk data yang terdistribusi normal (p ≥ 0,05) dan tidak homogen (p ≤ 0,05)). Hasil uji ANOVA dan uji nonparametrik Kruskal Wallis menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok perlakuan (p ≤ 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji LSD. Berdasarkan analisa data berat badan antara kelompok perlakuan baik formulasi tunggal ((TU 2,5mg + MPA 1,25mg), (TU 5mg + MPA 0,75mg), (TU 5mg + MPA 1,125mg)) dan formulasi kombinasi ((ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg), (ME TU 5mg/MPA 0,75mg), (ME TU 5mg/MPA 1,125mg), (Kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg)) dengan kontrol normal menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p ≥ 0,05) (analisa data dapat dilihat pada lampiran 12, 13 dan 14).

Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) merupakan hormon steroid yang dapat merangsang pertumbuhan badan, perkembangan otot rangka dan tulang yang disertai pertambahan berat badan pada efek anabolik. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pemberian hormon steroid dalam dosis farmakologis pada orang normal akan membesarkan otot dan berat badan lebih dari normal (Ascobat, 2008).


(55)

Beberapa data memang mendukung bahwa pemberian Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat merangsang pertambahan berat badan, akan tetapi dapat kembali normal. Gu (2004), telah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa dengan pemberian Testosteron Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) (1000mg TU + 150mg MPA) pada manusia selama 48 minggu, rata-rata berat badan bertambah pada semua kelompok dengan kenaikan maksimum 1,4 kg selama perlakuan, tetapi kembali normal secara bertahap ke arah nilai awal setelah periode injeksi. Zhang (1999), juga melakukan penelitian dengan menggunakan Testosteron Undekanoat ( TU) dosis 500mg dan 1000mg pada manusia selama 36 minggu. Dari hasil penelitiannya rata-rata berat badan bertambah 4,1% selama perlakuan dan kembali normal setelah pemulihan.

Penelitian yang dilakukan oleh Yurnadi (2009) dengan pemberian dosis minimal 1,25mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA) pada tikus jantan (setara dengan 150mg pada manusia) selama 48 minggu menyebutkan rata-rata berat badan terjadi penambahan sebanyak 2,6% dari masing kelompok, akan tetapi dari hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa berat badan tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p ≥ 0,05) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Medroksiprogesteron Asetat (MPA).

Hasil penelitian yang dilakukan disimpulkan terdapat pertambahan berat badan setelah penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) dan


(56)

Medroksiprogesteron Asetat (MPA) tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p ≥ 0,05) dengan kontrol normal.

Hasil uji normalitas dan homogenitas konsentrasi spermatozoa menunjukkan bahwa data terdistribusi tidak normal (p ≤ 0,05). Namun homogen (p ≥ 0,05), sehingga analisa dilanjutkan dengan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok perlakuan (p ≤ 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji LSD. Berdasarkan analisa data konsentrasi spermatozoa antara formulasi tunggal ((TU 2,5mg + MPA 1,25mg), (TU 5mg + MPA 0,75mg), (TU 5mg + MPA 1,125mg)) maupun formulasi kombinasi ((ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg), (ME TU 5mg/MPA 0,75mg), (ME TU 5mg/MPA 1,125mg), (Kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg)) dengan kontrol normal menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p ≤ 0,05) (analisa data dapat dilihat pada lampiran 15, 16 dan 17).

Penyuntikan formulasi tunggal (TU + MPA) dan formulasi kombinasi (mikroemulsi (TU/MPA) dan kosolven (TU/MPA)) bertujuan untuk mengetahui sediaan yang paling efektif dalam menghambat spematogenesis hingga mencapai azoospermia.

Hasil pada penelitian ini, memperlihatkan telah terjadi penurunan konsentrasi spermatozoa setelah dilakukan penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA). Meskipun belum mencapai azoospermia, baik kelompok formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi telah menunjukkan penurunan konsentrasi


(57)

spermatozoa hingga mencapai oligozoospermia. Dari tujuh kelompok perlakuan, kelompok formulasi tunggal (TU 5mg + MPA 1,125mg) dan kelompok formulasi kombinasi (ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg) yang paling berpengaruh menekan produksi spermatozoa, dimana rata-rata jumlah konsentrasi spermatozoa untuk kedua kelompok tersebut hanya 1 juta/ml (data dapat dilihat pada tabel 7).

Penurunan konsentrasi spermatozoa terjadi karena penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat mempengaruhi spermatogenesis dimana terjadi hambatan sekresi hormon gonadotropin Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sehingga menekan spermatogenesis dan produksi spermatozoa (Yurnadi, 2008). Selain itu perbedaan penggunaan dosis dari masing-masing kelompok juga menyebabkan perbedaan hasil pada penelitian yang telah dilakukan.

