Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam

PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh
IZZAH FAUZIAH
NIM 109011000140

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M / 1435 H

ABSTRAK
Izzah Fauziah, NIM : 109011000140, Pemikiran Syed Muhammad
Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam

Masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak akan pernah tuntas
diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan pernah diperoleh
solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan umat Islam dengan
jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola kehidupan masingmasing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah dikemukakan oleh
para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep tersebut, yang
sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pandangan
hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Salah satu tokoh pendidikan
Islam yang merumuskan pendidikan Islam adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Peneliti mengangkat tokoh ini, karena beliau adalah salah seorang intelektual Muslim
yang memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan Islam. Adapun fokus dari
penelitian ini adalah apa saja pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
pendidikan Islam dan relevansinya pada era sekarang? Sedangkan tujuan penelitian
ini ialah untuk mengetahui dan mengkaji pendidikan Islam menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan library research
yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber yang
relevan. Dalam hal ini mencakup buku-buku, internet, dan hasil penelitian yang
terkait dengan judul karya ilmiah ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut pandangan Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, pendidikan Islam adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri

manusia. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan
dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir
pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik. “Baik” dalam konsep
manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang
dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena
dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi
seorang manusia yang baik. Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed
Muhammad Naquib Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna
dari sistem pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas
merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang
dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan
pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau
Sempurna (al-insanul kamil :

‫)اانسان الكامل‬.

Maka dari itu, pendidikan Islam

membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan yang mampu membina manusia
sempurna.


i

KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim...
Alhamdulillahi rabbil „alamin. Segala puji syukur, penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, taufiq dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas” diajukan dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu (S1) Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya berkat
adanya bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang ada hubungannya
dengan pembahasan judul skripsi ini. Maka pada kesempatan kali ini, penulis dengan
setulus hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Hj. Nurlena Rifa‟i, MA, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam
kelancaram perkuliahan.

2. Bpk. Drs. Abdul Majid Khon, MA selaku Ketua Jurusan (Kajur) Pendidikan
Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku Sekretaris Jurusan
(Sekjur) Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis.
3. Bpk. Prof. Dr. Ahmad Syafi‟ie Noor selaku Dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan nasehat dan motivasi penulis agar menyelesaikan skripsi ini
tepat pada waktunya.
4. Bpk. Ahmad Irfan Mufid, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktu, memberikan arahan dan bimbingan agar penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.

ii

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya selama
perkuliahan berlangsung. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu Dosen beri kepada
penulis selalu bermanfaat. Amiin Ya Rabbal „Alamin.
6. Pimpinan dan seluruh staff karyawan/i Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan yang baik dalam hal
peminjaman dan pengembalian buku kepada penulis.
7. Ayahanda (Bpk. Wasito, S.Ag) dan Ibunda (Ibu Muzdalifah) yang selalu

memberikan motivasi, bimbingan, arahan baik berupa materi maupun non-materi
hingga terselesaikannya skripsi ini. Skripsi penulis persembahkan untuk ayahanda
dan ibunda.
8. Adik-adik tercinta Muhammad Khothif Arham dan Muhammad Faiq Ammar
yang selalu memberikan motivasi agar penulis selalu semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Kawan-kawan tercinta PAI angkatan thn. 2009 khususnya kelas D dan TH yang
selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga telah
turut memberikan motivasi agar penulis menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Harapan penulis, semoga hasil pembahasan dalam skripsi ini akan bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya serta mendapat ridha
Allah SWT.
Segala kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini mohon dimaklumi, segala
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati, demi
kebaikan dan kebenaran. Semoga Allah SWT. berkenan mengampuni dosa dan
kesalahan kita. Amiin Ya Rabbal „Alamin..
Hormat penulis,


(Izzah Fauziah)
iii

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR KARYA SENDIRI
ABSTRAK

i

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah


1

B. Identifikasi Masalah

6

C. Pembatasan Masalah

6

D. Perumusan Masalah

7

E. Tujuan Penelitian

7

F. Kegunaan Penelitian


7

BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam

9

2. Tujuan Pendidikan Islam

21

3. Fungsi Pendidikan Islam

29

4. Kurikulum Pendidikan Islam

32


5. Metodologi Pendidikan Islam

35

B. Pemikiran Pendidikan Islam

37

C. Hasil Penelitian yang Relevan

38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian

40
iv

B. Metode Penelitian


41

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

42

D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data

44

E. Analisis Data

44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas
1. Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas

