Moh. Shofan dan Pemikiran Kontroversialnya Itu..
November 19, 2010
Moh. Shofan dan Pemikiran Kontroversialnya Itu...
(Tulisan ini dimuat dalam kata pengantar editor buku 'Menegakkan Pluralisme' Karya Moh.
Shofan)
Ali Usman
Tak banyak orang yang mendapat kesempatan seperti Moh. Shofan, menelurkan percik
pemikiran kontroversialnya dalam sebuah buku, yang kemudian dikomentari oleh teman-teman
sejawatnya. Shofan, di usianya yang masih belia telah menjadi “buah bibir” banyak orang dan
cukup “dikenal” bak selebritis yang sedang naik daun. Gaung pemikiran dan keterkenalan
dirinya berawal dari tulisan provokatifnya di harian Surya yang berjudul ‘Natal dan Pluralisme
Agama’ pada akhir Desember 2006, membuat para petinggi di jajaran kepengurusan Cabang dan
Daerah Muhammadiyah serta di kampus tempat dirinya bernaung, Universitas Muhammadiyah
Gresik (UMG) “kebakaran jenggot”. Shofan mungkin tak pernah menyangka, bahwa hanya
lantaran mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristiani telah menyebabkan dirinya tersingkir
dari jabatannya sebagai dosen.
“Ah, sungguh malang nasibmu kawan”, kataku selang beberapa hari mendengar berita
mengejutkan itu. “Ya, itulah mungkin perjalanan hidup aku yang dititahkan oleh-Nya”, jawabnya
menimpali. Kesanku, Shofan dalam hal ini sungguh tegar menerima “cobaan” ini. Entah waktu
itu, yang saya pikirkan adalah nasib istri dan anaknya yang masih belia.
Tetapi beberapa waktu kemudian, ia kembali mengabariku, bahwa ia sedang berada di Jakarta.
“Wah, kini ia berada di posisi aman”, pikirku—sambil menyamakan layaknya posisi dalam
kompetisi atau pertandingan olahraga. Firasatku ternyata benar. Di Jakarta, ia lebih leluasa dapat
bertemu secara intens dengan banyak tokoh dan pemikir pluralis tersohor di Tanah Air. Ia pun
merapat dan berteduh di PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina dan
LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang dimotori oleh M. Dawam Rahardjo dan juga
Budhy Munawar-Rachman.
Alhasil, dengan terus mengamati kiprahnya sejak di Jakarta, pemikiran-pemikiran Shofan
menurut saya, jauh lebih progres dan produktif bila dibandingkan ketika ia berada dalam sangkar
yang memenjara kebebasan berfikirnya di UMG. Saya yakin, hal itu juga tampaknya dirasakan
oleh Shofan.
Padahal kampus, menurut Shofan, mestinya akomodatif terhadap segala pemikiran yang plural
dan liberal sekalipun, sekaligus menjunjung tinggi kebebasan berpikir di lingkungan akademis.
Dalam artian kata, perlu dibedakan antara wilayah perguruan tinggi (Islam) dengan masyarakat
umum. Sebuah perguruan tinggi menurut Munir Mulkhan, dibangun dan dipelihara untuk
mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat
berpikir kritis. Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru
atau pandangan baru. Dan Shofan menurut saya, mengupayakan hal yang demikian.
Dalam skala lebih luas, “kasus lokal” yang menimpa Shofan sebenarnya terkait erat dengan isu
nasional yang sejak masa Orde Baru, pemerintah melalui MUI mengharamkan seorang muslim
mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Kondisi ini kembali diperkeruh oleh “lagilagi” pengharaman paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Sementara bagi Ormas Islam
(termasuk Muhammadiyah?) seolah mengamini begitu saja fatwa MUI tersebut, tanpa
penyaringan yang ketat.
Shofan adalah korban atas “kesuksesan” negara melakukan intervensi berlebih kepada warga
negaranya dalam urusan beragama. Agama yang semestinya menjadi ruang privasi bagi
pemeluknya, malah diangkat menjadi kepentingan negara. Mungkin inilah, tulis Hannah Arent
dalam The Human Condition-nya, kegagalan modernitas yang menjadi “berhala” bagi negaranegara maju dan berkembang (termasuk Indonesia) menganggap tidak relevan lagi memisahkan
antara “ruang publik” dan “ruang privat”.
