Analisis Biaya Produksi Usaha Persuteraan Alam: Studi Kasus di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan
ABSTRACT
RENATO. E24070078. Production Cost Analysis of Sericulture (A Case Study at Polewali Mandar Regency West Sulawesi and Enrekang Regency South Sulawesi). Under direction of BINTANG C. H. SIMANGUNSONG.
Sericulture is a part of social forestry programmes to improve the welfare of society, which live mainly around forest areas. In order to compete and overcome the obstacles that exist in Sericulture business today, production cost analysis should be done, as an important component in decision-making. The objective of this study is to determine production cost including break even point (BEP), and profitability rate. This study was conducted at Polewali Mandar Regency West Sulawesi and Enrekang Regency South Sulawesi in November untill December 2011.
The results showed that: (a) the largest cost in Polewali Mandar Regency was at sericulture process that is 36,8% while in Regency Enrekang was at weaving process 53,8%; (b) production costs of cocoon in Enrekang Regency Rp 24.310/kg, the production cost of yarn Rp 393.940/kg, production cost of kain ikat
Rp 197.340/sheet, and production cost of kain sarung Rp 303.440/sheet. While the cost of producing kain sarung in Polewali Mandar Regency Rp 143.940/sheet; (C) Break-even point of farmers group in Polewali Mandar Regency was 119 sheet of kain sarung in a year. Break even point of KUB Sinar Buntu Kurung was 2647,15 kg cocoons in a year. Break even point of UPT Tekstil was 481,5 kg silk yarn in a year. Break even point of Pertenunan Nenek Mallomo was 68 sheet of
kain ikat in a year and 826 sheet of kain sarung in a year; (d) Profitability rate was obtained by Farmers Group Pallis is 25,1% from production costs, KUB Sinar Buntu Kurung was 43,9%, Pertenunan Nenek Mallomo was 26,7% for kain ikat, While UPT Tekstil suffer loss; (e) An integrated sericulture process in Polewali Mandar Regency have ROI point at 3,3%. Sericulture process in Regency Enrekang which done separately, reached ROI point at 15,7% on cocoons production stage. At fabric production, Pertenunan Nenek Mallomo have ROI point at 6,7%. While ROI point at spinning process in UPT Tekstil showed negative value.
Keywords : non-timber forest produts, sericulture, production costs, break even point(BEP), profitability.
(2)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persuteraan alam adalah bagian kegiatan perhutanan sosial yang ditujukan untuk peningkatan ekonomi kerakyatan, perluasan kesempatan usaha dan kerja, pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat utamanya di sekitar kawasan hutan. Kegiatan persuteraan alam (sericulture) terdiri dari kegiatan budidaya murbei (moriculture), pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera dan pengolahan kokon dengan hasil berupa kokon dan benang sutera. Dalam Sumadiwangsa (2006) disebutkan bahwa, sutera alam merupakan salah satu komoditi HHBK yang bernilai tinggi dan sebagai sumber devisa negara. Sutera alam merupakan salah satu komoditi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor baik berupa kokon, benang, maupun produk jadi.
Kebutuhan dunia akan benang sutera selalu meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari produksi sutera alam dunia saat ini sekitar 83.393 ton sementara kebutuhan dunia sekitar 92.741 ton. Indonesia pada tahun 2009 hanya dapat memproduksi kokon dan benang sutera sebanyak 152 ton. Hal ini belum dapat memenuhi kebutuhan industri pertenunan dalam negeri sehingga hal ini membuka peluang untuk mengembangkan usaha di bidang persuteraan alam. Salah satu sentra persuteraan alam di Indonesia saat ini adalah provinsi Sulawesi Selatan dengan persentase produksi hampir 86% dari total produksi nasional. Hal ini terjadi karena adanya faktor pendukung, diantaranya: (1) konsumsi benang sutera alam setempat untuk kerajinan dan industri rumah tangga, (2) lahan yang masih luas dan iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman murbei, (3) konstruksi rumah masyarakat yang umumnya berbentuk panggung mendukung untuk pemeliharaan ulat dan pengolahan kokon, (4) pekerjaan masyarakat yang umumnya sebagai petani (Zainuddin 1997).
Hambatan yang dihadapi dalam usaha persuteraan alam di Indonesia saat ini adalah keterbatasan pengetahuan budidaya murbei dan teknik pemeliharaan ulat sutera yang baik dan benar, masuknya bahan baku impor serta kurangnya dana untuk investasi dan kurangnya pengalaman dalam manajemen pengelolaannya.
(3)
Perlu adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dalam perkembangan persuteraan di Indonesia, mulai dari budidaya hingga ke pemasarannya agar usaha di bidang sutera dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat.
Maka untuk menghadapi persaingan diperlukan suatu pengaturan dan pengawasan yang baik dalam kegiatan produksinya, yaitu perencanaan produksi, pengawasan pembiayaan, penilaian efisiensi, penekanan biaya produksi, dan penentuan harga jual yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan analisis biaya produksi, yang merupakan komponen penting dalam setiap pengambilan keputusan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Oleh karena itu, penelitian tentang analisis biaya produksi usaha persuteraan alam ini diharapkan dapat membantu dalam pengelolaan produksi persuteraan alam dan tingkat keuntungan yang didapat pengusaha.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis struktur biaya produksi usaha persuteraan alam yang mencakup biaya produksi kokon, biaya produksi benang, dan biaya produksi kain sutera. 2. Menghitung break even point usaha persuteraan alam.
3. Menganalisis tingkat profitabilitas usaha persuteraan alam.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengusaha tentang komponen biaya produksi untuk kepentingan pengelolaan dan pengendalian biaya, serta memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat tentang proses pembuatan benang sutera dan komponen biaya produksinya.
(4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Persuteraan Alam
Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han. Benang dan kain sutera yang berasal dari ulat jenis ini telah menjadi produk unggulan yang dibanggakan oleh negara China, sekaligus bagian dari kegiatan atau budaya masyarakat di negara tersebut. Selain di China, budi daya ulat sutera
B. mori juga sudah berkembang pesat di Jepang (abad ke-2), di India dan Korea (abad ke-3), di Italia dan Prancis (abad ke-16), serta Inggris (abad ke-17) (Solihin 2010).
Di Indonesia, perkembangan sutera juga sudah lama berlangsung, yakni dimulai pada abad ke-10. Awalnya, kegiatan perdagangan sutera di Indonesia dilakukan secara langsung oleh negara China dan India. Hal ini membuat pemanfaatan sutera mengalami perkembangan di wilayah Nusantara, terutama di daerah Sulawesi dan berlanjut hingga masa pendudukan Belanda. Sejak tahun 1922 hingga periode pendudukan Jepang, ulat sutera B. mori berkembang baik di beberapa daerah, terutama pada ketinggian 1000-5000 kaki dpl, misalnya di Garut (Jawa Barat), Solo (Jawa Tengah), Curup (Bengkulu), dan Pematang Siantar (Sumatera Utara).
2.2 Usaha Persuteraan Alam
Pada dasarnya kegiatan persuteraan alam adalah kegiatan agroindustri yang merupakan bagian dari kegiatan perhutanan sosial, terdiri dari beberapa kegiatan antara lain: budidaya tanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, pengendalian hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat sutera, pemanenan kokon, pemintalan benang sutera dan pertenunan kain sutera (BPA 2007).
Menurut Saifullah (2004), kegiatan persuteraan alam di Kebun Wanatani Sutera Cibidin, Sukabumi meliputi tiga tahap yaitu budidaya murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemintalan benang. Kegiatan budidaya murbei
(5)
meliputi tahapan mulai dari pengolahan lahan, penanaman bibit yang dapat berupa stek, pemeliharaan tanaman, hingga pemanenan daun. Kegiatan budidaya murbei bertujuan sebagai sumber bahan pakan bagi kegiatan pemeliharaan ulat sutera. Kegiatan pemeliharaan ulat sutera sendiri dimulai dari persiapan pemeliharaan, penetasan telur, pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar, pengokonan, hingga pemanenan kokon. Kokon yang sudah dipanen diseleksi terlebih dahulu baru kemudian direbus sebelum dilakukan pemintalan I (reeling) dan Pemintalan II (re-reeling).
2.2.1 Budidaya Murbei
Tanaman murbei (Morus sp.) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta,
subdivisio Angiospermae, classis Dicotyledonae, ordo Urticalis, familia
Moraceae, genus Morus, species Morus sp. (Samsijah 1974). Tanaman murbei merupakan perdu atau semak, tetapi ada pula yang merupakan pohon tinggi bila dibiarkan. Umumnya bercabang banyak, percabangan tegak atau mendatar. Cabang dan ranting umumnya berbentuk bulat, warna hijau abu-abu, putih agak coklat ataupun ungu. Bentuk daun oval, ovulus atau sub orbiculair. Tepi daun bergerigi, bergigi, beringgit, bercangap berlekuk atau tidak. Ujung daun meruncing. Permukaan atas licin sedikit atau tidak berbulu, berwarna hijau tua atau suram, sedang permukaan bawah hijau suram, dan kasar. Tangkai daun umumnya bulat berwarna hijau putih atau ungu. Mempunyai daun penumpu, lekas gugur dengan meninggalkan bekas. Tumbuhan berumah satu atau dua dan buah majemuk.
Menurut Katsumata (1972, dalam Samsijah 1974) dikenal beberapa jenis tanaman murbei, yaitu:
1. Morus nigra Linn. 2. M. alba Linn.
3. M. alba L.var. tartarica 4. M. alba L.var. macrophylla 5. M. multicaulis.
6. M. cathayana.
(6)
5
Disamping itu juga dijumpai jenis M. bombycis koidz, Morus sp. (sering disebut jenis x), Morus sp. (berasal dari tengger) dan M. macroura.
Berdasarkan kebutuhan ulat sutera perlu diketahui bahwa untuk memelihara ulat kecil (stadia 1 – 3) dibutuhkan daun murbei yang masih muda tetapi yang tidak terlalu lembek, jadi daun daun pucuk apalagi di musim hujan sebaiknya tidak dipakai. Untuk memelihara ulat besar (stadia 4 – mengokon) dibutuhkan daun murbei yang cukup tua asal tidak terlalu keras atau kering. Hamamura (2001) menyatakan bahwa pada daun murbei terdapat attracting factor, biting factor, dan
swallowing factor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera. Komposisi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi faktor yang menyebabkan perilaku makan ulat sutera
Feeding Behaviour Stimulate Substance
Attracting Citral
Biting β-sitosterol
Morin or isoquercitrin
Swallowing Cellulose powder
Supplementary Potassium diposphate
Sucrose Inositol Silicasol
Sumber: Hamamura (2001)
2.2.2 Pemeliharaan Ulat sutera
Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang biasa dipelihara dalam ruangan dan penghasil sutera utama, meliputi 95% produksi sutera dunia. Sebutan lain adalah ulat sutera murbei karena secara alami hanya makan daun murbei (Morus spp.) dan sutera yang dihasilkan dikenal sutera alam murbei (Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009).
