Penilaian Ekonomi Dan Indeks Kerentanan Rumahtangga Petani Padi Di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur

PENILAIAN EKONOMI DAN INDEKS KERENTANAN
RUMAHTANGGA PETANI PADI DI KABUPATEN TIMOR
TENGAH UTARA, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

KEMALA INDAH WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Penilaian Ekonomi dan
Indeks Kerentanan Rumahtangga Petani Padi di Kabupaten Timor Tengah
Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016
Kemala Indah Wahyuni
H451130081

RINGKASAN
KEMALA INDAH WAHYUNI. Penilaian Ekonomi dan Indeks Kerentanan
Rumahtangga Petani Padi di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan ARYA
HADI DHARMAWAN.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghitung nilai
indeks kerentanan rumahtangga petani yang berada di kawasan beriklim kering di
Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Timur. Kerentanan yang terjadi disebabkan
karena adanya variabilitas iklim, yaitu kekeringan. Tujuan penelitian ini adalah
memaparkan hubungan antara kerentanan, resiliensi, serta nilai kerugian yang
dialami akibat variabilitas iklim. Data yang diambil menggunakan 160 responden
yang dibagi menjadi 80 responden di Kelurahan Boronbaen dan 80 responden di
Desa Taunbaen Timur.
Hasil penilaian indeks kerentanan rumahtangga petani di Kelurahan

Boronubaen lebih rendah dari pada nilai indeks kerentanan rumahtangga petani di
Desa Taunbaen Timur yang dihitung menggunakan Livelihood Vulnerablity Index
(LVI). LVI untuk rumahtangga petani di Kelurahan Boronubaen adalah 0,3982
sedangkan LVI rumahtangga petani di Desa Taunbaen Timur adalah 0,4218.
Angka tersebutlah yang menunjukkan bahwa Desa Taunbaen Timur lebih rentan
dibandingkan Kelurahan Boronubaen.
Kekeringan menyebabkan produktivitas pertanian padi di kedua lokasi
mengalami perubahan. Perubahan produktivitas padi di Kelurahan Boronubaen
lebih kecil daripada perubahan produktivitas padi di Desa Taunbaen Timur yaitu
sebesar 0,181 kg/m2/tahun sedangkan perubahan produktivitas padi di Desa
Taunbaen Timur adalah sebesar 0,240 kg/m2/tahun. Hal tersebut disebabkan
karena sawah rumahtangga petani di Desa Taunbaen Timur lebih sulit
mendapatkan air untuk pengairannya, sehingga kerugian yang dialami juga lebih
besar.
Resiliensi nafkah rumahtangga petani di Kelurahan Boronubaen lebih
rendah dibandingkan dengan resiliensi nafkah rumahtangga petani di Desa
Taunbaen Timur, sekalipun kerentanannya lebih tinggi di Desa Taunbaen Timur.
Hal tersebut dikarenakan rumahtangga petani di Desa Taunbaen Timur memiliki
diversitas nafkah yang lebih beragam, sumber nafkah yang relatif lebih beragam,
modal sumber daya alam yang lebih beragam, serta modal sosial yang lebih baik

sehingga tolong menolong di Desa Taunbaen Timur lebih baik pula.
Kata kunci: indeks kerentanan, resiliensi, variabilitas iklim

SUMMARY
KEMALA INDAH WAHYUNI. Economic Value and Livelihood Vulnerability
Index of Farmer’s Household in District Timor Tengah Utara, Province East Nusa
Tenggara. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI and ARYA HADI
DHARMAWAN.
This paper discuss approaches to the assessment of vulnerability to climate
variability. The paper clarifies the relationships between the concept of
vulnerability, resilience, and economic loss. Livelihood Vulnerability Index (LVI)
is used to estimate climate vulnerability in relatively drought areas of two areas of
East Nusa Tenggara, Indonesia. The phenomenon of climate variability happens
as drought becomes prolonged while rainy season was shortened. Climate
variability could increase the farmer’s socio-economic and socio-ecological risk.
The LVI is calculated using 160 farm households as samples to understand risks
that farm households should bare due to climate variability. Divided into two
locations, each 80 respondents in Boronubaen and 80 respondents in Taunbaen
Timur.
The LVI takes health status, food, water security, socio-demographics,

