Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis

APLIKASI SPEI DAN SPI SEBAGAI INDEKS KEKERINGAN
METEOROLOGIS

REZA PUTRA NUGRAHA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi SPEI dan SPI
sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Reza Putra Nugraha
NIM G24100045

ABSTRAK
REZA PUTRA NUGRAHA. Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan
Meteorologis. Dibimbing oleh PERDINAN.
Kekeringan merupakan fenomena terkait iklim akibat defisitnya ketersediaan
air yang mengakibatkan kerugian di Indonesia. Tingkat kekeringan dapat diukur
melalui indeks kekeringan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat aplikasi dari SPI
dan SPEI sebagai indeks kekeringan meteorologis di sebagian wilayah Jawa Barat.
Analisis juga dilakukan untuk melihat potensi aplikasi kedua indeks dalam
mengidentifikasi kejadian ENSO. Selama 2001-2010, SPEI mengindikasikan
jumlah kejadian kekeringan yang lebih banyak daripada SPI di setiap skala waktu,
yaitu 1,3, 6, dan 12 bulanan. Dari hasil yang diperoleh melalui uji t dengan taraf
signifikansi (α) 0,05, nilai SPI dan SPEI tidak berbeda nyata. Aplikasi indeks
kekeringan juga dianalisis dengan ketinggian tempat. Di dataran rendah dan
menengah, SPI mengindikasikan tingkat kekeringan yang lebih tinggi daripada
SPEI pada bulan kering (JJA). Sementara di dataran tinggi, hasil analisa melalui

SPI dan SPEI cenderung sama. Korelasi terbesar antara SPI dan SPEI dengan
ENSO di Samudera Pasifik terjadi pada skala waktu 24 bulanan sebesar -0,676 dan
-0,612. Kejadian kekeringan menurut SPI dan SPEI banyak terjadi pada saat El
Nino skala sedang dengan jumlah 9 kejadian dari total 11 kejadian di 3 lokasi
sampel. Dengan demikian, SPEI dapat menjadi substitusi atau alternatif SPI sebagai
indeks kekeringan meteorologis dalam menganalisis kekeringan di Indonesia.
Kata kunci: kekeringan, indeks kekeringan, SPI, SPEI

ABSTRACT
REZA PUTRA NUGRAHA. Application of SPEI and SPI as Meteorological
Drought Index. Supervised by PERDINAN.
Drought is a phenomenon related to climate caused by water deficiency
resulting some economic losses in Indonesia. The intensity of drought can be
measured by drought index. This research is proposed to evaluate the application
of SPI and SPEI as meteorological drought index in some areas of West Java.
Additional analysis is conducted to evaluate the potential application of both indices
to identify ENSO events. For the period of 2001-2010, SPEI indicates drought
events more than SPI in time scale of 1-, 3-, 6-, and 12-month. By t-test in statistical
method with significance level (α) 0,05, SPI and SPEI results are not significantly
different. Drought indices application is also analyzed by the altitude. At the low

and mid-altitude, SPI is consider to indicate the drought intensity higher than SPEI
at dry season (JJA). While at the high-altitude, the index results by SPI and SPEI
are not to different. The strong correlation between SPI and SPEI with ENSO in
Pacific Ocean occurs at 24-month time scale are -0.676 and -0.612. The result of
SPI and SPEI calculation, drought events are mostly occur during El Nino at
moderate level, i.e 9 out of of 11 events at 3 locations. Thus, SPEI could become
substitute or alternative of SPI as meteorological drought index to analyze drought
in Indonesia.
Keywords: drought, drought indices, SPI, SPEI

APLIKASI SPEI DAN SPI SEBAGAI INDEKS KEKERINGAN
METEOROLOGIS

REZA PUTRA NUGRAHA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi


DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis
Nama
: Reza Putra Nugraha
NIM
: G24100045

Disetujui oleh

Dr Perdinan, SSi MNRE
Pembimbing I

Diketahui oleh


Dr Ir Tania June MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang
diambil dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah
kekeringan, dengan judul Aplikasi SPEI dan SPI sebagai Indeks Kekeringan
Meteorologis.
Penulis sadar tanpa bantuan banyak pihak, karya ilmiah ini akan sulit
diwujudkan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
Tuhan Yang Maha Esa, serta Bapak Dr Perdinan SSi MNRE selaku pembimbing
yang telah mengajarkan banyak hal baru demi kepentingan penulisan karya ilmiah
ini. Di samping itu, penulis juga berterima kasih kepada Badan Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) Bogor yang telah memberikan bantuan
berupa data iklim hasil observasi yang sangat bermanfaat.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua M.
Koesyanto dan Cony Nugraheni, Adinda Reina, Bulik Dian sebagai keluarga yang

selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik, Dhe Lisnawati Tri Hastuti atas
segala kasih sayangnya, sahabat terbaik di GFM 47 khususnya Pak Haikal, Aa
Dede, Om Aponk, Sob Fey, Indy-bol, Cak Indro, dan Prof Ryan serta teman-teman
dari TPB A23-24 dan UKM IAAS yang telah memberikan warna selama berkuliah
di kampus IPB.
Tidak lupa penulis juga ucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada
seluruh dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah
membantu dan menyalurkan ilmu yang tiada terhingga kepada penulis. Semoga
kelak penulis dapat mengamalkan ilmu tersebut bagi kepentingan masyarakat.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih perlu pengembangan
terutama dalam bentuk aplikasi di masyarakat, sehingga diharapkan ada pihak yang
bersedia meneruskan dan mengaplikasikan penelitian ini agar dapat dimanfaatkan
langsung oleh masyarakat luas. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Bogor, November 2014

Reza Putra Nugraha

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kekeringan

2

Kondisi Iklim dan Kekeringan

3

Indeks Kekeringan

4

Standardized Precipitation Index (SPI)


8

Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI)

9

METODE

9

Waktu dan Tempat Penelitian

9

Alat dan Data

9

Prosedur Analisis Data


10

Profil Curah Hujan dan Suhu Udara Lokasi Pengamatan

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

15

Analisa SPI dan SPEI di Pantura Jawa Barat berdasarkan 4 Skala Waktu

15

Analisa SPI dan SPEI Terhadap Ketinggian Lokasi Pengamatan

21

Analisa Hasil SPI dan SPEI Lokasi Pengamatan pada Kejadian ENSO


24

SIMPULAN DAN SARAN

28

Simpulan

28

Saran

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

9

Macam-macam indeks kekeringan sebelum Palmer’s Index (Heim β00β).
Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan Indeks Palmer
dan pengembangannya (Heim 2002).
Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan SPI (Heim 2002).
Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPI (Hayes et al. 1998)
Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPEI (Vicente-Serrano et al. 2010).
Jumlah kejadian kekeringan (SPI/SPEI < -0,99) di 8 lokasi pengamatan
selama tahun 2001 – 2010.
Tabel indeks kekeringan yang menunjukkan rata-rata indeks lebih kecil
(selisih > 0,1) di lokasi ketinggian dan periode waktu tertentu.
Kejadian ENSO serta kondisi kekeringan berdasarkan SPI dan SPEI 12
bulanan di Sukamandi (16 mdpl), Kuningan (520 mdpl), dan Citeko
(920 mdpl).
Data kerusakan lahan akibat kekeringan selama 2003-2008 di sebagian
Jawa Barat (BNPB 2014).

