Toleransi Kehidupan Beragama Kajian Penelitian Relevan

14 menganalisis tentang internalisasi nilai toleransi melalui model telling story pada pembelajaran PKn untuk mengatasi masalah tawuran. Pendekatan yang digunakan untuk adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan metode campuran. Data-data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, studi dokumentasi, studi kepustakaan, dan uji coba model pembelajaran telling story. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: 1 faktor utama penyebab terjadinya tawuran antar pelajar di Sukabumi adalah adanya sistem balas dendam yang turun temurun dan dilestarikan kepada generasi berikutnya, sehingga tawuran bagi mereka merupakan panggilan jiwa dan solidaritas terhadap temannya yang telah dianiaya. Tawuran terjadi sebagian besar diakibatkan oleh hal-hal sepele, yang sebetulnya hal tersebut bukan untuk dijadikan masalah besar. Maka dari itu, nilai toleransi mutlak untuk ditanamkan kepada para pelajar, khususnya mereka yang terlibat dalam tawuran; 2 Model telling story pada PKn untuk peserta didik sangat berpengaruh, terutama dalam pembentukan sikap nilai toleransi peserta didik. Peserta didik diajak untuk memutuskan segala permasalahan yang ada pada diri mereka, menurut pemikiran dan pendapat dari orang yang berpengetahuan dan berpengalaman yaitu dari guru. Penelitian Sufanti et.all 2013 menemukan berbagai variasi persepsi siswa SMA Muhammadiyah di Surakarta tentang makna kata toleransi, radikalisme, dan penanaman nilai- nilai pendidikan toleransi baik di sekolah maupun di masyarakat. Terdapat 12 variasi persepsi siswa tentang makna kata toleransi, namun mayoritas persepsi sama dengan yang tertera di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Terhadap makna kata radikalisme mereka kurang memahami dengan baik, namun mereka menyatakan sering melihat atau mendengar tindakan kekerasan atas nama agama di masyarakat. Mereka menyatakan bahwa orang tua dan guru telah memberi pendidikan tentang toleransi kehidupan beragama. 2.2.Kajian Teori