institutional, as well as social relationship into account. The results of the analysis
suggest that one area of Taunbaen Timur was more vulnerable than the other area
of Boronubaen. While, Taunbaen Timur is much more suffering from the
fluctuation of climate in such a way so as to say more vulnerable due to climate
variability. The LVI in Boronubaen is 0,3982 and LVI in the Taunbaen Timur is
0,4218. Taunbaen Timur showed heavily impacted by climate vulnerability in
health problems, water insecurity, socio-demographics problems. The bad impact
is worsened by the lack of social relationship supporting the survival of the
household. Boronubaen on the other hand does not ready to face climate
variability due to lack of institutional support and drought hitting the area
supporting food availability.
Drought causes the productivity of rice farming in both places are changing.
Changes rice productivity in Boronubaen smaller than the productivity of paddy
in Taunbaen Timur that is equal to 0,181 kg/m2/year, while the productivity of
paddy in Taunbaen Timur amounted to 0,240 kg/m2/year. This was due to paddy
farming households in the village of Taunbaen Timur more difficult to get water
for irrigation, so the losses are also greater.
The resilience of farming households living in Boronubaen is lower than the
resilience of farming households living in Taunbaen Timur, despite higher
vulnerability in Taunbaen Timur since they have more diversity in livelihood, the

sources of livelihood, and the capital of natural sources, as well as better in social
capital too. These make a better mutual help in Taunbaen Timur.
Keywords: Livelihood Vulnerability Index, Resilience, Climate Variability
so this pragmatiapproach may be used to monitor vulnerability of rural
community impacted from climate variability, and to evaluate potential program
or policy needed to support rural household escaping from bad impact of climate
variability.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENILAIAN EKONOMI DAN INDEKS KERENTANAN
RUMAHTANGGA PETANI PADI DI KABUPATEN TIMOR

TENGAH UTARA, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

KEMALA INDAH WAHYUNI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr

Judul Tesis

Nama

NIM

: Penilaian Ekonomi dan Indeks Kerentanan Rumahtangga Petani
Padi di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara
Timur
: Kemala Indah Wahyuni
: H451130081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Eka Intan K. Putri, MSi
Ketua

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ekonomi
Sumberdaya
Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana
dan

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc

Tanggal Ujian: 23 Mei 2016

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah sosial ekonomi dan lingkungan, dengan judul
Penilaian Ekonomi dan Indeks Kerentanan Rumahtangga Petani Padi di

Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MS dan
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr selaku komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan serta semangat pada penulis. Penghargaan penulis sampaikan
kepada beasiswa fresh graduate yang telah memberikan beasiswa selama empat
semester. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Eyangti, Kedua
orang tua, Suami, Anak, seluruh keluarga, serta Teman-teman atas segala
dukungan, doa, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016

Kemala Indah Wahyuni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR BOX

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


6

Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

9

Ruang Lingkup Penelitian

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

10

Kerentanan (Vulnerability)

10

Resiliensi (Resilience)

12

Strategi Resiliensi Rumahtangga

18

Konsep-Konsep Vulnerability dan Resiliensi

18

Penelitian Terdahulu yang Relevan

21

3 KERANGKA PEMIKIRAN

26

4 METODE PENELITIAN

28

Lokasi dan Waktu Penelitian

28

Jenis dan Sumber Data

28

Metode Pengambilan Sampel

29

Metode Analisis Data

29

Definisi Operasional

33

5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN

35

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

35

Kelurahan Boronubaen

36

Desa Taunbaen Timur

37

Karakteristik Responden

38

Jenis Kelamin Responden

38

Tingkat Usia Responden

38

Tingkat Pendidikan Responden

39

Pekerjaan Responden

39

Luas Rumah

40

Luas Pekarangan

41

Luas Lahan Sawah

41

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

42

Tingkat Kerentanan Rumahtangga Petani dengan Menggunakan
Livelihood Vulnerability Index

42

Dampak Variabilitas Iklim Terhadap Pertanian

50

Perubahan Produktivitas Pertanian Tanaman Pangan (Padi) Akibat
Variabilitas Iklim

