Analisis Kelayakan Usaha Persuteraan Alam, Diversifikasi Dan Inovasi Produk Di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERSUTERAAN ALAM,
DIVERSIFIKASI DAN INOVASI PRODUK
DI KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN

JUN HARBI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kelayakan
Usaha Persuteraan Alam, Diversifikasi dan Inovasi Produk Di Kabupaten Wajo,
Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Jun Harbi
NIM P052130191

RINGKASAN
JUN HARBI. Analisis Kelayakan Usaha Persuteraan Alam, Diversifikasi dan
Inovasi Produk Di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DODIK
RIDHO NURROCHMAT dan CLARA MELIANTI KUSHARTO.
Produksi kokon di Kelurahan Walennae rata 65-70% dari produksi Wajo,
sehingga produksi di Kelurahan Walennae dapat mewakili tingkat produksi Wajo.
Tingkat produksi kokon di Kelurahan Walennae berfluktuasi setiap tahunnya.
Tingkat produksi cenderung meningkat di tahun 2013 dan menurun secara drastis
pada tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menilai dan menganalisa status
kelayakan usaha persuteraan alam dan menganalisis potensi dan pengaruh produk
diversifikasi terhadap kondisi usaha dengan menggunakan analisis finansial dan
non finansial.
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Walennae, Kecamatan
Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan pada bulan Juni-Oktober 2015.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis finansial dan analisis non

finansial. Analisis finansial berupa analisis kelayakan usaha (NPV, IRR dan Net
B/C) dan analisis sensitivitas. Analisis non finansial dilakukan dengan
menggunakan tabulasi aspek teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran,
manajemen, sumber daya manusia, legalitas, ekologi dan sosial.
Hasil analisis kelayakan finansial menunjukkan, pada produksi minimal
NPV sebesar Rp 3.229.402, IRR 48% dan Net B/C 2,71 (saat ini). Sementara pada
adopsi inovasi, NPV sebesar Rp 3.503.903, IRR 33% dan Net B/C 1,91.
Pengolahan produk diversifikasi berupa tepung Pury dengan menerapkan metode
yang sesuai sangat penting untuk meningkatkan keuntungan. Dengan harga jual
tepung Pury Rp 22.580/kg, laba bersih yang dapat dihasilkan adalah Rp 596.899
(produksi optimum) dan Rp 3.780.099 (produksi minimum). Hasil analisis non
finansial menunjukkan bahwa pada aspek teknis dan teknologi, pasar dan
pemasaran, manajemen, sumber daya manusia, legalitas, ekologi dan sosial
menunjukkan bahwa usaha ini layak dengan syarat bahwa alat yang digunakan
dimiliki oleh masing-masing petani, dukungan secara intensif oleh pakar dan
dukungan pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah usaha persuteraan
alam dan produk diversifikasinya di Kelurahan Walannae layak dilaksanakan.
Kata kunci: diversifikasi, kelayakan, persuteraan alam, produk inovasi

SUMMARY

JUN HARBI. Feasibility Study of Sericulture Bussines, Diversification and
Products Innovation in Wajo Regency, South Sulawesi. Supervised by DODIK
RIDHO NURROCHMAT dan CLARA MELIANTI KUSHARTO.
In average cocoon production in the Walennae Village about 65-70% of
the Wajo production, therefore that Walennae Village production may represent
Wajo production. However, cocoon production levels in the Walennae Village
still fluctuated annually. Production levels are likely to rise in the 2013 and
declined dramatically in 2014. This research aims to assess and analyze the
feasibility status of sericulture business and analyze the potential and influence of
diversified products.
This research was conducted in Walennae Village, Sabbangparu Disrict,
Wajo Regency, South Sulawesi at June until October 2015. The analytical method
used is the financial and non-financial analysis. Financial analysis such as
feasibility analysis (NPV, IRR and Net B/C) and sensitivity analysis. Analysis of
non-financial analyzed by tabulating the technical aspects and technologies,
markets and marketing, management, human resources, legal, ecological and
social.
Results of financial feasibility analysis showed that at the minimum
production, NPV is Rp 3.229.402, IRR 48% and Net B/C 2,71 (currently).
Whenever, the innovations adopted, such as NPV is Rp 3.503.903, IRR 33% and

Net B/C 1,91. Making diversified products in the form of silkworm pupa powder
(Tepung Pury) by adopted innovation is the immediate vital to optimize profits.
With selling price of Pury powder is Rp 22.580/kg, net profit that can be
generated is Rp 596.899 (optimum production) and Rp 3.780.099 (minimum
production). Results of the non financial analysis showed that on the technical and
technologies aspects, markets and marketing, management, human resources,
legality, ecological and social indicate that this business is feasible on condition
that the tools used are owned by each farmer, intensive assistance by experts and
government support. The conclusion of this study is the sericulture business and
products diversification (innovation adopted) on Walennae Village is feasible to
implement.
Keywords: diversification, feasibility, innovation products, sericulture,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERSUTERAAN ALAM,
DIVERSIFIKASI DAN INOVASI PRODUK
DI KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN

JUN HARBI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah kelayakan usaha,
dengan judul Analisis Kelayakan Usaha Persuteraan Alam, Diversifikasi dan
Inovasi Produk Di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dodik Ridho
Nurrochmat, M Sc F Trop dan Ibu Prof Dr drh Clara M. Kusharto, M Sc selaku
komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Darwin Tjukke dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo,
Bapak Abdul Kadir selaku Lurah Desa Walennae serta Ibu Hade selaku ketua
kelompok tani pengolahan sutera di Kabupaten Wajo dan Bapak Dr Ir Andi
Sadapotto, MS selaku peneliti persuteraan alam di Sulawesi Selatan yang telah
membantu selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dikti
Kemendikbud RI atas beasiswa yang diberikan selama studi.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya disampaikan
kepada kedua orang tua (Mustatir dan Rosidah, S Pd I), bapak dan ibu mertua (M.
Ridho dan Fatimah, Ama Pd), serta adik-adikku atas segala doa, dukungan dan
motivasinya. Ucapan terima kasih special penulis sampaikan kepada istri tercinta

(Tuti Maulidah Rahmana, S Pd) atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Jun Harbi

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
3
4
4
4
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Persuteraan Alam
Produk Diversifikasi dari Hasil Samping Usaha Persuteraan Alam
Kajian Aspek Finansial
Kajian Aspek Non Finansial


7
7
10
12
14

3 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Populasi dan Sampel
Prosedur Penelitian
Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
Analisis Data

