Inflation And Economic Growth: Estimation The Threshold Level In Indonesia

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI:
PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA

NANANG WIDARYOKO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inflasi dan Pertumbuhan
Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Nanang Widaryoko
NIM H151114174

RINGKASAN
NANANG WIDARYOKO. Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan
Ambang Batas Inflasi di Indonesia. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA dan TONI
BAKHTIAR.
Inflasi yang tinggi dianggap sebagai masalah dalam perekonomian.
Indonesia pernah mengalami keterpurukan ekonomi akibat gagal mengendalikan
volatilitas inflasi. Hal ini digunakan sebagai landasan bagi pemerintah untuk
menerapkan kebijakan inflasi rendah. Para ekonom pernah menyatakan bahwa
inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
Faktanya, kebijakan inflasi rendah tidak menguntungkan karena bisa mengganggu
iklim investasi. Di sisi lain pola data inflasi dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia sebenarnya juga tidak konsisten (menunjukkan hubungan positif,
negatif, dan netral).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi
terhadap pertumbuhan ekonomi serta mencari ambang batas (threshold) inflasi di

Indonesia pada periode 1970-2012. Dengan menggunakan regresi linear berganda,
penelitian ini menunjukkan bahwa inflasi berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Identifikasi threshold inflasi melalui model Khan dan
Senhadji (2001) menyatakan bahwa threshold inflasi di Indonesia adalah 7.11%.
Sedangkan menurut model Hansen (1997, 2000), threshold inflasi di Indonesia
sebesar 9.53%. Berdasarkan beberapa kriteria pemilihan model, threshold inflasi
menurut model Hansen (1997, 2000) dianggap lebih ideal. Inflasi memiliki
pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya kurang dari
threshold dan berpengaruh negatif ketika melebihi threshold. Hasil ini
mendukung temuan Chowdhury dan Ham (2009) yang menyatakan bahwa
threshold inflasi di Indonesia berkisar antara 8.5 persen dan 11 persen.
Dari hasil studi disimpulkan bahwa bank sentral harus aktif mengendalikan
inflasi ketika nilainya berada di atas threshold. Dengan demikian, ITF tidak dapat
digeneralisasi untuk semua tingkat inflasi.
Kata kunci: inflasi, pertumbuhan ekonomi, threshold

SUMMARY
NANANG WIDARYOKO. Inflation and Economic Growth: Estimation the
Threshold Level in Indonesia. Under direction of IMAN SUGEMA and TONI
BAKHTIAR.

High inflation is regarded as a problems in the economy. Indonesia
experienced economic collapse as a result of failing to control inflation volatility.
This is used as a reason for the current authorities to implement low-inflation
policy. The economist argues that low-inflation can promote economic growth
faster. In fact, low-inflation policy is not favorable because it interferes the
business investment climate. On the other hand the pattern of the inflation and
economic growth data in Indonesia is also inconsistent (indicating a positive
relationship, negative and neutral).
The purpose of this study is to determine the effect of inflation on economic
growth, as well as to search inflation threshold in Indonesia in the period 19702012. Using multiple linear regression, this study shows that inflation negatively
impacts on economic growth. Inflation threshold identification by Khan and
Senhadji model (2001) stated that inflation threshold in Indonesia is 7.11%. While
according to Hansen model (1997, 2000), inflation threshold in Indonesia is
9.53%. Based on some model selection criterias, the inflation threshold implied by
Hansen model is more apropriate. Inflation has a positive effect on economic
growth if the value is less than the thresholds and negative when it exceeds the
thresholds. This result supports Chowdhury and Ham (2009) finding who stated
that inflation threshold in Indonesia is between 8.5 per cent and 11 per cent.
The two studies imply that the central bank should only pursue active policy
measures when inflation is above the threshold. Thus, ITF cannot be generalized

to all levels of inflation.
Keywords: economic growth, inflation, threshold

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI:
PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA

NANANG WIDARYOKO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS

Judul Tesis
Nama
NIIM

: Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas
Inflasi di Indonesia
: Nanang Widaryoko
: H151 ll4l74


Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Toni Bakhtiar SSi MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan

S

ekol ah P ascasarj arLa

r'
y'^V^'5


*t)

t

Dr [r RNLI#ng Nuryartooo, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal {Jjian: 30 Agustus 2AI3

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
April 2013 ini ialah inflasi, dengan judul Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi:
Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Sugema, MEc, dan

Bapak Dr Toni Bakhtiar, SSi, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir
Noer Azam Achsani, MS, dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah
banyak memberikan saran. Kepada Prof Bruce E Hansen, Prof Anis Chowdhury
dan Dr Kevin Greenidge terimakasih atas masukan yang sangat berguna terkait isu
ekonometrika. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap
pimpinan dan pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) RI, BPS Provinsi Kalimantan
Selatan, Bapak Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi dan jajarannya, serta staf-staf
Perpustakaan Bank Indonesia yang telah membantu baik pada waktu
pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada istri penulis, Ulfatul Umami, SST, MSc atas cinta, do’a, serta
dorongan semangatnya, Ayah, Ibu, Abi, Umi beserta seluruh keluarga, atas segala
restu dan kasih sayangnya. Untuk sahabat sekaligus mentor penulis, Miyan Andi
Irawan, SST, MSE, dan seluruh rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi
kelas BPS Batch 4, terimakasih atas diskusi dan ilmu yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Nanang Widaryoko

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1

2
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Tinjauan Empiris
Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

5
5
5
10
10
13
17

18

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis Regresi Threshold
Spesifikasi Model
Definisi Variabel Operasional
Prosedur Analisis

19
19
19
20
20
21
24
25
26

4 HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Seleksi Model Terbaik

27
27
31
40

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran Penelitian Lanjutan

41
41
41
42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

63

DAFTAR TABEL
1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 1958-1966
2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia
sebagai salah satu sampel
3 Variabel dan sumber data penelitian
4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
5 Statistik deskriptif variabel penelitian (%)
6 Pengujian kestasioneran variabel penelitian
7 Hasil estimasi model linear pertumbuhan ekonomi
8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji
(2001)
9 Hasil estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001)
10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000)
11 Hasil estimasi model threshold Hansen (1997, 2000)
12 Kriteria seleksi model