Ulat sutera merupakan serangga dengan metamorfosis sempurna, yaitu serangga dengan perkembangan sayap terjadi di dalam tubuh dan fase pra dewasa berbeda dengan fase dewasa baik morfologi ataupun perilaku makan. Secara keseluruhan siklus hidup yang dilalui ulat sutera meliputi telur, larva (instar), pupa dan dewasa (imago). Pada masing-masing akhir instar ditandai dengan pergantian kulit (moulting). Pada fase instar ada lima tahap, yaitu: instar I, instar
(7)
II, instar III, instar IV, dan instar V. Katsumata (1964 dalam Ekastuti 1994) memberikan batasan waktu tahapan instar ini sebagai berikut:
1. Instar I lamanya 2 hari 13 jam, dihitung dari saat telur menetas sampai istirahat I.
2. Instar II lamanya 2 hari 2 jam, dihitung setelah istirahat 20 jam pada istirahat I.
3. Instar III lamanya 2 hari 14 jam, dihitung setelah istirahat II selama 20 jam. 4. Instar IV lamanya 3 hari 16 jam, dihitung setelah istirahat III yang lamanya
24 jam.
5. Instar V lamanya 8 hari 5 jam, dihitung setelah istirahat IV yang lamanya 1 hari 13 jam. Tahap terakhir ini ditandai dengan ulat mulai tidak mau makan.
Gambar 1 Siklus hidup ulat sutera (Bombyx mori) berdasarkan dari www.cdfd.org.in.
Lamanya periode hidup ulat sutera mulai saat menetaskan telur sampai masa membuat kokon sekitar satu bulan dan sangat tergantung pada iklim serta keadaan lingkungan (Atmosoedarjo et al. 2000 dalam Nurhaedah 2009). Menurut Tazima (1964), lamanya siklus hidup ulat sutera secara keseluruhan sekitar 55 – 60 hari
(8)
7
pada suhu 23 – 25 oC. Siklus hidup ulat sutera (B. mori) secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.
Menurut Sangaku (1975 dalam Ekastuti 1994), ulat sutera dapat dibagi berdasarkan atas sifat fisiologis dan ekologisnya, yaitu :
1. Berdasarkan atas voltinismenya (jumlah generasi per tahun), maka akan didapatkan ulat sutera yang monovoltine, yaitu yang hanya mengalami satu generasi dalam setahun, atau secara alam telurnya hanya menetas sekali setahun. Ulat sutera bivoltine yaitu ulat sutera yang mengalami dua generasi setahun. Dan ulat sutera polivoltine yaitu ulat yang mengalami tiga generasi atau lebih dalam setahun. Dalam hal ini telurnya dapat menetas setiap saat. 2. Berdasarkan atas moltinismenya (pergantian kulit), terdapat jenis three
molter, yaitu ulat sutera yang mengalami tiga kali pergantian kulit. Jenis
four molter mengalami empat kali pergantian kulit. Dan jenis five molter
mengalami lima kali pergantian kulit.
3. Berdasarkan asalnya, terdapat jenis Jepang yang kupu-kupunya bertelur banyak, kokon berwarna putih dan bentuknya seperti kacang tanah. Jenis China kokonnya agak bulat, ada yang berwarna putih, dan kuning kehijauan. Jenis Eropa kokonnya besar dan berwarna putih. Ulatnya tidak tahan terhadap iklim panas dan lembab, ukuran telur dan ulatnya panjang dan periodenya juga panjang. Dan ulat sutera jenis Tropika kokonnya kecil. Kokon adalah rajutan filamen sutera yang dihasilkan kelenjar sutera melalui proses insolubisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran cairan sutera dan berfungsi sebagai pelindung saat berlangsungya proses metamorfosis (Rukaesih et al. 1991 dalam Nurhaedah 2009). Bagian luar kokon berupa serat sutera yang membungkus kokon secara rapi dengan warna dan kehalusannya sangat ditentukan oleh jenis serangga penghasil sutera dan bahan pakannya (Lee 2000; Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009).
Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat atau filamen sutera. Serat sutera dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera (silk gland) dengan bagian-bagian seperti : 1. Bagian depan merupakan saluran pengeluaran kelenjar yang terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva; 2. bagian tengah, bagian ini sebagai penghasil zat warna yang dibentuk bersama serisin yang berfungsi sebagai perekat dua serat paralel dengan proporsi 25 % dari bobot serat dan bersifat mudah larut dalam air panas; 3. bagian belakang kelenjar, sebagai penghasil serat sutera yang disebut fibroin merupakan bagian utama serat filamen dengan proporsi 75 % dari bobot total serat dan tidak larut dalam air panas (Tazima 1978 dalam Nurhaedah 2009).
(9)
2.2.3 Pemintalan
Pemintalan merupakan suatu proses untuk melepas serat sutera dari kokon dan menyayatkannya untuk menghasilkan benang sutera dengan menggunakan alat pintal. Alat pintal yang digunakan dalam industri pemintalan benang sutera alam terdiri dari alat pintal tradisional, alat pintal semi mekanis, dan alat pintal otomatis (Bachtiar 1991 dalam Saifullah 2004). Tahapan pengolahan kokon menjadi benang sutera mentah (rawsilk) yaitu: 1. pengeringan, 2. pemilahan, 3. pemasakan, 4. pemintalan, 5. pemintalan ulang, 6. penjahitan, 7. pengujian, 8. penumpukan dan pengemasan (Jaya 2003).
Menurut Jaya (2003), mesin pintal (mesin reeling) ada 3 macam yaitu mesin pintal otomatis untuk kokon normal, mesin pintal duppion untuk kokon rangkap, dan mesin pintal multi untuk kokon cacat ringan. Mesin pintal multi dan mesin pintal otomatis dalam memintal kokon memiliki langkah yang sama yaitu sebagai berikut: 1. pemasakan, 2. pemilihan, 3. penyikatan, 4. jetbort, 5. button, 6. pulley, 7. beam, 8. guide, 9. reeling. Perbedaan kedua mesin ini hanya terletak pada penyikatan kokon untuk mencari ujung benang. Pada mesin multi pekerjaan tersebut dilakukan secara manual, sedangkan pada mesin otomatis dilakukan dengan menggunakan mesin (secara otomatis).
2.3 Biaya Produksi
Saifullah (2004) menyatakan bahwa, struktur biaya usaha persuteraan alam terdiri dari biaya produksi kokon dan biaya produksi benang. Biaya produksi kokon meliputi biaya pemeliharaan kebun murbei dan biaya pemeliharaan ulat. Sedangkan biaya produksi benang meliputi biaya pemintalan dan biaya pembelian kokon. Biaya produksi kokon di Kabupaten Garut sebesar Rp. 43.840/kg sedangkan di Kabupaten Sukabumi Rp 32.550/kg. Untuk biaya produksi benang di Kabupaten Garut sebesar Rp. 193.880/kg sedangkan di Kabupaten Sukabumi Rp. 362.989/kg.
Berdasarkan data dari Balai Persuteraan Alam pada tahun 2010, Harga telur ulat sutera F1 produksi KPSA Perum Perhutani Soppeng saat ini adalah Rp. 80.000 per boks, sementara produksi PSA Candiroto Rp. 40.000 dengan jumlah ± 25.000 butir per boks. Harga kokon sebagai bahan baku proses pemintalan
(10)
9
benang, saat ini berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 27.000 per kilogram. Sedangkan untuk harga benang sutera saat ini berkisar antara Rp. 225.000 – Rp. 250.000 per kilogram.
2.4 Ekonomi Persuteraan Alam
Perkembangan persuteraan alam di Indonesia mulai tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan persuteraan alam di Indonesia tahun 2005-2010
Tahun Tanaman
Murbei (Ha)
Produksi Kokon (Kg)
Produksi Benang (Kg)
Petani Sutera (KK)
2005 4.573,00 418.276,00 58.949,00 2.911
2006 3.660,55 338.593,55 46.573,68 3.951
2007 3.544,07 469.819,27 65.194,50 3.339
2008 4.658,05 272.827,16 36.864,52 5.714
2009 3.766,10 132.792,26 19.212,23 8.867
2010 2.063,82 161.409,58 20.337,50 3.508
Sumber : Statistik Kehutanan Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (2010) dan Statistik Pengembangan Persuteraan Alam (2011)
Volume impor sutera alam dari berbagai negara produsen sutera seperti China, India, Jepang, Korea dan Brazil lebih banyak pada hasil budidaya ulat sutera (produksi kokon) dan benang sutera. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan potensi sumber daya alam yang menunjang bagi pengembangan budidaya murbei dan pemeliharaan kokon di Indonesia. Dengan demikian pasar bagi pemenuhan kebutuhan kokon dan benang dalam negeri masih terbuka. Sedangkan untuk volume ekspor banyak pada produksi kain dan barang jadi. Hal tersebut menunjukkan masih besarnya respon pasar luar negeri untuk produk-produk hilir persuteraan alam (Yusup 2009).
Peningkatan permintaan produk sutera alam dunia merupakan peluang bagi Indonesia untuk memproduksi sutera alam yang lebih optimal. Ekspor sutera alam Indonesia saat ini telah mencakup berbagai negara, antara lain : Malaysia, Jepang, Turki, Yunani, Jerman, Amerika dan Spanyol. Nilai dan perkembangan ekspor sutera alam di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
(11)
Tabel 3 Nilai dan perkembangan ekspor produk sutera alam Indonesia tahun 2001-2006
Tahun Nilai Ekspor (US $) Perkembangan (%)
2001 44.274 -
2002 241.009 444,36
2003 275.993 14,52
2004 365.844 32,56
2005 1.866.493 410,19
2006 1.972.568 5,68
Sumber : Badan Pusat Statistik (2007)
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai ekspor produk sutera alam di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2006 mengalami peningkatan. Nilai ekspor dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 berkembang positif. Persentase perkembangan nilai ekspor terbesar terjadi pada periode tahun 2002 dan 2005. Walaupun demikian, secara keseluruhan nilai ekspor produk sutera alam di Indonesia meningkat, hal ini berarti peluang bisnis pesuteraan alam di Indonesia masih menjanjikan.
Gambar 2 Produksi benang sutera di Indonesia tahun 2005-2010.