5
6
7
8
9
21
23

25
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4

5
6
7
8
9
10
11
12
13

Diagram prosedur penelitian.
12
Peta stasiun kajian yang berlokasi di Jawa Barat.
13
Profil curah hujan bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran, Bogor, Pacet,
Kuningan, Sukamandi, Citalang, Citeko, Pusakanegara, dan Sukatani tahun
2000 – 2011.
14
Profil suhu udara bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran, Bogor (1),
Citalang (2), Citeko (3), Kuningan (4), Pacet (5), Pusakanegara (6),
Sukamandi (7), dan Sukatani (8).
14
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)
bulanan Kota Bogor tahun 2001-2010.
15
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)
bulanan Citalang tahun 2001-2010.
16
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)
bulanan Citeko tahun 2000-2010.
16
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)
bulanan Kuningan tahun 2000-2010.
17
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)
bulanan Pacet tahun 2001-2010.
17
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)
bulanan Sukamandi tahun 2001-2010.
18
Grafik time series indeks SPI dan SPEI di Sukatani skala 1 (a), 3 (b), 6 (c),
12 (d) bulanan tahun 2001-2010.
18
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c), 12 (d)
bulanan Pusakanegara tahun 2001-2010.
19
Grafik perbandingan nilai rata-rata SPI dan SPEI selama 2001-2010 pada
periode 3 bulanan rata-rata, JJA (a), SON (b), DJF (c), dan MAM (d) dengan

ketinggian di 8 lokasi observasi (sumbu x menunjukkan ketinggian lokasi
pengamatan).
22
14 Peta lokasi stasiun pengamatan dengan kondisi topografi beragam dalam
citra satelit Landsat oleh Google Earth.
23
15 Korelasi Pearson antara SPI (atas) dan SPEI (bawah) dengan anomali SPL
Nino 3.4 pada beberapa multi-scale period.
26

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Memuat SPEI Package di R x64
Script R menghitung SPI dan SPEI Bogor
Script R menghitung SPI dan SPEI Citalang
Script R menghitung SPI dan SPEI Citeko
Script R menghitung SPI dan SPEI Kuningan
Script R menghitung SPI dan SPEI Pacet
Script R menghitung SPI dan SPEI Pusakanegara
Script R menghitung SPI dan SPEI Sukamandi
Script R menghitung SPI dan SPEI Sukatani

31
31
31
32
32
33
33
34
34

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kekeringan (drought) merupakan salah satu fenomena terkait iklim akibat
defisitnya ketersediaan air yang kerap terjadi di wilayah Indonesia. Fenomena ini
seringkali dianggap sebagai salah satu ancaman besar bagi kegiatan manusia seperti
usaha pertanian, perikanan, peternakan, dan aktifitas sehari-hari lainnya.
Berkurangnya ketersediaan air dalam tanah yang dibutuhkan dalam berbagai
kegiatan menjadi penyebab utama kekeringan menjadi suatu ancaman.
Terjadinya kekeringan dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti faktor
minimnya sumber air, kurangnya daerah tangkapan air, serta sedikitnya curah hujan
yang turun. Namun sebagai fenomena iklim, pola curah hujan merupakan faktor
yang sangat berpengaruh dalam terjadinya kekeringan. Oleh karena itu, untuk
menekan ancaman kekeringan perlu dilakukan pemahaman terhadap karakteristik
iklim di suatu lokasi dengan baik. Pemahaman karakteristik iklim tersebut dapat
dimulai dengan analisis sifat fisik yang mewakili kondisi iklim dan kekeringan.
Dampak dari ancaman kekeringan telah dirasakan nyata oleh masyarakat.
Contoh pada tahun 2012, BPS menyatakan produksi panen padi menurun di Jawa
Barat. Bahkan kekeringan telah menyusutkan luas area panen padi hingga mencapai
17.656 hektar (PEMDA JABAR 2012). Pada sektor perikanan, ancaman
kekeringan terasa pada menurunnya populasi plankton sebagai pakan ikan akibat
meningkatnya suhu laut. Sementara pada perikanan budidaya, kekeringan juga
menurunkan kuantitas pasokan air sehingga petani umumnya menurunkan areal
produksi ikan (Arifin et al. 2001). Sementara pada usaha peternakan, kekeringan
akan menurunkan jumlah pakan hijau bagi hewan ternak.
Terganggunya produksi usaha pertanian, perikanan, maupun peternakan
kekeringan tentu saja berdampak pula pada skala ekonomi. Tercatat pada 2013,
sebanyak 2,61 hektar sawah yang tersebar di 30 kecamatan Kabupaten Subang
terancam mengalami kekeringan dan tidak dapat ditanami (Winarsih 2013).
Sementara di Kabupaten Purwakarta, surutnya air Waduk Cirata dan Jatiluhur
membuat para petani padi terpaksa mencabuti tanaman padinya kembali dan
mengalami kerugian sekitar Rp 2,1 miliar (Sutisna 2008). Selain pertanian,
kekeringan juga mengganggu sektor kelistrikan di Jawa – Bali. Pada 2011,
menyusutnya debit air akibat kekeringan di Waduk Saguling dan Cirata membuat
produksi listrik PLN melalui PLTA berkurang hingga 1.300 megawatt. Akibat hal
tersebut, PLN diperkirakan kehilangan pendapatan sebesar Rp 5,5 triliun per
bulannya (Auliani 2011).
Akibat dari banyaknya dampak buruk tersebut, perlu dilakukan antisipasi
dampak kekeringan agar efeknya dapat dikurangi. Salah satu antisipasi yang lazim
dilakukan adalah dengan memonitor kekeringan melalui indeks kekeringan. Saat
ini, telah dikembangkan berbagai macam indeks kekeringan yang disusun atas
beberapa data iklim, seperti Palmer’s Index, Vegetation Condition Index (VCI),
hingga Drought Monitor. Namun dari sekian indeks tersebut, terdapat
Standardized Precipitation Index (SPI) sebagai indeks kekeringan meteorologis
yang banyak digunakan oleh biro-biro meteorologi di dunia. Sementara
Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) dibuat sebagai

