Skrining Aktivitas Isolat Aktinomisetes Tanah Asal Indonesia Penghasil Antibakteri

SKRINING AKTIVITAS ISOLAT AKTINOMISETES TANAH
ASAL INDONESIA PENGHASIL ANTIBAKTERI

DEDE SRI WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Skrining Aktivitas
Isolat Aktinomisetes Tanah Asal Indonesia Penghasil Antibakteri” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juni 2014
Dede Sri Wahyuni
NIM. B251120081

RINGKASAN

DEDE SRI WAHYUNI. Skrining Aktivitas Isolat Aktinomisetes Tanah Asal
Indonesia Penghasil Antibakteri. Dibimbing oleh MIRNAWATI B.
SUDARWANTO dan PUSPITA LISDIYANTI
Wabah baru akibat infeksi bakteri zoonosis terjadi hampir setiap tahun serta
berdampak serius terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global.
Penanggulangan terhadap permasalahan ini dapat dilakukan dengan mencari
alternatif antibakteri baru yang relatif mudah diperoleh di alam, berkhasiat, dan
aman. Aktinomisetes adalah bakteri tanah yang diminati sebagai sumber antibakteri
baru. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh isolat aktinomisetes berasal dari
tanah di Indonesia yang menghasilkan senyawa antibakteri penghambat bakteri
Salmonella Typhimurium InaCC B.283, Escherichia coli InaCC B.285,
Staphylococcus aureus InaCC B.286 dan Bacillus subtilis InaCC B.289.
Isolat aktinomisetes berumur 4 hari pada media ISP-2 diuji terhadap 4

bakteri uji. Setelah diinkubasi pada suhu 30°C selama 24 jam, semua isolat diamati
dan diukur zona hambatnya yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di
sekitar potongan agar dan diukur. Pengujian terhadap 299 isolat memberikan hasil
bahwa 48 isolat aktinomisetes dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Dua
isolat aktinomisetes yang reproducible membentuk zona bening pada 3 kali
pengujian dan memiliki daya hambat terhadap keempat bakteri uji (spektrum luas)
dipilih sebagai isolat untuk pengujian selanjutnya.
Kandidat aktinomisetes InaCC A.234 dan InaCC A.413 dengan zona
hambat terbesar, diinkubasi dalam medium produksi cair selama 2, 3, 4, 5, 6 dan 7
hari pada suhu ruang (28-30°C) untuk mengetahui waktu optimal produksi
antibakteri. Hasil skrining bioassay filtrat menunjukkan waktu optimum produksi
antibakteri kedua isolat yaitu pada hari ke-5. Prosentase indeks hambat isolat
aktinomisetes InaCC A.234 diatas 70% dan InaCC A.413 diatas 80% pada dosis 30
μl, suhu inkubasi 37°C sebanyak 2 kali ulangan. Isolat aktinomisetes InaCC A.413
menunjukkan zona hambat lebih besar dibandingkan dengan isolat aktinomicetes
InaCC A.234. Masing-masing isolat aktinomisetes diidentifikasi dengan
menggunakan analisa gen 16S rRNA sebagai Streptomyces triostinicus (InaCC
A.234) dan S. ginsengisoli (InaCC A.413).
Kata kunci: aktinomisetes, antibakteri, skrining.


SUMMARY

DEDE SRI WAHYUNI. Screening Activities of Actinomycetes Isolat from Soil of
Indonesia Origin to Produce Antibacterial. Supervised by MIRNAWATI B.
SUDARWANTO and PUSPITA LISDIYANTI
New outbreaks caused by zoonotic bacteria occur almost every year with
serious impacts for human health and global economy. Countermeasures against
these problems can be solved by looking for new antibacterial alternatives which
are relatively easy be found in nature, efficacy, and safety for patient.
Actinomycetes are soul bacteria that demanded as a source of new antibacterials.
The aims of this study was to obtain isolates of actinomycetes from Indonesia’s soil
which producing antibacterial compounds that inhibit Salmonella Typhimurium
InaCC B.283, Escherichia coli InaCC B.285, Staphylococcus aureus InaCC B.286
and Bacillus subtilis InaCC B.289.
Actinomycetes isolates on ISP-2 agar medium, at the age of 4 days against
all of the four bacterial tested. After incubated at 30°C for 24 hours, each of the
isolates was observed and measured for their ability to inhibit the four bacterial
tested by the formation of a clear zone around the piece of agar. Screening on 299
isolates gave results that 48 isolates of actinomycetes inhibit tested bacteria. Two
isolates actinomycetes that has higher inhibitory effects against all of the four

bacterial tested (broad spectrum) in three repetitions were selected for further
testing.
Actinomycetes InaCC A.234 and InaCC A.413 with the largest inhibition
zones and broad spectrum were incubated on production liquid medium production
for 2, 3, 4, 5, 6 and 7 days at 28-30°C to find out the optimal day of the production
of antibacterial that inhibit 4 tested bacteria (broad spectrum). The results of
bioassay screening filtrate showed that the two candidates actinomycetes have
optimum inhibition index was obtained on the fifth day. Percentage rate of
inhibition index of actinomycetes InaCC A.234 was more than 70% and InaCC
A.413 was more than 80% in doses 30 μL on 37°C temperature with two repetitions.
Actinomycetes isolates InaCC A.413 more reproducible with inhibition zone larger
than the isolates aktinomicetes InaCC A.234. Actinomycetes isolates were
identified using 16S rRNA gene sequencing as Streptomyces triostinicus (InaCC
A.234) dan S. ginsengisoli (InaCC A.413).
Keyword: actinomycetes, antibacterial, screening.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

SKRINING AKTIVITAS ISOLAT AKTINOMISETES TANAH
ASAL INDONESIA PENGHASIL ANTIBAKTERI

DEDE SRI WAHYUNI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr drh Agustin Indrawati, M Biomed

Judul Tesis
Nama
NIM

: Skrining Aktivitas Isolat Aktinomisetes
Indonesia Penghasil Antibakteri
: Dede Sri Wahyuni
: B251120081

Tanah

Asal

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr med vet drh Hj Mirnawati B. Sudarwanto
Ketua