17
17
17
18
18

18
20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Usaha Persuteraan Alam Kab. Wajo Saat Ini
Kondisi Usaha Persuteraan Alam Adopsi Inovasi

22
22
44

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

53
53
53

DAFTAR PUSTAKA


54

LAMPIRAN

58

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Komposisi kokon
Komposisi zat gizi pupa ulat sutera
Komposisi zat gizi dalam 100 gram tepung pury
Jenis, sumber, teknik pengambilan dan keluaran data
Kebutuhan suhu dan kelembaban ulat sutera pada setiap stadium
Produksi usaha persuteraan alam Kelurahan Walennae tahun 2014
Biaya investasi alat produksi usaha persuteraan alam (saat ini)
Analisis biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat
ini (dengan dan tanpa subsidi)
NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam saat ini pada kondisi
produksi optimis dan pesimis
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada kondisi
produksi optimis dan pesimis
Unit konversi/rendemen produk persuteraan alam pada 6 kelompok tani
Biaya investasi alat produksi usaha persuteraan alam (adopsi inovasi)
Biaya produksi tepung pury
Analisis biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam
adopsi inovasi (dengan dan tanpa subsidi)
NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada
kondisi produksi optimis dan pesimis
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam dengan adopsi inovasi pada
kondisi produksi optimis dan pesimis

2
10
12
19
24
27
29
31
33
34
46
46
47
48
49
50

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Kokon (kualitas utama dan rendah/limbah)
Tingkat produksi kokon Indonesia tahun 2000-2013
Kerangka pemikiran dari aspek finansial
Kerangka pemikiran penelitian
Rantai alur persuteraan alam di Indonesia
Ulat Sutera (Bombyx mori)
Beberapa produk diversifikasi yang dapat diolah
Beberapa diversifikasi produk hasil samping olahan pupa
Mekanisme alur kegiatan usaha persuteraan alam Kelurahan Walennae
Jenis bibit ulat sutera, (A) produk Perum Perhutani, (B) produk cina
Cara pemeliharaan ulat yang baru menetas
Kandang dan rak penempatan ulat
Tempat pengokonan ulat
Ulat matang dan aktivitas pemindahan ulat ke tempat pengokonan
Alat pemintal dan aktivitas pemintalan kokon menjadi benang
Tingkat produksi kokon dan benang pada tahun 2010-2014 di
Kelurahan Walennae
17 Tanaman murbei ditanam sebagai tanaman pagar dan di tepi Sungai
Walennae

2
3
6
6
8
9
11
12
22
23
23
24
25
25
26
27
35

18 Perkembangan produksi kokon Kelurahan Walennae
19 Kondisi tanaman murbei dan rumah ulat yang terkena banjir
20 Tingkat produksi jagung menurut kecamatan di Kabupaten Wajo tahun
2012
21 Komoditi jagung dan kakao yang menjadi pesaing murbei
22 Rata-rata produksi benang sutera per 1 boks bibit ulat sutera jenis lokal
(Perum) dan Cina tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae
23 Rata-rata produksi kokon per 1 boks bibit ulat sutera jenis lokal
(Perum) dan Cina tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae
24 Pengolahan pupa ulat sutera menjadi produk pangan berupa tepung
25 Pembuatan tepung pury

37
37
38
38
39
39
44
45

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini
(tanpa subsidi)
Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini
(dengan subsidi)
Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi
inovasi (tanpa subsidi)
Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi
inovasi (dengan subsidi)
Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi
saat ini (produksi optimis)
Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi
saat ini (produksi pesimis)
Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam adopsi
inovasi (produksi optimis)
Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi
adopsi inovasi (produksi pesimis)
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada penurunan
harga jual kokon sebesar 10% (produksi optimis)
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada penurunan
harga jual kokon sebesar 10% (produksi pesimis)
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada peningkatan
biaya operasional sebesar 10% (produksi optimis)
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada peningkatan
biaya operasional sebesar 10% (produksi pesimis)
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada
penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi optimis)
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada
penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi pesimis)
Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada
peningkatan biaya operasional sebesar 10% (produksi optimis)
Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional kondisi produksi
pesimis sebesar 10%

58
59
60
61
62
62
63
63
64
64
65
65
66
66
67
67

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan komoditas sutera alam dalam bidang kehutanan merupakan
salah satu kegiatan perhutanan sosial yang ditujukan untuk peningkatan ekonomi
kerakyatan, perluasan kesempatan usaha dan kerja, pemberdayaan masyarakat dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat utamanya disekitar kawasan hutan di
wilayah hulu melalui usaha pembudidayaan ulat sutera. Budidaya ulat sutera erat
kaitannya dan tidak dapat dipisahkan dengan usaha budidaya murbei sebagai
pakan ulat sutera. Selain sebagai pakan ulat, tanaman murbei juga dapat berfungsi
sebagai perlindungan tanah dari erosi dan degradasi lahan (BPA 2010) serta
mampu tumbuh pada lahan kritis (Sadapotto 2010).
Sutera alam di Sulawesi Selatan telah lama menjadi bagian dari kehidupan
budaya masyarakat. Budidaya sutera alam telah dikenal sejak tahun 1950-an dan
sampai sekarang masih digeluti oleh sebagian masyarakat pedesaan. Sarung sutera
merupakan salah satu perangkat yang dipergunakan pada tiap upacara
kebudayaaan seperti perkawinan dan pesta adat (Sadapotto 2010) sehingga kain
sutera dan proses produksinya sarat akan kandungan kearifan lokal yang berisi
pesan-pesan moral (Syukur et al. 2013).
Salah satu daerah penghasil utama sutera alam bahkan dikenal dengan “Kota
Sutera” di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Wajo. Menurut BPA (2010), pada
tahun 2009 di Kabupaten Wajo terdapat 312,50 Ha lahan tanaman murbei dan 1,5
Ha kebun bibit murbei. Kabupaten Wajo dapat menyerap telur ulat sutera
sebanyak 562,25 boks dan memproduksi kokon sebanyak 12.104,80 kg dan raw
silk sebanyak 1.644,00 kg dengan 25 kelompok tani yang terdiri dari 506 kepala
keluarga. Pada bagian hilir, industri pertenunan di Kabupaten Wajo sebagai
sentra pertenunan melibatkan 5.806 unit usaha yang mempekerjakan 17.418
tenaga kerja dengan nilai investasi Rp 10.931.989.000 (Disperindag Kabupaten
Wajo 2013). Terjadi penurunan tingkat produksi kokon secara simultan di
Kabupaten Wajo selama lima tahun berturut-turut dari 64.071,00 kg (2005),
45.843,00 kg (2006); 27.267,15 kg (2007); 35.141,60 kg (2008); dan 12.104,80 kg
pada tahun 2009. Menurunnya tingkat produksi kokon tersebut pada akhirnya
mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat sehingga dibutuhkan inovasi untuk
mengoptimalkan pascapanen usaha persuteraan alam dan meningkatkan nilai
tambah pendapatan keluarga petani/peternak ulat sutera.
Salah satu upaya peningkatan nilai tambah pendapatan petani/peternak ulat
sutera adalah dengan cara mengolah produk diversifikasi dari rangkaian produksi
benang sutera yang menghasilkan hasil samping seperti pupa, kulit kokon dan
daun murbei. Nelaballe et al. (2014) menyatakan bahwa penggunaan hasil
samping telah dilakukan di India berupa penggunaan murbei (dalam pembuatan
minuman kesehatan, teh, kosmetik dari ekstrak daun, dll) dan pupa ulat sutera
yang dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai pangan dengan nilai gizi tinggi.
Pada usaha persuteraan alam, kokon yang dihasilkan ditentukan berdasarkan
kualitas. kokon dengan kualitas baik akan diolah lebih lanjut menjadi benang,
sedangkan kokon dengan kualitas buruk akan dibuang menjadi limbah (Gambar
1). Proses pemintalan kokon menjadi benang akan dihasilkan produk berupa