2

koreksi SPI dengan penambahan variabel suhu akibat meningkatnya tren suhu
global masa kini.
SPI merupakan indeks kekeringan yang hanya memerlukan satu parameter
masukan, yaitu curah hujan. Menurut Hayes et al. (2011), saat ini SPI menjadi
indeks yang paling direkomendasikan untuk menganalisis tingkat kekeringan di
seluruh dunia. Bahkan World Meteorological Organization (WMO) telah
merekomendasikan kepada setiap biro layanan meteorologi negara-negara di dunia
agar menggunakan SPI dalam menganalisa tingkat kekeringan dengan
mengeluarkan panduan penggunaan secara manual (WMO 2012). BMKG selaku
biro meteorologi resmi Indonesia juga menggunakan SPI sebagai alat identifikasi
kekeringan meteorologis di berbagai wilayah di Indonesia (BMKG 2013).
SPEI sendiri merupakan indeks kekeringan yang dikembangkan dari SPI.
Indeks yang dikembangkan oleh Vicente-Serrano et al. (2010) ini menambahkan
satu parameter tambahan sebagai bahan analisa kekeringan, yaitu suhu udara.
Dengan menambahkan suhu udara sebagai variabel kalkulasi indeks, SPEI
dianggap telah melengkapi SPI yang hanya menggunakan satu parameter saja. Di
lain sisi, Abramopoulos et al. (1998) juga menambahkan bahwa suhu udara turut
berpengaruh secara masif terhadap tingginya tingkat kekeringan di suatu lokasi.
Oleh karena itu, dikarenakan terdapat perbedaan variabel masukan dari kedua
indeks tersebut, pada penelitian ini ingin diketahui perbedaan hasil dan analisa
kekeringan dari SPI dan SPEI melalui data iklim di 5 kota/kabupaten di Jawa Barat.
Selain itu, dengan melakukan analisa kekeringan melalui SPI dan SPEI, hasilnya
diharapkan dapat mengidentifikasi seberapa besar tingkat kekeringan di 5
kota/kabupaten di Jawa Barat dalam 10 tahun terakhir.

Tujuan Penelitian
1.

2.

3.

Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui perbedaan hasil dan analisa kekeringan antara Standardized
Precipitation
Index
(SPI)
dan
Standardized
Precipitation
Evapotranspiration Index (SPEI) melalui data iklim di Jawa Barat.
Menganalisis intensitas kekeringan di Jawa Barat dalam kurun waktu 10
tahun (2001-2010) menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI)
dan Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI).
Menganalisis tingkat kekeringan berdasarkan klasifikasi topografi
menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI) dan Standardized
Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) serta korelasinya dengan
fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO).

TINJAUAN PUSTAKA
Kekeringan
Terdapat banyak definisi mengenai kekeringan. Tjasyono dan Harijono
(2006) menyatakan bahwa kekeringan adalah kesenjangan antara air yang tersedia
dan air yang diperlukan. Sementara AMS (1997) menjelaskan bahwa kekeringan

3

merupakan suatu peristiwa cuaca kering abnormal yang menyebabkan
berkurangnya curah hujan sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan
ketersediaan air secara hidrologi. Wilhite dan Glantz (1985) sendiri
mengklasifikasikan kekeringan ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Kekeringan meteorologis (meteorological drought), yaitu berkurangnya
presipitasi hingga di bawah normal dalam suatu waktu tertentu. Biasanya hal ini
digambarkan sebagai penyebab utama terjadinya kekeringan.
2. Kekeringan hidrologis (hydrological drought), yaitu defisitnya ketersediaan air
di permukaan maupun di dalam tanah. Biasanya hal ini digambarkan sebagai
dampak dari kekeringan.
3. Kekeringan pertanian (agricultural drought), menjelaskan berkurangnya
produksi pertanian akibat berkurangnya suplai air dan meningkatnya transpirasi
tanaman.
4. Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought), menjelaskan kaitan
kekeringan dengan permintaan dan penawaran pasar terhadap barang-barang
bernilai ekonomi. Biasanya hal ini muncul setelah terjadi kekeringan
meteorologi, hidrologi, dan pertanian.
Kekeringan meteorologi -sebagai kategori kekeringan yang dibahas dalam
penelitian ini-, biasanya didasarkan atas perbandingan antara kejadian ekstrim dan
kejadian normal serta periode terjadinya kekeringan. Tingkat kekeringan
meteorologi dinyatakan sebagai suatu periode berupa tiga bulan atau lebih dengan
curah hujan 2.54
kekeringan jangka
mm dalam 48 jam
pendek.
terakhir.

- Kurang akurat dalam

Antecedent
Precipitation
Index (API)
(1954)

Curah hujan.
Menganalisis
kekeringan melalui
ketersediaan kadar
air tanah (KAT)
dengan asumsi
pengurangan secara
tetap dari selisih
CH dan KAT
sebelumnya.

- Konsep sederhana
dan mudah dalam
analisis secara
matematis. Biasa
digunakan dalam
memprediksi
banjir (saat KAT
sudah jenuh).

mengukur kekeringan
jangka panjang.
Asumsi batas CH >
2.54 mm dalam 48
jam dirasa dapat
menimbulkan bias
yang tidak sesuai
dengan kondisi
kekeringan
sesungguhnya.

- Bila tanpa asumsi
KAT awal, aplikasi
API cukup sulit
mengingat perlu
dilakukan
pengukuran sampel
KAT.

6

Tabel 2 Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan Indeks Palmer
dan pengembangannya (Heim 2002).
Indeks
Kekeringan
Palmer's
Index (PDSI
dan PHDI)
(1965)

Variabel Iklim
Masukan
Curah hujan dan
suhu udara,
dianalisa menjadi
suatu bentuk
neraca air yang
diasumsikan
terbagi ke dalam
dua lapisan tanah.

Kelebihan

- Paling sesuai
dalam
mengkombinasikan
CH dan suhu guna
mengidentifikasi
kekeringan dengan
cakupan spasial
dan temporal yang
luas (Julian dan
Fritts 1968).

Crop Moisture Curah hujan dan
- Sangat baik
Index (CMI)
suhu udara
terutama dalam
(1968)
mingguan. Pada
mengindikasikan
CMI dilakukan
kekeringan pada
analisa per minggu masa-masa awal
dengan tujuan
tanam (grow
mengetahui tingkat season).
kebutuhan air pada
tanaman pertanian.