Testosteron Undekanoat (TU) berfungsi sebagai hormon pengganti yang mempertahankan tingginya kadar serum testosteron (>710 ng/dl) sehingga menyebabkan terjadinya umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis anterior serta menurunkan sekresi gonadotropin (Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH)) yang sangat diperlukan dalam spermatogenesis dan produksi spermatozoa (Gu, 2009). Sedangkan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menginduksi sekresi gonadotropin (Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH)) sehingga menghambat produksi spermatozoa dan testosteron dalam testis (Ilyas, 2007).


(58)

Penelitian yang telah dilakukan juga membuktikan dengan penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) dosis 1000mg dengan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dosis 150mg atau 300mg dapat menekan spermatogenesis hingga mencapai azoospermia tanpa terlihat adanya efek samping (Gu, 2004).

Nasikin (2007), melakukan studi praklinik pada tikus jantan galur Sprague Dawley dengan penyuntikan 2,5mg Testosteron Undekanoat (TU)+1,25mg Medroksiprogesteron Asetat (MPA). Hasilnya, kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) dapat menekan produksi spermatozoa hingga mencapai oligozoospermia. Meskipun belum mencapai azoospermia, tetapi dari hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa telah terjadi peristiwa apoptosis akibat penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) (Nasikin, 2007). Apoptosis atau proses kematian sel secara terprogram pada saat perkembangan sel spermatogenik dapat disebabkan dari akumulasi penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) yang panjang (Ilyas, 2007). Peningkatan apoptosis sejalan dengan penekanan testosteron endogen atau intratestiskular (Lee, 1999).

Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Testosteron Undekanoat (TU) + Medroksiprogesteron Asetat (MPA) baik formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi menyebabkan oligozoospermia dan kemungkinan juga meningkatkan proses apoptosis sel spermatogenik. Formulasi kombinasi (mikroemulsi Testosteron


(59)

Undekanoat (TU) dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA)) memiliki keuntungan dibandingkan formulasi tunggal karena lebih praktis dalam pemberian, sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut sebagai hormon kontrasepsi pria.

Hasil uji normalitas dan homogenitas histologi spermatogenesis menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (p ≥ 0,05) dan homogen (p ≥ 0,05), sehingga analisa dilanjutkan dengan uji ANOVA. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok perlakuan (p ≤ 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji LSD. Berdasarkan analisa data uji LSD histologi spermatogenesis antara kelompok perlakuan baik formulasi tunggal ((TU 2,5mg + MPA 1,25mg), (TU 5mg + MPA 0,75mg), (TU 5mg + MPA 1,125mg)) maupun formulasi kombinasi ((ME TU 2,5mg/MPA 1,25mg), (ME TU 5mg/MPA 0,75mg), (ME TU 5mg/MPA 1,125mg), (Kosolven TU 2,5mg/MPA 1,25mg)) dengan kontrol normal menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p ≤ 0,05) (analisa data dapat dilihat pada lampiran 18, 19 dan 20).

Setelah dilakukan penelitian, memang terbukti bahwa penurunan konsentrasi spermatozoa akibat penyuntikan Testosteron Undekanoat (TU) dan Medrokisprogesteron Asetat (MPA) juga mempengaruhi perkembangan sel spermatogenik. Dari analisa data memperlihatkan terdapat perbedaan secara bermakna (p ≤ 0,05) antara formulasi tunggal, formulasi kombinasi dan kontrol normal. Pada penilaian histologi spermatogenesis, nilai rata-rata histologi formulasi tunggal (TU 5mg +


(1)

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 -.16667 .68338 .810 -1.6154 1.2820

kontrol Normal -28.33333* .68338 .000 -29.7820 -26.8846

ME TU 5 MPA 1,125 TU 2,5 MPA 1,25 -5.25000* .68338 .000 -6.6987 -3.8013

TU 5 MPA 0,75 -1.00000 .68338 .163 -2.4487 .4487

TU 5 MPA 1,125 3.66667* .68338 .000 2.2180 5.1154

ME TU 2,5 MPA 1,25 3.66667* .68338 .000 2.2180 5.1154

ME TU 5 MPA 0,75 -4.50000* .68338 .000 -5.9487 -3.0513

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 -4.66667* .68338 .000 -6.1154 -3.2180