Berdasarkan data produksi benang sutera dari Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial pada tahun 2005-2010. Penghasil benang sutera di indonesia dari yang terbesar adalah berturut-turut provinsi Sulawesi Selatan dengan total jumlah produksi 130,3 ton, Jawa Tengah 11,7 ton, Jawa Barat 6,5 ton, dan Sulawesi Utara 3,6 ton, Berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2, bahwa provinsi Sulawesi Selatan menyumbang hampir 83% produksi benang sutera dari total produksi nasional
82,83% 7,44%
4,12%
2,31% 3,31%
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Barat
Sulawesi Utara
(12)
11
pada tahun 2005-2010. Tingginya produksi benang sutera di Sulawesi Selatan karena sejak tahun 1970 telah diadakan proyek pembinaan persuteraan alam. Produksi benang sutera dari setiap provinsi di Indonesia secara rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 9.
Wilayah pengembangan persuteraan alam di Indonesia yang dilakukan oleh Balai Persuteraan Alam Kementerian Kehutanan telah mencakup 16 provinsi, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Saat ini provinsi yang mengelola persuteraan alam mulai dari hulu (penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera) hingga hilir (industri pemintalan dan industri pertenunan) hanya terdapat di lima provinsi yaitu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Hal ini merupakan peluang dan potensi dari setiap provinsi untuk mengembangkan persuteraan alam mulai dari sektor hulu hingga hilir, mengingat kebutuhan benang sutera secara nasional cenderung meningkat dan masih banyak bergantung dari produk benang sutera impor.
(13)
12
(14)
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2011 di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara pengukuran langsung dan wawancara di lapangan, sementara data sekunder dikumpulkan dengan cara pencatatan data yang tersedia di perusahaan atau pengutipan dari laporan dan literatur yang berkaitan. Secara rinci jenis dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 4.
3.3 Metode Analisis Data
Analisis yang dilakukan adalah analisis biaya produksi per tahapan produksi, analisis break event point, analisis profitabilitas, dan analisis sistem pemasaran produk dan dampak usaha persuteraan alam terhadap kesejahteraan masyarakat.
3.3.1 Analisis Biaya Produksi
Biaya produksi dalam penelitian ini terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel mencakup biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku, membayar upah, membeli bahan penolong, dan biaya energi. Besarnya biaya variabel dihitung dengan cara mengalikan kebutuhan bahan baku atau tenaga kerja atau bahan penolong per unit produk dengan harganya masing-masing seperti yang disajikan di bawah ini.
(15)
Tabel 4 Jenis data dan pengumpulan data
Tahapan
Produksi Jenis Data Data
Cara Pengumpulan data Budidaya
Murbei
Data Primer - Tahapan proses budidaya murbei serta jenis dan jumlah peralatan yang digunakan
- Pengamatan di lapangan - Biaya dan kebutuhan bahan baku
(pengadaan stek)
- Wawancara - Biaya dan kebutuhan bahan
pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
Data Sekunder - Luas area kebun - Data perusahaan
- Produksi daun per ha - Data perusahaan
Pemeliharaan Ulat Sutera
Data primer - Tahapan proses pemeliharaan ulat sutera serta peralatan dan perlengkapan yang digunakan
- Pengamatan di lapangan - Biaya dan kebutuhan bahan baku
(pengadaan bibit ulat sutera)
- Wawancara - Biaya dan kebutuhan bahan
pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
Data Sekunder - Keadaan umum perusahaan - Data perusahaan - Jumlah daun untuk pakan - Data perusahaan - Jumlah boks ulat yang dipelihara - Data perusahaan
- Jumlah produksi kokon - Data perusahaan
- Harga jual kokon - Data perusahaan
Pemintalan Benang
Data Primer - Tahapan proses pemintalan benang serta peralatan dan perlengkapan yang digunakan
- Pengamatan di lapangan - Biaya dan kebutuhan bahan baku
(biaya pembelian kokon)
- Wawancara - Biaya dan kebutuhan bahan
pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
- Kegiatan pemasaran - Wawancara
Data sekunder - Keadaan umum perusahaan - Data perusahaan - Jenis, jumlah, dan lama masa
pakai mesin
- Data perusahaan
- Volume produksi - Data perusahaan
- Harga jual produk - Data perusahaan
Pertenunan Data Primer - Tahapan proses pertenunan serta peralatan dan perlengkapan yang digunakan
- Pengamatan di lapangan
- Biaya dan kebutuhan bahan baku (biaya pembelian benang)
- Wawancara
- Biaya dan kebutuhan bahan pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
- Kegiatan pemasaran - Wawancara
Data Sekunder - Keadaan umum perusahaan - Data perusahaan - Jenis dan jumlah produk - Data perusahaan - Jenis, jumlah, dan lama masa
pakai mesin
- Data perusahaan
- Volume produksi - Data perusahaan
(16)
15
Biaya kebutuhan bahan baku bibit ulat sutera yang dipakai oleh petani dihitung dengan cara pada persamaan 1 sebagai berikut.:
(1) Dimana: B1 = Biaya bahan baku bibit ulat sutera (Rp/kg).
a = Kebutuhan bibit ulat sutera (box/kg). H = Harga bibit ulat sutera (Rp/boks).
Sistem kerja dilakukan dengan sistem borongan dengan pengendalian langsung dari pengawas produksi. Perhitungan biaya untuk gaji dan upah untuk setiap kilogram produksi dihitung dengan cara:
Karyawan kontrak:
(2) Dimana: B2 = Biaya upah langsung (Rp/kg).
ULj = Upah langsung (Rp/HOK). HOK = Hari orang kerja (HOK/kg). Karyawan tetap:
(3)
Dimana: B3 = Biaya untuk gaji dan upah karyawan tetap (Rp/kg). U = Gaji dan upah yang dikeluarkan setiap bulan (Rp/bulan). Q = Rata-rata produksi (kg/bulan).
Sedangkan biaya tetap mencakup biaya penyusutan, bunga modal dan asuransi dari mesin-mesin peralatan, sarana dan prasarana yang digunakan dalam proses produksi. Biaya tetap ini juga mencakup pajak dan pembebanan lainnya. Cara penghitungan besarnya biaya tetap disajikan di bawah ini.
Besarnya biaya penggunaan mesin-mesin dan peralatan untuk setiap kilogram produk dihitung dengan cara:
(17)
(4)
Dimana: B4 = Biaya penggunaan mesin-mesin dan peralatan (Rp/kg). De = Depresiasi dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rp/bulan). Me = Biaya bunga modal dari mesin-mesin dan peralatan ke-e
(Rp/bulan).
r = Bunga dalam persen per tahun
e = 1,2, ..., 1; Jenis mesin-mesin dan peralatan yang digunakan dalam proses produksi.
Q = Rata-rata produksi (kg/bulan). Besarnya penyusutan dihitung dengan cara:
(5)
Dimana: De = Depresiasi dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rp/bulan). Ae = Harga beli dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rupiah). Te = Masa pakai dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (bulan). Sedangkan untuk bunga modal dapat dihitung dengan rumus:
(6)
Dimana: Me = Bunga modal dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rp/bulan). Ae = Harga beli dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rupiah). Te = Masa pakai dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (bulan). r = Tingkat bunga (%/bulan).
3.3.2 Analisis Break Even Point
Break Even Point adalah suatu kondisi dimana suatu usaha tidak memperoleh keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian atau kondisi
(18)
17
imbang antara penerimaan dan biaya-biaya (Nugroho 2002). BEP dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
(7)
Dimana: Q = Produksi titik impas, dalam satuan unit produksi P = Harga jual per unit produksi
FC = Biaya tetap VC = Biaya Variabel
3.3.3 Analisis Profitabilitas
Analisis profitabilitas dilakukan untuk melihat kemampuan perusahaan memperoleh laba dan kelayakan usaha persuteraan alam. Kemampuan perusahaan memperoleh laba dilihat dari nilai Return on Investment (ROI) yang dihasilkan. Semakin besar nilai ROI, maka semakin besar pula laba bersih yang mampu dihasilkannya. ROI dihitung dengan menggunakan rumus pada persamaan 8.
(8)
Dimana : ROI = Return on investment (%);
NI = Laba bersih perusahaan per tahun (Rp/tahun); dan AV = Semua aset / modal yang dimiliki perusahaan (Rp).
(19)
3.4 Sistem Pemasaran dan Dampak Usaha Persuteraan Alam Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Analisis sistem pemasaran produk dilakukan secara deskriptif dengan cara melihat rantai pemasaran produk tersebut mulai dari produsen hingga ke konsumen, sedangkan analisis dampak usaha persuteraan alam terhadap masyarakat dilakukan untuk mengetahui manfaat keberadaan usaha persuteraan alam bagi masyarakat dari segi tingkat pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.
(20)
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dilakukan secara terintegrasi oleh kelompok tani di Desa Pallis mulai dari pemeliharaan murbei sampai pertenunan. Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang dilakukan secara terpisah, kegiatan pemeliharaan murbei dan pemeliharaan ulat sutera dilakukan oleh kelompok tani di Desa Mata Allo kemudian kokon yang dihasilkan dibawa ke UPT Tekstil Enrekang yang terletak di Kelurahan Kalosi untuk dipintal menjadi benang. Benang sutera yang dihasilkan selanjutnya dijual kepada pengusaha pertenunan yang lokasinya berada di luar Kabupaten Enrekang seperti usaha pertenunan Nenek Mallomo yang terletak di Kabupaten Sidrap.
4.1 Kelompok Tani Pallis
Kegiatan usaha persuteraan alam yang dilakukan oleh Kelompok Tani Pallis di Desa Pallis sudah berlangsung sejak tahun 1960-an. Desa Pallis terletak di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Desa Pallis berada pada ketinggian 250-300 mdpl. Sumber mata pencaharian masyarakat di desa ini antara lain beternak, berkebun kakao, dan memelihara ulat sutera. Kegiatan persuteraan alam sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat di desa ini karena sarung mandar yang dihasilkan merupakan salah satu tradisi adat suku mandar yang memang berasal dari daerah ini.
4.1.1 Budidaya Murbei
Daun tanaman murbei merupakan satu-satunya pakan bagi ulat sutera jenis
B. mori. Bibit tanaman murbei yang ditanam oleh petani didapat dari kebun bibit murbei yang terletak di Desa Tammangalle, Kecamatan Balanipa. Tanaman murbei yang dibudidayakan oleh petani di Desa Pallis adalah jenis M. cathayana,
M. nigra, dan M. multicaulis. M. cathayana memiliki bentuk daun berlekuk dengan ketebalan daun yang tipis dan warnanya hijau muda. M. nigra dikenal juga dengan nama murbei hitam, ujung daunnya lancip dan ukurannya lebih kecil dibanding dengan murbei jenis lain. M. multicaulis dikenal dengan nama murbei
(21)
besar karena ukuran daunnya yang besar dan bentuknya agak membulat. M. multicaulis banyak ditanam oleh petani karena ukuran daunnya yang besar dan lebar dibandingkan kedua jenis diatas sehingga produksi daunnya lebih tinggi.