Kekurangan

- Secara khusus dibuat
untuk menganalisa
kekeringan di
wilayah kering
sehingga
diasumsikan curah
hujan lokal menjadi
satu-satunya sumber
air (tidak
memasukkan faktor
irigasi dan masa
pencairan salju).

- Variabel masukan
berupa data
mingguan dapat
menyulitkan apabila
pengukuran variabel
iklim tidak kontinu,
oleh karena itu
dibutuhkan perhatian
khusus (kontinuitas
data mutlak
diperlukan).

Keetch-Byram
Drought Index
(1968)

Curah hujan dan
- Secara umum,
suhu udara.
indeks ini telah
Keetch-Byram
digunakan sebagai
mengasumsikan
alat untuk
kekeringan dengan memonitor dan
menipisnya KAT
memprediksi
berdasarkan daily
kebakaran di
water bugdet
wilayah-wilayah
model.
rawan.

- Kurang fleksibel bila

Surface Water
Supply Index
(1981)

Curah hujan,
- Memasukkan
snowpack,
faktor limpasan
simpanan air, dan
serta simpanan air
limpasan
pada area
permukaan.
tangkapan
Disusun untuk
(catchment area),
melengkapi
sehingga dianggap
variabel-variabel
cocok diterapkan di
yang tidak terdapat wilayah-wilayah
dalam Palmer's
DAS dan
Index.
sekitarnya.

- Doesken dan Garen

ingin digunakan
sebagai alat untuk
memprediksi tipe
kekeringan lain,
seperti pertanian
(agricultural
drought).

(1991) menilai
terdapat bias yang
terjadi akibat variasi
lahan (morfologi)
dan menimbulkan
sifat-sifat statistik
yang berbeda dalam
hasil analisanya.

7

Tabel 3 Macam-macam indeks kekeringan setelah kemunculan SPI (Heim 2002).
Indeks
Kekeringan

Variabel Iklim
Masukan

Kelebihan

Kekurangan

Standardized
Precipitation
Index (SPI)
(1993)

Curah hujan bulanan.
Dalam SPI, data CH
dinormalisasikan
melalui sebaran
Gaussian dan
menganalisa
kekeringan melalui
pengelompokkan
kejadian (normal,
defisit, dan exceed).

- Mampu mewakili

Vegetation
Condition
Index (VCI)
(1995)

Data citra satelit
AVHRR dengan
gelombang visible dan
near infrared (NIR)
dari jenis tutupan
lahan.

- Dapat dianalisa
secara real-time.
- Pengukuran di
lapang tidak
diperlukan (tidak
wajib) sehingga
lebih praktis.

berdasarkan
kepentingan untuk
pertanian, pada
masa-masa
vegetasi dorman
(saat musim
dingin atau bera),
VCI menjadi
terbatas.

Drought
Monitor (DM)
(1999)

Merupakan kombinasi
parameter dan
indikator indeks
kekeringan
sebelumnya. Hal ini
disebabkan adanya
perbedaan definisi dan
parameter dalam
indeks-indeks
sebelumnya (Svoboda
2000).

- Dianggap paling

- Sulit apabila tidak

Standardized
Precipitation
Evapotranspir
ation Index
(SPEI) (2010)

Curah hujan dan suhu
udara. SPEI disusun
dengan konsep yang
tidak jauh berbeda
dengan SPI, yaitu
berupa normalisasi
data melalui sebaran
statistika.

- Pengembangan

kekeringan baik itu
secara
meteorologi,
pertanian, maupun
hidrologi.
- Mampu mengukur
tingkat kekeringan
secara durasi,
ukuran, serta
intensitas.
- Variabel input
sederhana (hanya
berupa curah
hujan).

lengkap guna
mengidentifikasi
kekeringan dalam
berbagai skala
spasial maupun
temporal.
- Pembaharuan
informasi tiap
minggu oleh
National Drought
Mitigation Center
(NDMC).
dari SPI.
- Dianggap lebih
detil dalam
menangkap
indikasi
kekeringan dalam
tren perubahan
iklim saat ini.

- Akibat terjadinya
tren perubahan
iklim yang
berakibat pada
menurunnya
intensitas CH,
analisa SPI yang
hanya
menggunakan
variabel CH
berisiko bias
(Vicente-Serrano
et al. 2010).

- Karena dibuat

difasilitasi oleh
sistem manajemen
data dan observasi
serta prasarana
yang lengkap.

- Dibandingkan
dengan sistem
DM, SPEI hanya
sebagian dari
keseluruhan
sistem analisa
kekeringan yang
dianggap paling
lengkap dan
mutakhir.

8

Dengan begitu bervariasinya metode dalam penentuan kekeringan,
bervariasi pula hasil yang diperoleh meski dalam suatu wilayah kajian yang sama.
Suryanti (2008) juga telah menjelaskan dalam penggunaan berbagai macam indeks
kekeringan, dapat mempertimbangkan latar belakang dan kondisi, mulai dari
topografi hingga karakteristik wilayah kajian, serta ketersediaan data serta tujuan
analisa kekeringan. Namun meski memperoleh hasil yang bervariasi, secara
keseluruhan hasil dari setiap indeks kekeringan tidak berbeda jauh.

Standardized Precipitation Index (SPI)
Indeks kekeringan Standardized Precipitation Index (SPI) dikenalkan
pertama kali oleh McKee tahun 1993 di Colorado, AS. Tujuan awal dari
diluncurkannya SPI ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam memonitor
dan mendeteksi kekeringan di AS. Kesederhanaan dan fleksibilitas secara temporal
menjadi perbedaan SPI dibandingkan indeks-indeks kekeringan sebelumnya. Selain
itu SPI juga mampu menganalisis kekeringan hanya dengan parameter input berupa
presipitasi (Hayes et al. 1998).
SPI dikembangkan berdasarkan kuantifikasi defisit air pada berbagai skala
waktu. Pada dasarnya SPI menstandarisasi dan mentransformasikan data presipitasi
hasil observasi ke dalam skala indeks kekeringan. Analisis kekeringan
menggunakan SPI ini dapat dilakukan dengan berbagai periode, mulai dari 3
bulanan, 6 bulanan, 12 bulanan, hingga seterusnya tergantung dengan kebutuhan
analisis (Guttman 1998).
Tabel 4 Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPI (Hayes et al. 1998)
SPI

Kategori

≥ β.00
1.50 - 1.99
1.00 - 1.49
(-0.99) - 0.99
(- 1.00) - (-1.49)
(- 1.50) - (-1.99)
≤ -2.00

Sangat basah
Basah
Agak basah
Normal
Agak kering
Kering
Sangat kering

Jumlah Peluang Kejadian dalam
100 Tahun (Tahun)
2
5
10
66
10
5
2

Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa analisis kekeringan melalui SPI
dihasilkan 7 kelas/tingkat kekeringan suatu wilayah. Melalui kelas ini ditentukan
karakteristik kekeringan di suatu wilayah. McKee et al. (1993) membagi kelaskelas tersebut berdasarkan proporsi standarisasi sebaran normal, yaitu 66% untuk
kategori normal, 20% untuk kategori agak kering/basah, 10% untuk kategori
kering/basah, serta sisa 4% untuk kategori sangat kering/basah. Berdasarkan
proporsi ini juga ditentukan besarnya peluang periode ulang yang terjadi.