45


2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad
Naquib Al-Attas

46

3. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas

49

B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Islam

55

2. Pengertian Pendidikan Islam “Ta’dib”

58

3. Pengertian Pendidikan Islam “Tarbiyah”

61

4. Tujuan Pendidikan Islam

65

5. Sistem Pendidikan dalam Islam

67

6. Kurikulum Pendidikan Islam

69

7. Metode Pendidikan Islam

76

8. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
Pendidikan Islam dan Relevansinya pada Era Sekarang

77

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan

79

B. Saran

80

DAFTAR PUSTAKA

81

LAMPIRAN-LAMPIRAN

v

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang universal. Yang mengajarkan kepada umat
manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu diantara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat
Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan
adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi
untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan
untuk bekal dan kehidupannya.1
Menurut Islam, pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan
hidup seseorang. Oleh karena itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan
merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan
berlangsung seumur hidup – semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al-Hadis) –
life long education.2

1
2

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet ke-5, h. 98
Zuhairini, op.cit., h. 1

1

2

Apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang pertama kali diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan
perlunya orang belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan.
Firman Allah dalam Surat Al-„Alaq ayat 1-5 :

ِ
ِ
ِ ‫ خلَق‬. ‫ك ال ِذى خلَق‬
‫ َعل َم‬. ‫ ال ِذي َعل َم بِالْ َقلَ ِم‬. ‫ك ااَ ْكَرُم‬
َ ‫ اقْ َرأْ َوَرب‬. ‫اانْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق‬
َ ‫اس ِم رب‬
َ َ َ َ
ْ ِ‫اقْ َرأْ ب‬
ِ
.‫اانْ َسا َن َما ََْ يَ ْعلَ ْم‬
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada apa yang
tidak ketahui. (QS. Al-„Alaq : 1-5)
Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa agama Islam mendorong umatnya agar
menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan.3
Pendidikan merupakan disiplin ilmu yang di dalamnya mengandung berbagai
dimensi. Seperti dimensi manusia sebagai subyek atau pelaku pendidikan (baik
berstatus sebagai pendidik atau peserta didik), maupun dimensi landasan, tujuan,
materi atau kurikulum, metodologi, dan dimensi institusi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dimensi-dimensi tersebut merupakan faktor penting yang mendukung
keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan pendidikan, dan masing-masing dimensi ini
memiliki paradigma fungsional sendiri-sendiri dan saling terkait untuk bersinergi
dalam sebuah sistem pendidikan.4
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa:
Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan,
sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk
disiplin ilmu. Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa bagaimanapun
sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya pendidikan.
3

Ibid., h. 99
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press), cet ke-1, h.
iii-iv
4

3

Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan
ditentukan aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami
sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.5
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, karena
pendidikan Islam berorientasi dalam memberikan bekal kepada manusia untuk
mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan
menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan generasi sejalan dengan tuntutan
masyarakat.
Semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya
dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal,
agar manusia tidak hanya menginginkan kebahagiaan hidup setelah mati
(eskatologis), namun kebahagiaan di duniapun bisa diraihnya.
Pada kehidupan masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup
yang makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan,
melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoretis dan praktis
berdasarkan konsep-konsep berpikir ilmiah.6
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola
pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada
aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai
akumulasi dari respon dari sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap
adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah
pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak
modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya
lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis,
apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai
kehilangan ruh-ruh mendasarnya.7
5

Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. ke-2, h. 67
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 2
7
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi
Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 6
6

4

Pada dasarnya, pendidikan dalam perspektif Islam berupaya untuk
mengembangkan

seluruh potensi peserta didik seoptimal mungkin, baik yang

menyangkut aspek jasmaniah, maupun rohaniah, akal dan akhlak. Dengan
optimalisasi seluruh potensi

yang dimiliknya, pendidikan Islam berupaya

mengantarkan peserta didik ke arah kedewasaan pribadi secara paripurna, yaitu yang
beriman dan berilmu pengetahuan.8
Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala
potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh, dan terbaik di antara makhluk
lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar fisik, tetapi lebih jauh dari
itu, manusia memiliki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut
memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi
diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis,
atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.9
Seperti diketahui, masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak
akan pernah tuntas diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan
pernah diperoleh solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan
umat Islam dengan jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola
kehidupan masing-masing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah
dikemukakan oleh para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep
tersebut, yang sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi
oleh pandangan hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Tetapi ada
kesan kuat bahwa dalam satu hal mereka sepakat, bahwa pendidikan Islam harus
bertujuan memberikan bekal dan pengembangan potensi keimanan, keislaman dan
keihsanan. Selain itu, agar pendidikan Islam tidak mengabaikan pengembangan
potensi jasmani, „aqal, dan qalbunya secara seimbang dan integral, agar dia memiliki
8

Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),
cet ke-1, h. vii
9
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1, h. 1

5

kesiapan menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri dan penuh tanggung
jawab.10
Sejarah memang mencatat bahwa peradaban Islam pernah menikmati posisi
sebagai kiblat ilmu pengetahuan dunia, dan masa keemasan tersebut diperkirakan
dinikmati umat Islam sekitar abad ke-7 hingga ke-15. Setelah itu masa-masa tersebut
kejayaan peradaban ilmiah Islam mulai melayu dan statis, kalau tidak lebih tepat
dikatakan „mundur‟, dan kemunduran itu berlanjut hingga abad ke-21 ini.11
Dunia Islam akhir-akhir ini tengah mengadapi berbagai permasalahan seputar
krisis pendidikan Islam. Masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana
dunia itu menghadapi tantangan ini. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan
pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan
kehidupan umat Islam.
Dari sudut pandang Islam, pendidikan menduduki posisi sangat urgen dan
prinsipil. Karena pendidikan merupakan sesuatu yang sangat inheren dalam
kehidupan umat manusia.12 Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitif),
yang berlangsung ketika manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang
serba sederhana serta konsep tujuan yang amat terbatas pada hal-hal yang bersifat
survival (pertahanan hidup terhadap ancaman alam sekitar), sampai pada bentuk
pendidikan yang sarat dengan metode, tujuan, serta model pendidikan yang sesuai
dengan masyarakat saat ini.13
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk
membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah
bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu
berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan,
10

Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. v
11
Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), cet. ke1, h. vii
12
Mohammad Tidjani Djauhari, Pendidikan untuk Kebangkitan Islam, (Jakarta: TAJ, 2008), cet.
ke-1, h. 48
13
Arifin, op.cit., h. 1

6

kebodohan, dan keterbelakangan budaya dan ekonomi. Kandungan materi pelajaran
dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat
ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan
yang masih bersifat dikotomis, yakni pemilahan antara pendidikan agama dan
pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.14
Menindaklanjuti masalah ini, salah satu tokoh pendidikan Islam yang sangat
peduli terhadap eksistensi pendidikan Islam kontemporer, Syed Muhammad Naquib
Al-Attas yang berdedukasi dipertengahan abad ke-20, merupakan otoritas yang
sangat berpengaruh pada kebijakan Islam Melayu bahkan dunia internasional. AlAttas bukan hanya seorang ideator ulung maupun hanya teoritis semata, namun AlAttas telah merealisasikan dalam penerapan gagasan dan idenya pada Universitas
(ISTAC) dan sukses dengan hasil yang patut dibanggakan.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis termotivasi untuk menyusun
sebuah skripsi dengan judul “Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas
tentang Pendidikan Islam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat
diidentifikasikan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Terdapat banyak perbedaan terhadap konsep pendidikan Islam
2. Perlu dirumuskan konsep pendidikan Islam yang ideal, sehingga dapat
menjawab kekurangan pada pendidikan Islam yang telah diterapkan selama
ini.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang ada, terbatasnya waktu, biaya yang
diperlukan dan kemampuan berfikir penulis yang masih sangat terbatas, maka penulis
14

Moh. Shofan, op.cit., h. 5-6

7

perlu membatasi masalah agar lebih terarah dan tidak menimbulkan kekeliruan dalam
pemahamannya.
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini tentang:
1. Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga,
pendidikan dan pengalaman serta karya – karyanya.
2. Menguraikan konsep pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib AlAttas.
D. Perumusan Masalah
Dengan adanya pembatasan masalah di atas, penulis akan berusaha untuk
menjawab permasalahan tentang:
1. Bagaimana pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan
Islam?
2. Apa relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
pendidikan Islam pada era sekarang?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan
Islam.
2. Mengeksplorasi relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas
tentang pendidikan Islam pada era sekarang.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi di dunia
pendidikan pada umumnya, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, dan peneliti
khususnya. Dengan adanya penelitian ini, terdapat kegunaan bagi:

8

1. Masyarakat sebagai tambahan bahan informasi tentang pemikiran Syed
Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam.
2. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama untuk ditindaklanjuti
dan dikembangkan lebih jauh tentang pemikiran Syed Muhammad Naquib AlAttas tentang pendidikan Islam.
3. Peneliti sendiri agar memperoleh wawasan yang cukup luas dalam mengkaji,
menemukan dan menganalisa pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas
tentang pendidikan Islam.