Sumber: Balai Persuteraan Alam
Gambar 4 Daun beberapa jenis murbei (kiri ke kanan: M. nigra, M. alba, M. cathayana, M. multicaulis).
Pemeliharaan kebun murbei yang dilakukan oleh petani berupa pemupukan dan pemangkasan tanaman murbei. Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan kandungan zat hara dalam tanah di sekitar tanaman murbei. Pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk organik yang berupa pupuk kandang dan pupuk anorganik yang berupa pupuk urea. Setiap selesai periode pemeliharaan ulat, tanaman murbei dipangkas dengan ketinggian 100cm dari atas tanah. Pemangkasan tanaman murbei bertujuan untuk membentuk tanaman dan mengatur produksi daun. Apabila tanaman murbei tidak dipangkas akan menyulitkan dalam proses pengambilan daun karena tanaman akan tumbuh tinggi.
4.1.2 Budidaya Ulat Sutera
Kegiatan budidaya ulat sutera (sericulture) bertujuan untuk memproduksi kokon. Ulat sutera yang dipelihara oleh petani merupakan jenis B. mori.Bibit ulat yang dipelihara berasal dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Perum Perhutani di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan seharga Rp 80.000 per boks dengan jumlah telur ulat sebanyak 25.000 telur per boks. Tahapan pemeliharaan ulat dibagi menjadi dua yaitu pemeliharaan ulat kecil (Instar I-III) dan pemeliharaan ulat besar (Instar IV-V). Tahap pemeliharaan ulat kecil dilakukan di unit pemeliharaan ulat kecil atau kandang ulat dengan menggunakan rak pemeliharaan, sedangkan pada tahap pemeliharaan ulat besar petani kemudian memindahkan ulat mereka untuk dipelihara di kolong rumah masing-masing. Ulat yang akan mengokon selanjutnya akan dipindahkan ke alat pengokonan yang
(22)
21
berupa mayang kelapa. Lama waktu pemeliharaan ulat hingga panen kokon kurang lebih 30 hari.
(a) (b)
Gambar 5 Pemeliharaan ulat sutera instar II (a) dan ulat sutera instar V (b).
4.1.3 Pemintalan Benang
Kokon yang telah dipanen selanjutnya siap untuk dipintal menjadi benang sutera. Alat pemintal benang sutera yang banyak digunakan oleh petani adalah alat pintal tradisional yang masih diputar dengan tangan. Sebelum dipintal kokon direndam dulu dalam air panas. Untuk mencari ujung benang biasanya petani menggunakan bambu ataupun sikat. Tiap benang biasanya terdiri dari 10-12 serat kokon. Serat tersebut dimasukkan ke penyaring atau mangkok, kemudian ke peluncur, selanjutnya ke tempat penggulung benang (haspel). Benang sutera yang sudah mengumpul di haspel kemudian dikeringanginkan dan diambil dari haspel.
4.1.4 Pertenunan
Pertenunan merupakan tahap produksi setelah pemintalan. Sebelum ditenun benang sutera perlu melalui tahapan pemasakan dan pewarnaan terlebih dahulu. Proses pemasakan benang sutera menggunakan bahan berupa sabun netral dan soda abu yang bertujuan untuk menghilangkan serisin yang mungkin masih melekat pada benang. Setelah dimasak benang direndam di dalam larutan tawas selama 24 jam dengan tujuan agar pori-pori benang terbuka (pemordanan) dan siap untuk proses pewarnaan. Proses pewarnaan benang sutera yang dilakukan oleh petani menggunakan zat pewarna alam. Zat pewarna alam didapat dari ekstraksi tumbuhan yang mengandung zat warna seperti kayu secang (Caesalpinia sappan) untuk warna merah, daun mangga (Mangifera indica) untuk warna
(23)
kuning, dan kulit buah kakao (Theobroma cacao) untuk menghasilkan warna coklat. Benang sutera yang sudah dicelup dalam pewarna alam selanjutnya direndam dalam air yang diberi asam cuka dengan tujuan untuk menguatkan warna. Setelah itu benang dibilas dengan air bersih dan diangin-anginkan hingga kering. Benang yang sudah diberi warna selanjutnya ditenun dengan menggunakan alat tenun tradisional (gedogan) untuk dijadikan kain sarung. Tahapan proses pemasakan dan pewarnaan benang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Tahapan proses pemasakan dan pewarnaan benang.
4.2 Kelompok Usaha Bersama Sinar Buntu Kurung
Desa Mata Allo terletak di Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang pada ketinggian 800-1500 mdpl, curah hujan 1500 mm/tahun dan suhu 20oC. Kegiatan persuteraan alam di Desa Mata Allo sudah dilakukan mulai dari tahun 1980-an dan merupakan mata pencaharian utama para petani. Kegiatan usaha persuteraan alam dilakukan secara berkelompok. Jumlah kelompok usaha bersama ulat sutera yang terdapat di Desa Mata Allo berjumlah enam kelompok dengan jumlah anggota dari masing-masing kelompok berkisar antara 20-40 orang. Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sinar Buntu Kurung merupakan salah satu kelompok
Pemasakan
Pemordanan
Pencucian
Persiapan Bahan Pewarna Alam
Ekstraksi
Penyaringan
Pencelupan
Fiksasi
Perendaman
Penyabunan
(24)
23
usaha persuteraan alam yang terdapat di Desa Mata Allo. KUB Sinar Buntu
Kurung terletak di Dusun To’collo dan diketuai oleh Pak Sukri. Kegiatan pemeliharaan ulat sutera di Desa Mata Allo dalam setahun rata-rata bisa sampai lima kali periode pemeliharaan, hal ini tergantung dari kondisi luasan lahan tanaman murbei yang dimiliki oleh petani.
Gambar 7 Kebun murbei petani di Desa Mata Allo, Kabupaten Enrekang. Kegiatan pemeliharaan ulat sutera meliputi kegiatan pemeliharaan tanaman murbei sebagai sumber pakan, pemeliharaan ulat, hingga pemanenan kokon. Tanaman murbei yang ditanam oleh petani di Desa Mata Allo ada 2 jenis yaitu M. alba dan M. indica. M. alba dikenal dengan nama murbei buah, sifat yang mencolok dari jenis ini adalah ruas batangnya yang pendek dan bentuk daun seperti jenis M. nigra. Kebanyakan petani di Desa Mata Allo lebih memilih untuk menanam jenis M. indica karena daunnya lebih lembut sehingga disukai oleh ulat. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani antara lain pemangkasan, pembersihan gulma, pemupukan, penyemprotan insektisida, dan pemberian pupuk daun. Pemangkasan tanaman murbei yang dilakukan berupa pangkasan rendah dengan ketinggian 5-10cm dari permukaan tanah, setelah dipangkas selanjutnya adalah pembersihan gulma dengan menyemprotkan herbisida. Untuk mengembalikan zat hara yang terkandung dalam tanah perlu dilakukan pemupukan. Pupuk yang diberikan oleh petani berupa pupuk anorganik yaitu pupuk urea dan TSP. Pemeliharaan tanaman selanjutnya adalah pengendalian hama dengan penyemprotan insektisida dan pemberian pupuk daun untuk memicu pertumbuhan produksi daun.
(25)
(a) (b)
Gambar 8 Macam-macam tempat pengokonan; frame dari bilah bambu (a) dan
seriframe dari plastik (b).
Pemeliharaan ulat sutera oleh petani di Desa Mata Allo ada tiga jenis yang pertama bibit yang berasal dari Perum Perhutani Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, kedua bibit yang berasal dari PPUS Candiroto, Jawa Tengah, dan yang ketiga bibit impor yang berasal dari negara Cina. Bibit ulat sutera dikemas dalam boks dengan jumlah telur perboksnya 25.000 butir (100 induk). Bibit ulat sutera diterima oleh petani paling lambat 3 hari sebelum jadwal penetasan yang tertera pada boks, yaitu tanggal 1 setiap bulannya. Ciri-ciri telur ulat sutera yang mau menetas adalah berubahnya warna telur dari kuning menjadi biru hingga berwarna keabu-abuan.
(a) (b)
Gambar 9 Ulat mulai membuat kokon (a) dan kokon yang sudah dipanen (b). Lama waktu yang dibutuhkan dalam satu kali pemeliharaan rata-rata 30 hari. Tahap penetasan dan pemeliharaan ulat kecil (Instar I-III) dilakukan selama 15 hari sedangkan pemeliharaan ulat besar (Instar IV-V) sampai panen kokon menghabiskan waktu 15 hari. Tahapan proses pemeliharaan ulat sutera dapat
(26)
25
dilihat pada Tabel 5. Setelah sekitar lima hari sejak ulat dipindahkan ke tempat pengokonan, kokon sudah dapat dipanen. Apabila kokon terlalu cepat dipanen, pupa masih terlalu muda sehingga mudah pecah dan mengakibatkan kokon menjadi kotor. Sebaliknya apabila pemanenan terlambat, pupa yang ada dalam kokon akan berubah menjadi kupu-kupu dan keluar dengan merusak kulit kokon. Tabel 5 Proses dan waktu pemeliharaan ulat sutera dalam satu periode
Hari ke- Tahapan Keterangan
1-2 Penetasan telur - Dilakukan di kotak penetasan
3-6 Instar I - Daun untuk pakan berasal dari pucuk 1-2
7 Tidur - Pakan dihentikan
- Setelah bangun ditaburi kapur sesaat sebelum makan 8-10 Instar II - Daun untuk pakan berasal dari pucuk 3-5
11 Tidur - Pakan dihentikan
- Setelah bangun ditaburi kapur sesaat sebelum makan 12-14 Instar III - Daun untuk pakan berasal dari pucuk 6-7
15 Tidur - Pakan dihentikan
- Dipindah ke Unit Pemeliharaan Ulat Besar 16-19 Instar IV - Daun untuk pakan diberikan dengan batangnya
20 Tidur - Pakan dihentikan
- Setelah bangun ditaburi kapur sesaat sebelum makan
21-25 Instar V - Daun untuk pakan diberikan dengan batangnya
- Hari ke-5 ulat dipindah ke alat pengokonan
26-29 Mengokon - Pada alat pengokonan yang berupa anyaman bambu
30 Panen Kokon - Dipungut dan dibersihkan bila ada kotoran yang menempel
Sumber: hasil wawancara dan pengamatan di lapangan
4.3 UPT Tekstil Enrekang
UPT Tekstil Enrekang merupakan usaha pemintalan binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan. UPT Tekstil Enrekang
terletak di dusun To’banga, Kelurahan Kalosi, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang. Usaha ini membeli hasil produksi kokon dari kelompok usaha bersama yang ada disekitar Kelurahan Kalosi dan Desa Mata Allo sebagai bahan baku pemintalan benang sutera.