9

Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI)
Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) merupakan
indeks kekeringan berbasis data curah hujan dan suhu udara. SPEI diperkenalkan
pertama kali oleh Vicente-Serrano et al. (2010) dengan mengembangkan indeks
kekeringan SPI yang berbasis data curah hujan saja. Dengan mengambil kelebihankelebihan yang terdapat dalam SPI, SPEI juga melengkapinya dengan
menambahkan pengaruh suhu udara untuk dikombinasikan dengan curah hujan
dalam menganalisa tingkat kekeringan. Hal ini dilatarbelakangi oleh tren
meningkatnya suhu udara pada beberapa periode belakangan akibat pemanasan
global.
Secara matematik, SPEI memiliki prosedur yang tidak jauh berbeda dengan
SPI dalam mengkalkulasi variabel masukan untuk dianalisa menjadi suatu indeks
kekeringan. Namun dengan adanya parameter suhu udara, SPEI dapat menganalisa
kekeringan melalui faktor water balance dimana suhu udara digunakan sebagai
penduga evapotranspirasi potensial (ETp). Hal ini mirip dengan indeks kekeringan
Palmer (Palmer Drought Severity Index/PDSI) yang menganggap besarnya tingkat
kekeringan berhubungan dengan kebutuhan air (water demand) sebagai hasil dari
evapotranspirasi (Vicente-Serrano et al. 2010).
Tabel 5 Klasifikasi nilai indeks kekeringan SPEI (Vicente-Serrano et al. 2010).
SPI

Kategori

≥ β.00
1.50 - 1.99
1.00 - 1.49
(-0.99) - 0.99
(- 1.00) - (-1.49)
(- 1.50) - (-1.99)
≤ -2.00

Sangat basah
Basah
Agak basah
Normal
Agak kering
Kering
Sangat kering

Jumlah Peluang Kejadian dalam
100 Tahun (Tahun)
2
5
10
66
10
5
2

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai Juli 2014 di
Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB,
Bogor dengan wilayah kajian penelitian adalah 8 lokasi stasiun cuaca di Jawa Barat.

Alat dan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan dan suhu
udara rata-rata bulanan hasil observasi 8 stasiun cuaca selama 10 tahun terakhir di

10

wilayah Jawa Barat yang diperoleh dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
– Bogor, serta data anomali suhu permukaan laut (SPL) Nino 3.4 yang diperoleh
dari laman National Weather Services (NWS) milik National Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA) yang dapat diakses melalui
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/, serta data kerusakan lahan akibat
kekeringan yang diperoleh dari Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
beserta perangkat lunak pembantu. Perangkat lunak yang digunakan antara lain
Microsoft Office 2010 sebagai alat pengolah data dan software open source R x64
versi 3.0.3 dengan SPEI package serta MiniTab 14 sebagai alat untuk menguji
signifikansi hasil antara SPI dan SPEI.

Prosedur Analisis Data
Penghitungan Standardized Precipitation Index (SPI)
Secara prinsip, SPI dibangun berdasarkan fungsi kepadatan peluang (FKP)
dari distribusi gamma guna mencocokkan distribusi frekuensi dari jumlah curah
hujan untuk tiap stasiun.

Namun dalam menentukan hasil SPI, sebaran gamma ditransformasikan ke
dalam distribusi normal dengan menggunakan fungsi frekuensi kumulatif sebagai
distribusi frekuensi curah hujan sebagai berikut.
H x =

k
n+1

t =√ln
t =√ln (

1

; untuk 0 < H(x) ≤ 0.5

(H(x))β
1

β

(1-H x )

) ; untuk 0.5 < H(x) ≤ 1

Sehingga diperoleh indeks SPI (Z) melalui persamaan berikut.
c +c t+cβ tβ

Z = SPI = - t- 1+d0 t+d1
1

βt

β +d tγ
γ

c +c t+cβ tβ

Z = SPI = + t- 1+d0 t+d1
1

Dimana

C0
C1
C2

β
γ
β t +dγ t

; Untuk 0 < H(x) ≤ 0.5
; Untuk 0,5 < H(x) ≤ 1

: 2.515517
: 0.802853
: 0.010328

d1
d2
d3

: 1.432788
: 0.189269
: 0.001308

11

Penghitungan Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI)
Sama halnya dengan SPI, SPEI juga distandarisasi berdasarkan fungsi
kepadatan peluang (FKP) sebaran log-logistik yang diekspresikan dalam persamaan
berikut.

f(x) = α (

χ-

α

)

-1

[1+

χ-

α

]

Namun sebelum menstandarisasi, dalam analisa kekeringan SPEI perlu
dilakukan pendugaan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) melalui pendekatan
Thornweith.
10T m
ETp=16 (
)
I
Dengan I (indeks bahang) yang merupakan akumulasi 12 bulanan dari nilai
persamaan i, yaitu:
T 1.514
i= ( )
5
Dan m merupakan koefisien yang bervariabel terikat dengan I, dengan persamaan
sebagai berikut.
m=6.75 × 10-7 Iγ -7.71×10-5 Iβ +1.79×10-β I + 0.492

Dimana, ETp = evapotranspirasi potensial (mm)
T
= suhu udara rata-rata bulanan (oC)
Dari hasil pendugaan ETp, ditentukan nilai D untuk bulan ke-i yang
merupakan selisih dari ETp dengan curah hujan bulanan.