1
16
19
25
30
31
31
35
36
38
38
40

DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun
1950-2012 (%)
2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output
3 Mekanisme portofolio model Tobin
4 Alur kerangka pemikiran
5 Ringkasan prosedur analisis
6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%)
7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia
8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS)
model Khan dan Senhadji (2001)
9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model
Hansen (1997,2000)

3
6
8
18
20
27
29
35
37

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Data yang digunakan dalam penelitian
Hasil uji unit root
Output model linear pertumbuhan ekonomi
Output model threshold Khan dan Senhadji (2001)
Output model threshold Hansen (1997, 2000)

47
49
57
59
61

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Inflasi yang rendah selama ini dianggap sebagai prasyarat untuk
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Munir dan Mansur 2009). Banyak fakta
yang menunjukkan bahwa inflasi tinggi dan tidak terkendali dapat merusak
aktivitas perekonomian.
Indonesia termasuk negara yang pernah mengalami keterpurukan ekonomi
akibat tidak mampu menekan laju inflasi. Selama tahun 1958 hingga 1966,
perekonomian Indonesia secara rata-rata hanya mampu tumbuh sebesar 0.18%.
Pada waktu itu rata-rata inflasi mencapai 199%, bahkan sempat menyentuh level
636% di tahun 1966. Menurut Subekti (2011), penyebab utama tingginya inflasi
Indonesia era 1960-an adalah anggaran belanja pemerintah yang tidak berimbang
serta tertutupnya akses untuk memperoleh pinjaman dari luar negeri, sehingga
segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah sebagian besar harus dibiayai
dengan pencetakan uang. Jadi tidak mengherankan apabila pertumbuhan jumlah
uang beredar (M1) di era tersebut selalu mengiringi lonjakan inflasi dengan
persentase kenaikan yang cukup pesat yaitu rata-rata sebesar 99.57% (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 1958-1966
Jumlah M1
Pertumbuhan
Pertumbuhan
Tahun
Inflasi (%)
(juta rupiah)
M1 (%)
Ekonomi (%)
(1)

(2)

1958
29
1959
35
1960
48
1961
68
1962
136
1963
263
1964
675
1965
2,713,688
1966
5,164,552
Sumber: Bank Indonesia-Sejarah
(2003), diolah

(3)

55.56
18.78
37.13
41.40
100.89
93.79
156.34
301.96
90.31
Moneter Periode

(4)

(5)

46
5.26
22
–1.91
38
–1.54
27
1.77
174
–2.74
119
–2.68
135
2.33
594
0.55
636
0.62
1959-1966 dan Tambunan

Perhatian Indonesia terhadap inflasi baru terlihat saat rezim Orde Baru
mulai berkuasa di tahun 1967. Seluruh perangkat birokrasi Orde Baru memiliki
kesamaan visi bahwa inflasi merupakan masalah utama dalam perekonomian
sehingga upaya pengendalian dipandang perlu. Untuk mengontrol pengeluaran,
pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Program tersebut terbukti
cukup efektif. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) dalam kurun 1967 hingga
1997 secara rata-rata dapat dikurangi hingga ke level 52.7%1. Sektor usaha
1

data diolah dari Hossain (2005)

2
berhasil berproduksi dengan baik dan daya beli masyarakat juga terjaga. Hampir
dua dekade, ekonomi tumbuh sekitar 7% dengan inflasi rata-rata sebesar 12%.
Upaya-upaya pengendalian inflasi terus berlanjut hingga masa reformasi,
bahkan semakin diintensifkan pascakrisis moneter tahun 1998. Pada tahun 2005
Indonesia secara resmi mulai menerapkan Inflation Targeting Framework yaitu
suatu kebijakan yang bertujuan mencapai kestabilan inflasi di level-level tertentu
yang berkisar 4% hingga 10% untuk jangka pendek dan 3% sampai dengan 5%
untuk jangka panjang (Chowdhury dan Ham 2009).
Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan anti inflasi yang diterapkan
Indonesia ternyata tidak sepenuhnya berjalan lancar. Praktisi bank sentral tak
jarang masih menghadapi sebuah dilema2, yaitu konsisten menjaga inflasi tetap
rendah dengan konsekuensi tertekannya sektor produksi, atau membiarkan inflasi
sedikit terdeviasi namun mendukung produsen untuk terus beraktivitas.
Sebagaimana diketahui instrumen yang digunakan untuk mengendalikan
inflasi adalah suku bunga. Inflasi rendah dapat tercapai melalui penetapan tingkat
suku bunga tinggi yang pada umumnya tidak terlalu disukai oleh dunia usaha.
Sebagai bukti, pada bulan Agustus 2006 suku bunga pinjaman di Indonesia
mencapai 15.75%. Dengan tingkat inflasi berkisar 9%, suku bunga tersebut bisa
dikategorikan sangat tinggi yang seharusnya mampu menarik aliran modal asing.
Anehnya, justru di periode yang sama pertumbuhan portofolio turun sekitar 0.60%
hingga 0.10%. Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga terkoreksi sebesar 40% yang
tentu saja tidak baik bagi kinerja ekspor manufaktur di mana hampir 70%
produksinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (Chowdhury
dan Ham 2009).
Perumusan Masalah
Diskusi tentang pengendalian inflasi tidak bisa terlepas dari studi hubungan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun telah terjadi konsensus bahwa inflasi
tinggi berdampak buruk bagi perekonomian, hubungan dari kedua variabel
tersebut pada dasarnya masih menjadi perdebatan yang cukup panjang (Mansur
dan Munir 2009). Pada era 1950-an, suatu kelompok ilmuwan yang disebut
dengan kaum structuralist berpendapat bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap
perekonomian, sedangkan kelompok monetarist menyimpulkan inflasi berdampak
negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Mallik dan Chowdhury 2001). Studi terkini
pun memberikan hasil identik, seperti Lucas (1973) serta Mallik dan Chowdhury
(2001) yang membuktikan adanya hubungan positif dan signifikan antara inflasi
dan pertumbuhan ekonomi. Sementara Fisher (1993), Barro (1995a), termasuk
Ghosh dan Philips (1998a) mendapatkan hasil sebaliknya yaitu inflasi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Perdebatan mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sangat
relevan untuk kasus Indonesia (Chowdhury 2002). Data yang ditunjukkan oleh
Gambar 1 mengindikasikan adanya anomali hubungan di antara kedua indikator
tersebut. Pada tahun 1950 hingga 1959, inflasi tercatat sebesar 22.67% dengan
pertumbuhan ekonomi 4.98%. Satu dekade berikutnya yaitu 1960 sampai 1969
2

menurut Chowdhury dan Siregar (2004), Bank Indonesia (2002) pernah menyatakan, “Apabila
Bank Indonesia konsisten menjaga target inflasi, maka suku bunga yang tinggi harus
diterapkan yang justru mengganggu proses recovery”