Kokon yang baru didatangkan perlu diberi perlakuan pendahuluan dengan dimasukkan kedalam oven pengering. Proses pengeringan ini bertujuan untuk
(27)
mematikan pupa yang ada didalam kokon tersebut sehingga kokon lebih awet dan tahan dalam penyimpanan. Kokon dikeringkan selama kurang lebih 2 jam di oven pengering dengan suhu 100oC. Selanjutnya kokon direbus dalam air panas untuk menghilangkan serisin yaitu lapisan luar dari serat sutera, sehingga serat inti bagian dalam (fibroin) mudah keluar dan terpisah menjadi lembaran-lembaran benang sutera.
Gambar 10 Tahapan proses pemintalan benang.
Pemintalan (reeling) merupakan proses penyatuan filamen dari kokon untuk dipintal menjadi benang sutera. Proses pemintalan di UPT Tekstil Enrekang menggunakan mesin pintal semi tradisional. Reeling adalah pemintalan awal dari kokon untuk digulung pada gulungan kecil atau haspel. Setelah benang terkumpul dalam haspel, Tahap selanjutnya dilakukan pemintalan ulang (rereeling) yang bertujuan untuk memindahkan benang sutera yang sudah dipintal dari reel dengan keliling yang lebih kecil ke reel yang lebih besar. Hasil rereeling disebut juga dengan benang rawsilk. Selanjutnya benang dikeluarkan dari gulungan besar untuk dikeringanginkan lalu kemudian dikemas untuk siap dipasarkan. Alur proses produksi benang sutera secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 10.
4.4 Pertenunan Nenek Mallomo
Pertenunan Nenek Mallomo terletak di Desa Carawali, Kecamatan Wattampulu, Kabupaten Sidrap. Usaha Pertenunan Nenek Mallomo merupakan kelompok usaha bersama binaan Disperindag Kabupaten Sidrap. Kelompok usaha bersama ini berdiri sejak tahun 1983 dan saat ini diketuai oleh Hj. Nafisah. Usaha pertenunan ini sebagai salah satu konsumen benang sutera hasil pintalan UPT Tekstil Enrekang. Jenis produk utama yang dihasilkan ada dua yaitu, kain sarung sutera bugis dan kain tenun ikat.
Pertenunan merupakan pembuatan kain dari bahan baku benang sutera dengan menggunakan alat tenun. Pertenunan sutera di pertenunan nenek mallomo
Penyortiran Kokon Pengeringan Kokon Perebusan Kokon
Penggulungan I Penggulungan II
Pengeringan Benang Pengepakan
(28)
27
menggunakan dua jenis alat tenun yaitu alat tenun tradisional (gedogan) dan alat tenun bukan mesin (ATBM). Pada ATBM terdapat dua benang utama yaitu benang lungsi yang dipasang secara vertikal dan benang pakan yang dipasang secara horizontal.
(a) (b)
Gambar 11 Alat tenun tradisional gedogan (a) dan alat tenun bukan mesin (b). Proses pembuatan kain ikat terdiri dari pembuatan benang pakan dan benang lungsi. Tahap pertama pembuatan benang pakan untuk tenun kain ikat adalah dengan pemaletan. pemaletan merupakan kegiatan menggulung benang pakan pada gulungan palet dengan menggunakan alat kincir secara manual. Gulungan palet adalah gulungan benang pakan yang berukuran lebih kecil dari gulungan kelos yaitu berdiameter satu cm. Kemudian benang sutera yang sudah berada dalam gulungan palet diatur pada rak benang untuk kemudian disejajarkan. Setelah sejajar selanjutnya benang diikat pada tiap-tiap bagian sesuai dengan motif yang diinginkan. Setelah proses pengikatan selanjutnya pemberian warna atau pencoletan. Bagian yang terikat tidak akan terkena warna sehingga ketika ditenun akan memberikan motif. Setelah pewarnaan benang dikeringkan untuk selanjutnya kembali digulung pada gulungan kecil untuk dimasukkan kedalam pistol kayu sebagai benang pakan.
Proses pembuatan benang lungsi adalah dengan pengelosan atau penggulungan benang lungsi pada gulungan kelos. Gulungan kelos ini merupakan gulungan benang lungsi yang berdiameter dua cm. Pengelosan dilakukan secara manual dengan tangan menggunakan alat kincir yang diputar. Benang sutera yang berada dalam gulungan kelos selanjutnya digintir pada mesin twist. Proses selanjutnya adalah pencelupan benang sutera pada bahan pewarna. Bahan
(29)
pewarna yang digunakan merupakan zat warna asam (eronyl). Setelah diwarna benang kembali dipalet untuk kemudian diatur pada rak benang. Kemudian proses selanjutnya adalah penghanian yaitu kegiatan memasukkan dan mensejajarkan gulungan benang dengan pegangan yang sama dalam panjang tertentu. Setelah benang dihani selanjutnya adalah proses pencucukan benang ke dalam mata gun yang berjumlah 3800 pada ATBM. Proses hani dan pencucukan bisa dikerjakan dalam 1-2 hari.
(a) (b)
Gambar 12 Produk kain sarung sutera mandar (a) dan kain tenun ikat (b). Usaha Pertenunan Nenek Mallomo terletak di pinggir jalan poros antara Kota Makassar dengan Kabupaten Toraja. Usaha Pertenunan Nenek Mallomo sering dikunjungi baik wisatawan lokal maupun mancanegara yang tertarik untuk melihat secara langsung proses pertenunan kain sutera. Wisatawan yang berkunjung juga sekaligus membeli produk hasil produksi yang berupa kain sarung sutera bugis dengan ukuran 0,7x7 meter per lembar kain dan kain tenun ikat yang berukuran 1,5x2,5 meter per lembar kain.
(30)
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Biaya Produksi Persuteraan Alam
Biaya produksi usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang terdiri dari biaya produksi kokon, biaya produksi benang, dan biaya produksi kain. Secara umum tiap komponen biaya produksi tersebut meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya produksi usaha persuteraan alam dalam penelitian ini dihitung dalam satu tahun dan untuk setiap kilogram kokon, benang, atau unit sarung yang diproduksi. Perhitungan biaya produksi usaha persuteraan alam, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7, sedangkan jumlah produksi dan pendapatan dari masing-masing kegiatan persuteraan alam dapat dilihat pada Tabel Lampiran 5.
Kegiatan usaha persuteraan alam secara terintegrasi yang dilakukan oleh Kelompok Tani Pallis di Kabupaten Polewali Mandar menghasilkan biaya produksi kain per unit sarung di Kabupaten Polewali Mandar sebesar Rp 144 ribu. Komponen biaya penyusun yang lebih besar terdapat pada biaya tetap terutama nilai penyusutan, hal ini terjadi karena biaya investasi yang dikeluarkan mulai dari pembuatan dan pemeliharaan kebun, pemeliharaan ulat, pemintalan benang, serta pertenunan tidak diikuti dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Komponen biaya variabel pada produksi kain di Kabupaten Polewali Mandar lebih kecil karena produksi kain dikerjakan sendiri oleh petani secara terintegrasi, sehingga petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli bahan baku berupa kokon dan benang sutera, karena baik kokon maupun benang sutera yang dipakai berasal dari hasil budidaya ulat petani, selain itu pada proses pertenunan petani juga menggunakan zat pewarna alam.
Komponen penyusun biaya produksi kain di Kabupaten Polewali Mandar turut memperhitungkan subsidi dari pemerintah yang berupa bahan baku bibit ulat sutera sebesar Rp 80.000/boks dan juga 5 buah alat pintal yang bernilai Rp 15 juta. Subsidi pemerintah yang berupa bahan baku bibit ulat disertakan ke dalam komponen penyusun biaya variabel yaitu biaya material sedangkan subsidi
(31)
pemerintah yang berbentuk alat pintal disertakan ke dalam komponen penyusun biaya tetap untuk dihitung besarnya nilai penyusutan dan bunga modal.
Kegiatan usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang dilakukan secara terpisah. Biaya produksi kokon per kilogram di Kabupaten Enrekang yaitu sebesar Rp 24 ribu. Biaya produksi kokon terdiri dari dua komponen pembiayaan yaitu biaya pembuatan dan pemeliharaan kebun murbei serta biaya pemeliharaan ulat. biaya pembuatan dan pemeliharaan kebun murbei di Kabupaten Enrekang untuk perkilogram kokon adalah sebesar Rp 15 ribu, sedangkan pada tahap pemeliharaan ulat biaya yang dikeluarkan untuk perkilogram kokon sebesar Rp 10 ribu.
Komponen penyusun biaya pembuatan dan pemeliharaan kebun serta pemeliharaan ulat terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel pada produksi kokon di Kabupaten Enrekang lebih besar daripada biaya tetap, Hal itu terjadi karena pemeliharaan kebun dan pemeliharaan ulat yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Enrekang lebih intensif. Petani mengeluarkan biaya untuk bahan baku pemeliharaan kebun yang tinggi seperti untuk pupuk dan pestisida, dengan tujuan mencegah serangan hama peyakit pada tanaman murbei serta untuk meningkatkan produksi daun.
Biaya produksi benang per kilogram di Kabupaten Enrekang adalah sebesar Rp 394 ribu. Biaya variabel pada tahap pemintalan benang di Kabupaten Enrekang lebih besar daripada biaya tetap. Besarnya biaya variabel disebabkan besarnya biaya material sebesar Rp 42,64 juta per tahun atau sebesar Rp 261 ribu per kilogram benang. Biaya material terdiri dari biaya pembelian bahan baku pemintalan yaitu berupa kokon dan bahan penolong minyak tanah. Subsidi dari pemerintah yang berupa bantuan bangunan dan alat pemintalan turut disertakan dalam perhitungan biaya tetap untuk kemudian dihitung nilai penyusutan dan bunga modalnya.
Pertenunan Nenek Mallomo memproduksi dua jenis kain yaitu kain tenun ikat dan kain sarung bugis. Biaya produksi kain ikat di pertenunan nenek mallomo sebesar Rp 197 ribu dan biaya produksi kain sarung sebesar Rp 303 ribu untuk per unit sarung yang dihasilkan. Pada tahap pertenunan biaya variabel lebih besar daripada biaya tetap baik pada produksi kain ikat maupun produksi kain sarung.