2
benang dan pupa. Pupa terkandung sekitar 82,1% pada setiap kokon segar dan
52,8% pada kokon kering (Tabel 1). Pupa ini biasanya langsung dibuang dan
dianggap sebagai limbah yang tidak bermanfaat atau hanya dijadikan sebagai
pakan ternak sehingga tidak menghasilkan tambahan pendapatan yang signifikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti dan Kusharto (2009) menunjukkan
bahwa pupa ulat sutera memiliki potensi sebagai bahan pangan yang kaya akan
protein dan asam lemak yang baik bagi kesehatan. Bahkan dengan teknologi yang
sederhana, kini pupa sudah dapat diolah menjadi tepung yang kemudian disebut
“Pury (pupae-mulberry)”, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan pangan dapat
menjadi lebih luas.

Gambar 1 Kokon (kualitas utama dan rendah/limbah)
Tabel 1 Komposisi kokon
Kokon Segar
Berat

Kokon Kering

Berat Nyata
(gr)

Ratio (%)

Berat Nyata
(gr)

Ratio (%)

Kokon

2,09

100,00

0,79

100,00

Kulit Kokon (Cocoon
Shell)

0,36

17,30

0,36

45,70

Pupa

1,72

82,10

0,42

52,80

Lapisan Luar Kokon

0,01

0,60

0,01

1,50

Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000)

Kondisi produksi sutera alam yang terus menurun dan adanya peluang
pemanfaatan hasil samping menjadi produk diversifikasi yang potensial
melatarbelakangi pentingnya penelitian dilakukan untuk mengkaji lebih
mendalam kondisi persuteraan alam saat ini dan potensi pengembangan produk
diversifikasinya tersebut. Kajian dilakukan secara holistik dari aspek kelayakan
secara finansial dan kelayakan non finansial (aspek teknis dan teknologi, pasar
dan pemasaran, manajemen, sumberdaya manusia, legalitas, lingkungan/ekologi
dan aspek sosial masyarakat yang menyangkut penerimaan produsen dan
konsumen terhadap inovasi yang akan menjadi pertimbangan pemerintah dan
masyarakat dalam rangka perumusan strategi pengembangan usaha persuteraan
alam Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

3
Perumusan Masalah
Sutera alam merupakan salah satu dari enam komoditas hasil hutan bukan
kayu (HHBK) unggulan nasional. Kondisi alam beberapa daerah di Indonesia
seperti Sulawesi Selatan berpeluang besar untuk pengembangan sutera alam.
Menurut Susatijo (2008), kegiatan persuteraan alam ini mempunyai peran yang
cukup strategis, antara lain karena dapat melibatkan tenaga kerja termasuk petani,
membuka kesempatan usaha, memberi kesempatan mengembangkan ekonomi
kerakyatan, meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan devisa negara.
Namun, kondisi produksi sutera alam terus mengalami penurunan karena
pengaruh rendahnya tingkat produksi kokon (Gambar 2). Salah satu daerah
penghasil sutera alam yang saat ini mengalami penurunan produksi berada di
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Menurut Ridwan (2011) penyebab utama
anjloknya produksi sutera alam Wajo karena adanya gangguan penyakit seperti
virus dan bakteri yang menyerang tanaman murbei dan mengakibatkan penurunan
secara drastis terhadap produksi benang sutera alam Wajo.
Menurunnya tingkat produksi kokon tersebut pada akhirnya mempengaruhi
tingkat pendapatan masyarakat sehingga dibutuhkan kajian khusus pada berbagai
aspek untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, diperlukan suatu inovasi
untuk mengoptimalkan pascapanen usaha persuteraan alam dan meningkatkan
pendapatan keluarga petani/peternak ulat sutera dari produksi sutera alam.
Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani/peternak adalah
mengolah produk diversifikasi sutera alam seperti pupa yang merupakan salah
satu limbah sutera alam yang dapat dimanfaatkan menjadi produk pangan bergizi
tinggi. Sehingga dari latar belakang dan kondisi tersebut maka beberapa
permasalahan yang perlu diidentifikasi lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi usaha persuteraan alam Kabupaten Wajo saat ini dilihat
dari aspek ekonomi (kelayakan finansial) dan aspek non finansial?
2. Bagaimana pengaruh dan potensi pengolahan produk diversifikasi usaha
persuteraan alam di Kabupaten Wajo dilihat dari aspek ekonomi (kelayakan
finansial) dan aspek non finansial?
120

110,36

Tingkat Produksi (Ton)

100
80
60

90,84 88,77
71,13

69,45
55,3
36,87

40

0

19,28 20,35 17,6 19,06 18,71

13,65

20

1,52
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun

Gambar 2 Tingkat produksi kokon Indonesia tahun 2000-2013
Sumber : Ditjen BPDAS PS (2013)

4
Tujuan Penelitian
1.

2.

Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
Menganalisis kondisi persuteraan alam di Kabupaten Wajo saat ini dilihat
dari kondisi finansial dan non finansial (teknis dan teknologi, pasar dan
pemasaran, manajemen, SDM, legalitas, ekologi/lingkungan dan sosial
budaya).
Menganalisis potensi dan pengaruh pengolahan produk diversifikasi
persuteraan alam terhadap kondisi finansial dan non finansial (teknis dan
teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, SDM, legalitas,
ekologi/lingkungan dan sosial budaya) di Kabupaten Wajo.
Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi pengelolaan
potensi daerah bagi berbagai pihak dan mitra (stakeholder) yaitu:
1. Bagi pemerintah pusat, hasil penelitian menjadi bahan acuan pelaksanaan
replikasi program dan kebijakan pengembangan persuteran alam dan produk
sampingnya yang ramah lingkungan.
2. Hasil riset ini diharapkan dapat menjadi acuan yang komprehensif bagi
Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan dalam
rangka merumuskan dan menyusun kebijakan dan program-program yang
terkait dengan peningkatan produksi dan produktivitas sutera di Kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan.
3. Akademisi dan Peneliti, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan
penelitian di tempat yang lain maupun penelitian-penelitian lanjutannya.
4. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan pengelolaan
persuteraan alam yang berkelanjutan.
5. Bagi pelaku usaha (UMKM), informasi ini dapat dijadikan referensi sebagai
bahan acuan tingkat produksi yang dapat dilakukan dalam usaha persuteraan
alam dan produk smapingnya yang dapat meguntungkan secara ekonomi,
ramah lingkungan dan meningkatkan fungsi sosial masyarakat.
6. Penulis, bermanfaat untuk mengasah kemampuan riset dan penyelesaian
tugas akhir Program Pascasarjana di IPB.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dan batasan pada penelitian ini meliputi:
1. Ruang lingkup wilayah penelitian hanya mengkaji di daerah Kelurahan
Walennae, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi
Selatan untuk kajian finansial dan lingkup wilayah KabupatenWajo untuk
aspek non finansial.
2. Kajian penelitian dilakukan pada dua kondisi waktu operasional usaha yaitu
kondisi saat ini dan kondisi adopsi inovasi. Kondisi saat ini adalah kondisi
usaha persuteraan alam sebelum pengenalan inovasi pengolahan hasil
samping menjadi produk diversifikasi tepung pury sehingga output dari
usaha hanya benang sutera. Kondisi adopsi inovasi adalah kondisi usaha
persuteraan alam dengan penerapan inovasi pengolahan hasil samping

5
menjadi produk diversifikasi tepung pury sehingga output usaha terdiri dari
benang sutera dan tepung pury.
3. Pengembangan persuteraan alam Kabupaten Wajo sesuai dengan kerangka
perencanaan jangka panjang pemerintah daerah berupa reformasi
persuteraan alam sehingga penelitian ini dibatasi lingkup kajian pada
kondisi persuteraan alam saat ini dan potensi pengembangan produk
sampingnya saat penelitian dilakukan.
4. Kajian saat ini persuteraan alam dan produk diversifikasinya dibatasi pada
kajian finansial dan kajian non finansial berupa teknis dan teknologi, pasar
dan pemasaran, manajemen, SDM, legalitas, ekologi/lingkungan dan sosial
budaya. Batasan pada analisis finansial, harga yang digunakan adalah harga
konstan pada saat penelitian dilakukan yaitu pada tahun 2014, karena
diasumsikan berada pada keadaan stabil dan normal dengan menggunakan
discount factor 12%. Batasan pada kajian non finansial adalah kondisi
analisis pada saat penelitian dilakukan seperti kondisi limbah produksi yang
dihasilkan, kebijakan pemerintah, kondisi sosial budaya masyarakat,dll
sehingga dapat menjadi acuan saat realiasi kebijakan reformasi persuteraan
alam dengan asumsi produksi kokon yang dilakukan secara intensif.
Kerangka Pemikiran
Pengembangan komoditas HHBK merupakan salah satu peluang dalam
kegiatan perhutanan sosial. Salah satu komoditas HHBK yang masuk dalam enam
jenis HHBK unggulan nasional adalah sutera alam. Persuteraan Alam merupakan
salah satu kegiatan aneka usaha kehutanan yang sangat membantu masyarakat
yang berada di sekitar hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Menurut
Sadapotto (2010), usaha persuteraan alam dianggap mampu membuka lapangan
kerja, memperbaiki lahan kritis dan meningkatkan pendapatan masyarakat karena
sifatnya yang padat karya, sifat tanaman murbei yang mampu tumbuh pada lahan
kritis dan masa pemeliharaan ulat sutera sampai menghasilkan kokon yang bisa
dijual relatif pendek. Namun peluang tersebut belum dimanfaatkan secara
maksimal sehingga produksi ulat sutera di Indonesia khususnya Provinsi Sulawesi
Selatan dan Kabupaten Wajo terus mengalami penurunan. Kondisi ini
menunjukkan perlunya kajian lebih mendalam bagaimana kondisi saat ini pada
aspek ekologi yang berkaitan dengan vegetasi tanaman murbei, ekonomi yang
berkaitan dengan kelayakan usaha dan aspek sosial yang berkaitan dengan nilainilai manfaat dan modal sosial usaha persuteraan alam Kabupaten Wajo serta
aspek lainnya yang mendukung berkembangnya usaha persuteraan alam sehingga
dapat menjadi rujukan penyebab menurunnya produksi persuteraan alam.
Selain menurunnya produksi, usaha persuteraan alam juga menghasilkan
limbah berupa pupa. Pengolahan limbah yang efektif terus dilakukan sampai
ditemukannya peluang pengolahan pupa tersebut menjadi produk pangan. Pupa
ulat sutera dapat diolah menjadi tepung yang bernilai gizi sebagai bahan baku
produk pangan berupa biskuit, bubur dan sebagainya sehingga hipotesis awal
menerangkan bahwa akan ada nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan hasil
samping menjadi produk diversifikasi seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