Maka tak heran, bila Muhammed Yunis, seorang pemikir keagamaan Mesir, dalam al-Takfir
baina al-Din wa al-Siyasah mengemukakan, bahwa pengkafiran (takfir), klaim sesat, dan
sejenisnya, tak pernah lepas dari perskongkolan antara negara (politik) dan lembaga keagamaan
(agama). Bagi Yunis, nuansa politis terhadap sesuatu yang menyangkut persoalan agama dalam
hubungannya dengan warga di suatu negara, dipastikan ada “main mata” antara politik dan
agama itu sendiri.
***
Saya memang tidak terlalu lama mengenal sosok pribadi Shofan. Perkenalan itu terjadi ketika
saya ikut serta mencarikan penerbit di Yogyakarta untuk menerbitkan bukunya yang pertama
berjudul Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem
Pendidikan Islam (IRCiSoD, 2004). Sejak itulah, komunikasi pun terus terjalin hingga saat ini.
Shofan yang saya kenal, tidak seperti yang dicitrakan negatif oleh “musuh-musuhnya” ketika
mengomentari pemecatan dirinya, baik di milis (milling list) maupun dalam kesehariannya.
Sungguh itu fitnah kubra. Bukankah fitnah lebih kejam dari membunuh (al-fitnatu asyaddu min
al-qatl)? Tetapi perlu disadari, bahwa pejuang kebenaran itu tak pernah absen dari intimidasi,
penindasan, dan pengusiran. Masih beruntung Shofan sebagai salah satu dari para pejuang
kebenaran hanya dipecat dari kampus. Para pejuang dari kalangan filsuf-sufi, seperti al-Hallaj,
Syekh Siti Jenar, Suhrawardi, dan lain-lain, harus rela mati di tiang gantungan demi
mempertahankan kebenaran. Begitu halnya dengan Shofan. Demi membela pluralisme dan
kemanusiaan, ia berani menanggung akibat yang amat “memprihatinkan”. Orang yang tidak
sepaham dengannya boleh bilang bahwa pemikiran-pemikirannya “berbahaya”, melenceng dari
akidah Islam, bahkan dibilang “sesat dan menyesatkan”. Namun ketersesatan itu menurut saya,
berada di jalan yang benar.
Di era kontemporer sekarang ini, banyak kalangan tiada henti-hentinya mengingatkan akan
pentingnya pengakuan sebuah pluralisme, sehingga tercipta keharmonisan dan kedamaian hidup
di dunia. Dalam hal ini, terkadang saya berpikir, kok bisa-bisanya Shofan yang secara akademik
ber-basic pendidikan (tarbiyah)—baik S1 maupun S2 yang ia tempuh di Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM)—sangat lihai dan fasih berbicara tentang pluralisme, civil
society, kemanusiaan, dan pembelaan terhadap kaum marjinal. Mengapa ia tidak “tertarik”
menyuarakan isu-isu tentang pendidikan yang humanis, pendidikan pembebasan atau kondisi
pendidikan nasional di negara kita, misalnya? Hal itu menunjukkan bahwa usaha menyadarkan
akan pentingnya mengakui pluralisme dalam pengertian yang seluas-luasnya adalah tugas semua
kalangan tanpa melihat kelas dan basic pendidikan.
Dari itu, mengacu pada kasus Shofan tersebut, menurut saya, adalah lagkah mundur bagi
Muhammadiyah secara institusi. Sebuah ormas Islam yang mengaku diri sebagai salah satu
kelompok pembaharu Islam di Indonesia, yang “bertitel” kaum moderat(isme). Pamor
Muhammadiyah secara tidak langsung sebenarnya telah runtuh, dan memang dalam banyak hal,
kini sudah mengalami pergeseran.
Secara pribadi, saya sebagai orang luar (bukan warga Muhammadiyah) yang tak tahu apa-apa
dan tidak punya kepentingan apapun, turut berempati sekaligus ironi atas kondisi tersebut. Jika
dahulu pada masa-masa berdirinya Muhammadiyah sempat dijuluki sebagai “kaum berdasi”
karena sikap moderatnya itu, sementara ormas lain seperti NU dikatakan “kaum sarungan”, santri
atau tradisional yang identik dengan sikap kolot, jumud, dan anti kemajuan. Tetapi kini, predikat
itu tampaknya telah mengalami keterbalikan.