Dr Puspita Lisdiyanti, M Agr Chem
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Juni 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji Syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga tesis yang berjudul “Skrining Aktivitas Isolat Aktinomisetes Tanah Asal
Indonesia Penghasil Antibakteri” berhasil diselesaikan dengan baik. Tesis ini
disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di program studi Magister
Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang telah
dilakukan selama 1 (satu) tahun bertujuan secara umum untuk memperoleh isolat
aktinomisetes tanah asal Indonesia yang menghasilkan senyawa bioaktif
antimikroba penghambat bakteri Salmonella enterica serovar Typhimurium (S.
Typhimurium), Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Ibu Prof Dr med vet drh Hj Mirnawati B. Sudarwanto dan Dr
Puspita Lisdiyanti, MAgr Chem selaku pembimbing yang senantiasa sabar dan
disiplin dalam memberikan bimbingan, arahan, nasehat, dorongan semangat serta
rela mengorbankan waktunya bagi penulis sampai selesainya tesis ini. Ibu Dr drh
Agustin Indrawati, M Biomed, selaku penguji luar komisi yang telah meluangkan
waktunya untuk menelaah tesis ini. Bapak Dr med vet drh Denny Widaya Lukman
selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang bersedia
memberikan saran untuk perbaikan tesis ini. Badan SDM Kementerian Pertanian

atas bantuan dananya kepada penulis. Laboratorium Mikrobiologi Terapan, Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong (terutama Pamela, Mira dan Atika) yang
telah menyediakan waktu dan semua media yang diperlukan sampai selesainya tesis
ini. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada seluruh staf Badan Karantina
Pertanian (Bapak drh Mulyanto MM, Bapak drh. Sujarwanto MM, Bapak drh Basir,
Bapak drh Bambang, drh Fauziah, drh Maria, drh Yulisma, drh Tika, drh Adi, drh
Suryadi dan Ibu Nanik) yang senantiasa siap mendengarkan keluh kesah penulis.
Laboratorium BUTTMKP yang telah bersedia meminjamkan alatnya serta seluruh
staf pengajar Kesehatan Masyarakat Veteriner yang senantiasa meberikan
bimbingannya.
Tesis ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis yaitu Bapak
Achmad, Ibu Nesah dan Kakak-kakakku tercinta yang tak henti memberikan
dukungan dan doanya. Terima kasih penulis sampaikan kepada mahasiswa KMV
angkatan 2012 (drh Risma, Nining, drh Vita, Melany, drh Gigih, drh Eko, drh Anis,
drh Rastina, drh Murni, drh Nia, drh Loisa) dan drh Winda, drh Ika, drh Saimah,
dan drh Novi yang selalu siap membantu. Terima kasih tiada tara kepada Robby
Zulkarnaen dan keluarga yang selalu ada dengan bantuan, dukungan, dorongan dan
perhatiannya serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih mempunyai keterbatasan.

Kritik dan saran penulis harapkan dari semua pihak untuk perbaikan, dan semoga hasil
penelitian ini dapat berguna bagi yang memerlukan.
Bogor, Juni 2014
Dede Sri Wahyuni

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL

xvi

DAFTAR GAMBAR

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan

Manfaat
Hipotesis

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri
Aktinomisetes
Antibiotika

2
2
4
6

3 METODE PENELITIAN
Kerangka Konsep Penelitian
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode
Validasi Bakteri Uji (S. Typhimurium, E. coli, S. aureus dan
B. subtilis)
Peremajaan Aktinomisetes
Skrining Aktivitas Antibakteri Tahap Pertama
Ekstraksi Senyawa Aktif Aktinomisetes
Skrining Aktivitas Antibakteri Tahap Kedua
Identifikasi Aktinomisetes

8
8
9
9
9
9
10
10
11
11
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Peremajaan Isolat Aktinomisetes
Skrining Aktivitas Antibakteri Tahap Pertama
Skrining Aktivitas Antibakteri Tahap Kedua
Waktu Optimum Produksi Senyawa Antibakteri
Identifikasi Aktinomisetes

12
12
13
15
18
21

5 SIMPULAN

23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

31

xvi

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Isolat aktinomisetes yang reproducible pada empat bakteri uji

15

2 Indeks hambat (%) rata-rata aktivitas antibakteri filtrat aktinomisetes
InaCC A.234 dengan waktu inkubasi yang berbeda pada keempat
bakteri uji dengan 2 kali ulangan

20

3 Indeks hambat (%) rata-rata aktivitas antibakteri filtrat aktinomisetes
InaCC A.413 dengan waktu inkubasi yang berbeda pada keempat
bakteri uji dengan 2 kali ulangan

20

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Kiri: Koloni Aktinomisetes (Albrecht 2013), Kanan: Aktinomisetes
secara mikroskopis (Yepestis 2007)

2 Zona hambat antibiotik (Todar 2009)

5

7

3 Grafik pertumbuhan aktinomietes

13

4 Skrining filtrat kultur aktinomisetes InaCC A.234, waktu inkubasi hari
ke-3 pada bakteri uji uji S. Typhimurium InaCC B.283 (ST), E. coli
InaCC B.285 (EC), S. aureus InaCC B.286 (SA), dan B. subtilis InaCC
B.289 (BS). Kiri atas: cakram etil asetat (EA), kanan atas: supernatan
aktinomisetes (SE), kiri bawah: kultur ekstrak etil asetat sebelum
dipekatkan (PE) dan kanan bawah: filtrat kultur setelah dipekatkan (PR)
isolat aktinomisetes InaCC A.234. Diameter cawan petri: 90 mm

16

5 Skrining filtrat kultur aktinomisetes InaCC A. 413, waktu inkubasi hari
ke-3 pada bakteri uji uji S. Typhimurium InaCC B.283 (ST), E. coli
InaCC B.285 (EC), S. aureus InaCC B.286 (SA), dan B. subtilis InaCC
B.289 (BS). Kiri atas: cakram etil asetat (EA), kanan atas: supernatan
aktinomisetes (SE), kiri bawah: kultur ekstrak etil asetat sebelum
dipekatkan (PE) dan kanan bawah: filtrat kultur setelah dipekatkan (PR)
isolat aktinomisetes InaCC A.413. Diameter cawan petri: 90 mm

16

6 Aktivitas antibakteri filtrat aktinomisetes InaCC A.234 dengan masa
inkubasi yang berbeda terhadap empat bakteri uji

18

7 Aktivitas antibakteri filtrat aktinomisetes InaCC A.413 dengan masa
inkubasi yang berbeda terhadap empat bakteri uji

19

8 Isolat aktinomisetes InaCC A.234 dalam media ISP-2 umur inkubasi 4
hari (kiri) dan morfologinya pada pewarnaan lactophenol cotton blue
secara mikroskopis (kanan) (perbesaran 100)

22

xvii

9

Isolat aktinomisetes InaCC A.413 dalam media ISP-2 umur inkubasi 4
hari (kiri) dan morfologinya pada pewarnaan lactophenol cotton blue
secara mikroskopis (kanan) (perbesaran 100)