56

Perubahan Pendapatan Rumahtangga Petani Akibat Variabilitas Iklim

58

Kelentingan Rumahtangga Petani Akibat Variabilitas Iklim

61

Refleksi Teoritik

66

Implikasi Penelitian

68

Keterkaitan dengan Penelitian Lainnya

68

7 KONSEPTUALISASI GAGASAN

71

Benang Merah Penelitian

73

Pentingnya Perhitungan LVI

74

Perkembangan Perhitungan LVI

74

8 SIMPULAN DAN SARAN

76

Simpulan

76

Saran

77

DAFTAR PUSTAKA

78

RIWAYAT HIDUP

102

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia
Kerangka konseptual penilaian resiliensi untuk menganalisis
dimensi buffer capacity dari livelihood resilience
Kerangka konseptual penilaian untuk menganalisis dimensi
self organisation dari livelihood resilience.
Kerangka konseptual penilaian untuk menganalisis dimensi capacity
for learning dari livelihood resilience
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian
Matriks Metode Analisis Data
Definisi Operasional Penelitian
Potensi Kelurahan Boronubaen
Potensi Desa Taunbaen Timur
Livelihood Vulnerability Index Kelurahan Boronubaen dan Desa
Taunbaen Timur
Katagori LVI-IPCC Kelurahan Boronubaen dan Desa Taunbaen
Timur
Kategori Livelihood Vulnerability Index Kelurahan Boronubaen
dan Desa Taunbaen Timur
Perubahan Produktivitas Padi di Kelurahan Boronubaen
Nilai Perubahan Hasil Penjualan Padi Kelurahan Boronubaen
Perubahan Produktivitas Padi Desa Taunbaen Timur
Nilai Perubahan Hasil Penjualan Padi Desa Taunbaen Timur
Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani di Dua Lokasi Penelitian
Perubahan pendapatan pertanian tanaman pangan (padi sawah)
Perubahan Pendapatan on-farm Rumahtangga Petani
Perubahan Pendapatan off-farm Rumahtangga Petani
Perubahan Pendapatan non-farm Rumahtangga Petani
Nilai Tindakan Resiliensi Buffer Capacity
Nilai Tindakan Resiliensi Self-Organisation
Nilai Tindakan Resiliensi Capacity for Learning

3
15
16
17
21
29
34
36
37
43
47
47
56
57
58
58
59
59
59
60
60
65
66
66

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

17
18
19
20

Penggunaan Lahan di NTT tahun 2013
Data perubahan pola hujan di Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT
tahun 2001-2014
Hubungan antara kerentanan, ancaman, exposure, dan dampak
Kerangka konseptual dan analisis karakteristik livelihood resilience
Hubungan antara kerentanan, resiliensi, dan kapasitas adaptif
Pengelompokkan tujuh komponen utama ke dalam LVI-IPCC
Diagram Alur Kerangka Pikir
Peta Lokasi Penelitian
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Rumah
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekarangan
Karakteristik Responden Berdasarkan Lahan Sawah
Kerentanan Rumahtangga Petani di Kelurahan Boronubaen
dan Desa Taunbaen Timur Bedasarkan Indikator Exposure,
Sensitivity, dan Adaptive Capacity
Modal Nafkah Publik di Kelurahan Boronubaen dan Desa
Taunbaen Timur Tahun 2015
Modal Nafkah Private di Kelurahan Boronubaen dan Desa
TaunbaenTimur Tahun 2015
Hubungan antara kerentanan, ancaman, dan dampak
Konseptualisasi gagasan tentang kerentanan

4
5
11
13
14
20
27
28
38
39
39
40
40
41
41

49
62
63
67
72

DAFTAR BOX
1
2
3
4

Kasus Rumahtangga Petani di Kelurahan Boronubaen
Kasus Rumahtangga Petani di Kelurahan Boronubaen
Kasus Rumahtangga Petani di Desa Taunbaen Timur
Kasus Rumahtangga Petani di Desa Taunbaen Timur