3
perekonomian hanya tumbuh sebesar 3.91% sebagai dampak meningkatnya inflasi
yang mencapai 196.02%. Sampai periode ini terbukti bahwa inflasi tinggi
berdampak buruk bagi perekonomian. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun
1979, inflasi di Indonesia berada pada level 17.21% dengan pertumbuhan
ekonomi 7.82%. Sementara di tahun 1980 hingga 20123, secara rata-rata inflasi
tergolong cukup moderat yaitu sebesar 8.13%. Ironisnya, perekonomian Indonesia
di periode ini justru bergerak lebih lambat jika dibandingkan dengan dekade 1970an yaitu hanya sebesar 6.10%.

Keterangan: data diambil dari Woo et al. (1994) dan BPS, diolah
Gambar 1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 19502012 (%)
Dalam kaitannya dengan Inflation Targeting Framework, secara
mengejutkan ditemukan bahwa capaian pertumbuhan ekonomi sebelum dan
sesudah skema tersebut diterapkan tidak mengalami perubahan yang terlalu
signifikan, bahkan cenderung melemah (masing-masing sebesar 6.63% dan
5.92%4). Inflasi memang bukan satu-satunya determinan pertumbuhan ekonomi,
akan tetapi fenomena tersebut setidaknya kontradiktif dengan gagasan yang sering
dikemukakan para ekonom (sebagaimana juga telah disebutkan di awal) bahwa
inflasi rendah akan mendorong tingginya kinerja ekonomi. Beberapa peneliti
menduga target inflasi yang ditetapkan terlalu rendah atau dengan kata lain target
tersebut belum optimal.
McNelis et al. (2001) dalam Chowdhury dan Siregar (2004) pernah
menyatakan, program “moderate inflation” yang diadopsi Indonesia selama proses
pemulihan ekonomi lebih tepat disebut sebagai kebijakan “very low inflation”
3
4

tanpa memasukkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun 1998
diolah dari data BPS dan World Bank (2013), pra Inflation Targeting Framework diasumsikan
mulai 1966 hingga 2005, tanpa memasukkan periode krisis 1998

4
yang akhirnya menghambat proses pemulihan ekonomi itu sendiri. Chowdhury
dan Ham (2009) menambahkan, sasaran inflasi jangka panjang sebesar 3% hingga
5% sebenarnya tidak berdasar karena bertentangan dengan sejarah inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengundang
pertanyaan, seberapa rendah inflasi seharusnya dijaga?
Melalui analisis data panel, para ekonom seperti Fischer (1993), Sarel
(1996) serta Khan dan Senhadji (2001) sebelumnya telah menjawab pertanyaan
tersebut dengan cara mencari titik optimal inflasi atau sering disebut dengan
istilah ambang batas (threshold) inflasi. Akan tetapi, hasil yang didapat cukup
bervariasi sehingga belum bisa dijadikan rujukan bagi negara-negara di dunia.
Selain itu studi data panel juga mengandung kelemahan yaitu nilai threshold dari
setiap negara diasumsikan sama. Sepehri dan Moshiri (2004) serta Kremer et al.
(2012) mengungkapkan, setiap negara memiliki struktur ekonomi dan mekanisme
transmisi kebijakan moneter yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan nilai
threshold inflasi sebaiknya didasarkan pada sejarah inflasi dan pertumbuhan
ekonomi di negara itu sendiri.
Identifikasi nilai threshold inflasi di Indonesia pernah dilakukan oleh
Chowdhury dan Siregar (2004) serta Chowdhury dan Ham (2009). Kedua kajian
tersebut sangat informatif namun baru menggunakan analisis bivariate.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang
ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
2. Berapa nilai threshold inflasi di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini ingin mengulas hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Adapun tujuan khususnya adalah:
1. Mengidentifikasi pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia
2. Mengetahui besaran nilai threshold inflasi di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada
akademisi, praktisi bank sentral, dan pemerintah, terutama yang terkait dengan
kebijakan penargetan inflasi. Sebagai catatan unsur novelty yang diajukan terletak
pada penggunaan dua model regresi threshold multivariate. Bagi penulis, semoga
penelitian ini bisa menjadi sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media
aplikasi konsep dan metode yang telah didapat di jenjang pendidikan.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Berbagai teori ekonomi telah banyak membahas hubungan antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, namun kesimpulan yang dihasilkan cenderung beragam,
yaitu berhubungan positif, berhubungan negatif serta netral atau tidak ada
hubungan sama sekali. Teori-teori tersebut di antaranya adalah:
Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Teori pertumbuhan ekonomi klasik dikemukakan oleh Adam Smith dan
sering disebut sebagai dasar teori pertumbuhan. Dalam makalahnya, Smith
mengemukakan bahwa output merupakan fungsi dari kapital (K) atau investasi,
tenaga kerja (L) serta tanah (T), sehingga kalau dimodelkan menjadi:
Y = f (K,L,T)
(1)
Dalam kaitannya dengan inflasi, Smith hanya mengulas secara implisit yaitu
tingginya inflasi akan berdampak pada tingginya upah sehingga akan menghambat
aktivitas produksi. Oleh karena itu inflasi diindikasikan memiliki hubungan
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Teori Keynesian
Para ilmuwan aliran Keynesian mencoba memaparkan hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi (output) melalui skema Agregat Demand (AD) dan
Agregat Supply (AS). Kelompok Keynesian mengemukakan bahwa dalam jangka
pendek kurva AS memiliki gradien positif, artinya perubahan yang terjadi pada
permintaan agregat atau kurva AD seperti perubahan ekspektasi, jumlah tenaga
kerja, harga faktor produksi termasuk perubahan kebijakan fiskal dan moneter
akan berdampak tidak hanya pada harga tetapi juga pada output. Dalam jangka
panjang, yaitu ketika kurva AS berbentuk vertikal, terjadi penyesuaian atau
“dynamic adjustment”, di mana hubungan inflasi dan output yang awalnya positif
berubah menjadi negatif.
Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2, hubungan jangka pendek antara
inflasi dan output terdeskripsikan pada pergerakan anak panah dari titik E menuju
titik E1, di mana peningkatan harga diikuti oleh bertambahnya output. Ide yang
mendasari adalah dimisalkan ada seorang produsen menaikkan harga komoditas,
dan produsen tersebut beranggapan bahwa harganyalah yang paling tinggi. Pada
kenyataannya produsen-produsen lain melakukan hal yang sama, menyebabkan
harga meningkat secara agregat, yang pada akhirnya mendorong produsen untuk
menambah output.
Blanchard dan Kiyotaki (1987) mengemukakan hubungan positif inflasi dan
output bisa disebabkan oleh adanya kesepakatan harga antara produsen dan
konsumen. Produsen berkewajiban memenuhi seluruh permintaan konsumen,
sementara konsumen wajib menerima berapapun harga yang ditawarkan produsen.
Dengan demikian tingginya harga tidak akan menyebabkan penurunan output.