22

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir, penyakit yang baru muncul (emerging disease) dan
baru muncul kembali (re-emerging disease) banyak disebabkan oleh agen patogen
yang bersumber dari hewan dan produk hewan. Berbagai macam spesies hewan
domestik dan hewan liar, bertindak sebagai reservoir untuk agen patogen, seperti
virus, bakteri maupun parasit (Meslin et al. 2000). Wabah baru yang disebabkan
oleh patogen zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia) terjadi hampir setiap
tahun dengan dampak serius terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global
(Daszak et al. 2004).
Penyakit-penyakit menular baru muncul sekitar 60.3% bersifat zoonosis,
dengan mayoritas (71.8%) berasal dari satwa liar (Jones et al. 2008). Jones et al.
(2008) juga menemukan bahwa 54.3% dari emerging infectious disease disebabkan
oleh bakteri atau rickettsia. Sebagai contoh, bakteri Escherichia coli O157:H7 yang
terdeteksi pada tahun 1982 ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi dan
menyebabkan wabah sindrom uremik hemolitik di Amerika Utara, Eropa dan
Jepang. Wabah di Jepang pada tahun 1996 menyebabkan lebih dari 6 000 kasus
pada anak-anak sekolah, dua orang diantaranya meninggal. Wabah lain di
Skotlandia tahun 1996, menyebabkan 496 orang sakit, 16 orang diantaranya
meninggal (WHO 1998). Wabah bakteri E. coli di Jerman tahun 2011 telah
menginfeksi 2 400 orang dan menyebabkan 24 orang meninggal (BBC Indonesia
2011). Saat ini perang melawan kemunculan penyakit-penyakit bakterial tersebut
merupakan kunci dari upaya-upaya kesehatan masyarakat secara nasional dan
global. Salah satu upaya pencarian solusi dalam pengobatan dilakukan dengan
mencari sejumlah besar antibiotik.
Aktinomisetes asal bakteri tanah diminati sebagai sumber antibakteri baru.
Sekitar 8 000 antibiotika asal aktinomisetes telah ditemukan sejak tahun 1994, 80%
dari genus Streptomyces dan 20% dari genus aktinomisetes lainnya (Zhao et al.
2004). Hayakawa (2003) juga menyatakan bahwa penghasil antibiotika terbesar
adalah aktinomisetes (65%) diikuti dengan bakteri selain aktinomisetes (11%),
fungi (23%) dan mikroalga (1%). Aktinomisetes merupakan mikroorganisme tanah
yang umum dijumpai pada berbagai jenis tanah dengan populasi yang banyak di
alam (Elberson et al. 2000). Aktinomisetes, terutama genus Streptomyces, mampu
mensintesis metabolit sekunder seperti antibiotika, herbisida, pestisida dan antiparasit (Oskay et al. 2004). Aktinomisetes hidup sebagai saprofit dan aktif
mendekomposisi bahan organik, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah
(Nonomura dan Ohara 1971).
Upaya pencarian dan pengembangan senyawa bioaktif aktinomisetes isolat
lokal Indonesia telah dilakukan sejak tahun 2003 oleh Pusat Penelitian
Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pencarian dilakukan
dengan mengisolasi aktinomisetes dari tanah dan serasah dari kebun raya serta
daerah lain di Indonesia. Total isolat aktinomisetes yang telah diisolasi dari
beberapa daerah di Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan 2008 yaitu sekitar 3
193 isolat. Hasil identifikasi isolat aktinomisetes berdasarkan analisa gen 16S
rRNA, beberapa diduga merupakan genus dan spesies baru. Untuk memanfaatkan

2

koleksi aktinomisetes tersebut, perlu dilakukan uji karakterisasi senyawa bioaktif
yang dihasilkan, terutama yang memiliki sifat antibakteri.

Perumusan Masalah
Banyak penyakit yang baru muncul (emerging disease) disebabkan bakteri
patogen zoonosis yang menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat. Sebagian
dari bakteri patogen tersebut bersifat resisten terhadap antibiotika. Hal ini
merupakan masalah yang harus segera diatasi. Penanggulangan terhadap
permasalahan ini dapat dilakukan dengan mencari alternatif antibakteri baru yang
relatif mudah diperoleh di alam, berkhasiat, dan aman.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh isolat aktinomisetes tanah asal
Indonesia yang menghasilkan senyawa bioaktif antibakteri penghambat bakteri
Salmonella enterica serovar Typhimurium (S. Typhimurium), Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis.

Manfaat
Diperoleh isolat aktinomisetes tanah asal Indonesia yang menghasilkan
senyawa bioaktif antibakteri penghambat bakteri S. Typhimurium, E. coli, S. aureus
dan B. subtilis.

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah beberapa isolat aktinomisetes tanah asal
Indonesia sebagai hasil seleksi, mampu mensekresikan senyawa bioaktif antibakteri
penghambat bakteri S. Typhimurium, E. coli, S. aureus dan B. subtilis.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri
Bakteri berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu bacterium yang
merupakan kelompok organisme yang tidak memiliki membran inti sel. Organisme
ini termasuk ke dalam domain prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik)
(Madigan et al. 2008). Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai agen penyebab
infeksi dan penyakit, sedangkan kelompok lainnya dapat memberikan manfaat
dibidang pangan, pengobatan, dan industri (Berg et al. 2002).

3

Produk pangan asal ternak berisiko tinggi terhadap cemaran bakteri yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh
pangan asal ternak adalah penyakit salmonellosis, dan penyakit akibat cemaran S.
aureus dan E. coli (Supar dan Ariyanti 2005). Bakteri Salmonella sp., S. aureus dan
E. coli biasanya ditularkan melalui daging unggas, telur, daging sapi, susu, sayur
dan buah yang terkontaminasi air, tanah dan kotoran hewan (Djaafar dan Rahayu
2007). Bacillus subtilis tumbuh pada makanan dengan pH lebih dari 4 dengan
kondisi aerob dan menyebabkan makanan berlendir (Todar 2011).
Beberapa bakteri umum yang merugikan antara lain:

1. Salmonella Typhimurium
Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri Gram negatif penyebab
infeksi. Salmonella yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang
disebut salmonellosis. Gejala salmonellosis yang paling sering terjadi adalah
gastroenteritis. Selain gastroenteritis, beberapa spesies Salmonella juga dapat
menimbulkan gejala penyakit lainnya, seperti demam enterik yaitu demam
tifoid dan demam paratifoid, serta infeksi lokal (Poeloengan et al. 2014)
Salmonellosis merupakan penyakit yang menular dari hewan ke manusia
(zoonosis). Ternak yang rawan terhadap salmonellosis diantaranya sapi, domba,
kambing, babi muda demikian juga dengan hewan kesayangan seperti anjing,
kucing, kelinci dan hamster. Ayam adalah salah satu sumber penularan penting
Salmonella (Poeloengan et al. 2014).

2. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri batang Gram negatif, biasanya tidak
berkapsul, motil, serta tidak membentuk spora (Supardi dan Sukamto 1999). E.
coli terdeteksi memproduksi enzim extended spectrum β-lactamase (ESBL)
(Locatelli et al. 2009). Berbagai definisi ESBL telah digunakan selama 20 tahun
terakhir, berdasarkan spektrum, inhibisi, dan lain-lain. Tidak ada definisi yang
sempurna, namun definisi yang diusulkan pada konferensi ESCMID, ESBL
adalah setiap β-laktamase, biasanya diperoleh dari mikroorganisme dan tidak
selalu dihasilkan oleh semua spesies, yang diperoleh dengan cepat
menghidrolisis, sehingga menyebabkan resistensi terhadap oxyiminosefalosporin (kecuali carbapenems) atau β-laktamase mutan yang terdapat
dalam satu keluarga, dengan kemampuan yang dapat ditingkatkan (Cornaglia et
al. 2008).
ESBL dihasilkan oleh banyak mikroorganisme terutama bakteri enterik
seperti Klebsiella pneumonia (Chong et al. 2011) dan Escherichia coli yang
menghasilkan ESBL CTX-M (Pitout dan Laupland 2008). ESBL CTX-M
menjadi penyebab serius infeksi pembuluh darah dan infeksi saluran kemih
(Rodriguez et al. 2010). Enzim CTX-M sering menyebabkan resistensi
antimikroba khususnya untuk fluoroquinolon (Johnson et al. 2012).
Berdasarkan kemampuannya tersebut maka bakteri ini dapat bertahan lebih

4

lama daripada bakteri batang Gram negatif lainnya di lingkungan, kulit serta
memungkinkan gen ESBL dapat bermutasi (Livermore dan Brown 2001).
Strain E. coli yang enteropatogenik (EPEC) menyebabkan penyakit
enteritis. EPEC biasa menyerang organ-organ pencernaan, dapat menyebabkan
meningitis pada bayi dan neonatus serta menyebabkan diare akut pada anakanak berumur dibawah dua tahun. EPEC masuk ke tubuh melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi (Juniastuti 2003; Pramudhita 2007).

3. Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus dengan
diameter 0.7-0.9 μm. Bakteri ini dapat hidup secara aerob maupun anaerob
fakultatif, bersifat non motil dan tidak membentuk spora. S. aureus tumbuh
optimum pada suhu 30-37°C dan pH 7.0-7.5. Komponen dinding sel terdiri atas
peptidoglikan, asam teikoat dan protein (Sulistiyani 2006).
Perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotika sangat dipengaruhi
oleh intensitas pemaparan antibiotika di suatu wilayah. Tidak terkendalinya
penggunaan antibiotika cenderung meningkatkan resistensi bakteri yang semula
sensitif (Wasitaningrum 2009). Uji sensitivitas antibiotika terhadap isolat S.
aureus asal kasus mastitis di peternakan sapi Nongkojajar terbukti resisten
terhadap penisilin dan ampisilin. Isolat S. aureus dari kasus mastitis di
peternakan sapi di Surabaya juga telah terbukti resisten terhadap eritromisin
(Effendi 2009). Staphylococcal gastroenteritis adalah radang saluran
pencernaan akibat konsumsi makanan yang mengandung satu atau lebih
enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa spesies atau strain Staphylococcus
(Nugroho 2004).

4. Bacillus subtilis
B. subtilis merupakan bakteri Gram positif. B. subtilis berbentuk batang, ada
yang tebal dan yang tipis. B. subtilis diketahui menyebabkan penyakit pada
pasien imunodefisiensi (Oggioni et al. 1998). B. subtilis menghasilkan enzim
subtilisin, yang dapat menyebabkan reaksi alergi atau hipersensitivitas pada
kulit manusia dan reaksi alergi pada paru-paru (Pepys et al. 1969). B. subtilis
juga dapat menyebabkan meningitis, endocarditis dan infeksi pada mata (Jawetz
et al. 2001).

Aktinomisetes
Berdasarkan klasifikasinya, aktinomisetes termasuk dalam kerajaan
Bacteria di kelas Schizomycetes, subkelas Actinobacteridae, ordo Actinomycetales
yang dikelompokkan lagi menjadi 13 subordo yang terdiri dari 48 famili dengan
219 genus (Zhi et al. 2009). Kelompok bakteri ini merupakan kelompok
mikroorganisme yang mampu mendegradasi bahan organik tanah yang kompleks.
Aktinomisetes juga merupakan sumber utama penghasil antibiotika. Genus

5

aktinomisetes yang paling banyak dan terkenal menghasilkan antibiotika yaitu
genus Streptomyces yang menghasilkan streptomisin sebagai obat anti-tuberkulosis
(Pramudhita 2007). Klasifikasi aktinomisetes menurut Zhi et al. (2009) adalah:
Kingdom : Bacteria
Filum
: Actinobacteria
Kelas
: Schizomycetes
Subkelas : Actinobacteridae
Ordo
: Actinomycetales
Aktinomisetes merupakan mikroorganisme uniseluler memiliki DNA yang
kaya kandungan guanine dan citosyne pada kisaran 57%-75% (Lo et al. 2002).
Aktinomisetes termasuk kelompok bakteri Gram positif, memiliki filamen,
pleomorfisme dan tumbuh dalam koloni bercabang-cabang luas dengan hifa dasar
yang pendek dan sempit serta miselium yang berdiameter kecil berukuran 0.05-2
μm (Dindal 1990). Bentuk koloni aktinomisetes bulat, elevasi timbul dan cembung,
tepian rata dan tidak beraturan serta permukaan bertepung, licin, kasar, atau keriput.
Warna koloninya juga bermacam-macam, bahkan ada koloni yang dapat mengubah
warna medium serta menghasilkan bau menyerupai tanah yang disebut geomisin
(Indriasari 1998).
Aktinomisetes umumnya bersifat aerob, namun ada beberapa famili yang
dapat tumbuh secara anaerob seperti beberapa spesies dari famili
Actinomycetaceae, Propionibactericeae, dan Sporichthceae (Miyadoh dan Otoguro
2004). Aktinomisetes umumnya ditemukan pada substrat alam, seperti tanah, air
(Ambarwati dan Gama 2009), kompos, danau, lumpur, debu, serasah (Debananda
et al. 2009), bahkan di lingkungan yang ekstrim sekalipun (Hamdali et al. 2008).
Aktinomisetes sebagian besar ditemukan tersebar di tanah, karena tanah kaya
dengan unsur hara. Dalam 1 gram tanah diperkirakan terdapat 1 juta aktinomisetes
(Miyadoh dan Otoguro 2004).

Gambar 1 Kiri: Koloni Aktinomisetes (Albrecht 2013), Kanan: Aktinomisetes
secara mikroskopis (Yepestis 2007)

