Nelayan Buruh dan Sistem Bagi Hasil yang Makin Memiskinkan

Nelayan Buruh dan Sistem Bagi Hasil yang Makin Memiskinkan
Written by Administrator
Saturday, 03 April 2010 21:38 - Last Updated Friday, 16 April 2010 16:38

Nasib buruh nelayan di Indonesia semakin terpuruk. Tidak saja oleh pembagian hasil antara
mereka dengan juragan yang tidak adil, tetapi juga kebijakan pemerintah yang tidak memihak
buruh nelayan itu.  Problem yang dihadapi masyarakat nelayan pun sangatlah kompleks mulai
dari permodalan, musim yang tidak bersahabat, dan sistem bagi hasil yang membuat minimnya
penghasilan sehingga membuat nelayan buruh jatuh pada lingkaran kemiskinan.
Nelayan bukan hanya orang yang menggantungkan hidup dari menangkap ikan di laut,
melainkan juga orang yang terlibat dalam proses penangkapan ikan di laut. Juragan merupakan
orang yang yang mempunyai peralatan menangkap ikan sedangkan buruh adalah orang yang
menangkap ikan di laut. Namun, kemiskinan telah menjadi ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat nelayan.  Kehidupan masyarakat nelayan dari hari ke hari hanya
bergantung dari hasil tangkapan ikan di laut yang hasilnya belum tentu memenuhi kebutuhan
sehari-hari, apalagi dengan sarana prasarana yang masih tradisional.
Penelitian dari  Wulandari berjudul Dinamika Sistem Hubungan Kerja Antara Juragan Dengan
Buruh Nelayan Terhadap Kesejahteraan Keluarga Buruh Nelayan (Studi Kasus Di Desa Kranji
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan) ini, menganalisis carut marut buruh nelayan
selama ini.  Penelitian yang ditujukan untuk mengungkap pola hubungan kerja dan deskripsi
bagi hasil nelayan, membuka bahwa hubungan kerja yang terjadi antara juragan dengan buruh

nelayan didasarkan pada norma-norma kolektif yang telah disepakati dan harus dipatuhi
bersama.
Mengambil sampel dari Desa Kranji, Paciran, Lamongan, penelitian dari mahasiswa Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fisip UMM ini secara umum mengungkap bahwa rekruitmen buruh
nelayan dalam organisasi penagkapan ikan di Desa Kranji menggunakan pinjaman ikatan.
Pinjaman ikatan ini sejenis dengan uang kontrak kerja yang  sebagian atau keseluruhan dana
pinjaman ikatan diperoleh dari juragan sebagai pemilik modal. Jika buruh nelayan bermaksud
pindah kerja ke pemilik perahu yang lain, buruh nelayan tersebut harus melunasi pinjaman
ikatannya.
Selama ini, pendapatan nelayan dihitung dengan sistem bagi hasil, yakni pendapatan bersih
dikurangi biaya operasional, lalu dibagi dengan pemilik modal dan faktor produksi (juragan).
Buruh nelayan adalah komunitas yang bergantung pada alam (musim, gelombang, dan cuaca)
yang bersifat dinamis. Mereka juga bergantung pada juragan pemilik modal dan faktor produksi
(kapal dan teknologi penangkapan).

1/3

Nelayan Buruh dan Sistem Bagi Hasil yang Makin Memiskinkan
Written by Administrator
Saturday, 03 April 2010 21:38 - Last Updated Friday, 16 April 2010 16:38


Di desa Kranji sendiri dari sebanyak 1.076 orang nelayan, yang memiliki kapal penangkap ikan
atau berperan sebagai juragan sebanyak 97 orang. Sebanyak 2 orang  memiliki mesin bubut,
sehingga dapat dibayangkan berapa banyak orang yang bekerja sebagai buruh nelayan
dengan pendapatan yang sangat rendah. Menurut Kusnadi (2003), tekanan sosial-ekonomi
yang dihadapi rumah tangga nelayan buruh berakar pada berbagai faktor yang saling terkait.
Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi faktor alamiah dan non alamiah.
Faktor alamiah, misalnya perubahan musim-musim penangkapan dan struktur sumber daya
kelautan dan nangkapan dan struktur sumber daya kelautan dan desa. Faktor non alamiah
terhubung dengan persoalan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan
dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya
penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada dan
dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak 25 tahun
terakhir.
Wulandari  menarik kesimpulan bahwa hubungan patron klien cenderung mengarah kepada
eksploitasi buruh nelayan. Perubahan musim-musim penangkapan ikan menurut Kusnadi
(2003) sangatlah bervariasi. Di perairan Selat Madura, misalnya, musim ikan berlangsung
antara Desember-Maret dalam setiap tahunnya. Hanya empat bulan efektif. Dalam empat bulan
ini kaum nelayan memperoleh hasil yang baik. Ketika memasuki bulan-bulan kemarau, tingkat
penghasilan nelayan akan berkurang bahkan mengalami masa paceklik. Musim paceklik ini