6

Gambar 3 Kerangka pemikiran dari aspek finansial
Menurut Astuti dan Kusharto (2009) pengolahan limbah sutera sangat
menguntungkan untuk meningkatkan ketersediaan bahan pangan yang padat gizi,
sekaligus menurunkan cemaran lingkungan. Perlu adanya sosialisasi dan peran
pemerintah daerah untuk memberdayakan masyarakat sekitar sentra pemintalan
benang sutera untuk memanfaatkan PURY sebagai bahan pangan alternatif,
menambah pendapatan peternak ulat sutera dan menjaga lingkungan sekitar dari
pupa yang biasanya terbuang begitu saja. Pengembangan produk samping ini
harus dikaji lebih mendalam tidak hanya pada aspek fisik berupa tingkat manfaat
gizi, namun juga kelayakan secara ekonomi, pengaruh pada lingkungan dan
peluang manfaat sosial seperti penambahan pendapatan. Lebih rinci mengenai
kerangka pemikiran dari penelitian ini ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Persuteraan Alam
Persuteraan alam merupakan salah satu usaha yang turut berkontribusi
terhadap pendapatan negara melalui produk yang dihasilkan berupa hasil hutan
bukan kayu. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 50/Kpts-II/1997
tanggal 20 Januari 1997 yang dimaksud dengan persuteraan alam adalah bagian
kegiatan perhutanan sosial dengan hasil kokon atau benang sutera yang terdiri dari
kegiatan penanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera dan
pengolahan kokon (Ditjen BPDAS PS 2014). Persuteraan alam merupakan
kegiatan yang dapat dikategorikan dalam bentuk agroindustri dan biasa disebut
sebagai kegiatan serikultur. Serikultur telah banyak dikenal oleh masyarakat di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Serikultur banyak diminati karena mudah
diaplikasikan dan benang sutera yang dihasilkan memiliki nilai jual yang tinggi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Miyatani (2008) menyebutkan bahwa
produk utama serikultur adalah benang sutera dengan produk-produk samping
berupa daun murbei tua, pupa ulat sutera, faeces ulat sutera, cocoon pelade dan
silk waste. Kegiatan ini mencakup beberapa aktivitas lain dengan rangkaian
kegiatan yang saling mempengaruhi dan terdiri dari: kegiatan penanaman/
budidaya tanaman murbei, pengadaan/budidaya ulat sutera, pemeliharaan ulat
sutera, pemanenan kokon dan pemintalan kokon menjadi benang sutera
(Kemenhut 2007).
Sutera alam merupakan salah satu komoditi yang dapat dikembangkan di
berbagai daerah di Indonesia karena keadaan alamnya cocok bagi pertumbuhan
ulat sutera maupun murbei sebagai pakan ulat sutera (Andadari et al. 2013).
Pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan pembinaan teknis dan
pengembangan tanaman murbei baik dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan
maupun dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan produktivitas lahan serta
pemberdayaan masyarakat. Masih terdapat lahan tidur yang dapat dimanfaatkan
untuk budi daya tanaman murbei dan ulat sutera merupakan potensi besar
memperluas lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan (BPA 2010). Pengembangan komoditas sutera alam dianggap mampu
membuka lapangan kerja, memperbaiki lahan kritis, meningkatkan pendapatan
masyarakat, karena sifatnya yang padat karya, sifat tanaman murbei yang mampu
tumbuh pada lahan kritis dan masa pemeliharaan ulat sutera sampai menghasilkan
kokon yang bisa dijual dalam jangka waktu relatif pendek (Sadapotto 2010).
Salah satu rantai produksi persuteraan alam (Gambar 5) adalah budidaya
ulat sutera. Ulat sutera merupakan salah satu jenis serangga dari Ordo Lepidoptera.
Serangga ini bernilai ekonomis sangat tinggi bagi manusia karena di akhir fase
larvanya dapat membentuk kokon dari serat sutera. Sutera ini merupakan bahan
baku industri tekstil, benang bedah, parasut dan berbagai keperluan lainnya.
Keistimewaan serat sutera sampai saat ini belum bisa terkalahkan oleh serat sutera
buatan (Nuraeni dan Baharuddin 2009).
Jenis Bombyx mori merupakan salah satu jenis ulat sutera yang banyak
ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia. Sihombing (2002) menyatakan bahwa
Bombyx mori merupakan salah satu dari sekitar 100 jenis anggota famili

8
Bombicydae yang menghasilkan ulat sutera, memilki nilai ekonomis tinggi. Selain
itu, sutera yang berasal dari jenis Bombyx mori menghasilkan serat proten alami
yang terkuat dan dikenal dengan banyaknya jenis motif, including luster,
dyeability, daya serap air yang baik, halus, tekstur yang lembut namun tidak licin
(Rajasekhar et al. 2011). Bombyx mori termasuk dalam genus Bombyx, famili
Bombycidae, ordo Lepidoptera, kelas Insecta dan phylum Arthropoda. Bombyx
mori termasuk serangga “holometabolis” (holos = lengkap, metabole= perubahan
metamorfose lengkap), yaitu golongan serangga yang memiliki fase kehidupannya
berawal dari telur, kemudian menetas menjadi ulat, lalu berubah bentuk menjadi
pupa (kepompong) dan berakhir menjadi ngengat. Perubahan bentuk
(metamorfose) ulat sutera termasuk yang sempurna.

Gambar 5 Rantai alur persuteraan alam di Indonesia
Bentuk telur Bombyx mori adalah bulat sedikit gepeng (Gambar 6), berat
sekitar 0.006 gr/butir, dengan panjang 1-1,3 mm dan lebar 0,9-1,2 mm. Satu gram
telur berisi antara 1.600-1.650 butir telur, berat jenis telur adalah 1,075.
Pertumbuhan ulat seluruhnya merupakan masa makan dan masa tumbuh.
Pertambahan berat tubuh dari awal hingga 23-25 hari yaitu sekitar 9.500 kali dan
panjang berlipat menjadi 30 kali. Sewaktu baru ditetaskan dari telur, berat tubuh
hanya sebesar 0,038 gram dan panjang badan 0,25 cm tetapi setelah mencapai
umur 23-25 hari berat tubuhnya sekitar 360 gram dengan panjang tubuh mencapai
7,2 cm (Sihombing 2002).
Menurut Andadari et al (2013) klasifikasi ulat sutera berdasarkan asal
negara induk dibedakan menjadi empat ras, yaitu Ras Jepang (jumlah telur banyak,
siklus hidup yang panjang, bentuk ulat kecil, kokonnya putih dan bentuknya
berlekuk seperti kacang tanah), Ras Cina (siklus hidup pendek, peka terhadap
kelembaban tinggi, produksi kokon rendah, bentuk kokon agak bulat, serat sutera
halus dan mudah dipintal), Ras Eropa (produksi panjang, kokon besar dan

9
berwarna putih, tidak tahan terhadap iklim panas dan lembab) dan Ras Tropika
(hidup di daerah tropis, tahan terhadap suhu panas dan kokon berukuran kecil).