6

Sumber: Gokal dan Hanif (2004)
Gambar 2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output
Dalam proses transisi jangka panjang, peningkatan harga menjadi insentif
bagi para pekerja untuk menuntut kenaikan upah, yang sekaligus merupakan
shock supply bagi perusahaan. Untuk mengimbangi hal tersebut produsen kembali
meningkatkan harga disertai rasionalisasi output, yang tergambar pada
perpindahan titik E2 menuju E3 yaitu peningkatan harga menyebabkan turunnya
jumlah output. Kesimpulan teori Keynesian adalah tidak ada trade off permanen
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yang artinya inflasi bisa berpengaruh
positif ataupun negatif terhadap output/pertumbuhan ekonomi.
Teori Monetaris
Tokoh utama aliran Monetaris adalah Milton Friedman, yang menghasilkan
dua gagasan penting yaitu The Quantity Theory of Money dan The Neutrality of
Money. Menurut Friedman, The Quantity Theory of Money menghubungkan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi melalui konsep jumlah uang yang dikeluarkan
sama dengan jumlah uang yang beredar atau:
MV = PY
(2)
di mana:
M
: jumlah uang beredar
V
: kecepatan perputaran uang (velositas)
P
: harga output
Y
: output.
Ide yang mendasari adalah jumlah uang beredar atau velositas merupakan
representasi suatu transaksi yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi.
Inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar atau velositas tumbuh lebih tinggi
daripada pertumbuhan ekonomi.
Sementara The Neutrality of Money menjelaskan independensi variabel riil
terhadap pergerakan jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Friedman
memaparkan, ketika terjadi inflasi masyarakat dihadapkan pada biaya hidup yang
lebih tinggi. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah karena pendapatan
yang diperoleh juga meningkat dengan jumlah sama. Oleh karena itu, segala
bentuk perubahan jumlah uang beredar yang akhirnya menyebabkan inflasi akan
direspon seketika dengan tingkat upah. Hal inilah yang menyebabkan variabel riil

7
seperti output (dalam bentuk level) dan tingkat pengangguran tidak mengalami
perubahan.
Friedman kemudian mengungkapkan bahwa uang bisa bersifat netral,
namun belum tentu uang tersebut supernetral, dalam arti meskipun secara level
jumlah uang beredar tidak memengaruhi variabel riil, tingkat pertumbuhan uang
bisa saja memengaruhi variabel tersebut. Untuk itu dia menambahkan konsep The
Superneutrality of Money. Sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004), The
Superneutrality of Money terjadi tatkala variabel riil seperti pertumbuhan ekonomi
tidak terpengaruh oleh dinamika pertumbuhan uang beredar. Bila kondisi ini
terjadi, bisa dikatakan inflasi tidak berdampak apapun terhadap perekonomian.
Secara ringkas, aliran Monetaris menyatakan bahwa dalam jangka panjang
inflasi dipengaruhi oleh pertumbuhan uang, yang tidak berdampak apapun
terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, hal tersebut tidak terjadi
dalam kenyataan, di mana pergerakan inflasi justru memiliki konsekuensi negatif
terhadap akumulasi modal, investasi dan ekspor, yang pada akhirnya
memengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara.
Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Teori pertumbuhan Neo-Klasik menyatakan, tenaga kerja, kapital dan
teknologi adalah faktor utama yang memengaruhi output. Terkait dengan
hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kelompok Neo-Klasik menemukan
kesimpulan yang beragam. Pada tahun 1963, Mundell menyatakan bahwa inflasi
akan menurunkan daya beli uang, yang selanjutnya mengurangi kekayaan
individu. Kondisi ini kemudian direspon masyarakat dengan cara merelokasi uang
tunai yang dipegang ke dalam bentuk tabungan, akumulasi modal meningkat dan
pada akhirnya menstimulus pembentukan output.
Pendapat Mundell didukung oleh Tobin (1965). Menurut Tobin seorang
individu memiliki dua opsi konsumsi, yaitu konsumsi sekarang dan konsumsi di
masa yang akan datang. Penentuan opsi tersebut didasarkan pada seberapa besar
nilai uang yang dimiliki. Bila nilainya tinggi, dia akan memegang banyak uang,
sedangkan bila nilainya rendah, dia akan membelanjakan uang tersebut dalam
bentuk kapital. Tobin menjelaskan alur pikir teorinya melalui mekanisme
portofolio dengan visualisasi seperti pada Gambar 3.