Di=Pi -ETpi
Setelah itu, nilai Di distandarisasi dengan sebaran log-logistik untuk
kemudian ditransformasikan ke dalam sebaran normal menggunakan fungsi
frekuensi kumulatif (FK). Hal ini dilakukan untuk mengetahui sebaran nilai D i
tersebut.
k
FK = F(x) =
n+1
W = √-β ln (P) ; Untuk P ≤ 0.5

W = √-β ln (1-P) ; Untuk P > 0.5
Dengan,

P=1-F(x)
Sehingga diperoleh indeks SPEI melalui persamaan berikut.
SPEI= W-

c0 +c1W+cβ Wβ

1+d1 W+dβ Wβ +dγ Wγ

12

Dimana

C0
C1
C2

: 2.515517
: 0.802853
: 0.010328

d1
d2
d3

: 1.432788
: 0.189269
: 0.001308

Analisa Hasil SPI dan SPEI dengan ENSO, Elevasi, dan Waktu
Analisa hasil SPI dan SPEI dilakukan guna mengetahui tingkat kekeringan di
sejumlah stasiun observasi serta hubungannya dengan faktor alam lain seperti
ENSO, ketinggian lokasi, serta skala waktu tertentu. Pada analisa pengaruh ENSO
terhadap tingkat kekeringan yang diperoleh melalui SPI dan SPEI digunakan
metode korelasi Pearson. Korelasi Pearson merupakan salah satu metode statistika
parametrik untuk mengetahui tingkat hubungan secara linier di antara dua variabel.
Variabel yang digunakan dalam analisa ini adalah nilai SPI maupun SPEI yang
dikaitkan dengan anomali SPL di Nino 3.4. Alasan digunakannya korelasi Pearson
dikarenakan variabel SPI/SPEI dan anomali SPL memenuhi persyaratan
dilakukannya analisa yaitu variabel yang sama-sama bebas (independen) serta
bersifat interval.
Sementara pada analisa ketinggian lokasi, hasil SPI dan SPEI sejumlah
stasiun pengamatan diplotkan ke dalam tiga kelas ketinggian tempat, yaitu dataran
rendah untuk lokasi yang berada di 0 – 200 mdpl, dataran sedang (200 – 700 mdpl),
dan dataran tinggi (lebih dari 700 mdpl). Pada analisa skala waktu, nilai SPI
maupun SPEI dihitung berdasarkan 4 skala waktu, yaitu skala 1 bulanan, 3 bulanan,
6 bulanan, serta 12 bulanan.

Curah hujan

Suhu Udara
Temperature

Kalkulasi SPEI
di 8 lokasi
pengamatan

ETp

Kalkulasi SPI
di 8 lokasi
pengamatan

Nilai SPEI

Nilai SPI

Analisa hasil SPI dan
SPEI
Gambar 1 Diagram prosedur penelitian.

13

Profil Curah Hujan dan Suhu Udara Lokasi Pengamatan
Secara geografis semua lokasi pengamatan termasuk ke dalam wilayah
Provinsi Jawa Barat yang terletak di antara 104o 48’– 108o 48’ Bujur Timur (BT)
dan 5o 50’ – 7o 50’ Lintang Selatan (LS). Wilayah Jawa Barat memiliki karakteristik
topografi yang beragam, mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan
sumber daya air besar yang dilihat dari ribuan sungai yang mengalir. Bila
diklasifikasikan, sebagian besar (54.03%) wilayah Jawa Barat merupakan dataran
rendah yang banyak tersebar di area pantai utara. Sedangkan 35.48% berupa lereng
bukit landai dengan ketinggian antara 10 – 1500 mdpl serta sisanya merupakan
pegunungan curam dengan ketinggian lebih dari 1500 mdpl (DIPERTA JABAR
2008).

Gambar 2 Peta stasiun kajian yang berlokasi di Jawa Barat.
Berdasarkan penelitian Aldrian dan Susanto (2003), pola curah hujan di
Indonesia terbagi ke dalam 3 kelas, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal. Seluruh
wilayah Pulau Jawa termasuk Provinsi Jawa Barat di dalamnya termasuk ke dalam
pola hujan tipe monsoonal.

14

Gambar 3 Profil curah hujan bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran, Bogor,
Pacet, Kuningan, Sukamandi, Citalang, Citeko, Pusakanegara, dan
Sukatani tahun 2000 – 2011.
Berdasarkan gambar 3 dapat terlihat karakteristik pola curah hujan tipe
monsunal yang terlihat rata-rata di 8 wilayah pengukuran. Wilayah-wilayah yang
terlihat secara jelas bertipe monsunal adalah Kuningan, Citalang, Citeko,
Sukamandi, dan Pusakanegara. Tipe ini ditandai dengan satu puncak (titik tertinggi)
pada rentang bulan Desember-Januari-Februari (DJF) yang biasa dianggap sebagai
musim hujan, serta satu lembah (titik terendah) pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA)
yang biasa dikatakan sebagai musim kemarau. Pada musim kemarau ini, potensi
kejadian kekeringan semakin meningkat seiring dengan berkurangnya curah hujan
yang turun. Tipe monsunal sendiri sangat erat dipengaruhi oleh fenomena monsun
Asia dan monsun Australia yang melintas di atmosfer Indonesia (Tjasyono 2004).

Gambar 4 Profil suhu udara bulanan rata-rata di 8 wilayah pengukuran,
Bogor (1), Citalang (2), Citeko (3), Kuningan (4), Pacet (5),
Pusakanegara (6), Sukamandi (7), dan Sukatani (8).
Iklim Jawa Barat seperti pada umumnya wilayah Indonesia merupakan iklim
tropis dengan rentang suhu 17.4 – 30.7oC. Bila dilihat dari gambar 4, semua wilayah

15

dari 8 area pengukuran suhu udara termasuk ke dalam rentang tersebut. Suhu udara
bulanan tertinggi dari 8 area tersebut tercatat terdapat di Citalang, Kab. Purwakarta
sebesar 29.3oC. Sedangkan suhu udara bulanan terendah rata-rata terdapat di Citeko,
Kab. Bogor sebesar 20.1oC yang terletak di ketinggian 920 mdpl.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa SPI dan SPEI di Pantura Jawa Barat berdasarkan 4 Skala Waktu
Fleksibilitas SPI dan SPEI yang mampu mengidentifikasi kekeringan ke
dalam berbagai skala waktu menjadi salah satu kelebihan dibandingkan indeksindeks kekeringan lainnya. Oleh karena itu, awal mula dan durasi terjadinya
kekeringan dapat diketahui secara lebih detil dengan melihat dinamika nilai indeks
di saat bergerak turun maupun naik. Sehingga analisa kekeringan dapat
dimanfaatkan ke dalam beragam kepentingan, baik yang membutuhkan analisa
jangka pendek seperti pertanian dan kekeringan lahan, maupun jangka panjang
seperti perubahan iklim dan kekeringan global.
Analisa kekeringan melalui SPI dan SPEI dengan berbagai skala waktu
dilakukan di 8 lokasi observasi, yaitu Bogor, Citalang, Citeko, Kuningan, Pacet,
Pusakanegara, Sukamandi, dan Sukatani. Skala waktu yang digunakan adalah skala
1, 3, 6, dan 12 bulanan. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi serta
membandingkan tingkat kekeringan dari setiap lokasi pengamatan dalam jangka
pendek dan jangka panjang.
P Value = 0,746

a
P Value = 0,941

P Value = 0,854

b
P Value = 0,766

c
d
Gambar 5 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c),
12 (d) bulanan Kota Bogor tahun 2001-2010.