akan berlangsung selama 8 bulan dan untuk menutupi kebutuhannya para nelayan harus
membelanjakan simpanannya yang diperoleh selama 4 bulan musim melaut itu, sehingga
kesulitan pun kemudian menghantui hidup para nelayan buruh.
Dalam masa-masa paceklik biasanya istri dan anak-anak nelayan buruh harus berjuang keras
mencari nafkah dengan melakukan segala pekerjaan yang memberikan penghasilan. Sistem
bagi hasil pun mengakibatkan para nelayan buruh hidup semakin miskin. Biasanya bagian
terbesar tangkapan berada di tangan si pemilik peralatan perahu, sementara biaya operasional
ditanggung bersama-sama oleh si nelayan buruh dan pemilik peralatan perahu.
Misalnya dalam suatu operasi penangkapan dihasilkan Rp 10.000.000,- maka pola
pembagiannya adalah sebagai berikut; uang hasil penangkapan ikan terlebih dulu dipotong
untuk pembelian bahan bakar dengan persentase 10% yaitu sebesar Rp. 1.000.000,-; untuk
simpanan ABK (Anak Buah Kapal) 20% atau sebesar Rp 2.000.000,- dan untuk biaya
perawatan dan lain-lain sebesar 5% atau Rp 500.000,-. Sehingga total biaya yang dipotong dari
hasil penangkapan ikan adalah sebesar Rp 3.500.000,-. Kemudian sisa uang hasil
penangkapan ikan sebesar Rp 6.500.000,- dibagi dua antara juragan pemilik kapal dengan ABK
masing-masing dengan persentase sebesar 50% atau Rp 3.025.000,-.
Dari uraian di atas terlihat bahwa ketimpangan pembagian uang atau sistem bagi hasil antara
juragan dengan buruh nelayan mengakibatkan nelayan berada pada posisi yang kurang
menguntungkan, karena sepenuhnya sistem bagi hasil ditetapkan oleh juragan sebagai pemilik
kapal. Apalagi, dengan sistem pembagian hasil tangkapan, hasil yang diperoleh nelayan buruh

tidaklah besar. Bahkan, biaya kerusakan mesin, peralatan, atau bagian perahu yang lain,
dibebankan kepada buruh sebelum dibagi tiga bagian. Ketentuan ini semakin memperkecil nilai
bagi hasil atau pendapatan yang diperoleh nelayan. Namun kebanyakan dari mereka tidak
berbuat banyak.
Dari gambaran di atas nampak bahwa masih ada ketimpangan sosial ekonomi yang cukup
besar di masyarakat Desa Kranji, mengingat dari 2.116 orang yang memiliki mata pencaharian
sebagai nelayan, hanya 57 orang saja yang memiliki alat tangkap ikan. Sebanyak 287 keluarga

2/3

Nelayan Buruh dan Sistem Bagi Hasil yang Makin Memiskinkan
Written by Administrator
Saturday, 03 April 2010 21:38 - Last Updated Friday, 16 April 2010 16:38

tergolong keluarga prasejahtera atau sekitar 40% dari total keluarga, merupakan keluarga
miskin. Sedangkan dari penguasaan aset ekonomi oleh masyarakat dilihat dari rumah menurut
lantai sebanyak 211 keluarga rumahnya masih berlantai tanah.
Menurut peneliti, dari data data tersebut, disimpulkan bahwa untuk meningkatkan
kesejahteraan para nelayan buruh, seharusnya sistem bagi hasil yang terjadi antara juragan
sebagai pemilik kapal dengan buruh nelayan Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten

Lamongan berdasarkan kesepakatan antara juragan dengan buruh nelayan. Selain itu, sistem
bagi hasil dihitung setelah dikurangi biaya operasional dalam sekali melaut, yang kemudian
sisanya baru dibagikan kepada pemilik dan buruh nelayan sesuai dengan kemampuan atau
posisi dalam pengoperasian penangkapan ikan. 
Data diolah oleh Zahrus Abi Haurara
Biodata Penelitian:
Judul    : Dinamika Sistem Hubungan Kerja Antara Juragan Dengan Buruh  Nelayan Terhadap
Kesejahteraan Keluarga Buruh Nelayan (Studi Kasus Di Desa Kranji Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan)
Peneliti        : Wulandari
Fakultas/Jurusan    : Ilmu Sosial Ilmu Politik/Ilmu Kesejahteraan sosial
Tahun Penelitian    : 2007
Dosen Pembimbing     : Dra. Juli Astutik, M.Si
Dr. Ahmad Habib, MA

3/3