8

Sumber: Gokal dan Hanif (2004)
Gambar 3 Mekanisme portofolio model Tobin
Penjelasannya adalah, diasumsikan terjadi kenaikan tingkat inflasi dari π0
menjadi π1, yang menyebabkan nilai uang turun. Dalam kondisi demikian,
masyarakat akan mengalihkan kekayaannya ke dalam bentuk kapital, sebagaimana
tergambar dengan pergeseran kurva Sk menuju Sk’, yang selanjutnya menghasilkan
steady state kapital yang lebih tinggi (dari K0 menjadi K1). Model Tobin
berkesimpulan, kenaikan tingkat inflasi akan mendorong bertambahnya level
output secara permanen di mana dalam transisinya, terjadi pertumbuhan ekonomi
secara temporer. Secara ringkas, Tobin menyatakan inflasi berhubungan positif
dengan pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 1967, Miguel Sidrauski menambahkan peran uang dalam model
perekonomian. Melalui disertasi yang berjudul “Rational Choice and Patterns of
Growth in a Monetary Economy”, Sidrauski beranggapan bahwa uang bersifat
supernetral sehingga berapapun pertumbuhan uang hanya akan menyebabkan
inflasi dan tidak akan mengubah steady state kapital. Oleh karena itu, level output
termasuk pertumbuhan ekonomi juga tidak akan berubah.
Stockman (1981) mengemukakan bahwa inflasi berhubungan negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Stockman, kenaikan inflasi akan
menurunkan level steady state output. Selain itu inflasi juga membuat nilai
kekayaan masyarakat berkurang. Dia menambahkan uang tergolong unsur
komplemen dalam pembentukan modal. Logika yang dikemukakan oleh
Stockman adalah belanja barang dan proses akumulasi modal diawali oleh
ketersediaan kas/tabungan yang memadai. Ketika terjadi inflasi, daya beli uang
turun, masyarakat dan perusahaan akan mengurangi konsumsinya baik dalam
bentuk barang ataupun aset. Akibatnya akumulasi modal juga berkurang sehingga
berdampak pada turunnya aktivitas perekonomian. Kesimpulan akhir teori NeoKlasik adalah inflasi bisa berdampak positif, berdampak negatif atau netral
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Teori Neo-Keynesian
Konsep terkenal yang dihasilkan teori Neo-Keynesian adalah “output
potensial”, yaitu tingkat output optimal di mana seluruh kapasitas produksi sudah

9
digunakan. Konsep output potensial juga berhubungan erat dengan pengangguran
natural atau sering disebut dengan istilah Non-Accelerating Inflation Rate of
Unemployment (NAIRU). NAIRU merupakan tingkat pengangguran di saat inflasi
sudah tidak mengalami perubahan (konstan).
Menurut ekonom Neo-Keynesian, seperti yang dipaparkan oleh Gokal dan
Hanif (2004), inflasi dalam model ini ditentukan secara endogen yang besarannya
tergantung pada output aktual dan tingkat pengangguran natural (NAIRU). Ketika
output aktual lebih besar dari nilai potensialnya sementara pengangguran lebih
rendah dari NAIRU (ceteris paribus), maka inflasi akan direspon produsen
dengan cara meningkatkan harga komoditasnya. Selain itu rasionalisasi jumlah
tenaga kerja juga dilakukan, yang hasil akhirnya kurva Philips bergeser menuju
kondisi stagflasi, yaitu inflasi semakin tinggi dan tingkat pengangguran semakin
besar. Sebaliknya saat output aktual berada di bawah nilai potensial dan tingkat
pengangguran melebihi NAIRU (ceteris paribus), produsen berupaya mengurangi
excess supply dengan jalan menurunkan harga komoditas yang diproduksinya.
Kesediaan para pekerja untuk dibayar lebih murah asal mendapat pekerjaan,
semakin memperlancar langkah produsen untuk mengambil kebijakan disinflasi.
Akibatnya kurva Philips bergeser menuju kondisi yang diharapkan, inflasi rendah
dan tingkat pengangguran kecil. Kelompok Neo-Keynesian melanjutkan, tatkala
output aktual sama dengan nilai potensialnya dan tingkat pengangguran berada
pada NAIRU (ceteris paribus), inflasi tidak akan berubah, kecuali ada supply
shock. Dalam jangka panjang, kurva Philips berbentuk vertikal.
Dari ketiga kemungkinan di atas, terdapat satu masalah yang kemudian
muncul, yaitu nilai output potensial dan NAIRU tidak diketahui secara pasti.
Identik dengan ekonom Neo-Klasik, kelompok Neo-Keynesian juga
menyimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif, berpengaruh negatif atau
netral terhadap pertumbuhan ekonomi.
Teori Pertumbuhan Endogen
Menurut teori pertumbuhan Endogen, skala ekonomi, increasing return of
scale serta perkembangan teknologi memegang peranan penting dalam
pertumbuhan output. Dalam teori ini, pertumbuhan output sangat tergantung pada
satu variabel, yaitu tingkat pengembalian modal (the rate of return in capital).
Variabel-variabel seperti inflasi yang dapat menurunkan nilai pengembalian
tersebut pada gilirannya juga akan mengurangi akumulasi modal, sehingga
mengkonstraksi output (Gokal dan Hanif 2004).
Berbeda dengan Neo-Klasik, teori Pertumbuhan Endogen menyatakan
bahwa perkembangan teknologi bersifat endogen. Selain itu produk marginal dari
kapital adalah konstan, bukan diminishing return. Secara sederhana teori ini bisa
dijabarkan melalui model berikut:
Y = f (A,K)
(3)
di mana:
Y
: output
A
: teknologi dan semua faktor yang memengaruhinya
K
: modal, yang terdiri atas modal fisik dan sumber daya manusia.
Dari formula di atas terlihat bahwa pertumbuhan output tidak hanya
dipengaruhi oleh the rate of return physical capital, tetapi juga the rate of return
human capital. Gokal dan Hanif (2004) menyatakan, keberadaan inflasi atau pajak