6

Aktinomisetes biasanya tumbuh pada kedalaman tanah 11-15 cm dari
permukaan tanah. Pada kedalaman ini, terdapat kombinasi pH dan kandungan air
yang terbaik untuk pertumbuhannya. Aktinomisetes tumbuh baik pada pH 6-7.5,
pada kisaran suhu 25oC-55oC (Miyadoh dan Otoguro 2004). Menurut Miyadoh dan
Oguro (2004), pertumbuhan aktinomisetes pada media agar tergolong lambat.
Koloni baru terbentuk pada media pertumbuhan setelah 4-20 hari inkubasi, bahkan
ada yang baru tumbuh 1 bulan atau lebih (Suwandi 1993).
Aktinomisetes mengalami pembelahan morfologis kompleks dan mampu
mensintesis metabolit sekunder. Pada pembelahan morfologis, spora aktinomisetes
mengalami germinasi yang memanjang membentuk miselium vegetatif. Miselium
akan membelah membentuk hifa (aerial hypha) yang dilanjutkan dengan
membentuk dinding sel miselium dan spora matang (mature spora). Aktinomisetes
juga memiliki kelebihan yaitu mensintesis antibiotika (Miyadoh 2003).
Kemampuan aktinomisetes untuk memproduksi senyawa metabolit
menyebabkan aktinomisetes memegang peranan yang amat penting dalam industri
farmasi. Aktivitas senyawa metabolit yang di hasilkan oleh aktinomisetes bersifat
antagonis terhadap bakteri maupun jamur. Berdasarkan hal ini maka aktinomisetes
banyak dikembangkan dan digunakan sebagai bahan obat dalam penanggulangan
berbagai macam penyakit, baik pada manusia maupun hewan (Solanki et al. 2008).
Pencarian bahan obat baru berbasis metabolit aktinomisetes terus dilakukan dengan
berbagai macam metode pendekatan, baik berupa eksplorasi daerah khusus atau
lingkungan unik, pengembangan metode isolasi, sampai pada teknik rekayasa
genetika.
Keragaman dan jenis aktinomisetes sangat dipengaruhi oleh faktor kimia,
fisika dan biologi lingkungan di sekitarnya. Faktor krusial dalam menemukan jenis
aktinomisetes baru yang memiliki senyawa metabolit antimikrobial dilakukan
melalui identifikasi lingkungan ekologi baru. Lingkungan ekologi baru diantaranya
adalah lingkungan ekstrim seperti gurun pasir, dasar lautan, daerah es dan daerah
hutan hujan tropis (Saadoun dan Gharaibeh 2003). Khusus untuk daerah hutan
hujan tropis, merupakan target lingkungan ekologi yang sangat menarik dalam
ekplorasi aktinomisetes penghasil senyawa metabolit tertentu. Hutan hujan tropis
sangat memungkinkan ditemukannya keragaman dan populasi aktinomisetes yang
tinggi dan membuka peluang besar untuk memperoleh metabolit baru (Nurkanto et
al. 2010).

Antibiotika
Menurut Setyaningsih (2004), antibiotika sendiri merupakan substansi yang
dihasilkan oleh organisme tertentu yang memiliki toksisitas selektif terhadap satu
atau beberapa mikroba tujuan. Antibakteri adalah senyawa kimia yang dapat
membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Toksisistas ini relatif lemah
terhadap inangnya yaitu manusia, hewan dan tumbuhan (Sudirman 1996). Menurut
toksisitasnya, antibiotika dibedakan menjadi bakteriostatik (menghambat
pertumbuhan mikroorganisme) dan bakterisidal (membunuh mikroorganisme)
(Pelczar dan Chan 1986).
Menurut Ganiswara (1995), suatu senyawa digolongkan antibiotik jika:
a. Produk metabolisme (meskipun dapat ditiru secara sintesis kimia),

7

b. Produk sintetik dengan struktur serupa dengan antibiotik di alam,
c. Mengantagoniskan pertumbuhan atau kelangsungan hidup satu jenis
atau lebih mikroorganisme,
d. Efektif dalam kadar rendah.
Ruang lingkup bakteri yang dapat dipengaruhi oleh antibiotika disebut
dengan spektrum aksi antibiotika, yang terbagi menjadi 3 bagian. Pertama,
antibiotika spektrum luas (broad spectrum) yaitu senyawa antibiotika yang dapat
menghambat berbagai macam mikroba. Kedua, antibiotika berspektrum terbatas
(limited spectrum) apabila zat antibiotika tersebut efektif menghambat organisme
tunggal atau penyakit tertentu. Ketiga, antibiotika berspektrum sempit (narrow
spectrum) yang hanya efektif menghambat sebagian bakteri Gram negatif atau
bakteri Gram positif (Todar 2011).
Senyawa antibiotika dapat bekerja dalam beberapa cara (Sullia 1998),
antara lain: 1) merusak dinding sel yang mengakibatkan sel lisis atau menghambat
pembentukan komponen dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; 2) mengubah
permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran sel; 3)
menghambat sintesis protein, 4) menghambat sintesis asam nukleat, dan 5)
menghambat enzim di dalam sel.

Gambar 2 Zona hambat antibiotik (Todar 2009)

Antibiotik yang dihasilkan oleh aktinomisetes dapat dibagi dalam 3
golongan yaitu aminoglikosida, makrolida dan golongan obat antitumor (Hasim
2004). Golongan aminoglikosida mengandung gugus amino dan glikosida.
Aminoglikosida bekerja secara langsung pada ribosom bakteri dan akan
menghambat sintesa protein sehingga mengganggu translasi pesan genetik bakteri
tersebut. Contoh antibiotik golongan ini adalah streptomisin, neomisin,
peromomisin, kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Golongan kedua yaitu
golongan makrolida. Struktur golongan ini terdiri atas cincin lakton yang besar
dinamakan makrolid, gugus keton, dan glikosida. Cara kerja golongan makrolid ini
antara lain dengan menghambat sintesis protein. Contoh antibiotik golongan ini
adalah pikromisin, eritromisin, karbomisin, oleandomisin, spiramisin, josamisin,
dan tilosin. Golongan ketiga yaitu golongan obat antitumor. Contohnya aktinomisin
D, mitomisin C dan antraksiklin, bleomisin, stretonigrin, mitramisin, kromomisin
dan olivomisin. Mekanisme kerja aktinomisin D, mitomisin C dan antraksiklin

8

yaitu mengganggu fungsi DNA. Sedangkan bleomisin dan stretonigrin
memecahkan ikatan rantai DNA. Mitramisin, kromomisin dan olivomisin
berinteraksi dengan DNA (Hasim 2004).
Antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme bermanfaat dalam
berkompetisi dengan mikroorganisme lain untuk memperoleh nutrisi. Sifat ini
menyebabkan antibiotik dapat diaplikasikan dalam bidang medis dan pertanian. Di
bidang pertanian, sifat antagonis dari antibiotik tidak dapat dibuktikan di dalam
tanah karena produksinya yang sangat sedikit dan dapat menghambat pertumbuhan
organisme penghasil antibiotik sendiri (Pramudhita 2007).
Pengujian aktivitas antibiotika dapat dilakukan melalui teknik difusi dan
dilusi. Teknik dilusi dengan mencampur zat antibiotika pada medium dan
diinokulasi dengan mikroba uji. Dasar pengamatannya adalah melihat tumbuh atau
tidaknya mikroba uji tersebut. Pada teknik difusi, zat yang akan ditentukan aktivitas
antibiotiknya berdifusi pada lempeng agar yang sebelumnya telah ditambahkan
mikroba uji. Dasar pengamatannya adalah ada atau tidaknya zona hambatan
pertumbuhan mikroba. Teknik difusi ada 3 macam yaitu cara parit (ditch), cara
lubang atau cawan (hole/cup), dan cara cakram (disk) (Sudirman 1996).
Pengukuran adanya kekuatan antibakteri menurut metode Davis Stout adalah:
sangat kuat (daerah hambat 20 mm atau lebih), kuat (daerah hambat 10-20 mm),
sedang (daerah hambat 5-10 mm), dan lemah (daerah hambat 5 mm atau kurang)
(Hasim 2004).
Sulistiyani (2006) menemukan bahwa isolat aktinomisetes yang berhasil
diisolasi merupakan penghasil antibiotik dengan aktivitas antibiotika bervariasi dari
1-44 mm. Isolat aktinomisetes menghambat pertumbuhan Micrococcus luteus, B.
subtilis, S. aureus, E. coli, Saccharomyces cerivisiae, dan Candida albicans. Hasil
seleksi awal menunjukkan isolat lebih banyak aktif terhadap Gram positif daripada
Gram negatif. Pramudhita (2007) juga meneliti bahwa isolat aktinomisetes dengan
metode dual culture mampu melawan bakteri patogen Xanthomonas oryzae,
Listeria monocytogenes, Ralstonia solanacearum, dan Enterophatogenic
Escherichia coli (EPEC). Senyawa antibakteri yang disekresikan isolat
aktinomisetes tersebut merupakan suatu protein antibakteri seperti bakteriosin,
stabil pada suhu 87°C selama 10 menit, menghasilkan beberapa pita protein dengan
bobot molekul tinggi yaitu sebesar 57.78-641.44 kDa, dan aktivitasnya menurun
oleh enzim proteinase K.