Terjadinya pemecatan seorang dosen di “kandangnya” sendiri, yang boleh jadi, tidak hanya
dilatari oleh alasan teologis tetapi juga diselubungi oleh kepentingan-kepentingan tertentu
menjadi bukti kuat adanya “sikap konservatisme” di tubuh Muhammadiyah. Di samping itu, jika
mau jujur, “sikap konservatisme” yang ditunjukkan oleh sebagian tokoh dan kalangan
Muhammadiyah merupakan identitas aslinya, yang menurut Nur Khalik Ridwan (2005) sebagai
penyeru “Islam murni” dengan berkedok gerakan Wahabi dari Timur Tengah. Karenanya, tak
salah bila Muhammadiyah dan ormas Islam lain yang mirip dan “sealiran” dengannya, seperti
Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung dilabeli sebagai “agama borjuis”.
Kritik Nur Khalik Ridwan ini mestinya menyadarkan umat Islam Indonesia yang tanpa disadari
banyak dipengaruhi kuat oleh “Islam ala Arab”, sementara “Islam berwajah asli nusantara atau
Indonesia”—meminjam istilah Gus Dur tentang gagasan pribumisasi Islamny— tersingkiran.
Tidak heran apabila pola keberagamaan umat Islam cenderung melenceng dari nilai-nilai luhur
keramahan sebagai budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia. Kekerasan dengan jubah atas
nama agama sering terjadi di negeri ini yang konon dikenal sebagai bangsa yang ramah.
Di sini, Muhammadiyah berwajah paradoks; moderatisme di satu sisi, dan di sisi lain juga
menampilkan wajah konservatismenya. Misalnya, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah
dengan lantang dan tanpa ampun memerangi penyakit apa yang dinamai TBC (takhayul, bid’ah
dan khurafat). Lantas, apakah persoalan kebebasan berpikir dan kreativitas dalam menulis
(berkarya) seperti yang ditunjukkan Shofan itu termasuk dari penyakit TBC, sehingga pantas
diberantas?
Dalam bidang pendidikan, sikap konservatisme yang ditonjolkan (sebagian?) warga
Muhammadiyah itu tak seirama dengan mendulangnya bangunan perguruan tinggi yang dimiliki.
Lihatlah betapa canggih dan megahnya universitas-universitas Muhammadiyah yang ada; seperti
di Malang (UMM), Yogyakarta (UMY), Jakarta (UMJ), Surabaya (UMS), termasuk di Gresik
(UMG). Kepopulerannya itu masih menyimpan bias konservatif dalam perilaku, tindakan dan
terlebih pada pemahaman keagamaannya. Hukum kausalitas tidak berlaku bagi Muhammadiyah.
Bangunan pendidikannya yang semakin mewah, megah dan canggih sebagai penanda
kemodernan, tak mampu merubah pola sikap dan pemahaman keagamaan warganya yang masih
konservatif dan tradisional. Apalagi, luasnya bidang sosial yang digarap oleh Muhammadiyah
yang dikenal dengan tiga serangkai; rumah sakit, pendidikan dan panti asuhan, menimbulkan
tanda tanya besar di kalangan masyarakat, terutama dari sisi pembiayaan (finansial).
Mungkin seandainya KH. A. Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah masih hidup, niscaya ia
akan menangis dan meratapi kondisi sosial ini. Pendidikan dan prasarana lembaga sosial, yang
pada mulanya dicanangkan oleh A. Dahlan untuk membantu sekaligus ikut serta mencerdaskan
anak bangsa—terutama bagi kaum miskin—tetapi pada kenyataannya tidak semua lapisan
masyarakat menjangkau biaya pendidikan yang dibebankan oleh lembaga Muhammadiyah.
***
Berawal dari provokasi saya kepada Shofan, bagaimana jika seandainya dia mengumpulkan
ragam tulisan-tulisannya yang berserakan, baik yang sudah dimuat di media massa maupun
dalam bentuk makalah, yang ia presentasikan di banyak tempat. Tak dinyana, Shofan
menyambutnya dengan sangat antusias, sehingga lahirlah percik pemikiran-pemikirannya dalam
buku ini, yang ia tulis kurang lebih dua tahun pascatragedi pemecatan itu.