(32)
31
Tabel 6 Biaya produksi persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang
Uraian
Biaya Produksi (Rp Juta/Tahun) Biaya Produksi (Rp 000,-/Kg)
Kab. Polman Kab. Enrekang Kab. Polman Kab. Enrekang
KTP SBK UPT NM KTP SBK UPT NM
1) 2) 3) 4) 5) 1) 2) 3) 4) 5)
Biaya Produksi 22,45 166,45 64,37 57,62 211,50 143,94 24,31 393,94 197,34 303,44
Biaya tetap 18,29 46,14 15,82 4,70 15,36 117,27 6,74 96,83 16,10 22,03
Penyusutan 11,90 26,21 8,92 1,77 5,61 76,26 3,83 54,56 6,05 8,05
Bunga Modal 6,40 19,93 5,41 2,76 9,32 41,02 2,91 33,10 9,44 13,38
Overhead 0,00 0,00 1,50 0,18 0,42 0,00 0,00 9,18 0,61 0,61
Biaya variabel 4,16 120,31 48,55 52,92 196,14 26,67 17,57 297,11 181,24 281,41
Material 3,70 118,30 42,64 34,67 91,59 23,72 17,28 260,94 118,74 131,41
Upah 0,00 2,01 3,51 18,25 104,55 0,00 0,29 21,48 62,50 150,00
Sewa 0,46 0,00 2,40 0,00 0,00 2,95 0,00 14,69 0,00 0,00
Keterangan : 1) Kelompok Tani Pallis
2)
KUB Sinar Buntu Kurung
3)
UPT Tekstil Enrekang
4)
(33)
pada produksi kain ikat komponen penyusun biaya variabel yang terbesar dari biaya pembelian material bahan baku dan bahan penolong sedangkan pada produksi kain sarung komponen biaya penyusun terbesar terdapat biaya upah pekerja.
Tabel 7 Biaya produksi persuteraan alam berdasarkan tahapan kegiatan di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang
Tahapan
Kab. Polman Kab. Enrekang
Rp
Juta/tahun % Rp Juta/tahun %
Pembuatan dan Pemeliharaan Kebun 6,57 29,2 99,38 19,9
Pemeliharaan Ulat 8,26 36,8 67,07 13,4
Pemintalan Benang 6,62 29,5 64,37 12,9
Pertenunan 1,01 4,5 269,12 53,8
Total 22,45 100,0 499,94 100,0
Biaya produksi per tahapan kegiatan dilakukan untuk mengetahui tahapan atau bagian produksi yang membutuhkan biaya paling besar sehingga petani dapat mengendalikan biaya pada tahapan tersebut dengan harapan efisiensi produksi dapat dicapai. Berdasarkan tahapan kegiatan, biaya pemeliharaan ulat merupakan biaya yang mendominasi kegiatan persuteraan alam secara terintegrasi di Kabupaten Polewali Mandar. Komponen utama yang membuat biaya ini mendominasi biaya persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar adalah biaya penyusutan dan bunga modal serta kebutuhan material seperti bibit ulat, kapur, dan kaporit. Biaya yang mendominasi kegiatan persuteraan alam secara terpisah di Kabupaten Enrekang adalah biaya pada proses pertenunan. Hal ini disebabkan karena usaha pertenunan harus mengeluarkan biaya untuk pembelian material berupa benang sutera, bahan pewarna, bahan pemasak benang, serta membayar upah pekerja.
Penelitian mengenai biaya produksi usaha persuteraan alam pernah dilakukan sebelumnya oleh Saifullah pada tahun 2004 di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat, seperti terlihat pada Tabel 8. Nilai ROI Kelompok Tani Ulat Sutera Margalaksana di Kabupaten Garut pada tahun 2004
(34)
3
3
Tabel 8 Perbandingan analisis biaya produksi persuteraan alam hasil penelitian tahun 2004 dan 2011
Komponen Satuan
Penelitian Renato (2011) Penelitian Saifullah (2004)
Kab. Polman Kab. Enrekang Kab. Garut Kab. Sukabumi
KTP SBK UPT NM KTM PBK KWSC
ikat sarung
Produksi
Kokon kg/tahun 306,00 6847,50 19,73 56,67
Benang kg/tahun 39,00 163,40 19,33 7,10
Kain lembar/tahun 156,00 292,00 697,00
Harga Jual
Kokon Rp 000,-/kg 35,00 10,00
Benang Rp 000,-/kg 330,00 210,00 240,00
Kain Rp 000,-/lembar 180,00 250,00 300,00
Biaya Produksi
Kokon Rp 000,-/kg 24,31 43,84 32,55
Benang Rp 000,-/kg 393,94 193,88 368,92
Kain Rp 000,-/lembar 143,94 197,34 303,44
Pendapatan Rp Juta/tahun 28,08 239,66 53,92 73,00 209,10 0,29 4,06 1,70
Keuntungan Rp Juta/tahun 5,62 73,21 -10,46 12,98 -0,58 0,24 -0,92
Break Event Point kg/tahun 119,35 2647,15 481,50 68,35 826,07 233,84 6,14 27,02
Investasi Rp Juta/tahun 169,74 465,88 81,22 193,98 52,78 8,00 20,00
(35)
sebesar -1,09%, sedangkan usaha pemintalan benang Koko memiliki nilai ROI yang positif yaitu sebesar 2,98%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa petani ulat di Kabupaten Garut mengalami kerugian, sementara usaha pemintalan memperoleh keuntungan. Hal ini disebabkan pemintalan benang Koko merupakan satu-satunya pemintalan yang ada di Kabupaten Garut, sehingga petani ulat hanya dapat menjual kokonnya sesuai harga yang ditwarkan oleh pemintalan ini.
Usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang menunjukkan hal yang sebaliknya dimana nilai ROI yang dimiliki petani ulat KUB Sinar Buntu Kurung bernilai positif yaitu sebesar 15,71%, sedangkan usaha pemintalan UPT Tekstil Enrekang bernilai negatif yaitu sebesar -12,88%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa petani ulat di Kabupaten Enrekang mempunyai kemampuan memperoleh laba yang cukup besar bila dibandingkan dengan petani ulat di Kabupaten Garut. Selain itu nilai ROI yang negatif pada usaha pemintalan disebabkan karena usaha pemintalan berproduksi jauh dibawah kapasitas optimumnya. Besarnya jumlah investasi yang dikeluarkan untuk peralatan pemintalan tidak diikuti dengan tingkat produksi optimum, UPT Tekstil Enrekang hanya berproduksi 12,97% dari kapasitas pemintalan.
Usaha persuteraan alam secara terintegrasi di Kebun Cibidin Kabupaten Sukabumi hanya sampai pada tahap produksi benang, sedangkan di Kabupaten Polewali Mandar sampai pada tahap produksi kain. Pada tahun 2004 Kebun Wanatani Sutera Cibidin memiliki nilai ROI yang negatif yaitu sebesar -4,58%. Hal ini disebabkan karena produksi pemintalan yang rendah, yaitu hanya sebesar 10% dari kapasitas terpasang, selain itu usaha pemintalan benang di Kebun Cibidin juga mengalami kesulitan dalam memasarkan benangnya. Hal yang sebaliknya terjadi pada petani sutera di Kabupaten Polewali Mandar, walaupun tidak begitu besar tetapi petani mampu memperoleh keuntungan.
5.2 Analisis Break Even Point
Break even point KUB Sinar Buntu Kurung di Kabupaten Enrekang pada tahun 2011 dicapai pada tingkat produksi kokon 2647,15 kg. Produksi kokon KUB Sinar Buntu Kurung pada tahun 2011 mencapai 6847,5 kg. Nilai tersebut
(36)
35
berada jauh di atas break even point sehingga terlihat bahwa KUB Sinar Buntu Kurung memperoleh keuntungan yang cukup besar dari usaha ini.
Break even point Pemintalan UPT Tekstil di Kabupaten Enrekang pada tahun 2011 dicapai pada tingkat produksi benang 481,5 kg atau 38,21% dari kapasitas terpasang. Produksi benang sutera UPT Tekstil Enrekang pada tahun 2011 berada jauh di bawah break even point yaitu hanya sebesar 163,4 kg. Dengan demikian terlihat bahwa usaha pemintalan UPT Tekstil Enrekang mengalami kerugian yang cukup besar. UPT Tekstil Enrekang berproduksi jauh dibawah kapasitas optimumnya karena memiliki kendala yaitu sulit mencari tenaga kerja yang mau diupah untuk memintal benang.
Break even point Pertenunan Nenek Mallomo pada tahun 2011 dicapai pada tingkat produksi kain ikat 68 unit dan kain sarung 826 unit. Produksi kain ikat di pertenunan nenek mallomo berada jauh di atas break even point yaitu sebesar 292 unit sedangkan produksi kain sarung berada dibawah break even point yaitu sebesar 697 unit. Dengan demikian terlihat bahwa kerugian akibat produksi kain sarung dapat ditutupi oleh keuntungan yang didapat dari produksi kain ikat.
Break even point untuk kegiatan persuteraan alam Kelompok Tani pallis di Kabupaten Polewali Mandar yang terintegrasi mulai dari hulu hingga hilir adalah sebesar 119 unit kain sarung. Produksi kain sarung di kelompok tani pallis berada di atas break even point yaitu sebesar 156 unit. Dengan demikian terlihat bahwa kelompok tani pallis mendapatkan keuntungan dari usaha ini.
5.3 Analisis Profitabilitas
Kegiatan persuteraan alam secara terintegrasi mulai dari budidaya murbei, budidaya ulat, pemintalan, hingga pertenunan yang dilakukan oleh kelompok tani pallis di Kabupaten Polewali Mandar memperoleh keuntungan sebesar Rp 5,62 juta per tahun. Keuntungan yang diterima oleh kelompok tani masih bisa ditingkatkan lagi mengingat kelompok tani hanya memanfaatkan 3 kali periode pemeliharaan setiap tahunnya. Apabila petani bisa melakukan periode pemeliharaan setiap sebulan sekali atau 12 kali dalam setahun, tentunya
(37)
berturut-turut produktivitas kokon, benang, dan sarung akan meningkat dan diiringi dengan meningkatnya pendapatan.