3 METODE PENELITIAN
Kerangka Konsep Penelitian
Aktinomisetes terlebih dahulu diuji aktivitas antibakterinya terhadap empat
bakteri uji, yaitu S. Typhimurium InaCC B.283, E. coli InaCC B.285, S. aureus
InaCC B.286 dan B. subtilis InaCC B.289. Penapisan menggunakan bakteri uji
terstandar ini digunakan untuk menyeleksi aktinomisetes yang mampu
menghasilkan antibakteri, mengingat jenis aktinomisetes yang sangat bervariasi.
Aktinomisetes yang menghasilkan senyawa antibakteri diuji kembali dengan

9

bakteri uji terstandar pada biakan hari ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6 dan ke-7 untuk
mengetahui waktu optimal aktinomisetes menghasilkan antibakteri.
a. Skrining aktivitas antibakteri tahap pertama: uji daya hambat aktinomisetes
terhadap bakteri uji, yaitu S. Typhimurium InaCC B.283, E. coli InaCC
B.285, S. aureus InaCC B.286 dan B. subtilis InaCC B.289. Skrining ini
dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali ulangan untuk memperoleh 2 (dua)
kandidat aktinomisetes.
b. Uji optimasi: dua kandidat aktinomisetes diuji skrining aktivitas antibakteri
tahap kedua menggunakan bakteri uji standar yang sama. Senyawa
antibakteri diekstraksi pada biakan hari ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6 dan ke7 untuk mengetahui waktu optimal aktinomisetes menghasilkan senyawa
antibakteri dengan 2 (dua) kali ulangan.

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Terapan, Pusat
Penelitian Bioteknologi, LIPI di Cibinong, pada bulan Juni 2013 sampai dengan
Februari 2014.

Bahan dan Alat
Bahan hidup koleksi Laboratorium Mikrobiologi Terapan-Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat aktinomisetes
(299 isolat asal tanah), S. Typhimurium InaCC B.283, E. coli InaCC B.285, S.
aureus InaCC B.286 dan B. subtilis InaCC B.289. Media biakan dan bahan kimia
yang digunakan adalah media humic acid-vitamin agar (HVA), media International
Streptomyces Project-2 (ISP-2), nutrien agar, nutrien broth, media produksi
(soluble starch 20 g/l, CaCO3 30 g/l, soy bean 20 g/l, glukosa 10 g/l, minyak goreng
10 ml/l), NaCl 0.9%, Mueller Hinton agar (Merck® 1.05437.0500), etil asetat pro
analysis (Merck® 1.09623.2500), kit kapa PCR (primer 9F dan 1541R).
Alat-alat yang digunakan yaitu mikroskop, evaporator, inkubator, autoklaf,
spektrofotometri, shaker, sentrifus, PCR, UV Transluminator, penangas air, dan
alat-alat gelas lainnya.

Metode

Validasi dan Pembuatan Suspensi Bakteri Uji (S. Typhimurium, E. coli, S.
aureus dan B. subtilis)
Bakteri uji S. Typhimurium InaCC B.283, E. coli InaCC B.285, S. aureus
InaCC B.286, dan B. subtilis InaCC B.289, diremajakan pada media nutrient agar
dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 35-37°C. Bakteri uji yang digunakan
merupakan bakteri uji standar koleksi Indonesian Culture Collection yang

10

diperoleh dari NITE Biological Resource Center (NBRC). Bakteri uji divalidasi
genus dan spesiesnya berdasarkan analisa gen 16S rRNA (Lisdiyanti et al. 2010).
Bakteri uji ditanam ke dalam nutrient broth dan diinkubasikan selama 24
jam pada suhu 35-37°C. Pertumbuhan bakteri uji terlihat pada perubahan media
nutrient broth dari bening menjadi keruh. Bakteri uji dalam nutrient broth diukur
transmittannya dengan spektrofotometri. Bakteri uji disuspensikan ke dalam larutan
NaCl fisiologis steril 0.9%. Kemudian dilakukan pengenceran suspensi bakteri uji
hingga diperoleh nilai transmittan 25% pada spektrofotometer, dengan panjang
gelombang 580 nm (Depkes 2010). Sebagai blanko digunakan NaCl steril 0.9%
(Johannes 2011). Jumlah sel bakteri yang telah sesuai ditambahkan pada lapisan
atas (upper layer) agar Mueller Hinton.

Peremajaan Aktinomisetes
Sebanyak 299 isolat aktinomisetes diremajakan ke dalam media HVA dan
diinkubasi pada suhu 30°C (Hayakawa dan Nonomura 1989). Koloni selanjutnya
dimurnikan ke dalam media ISP-2 dan diinkubasikan pada suhu 30°C.
Aktinomisetes umur 4 hari digunakan untuk seleksi aktinomisetes penghasil
antibakteri terhadap empat bakteri uji.

Skrining Aktivitas Antibakteri Tahap Pertama
Prinsip dari metode bioassay secara difusi agar adalah menggunakan dua
lapis media agar. Lapisan bawah terdiri dari 10-15 ml media Mueller Hinton.
Setelah agar lapisan bawah mengeras, ditambahkan media agar lapisan atas yang
terdiri dari 5 ml media Mueller Hinton dengan konsentrasi setengahnya dari lapisan
bawah. Bakteri uji dengan nilai transmittan 25% pada panjang gelombang 580 nm
yang diinokulasi, ditambahkan terlebih dahulu ke dalam lapisan atas dan dituang
dalam cawan petri yang berisi lapisan bawah yang telah mengeras. Menurut
Miyadoh dan Otoguro (2004) suspensi bakteri uji yang diinokulasikan ke dalam
media Mueller Hinton lapisan atas adalah sebanyak:
 0.1% biakan S. Typhimurium InaCC B.283;
 0.2% biakan E. coli InaCC B.285;
 0.1% biakan S. aureus InaCC B.286; dan
 0.1% biakan B. subtilis InaCC B.289.
Isolat aktinomisetes yang tumbuh pada ISP-2, diambil dengan cara
memotong agar yang ditumbuhi aktinomisetes menggunakan straw steril
berdiameter 6 mm. Potongan agar dengan isolat aktinomisetes diletakkan secara
aseptik di atas lapisan atas media Mueller Hinton. Sediaan bioassay diinkubasikan
pada suhu 30°C selama 24 jam pada semua bakteri uji (Prescott et al. 2002).
Masing-masing isolat aktinomisetes umur 4 hari diamati kemampuannya
menghambat empat bakteri uji. Diameter zona hambat aktinomisetes terhadap
bakteri uji ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar potongan agar dan
diukur. Dua isolat aktinomisetes yang reproducible membentuk zona bening pada
3 kali pengujian dan memiliki daya hambat terhadap keempat bakteri uji dipilih
sebagai isolat untuk pengujian selanjutnya.