16

P Value = 0,959

a
P Value = 0,887

P Value = 0,896

b
P Value = 0,951

c
d
Gambar 6 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c),
12 (d) bulanan Citalang tahun 2001-2010.
P Value = 0,962

a
P Value = 0,935

c

P Value = 0,967

b
P Value = 0,908

d

Gambar 7 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c),
12 (d) bulanan Citeko tahun 2000-2010.

17

P Value = 0,877

a
P Value = 0,973

P Value = 0,955

b
P Value = 0,720

c
d
Gambar 8 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6 (c),
12 (d) bulanan Kuningan tahun 2000-2010.
P Value = 0,881

a
P Value = 0,358

Gambar 9

P Value = 0,523

b
P Value = 0,689

c
d
Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6
(c), 12 (d) bulanan Pacet tahun 2001-2010.

18

P Value = 0,406

P Value = 0,767

a

b

P Value = 0,680

c

P Value = 0,652

d

Gambar 10 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6
(c), 12 (d) bulanan Sukamandi tahun 2001-2010.
P Value = 0,796

P Value = 0,960

a

b

P Value = 0,874

P Value = 0,796

c
d
Gambar 11 Grafik time series indeks SPI dan SPEI di Sukatani skala 1 (a), 3
(b), 6 (c), 12 (d) bulanan tahun 2001-2010.

19

P Value = 0,574

P Value = 0,774

a

b

P Value = 0,791

P Value = 0,228

c
d
Gambar 12 Grafik time series indeks SPI dan SPEI pada skala 1 (a), 3 (b), 6
(c), 12 (d) bulanan Pusakanegara tahun 2001-2010.
Hasil identifikasi kekeringan melalui SPI dan SPEI di 8 lokasi pengamatan
mendeteksi beberapa peristiwa kekeringan, mulai dari klasifikasi sangat kering,
kering, dan agak kering. Pada wilayah Bogor yang direpresentasikan dengan
gambar 5, terlihat bahwa tingkat kekeringan terbesar berdasarkan SPI dan SPEI
terjadi pada periode akhir 2009 serta awal 2010 baik pada skala 1, 3, 6, dan 12
bulanan. Pada periode tersebut, SPI menunjukkan indeks yang sangat kering yaitu
dibawah -3,0. Sementara berdasarkan SPEI, indeks kekeringan yang terlihat
berkisar -2,0.
Sementara itu, di wilayah dataran tinggi seperti Citeko dan Pacet, kejadian
kekeringan terparah terdeteksi mencapai klasifikasi sangat kering yang
direpresentasikan dengan gambar 7 dan 9. Klasifikasi tersebut dibuktikan dengan
indeks sebesar -2,07 (SPEI) pada tahun 2002 dan -3,57 (SPI) pada tahun 2008 di
Citeko serta -4,12 (SPEI) pada tahun 2002 dan -3.53 (SPI) pada tahun 2007 di Pacet.
Indeks kekeringan yang parah tersebut diperoleh dari identifikasi kekeringan
dengan skala waktu yang pendek, yaitu 1 dan 3 bulanan. Sementara pada skala
waktu yang lebih panjang, indeks yang diperoleh cenderung lebih besar yang
menjelaskan tingkat kekeringan lebih rendah.
Profil kekeringan di dataran rendah seperti Sukamandi, Pusakanegara, dan
Citalang juga memperlihatkan tingkat kekeringan dengan klasifikasi sangat kering.
Di Sukamandi, profil kekeringan terparah diperlihatkan pada gambar 10 dengan
indeks sebesar -2,88 (SPEI) pada 2006 dan -2,75 pada 2000 (SPI). Hasil identifikasi
kekeringan terparah ini juga terdeteksi pada analisa dengan periode 1 dan 3 bulanan.
Di Pusakanegara, tingkat kekeringan tertinggi juga terdeteksi pada analisa periode
waktu yang pendek, yaitu 3 bulanan. Hal ini diperlihatkan oleh gambar 12 dengan
SPI dan SPEI sebesar -1,92 dan -3,86 pada tahun 2003. Hal yang sama juga terjadi
pada hasil identifikasi kekeringan di Citalang yang direpresentasikan dengan
gambar 6. Di Citalang, indeks kekeringan terparah terdeteksi pada hasil analisa