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata didik yang
mendapat awalan pen- dan akiran –an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya)
mendidik.1 Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu
kepada cara melakukan sesuatu perbuatan dalam hal ini mendidik. Selain kata
pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata pengajaran. Kata ini
sebagaimana dijelaskan Poerwadarminta adalah cara (perbuatan dan sebagainya)
mengajar atau mengajarkan. Kata lain yang serumpun dengan kata tersebut adalah
mengajar yang berarti memberi pengetahuan dan pelajaran.

1

Js. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), cet ke-1, h. 342

9

10

Kata pendidikan selanjutnya sering digunakan untuk menerjemahkan kata
education

dalam

bahasa

Inggris.

Sedangkan

pengajaran

digunakan

untuk

menerjemahkan kata teaching juga dalam bahasa Inggris.
Jika pengertian secara semantik (kebahasaan) dari kata pendidikan,
pengajaran (education atau teaching) sebagaimana disebutkan di atas diperhatikan
secara seksama, nampak bahwa kata tersebut lebih menunjukkan pada suatu kegiatan
atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem,
dan metode yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran. 2
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia
menjadi dewasa.3 Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan
oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat
hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.4
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain, pendidikan tidak
hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan
bukan sifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal.5
Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan. Atau lebih jelas lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan

2

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, h. 4-5
Dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis,
psikologis, paedagogis, dan sosiologis.
4
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1
5
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet ke-3, h. 149
3

11

sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan
rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.6
Dari pengertian pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam mempengaruhi
orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan manusia seutuhnya, baik lahir
maupun bathin. Artinya, dengan pendidikan, manusia bisa memiliki kesetabilan
dalam tingkah laku atau tindakan, kesetabilan dalam pandangan hidup dan
kesetabilan dalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7
Di Indonesia, menurut UU No. 20 Th. 2003 dalam Hasbullah menyatakan
bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar

dan proses pembelajaran

agar

peserta

didik secara

aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” 8
Pengertian pendidikan saat ini sudah sangat beragam, sehingga banyak sekali
pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri. Bukan hanya para
pakar yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri, namun Islam (agama yang diridhai
oleh Allah SWT) mampu mendefinisikan pendidikan.
Pendidikan dalam Islam memiliki tiga istilah dalam bahasa Arab yaitu attarbiyah, at-ta’lim, dan at-ta’dib. Dari ketiga istilah ini, kata at-tarbiyah sering kali
digunakan pada saat ini. Namun kata at-ta’lim dan at-ta’dib jarang sekali digunakan,
padahal kata at-ta’lim dan at-ta’dib ini sudah ada pada awal pertumbuhan pendidikan
Islam.9

6

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
t.t), h. 10
7
Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), cet
ke-1, h. 33
8
Hasbullah, op.cit., h. 4
9
Zuhairini, op.cit., h. 120

12

Istilah tarbiyah berakar dari tiga kata, yakni pertama dari kata rabba – yarbu
yang berarti “bertambah dan tumbuh”, kedua kata rabiya – yarba yang berarti
“tumbuh dan berkembang”, dan ketiga kata rabba – yarubbu yang berarti
“memperbaiki, menguasai, dan memimpin, menjaga dan memelihara”. Kata al-Rabb,
juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti “mengantarkan sesuatu kepada
kesempurnaan” secara bertahap atau membuat sesuatu mencapai kesempurnaannya
secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur. 10
Kata pendidikan, yang dalam bahasa Inggris ”education” dalam bahasa Arab
(bahasa persatuan Islam) disebut “tarbiyah”. Kata tarbiyah, berasal dari kata dasar
“rabba – yurabbi – tarbiyah (‫تَربيية‬

َ ْ - ِْ ‫”) َرَِ – ي َري‬

yang berarti tumbuh dan

berkembang (Al-Munjid). Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, terdapat penjelasan sebagai
berikut:

‫اْل يقيَ ية‬
ْ ‫َوَربَا َيى ق َوا الَ َس يديَية َوالْ َع ْقلييَ ية َو‬

“Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, akliah (akal) serta
akhlak (budi pekerti)”. 11
Abdurrahman al-Nahlawi yang menggunakan kata Tarbiyah dalam arti
pendidikan berpendapat bahwa istilah tarbiyah berarti :
a. Memelihara fitrah anak.
b. Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya.
c. Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan
sempurna.
d. Bertahap dalam prosesnya.