52
53
54
55

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kelentingan nafkah rumahtangga petani Boronubaen dan Taunbaen
Timur berdasarkan indikator buffer capacity
2 Kelentingan nafkah rumahtangga petani Boronubaen dan Taunbaen
Timur berdasarkan indikator self organization
3 Kelentingan nafkah rumahtangga petani Boronubaen dan Taunbaen
Timur berdasarkan indikator capacity for learning
4 Pendapatan Rumah Tangga Petani Kelurahan Boronubaen
5 Pendapatan Rumah Tangga Petani Desa Taunbaen Timur
6 Change in Productivity Padi Kelurahan Boronubaen
7 Change in Productivity Padi Desa Taunbaen Timur
8 Dokumentasi Penelitian di Lapangan

83
84
85
86
88
90
92
94

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan sebuah perubahan pada kondisi iklim yang
ditunjukkan dengan perubahan rata-rata atau variabilitas parameter-parameter
iklim yang berlangsung pada periode jangka panjang. Perubahan yang terjadi pada
sistem iklim mendorong perubahan pada frekuensi, intensitas, cakupan area,
durasi, dan waktu terjadinya kejadian cuaca dan iklim ekstrim. Kejadian ekstrim
dari cuaca atau iklim merupakan sebuah sisi dari variabilitas sistem iklim baik
dalam kondisi stabil ataupun terjadi perubahan iklim (IPCC 2012). Terdapat
bermacam-macam kejadian yang dikategorikan ekstrim, seperti presipitasi yang
ekstrim, baik turun dalam bentuk hujan, hujan es, dan salju. Tidak adanya hujan
yang disertai tingginya penguapan dari tanah akibat temperatur yang tinggi
merupakan contoh kejadian iklim ekstrim yang menimbulkan terjadinya
kekeringan (Trenberth 2011).
Mengingat iklim adalah salah satu unsur utama sistem metabolisme dan
fisiologi tanaman, maka variabilitas iklim bisa berdampak buruk terhadap
keberlanjutan pembangunan pertanian (Las 2007). Pemanasan global yang terjadi
juga dicirikan dengan adanya variabilitas iklim disertai dengan siklus cuaca dan
curah hujan yang mengalami pergeseran. Hal tersebut akan menyebabkan
sejumlah risiko terhadap proses produksi tanaman pangan dan tanaman
perkebunan serta risiko guncangan pada sistem penghidupan yang semakin tidak
menentu. Sistem penghidupan yang semakin tidak menentu pada akhirnya akan
berdampak pada tingkat resiliensi petani.
Sektor pertanian terutama sub-sektor tanaman pangan merupakan sub-sektor
yang paling berdampak dengan adanya variabilitas iklim. Menurut Salinger
(2005) terdapat tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global yang
berdampak pada sektor pertanian, yaitu: (1) perubahan pola hujan, (2)
meningkatnya kejadian iklim ekstrem (banjir dan kekeringan), dan (3)
peningkatan suhu udara. Variabilitas iklim juga menyebabkan terjadinya
perubahan jumlah hujan dan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran awal
musim tanam dan periode masa tanam.
Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak pernah lepas dari
berbagai persoalan, baik itu persoalan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,
bahkan persoalan kebijakan politik. Hal ini tidaklah berlebihan karena pangan
adalah kebutuhan pokok penduduk, terutama di Indonesia karena peningkatan
penduduk Indonesia yang selalu meningkat. Kondisi ini menandakan butuh
ketersediaan pangan yang cukup agar tidak menjadi salah satu penyebab
instabilitas pangan nasional. Pertanian merupakan salah satu komoditas utama di
Indonesia untuk mendukung perekonomian nasional (Adimihardja 2006).
Keberhasilan kegiatan pertanian dalam mencapai hasil panen yang
maksimal bukan hanya dipengaruhi oleh bibit yang unggul, irigasi yang baik
tetapi juga sangat bergantung pada kondisi iklim dan musim (Supriyanto 2012).
Penelitian lain memperoleh temuan adanya kecenderungan terjadinya perubahan
pola spasial dan variasi curah hujan pada musim hujan. Curah hujan musiman
Desember, Januari, Februari di sebagian besar wilayah di Pulau Jawa, Indonesia