Tabel 9 Rugi laba usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang
Komponen Satuan
Kab. Polman Kab. Enrekang
KTP SBK UPT NM
ikat sarung Produksi
Kokon kg/tahun 306,00 6847,50
Benang kg/tahun 39,00 163,40
Kain lembar/tahun 156,00 292,00 697,00
Harga Jual
Kokon Rp 000,-/kg 35,00
Benang Rp 000,-/kg 330,00
Kain Rp 000,-/lembar 180,00 250,00 300,00
Biaya Produksi
Kokon Rp Juta/tahun 14,83 166,45
Benang Rp Juta/tahun 6,62 64,38
Kain Rp Juta/tahun 1,01 57,62 211,50
Pendapatan Rp Juta/tahun 28,08 239,66 53,92 73,00 209,10
Keuntungan Rp Juta/tahun 5,62 73,21 -10,46 12,98
Biaya Tetap Rp Juta/tahun 18,30 46,14 15,83 4,70 15,36
Biaya Variabel Rp Juta/kg 0,02 0,03
Rp Juta/lembar 0,03 0,18
Break Event Point kg/tahun 2647,15 481,50
lembar/tahun 119,35 68,35 826,07
Investasi Rp Juta 169,74 465,88 81,22 193,98
ROI % 3,31 15,71 -12,88 6,69
Harga Pokok Rp 000,-/kg 172,77 29,17 472,80 236,79 364,13
Kelompok Tani Pallis di Kabupaten Polewali Mandar akan menderita kerugian apabila menjual produknya dalam bentuk kokon, karena biaya produksi kokon per kilogram adalah sebesar Rp 47 ribu lebih besar daripada harga kokon di Kabupaten Polewali Mandar yaitu Rp 38 ribu. kelompok tani juga akan menderita kerugian apabila menjual dalam bentuk benang sutera, karena biaya produksi benang dengan menyertakan biaya produksi kokon per kilogramnya menjadi
(38)
37
sebesar Rp 541 ribu lebih besar daripada harga benang sutera di Kabupaten Polewali Mandar yaitu sebesar Rp 400 ribu per kilogram. Hal ini terjadi karena investasi yang dikeluarkan oleh petani mulai dari budidaya murbei, budidaya ulat, hingga pemintalan cukup besar nilainya yaitu Rp 165,6 juta, namun tidak diikuti dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Keputusan Kelompok Tani Pallis untuk menjual produknya dalam bentuk kain sarung, bukan dalam bentuk kokon maupun benang sutera dinilai cukup baik karena petani bisa mengambil nilai tambah dari produk yang dihasilkan sehingga biaya produksi yang tinggi pada tahapan produksi kokon dan benang sutera bisa tertutupi.
Kelompok usaha bersama (KUB) Sinar Buntu Kurung di Kabupaten Enrekang yang melakukan kegiatan persuteraan alam hingga tahapan produksi kokon mampu memperoleh keuntungan sebesar Rp 73,21 juta per tahun. Kelompok usaha bersama Sinar Buntu Kurung dapat menggunakan sumber daya seefisien mungkin, besarnya investasi yang dikeluarkan diikuti dengan tingkat produktivitas yang tinggi sehingga pendapatan yang diterima besar.
Kegiatan pemintalan benang sutera di UPT Tekstil Enrekang mengalami kerugian karena pendapatan hasil pemintalan yang rendah (Rp 53,92 juta per tahun) tidak mampu menutupi biaya produksi yang dikeluarkan (Rp 64,38 juta per tahun). Kerugian yang diderita oleh UPT Tekstil mencapai Rp 10,46 juta per tahun. Kerugian yang dialami disebabkan biaya tetap yang berupa penyusutan dan bunga modal dari sarana dan prasarana tidak pernah diperhitungkan karena merupakan hibah bantuan dari pemerintah daerah.
Pendapatan dari produksi kain ikat pada Pertenunan Nenek Mallomo lebih besar daripada biaya produksi kain, sehingga mendapat keuntungan sebesar Rp 15,38 juta per tahun. Sedangkan hasil pendapatan yang diterima dari produksi kain sarung lebih kecil daripada biaya produksi yang harus dikeluarkan sehingga mendapatkan kerugian sebesar Rp 2,4 juta per tahun. Secara keseluruhan Pertenunan Nenek Mallomo menerima keuntungan sebesar Rp 12,98 juta per tahun.
ROI pada kegiatan pemintalan di UPT Tekstil bernilai negatif, sedangkan pada kegiatan produksi kokon di KUB Sinar Buntu Kurung, produksi kain di Pertenunan Nenek Mallomo dan kegiatan persuteraan alam terintegrasi di
(39)
Kelompok Tani Pallis memiliki nilai yang positif. Nilai ROI untuk kegiatan produksi kokon di KUB Sinar Buntu Kurung yaitu sebesar 15,71%, Pertenunan Nenek Mallomo sebesar 6,69%, dan usaha persuteraan alam terintegrasi Kelompok Tani Pallis sebesar 3,31%. Nilai ROI yang positif menunjukkan bahwa usaha ini menguntungkan, namun apabila suku bunga bank sekitar 12 % per tahun maka ROI pada kegiatan produksi kokon di KUB Sinar Buntu Kurung berada diatas tingkat bunga bank yang ditetapkan. Hal ini berarti dengan menjalankan usaha ini, KUB Sinar Buntu Kurung memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan hanya menaruh uang mereka di bank.
Harga pokok penjualan dihitung dengan asumsi bahwa petani sutera menginginkan keuntungan sebesar 20% dari biaya produksi yang dikeluarkan. Harga pokok penjualan kain sutera Kelompok Tani Pallis sebesar Rp 173 ribu per unit sarung. Harga pokok penjualan kokon KUB Sinar Buntu Kurung sebesar Rp 29 ribu, benang sutera UPT Tekstil Enrekang sebesar Rp 473 ribu, kain ikat Pertenunan Nenek Mallomo sebesar Rp 237 ribu, dan kain sarung Pertenunan Nenek Mallomo sebesar Rp 364 ribu. Harga pokok penjualan benang sutera UPT Tekstil Enrekang dan kain sarung Pertenunan Nenek Mallomo yang ditetapkan sangat tinggi dan berada di atas harga jual sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan keuntungan menurun bahkan merugi karena biaya produksi tidak dapat tertutupi oleh pendapatannya. Harga pokok penjualan kain sutera Kelompok Tani Pallis, kokon KUB Sinar Buntu Kurung, dan kain ikat Pertenunan Nenek Mallomo yang ditetapkan masih berada dibawah harga jual rata-rata yang berlaku di daerah tersebut sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi lebih besar. Dengan demikian terlihat bahwa Kelompok Tani Pallis, KUB Sinar Buntu Kurung ,dan Pertenunan Nenek Mallomo mendapatkan excess profit dari usaha persuteraan alam ini.
5.4 Sistem Pemasaran dan Dampak Usaha Persuteraan Alam Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Produk utama yang dihasilkan oleh kelompok tani ulat sutera dan kelompok penenun di Kabupaten Polewali Mandar adalah kain sarung sutera mandar. Kelompok Tani Pallis melakukan sendiri semua tahapan persuteraan alam mulai
(40)
39
dari produksi kokon, produksi benang, hingga menjadi kain. Kelompok Tani Pallis menenun benang sutera mereka sendiri hingga menjadi kain sarung sutera mandar. Kain hasil produksi kemudian dijual kepada pedagang pengumpul yang ada di Pasar Pambusuang dan Pasar Tinambung dengan harga Rp 140 ribu-Rp 180 ribu. Selain dari kelompok tani ulat sutera, pedagang pengumpul juga mendapatkan sarung sutera mandar dari kelompok penenun dengan cara memberikan benang sutera kepada para penenun dan membayar upah menenun mereka untuk satu kain yang dihasilkan sebesar Rp 75 ribu-Rp 100 ribu. Produk kain sarung sutera mandar yang dibeli oleh pedagang pengumpul selanjutnya dijual lagi kepada toko pengecer maupun konsumen akhir dengan harga sebesar Rp 250 ribu-Rp 300 ribu. Dapat dilihat bahwa pedagang pengumpul memiliki margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan para petani. Hal ini terjadi karena Kelompok Tani Pallis kurang memiliki pengetahuan pemasaran yang baik serta keterbatasan akses pasar dibandingkan dengan pedagang pengumpul. Kelompok Tani Pallis berharap adanya semacam koperasi sebagai wadah untuk membantu dalam hal pemasaran dan kepastian harga bagi produk kain sarung sutera mandar mereka, sehingga keuntungan petani dapat meningkat. Alur distribusi produk kain sutera di Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Alur distribusi pemasaran kain sutera di Kabupaten Polewali Mandar.
Kelompok Tani Ulat Sutera
Pedagang Pengumpul Pasar Pambusuang
Konsumen Toko
Pedagang Pengumpul Pasar Tinambung
Kelompok Penenun
Keterangan:
(41)
Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sinar Buntu Kurung di Kabupaten Enrekang melakukan budidaya ulat sutera yang menghasilkan produk berupa kokon. Kokon tersebut kemudian dipasarkan ke UPT Tekstil atau ke KUB pemintalan milik petani untuk dipintal hingga menjadi benang sutera. Benang sutera yang dihasilkan selanjutnya dijual kepada usaha dan industri pertenunan yang berada di luar Kabupaten Enrekang seperti di Pertenunan Nenek Mallomo di Kabupaten Sidrap, Kabupaten Sengkang, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Polman. Konsumen akhir bisa mendapatkan produk kain sutera dengan membeli di toko atau langsung membeli kepada pengrajin tenun sutera. Usaha Pertenunan Nenek Mallomo memasarkan produknya langsung di tempat. Karena lokasi usaha pertenunannya terletak di pinggir jalan poros antara Kota Makassar dan Kabupaten Tana Toraja, sehingga pertenunan nenek mallomo menjadi tempat persinggahan bagi para wisatawan untuk melihat proses menenun dan juga sekaligus untuk membeli cindera mata berupa kain sutera. Alur distribusi persuteraan alam di Kabupaten Enrekang dapat dilihat pada Gambar 14.
Usaha persuteraan alam berdampak sangat positif bagi masyarakat. Usaha persuteraan sudah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang. Usaha ini sangat baik dalam menyerap tenaga kerja, walaupun tenaga kerja tersebut masih muda ataupun tidak memiliki pendidikan yang tinggi sekalipun. Proyeksi penyerapan tenaga kerja untuk pemeliharaan satu boks ulat sutera yaitu, pada tahap budidaya murbei dan pemeliharaan ulat 3 orang, pemintalan 2 orang, dan pertenunan 4 orang. Sifatnya yang padat karya sehingga membuat usaha persuteraan alam dapat mengurangi tingkat pengangguran khususnya di pedesaan.
Usaha persuteraan alam merupakan sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita pada proses pertenunan selain itu usaha ini juga memberikan nilai tambah yang tinggi apabila dikerjakan hingga menjadi produk kain. Nilai tambah suatu produk diperoleh jika produk tersebut mengalami proses produksi dan menjadi produk yang lebih kompleks dengan harga jual yang lebih mahal. Nilai tambah yang dihitung adalah nilai tambah dari bahan baku kokon yang diolah menjadi produk benang dan kemudian menjadi produk kain.
