Kekerasan terhadap Perempuan
III.2.2.5. Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dilakukan kepada para aktivis Gerwani serta istri-istri yang dianggap memiliki keluarga PKI atau berafiliasi dengan PKI. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di Blitar bermacam-macam.
“HII” mengalami perkawinan paksa sebagai bentuk ancaman atas integritas keperempuanannya. Ia mengisahkan :
Pamong tentara itu tahu bahwa keluarga saya semuanya sudah tidak ada, tinggal satu orang adik saya yaitu “CI”. Pamong itu berkali-kali datang ke rumah dan memaksa saya untuk menuruti kemauannya untuk ‘melayani’-nya. Saya selalu menghindar dan menolak sehingga pamong dan perangkat desa itu mengancam, ‘Sekarang “CI” (adik “HII”) sudah saya masukkan ke penjara, kalau bisa saya bunuh atau kamu ikut saya.’ Saya jadi bingung, maksudnya apa, tapi anak saya masih kecil dan sampai sekarang, hati saya masih sakit. Tapi pada prinsipnya saya berpikir adik saya jangan sampai dibunuh, soalnya saudara saya, suami saya, semua sudah dibunuh, yang tersisa tinggal
“CI”. Akhirnya saya terpaksa menuruti kemauan tentara dan akhirnya saya menikah siri dengan tentara yang menjadi perangkat desa tersebut.
“GFI”, seorang bidan, menceritakan percobaan perkosaan yang dialaminya : Pada saat itu, walaupun ditahan, tetapi saya diberikan kebebasan untuk keluar masuk
sel untuk menjalankan aktivitas seperti mandi, cuci baju tapi dengan pengawalan petugas. Pada waktu itu pagi hari saya keluar dari sel untuk ke kamar mandi yang berada di depan pos jaga dan saya dikawal oleh petugas POM AURI, Soliki. Saya juga sempat bilang padanya saya tidak dikawal juga tidak akan lari. Ketika di kamar mandi saya sudah buka baju dia langsung masuk ke dalam kamar mandi maksudnya mau memperkosa saya, lantas dia saya tendang. Dan habis apel pagi saya langsung lari tanpa permisi dengan pertugas jaga untuk melaporkan kejadian tersebut pada komandannya. Petugas itu dihukum oleh komandannya untuk lari muter lapangan sampai kakinya sengkleh (tidak kuat berdiri). Sampai sekarang, pundak saya ini kan mengsle (bengkok) karena dinjak-injak pada waktu disiksa.
”HIF”, istri “HIH” yang aktif di PGRI Non Vaksentral mengalami tindakan penyiksaan dan pelecehan seksual saat tentara mencari suaminya. Tuturnya :
Tentara balik lagi ke rumah saya, datang dan terus memukuli saya dengan kayu- kayu itu. Yang pertama, entah hansip entah tentara, pake kayu ketela, tapi yang besar sampai patah tiga, dan tiga kali mukul. Lepas itu, semua masuk ke rumah bersama komandan. Kemudian saya dipukuli dengan menjalin. Dia bilang, ‘Sakit?’, ya saya jawab ‘Sakit’. Selama hidup saya baru kali ini dipukuli, saya bilang begitu. Terus lepas itu saya ditelanjangi disuruh nukar baju semua. Saya pikir saya mau dibunuh. Terus anak saya itu, sama mbahnya disuruh pergi dari rumah saya tidak boleh di situ. Lepas itu saya disuruh duduk diatas kursi panjang sambil telanjang, dan terus dipukuli lagi. Malah saya sampai lumah-lumah (terguling di atas kursi dengan merebah), waktu itu saya sedang menyusui, ...susu saya ini masih besar...digini-ginikan (dimain-mainkan dan ditusuk-tusuk) sama kayu menjalin. Sekitar satu jam. Yang ‘menggitukan’ saya hanya komandannya itu saja, yang namanya PakXMRCT . Yang lainnya ndak berani.
Sementara itu banyak perempuan yang juga diperkosa pada masa Operasi Trisula. “IBA” menceritakan kesaksian tersebut :
….bahkan jika melihat anak gadis atau janda cantik tak segan-segan untuk memperkosanya. Seperti kejadian yang terjadi di Desa Ngleduk Kecamatan Surowadang, beberapa tentara secara brutal memperkosa beberapa anak gadis dan janda lalu membunuhnya di Gunung Kemiri.