Berdasarkan pengertian pendidikan di atas, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan Tarbiyah adalah :
a. Pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan target.
10

Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi
Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 38
11
Zuhairini, op.cit., h. 120-121

13

b. Pendidik yang sebenarnya adalah Allah, karena Dialah yang
menciptakan fitrah dan bakat manusia. Dialah yang membuat dan
memberlakukan hukum-hukum perkembangan serta bagaimana fitrah
dan bakat itu berinteraksi. Dialah pula yang menggariskan syariat untuk
mewujudkan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaannya.
c. Pendidikan menghendaki penyusunan langkah-langkah sistematis yang
harus didahului secara bertahap oleh berbagai kegiatan dan pengajaran.
12

Tarbiyah dimaknai sebagai proses penanaman etika yang dimulai pada jiwa
anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia
memiliki potensi–potensi dan kompetensi–kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat
membuahkan sifat–sifat bijak, baik, cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah
airnya.13
Dari beberapa istilah di atas dapat disimpulkan bahwa kata tarbiyah berarti
upaya memelihara, mengurus, mengatur, dan memperbaiki sesuatu atau potensi atau
fitrah manusia yang sudah ada sejak lahir agar tumbuh dan berkembang menjadi
dewasa atau sempurna.14
Dalam pengertian tarbiyah ini, terdapat lima kata kunci yang dapat dianalisis :
a. Menyampaikan (al-tabligh). Pendidikan dipandang sebagai usaha
penyampaian, pemindahan, dan transformasi dari orang yang tahu
(pendidik) pada orang yang tidak tahu (peserta didik) dan dari orang
dewasa pada orang yang belum dewasa.
b. Sesuatu (asy-syay’). Maksud dari “sesuatu” di sini adalah kebudayaan,
baik material maupun non-material (ilmu pengetahuan, seni, estetik,
etika, dan lain-lain) yang harus dketahui dan diinternalisasikan oleh
peserta didik.
12

Moh. Shofan, op.cit., h. 40-41
Rois Mahfud, Al-Islam : Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 144
14
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 21
13

14

c. Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi). Maksudnya adalah
bahwa proses pendidikan itu berlangsung terus–menerus tanpa henti,
sehingga peserta didik memperoleh kesempurnaan, baik dalam
pembentukan karakter dengan nilai – nilai tertentu maupun memiliki
kompetensi tertentu dengan ilmu pengetahuan.
d. Tahap demi tahap (syay’ fa syay’). Maksudnya, transformasi ilmu
pengetahuan dan nilai dilakukan dengan berjenjang menurut tingkat
kedewasaan peserta didik, baik secara biologis, psikologis, sosial
maupun spiritual.
e. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti’dadihi). Maksudnya, dalam
proses transformasi pengetahuan dan nilai itu harus mengetahui tingkat
peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi
dan sebagainya, agar dalam tarbiyah itu ia tidak mengalami kesulitan. 15
At – ta’lim secara etimologis berasal dari kata kerja „allama yang berarti
“mengajar”. Jadi makna ta’lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa
Arab dinyatakan tarbiyah wa ta’lim berarti “Pendidikan dan Pengajaran”, sedangkan
pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al–Tarbiyah al-Islamiyah”. Kata ta’lim
dengan kata kerja „allama juga sudah digunakan pada zaman Nabi, baik di dalam AlQur‟an maupun Hadis serta pemakaian sehari-hari pada masa dulu lebih sering
digunakan dari pada tarbiyah. Kata „allama memberi pengertian sekedar memberi
tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian,
karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang
disebabkan pemberian pengetahuan. 16
Kata ta’lim adalah isim mashdar dari „allama – yu’allimu – ta’liiman.
Menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Abudin Nata menyebutkan bahwa:
Kata al-ta’lim adalah al-tanbih al-nafs littashawur al-ma’aniy yang artinya
memperingatkan jiwa untuk menggambarkan berbagai pengertian. Sedangkan kata at15

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke-2,

h. 14
16

Moh. Shofan, op.cit., h. 41-42

15

ta’allum berarti proses mengingatkan jiwa dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran tentang berbagai makna. Kata ta’lim terkadang digunakan juga untuk
pengertian memberitahukan, jika penggunaan kata ta’lim tersebut dilakukan secara
berulang-ulang.17
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan “proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.” Pengertian ini didasarkan atas firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah
ayat 31 tentang „allama Tuhan kepada Nabi Adam as. Proses transmisi itu dilakukan
secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma’
(nama - nama) yang diajarkan oleh Allah kepadanya.18
Penunjukkan kata al-ta’liim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan
firman Allah SWT. :

‫ال أَنْبئ يون بياَ ْْ ياء هؤاَيء اي ْن كْتم ي ي‬
‫ي ي‬
: ‫ن (البقرة‬
ْ ‫َو َعلَ َم ءَ َاد َم اأ‬
َ ‫ََْاءَ كلَ َها َُ َعَر‬
َ ْ ‫صادق‬
َ َ ْ َ َ ‫ضه ْم َعلَى الْ َماَئ َكة فَ َق‬
َ ْ
)۱۳

“Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Allah berkata
kepada malaikat : ”Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama semua itu, jika kamu
besar”. (QS. Al-Baqarah : 31) 19

Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara eksplisit kata “ta’lim”. Rasyid Ridha
dalam Asrorun Niam Sholeh mendefinisikan:
“Al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan kepada jiwa
individu tanpa adanya batasan dan ketentuan. Muhammad Naquib Al-Attas
mengartikan

ta’lim

dengan

“pengajaran

tanpa

pengenalan

secara

mendasar”.”20
Istilah ta’lim merupakan bagian kecil dari tarbiyah al–aqliyah yang bertujuan
memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada

17

Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 93
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 19
19
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), cet ke-1, h. 87
20
Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam : Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali
dalam Konteks Kekinian, (Jakarta: ELSAS Jakarta, 2008), cet ke-6, h. 94
18

16

dominan kognitif. Sebaliknya at – tarbiyah tidak hanya mencakup domain kognitif,
tetapi juga domain afektif dan psikomotorik.21
Kata ta’diib merupakan mashdar dari addaba – yuaddibu – ta’diiban (

– ‫أَ َد َب‬

‫ تَأْ يديْبًا‬- ‫ )ياَيدب‬yang dapat diartikan kepada proses pendidik yang lebih tertuju pada
pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata
ta’diib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.
Pengertian ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW. :

)‫َح َس َن تَأْ يديْيب (احديث‬
ْ ‫َدبَيِ َريِ فَأ‬

“Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (Al-Hadits)22

Proses ta’dib harus didasarkan pada komitmen kuat untuk membangun
moralitas manusia dan dimulai diri sendiri. Dalam ta’dib, seorang pendidik harus
selalu sadar bahwa proses ta’dib tidak pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut
campur dengan mengarahkan langkah pendidik.23
Ta’dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama) terbagi atas
empat macam :
a. Ta’dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran,
yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di
dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang
dengannya segala sesuatu diciptakan.
b. Ta’dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam
pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi kepada
sang Raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang pantas.
c. Ta’dib adab al-syari’ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syari‟a,
yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala
21

Rois Mahfud, op.cit., h. 144
Samsul Nizar, op.cit., h. 90
23
Asrorun Niam Sholeh, op.cit., h. 95
22

17

pemenuhan syari‟ah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang
mulia.
d. Ta’dib adab al-shuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam
persahabata, berupa saling menghormati dan berprilaku mulia di antara
sesama.24
Sedangkan istilah ta’dib menurut Daud (1987) dalam Rois Mahfud
menyatakan bahwa
“Ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur–angsur
ditanamkan kepada manusia tentang tempat–tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa untuk membimbing
manusia ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan
di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.”25
Hasil Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua tahun 1980 di Islamabad,
Pakistan, merumuskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk
mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual,
imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual maupun kolektif menuju ke
arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.26
Menurut Dr. Muhammad Fadil Al-Djamaly dalam Muzayyin Arifin
menyatakan:
“Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada yang
baik dan yang mengangkat derajat kemanusiannya sesuai dengan kemampuan
dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).”27
Arifin dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner mengemukakan bahwa hakikat pendidikan
Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan
dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak
24

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 20-21
Rois Mahfud, op.cit., h. 144
26
A. Fatah Yasin, op.cit., h. 24
27
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet ke-5, h. 17-18

25

18

didik

melalui

ajaran

perkembangannya.

Islam

ke

arah

titik

maksimal

pertumbuhan

dan

28

Sedangkan menurut Armai Arief, pendidikan Islam adalah suatu proses
penanaman nilai-nilai Islam melalui pengajaran, bimbingan dan latihan yang
dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab dalam rangka pembentukan,
pembinaan, pendayagunaan, dan pengembangan pikir, zikir, dan kreasi manusia,
sehingga