kontrol Normal -32.83333* .68338 .000 -34.2820 -31.3846

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25

TU 2,5 MPA 1,25 -.58333 .68338 .406 -2.0320 .8654

TU 5 MPA 0,75 3.66667* .68338 .000 2.2180 5.1154

TU 5 MPA 1,125 8.33333* .68338 .000 6.8846 9.7820

ME TU 2,5 MPA 1,25 8.33333* .68338 .000 6.8846 9.7820

ME TU 5 MPA 0,75 .16667 .68338 .810 -1.2820 1.6154

ME TU 5 MPA 1,125 4.66667* .68338 .000 3.2180 6.1154

kontrol Normal -28.16667* .68338 .000 -29.6154 -26.7180

kontrol Normal TU 2,5 MPA 1,25 27.58333* .68338 .000 26.1346 29.0320

TU 5 MPA 0,75 31.83333* .68338 .000 30.3846 33.2820

TU 5 MPA 1,125 36.50000* .68338 .000 35.0513 37.9487

ME TU 2,5 MPA 1,25 36.50000* .68338 .000 35.0513 37.9487

ME TU 5 MPA 0,75 28.33333* .68338 .000 26.8846 29.7820

ME TU 5 MPA 1,125 32.83333* .68338 .000 31.3846 34.2820

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 28.16667* .68338 .000 26.7180 29.6154

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keterangan

: * berbeda secara bermakna pada taraf uji 0,05

Kesimpulan : terdapat perbedaan konsentrasi spermatozoa secara bermakna

pada taraf uji 0,05% pada masing-masing kelompok perlakuan

baik formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi dengan

kontrol normal.


(2)

Lampiran 18.

Uji Normalitas Histologi Spermatogenesis

Tujuan

: Untuk melihat data histologi spermatogenesis terdistribusi normal

atau tidak.

Hipotesis

: Ho = Data histologi spermatogenesis terdistribusi normal.

Ha

= Data histologi spermatogenesis tidak terdistribusi normal.

Pengambilan Keputusan

:

Jika nilai signifikansi

≥ 0,05, maka Ho diterima.

Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak.

Tabel 20.

Hasil uji Normalitas Histologi Spermatogenesis

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

NilaiHistologi

N

24

Normal Parameters

a,,b

Mean

8.0354

Std. Deviation

1.37694

Most Extreme Differences

Absolute

.146

Positive

.146

Negative

-.133

Kolmogorov-Smirnov Z

.716

Asymp. Sig. (2-tailed)

.684

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.


(3)

Lampiran 19.

Uji Homogenitas Histologi Spermatogenesis

Tujuan

: Untuk melihat data histologi spermatogenesis homogen atau

tidak.

Hipotesis

: Ho = Data histologi spermatogenesis homogen.

Ha = Data konsentrasi spermatozoa tidak homogen.

Pengambilan Keputusan:

Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima.

Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak.

Tabe

l

21

. Hasil uji Homogenitas Histologi Spermatogenesis

Test of Homogeneity of Variances

NilaiHistologi

Levene Statistic

df1

df2

Sig.

2.003

7

16

.118


(4)

Lampiran 20.

Uji LSD Histologi Spermatogenesis

Uji LSD merupakan uji yang dilakukan apabila hasil pengujian menunjukkan

adanya perbedaan nilai secara bermakna. Tujuan pengujian ini adalah untuk

menentukan kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara

bermakna dengan kelompok lainnya.

Tabel 22

. Hasil uji LSD Histologi Spermatogenesis

Multiple Comparisons

NilaiHistologi

LSD

(I) Kelompok (J) Kelompok

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

TU 2,5 MPA 1,25 TU 5 MPA 0,75 .98333* .10639 .000 .7578 1.2089

TU 5 MPA 1,125 2.98333* .10639 .000 2.7578 3.2089

ME TU 2,5 MPA 1,25 3.05000* .10639 .000 2.8245 3.2755

ME TU 5 MPA 0,75 .86667* .10639 .000 .6411 1.0922

ME TU 5 MPA 1,125 1.93333* .10639 .000 1.7078 2.1589

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 -.05000 .10639 .645 -.2755 .1755

Kontrol Normal -.85000* .10639 .000 -1.0755 -.6245

TU 5 MPA 0,75 TU 2,5 MPA 1,25 -.98333* .10639 .000 -1.2089 -.7578

TU 5 MPA 1,125 2.00000* .10639 .000 1.7745 2.2255

ME TU 2,5 MPA 1,25 2.06667* .10639 .000 1.8411 2.2922

ME TU 5 MPA 0,75 -.11667 .10639 .289 -.3422 .1089

ME TU 5 MPA 1,125 .95000* .10639 .000 .7245 1.1755

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 -1.03333* .10639 .000 -1.2589 -.8078