Beberapa bulan kemudian, sebagai tindak lanjut dari provokasi tersebut—seolah tak mau kalah
—Shofan kembali menghubungi saya dengan langsung melemparkan tanggung jawab
penyuntingan kepada saya. Dan apa boleh buat, atas nama persahabatan, saya menerimanya
dengan senang hati. Apalagi, daya tarik buku ini dilengkapi dengan tanggapan yang berisi prokontra atas diri Shofan dan gagasan pluralisme yang ia usung. Saya tidak menganggap kehadiran
buku ini sebagai counter dan pembelaan Shofan terhadap oknum yang terlibat “konspirasi” atas
pemecatan Shofan yang hanya lantaran mengucapkan selamat Natal. Tetapi lebih dari itu,
merupakan sebagai “dokumentasi akademik”, agar di kemudian hari menjadi cerminan untuk
generasi intelektual berikutnya. Biarlah publik dan anak cucu kita kelak tahu yang sebenarnya,
bahwa ada yang “tidak beres” dengan Ormas Islam yang menamakan diri Muhammadiyah ini.
Shofan hanyalah menjadi “tumbal” atas konservatisme di perguruan tinggi—yang mengklaim
diri sebagai gerakan pembaharu Islam Indonesia.
Selain itu, belajar dari kasus Shofan, persinggungan dan pertarungan antar kelompok di
Muhammadiyah—yang selama ini banyak diragukan, dan bahkan ditutup-tutupi oleh sebagai
kalangan—semakin tampak jelas dan tersingkap. Bahwa saat ini, pertentangan antara kelompok
progresif-liberal versus kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah benarbenar berwujud nyata.
Fakta ini juga diperkuat oleh temuan mutakhir Pradana Boy dalam tesisnya berjudul ”In Defence
of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah”, yang ia
pertahankan di Australian National University (ANU). Tidak hanya kasus Shofan, Boy juga
mensinyalir tersingkirnya tokoh-tokoh penting seperti M. Dawam Rahardjo, M. Amin Abdullah,
dan M. Munir Mulkhan dari kepengurusan Muhammadiyah, hingga kemenangan Din
Syamsuddin sebagai ketua di Muktamar Malang 2004 menjadi bukti nyata dominasi kelompok
fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah, yang perlahan-lahan tapi pasti bakal
membuang jauh-jauh kelompok progresif-liberal.
Jadi untuk mengetahui perkembangan arah gerakan Muhammadiyah mutaakhir, boleh jadi
penelitian Boy tersebut adalah salah satu—untuk tidak mengatakan satu-satunya—acuan yang
wajib dibaca dan diketahui oleh khalayak umum. Shofan dan kawan-kawan lain yang “sealiran”
dengannya, hemat saya, menjadi apa yang oleh Gayatri Spivak (1985) disebut sebagai
“subaltern”, yaitu subjek tertindas dan kelas inferior (Gramscian). Kelompok ini dalam banyak
kasus, memang selalu mengalami kekalahan dalam perebutan “kuasa makna” (dalam pengertian
Foucault).
Karena itu secara sadar, Shofan mengaku siap dan berani menghadapi resiko atas konsekuensi
terbitnya buku ini, yang dipastikan membuka “luka lama” di tubuh Muhammadiyah. Shofan
hendak membuktikan, bahwa “subaltern” mampu berbicara, mengangkat bendera “perlawanan”
demi mempertahankan kebenaran. Pluralisme dalam pandangan Shofan, tidak hanya berkutat
pada persoalan ide, tapi sejatinya dapat ditegakkan di muka bumi.
Sebagai kata pamungkas, saya ingin mendedahkan ungkapan Roland Barthes dalam artikel yang
terkenal, The Death of Author dalam berkreativitas melahirkan sebuah karya. Menulis, kata
Barthes, adalah kedalamannya subjek melarikan diri, hitam putih dan semua identitas hilang,
mulai dengan identitas tubuh pengarang (Heraty, 2000). Itu sebabnya, Dee (Dewi Lestari) juga
menyadari hal yang sama. Bahwa menurutnya, “menulis adalah perjalanan menuju suatu
kelahiran. Dan karya yang dilahirkan ibarat air nan bergulir bebas di lereng perasaan dan pikiran.
Ia dapat tertahan di semak. Ia bisa hinggap di akar yang merambat. Namun ia juga bisa
menggelinding lancar untuk melebur dalam samudera luas. Tak ada yang dapat menghitung
berapa ceruk di lereng itu. Tak ada yang tahu seberapa gerah tetumbuhan di sana. Ia hanya akan
bisa mengalir... sebisanya”. Baik Barthes maupun Dee di atas hendak mendengungkan bahwa
pengarang (author) sebenarnya telah “mati” bilamana teks yang ia gubah itu telah menyeruak ke
publik. Di sini, otonomi pembaca sangatlah ditekankan. Sapere aude!
http://mohshofan.blogspot.com/2009/01/moh-shofan-dan-pemikiran.html
Moh. Shofan dan Pemikiran Kontroversialnya Itu...