terbentuk

pribadi

muslim

sejati,

yang

mampu

mengembangkan

kehidupannya dengan penuh tanggung jawab dalam rangka beribadah kepada Allah
SWT. untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 29
Dari pengertian ini nampak penekanannya kepada usaha membimbing
pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik ke tingkat
maksimal. Dalam pengertian ini terkandung makna usaha orang dewasa muslim yang
sadar (pendidik muslim), melalui ajaran Islam, menuju titik maksimal pertumbuhan
dan perkembangannya (sebagai tujuan pendidikan).30
Pendidikan Islam, sebelumnya hanya dipersepsi sebagai materi, sekarang
persepsi umat telah berubah, pendidikan Islam tidak hanya dipersepsi sebagai materi,
tetapi juga sebagai institusi, sebagai kultur dan aktivitas, dan sebagai sistem. Inilah
yang sekarang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah yang secara operasional
mengatur pelaksanaan undang-undang tersebut. Dengan demikian, maka penyebutan
istilah “Pendidikan Islam” bisa mencakup empat persepsi tersebut: pertama,
pendidikan Islam dalam pengertian materi; kedua, pendidikan Islam dalam pengertian
institusi; ketiga, pendidikan Islam dalam pengertian kultur dan aktivitas; keempat,
pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan Islam yang islami.
Pendidikan Islam menurut pengertian yang pertama, (pendidikan Islam dalam
pengertian materi), maka yang dimaksud pendidikan
28

Islam adalah “materi

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 22
29
Armai Arief, op.cit., h. 36
30
Moh. Shofan, op.cit., h. 51-52

19

Pendidikan Agama Islam (PAI)” yang wajib diberikan di semua jenis, bentuk, dan
jenjang pendidikan, baik di sekolah (SD, SMP, SMA, SMK, dan/atau yang sederajat),
di Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, MAK,
dan/atau yang sederajat), dan di Madrasah Diniyah (Ula, Wustha dan „Ulya), karena
sesuai dengan penegasan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa PAI adalah isi kurikulum yang wajib diajarkan di setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan. Perbedaan pokok antara materi PAI di Sekolah, di Sekolah
Umum Berciri Khas Islam, dan di Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut: kalau di
Sekolah, PAI merupakan mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak (dengan sub mata pelajaran atau unsur pokok keimanan, ibadah, Al-Qur‟an hadis, akhlak, mu‟amalah, syari‟ah, dan tarikh) dengan satu silabi, sedang di
Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam, PAI merupakan satu kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak (terdiri dari Qur‟an, Hadis, Fikih, Akidah Akhlak,
SKI, dan bahasa Arab) dan setiap mata pelajaran memiliki silabi tersendiri.
Selanjutnya, di Madrasah Diniyah PAI menjadi materi inti dan tujuan institusional
lembaga adalah dalam rangka tafaqquh fiddin. Di Madrasah Diniyah ada variasi lagi,
kalau di Madrasah Salafiyah menggunakan referensi kitab kuning, sedang di Diniyah
Takmiliyah PAI bersifat pelengkap bagi peningkatan kompetensi keagamaan siswa
yang sedang belajar di Sekolah atau Sekolah Umum Berciri Khas Islam.
Pendidikan Islam menurut pengertian yang kedua, (pendidikan Islam dalam
pengertian institusi), maka yang dimaksud pendidikan Islam adalah institusi-institusi
pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai
sekolah umum berciri khas Islam, dan sebagainya. Berkembangnya bentuk institusi
pendidikan Islam seperti pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai
sekolah umum berciri khas Islam dan sekolah Islam itu, selain telah menunjukkan
keagamaan visi-misi perjuangan, sekaligus menunjukkan belum adanya grand design
sistem kelambagaan pendidikan Islam. Karena itu, rekonstruksi sistem kelembagaan
sangat diperlukan agar muncul ghirah yang bisa menginisiasi format institusi
pendidikan Islam yang mampu mengatur dan mensintesakan berbagai bentuk

20

kelembagaan itu dalam sebuah kelembagaan yang integral, sistemik, dan holistik
serta mampu menjelma sebagai ”magnet school”, yakni lembaga yang mampu
menyedot potensi dari partisipasi masyarakat karena reputasi kelembagaannya yang
menyajikan layanan pendidikan yang berkualitas.31
Pendidikan Islam menurut pengertian yang ketiga, (pendidikan Islam dalam
pengertian kultur dan aktivitas), maka yang dimaksud adalah budaya, kultur atau
nilai-nilai keislaman dan aktivitas yang tumbuh dan berkembang dan berpengaruh
terhadap iklim pendidikan Islam, citra pendidikan Islam, performance institusi
pendidikan Islam, dan aktivitas pendidikan Islam. Kultur pendidikan Islam, selama
ini kurang tergarap secara baik dan profesional, sehingga terjadi kesenjangan yang
begitu jauh antara idealitas ajaran Islam yang menekankan kebesihan dan citra
kelembagaan pendidikan Islam yang kerap disebut “kumuh”, ada kesenjangan antara
cita dan fakta, dan sebagainya. Kultur dan aktivitas pendidikan Islam seperti ini
penting digagas dan dikembangkan dalam rangka memberdayakan pendidikan Islam
sekaligus mengangkat pendidikan Islam dari keterpurukannya.
Yang terakhir, pendidikan Islam menurut pengertian yang keempat,
(pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami), maka yang dimaksud
adalah sistem pendidikan yang islami. Pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan
lainnya, memiliki komponen-komponen utama, seperti: dasar, tujuan, prinsip,
metode, evaluasi dan sebagainya. Konstruksi komponen-komponen utama tersebut,
menurut pengertian yang keempat, selalu mengacu pada ajaran normatif (Al-Qur’an
dan al-hadits) dan terapannya dalam pendidikan.32
Pendidikan Islam merupakan upaya pelayanan ataupun usaha secara sadar,
secara terencana bagi pengembangan optimalisasi potensi dasar yang ada dalam diri
setiap individu. Potensi dasar tersebut berupa potensi untuk mengakui Allah sebagai
Tuhan yang menciptakan alam semesta, potensi untuk menjadi manusia yang baik
31