(42)
41
Gambar 14 Alur distribusi persuteraan alam di Kabupaten Enrekang.
Kelompok Usaha Bersama Ulat Sutera
Pedagang Pasar Sudu
UPT Tekstil Enrekang KUB Pemintalan
Kab. Enrekang
Konsumen Penenun
Toko Pedagang Pengumpul
Kab. Sidrap Hj. Suhu
Industri Pertenunan Kab. Wajo
H. Kurnia
Industri Pertenunan Kab. Sengkang
H. Sultan
KUB Pertenunan Nenek Mallomo
Kab. Sidrap
Usaha Pertenunan Kab. Polman
H. Hadrawi Keterangan:
= Produk kokon = Produk benang = Produk kain sutera
(43)
Nilai tambah yang diperoleh pada proses pengolahan bahan baku kokon hingga menjadi kain di Kabupaten Polewali Mandar adalah sebesar Rp 54 ribu per unit kain. sedangkan di Kabupaten Enrekang kokon yang diolah menjadi kain ikat memperoleh nilai tambah sebesar Rp 61 ribu per unit kain, apabila diolah menjadi kain sarung nilai tambah yang diperoleh sebesar Rp 27 ribu. Dari hasil perhitungan nilai tambah produk kokon baik di Kabupaten Polewali Mandar maupun di Kabupaten Enrekang akan semakin tinggi seiring dengan proses produksi yang dijalankan.
Kendala yang dihadapi saat ini seperti keterbatasan akses pasar oleh para petani ulat sutera di Kabupaten Polewali Mandar serta serangan virus hingga menyebabkan kematian pada ulat dan menyebabkan gagal panen kokon di Kabupaten Enrekang, membuat banyak petani ulat sutera yang beralih untuk menanam komoditi perkebunan yang lain seperti kol, kakao, bawang merah ataupun memilih untuk beternak kambing. Namun salah satu faktor yang menyebabkan usaha persuteraan alam tetap bertahan di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang karena usaha ini sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat di kedua kabupaten dan provinsi tersebut.
(1)
54
Tabel Lampiran 6 Jumlah dan nilai ekspor sutera Indonesia tahun 2004
–
2010 (lanjutan)
Kode (HS)
Item
Ekspor
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD)
500100 Silk-worm cocoons suitable for reeling 128.825 - 55.316 36.127 26.596 7.861 6.138 500200 Raw silk (not thrown) 86.929 - 12.136 - - - - 500310 Silk waste, not carded or combed 1.623 - - 2.365 1.138 4.710 1.413 500390 Silk waste, carded or combed 201.913 42.280 67.116 - - - - 500400 Silk yarn (except from waste) not retail 136.780 2.613 2.260 - - - - 500500 Yarn spun from silk waste, not retail 681.677 121.999 55.722 10.301 - - - 500600 Silk yarn retail, silk worm gut 33.359 - 12 - - - 6 500710 Woven fabric of noil silk 7.665.130 9.507.509 373.788 135.002 42.130 44.266 72.472 500720 Woven fabric >85% silk (except noil silk) 20.032 72.868 125.192 17.521 1.156.432 174.728 6.824 500790 Woven fabric of silk, nes 817.746 235.093 276.882 127.936 22.049 52.960 -
Total 9.774.014 9.982.362 968.424 329.252 1.248.345 284.525 86.853 Sumber : United Nations Statistics Diviion (2010)
(2)
55
Tabel Lampiran 7 Jumlah dan nilai impor sutera Indonesia tahun 2004
–
2010
Kode (HS)
Item
Impor
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg)
500100 Silk-worm cocoons suitable for reeling 164.120 59.612 6.020.818 6.357 333.946 321.523 4.384 500200 Raw silk (not thrown) 26.233 252.024 47.021 18.312 38.927 36.685 7.390 500310 Silk waste, not carded or combed - - - 2 48.721 1.725 - 500390 Silk waste, carded or combed 3.358 274 24.302 - - - - 500400 Silk yarn (except from waste) not retail 231.964 310.958 315.611 142.992 269.517 248.804 246.479 500500 Yarn spun from silk waste, not retail 80.190 54.010 10.964 12.258 93.718 20.720 32.879 500600 Silk yarn retail, silk worm gut 16.684 20.824 17.812 29.233 47.264 79.069 138.595 500710 Woven fabric of noil silk 1.366 7.048 12.315 37.208 632.855 47.614 58.053 500720 Woven fabric >85% silk (except noil silk) 7.501 1.937 3.652 16.081 18.776 193.142 182.543 500790 Woven fabric of silk, nes 4.183 16.771 9.547 194 163.024 29.597 130.061
Total 535.599 723.458 6.462.042 262.637 1.646.748 978.879 800.384 Sumber : United Nations Statistics Diviion (2010)
(3)
56
Tabel Lampiran 7 Jumlah dan nilai impor sutera Indonesia tahun 2004
–
2010 (lanjutan)
Kode (HS)
Item
Impor
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD)
500100 Silk-worm cocoons suitable for reeling 142.309 319.564 2.023.313 30.988 2.344.226 2.375.301 16.693 500200 Raw silk (not thrown) 91.837 500.039 141.200 17.378 814.932 181.529 202.209 500310 Silk waste, not carded or combed - - - 6 420.133 13.870 - 500390 Silk waste, carded or combed 613 1.003 3.872 - - - - 500400 Silk yarn (except from waste) not retail 1.044.695 911.464 898.248 566.729 1.870.349 805.384 1.056.096 500500 Yarn spun from silk waste, not retail 113.923 89.385 26.263 18.205 238.609 258.993 173.778 500600 Silk yarn retail, silk worm gut 26.217 33.189 85.174 132.780 272.396 198.450 151.325 500710 Woven fabric of noil silk 35.377 159.222 190.784 203.238 5.442.343 1.268.927 638.322 500720 Woven fabric >85% silk (except noil silk) 89.130 30.950 78.889 56.934 216.179 1.522.089 2.445.459 500790 Woven fabric of silk, nes 11.491 109.466 204.505 6.940 1.466.810 534.032 2.161.519
Total 1.555.592 2.154.282 3.652.248 1.033.198 13.085.977 7.158.575 6.845.401 Sumber : United Nations Statistics Diviion (2010)
(4)
57
Tabel Lampiran 8 Tanaman murbei untuk sutera alam Indonesia tahun 2005-2010
No Provinsi
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
(ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha)
1 Aceh - - - -
2 Sumatera Utara 350,00 350,00 350,00 - 10,00 18,00
3 Sumatera Barat 24,00 24,00 24,00 - 8,00 8,00
4 Riau - - - -
5 Jambi - - - -
6 Sumatera Selatan 144,00 144,00 229,00 - - -
7 Bengkulu - - - -
8 Lampung 68,00 68,00 68,00 - 25,00 25,00
9 Bangka Belitung - - - -
10 Kep. Riau - - - -
11 DKI Jakarta - - - -
12 Jawa Barat 1.381,00 326,55 326,55 608,10 608,10 608,10
13 Jawa Tengah 725,00 725,00 523,52 529,50 273,00 273,00
14 DI Yogyakarta 329,00 329,00 329,00 19,00 19,00 19,00
15 Jawa Timur - 20,00 - - - -
16 Banten - - - -
17 Bali 45,00 45,00 45,00 32,45 32,45 32,45
18 Nusa Tenggara Barat 23,00 23,00 46,00 12,00 12,00 12,00
19 Nusa Tenggara Timur 23,00 23,00 - 96,50 96,50 96,50
20 Kalimantan Barat - - - -
21 Kalimantan Tengah - - - -
22 Kalimantan Selatan - - - -
23 Kalimantan Timur - - - -
24 Sulawesi Utara - - - - 246 246
25 Sulawesi Tengah - 122,00 122,00 44,50 44,50 44,50
26 Sulawesi Selatan 1.461,00 1.461,00 1.481,00 2.543,00 2614,8 624,52
27 Sulawesi Tenggara - - - 475,00 4,75 4,75
28 Gorontalo - - - 246,00 - -
29 Sulawesi Barat - - - 52,00 52 52
30 Maluku - - - -
31 Maluku Utara - - - -
32 Papua Barat - - - -
33 Papua - - - -
Jumlah 4.573,00 3.660,55 3.544,07 4.658,05 4.046,10 2.063,82
Keterangan: (-) tidak ada tanaman
(5)
58
Tabel Lampiran 9 Produksi benang sutera Indonesia tahun 2005-2010
No Provinsi
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
(ton) (ton) (ton) (ton) (ton) (ton)
1 Aceh - - - -
2 Sumatera Utara 0,10 0,28 0,28 - 0,01 0,02
3 Sumatera Barat - - - 0,01 0,01 0,03
4 Riau - - - -
5 Jambi - - - -
6 Sumatera Selatan - - - - - 0,02
7 Bengkulu - - - - - -
8 Lampung 0,20 0,06 0,06 - - -
9 Bangka Belitung - - - - - -
10 Kep. Riau - - - - - -
11 DKI Jakarta - - - - - -
12 Jawa Barat 2,50 34 0,34 1,72 0,81 0,77
13 Jawa Tengah 4,90 3,17 - 1,75 1,38 0,50
14 DI Yogyakarta 0,30 0,12 0,12 - 0,01 -
15 Jawa Timur - - - - 0,06 0,03
16 Banten - - - - - -
17 Bali 0,25 0,01 0,01 0,03 0,01 0,01
18 Nusa Tenggara Barat 0,90 0,01 - 0,01 - -
19 Nusa Tenggara Timur 0,90 0,01 - 0,04 0,02 0,03
20 Kalimantan Barat - - - - - -
21 Kalimantan Tengah - - - - - -
22 Kalimantan Selatan - - - - - -
23 Kalimantan Timur - - - 0,01 - -
24 Sulawesi Utara - 0,64 0,64 1,24 1,11 -
25 Sulawesi Tengah - 0,05 0,05 0,07 0,01 -
26 Sulawesi Selatan 59,00 8,94 - 31,55 15,81 15,00
27 Sulawesi Tenggara 0,40 - - - - -
28 Gorontalo - - - -
29 Sulawesi Barat - 0,02 0,02 0,43 0,04 0,13
30 Maluku - - - - - -
31 Maluku Utara - - - - - -
32 Papua Barat - - - - - -
33 Papua - - - - - 0,01
Jumlah 69,45 13,64 1,52 36,86 19,28 16,57
Keterangan: (-) tidak ada produksi
(6)