2.2.1 Toleransi Kehidupan Beragama

Keragaman beragama dalam segala segi kehidupan merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Keragaman tersebut menyimpan potensi yang dapat memperkaya warna hidup. Setiap pihak baik individu maupun komunitas dapat menunjukkan eksistensi dirinya dalam interaksi sosial yang harmonis. Namun, dalam keragaman tersimpan juga potensi destruktif yang meresahkan, yang dapat menghilangkan kekayaan khazanah kehidupan yang 15 sarat keragaman. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan agar potensi destruktif ini tidak meledak dan berkelanjutan. Salah satu cara yang banyak dilakukan adalah memperkokoh nilai toleransi beragama. Toleransi menurut KBBI Alwi, et al,2002:1478 adalah sifat atau sikap toleran. Sikap toleran yang dimaksud adalah sikap menenggang menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakukan, dsb yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi beragama dapat diartikan sebagai sikap menenggang terhadap ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta dan lingkungannya. Pada masyarakat yang multiagama, Harold Howard Saefullah dalam Suryana, 2011: 133 mengatakan bahwa ada tiga prinsip umum dalam merespons keanekaragaman agama: Pertama, logika bersama, Yang Satu yang berwujud banyak. Kedua, agama sebagai alat, karenanya wahyu dan doktrin dari agama-agama adalah jalan atau dalam tradisi Islam disebut syariat untuk menuju Yang Satu. Ketiga, pengenaan kriteria yang mengabsahkan, maksudnya mengenakan criteria sendiri pada agama-agama lain. Toleransi kehidupan beragama di masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan mengingat ada lima agama yang diakui remsi oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Suryana 2011: 133 menyatakan bahawa kerukunan beragama bukan berarti merelatifkan agama-agama yang ada dengan melebur kepada satu totalitas sinkretisme agama dengan menjadikan agama-agama yang ada itu sebagai unsur dari agama totalitas tersebut. Urgensi dari kerukunan adalah mewujudkan kesatuan pandangan dan sikap guna melahirkan kesatuan perbuatan dan tindakan serta tanggung jawab bersama, sehingga tidak ada pihak yang melepaskan diri dari tanggung jawab atau menyalahkan pihak lain. Kerukunan beragama berkaitan dengan toleransi, yakni istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya toleransi beragama, yakni penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama- agama lainnya. Dalam pengertian yang luas toleransi lebih terarah pada pemberian tempat yang luas bagi keberagaman dan perbedaan yang ada pada individu atau kelompok-kelompok lain. Oleh sebab 16 itu, perlu ditekankan bahwa tidak benar bilamana toleransi dimaknai sebagai pengebirian hak- hak individu atau kelompok tertentu untuk disesuaikan dengan kondisi atau keadaan orang atau kelompok lain, atau sebaliknya mengorbankan hak-hak orang lain untuk dialihkan sesuai dengan keadaan atau kondisi kelompok tertentu. Toleransi justru sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing individu atau kelompok tersebut, namun di dalamnya diikat dan disatukan dalam kerangka kebersamaan untuk kepentingan yang sama. Toleransi adalah penghormatan, penerimaan dan penghargaan tentang keragaman yang kaya akan kebudayaan dunia kita, bentuk ekspresi kita dan tata cara sebagai manusia. Hal itu dipelihara oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan pemikiran, katahati dan kepercayaan. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan UNESCO APNIEVE, dalam Endang, 2013: 92. Toleransi terhadap keragaman mengandung pengertian bahwa setiap orang harus mampu melihat perbedaan pada diri orang lain atau kelompok lain sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertentangkan. Sesuatu yang berbeda pada orang lain hendaknya dipandang sebagai bagian yang dapat menjadi kontribusi bagi kekayaan budaya, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada akan memiliki nilai manfaat apabila digali dan dipahami dengan lebih arif. Imron 2000:95 mengatakan bahwa diperlukan keteladanan para pemimpin agama ulama, pastur, pendeta dan lain sebagainya dan pemimpin organisasi keagamaan dalam kehidupan sosial masyarakat baik dalam berbicara, bersikap, maupun berperilaku. Para pemimpin ini perlu menunjukkan sikap dan tindakan yang bersahabat dengan individu maupun kelompok yang menganut agama lain, atau agama yang sama tetapi berbeda faham. Suasana sejuk yang jauh dari konflik perlu diusahakan oleh para pemimpin ini. Bukan sebaliknya menjadi provokator dalam menghidupkan fanatisme buta pada agama sehingga menganggap kelompok beragama lain sebagai musuhnya. Selain itu, Imron 2000:95 menambahkan perlunya mengefektifkan dan mengintensifkan forum komunikasi antar-pemimpin umat beragama secara terprogram dan kontinyu. Dengan forum komunikasi itu, para pemimpin agama dapat duduk semeja menjalin hubungan akrab diantara mereka sehingga tercipta suasana psikologis dan politis yang kondusif. 17 2.2.2 Tindakan Intoleransi dalam Kehidupan Beragama Tindakan intoleransi dalam kehidupan beragama sering menimbulkan teror di masyarakat. Terorisme secara klasik diartikan sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dalam masyarakat Hakim, 2004. Berdalih agama, seseorang atau sekelompok orang melakukan kekerasan terhadap orang lain, sehingga orang lain atau kelompok merasa takut atau terancam hidupnya. Tindakan intoleransi sering mengarah pada radikalisme. Alwi, et al 2002:919 mengartikan radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Paham ini menganggap apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang harus disebarluaskan kepada masyarakat, agar terjadi perubahan dalam masyarakat sesuai dengan keyakinan yang dianut. Cara yang dilakukan dengan memaksakan kehendak kepada orang lain atau menimbulkan kekerasan dan teror menimbulkan konflik sosial. Pembahasan radikalisme yang sering menimbulkan kerusuhan dan konflik sosial sering dikaitkan dengan agama. Imron 2000:86 menyebutkan minimal ada dua alasan mengapa dimensi agama perlu ditekankan dalam pembahasan mengenai kerusuhan ataupun konflik sosial. Pertama, adanya indikasi bahwa modernisasi sosial-ekonomi di berbagai tempat yang berpenduduk muslim, justru mendorong peningkatan religiusitas, bukan sekularisme. Walaupun peningkatan religiusitas juga terjadi di kalangan pemeluk agama lain, yang terjadi pada umat Islam sangat mencolok. Persoalannya adalah bahwa proses itu ternyata memuat potensi yang dapat mengganggu keselarasan dalam hubungan antarumat beragama. Dalam masyarakat seperti itu, militansi cenderung meningkat, fundamentalisme berkembang, toleransi antar pemeluk agama menurun. Kedua, adanya dugaan bahwa proses yang sama menghasilkan pengenduran hubungan antara sebagian pemeluk agama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang melayaninya. Tindakan radikalisme sering juga terjadi pada umat Islam. Arif 2010:113 menyatakan bahwa radikalisme Islam sering muncul di “Islam Kota” yang tidak berada pada rengkuhan budaya Islam. Dia menyatakan, pesantren adalah wujud “Islam desa” yang tidak terjadi radikalisme karena Islam telah lama menubuh dalam struktur budaya di pesantren. Berbeda dengan itu, “Islam kota” sering terseret pada globalisasi Islam karena budaya Islam kurang merengkuh dengan baik. Sebagian besar aktivis Islam tidak mengenyam pendidikan kultural 18 Islam seperti pesantren. Hal ini menyebabkan pemahaman para aktivis terhadap agama sangat dangkal dan tidak substansial. Aktivis yang semacam inilah yang sering bertindak secara radikal, karena mudah tersulut oleh provokasi dari lingkungannya.

2.2.3 Pendidikan Beragama