11

Ekstraksi Senyawa Aktif Aktinomisetes
Aktinomisetes yang memiliki zona hambat besar dan dapat menghambat
empat bakteri uji (spektrum luas) diremajakan kembali dalam media ISP-2 dan
diinkubasikan pada suhu 30°C. Koloni aktinomisetes ditanam dalam media
produksi cair. Kultur aktinomisetes diinkubasikan di shaker dengan kecepatan 200220 rpm pada suhu ruang (28-30°C) selama 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 hari. Biakan
aktinomisetes dalam media cair disentrifugasi dengan kecepatan 4 000 rpm, suhu
4°C selama 15 menit dan diambil supernatannya.
Fasa cair (supernatan) diekstraksi menggunakan etil asetat dengan
perbandingan volume yang sama sebanyak 3 kali. Campuran dikocok dan
didiamkan selama 30 menit sampai terbentuk fraksi cair dan fraksi etil asetat. Fraksi
etil asetat yang diperoleh dievaporasi sampai pekat (sampai tersisa 1 ml). Filtrat
ini digunakan untuk uji skrining tahap kedua. Pengamatan percobaan dilakukan
dengan pengukuran zona hambat pertumbuhan (mm) bakteri uji oleh aktinomisetes
dan diukur indeks hambatnya. Indeks penghambatannya dihitung dengan mengacu
pada Valestine (2009):
Indeks hambat =

diameter zona bening-diameter zona koloni/cakram
diameter zona bening

Skrining Aktivitas Antibakteri Tahap Kedua
Uji aktivitas antibakteri (bioassay) dilakukan dengan metode difusi agar
menggunakan kertas cakram berdiameter 6 mm. Sebanyak 30 μL ekstrak sampel
diteteskan dalam kertas cakram, kemudian dikeringkan dengan cara dianginanginkan. Selanjutnya diletakkan pada permukaan agar yang telah diinokulasi
bakteri uji. Kontrol yang digunakan yaitu etil asetat dan kontrol negatif.
Inkubasi dilakukan pada suhu 37°C selama 24 jam. Zona bening yang
terbentuk diukur diameter zonanya (Prescott et al. 2002). Skrining tahap kedua
terhadap kedua kandidat aktinomisetes diuji waktu optimal daya hambatnya pada
hari ke 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 dengan 2 (dua) kali ulangan.

Identifikasi Aktinomisetes
Isolat aktinomietes terpilih diidentifikasi berdasarkan analisa gen 16S rRNA
untuk mengetahui spesiesnya menggunakan metode Lisdiyanti et al. (2010).

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Peremajaan Isolasi Aktinomisetes
Isolat aktinomisetes yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
koleksi laboratorium Mikrobiologi Terapan, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
hasil kerjasama antara Indonesia dan Jepang. Aktinomisetes ini merupakan isolat
yang berasal dari serasah tanah dari beberapa kebun raya dan daerah lain di
Indonesia. Total isolat aktinomisetes yang diisolasi mulai tahun 2003 sampai
dengan tahun 2008 sebanyak 3 193 isolat. Lima metode isolasi yang digunakan
yaitu metode Rehydration-Centrifugation, metode SDS-Yeast Extract, metode Dry
Heating, metode Phenol, dan metode Oil-Separation. Semua isolat diidentifikasi
sampai level genus berdasarkan analisa gen 16S rRNA. Hasilnya menunjukkan
bahwa aktinomisetes tersebut termasuk ke dalam 19 keluarga dan 66 genus.
Berdasarkan data molekuler yang diperoleh, sekitar 40% isolat memiliki kesamaan
yang rendah dengan spesies aktinomietes yang sudah terdeteksi sebelumnya, yaitu
kurang dari 98%. Bahkan beberapa genus menunjukkan jenis yang baru ditemukan
(Lisdiyanti et al. 2010).
Beberapa daerah asal aktinomisetes di Indonesia antara lain Pucak (139
isolat), Liwa (104 isolat), S Wain (326 isolat), Baturraden (138 isolat), Lombok
(137 isolat), Kutai (263 isolat), Kupang (377 isolat), Enrekang (476 isolat),
Purwodadi (322 isolat), Jambi (175 isolat), Cibinong (263 isolat), Ekakarya (229
isolat) dan Kebun Raya Cibodas (244 isolat) (Lisdiyanti et al. 2010). Isolat
disimpan dalam media gliserol 10%. Gliserol spesifik dan sensitif untuk
aktinomisetes dan digunakan sebagai sumber karbon bagi aktinomisetes (Oskay et
al. 2004).
Isolat yang digunakan pada penelitian ini adalah koleksi tahun 2004 dan
beberapa koleksi tahun 2005 dengan total aktinomisetes yang diperiksa yaitu 299
isolat. Peremajaan aktinomisetes dilakukan untuk memperoleh koloni
aktinomisetes murni. Aktinomisetes yang sudah ditumbuhkan dalam media HV
agar kemudian diamati pertumbuhannya di bawah mikroskop. Isolat aktinomisetes
murni kemudian dipindahkan dalam media ISP-2. Aktinomietes dalam media ISP2 diamati pertumbuhannya sampai dengan hari ke-4 sebelum aktinomisetes diuji
aktivitas antibakterinya.
Hasil pengamatan menunjukkan pertumbuhan aktinomisetes yang tumbuh
baik pada hari ke-1 yaitu 26% dan meningkat mencapai 82% pada hari ke-4
(Gambar 3). Pertumbuhan aktinomisetes menunjukkan koloni terpisah yang padat,
permukaan halus, berwarna putih hingga kekuningan. Semakin tua umur inkubasi,
kepadatan koloni semakin meningkat dengan tepi koloni terlihat berwarna
kehitaman. Koloni aktinomisetes umumnya tumbuh melekat dan menembus
medium agar. Pada hari ke-4 ini aktinomisetes diharapkan telah mencapai fase
stasioner.

Jumlah Isolat Aktinomisetes

13

246

230

250
199
200
150
100

76

63

83 77

50

18

31

51
13 20

36
8 13

32

0
Hari ke-1
Belum Tumbuh

Hari ke-2

Mulai Tumbuh

Hari ke-3
Tumbuh Sedang

Hari ke-4
Tumbuh Baik

Gambar 3 Grafik pertumbuhan aktinomietes

Menurut Lo et al. (2002) aktinomisetes merupakan bakteri yang banyak
ditemukan tumbuh pada tanah yang berhumus, memiliki miselium, menghasilkan
spora dan tumbuh sangat lambat jika dibandingkan dengan bakteri lain pada
umumnya. Strategi aktinomisetes dalam bersaing dengan mikroba lain adalah
dengan menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler dan senyawa antibiotik. Enzim
ekstraseluler berfungsi untuk mendegradasi senyawa kompleks menjadi senyawa
yang lebih sederhana sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhannya. Senyawa
antibiotik berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroba kompetitor.