Gambar 6 Ulat Sutera (Bombyx mori)
Sumber: Miyatani (2008)
Ulat sutera akan berubah bentuk menjadi kokon dengan pupa di dalamnya.
Pupa adalah stadium perantara dari ulat sebelum berubah menjadi ngengat.
Adapun tanda-tanda jika seekor ulat akan mengokon adalah waktunya sudah
cukup (waktu ini dihitung sejak telur ditetaskan), tidak aktif makan, keluar
kotoran ulat berwarna hijau, karena makanan tidak tercerna dan warna tubuhnya
jernih, padat berisi, terutama bagi ulat penghasil benang berwarna.
Tahapan selanjutnya adalah pembuatan kain sutera dengan menggunakan
alat tenun seperti gedogan, ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan ATM (Alat
Tenun Mesin) serta pemasarannya. Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut
dengan "Sabbe". Dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung
sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional
yaitu alat tenun gedogan atau yang dinamakan masyarakat wajo adalah “Tennung
Bola” dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo
Tettong" (bergaris atau tegak), motif "Makkalu" (melingkar), motif "mal-lobang"
(berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). Selain itu ada juga
diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi)
timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan
kain Damas (Ridwan 2011).
Pelaksanaan pembangunan kehutanan dibidang persuteraan alam sampai
sejauh ini masih belum optimal mengingat produksi benang dalam negeri belum
mampu mencukupi kebutuhan industri pertenunan dalam negeri dan kualitas
benang yang dihasilkan masih rendah. Melihat kondisi tersebut pengembangan
persuteraan alam di tanah air masih sangat potensial untuk dikembangkan lebih
lanjut guna memperluas lapangan kerja bagi masyarakat di pedesaan. Kualitas
mutu kokon dan benang perlu ditingkatkan sesuai standar internasional agar
mampu bersaing dengan produksi benang dari negara lain. Upaya peningkatan
kualitas tersebut dapat dilaksanakan dengan cara pembudidayaan ulat sutera dan
kebun murbei dilakukan secara intensif dan mengikuti standar teknis

10
pembudidayaan yang baik. Pemintalan kokon menjadi benang benang sutera harus
memperhatikan standar dan kriteria yang dibutuhkan bagi industri pertenunan.
Perkembangan kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Wajo mengalami
penurunan. Ketergantungan bahan baku dari luar merupakan salah satu
penyebabnya sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo mengeluarkan
kebijakan reformasi persuteraan alam berupa pemusatan produksi sendiri bahan
baku benang sutera untuk memenuhi bahan baku industri pertenunan kain sutera
Wajo.
Produk Diversifikasi dari Hasil Samping Usaha Persuteraan Alam
Persuteraan alam mempunyai potensi dalam rangka pengembangan produk
lain selain produksi kokon dan benang sutera. Kegiatan budidaya persuteraan
alam sangat memungkinkan dikembangkan oleh masyarakat baik sebagai industri
makanan, kosmetik maupun kerajinan tangan (Gahlot dan Suryanarayana 2008).
Hasil-hasil tersebut dapat memberikan nilai tambah yang besar apabila
dikembangkan dengan intensif (BPA 2010).
Salah satu rantai produksi yang belum dimanfaatkan adalah pupa yang
berupa pupa segar, tidak segar dan kulit pupa. Ulat sutera yang sudah membentuk
kokon dan telah melalui proses pemintalan benang sutera akan menghasilkan
limbah berupa pupa ulat sutera. Peluang pengembangan dari produk olahan pupa
sangat tinggi karena keberadaannya yang tersedia sangat tinggi pada setiap
rangkaian produksi sutera. Protein yang terkandung dalam pupa ulat sutera
mencapai 60-75%. Selain protein, terdapat zat gizi lainnnya pada pupa seperti
asam amino, mineral, kalium, natrium dan kalsium (Tabel 2).
Tabel 2 Komposisi zat gizi pupa ulat sutera
No

Konstituen

1
Moisture
2
Kitin
3
Protein Kasar
4
Protein Halus
5
Karbohidrat
6
Asam Amino
7
Mineral
8
Kalium
9
Natrium
10
Kalsium
11
Pospor
12
Vitamin C
Sumber: Singhal et al. (2001)

Berat Kering (%)
9,88
4,30
71,75
26,10
6,85
27,35
7,13
1,86
0,07
4,44
0,68
87,70

Pupa dapat diolah untuk menambah nilai tambah dalam kegiatan
persuteraan alam (Gambar 7). Pupa ulat sutera telah banyak dimanfaatkan di
berbagai negara, baik dalam bentuk mentah maupun hasil olahan. Beberapa
contoh seperti yang dikemukakan oleh Miyatani (2008) bahwa pemanfaatan pupa
ulat sutera dalam bentuk mentah di korea diolah menjadi snack “beondagi”,

11
makanan kaleng dan makanan alternatif diet bagi penderita diabetes. Pemanfaatan
pupa ulat sutera hasil olahan antara lain sebagai obat kuat, bahan tambahan
pangan bakery, dan confectionary. Pupa ulat sutera juga dimanfaatkan sebagai
bahan pembuatan sabun, lilin dan hair tonic.

Gambar 7 Beberapa produk diversifikasi yang dapat diolah
dari hasil samping pupa
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Kusharto et al. (2013) telah
berhasil melakukan pengolahan pupa menjadi tepung PURY (Pupa Mulberry
Bombyx mori). Diharapkan dengan tersedia tepung pury dari limbah pupa dapat
meningkatkan ketersediaan bahan pangan sumber protein hewani yang padat gizi.
Tepung pupa tersebut selanjutnya dapat diolah menjadi produk pangan berupa
sempry, stick pury, baruasa pury, kerupuk pury (kerupy), likury, makary dan
nugget Tepung Pury (Tapury) (Gambar 8). Rifqi (2011) menyebutkan bahwa
nugget tahu pury (Tapury) memiliki harga protein per gram nugget lebih rendah
dibandingkan dengan harga nugget biasa dan harga nugget pasaran sehingga
pengembangan produk pangan nugget tapury sangat bermanfaat untuk dilakukan.
Selain memberikan harga yang relatif murah juga dapat meningkatkan nilai guna
dan nilai ekonomi bahan pangan yang belum dimanfaatkan secara maksimal
dipasaran.
Kandungan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral merupakan
keunggulan pury sebagai alternatif bahan formula MP-ASI. Keunggulan lain dari
pury adalah kandungan asam lemak tak jenuh seperti oleat, linoleat dan linolenat
(56,3%) yang dua kali lebih banyak dari kandungan asam lemak jenuh (miristat,
palmitat, stearat dan arachidonat) dalam pury (sekitar 27% w/w) yang merupakan
bahan dasar pembentukan otak bayi dan anak. Bila dicampur dalam formula MPASI bagi bayi usia 6-12 bulan, pury dapat digunakan sebagai sumber protein,
lemak khususnya lemak tak jenuh, vitamin dan mineral yang akan memberikan
dampak positif bagi tumbuh kembang anak (Astuti 2009).