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU
SISDIKNAS, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. 2-4
32
Ibid., h. 4-5

21

dan berbuat baik, potensi untuk mengembangkan naluri kekhalifahan, dan potensi
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan lain-lain.33
Jadi, pendidikan Islam adalah suatu upaya atau proses, pencarian,
pembentukan,

dan

pengembangan

sikap

dan

perilaku

untuk

mencari,

mengembangkan, memelihara, serta menggunakan ilmu dan perangkat teknologi atau
keterampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran Islam.34
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam
tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of
education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat. 35 Sedangkan
tujuan umum dari pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang
berarti bahwa ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab
sendiri.36
Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan
sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang
akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan
cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi
sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan
akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia
yang sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara tujuan
operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan
pendidikan tertentu.37
33

Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan Mohammad
Natsir, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), h. 44
34
Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. ke- 1,
h. 96
35
Zuhairini, op.cit., h. 160
36
M. Ngalim Purwanto, op.cit., h. 19
37
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.
18-19

22

Ada yang memerinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi (sistem
klasifikasi) yang terutama meliputi:
a. Pembinaan kepribadian (nilai formil).
 Sikap (attitude).
 Daya pikir praktis rasional.
 Obyektivitas.
 Loyalitas kepada bangsa dan ideologi.
 Sadar nilai-nilai moral dan agama.
b. Pembinaan aspek pengetahuan (nilai materiil), yaitu materi ilmu sendiri.
c. Pembinaan aspek kecakapan, keterampilain (skill) nilai-nilai praktis.
d. Pembinaan jasmani yang sehat.38
Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II, Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.39
Sedangkan, tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempersiapkan anak didik
atau individu dan menumbuhkan segenap potensi yang ada, baik jasmani maupun
rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat hidup dan
berpenghidupan sempurna, sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna bagi dirinya dan umatnya.40

38

Zuhairini, op.cit., h. 161
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang
Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 8
40
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet ke-1, h. 21
39

23

Secara umum, tujuan pendidikan Islam itu adalah dengan mengacu pada QS.
51 : 56, yaitu menjadikan manusia sebagai insan pengabdi kepada Khaliqnya, guna
mampu membangun dunia dan mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang
telah ditetapkan Allah SWT.41
Rumusan tujuan ini diilhami oleh firman Allah sebagai berikut :

‫وما خلَ ْقت ْي‬
‫ي‬
)٦٥ : ‫س اياَ لييَ ْعبد ْو َن (الذريات‬
َ َ ََ
َ ْ‫ال َن َو اان‬

“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku”.
(QS. Adz-Dzariyat : 56) 42
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun
horizontal.
b. Sifat-sifat dasar manusia.
c. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
d. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada
3 macam dimensi ideal Islam, yaitu : (a) mengandung nilai yang berupaya
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi. (b)
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik, (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara
kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi alakhirat al-hasanah).
Menurut al-Syaibani dalam Samsul Nizar mengemukakan bahwa tujuan
tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta
didik, baik ruh, pisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk
pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil

41
42

Samsul Nizar, op.cit., h. 105
Abudin Nata, op.cit., h. 173

24

ardh. Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah
pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak”
Tuhan sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan
menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.43
Tujuan pendidikan dalam konsep Islam harus mengarah pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya yaitu tujuan dan tugas hidup manusia,
memperhatikan sifat–sifat dasar manusia, tuntutan masyarakat, dan dimensi–dimensi
ideal Islam.
Pertama, terkait dengan ontologi hakikat manusia sudah sangat jelas dalam
konsep Islam di mana manusia diciptakan bukan karena kebetulan atau sia