Skrining Aktivitas Antibakteri Tahap Pertama
Skrining aktivitas antibakteri dilakukan pada isolat aktinomisetes umur
inkubasi empat hari. Hal ini sesuai dengan pertimbangan bahwa senyawa aktif
diproduksi aktinomisetes terutama genus Streptomyces setelah memasuki fase
stasioner (Sunaryanto 2011). Lebih lanjut menurut Sunaryanto (2011), senyawa
aktif yang dihasilkan pada fase stasioner menunjukkan bahwa senyawa termasuk
dalam metabolit sekunder. Profil fermentasi isolat Streptomyces sp. menunjukkan
fase lag terjadi sampai dengan jam ke-8, fase pertumbuhan cepat (fase logaritma)
terjadi pada selang waktu jam ke-9 sampai dengan jam ke-48, dan fase stasioner
terjadi pada selang waktu jam ke-48 sampai dengan jam ke-144. Susilowati et al.
(2007) juga menyatakan bahwa isolat aktinomisetes menghasilkan senyawa
antibakteri secara optimum masing-masing setelah diinkubasi selama 72 jam dan
96 jam pada medium soybean meal cair. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pelczar
dan Chan (1986), bahwa metabolit sekunder (antibiotik, vitamin, dan hormon)
dihasilkan oleh mikroorganisme pada akhir fase stasioner pertumbuhannya.
Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi menjadi
2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit primer
dihasilkan oleh dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan katabolik yang
menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan diferensiasi. Metabolisme
primer telah ditunjukkan pada proses sintesis asam karboksilat melalui siklus Krebs,

14

asam amino, karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat, yang semuanya merupakan
kebutuhan dasar untuk tetap dapat hidup dan terjadi pada semua mikroorganime
(Luckner 1990). Sedangkan metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang
dihasilkan mikroba, tumbuhan, atau hewan yang tidak secara langsung terlibat
dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi. Metabolit sekunder
merupakan produk spesifik dari setiap spesies (atau hanya ditemukan dalam bagian
kecil dari spesies dalam grup filogenik). Tanpa senyawa ini maka organisme kurang
dapat mempertahankan diri, meskipun tidak menyebabkan kematian secara
langsung. Fungsi utama dari metabolit sekunder dalam organisme adalah sebagai
fungsi ekologi yaitu sebagai alat pertahanan melawan predator, parasit, dan
kompetisi antar spesies Contoh senyawa ini adalah antifungi, antibakteri,
antikolesterol, enziminhibitor, dan lain-lain. (Prescot et al. 2002). Metabolit
sekunder pada awalnya diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah organisme
sebagai akibat produksi metabolit primer yang berlebih. Namun seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi
oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai (Dewick
2002). Metabolit sekunder dihasilkan melalui jalur biosintesis metabolit primer.
Jalur biosintesis metabolit sekunder lebih spesifik untuk setiap famili atau genus
mikroba serta berhubungan terhadap mekanisme evolusi suatu spesies (Torssell
1997).
Skrining tahap pertama menunjukkan sebanyak 48 isolat dari 299 isolat
aktinomisetes yang diuji terdapat zona hambat yang memiliki spektrum luas dan
sempit. Tidak adanya pertumbuhan bakteri uji di sekitar isolat aktinomisetes setelah
masa inkubasi 24 jam dengan diameter tertentu menunjukkan adanya aktivitas
antibakteri (Arifuzzaman et al. 2010). Karakteristik zona hambat antibakteri pada
48 isolat aktinomisetes bervariasi dengan diameter mulai dari 6.1 mm sampai
dengan 30.45 mm.
Isolat aktinomisetes yang menghambat satu bakteri uji setelah tiga kali
ulangan adalah 11 isolat menghambat pertumbuhan S. Typhimurium InaCC B.283,
5 isolat menghambat pertumbuhan E. coli InaCC B.285, 12 isolat menghambat
pertumbuhan S. aureus InaCC B.286, dan 11 isolat menghambat pertumbuhan B.
subtilis InaCC B.289. Aktinomisetes yang menghambat lebih dari satu bakteri uji
adalah 3 isolat menghambat pertumbuhan 2 bakteri uji (S. aureus dan B. subtilis),
3 isolat menghambat pertumbuhan 3 bakteri uji (1 isolat menghambat S.
Typhimurium, S. aureus, dan B. subtilis; 1 isolat menghambat E. coli, S. aureus,
dan B. subtilis; 1 isolat menghambat S. Typhimurium, E. coli, dan S. aureus), dan
3 isolat menghambat pertumbuhan 4 bakteri uji (aktinomisetes InaCC A.234,
InaCC A.358 dan InaCC A.413). Tiga isolat aktinomisetes yang menghambat
pertumbuhan 4 bakteri uji seperti terlihat pada Tabel 1. Isolat aktinomisetes InaCC
A.234 dan aktinomisetes InaCC A.413 dengan zona hambat paling besar dipilih
untuk uji selanjutnya.

15

Tabel 1 Isolat aktinomisetes yang reproducible menghambat empat bakteri uji
Zona Hambat Rata-rata (mm) (Indeks Hambat)
Isolat
S. Typhimurium E. coli InaCC
S. aureus
B. subtilis
Aktinomisetes
InaCC B.283
B.285
InaCC B.286
InaCC B.289
InaCC A.234
InaCC A.358
InaCC A.413

19.2 (69%)
8.4 (29%)
21.3 (72%)

10.7 (44%)
7.8 (23%)
7.2 (17%)

16.6 (64%)
12.7 (53%)
20.9 (71%)

15.9 (62%)
16.6 (64%)
17.0 (65%)

Sebanyak 39 isolat dari 48 isolat aktinomisetes menghambat pertumbuhan
satu bakteri uji (spektrum terbatas), 3 isolat menghambat pertumbuhan 2 bakteri uji
(spektrum sempit), 3 isolat yang menghambat pertumbuhan 3 bakteri uji (spektrum
sempit), dan 3 isolat aktinomisetes menghambat pertumbuhan 4 bakteri uji
(spektrum luas). Hal ini sesuai dengan pernyataan Todar (2011), ruang lingkup
bakteri terbagi menjadi 3 bagian. Pertama, antibiotika spektrum luas (broad
spectrum) yaitu senyawa antibiotika yang dapat menghambat berbagai macam
mikroba. Kedua, antibiotika berspektrum terbatas (limited spectrum) apabila zat
antibiotika tersebut efektif menghambat organisme tunggal atau penyakit tertentu.
Ketiga, antibiotika berspektrum sempit (narrow spectrum) yang hanya efektif
menghambat sebagian bakteri Gram negatif atau bakteri Gram positif.
Selanjutnya, dari 48 isolat diperoleh 32 isolat menghambat pertumbuhan
bakteri uji Gram positif (S. aureus dan B. s