2
bagian Timur, dan Sulawesi menjadi lebih tinggi. Sementara itu, curah hujan
musiman Juni, Juli, Agustus di sebagian besar wilayah di Jawa, Papua, Sumatera
bagian barat, dan Kalimantan bagian timur dan selatan menjadi lebih rendah (Boer
and Hamilton 2008).
Beberapa dampak yang ditimbulkan oleh variabilitas iklim tersebut
diantaranya adalah: semakin banyak penyakit (Tifus, Malaria, Demam, dll.);
meningkatnya frekuensi bencana alam atau cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir,
kekeringan, badai tropis, dll.); mengancam ketersediaan air; mengakibatkan
pergeseran musim dan perubahan pola hujan; menurunkan produktivitas
pertanian; peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan;
mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati; serta kenaikan muka laut
menyebabkan banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah pantai. Hal
tersebut di atas yang menyebabkan kerentanan (vulnerability) pada masyarakat.
Oleh sebab itu, masyarakat membutuhkan suatu tindakan resiliensi atau daya
lenting dimana mereka dapat bertahan hidup dan dapat kembali ke kondisi
semula.
Terjadinya variabilitas iklim berdampak pada perubahan aspek-aspek
rumahtangga petani. Variabilitas iklim seperti kekeringan dianggap sebagai
stressor yang berpotensi sebagai sumber kerentanan (vulnerability) dan
kelentingan (resilience). Indikator kerentanan yaitu kapasitas adaptif, sensitivitas,
dan keterpaparan (Schneider et al. 2007; Shah et al. 2013). Resiliensi
diidentifikasi melalui indikator buffer capacity, self organization, and capacity for
learning (Speranza et al. 2014). Suatu indikator kerentanan dapat menyediakan
sarana yang berpotensi untuk melihat kerentanan dari waktu ke waktu,
mengidentifikasi proses yang berkontribusi terhadap kerentanan (vulnerability),
memprioritaskan strategi untuk mengurangi kerentanan (vulnerability), dan
mengevaluasi efektivitas strategi dalam pengaturan sosial dan ekologi yang
berbeda (Adger et al. 2009; Dow 1992). Namun sampai saat ini, definisi dan
penilaian kerentanan perubahan iklim sering diterapkan secara tidak konsisten.
Panel yang dilaksanakan antar pemerintah tentang perubahan iklim menghasilkan
tipologi yang berguna, yang menunjukkan kerentanan dapat dicirikan sebagai
fungsi dari tiga komponen: kapasitas adaptif, sensitivitas, dan paparan (Schneider
et al. 2007).
Akibat terjadinya variabilitas iklim yang dapat mempengaruhi lahan
pertanian dan mengakibatkan produksi pertanian menurun karena gagal panen
yang bisa diakibatkan oleh kekeringan, banjir, atau bisa juga karena adanya hama
penyakit. Semua hal tersebut dapat menyebabkan penerimaan petani juga
mengalami penurunan. Selain variabilitas iklim, hal lain yang dapat menyebabkan
kerentanan adalah perubahan pedesaan menjadi lahan industri yang menyebabkan
air irigasi menjadi tercemar dan mengharuskan masyarakatnya memiliki resiliensi
untuk bertahan hidup, seperti resiliensi yang terjadi di Taiwan mengenai
perubahan penggunaan lahan industri di daerah pedesaan mengharuskan
masyarakat desa mempunyai daya tahan atau resiliensi yang tinggi agar tetap
dapat bertahan hidup, karena lahan industri tersebut menyebabkan air irigasi
disana menjadi tercemar. Mereka bertahan dengan mengembangkan pengetahuan
lokal penduduk setempat, yaitu orang-orang Hakka dan respon masyarakat
terhadap perubahan lingkungan mencerminkan peran budaya dalam