12

A

D

r

B

C

E

F

Gambar 8 Beberapa diversifikasi produk hasil samping olahan pupa

A) Sempry; B) Stick Pury; C) Baruasa Pury; D) Kerupy; E) Likury; F)
Makary (Kusharto et al. 2013)

Hasil penelitian penggunaan tepung pupa sebagai sumber protein pada diet
aterosklerosis menunjukkan hasil yang positif meningkatkan profil lipid darah.
Komposisi kimia tepung pupa mengandung protein 46,74%, karbohidrat 1%,
lemak 29,75% dan serat 89% (Astuti, Sajuthi dan Siparto 2013). Selain itu, hasil
penelitian yang dilakukan Kusharto dan Koesharto (2012) menunjukan kulit pupa
(sisa hasil ektraksi isi pupa) dapat dimanfaatkan sebagai kitosan sebagai alternatif
bahan pengawet alami pengganti formalin. Dalam skala laboratorium hasilnya
cukup baik memenuhi kualitas 84% derajat deasetilasi, hanya perlu memperbaiki
warna.
Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gr tepung pury
No
Parameter
Kadar % bka
1
Kadar air
10,40
2
Abu
3,14
3
Protein
33,44
4
Lemak
25,72
5
Karbohidrat
5,54
a
[% bk = berat kering] Sumber: Astuti (2009)
Kajian Aspek Finansial
Pemberian nilai (valuation) terhadap manfaat dan biaya lingkungan
menunjukkan bahwa lingkungan dalam memberikan pelayanan tidak cuma-cuma,
namun mempunyai nilai dan harga yang sering tidak tersirat oleh mekanisme
pasar. Menurut Suwandi (2005) sampai saat ini penilaian ekonomi terhadap suatu
usaha pertanian dilakukan dengan analisis finansial, dimana analisis finansial

13
belum memasukkan komponen manfaat dan biaya lingkungan seperti peningkatan
kesuburan lahan, perbaikan kualitas air dan lainnya. Sedangkan kelayakan
ekonomi yang mengukur manfaat dan biaya bagi masyarakat secara keseluruhan
termasuk memasukkan unsur kualitas lingkungan belum banyak dilakukan.
Mengingat strategisnya sektor pertanian dalam pembangunan nasional, kiranya
sangat diperlukan penelitian mengenai analisis ekonomi usaha pertanian dalam hal
ini usaha persuteraan alam dan produk sampingnya.
Pada kajian aspek ekonomi usaha persuteraan alam dan produk
diversifikasinya dilakukan dengan analisis finansial. Kadariah (1999) menyatakan
bahwa analisis finansial menyangkut perbandingan antara pengeluaran uang
dengan revenue earning proyek, apakah proyek tersebut akan terjamin dananya
yang diperlukan, mampu membayar kembali dana tersebut dan berkembang
sedemikian rupa sehingga secara finansial dapat berdiri sendiri.
Analisis finansial bertujuan untuk menilai pengaruh-pengaruh suatu
proyek/usaha terhadap para petani, perusahaan swasta dan umum, badan-badan
pelaksana pemerintah dan pihak lain yang turut serta dalam proyek tersebut yang
dilakukan dengan analisa pendapatan usaha tani. Menurut Haming dan Basalamah
(2010) kajian mengenai aspek finansial merupakan aspek kunci dari suatu kajian
kelayakan karena sekalipun aspek lain tergolong layak, jika kajian aspek finansial
memberikan hasil yang tidak layak, maka usulan program akan ditolak karena
tidak akan memberikan manfaat ekonomi. Analisis ini membutuhkan tahap
identifikasi biaya dan manfaat yang dapat mempengaruhi suatu usaha. Jika biaya
dan manfaat telah diidentifikasi dan akan diperbandingkan maka keduanya harus
dinilai. Menurut Gittinger (1986) cara yang paling praktis untuk membandingkan
perbedaan barang dan jasa secara langsung adalah dinyatakan dalam nilai uang,
maka dibutuhkan harga yang tepat untuk digunakan dalam analisa biaya dan
manfaat. Penentuan harga tersebut kerapkali menggunakan harga pasar. Setelah
harga tersebut ditetapkan, maka informasi harga ini harus disusun ke dalam pola
(pattern) neraca agar penilaian pengaruh-pengaruh suatu proyek dapat dilakukan.
Metode analisis finansial lebih menekankan kepada analisis biaya-manfaat
terhadap individu atau privat. Analisis finansial menggunakan tingkat bunga
sebenarnya yang harus dibayarkan misalnya melalui kredit bank dan penentuan
harga menggunakan harga pasar (market prices). Semua perhitungan secara
finansial menggunakan cara diskonto dalam bentuk cash flow dimana pengeluaran
dan pemasukan setiap tahun dinilai sekarang (present value) dengan tingkat bunga
(discount rate) tertentu.
Indikator yang digunakan dalam analisis finansial dan analisis ekonomi
dapat dilakukan dengan menghitung Net Present Value (NPV), Internal Rate of
Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Gross Benefit-Cost Ratio (Gross
B/C) dan Profitability Ratio (PV’/K). Ketiga kriteria pertama yaitu NPV, IRR dan
Net B/C lebih umum digunakan dan dapat dipertanggungjawabkan dan sebaliknya
kedua kriteria terakhir (Gross B/C dan PV’/K) tidak dianjurkan dipergunakan di
Indonesia karena kerapkali menyebabkan kekeliruan dalam penyusunan urutan
peluang investasi diakibatkan salah dalam memaknai sifat dasar biaya (Gray et al.
1997). Indikator NPV merupakan indikator terpenting karena memperhitungkan
nilai waktu dari uang sehingga paling cocok bagi petani (Sadapotto et al 2010).
NPV merupakan selisih nilai sekarang arus benefit dengan nilai sekarang arus
biaya. Menghitung nilai sekarang harus ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga

14
yang relevan. Jika NPV menghasilkan nilai positif maka investasi tersebut dapat
diterima, sedangkan jika NPV tersebut bernilai negatif maka sebaiknya investasi
tersebut ditolak (Djatmiko 2012).
Indikator IRR digunakan untuk interpretasi terhadap kelayakan investasi
terhadap suatu proyek. Investasi dikatakan layak jika IRR lebih besar dari tingkat
bunga diskonto, sedangkan jika IRR lebih kecil dari tingkat diskonto maka proyek
tersebut tidak layak dilaksanakan. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga
maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan.
Suatu investasi dikatakan layak jika IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang
berlaku (Gittinger 1986).
Indikator Net B/C digunakan untuk menghitung besarnya manfaat tambahan
pada setiap tambahan biaya sebesar satu tahun. Nilai Net B/C lebih kecil dari satu,
maka hal ini berarti bahwa dengan discount rate yang dipakai, present value dari
benefit lebih kecil daripada present value dari cost, hal ini berarti bahwa proyek
tidak menguntungkan. Kriteria untuk menerima proyek adalah Net B/C sama
dengan atau lebih besar dari satu.
Penilaian terhadap unsur-unsur finansial mana yang lebih berpengaruh maka
dilakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji
sejauh mana perubahan unsur-unsur dalam aspek finansial kegiatan usaha yang
dilaksanakan. Analisis ini akan melihat hal yang akan terjadi dengan hasil
kegiatan usaha jika terjadi perubahan-perubahan dalam dasar-dasar perhitungan
biaya dan manfaat (Kadariah 1999). Analisis sensitivitas (kepekaan) menurut
Nugroho (2008) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis
peka terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan memiliki arti sebagai
besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan estimasi faktor-faktor yang berpegaruh.
Kajian Aspek Non Finansial
Kajian dalam perencanaan pengembangan/inovasi suatu kegiatan perlu
dilakukan secara holistik mencakup semua bidang. Kajian dengan pendekatan
secara holistik (holistic approach) harus dilakukan karena menyangkut rencana
investasi sehingga kelayakan pengembangan inovasi tersebut tidak hanya dilihat
dari aspek finansial. Kerapkali pengembangan/inovasi yang hanya dikaji dari
kelayakan finansial akan terjadi kegagalan karena tidak adanya kajian dan strategi
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut aspek non
finansial. Informasi finansial dan non finansial dianggap sama pentingnya bagi
pengembangan strategi dan implementasi walaupun memang kajian finansial lebih
diprioritaskan (Bhimani dan Langfield 2007). Menurut Haming dan Basalamah
(2010) sehatnya sebuah keputusan harus didukung minimal oleh pilar empat sehat,
yaitu sehat finansial, sehat pemasaran, sehat aspek produksi dan sehat aspek
sumberdaya manusia.
Kajian aspek teknis dan teknologi perlu dilakukan sebagai pendukung data
dasar dalam kajian aspek finansial. Haming dan Basalamah (2010) menyatakan
bahwa aspek teknis dan teknologi ini sifatnya strategis, sebab berkaitan dengan
kapasitas usaha, lokasi, tata letak alat produksi, bentuk bangunan, sumber bahan
baku dan analisis biaya produksi. Selain itu menurut Djatmiko (2012) kajian
aspek teknis dan teknologi juga mencakup standarisasi dan manajemen mutu

15
produk sehingga akan menghasilkan produk dengan kualitas yang seragam pada
setiap kali dilakukan produksi. Komponen-komponen dalam aspek teknis dan
teknologi dapat membantu petani dalam merumuskan strategi efisiensi ataupun
optimasi dalam pengembangan usaha.
Aspek pasar dan pemasaran penting artinya dalam kajian kelayakan karena
kajian ini akan merinci potensi penerimaan (arus kas masuk) selama usia ekonomi
proyek. Disamping itu, studi pasar akan memberikan gambaran mengenai
intensitas persaingan, informasi tentang kebutuhan dan keinginan konsumen,
keterseidaan saluran distribusi dan kondisi sarana angkutan.
Aspek Manajemen berkaitan dengan hal-hal yang berkenaan dengan
pertimbangan mengenai sesuai tidaknya proyek dengan pola sosial budaya
masyarakat setempat, susunan organisasi proyek dengan pembentukan tim kerja,
pembagian kerja, pembuatan rencana kerja agar sesuai dengan prosedur organisasi
setempat, kesanggupan atau keahlian staf yang ada untuk mengelola proyek
(Rosid 2009). Menurut Subagyo (2007) Struktur organisasi manajemen proyek
disusun berdasarkan skala dan kompleksitas proyek. Semakin besar skala proyek,
semakin kompleks struktur yang diterapkan.
Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) bertujuan untuk memperkirakan
kelayakan pembangunan dan implementasi dilihat dari ketersediaan SDM (Umar
2003). Menurut Djatmiko (2012) kajian dalam aspek SDM mencakup perencanaan
SDM, analisis pekerjaan, rekuitmen, seleksi, orientasi, hingga pada pemutusan
hubungan kerja.
Aspek legalitas menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku badan usaha
mengenai perizinan sebagai legalitas usaha. Menurut Umar (2003), studi ini
dilakukan untuk mengetahui rencana secara yuridis dapat dikatakan layak atau tidak.
Jika rencana bisnis yang tidak layak tetap dilaksanakan maka bisnis akan beresiko
besar akan dihentikan oleh pihak yang berwajib atau oleh protes masyarakat. Hal
yang perlu dikaji dalam aspek ini, yaitu siapa pelaksana bisnis, bisnis apa yang akan
dilaksanakan, waktu pelaksanaan bisnis, dimana bisnis dilaksanakan, serta peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku.
Aspek ekologi/lingkungan bertujuan menentukan secara lingkungan hidup
rencana bisnis ini diperkirakan dapat dilaksanakan secara layak atau sebaliknya
dengan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal yang berkaitan dengan
aspek ini, yaitu mengenai peraturan dan perundangan AMDAL dan kegunaannya
dalam kajian pendirian industri dan pelaksanaan proses pengelolan dampak
lingkungan (Umar 2003). Menurut Djatmiko (2012) kelestarian fungsi lingkungan
hidup dapat diukur dengan dua parameter utama, yaitu baku mutu lingkungan
hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dua parameter ini menjadi
ukuran/indikator apakah rencana usaha atau kegiatan dapat menimbulkan dampak
besar dan penting bagi lingkungan hidup.
Menurut Hufschmidt et al (1983) lingkungan mempunyai nilai sebagai
bahan baku untuk kegiatan ekonomi, kegiatan rekreasi, sumber kenikmatan,
keselarasan yang menentukan kualitas hidup, sebagai pelimbahan dan asimilator
atau pendaur ulang limbah dan aktivitas ekonomi,