10
akan mengurangi nilai return dari kedua modal tersebut yang pada akhirnya juga
menurunkan output. Kesimpulan teori pertumbuhan Endogen adalah inflasi
berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi.
Tinjauan Empiris
Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada tataran empiris, studi untuk menguji hubungan linear inflasi dan
pertumbuhan ekonomi umumnya menggunakan pendekatan ordinary least
squares (OLS), baik dalam bentuk analisis data panel ataupun regresi deret waktu.
Lingkup variabel yang digunakan pun dibagi dua, bivariate yaitu hanya inflasi
dan pertumbuhan ekonomi, serta multivariate, yaitu inflasi dan pertumbuhan
ekonomi ditambah beberapa variabel kontrol. Sama halnya dengan kajian teoritis,
hasil yang didapat dalam uji empiris juga cenderung divergen, yaitu inflasi
berhubungan positif, berhubungan negatif dan netral terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Ulasan mengenai inflasi dan pertumbuhan ekonomi pertama kali dirintis
oleh seorang ekonom IMF yang bernama U Tun Wai di tahun 1959. Dengan unit
observasi 31 negara dalam kurun 1938 hingga 1954 (periode setiap negara
berbeda-beda), Wai mengkorelasikan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi5 dan
memplotkan koefisien yang signifikan ke dalam sebuah grafik. Sebelumnya,
periode pengamatan dikelompokkan menjadi 4 hingga 9 tahunan. Hasil plotting
tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat suatu garis sehingga bisa dilihat
bagaimana keterkaitan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan yang
diperoleh adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 1963, Dorrance mencoba membandingkan rata-rata tingkat
inflasi dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di 31 negara dari tahun 1948
sampai dengan 1961. Dalam penelitian ini, unit observasi dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu negara dengan inflasi rendah, negara berinflasi moderat serta
negara dengan inflasi tinggi. Sama dengan Wai (1959), Dorrance tidak
mendapatkan bukti yang cukup bahwa inflasi memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Tahun 1973, Robert E. Lucas melakukan penelitian dengan judul “Some
International Evidence on Output-Inflation Tradeoff”. Unit observasi yang
diambil adalah gabungan 18 negara maju dan berkembang dari tahun 1951 hingga
1967. Hasil OLS bivariate menyatakan terdapat hubungan positif dan signifkan
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Fischer (1983) membangun sebuah model bivariate dengan menggunakan
data gabungan cross-sections dan time-series dari 53 negara (31 negara
berkembang dan 22 negara maju). Melalui artikel yang berjudul “Inflation and
Growth”, Fischer membagi periode penelitian menjadi dua yaitu 1961-1973 dan
1973-1981. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan negatif dan
signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
5

inflasi didekati oleh indeks biaya hidup, sedangkan pertumbuhan ekonomi diproksi dengan
pendapatan nasional, pendapatan perkapita serta pendapatan nasional dan pendapatan nasional
perkapita yang telah disesuaikan dengan term of trade

11
Jung dan Marshall (1986) mengidentifikasi hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di 57 negara (38 negara berkembang dan 19 negara maju)
dari tahun 1950 sampai dengan 19806. Berdasarkan uji kausalitas Granger,
disimpulkan bahwa inflasi di 16 negara berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Di dua negara yang lain yaitu Mesir dan Urugay, inflasi berhubungan
positif. Sedangkan sisanya, yaitu 38 negara, Jung dan Marshall tidak menemukan
adanya hubungan dari kedua variabel tersebut. Karena hasil yang diperoleh cukup
beragam, akhirnya penelitian ini tidak berhasil memberikan kesimpulan yang pasti
mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Barro (1995a) merupakan ekonom berikutnya yang membuktikan adanya
hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Melalui makalah yang
berjudul “Inflation and Growth”, Barro mengulas pengaruh inflasi dan beberapa
variabel kontrol7 terhadap pertumbuhan ekonomi di 78-89 negara maju dan
berkembang dari tahun 1965 sampai dengan 19908. Alat analisis yang digunakan
berupa regresi instrumental variable.
Sepehri dan Moshiri (2004) melalui regresi data panel menyimpulkan,
inflasi berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisis
dilakukan pada data 92 negara dari tahun 1960 hingga 1996, dengan variabel
berupa inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi
sekolah, pertumbuhan penduduk, ekspor dan defisit anggaran.
Pada tahun 2006, Min Li meneliti fenomena inflasi dan pertumbuhan
ekonomi di 117 negara. Dalam penelitiannya, Li mengadopsi dua model, pertama
growth equation dengan sampel 27 negara maju dan 90 negara berkembang mulai
tahun 1961 hingga 2004. Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan PDB,
inflasi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB), PDB perkapita awal tahun,
pengeluaran pemerintah serta terms of trade. Model kedua growth accounting
equation, yang meliputi 27 negara maju (1961-2004) dan 63 negara berkembang
(1961-1990), dengan variabel pertumbuhan PDB, inflasi, total faktor produktivitas
(TFP) dan pertumbuhan angkatan kerja. Hasil regresi data panel menyimpulkan
inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Liwan dan Lau (2007) melakukan penelitian dengan judul “Managing
Growth: The Role of Export, Inflation and Investment in three ASEAN
Neighboring Countries”. Lingkup observasi adalah Indonesia, Malaysia dan
Thailand dari tahun 1976 sampai 2005. Hasil uji vector error correction model
menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara
Malaysia dan Thailand, sedangkan di Indonesia, inflasi justru berkontribusi
positif. Variabel yang digunakan meliputi PDB, ekspor, investasi dan inflasi.
Analisis grafik tiga dimensi dan regresi fixed effect oleh Rousseau dan
Yilmazkuday (2009) menyimpulkan inflasi berhubungan negatif dengan
pertumbuhan ekonomi. Unit observasi terdiri dari 84 negara maju dan
berkembang dengan periode penelitian 1960 hingga 2004. Variabel yang
digunakan adalah pertumbuhan PDB perkapita, inflasi, PDB awal tahun, derajat

6
7

8

panjang tahun berbeda-beda di setiap negara
rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, pengeluaran pemerintah, indeks demokrasi, indeks
kepastian hukum, investasi dan angka kelahiran
Barro membagi periode penelitian menjadi tiga dan disesuaikan dengan ketersediaan data, yaitu
1965-1975 (78 negara), 1975-1985 (89 negara) dan 1985-1990 (84 negara)