3
mempengaruhi kebijakan penggunaan lahan, sehingga membentuk pengalaman
sosial dari suatu risiko yang dihadapi.
Berawal dari konsep kerentanan (vulnerability) dan resiliensi (resilience)
sekitar tahun ‘70an dan berkembang sampai sekarang di tahun 2000an yang
diperhitungkan saat terjadinya perubahan iklim global (global climate change).
Terjadinya keributan akibat global climate change menyebabkan perkembangan
masyarakat semakin maju sehingga mereka memiliki buffering mechanism dalam
menghadapi perubahan iklim global (global climate change) ataupun variabilitas
iklim (climate variability). Hadirnya climate variability membuat mereka tidak
lagi terlalu kaget (shock) karena adanya konsep kerentanan (vulnerability) dan
resiliensi (resilience). Kerentanan (vulnerability) merupakan seberapa rentan
mereka terhadap shock dan crisis, sedangkan resiliensi (resilience) adalah
seberapa cepat daya pulih suatu ekosistem dari adanya shock dan crisis.
Kerentanan merupakan fungsi dari beberapa komponen, diantaranya adalah:
exposure, sensitivity, and adaptive capacity (IPCC, 2001).
Salah satu daerah atau lokasi yang terkena variabilitas iklim dan dapat
diidentifikasi tingkat kerentanan serta daya lentingnya adalah Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). NTT adalah salah satu daerah miskin dengan kondisi
ekonomi penduduk yang sangat memprihatinkan, serta kondisi topografi yang
bervariasi menambah faktor kemiskinan daerah NTT. Jumlah penduduk miskin di
NTT dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia
Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin (%)
Kota
Desa Kota+Desa
Kota
Desa Kota+Desa
SUMATERA
2008.84 4061.59
6070.42
93.26 117.11
106.39
JAWA
6975.88 8167.88
15143.78
50.31
66.21
59.19
BALI
109.2
86.76
195.95
4.35
5.39
4.76
NTB
385.31 431.31
816.62
19.17
15.52
17.05
NTT
105.7
886.18
991.88
10.68
21.78
19.6
KALIMANTAN 277.67 695.23
972.93
17.88
31.64
25.26
SULAWESI
385.67 1669.18
2054.85
43.7
88.43
73.64
MALUKU
58.75
333.06
391.81
10.93
34.34
25.85
PAPUA
49.67
1039.9
1089.57
9.98
70.88
54.06
Pulau

Indonesia
10356.69 17371.09
Sumber: BPS 2015

27727.78

260.26

451.3

385.8

Struktur geologi tanah di NTT yang terdiri dari pegunungan, perbukitan
kapur dan dataran rendah. Sebesar 3,527 ribu hektar atau 74.49 persen dari luas
wilayah NTT berupa lahan kering, 200 ribu hektar (4.23 persen) berupa lahan
sawah, dan 1,007 ribu hektar (21.28 persen) berupa lahan bukan pertanian. Tahun
2013 sekitar 793 ribu hektar lahan kering di NTT tidak diusahakan. Selanjutnya
508 ribu hektar digunakan untuk tegal/kebun; 312 ribu hektar untuk ladang/hama;
402 ribu hektar untuk hutan dan 517 ribu hektar untuk lainnya. Beberapa pulau
seperti Flores, Sumba, dan Timor terdapat kawasan padang rumput (savana) dan

4
stepa untuk menggembalakan ternak dengan luas mencapai 613 ribu hektar. Data
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: BPS (2014)

Gambar 1 Penggunaan Lahan di NTT tahun 2013
Sama seperti halnya di tempat lain di Indonesia, di Nusa Tenggara Timur
(NTT) hanya dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada
bulan Juni - September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak
mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada
bulan Desember – Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari
Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini
berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April –
Mei dan Oktober – November. Walaupun demikian mengingat NTT dekat dengan
Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera
Pasifik sampai di wilayah NTT kandungan uap airnya sudah berkurang yang
mengakibatkan hari hujan di NTT lebih sedikit dibanding wilayah yang dekat
dengan Asia. Hal ini menjadikan NTT sebagai wilayah yang tergolong kering di
mana hanya empat bulan (Januari s.d Maret, dan Desember) yang keadaannya
relatif basah dan delapan bulan sisanya relatif kering, sehingga NTT dikenal
dengan salah satu daerah kering di Indonesia (BPS 2015).
Suhu udara maksimum tertinggi di wilayah Kupang, NTT pada tahun 2014
adalah 33.5 derajat celcius yang terjadi sekitar bulan Mei dan Oktober, sedangkan
suhu minimum terendah yang terjadi di wilayah Kupang, NTT pada tahun 2014
adalah 20 derajat celcius yang terjadi sekitar bulan September (BPS 2015). Data
perubahan pola hujan yang di dapat merupakan data primer yang sudah di olah
dan data ini diadopsi dari penelitian Putri (2015) yang juga melakukan penelitian
terkait kerentanan yang terjadi di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Data perubahan pola hujan di Kabupaten Timor
Tengah Utara, NTT tahun 2001-2014 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