(Tulisan ini dimuat dalam kata pengantar editor buku 'Menegakkan Pluralisme' Karya Moh.
Shofan)
Ali Usman
Tak banyak orang yang mendapat kesempatan seperti Moh. Shofan, menelurkan percik
pemikiran kontroversialnya dalam sebuah buku, yang kemudian dikomentari oleh teman-teman
sejawatnya. Shofan, di usianya yang masih belia telah menjadi “buah bibir” banyak orang dan
cukup “dikenal” bak selebritis yang sedang naik daun. Gaung pemikiran dan keterkenalan
dirinya berawal dari tulisan provokatifnya di harian Surya yang berjudul ‘Natal dan Pluralisme
Agama’ pada akhir Desember 2006, membuat para petinggi di jajaran kepengurusan Cabang dan
Daerah Muhammadiyah serta di kampus tempat dirinya bernaung, Universitas Muhammadiyah
Gresik (UMG) “kebakaran jenggot”. Shofan mungkin tak pernah menyangka, bahwa hanya
lantaran mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristiani telah menyebabkan dirinya tersingkir
dari jabatannya sebagai dosen.
“Ah, sungguh malang nasibmu kawan”, kataku selang beberapa hari mendengar berita
mengejutkan itu. “Ya, itulah mungkin perjalanan hidup aku yang dititahkan oleh-Nya”, jawabnya
menimpali. Kesanku, Shofan dalam hal ini sungguh tegar menerima “cobaan” ini. Entah waktu
itu, yang saya pikirkan adalah nasib istri dan anaknya yang masih belia.
Tetapi beberapa waktu kemudian, ia kembali mengabariku, bahwa ia sedang berada di Jakarta.
“Wah, kini ia berada di posisi aman”, pikirku—sambil menyamakan layaknya posisi dalam
kompetisi atau pertandingan olahraga. Firasatku ternyata benar. Di Jakarta, ia lebih leluasa dapat
bertemu secara intens dengan banyak tokoh dan pemikir pluralis tersohor di Tanah Air. Ia pun
merapat dan berteduh di PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina dan
LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang dimotori oleh M. Dawam Rahardjo dan juga
Budhy Munawar-Rachman.
Alhasil, dengan terus mengamati kiprahnya sejak di Jakarta, pemikiran-pemikiran Shofan
menurut saya, jauh lebih progres dan produktif bila dibandingkan ketika ia berada dalam sangkar
yang memenjara kebebasan berfikirnya di UMG. Saya yakin, hal itu juga tampaknya dirasakan
oleh Shofan.
Padahal kampus, menurut Shofan, mestinya akomodatif terhadap segala pemikiran yang plural
dan liberal sekalipun, sekaligus menjunjung tinggi kebebasan berpikir di lingkungan akademis.
Dalam artian kata, perlu dibedakan antara wilayah perguruan tinggi (Islam) dengan masyarakat
umum. Sebuah perguruan tinggi menurut Munir Mulkhan, dibangun dan dipelihara untuk
mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat
berpikir kritis. Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru
atau pandangan baru. Dan Shofan menurut saya, mengupayakan hal yang demikian.
Dalam skala lebih luas, “kasus lokal” yang menimpa Shofan sebenarnya terkait erat dengan isu
nasional yang sejak masa Orde Baru, pemerintah melalui MUI mengharamkan seorang muslim
mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Kondisi ini kembali diperkeruh oleh “lagilagi” pengharaman paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Sementara bagi Ormas Islam
(termasuk Muhammadiyah?) seolah mengamini begitu saja fatwa MUI tersebut, tanpa
penyaringan yang ketat.
Shofan adalah korban atas “kesuksesan” negara melakukan intervensi berlebih kepada warga
negaranya dalam urusan beragama. Agama yang semestinya menjadi ruang privasi bagi
pemeluknya, malah diangkat menjadi kepentingan negara. Mungkin inilah, tulis Hannah Arent
dalam The Human Condition-nya, kegagalan modernitas yang menjadi “berhala” bagi negaranegara maju dan berkembang (termasuk Indonesia) menganggap tidak relevan lagi memisahkan
antara “ruang publik” dan “ruang privat”.