12
keterbukaan ekonomi, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar serta tingkat
partisipasi sekolah.
Yeh (2012) mengeksplorasi kemungkinan hubungan dua arah antara inflasi
dan pertumbuhan ekonomi di 140 negara dari 1970 sampai 2005. Alat analisis
yang digunakan berupa panel OLS dan model persamaan simultan dengan
variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, rasio pendapatan perkapita negara
sampel terhadap pendapatan perkapita Amerika Serikat, investasi, pengeluaran
pemerintah, jumlah uang beredar, keterbukaan ekonomi serta pertumbuhan
penduduk. Di akhir makalahnya, Yeh menyimpulkan bahwa inflasi berdampak
buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi dapat
menyebabkan terjadinya inflasi.
Smyth (1992) merupakan ekonom pertama yang fokus meneliti perilaku
inflasi dan pertumbuhan ekonomi di satu negara. Unit observasi yang diambil
adalah Amerika Serikat dengan rentang penelitian 1955 hingga 1990. Dari
estimasi OLS bivariate disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Nell (2000), dengan vector autoregressions mengidentifikasi hubungan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan dari tahun 1960 sampai
dengan 1999. Di akhir tulisan, Nell mengemukakan bahwa inflasi tinggi
berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya inflasi rendah (satu
digit) justru mendorong pertumbuhan ekonomi.
Black et al. (2001), dengan pendekatan regresi data panel dan regresi crosssection menyatakan, pada era 1980-an inflasi di Amerika Serikat berkorelasi
positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan era 1960-an ataupun 1970-an,
inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi.
Gokal dan Hanif (2004) menyatakan, ada hubungan negatif antara inflasi
dengan pertumbuhan ekonomi di Fiji, namun hubungan tersebut lemah. Metode
yang digunakan berupa matriks korelasi dan uji kausalitas Granger dengan jangka
waktu observasi 1970 hingga 2003.
Nasir dan Saima (2010) menyatakan, dalam kurun 1961 sampai 2008,
kenaikan inflasi di Pakistan sebesar 10% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi
sekitar 19%. Dengan kata lain penelitian yang menggunakan OLS multivariate
dengan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi dan jumlah penduduk
tersebut mendukung argumen bahwa inflasi berdampak negatif terhadap
perekonomian. Hasil berbeda ditunjukkan Hussain dan Malik di tahun 2011.
Berdasarkan uji error correction model, disimpulkan bahwa ada hubungan positif
dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Pakistan selama 1960 hingga
2006.
Dalam studi yang menggunakan observasi beberapa negara, Indonesia telah
dilibatkan sebagai salah satu sampel, misalnya Fischer (1993), Barro (1995a),
Sepehri dan Moshiri (2004), Li (2006), Rousseau dan Yilmazkuday (2009) serta
Yeh (2012) yang seluruhnya menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Liwan dan Lau (2007) menyimpulkan inflasi
akan mendorong tumbuhnya ekonomi. Sementara Dorrance (1963) atau Jung dan
Marshall (1986), justru tidak menemukan bukti yang kuat adanya hubungan dari
kedua variabel tersebut.
Penelitian tentang inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik
mengambil kasus Indonesia masih sangat terbatas. Walaupun demikian, ada satu

13
kajian yang cukup populer yaitu “Indonesia's Monetary Policy Dilemma:
Constraints of Inflation Targeting” oleh Chowdhury dan Siregar di tahun 2004.
Melalui uji kausalitas Granger, ditemukan bahwa ada hubungan timbal balik
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis lebih lanjut dengan
bivariate vector autoregressions menunjukkan shock satu standar deviasi terhadap
inflasi tidak memberikan efek yang besar pada pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi
di Indonesia tidak terlalu signifikan (beberapa periode berpengaruh negatif, positif
dan netral).
Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan beberapa uji hubungan linear seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, disimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif ataupun negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangannya, para ekonom
menyatakan dampak buruk inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi hanya terjadi
ketika angka inflasi tersebut tinggi. Sementara bila inflasi masih tergolong rendah
justru bisa mendorong tumbuhnya ekonomi. Meskipun demikian, belum ada
kesepakatan pada level berapa inflasi dikatakan rendah dan pada level berapa
inflasi disebut tinggi. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencari titik
optimal/ambang batas (threshold) inflasi melalui uji hubungan taklinear.
Deteksi kemungkinan munculnya hubungan taklinear antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi telah diawali oleh Stanley Fischer pada tahun 1993.
Dengan pendekatan spline regressions pada data 93 negara maju dan berkembang
dari tahun 1965 hingga 1990, dibuktikan bahwa inflasi tinggi (di atas 40%)
memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan inflasi rendah. Dalam
penelitian tersebut nilai threshold ditentukan secara arbitrase yaitu 15% dan 40%.
Tiga variabel dependen yang digunakan meliputi pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan investasi dan total produktivitas. Sedangkan enam indikator yang
berfungsi sebagai variabel independen terdiri dari inflasi rendah (kurang dari
15%), inflasi moderat (antara 15% dan 40%), inflasi tinggi (di atas 40%), defisit
fiskal, terms of trade, dan the black market premium.
Barro (1995b) dalam makalah yang berjudul “Inflation and Economic
Growth” menyimpulkan inflasi akan berpengaruh negatif dan signifikan ketika
nilainya melebihi 40% (sama seperti Fischer, nilai threshold ditetapkan 15% dan
40%). Data 78-89 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 sampai dengan
19909 digunakan sebagai obyek penelitian. Dengan metode 3SLS instrumental
variable, Barro meregresikan pertumbuhan ekonomi, inflasi, variabilitas inflasi,
partisipasi sekolah menurut jenis kelamin, angka harapan hidup, modal manusia,
angka kelahiran, rasio investasi terhadap PDB, rasio pengeluaran pemerintah
terhadap PDB, rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB, the black market
premium, indeks kepastian hukum, pertumbuhan terms of trade, indeks demokrasi
dan indeks demokrasi dikuadatkan.
Bruno dan Easterly (1995) juga mendapatkan nilai threshold di 127 negara
maju dan berkembang sebesar 40%. Alat analisis yang digunakan berupa pooled
panel regressions, dengan variabel pertumbuhan PDB perkapita, inflasi dan
deviasi pertumbuhan PDB perkapita dari rata-rata PDB perkapita dunia.
9