5

Sumber: Putri (2015)

Gambar 2 Data perubahan pola hujan di Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT
tahun 2001-2014
Fluktuasi curah hujan ekstrim yang terjadi di Kecamatan Biboki Utara pada
tahun 2002, 2003, serta 2008 menunjukkan pola hujan masih relatif tinggi.
Memasuki tahun 2014, curah hujan mengalami penurunan yang cukup signifikan
bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal itulah yang terjadi di
daerah NTT, terutama di Kabupaten Timor Tengah Utara. Kekeringan pun terjadi
di daerah tersebut, yang mengakibatkan pertanian di daerah Kabupaten Timor
Tengah Utara, khususnya Kelurahan Boronubaen dan Desa Taunbaen Timur
mengalami gagal panen. Sistem pertanian di kedua daerah tersebut adalah
pertanian tadah hujan yang sangat mengandalkan datangnya hujan untuk mengairi
sawah mereka. Mereka hanya sekali menanam sawahnya pada musim tanam. Oleh
karena perubahan iklim global juga berdampak pada variabilitas iklim di beberapa
daerah, seperti terjadi kekeringan, kebanjiran, peningkatan hama penyakit pada
pertanian, peningkatan penyakit pada manusia, dan lain sebagainya yang biasa
disebut sebagai stressor atau tekanan yang mengakibatkan suatu kerentanan pada
aspek rumahtangga. Hal tersebut memperparah kondisi kemiskinan ekonomi yang
terjadi di NTT karena NTT tidak hanya mengalami kemiskinan ekonomi tetapi
juga kemiskinan wilayah seperti langkanya air serta kondisi topografi yang
berfluktuasi. Itulah yang menjadikan terjadinya kerentanan di wilayah tersebut,
sehingga masyarakat perlu melakukan tindakan resiliensi agar dapat kembali ke
kondisi semula dan tetap dapat bertahan hidup. Beberapa fenomena tersebut di
atas yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Sistem penghidupan rumahtangga petani yang rentan akibat variabilitas
iklim akhirnya memaksa rumahtangga petani melakukan strategi dalam
menggunakan lima modal (fisik, finansial, sumber daya manusia, sumber daya
alam, dan sosial) agar rumahtangga petani dapat menurunkan kerentanan yang
dihadapinya dan meningkatan resiliensinya. Ketika resiliensi nafkah rumahtangga

6
petani berhasil dibangun dan ditingkatkan, maka terciptalah penghidupan yang
berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diartikan bahwa perubahan
ekonomi akibat variabilitas iklim ini mengakibatkan perubahan kerentanan dan
resiliensi nafkah rumahtangga petani di Kelurahan Boronubaen dan Desa
Taunbaen Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Oleh karena itu,
penelitian ini perlu dilakukan untuk menghitung nilai indeks kerentanan nafkah
(livelihood vulnerability index) serta resiliensi rumahtangga petani di Kelurahan
Boronubaen dan Desa Taunbaen Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT
akibat terjadinya variabilitas iklim.