Maka tak heran, bila Muhammed Yunis, seorang pemikir keagamaan Mesir, dalam al-Takfir
baina al-Din wa al-Siyasah mengemukakan, bahwa pengkafiran (takfir), klaim sesat, dan
sejenisnya, tak pernah lepas dari perskongkolan antara negara (politik) dan lembaga keagamaan
(agama). Bagi Yunis, nuansa politis terhadap sesuatu yang menyangkut persoalan agama dalam
hubungannya dengan warga di suatu negara, dipastikan ada “main mata” antara politik dan
agama itu sendiri.
***
Saya memang tidak terlalu lama mengenal sosok pribadi Shofan. Perkenalan itu terjadi ketika
saya ikut serta mencarikan penerbit di Yogyakarta untuk menerbitkan bukunya yang pertama
berjudul Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem
Pendidikan Islam (IRCiSoD, 2004). Sejak itulah, komunikasi pun terus terjalin hingga saat ini.
Shofan yang saya kenal, tidak seperti yang dicitrakan negatif oleh “musuh-musuhnya” ketika
mengomentari pemecatan dirinya, baik di milis (milling list) maupun dalam kesehariannya.
Sungguh itu fitnah kubra. Bukankah fitnah lebih kejam dari membunuh (al-fitnatu asyaddu min
al-qatl)? Tetapi perlu disadari, bahwa pejuang kebenaran itu tak pernah absen dari intimidasi,
penindasan, dan pengusiran. Masih beruntung Shofan sebagai salah satu dari para pejuang
kebenaran hanya dipecat dari kampus. Para pejuang dari kalangan filsuf-sufi, seperti al-Hallaj,
Syekh Siti Jenar, Suhrawardi, dan lain-lain, harus rela mati di tiang gantungan demi
mempertahankan kebenaran. Begitu halnya dengan Shofan. Demi membela pluralisme dan
kemanusiaan, ia berani menanggung akibat yang amat “memprihatinkan”. Orang yang tidak
sepaham dengannya boleh bilang bahwa pemikiran-pemikirannya “berbahaya”, melenceng dari
akidah Islam, bahkan dibilang “sesat dan menyesatkan”. Namun ketersesatan itu menurut saya,
berada di jalan yang benar.
Di era kontemporer sekarang ini, banyak kalangan tiada henti-hentinya mengingatkan akan
pentingnya pengakuan sebuah pluralisme, sehingga tercipta keharmonisan dan kedamaian hidup
di dunia. Dalam hal ini, terkadang saya berpikir, kok bisa-bisanya Shofan yang secara akademik
ber-basic pendidikan (tarbiyah)—baik S1 maupun S2 yang ia tempuh di Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM)—sangat lihai dan fasih berbicara tentang pluralisme, civil
society, kemanusiaan, dan pembelaan terhadap kaum marjinal. Mengapa ia tidak “tertarik”
menyuarakan isu-isu tentang pendidikan yang humanis, pendidikan pembebasan atau kondisi
pendidikan nasional di negara kita, misalnya? Hal itu menunjukkan bahwa usaha menyadarkan
akan pentingnya mengakui pluralisme dalam pengertian yang seluas-luasnya adalah tugas semua
kalangan tanpa melihat kelas dan basic pendidikan.
Dari itu, mengacu pada kasus Shofan tersebut, menurut saya, adalah lagkah mundur bagi
Muhammadiyah secara institusi. Sebuah ormas Islam yang mengaku diri sebagai salah satu
kelompok pembaharu Islam di Indonesia, yang “bertitel” kaum moderat(isme). Pamor
Muhammadiyah secara tidak langsung sebenarnya telah runtuh, dan memang dalam banyak hal,
kini sudah mengalami pergeseran.
Secara pribadi, saya sebagai orang luar (bukan warga Muhammadiyah) yang tak tahu apa-apa
dan tidak punya kepentingan apapun, turut berempati sekaligus ironi atas kondisi tersebut. Jika
dahulu pada masa-masa berdirinya Muhammadiyah sempat dijuluki sebagai “kaum berdasi”
karena sikap moderatnya itu, sementara ormas lain seperti NU dikatakan “kaum sarungan”, santri
atau tradisional yang identik dengan sikap kolot, jumud, dan anti kemajuan. Tetapi kini, predikat
itu tampaknya telah mengalami keterbalikan.