20

dengan periode waktu 1 dan 3 bulanan dengan indeks sebesar -2,88 (SPEI) di tahun
2005 dan -3.31 (SPI) di tahun 2009.
Di Sukatani dan Kuningan yang berada pada ketinggian 230 dan 520 mdpl,
kejadian kekeringan terparah terdeteksi pada analisa SPI dan SPEI dengan periode
waktu 3 bulanan. Di Sukatani, kekeringan terparah ditunjukkan oleh gambar 11
dengan skala indeks sebesar -1,87 (SPEI) pada 2004 dan -2,52 (SPI) pada 2009.
Sementara di Kuningan, indeks kekeringan terparah menunjuk pada skala -1,80
(SPEI) pada 2008 dan -3,76 (SPI) pada 2002 yang direpresentasikan dengan gambar
8. Dari beberapa tingkat kekeringan terparah tersebut, terlihat bahwa analisa
kekeringan dengan SPI dan SPEI pada skala waktu 3 bulanan dapat
mengidentifikasi kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skala waktu
lainnya. Selain itu, berdasarkan gambar-gambar hasil identifikasi kekeringan,
terlihat bahwa pada analisa dengan skala waktu yang pendek diperoleh hasil yang
sangat fluktuatif. Hal ini berbeda dengan grafik pada skala waktu 6 dan 12 bulanan
yang cenderung lebih landai.
Perbedaan hasil antara SPI dan SPEI memang terlihat di setiap analisa dan
identifikasi kekeringan, baik pada periode waktu 1, 3, 6, dan 12 bulanan. Dari
sekian perbedaan hasil tersebut, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan
berdasarkan klasifikasi dalam analisis kekeringan di SPI dan SPEI. Misalnya di
Sukatani dan Kuningan, indeks kekeringan terparah yang diidentifikasi oleh SPI
menunjukkan kondisi ekstrim, yaitu sangat kering. Sedangkan menurut SPEI
kondisi kekeringan hanya diterjemahkan ke dalam situasi kering. Namun setelah
dianalisis secara statistik menggunakan uji t dengan taraf signifikansi sebesar 0,05,
tidak terdapat perbedaan yang signifikan dikarenakan p value yang diperoleh selalu
lebih besar dari 0,05.
Menurut Vicente-Serrano et al. (2010), perbedaan hasil antara SPI dan SPEI
adalah hal yang wajar mengingat kedua indeks tersebut dibangun oleh variabel yang
berbeda. SPEI yang ditujukan untuk mengidentifikasi kekeringan dengan kondisi
kenaikan suhu udara dunia tentu menerjemahkan kondisi yang lebih ekstrim apabila
terdapat perubahan suhu yang cukup signifikan. Sementara pada SPI, hanya
perubahan curah hujan signifikan yang diterjemahkan ke dalam kondisi ekstrim.
Melihat profil suhu udara dan curah hujan di 8 lokasi pengamatan selama 20012010, terlihat bahwa fluktuasi curah hujan bulanan lebih besar daripada suhu udara.
Hal ini lah yang membuat hasil identifikasi kekeringan dengan SPEI tidak selalu
lebih ekstrim dibandingkan SPI.
Namun dalam kalkulasi kejadian kekeringan dengan asumsi SPI dan SPEI <
-0,99, SPEI menunjukkan kejadian kekeringan yang lebih banyak dibandingkan SPI
di 8 lokasi pengamatan selama 2001-2010. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6. Oleh
karena itu, SPEI dapat menjadi pertimbangan ke depan dalam mewaspadai ancaman
kekeringan terutama terhadap praktik dan usaha yang sangat rentan terhadap
perubahan kondisi menuju kekeringan. Dari tabel 6 juga dapat dilihat bahwa secara
rata-rata, analisis kekeringan dengan periode waktu yang pendek mampu
mengidentifikasi jumlah kejadian kekeringan yang lebih banyak daripada analisis
jangka panjang. Hal ini lah yang menjelaskan lebih curam dan fluktuatifnya grafik
indeks kekeringan pada analisis jangka pendek dibandingkan jangka panjang.

21

Tabel 6 Jumlah kejadian kekeringan (SPI/SPEI < -0,99*) di 8 lokasi pengamatan
selama tahun 2001 – 2010.
No

Lokasi

1
2
3
4
5
6
7
8

Bogor
Citalang
Citeko
Kuningan
Pacet
Pusakanegara
Sukamandi
Sukatani
Rata-rata

1 bulanan
SPEI SPI
21
21
19
16
22
21
15
16
22
13
20
10
22
11
23
25
20.5 16.6

3 bulanan
SPEI SPI
21
16
21
16
23
19
23
17
11
12
21
16
20
20
23
19
20.4 16.9

6 bulanan
SPEI SPI
15
12
20
15
18
21
20
13
11
6
21
20
22
11
24
23
18.9 15.1

12 bulanan
SPEI SPI
17
16
16
16
19
16
22
13
13
6
22
17
21
10
21
21
18.9 14.4

*Nilai < -0,99 menunjukkan suatu lokasi mengalami kekeringan (di bawah kondisi normal) dalam

klasifikasi SPI dan SPEI.

Fleksibilitas SPI dan SPEI yang mampu menganalisis kekeringan dalam
berbagai skala waktu dapat dimanfaatkan ke berbagai praktik dalam kegiatan
manusia. Pada kondisi meteorologis dan lengas tanah untuk pertanian yang
cenderung mudah berubah dalam skala waktu yang pendek dapat digunakan
analisis kekeringan SPI dan SPEI 1 dan 3 bulanan. Sementara itu, untuk analisis
jangka panjang 6 dan 12 bulanan dapat dimanfaatkan ke dalam bidang hidrologis
seperti kebutuhan air waduk dan PLTA serta perkebunan (WMO 2012).

Analisa SPI dan SPEI Terhadap Ketinggian Lokasi Pengamatan
Perbedaan lokasi maupun topografi antar wilayah diketahui sedikit banyak
mempengaruhi faktor-faktor iklim. Berdasarkan tabel 6 juga, diketahui hasil
analisis kekeringan dengan periode 3 bulanan dapat mendeteksi kejadian
kekeringan lebih sering. Pada gambar 13 yang merupakan perbandingan indeks 3
bulanan dengan ketinggian lokasi, terlihat kedua indeks menunjuk pada kondisi
normal (-0,99 – 0,99) di setiap periode. Pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA),
selama 10 tahun di 8 lokasi observasi terlihat SPI menunjukkan nilai terkering pada
ketinggian 210 mdpl yang berlokasi di Bogor dengan indeks sebesar -0,119.
Sementara pada ketinggian 90 mdpl (Citalang), SPI menunjukkan indeks tertinggi
sebesar 0,161. Lain halnya dengan SPEI, grafik indeks pada periode ini cenderung
sama pada setiap ketinggian, mulai dari 8 mdpl (Pusakanegara) hingga 1280 mdpl
(Pacet). Perbedaan hasil SPI dan SPEI pada periode ini tidak lah besar. Hal ini bisa
dilihat dengan perbedaan hasil terbesar yang hanya 0,137 di ketinggian 210 mdpl.
Periode September-Oktober-November (SON) dan Maret-April-Mei (MAM)
yang dikenal sebagai musim peralihan di Indonesia juga memperlihatkan hasil SPI
dan SPEI yang tidak berbeda jauh di setiap ketinggian lokasi pengamatan.
Perbedaan hasil terbesar hanya terlihat di ketinggian 1280 mdpl (Pacet) pada
periode SON dan 8 mdpl pada periode MAM. Perbedaan hasil tersebut masingmasing sebesar 0,268 dan 0,143. Namun perbedaannya, pada 1280 mdpl, SPEI
menunjukkan tingkat kebasahan yang lebih tinggi dibandingkan SPI. Hal ini dapat

22

diakibatkan penurunan suhu yang cukup drastis di pegunungan akibat beralihnya
musim dari kemarau ke hujan. Sementara pada 8 mdpl, lebih basahnya indeks yang
ditunjukkan SPI karena meningkatnya CH pada periode ini sebelum memasuki
musim kemarau