Barro membagi periode penelitian menjadi tiga dan disesuaikan dengan ketersediaan data, yaitu
1965-1975 (78 negara), 1975-1985 (89 negara) dan 1985-1990 (84 negara)

14
Judson dan Orphanides (1996) menggunakan panel spline regressions untuk
menemukan titik optimal inflasi di 142 negara maju dan berkembang. Dengan
beberapa variabel seperti pertumbuhan PDB perkapita, inflasi rendah (kurang dari
10%), inflasi sedang (antara 10% dan 40%,) inflasi tinggi (lebih dari 40%),
logaritma rasio investasi terhadap PDB, logaritma standar deviasi inflasi rendah
(kurang dari 0.05), logaritma standar deviasi inflasi sedang (antara 0.05 dan 0.10),
serta logaritma standar deviasi inflasi tinggi (lebih dari 0.10), dua ekonom ini
menyatakan inflasi masih relatif aman bila nilainya kurang dari 10%. Sebagai
informasi, periode penelitian dimulai dari tahun 1959 hingga 1992.
Sarel (1996), melalui OLS mengidentifikasi nilai structural break inflasi di
87 negara maju dan berkembang mulai tahun 1970 sampai 1990 (20 series data
dibagi menjadi 4 periode). Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan
ekonomi, inflasi, ekstra inflasi, terms of trade, nilai tukar riil, pengeluaran
pemerintah, serta investasi. Prosedur pemilihan nilai structural break didasarkan
pada dummy ekstra inflasi yang memaksimumkan besaran R2 atau
meminimumkan RSS. Dari uji coba beberapa kandidat, akhirnya diperoleh angka
structural break 8%.
Pada tahun 2001, Khan dan Senhadji menerapkan uji panel conditional least
square untuk mencari nilai threshold inflasi di 140 negara maju dan berkembang
selama 1960 sampai dengan 1998. Variabel yang diambil terdiri dari pertumbuhan
ekonomi, inflasi (untuk menjaga normalitas, Khan dan Senhadji menggunakan
logaritma inflasi), rasio investasi terhadap PDB, pertumbuhan penduduk,
pendapatan perkapita awal tahun (karena seluruh data observasi dirata-rata
menjadi lima tahunan) dan pertumbuhan terms of trade. Uji coba threshold inflasi
dimulai dari angka 1% hingga 100% (kecuali negara maju, maksimal 30%), yang
kemudian dipilih berdasarkan nilai RSS paling minimum. Kesimpulan yang
diperoleh adalah, untuk seluruh sampel nilai threshold inflasi sebesar 11%. Di
negara maju, titik inflasi optimal berada di angka 1-3%. Sementara bagi negara
berkembang nilai threshold inflasi berkisar 11% sampai 12 %.
Sepehri dan Moshiri (2004) mencari threshold inflasi di 92 maju dan
berkembang dari tahun 1960 sampai dengan 1996. Dalam penelitian ini, Sepehri
dan Moshiri mengelompokkan sampel menjadi empat, yaitu OECD, negara
berpendapatan menengah atas, negara berpendapatan menengah bawah dan negara
berpendapatan rendah. Variabel yang digunakan terdiri dari inflasi, pertumbuhan
ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi sekolah, pertumbuhan
penduduk, ekspor dan defisit anggaran. Melalui analisis panel spline regressions
ditemukan bahwa threshold inflasi di negara berpendapatan menengah atas
sebesar 4%, di negara berpendapatan menengah bawah 15% dan di negara
berpendapatan rendah sebesar 21%. Sementara di negara yang tergabung dalam
OECD tidak ditemukan nilai threshold.
Li (2006) mengadopsi metode Khan dan Senhadji (2001) untuk mendeteksi
titik optimal inflasi (pistar) di 117 negara. Model yang dianalisis ada dua, pertama
growth equation dengan sampel 27 negara maju dan 90 negara berkembang mulai
tahun 1961 hingga 2004. Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan PDB,
inflasi, PMTB, PDB perkapita awal tahun, pengeluaran pemerintah serta terms of
trade. Model kedua growth accounting equation, yang meliputi 27 negara maju
(1961-2004) dan 63 negara berkembang (1961-1990), dengan variabel
pertumbuhan PDB, inflasi, total faktor produktivitas (TFP) dan pertumbuhan

15
angkatan kerja. Kesimpulan Li adalah titik optimal inflasi (pistar) di seluruh
negara sampel dan di negara berkembang berada pada angka yang sama yaitu
14% dan 38%. Sedangkan titik optimal inflasi (pistar) di negara maju sebesar
24%.
Rousseau dan Yilmazkuday (2009) menemukan nilai threshold inflasi di 84
negara maju dan berkembang berada di antara 4% dan 19%. Alat analisis yang
digunakan berupa TSLS instrumental variable dan pendekatan grafik trilateral
dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan ekonomi, angka partisipasi sekolah
sekunder, pengeluaran pemerintah, derajat keterbukaan ekonomi serta jumlah
uang beredar (M1 dan M3). Periode penelitian mulai dari 1960 hingga 2004.
Kremer et al. (2012) mengidentifikasi nilai threshold inflasi di 124 negara
maju dan berkembang mulai tahun 1950 sampai 2004. Metode yang digunakan
berupa regresi panel dinamis, dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan
ekonomi, investasi, term of trade, pertumbuhan penduduk, PDB perkapita awal
tahun serta derajat keterbukaan ekonomi. Hasil yang didapat adalah nilai
threshold inflasi di negara maju sebesar 2%, sementara untuk negara berkembang
sebesar 17%.
Studi threshold inflasi untuk kasus satu negara bisa dikatakan sangat
terbatas. Pada umumnya studi-studi tersebut mengambil sampel negara
berkembang (Morrar 2011).
Kannan dan Joshi (1998) mengawali studi threshold inflasi di India
(1981/1982-1995/1996). Variabel yang digunakan terdiri dari IHPB, pertumbuhan
ekonomi, pertumbuhan sektor pertanian, terms of trade serta investasi. Prosedur
pencarian nilai threshold dan alat analisis mengacu pada Sarel (1996).
Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi berdampak negatif dan signifi