Terjadinya pemecatan seorang dosen di “kandangnya” sendiri, yang boleh jadi, tidak hanya
dilatari oleh alasan teologis tetapi juga diselubungi oleh kepentingan-kepentingan tertentu
menjadi bukti kuat adanya “sikap konservatisme” di tubuh Muhammadiyah. Di samping itu, jika
mau jujur, “sikap konservatisme” yang ditunjukkan oleh sebagian tokoh dan kalangan
Muhammadiyah merupakan identitas aslinya, yang menurut Nur Khalik Ridwan (2005) sebagai
penyeru “Islam murni” dengan berkedok gerakan Wahabi dari Timur Tengah. Karenanya, tak
salah bila Muhammadiyah dan ormas Islam lain yang mirip dan “sealiran” dengannya, seperti
Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung dilabeli sebagai “agama borjuis”.
Kritik Nur Khalik Ridwan ini mestinya menyadarkan umat Islam Indonesia yang tanpa disadari
banyak dipengaruhi kuat oleh “Islam ala Arab”, sementara “Islam berwajah asli nusantara atau
Indonesia”—meminjam istilah Gus Dur tentang gagasan pribumisasi Islamny— tersingkiran.
Tidak heran apabila pola keberagamaan umat Islam cenderung melenceng dari nilai-nilai luhur
keramahan sebagai budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia. Kekerasan dengan jubah atas
nama agama sering terjadi di negeri ini yang konon dikenal sebagai bangsa yang ramah.
Di sini, Muhammadiyah berwajah paradoks; moderatisme di satu sisi, dan di sisi lain juga
menampilkan wajah konservatismenya. Misalnya, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah
dengan lantang dan tanpa ampun memerangi penyakit apa yang dinamai TBC (takhayul, bid’ah
dan khurafat). Lantas, apakah persoalan kebebasan berpikir dan kreativitas dalam menulis
(berkarya) seperti yang ditunjukkan Shofan itu termasuk dari penyakit TBC, sehingga pantas
diberantas?
Dalam bidang pendidikan, sikap konservatisme yang ditonjolkan (sebagian?) warga
Muhammadiyah itu tak seirama dengan mendulangnya bangunan perguruan tinggi yang dimiliki.
Lihatlah betapa canggih dan megahnya universitas-universitas Muhammadiyah yang ada; seperti
di Malang (UMM), Yogyakarta (UMY), Jakarta (UMJ), Surabaya (UMS), termasuk di Gresik
(UMG). Kepopulerannya itu masih menyimpan bias konservatif dalam perilaku, tindakan dan
terlebih pada pemahaman keagamaannya. Hukum kausalitas tidak berlaku bagi Muhammadiyah.
Bangunan pendidikannya yang semakin mewah, megah dan canggih sebagai penanda
kemodernan, tak mampu merubah pola sikap dan pemahaman keagamaan warganya yang masih
konservatif dan tradisional. Apalagi, luasnya bidang sosial yang digarap oleh Muhammadiyah
yang dikenal dengan tiga serangkai; rumah sakit, pendidikan dan panti asuhan, menimbulkan
tanda tanya besar di kalangan masyarakat, terutama dari sisi pembiayaan (finansial).
Mungkin seandainya KH. A. Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah masih hidup, niscaya ia
akan menangis dan meratapi kondisi sosial ini. Pendidikan dan prasarana lembaga sosial, yang
pada mulanya dicanangkan oleh A. Dahlan untuk membantu sekaligus ikut serta mencerdaskan
anak bangsa—terutama bagi kaum miskin—tetapi pada kenyataannya tidak semua lapisan
masyarakat menjangkau biaya pendidikan yang dibebankan oleh lembaga Muhammadiyah.
***
Berawal dari provokasi saya kepada Shofan, bagaimana jika seandainya dia mengumpulkan
ragam tulisan-tulisannya yang berserakan, baik yang sudah dimuat di media massa maupun
dalam bentuk makalah, yang ia presentasikan di banyak tempat. Tak dinyana, Shofan
menyambutnya dengan sangat antusias, sehingga lahirlah percik pemikiran-pemikirannya dalam
buku ini, yang ia tulis kurang lebih dua tahun pascatragedi pemecatan itu.