Kontrol Normal -1.83333* .10639 .000 -2.0589 -1.6078

TU 5 MPA 1,125 TU 2,5 MPA 1,25 -2.98333* .10639 .000 -3.2089 -2.7578

TU 5 MPA 0,75 -2.00000* .10639 .000 -2.2255 -1.7745

ME TU 2,5 MPA 1,25 .06667 .10639 .540 -.1589 .2922

ME TU 5 MPA 0,75 -2.11667* .10639 .000 -2.3422 -1.8911

ME TU 5 MPA 1,125 -1.05000* .10639 .000 -1.2755 -.8245


(5)

Kontrol Normal -3.83333* .10639 .000 -4.0589 -3.6078

ME TU 2,5 MPA 1,25 TU 2,5 MPA 1,25 -3.05000* .10639 .000 -3.2755 -2.8245

TU 5 MPA 0,75 -2.06667* .10639 .000 -2.2922 -1.8411

TU 5 MPA 1,125 -.06667 .10639 .540 -.2922 .1589

ME TU 5 MPA 0,75 -2.18333* .10639 .000 -2.4089 -1.9578

ME TU 5 MPA 1,125 -1.11667* .10639 .000 -1.3422 -.8911

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 -3.10000* .10639 .000 -3.3255 -2.8745

Kontrol Normal -3.90000* .10639 .000 -4.1255 -3.6745

ME TU 5 MPA 0,75 TU 2,5 MPA 1,25 -.86667* .10639 .000 -1.0922 -.6411

TU 5 MPA 0,75 .11667 .10639 .289 -.1089 .3422

TU 5 MPA 1,125 2.11667* .10639 .000 1.8911 2.3422

ME TU 2,5 MPA 1,25 2.18333* .10639 .000 1.9578 2.4089

ME TU 5 MPA 1,125 1.06667* .10639 .000 .8411 1.2922

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 -.91667* .10639 .000 -1.1422 -.6911

Kontrol Normal -1.71667* .10639 .000 -1.9422 -1.4911

ME TU 5 MPA 1,125 TU 2,5 MPA 1,25 -1.93333* .10639 .000 -2.1589 -1.7078

TU 5 MPA 0,75 -.95000* .10639 .000 -1.1755 -.7245

TU 5 MPA 1,125 1.05000* .10639 .000 .8245 1.2755

ME TU 2,5 MPA 1,25 1.11667* .10639 .000 .8911 1.3422

ME TU 5 MPA 0,75 -1.06667* .10639 .000 -1.2922 -.8411

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 -1.98333* .10639 .000 -2.2089 -1.7578

Kontrol Normal -2.78333* .10639 .000 -3.0089 -2.5578

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25

TU 2,5 MPA 1,25 .05000 .10639 .645 -.1755 .2755

TU 5 MPA 0,75 1.03333* .10639 .000 .8078 1.2589

TU 5 MPA 1,125 3.03333* .10639 .000 2.8078 3.2589

ME TU 2,5 MPA 1,25 3.10000* .10639 .000 2.8745 3.3255

ME TU 5 MPA 0,75 .91667* .10639 .000 .6911 1.1422

ME TU 5 MPA 1,125 1.98333* .10639 .000 1.7578 2.2089

Kontrol Normal -.80000* .10639 .000 -1.0255 -.5745

Kontrol Normal TU 2,5 MPA 1,25 .85000* .10639 .000 .6245 1.0755

TU 5 MPA 0,75 1.83333* .10639 .000 1.6078 2.0589

TU 5 MPA 1,125 3.83333* .10639 .000 3.6078 4.0589


(6)

ME TU 5 MPA 0,75 1.71667* .10639 .000 1.4911 1.9422

ME TU 5 MPA 1,125 2.78333* .10639 .000 2.5578 3.0089

Kosolven TU 2,5 MPA 1,25 .80000* .10639 .000 .5745 1.0255

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keterangan

: * berbeda secara bermakna pada taraf uji 0,05

Kesimpulan : terdapat perbedaan histologi spermatogenesis secara bermakna

pada taraf uji 0,05% pada masing-masing kelompok perlakuan

baik formulasi tunggal maupun formulasi kombinasi dengan

kontrol normal


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

0 23 107

Uji Aktivitas Spermisidal Dan Evaluasi Pengaruh Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Konsentrasi Hormon Testosteron Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

2 26 110

Uji Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley Secara In Vivo

1 16 121

PENGARUH INDUKSI PLUMBUM ASETAT TERHADAP MEMORI SPASIAL DAN INTAKE SUKROSA PADA TIKUS PUTIH JANTAN (RATTUS NORVEGICUS) GALUR SPRAGUE DAWLEY

0 6 60

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116

Uji Antifertilitas Ekstrak n-heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 15 116