Beberapa bulan kemudian, sebagai tindak lanjut dari provokasi tersebut—seolah tak mau kalah
—Shofan kembali menghubungi saya dengan langsung melemparkan tanggung jawab
penyuntingan kepada saya. Dan apa boleh buat, atas nama persahabatan, saya menerimanya
dengan senang hati. Apalagi, daya tarik buku ini dilengkapi dengan tanggapan yang berisi prokontra atas diri Shofan dan gagasan pluralisme yang ia usung. Saya tidak menganggap kehadiran
buku ini sebagai counter dan pembelaan Shofan terhadap oknum yang terlibat “konspirasi” atas
pemecatan Shofan yang hanya lantaran mengucapkan selamat Natal. Tetapi lebih dari itu,
merupakan sebagai “dokumentasi akademik”, agar di kemudian hari menjadi cerminan untuk
generasi intelektual berikutnya. Biarlah publik dan anak cucu kita kelak tahu yang sebenarnya,
bahwa ada yang “tidak beres” dengan Ormas Islam yang menamakan diri Muhammadiyah ini.
Shofan hanyalah menjadi “tumbal” atas konservatisme di perguruan tinggi—yang mengklaim
diri sebagai gerakan pembaharu Islam Indonesia.
Selain itu, belajar dari kasus Shofan, persinggungan dan pertarungan antar kelompok di
Muhammadiyah—yang selama ini banyak diragukan, dan bahkan ditutup-tutupi oleh sebagai
kalangan—semakin tampak jelas dan tersingkap. Bahwa saat ini, pertentangan antara kelompok
progresif-liberal versus kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah benarbenar berwujud nyata.
Fakta ini juga diperkuat oleh temuan mutakhir Pradana Boy dalam tesisnya berjudul ”In Defence
of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah”, yang ia
pertahankan di Australian National University (ANU). Tidak hanya kasus Shofan, Boy juga
mensinyalir tersingkirnya tokoh-tokoh penting seperti M. Dawam Rahardjo, M. Amin Abdullah,
dan M. Munir Mulkhan dari kepengurusan Muhammadiyah, hingga kemenangan Din
Syamsuddin sebagai ketua di Muktamar Malang 2004 menjadi bukti nyata dominasi kelompok
fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah, yang perlahan-lahan tapi pasti bakal
membuang jauh-jauh kelompok progresif-liberal.
Jadi untuk mengetahui perkembangan arah gerakan Muhammadiyah mutaakhir, boleh jadi
penelitian Boy tersebut adalah salah satu—untuk tidak mengatakan satu-satunya—acuan yang
wajib dibaca dan diketahui oleh khalayak umum. Shofan dan kawan-kawan lain yang “sealiran”
dengannya, hemat saya, menjadi apa yang oleh Gayatri Spivak (1985) disebut sebagai
“subaltern”, yaitu subjek tertindas dan kelas inferior (Gramscian). Kelompok ini dalam banyak
kasus, memang selalu mengalami kekalahan dalam perebutan “kuasa makna” (dalam pengertian
Foucault).
Karena itu secara sadar, Shofan mengaku siap dan berani menghadapi resiko atas konsekuensi
terbitnya buku ini, yang dipastikan membuka “luka lama” di tubuh Muhammadiyah. Shofan
hendak membuktikan, bahwa “subaltern” mampu berbicara, mengangkat bendera “perlawanan”
demi mempertahankan kebenaran. Pluralisme dalam pandangan Shofan, tidak hanya berkutat
pada persoalan ide, tapi sejatinya dapat ditegakkan di muka bumi.
Sebagai kata pamungkas, saya ingin mendedahkan ungkapan Roland Barthes dalam artikel yang
terkenal, The Death of Author dalam berkreativitas melahirkan sebuah karya. Menulis, kata
Barthes, adalah kedalamannya subjek melarikan diri, hitam putih dan semua identitas hilang,
mulai dengan identitas tubuh pengarang (Heraty, 2000). Itu sebabnya, Dee (Dewi Lestari) juga
menyadari hal yang sama. Bahwa menurutnya, “menulis adalah perjalanan menuju suatu
kelahiran. Dan karya yang dilahirkan ibarat air nan bergulir bebas di lereng perasaan dan pikiran.
Ia dapat tertahan di semak. Ia bisa hinggap di akar yang merambat. Namun ia juga bisa
menggelinding lancar untuk melebur dalam samudera luas. Tak ada yang dapat menghitung
berapa ceruk di lereng itu. Tak ada yang tahu seberapa gerah tetumbuhan di sana. Ia hanya akan
bisa mengalir... sebisanya”. Baik Barthes maupun Dee di atas hendak mendengungkan bahwa
pengarang (author) sebenarnya telah “mati” bilamana teks yang ia gubah itu telah menyeruak ke
publik. Di sini, otonomi pembaca sangatlah ditekankan. Sapere aude!
http://mohshofan.blogspot.com/2009/01/moh-shofan-dan-pemikiran.html