Perumusan Masalah
Sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan merupakan sektor
yang paling mudah terkena dampak dengan adanya variabilitas iklim. Sub sektor
tanaman pangan khususnya padi memperoleh dampak yang paling serius akibat
variabilitas iklim. Variabilitas iklim tersebut dapat berupa perubahan pola hujan,
peningkatan kejadian iklim ekstrem (banjir dan kekeringan), peningkatan suhu
udara, dan peningkatan permukaan air laut, yang semuanya itu pada akhirnya
berdampak pada periode waktu curah hujan yang pendek, waktu kemarau yang
panjang, pergeseran musim tanam, berubahnya pola tanam, kekurangan air atau
kekeringan, terjadinya banjir, munculnya hama dan penyakit tanaman, yang pada
akhirnya akan menurunkan produktivitas dan mutu produksi yang dihasilkan oleh
petani, serta dapat mengakibatkan gagal panen yang mengakibatkan petani
mengalami kerugian.
Variabilitas iklim El Nino dan La Nina, maupun perubahan iklim (naiknya
suhu permukaan laut beberapa derajat sejak 10 tahun terakhir) karena emisi
karbon yang membuat global warming, menyebabkan ancaman terhadap
ketahanan ekonomi dan juga kerentanan ekonomi melalui kekacauan musim
tanam dan penurunan produktivitas lahan-pertanian dan perkebunan. Apakah
semua lapisan masyarakat tani di kawasan beriklim kering mengalami ancaman
ketahanan pangan dan kerentanan ekonomi yang sama? Diduga tidak semuanya
demikian, karena dalam masyarakat terbangun mekanisme adaptif yang membuat
tingkat kelentingan nafkah (untuk menghadapi variabilitas iklim) berbeda-beda
(Heikkila and Smith 2013; Osbahr and Leary 2008). Berbeda dengan masyarakat
yang tinggal di daerah iklim basah. Masyarakat di kawasan beriklim kering
memiliki ragam nafkah yang lebih sedikit, sehingga tingkat kerentanan
ekonominya tinggi dan tingkat resiliensi nafkahnya rendah. Berdasarkan kondisi
seperti itu variabilitas iklim dapat memberikan dampak yang serius terhadap
sistem rumahtangga petani (Smith and Pilifosova 2001). Menurut Adger dan
Kelly, di dalam konteks permasalahan global warming, penilaian vulnerability
merupakan komponen penting dari setiap upaya untuk menentukan seberapa besar
ancaman yang dihadapi. Beberapa studi mengenai dampak perubahan iklim atau
variabilitas iklim lebih memfokuskan pada dampak fisik, kimia, atau dampak
biologis. Namun penilaian penuh sebuah konsekuensi untuk kesejahteraan
manusia butuh evaluasi mendalam.
Provinsi NTT juga merupakan salah satu contoh daerah yang masih
menghadapi permasalahan kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan. Masih

7
tingginya angka kemiskinan disetiap Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, membuat
provinsi ini terus dilanda permasalahan kemiskinan. NTT memiliki persentase
kemiskinan 19.60 persen, dimana NTT menduduki peringkat ke tiga provinsi
termiskin setelah Papua dan Maluku.
Kondisi sebagian besar alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah
tandus dan gersang. Kekeringan dan rawan pangan menjadi bencana rutin yang
dihadapi warga NTT hampir setiap tahun. Kemiskinan, kasus gizi buruk, angka
putus sekolah, serta akses fasilitas kesehatan yang kurang memadai pada akhirnya
menjadi mata rantai lanjutan dari persoalan tersebut. Sumber Daya Alam (SDA)
yang cukup besar dan beragam yang tersebar di setiap daerah, namun sampai saat
ini potensi setiap sektor tersebut belum secara optimal dapat memberikan nilai
tambah yang signifikan untuk mensejahterakan rakyat dan daerah NTT. Hal ini
disebabkan karena masih kurangnya investasi yang dilakukan serta hal itulah yang
merupakan salah satu indikator kerentanan masyarakatnya terhadap stressor yang
terjadi. Sehingga masyarakat NTT bisa dikatakan masyarakat yang sensitif serta
memiliki kerentanan tinggi dan biasanya memiliki resiliensi yang rendah.
Tindakan resiliensi yang dilakukan bisa berbagai macam, seperti tindakan
resiliensi yang dilakukan oleh Amico dan Curra pada tahun 2014 tentang
ketahanan perkotaan di Mediterania membutuhkan suatu peran dalam membangun
lingkungan dan membangun warisan untuk mencapai suatu ketahanan di
perkotaan. Sedangkan resiliensi atau ketahanan yang dilakukan oleh nelayan di
Anguilla karena terjadinya angin topan adalah dengan melakukan perubahan
strategi melaut dan mencari sumber pendapatan alternatif. Berbeda dengan yang
dilakukan oleh rumahtangga di Muzarabani, Zimbabwe dalam menghadapi banjir.
Cara mereka bertahan hidup mengatasi banjir tergantung dari faktor-faktor yang
dimiliki, seperti kearifan lokal, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jabatan
atau posisi, serta jarak antara sungai yang terkena erosi.
Sesuai dengan data BPS tahun 2012 menunjukkan jumlah warga yang
bermatapencaharian sebagai petani masih dominan (36.5%). Hal ini berarti adanya
ancaman kerentanan rumahtangga petani akibat variabilitas iklim. Berdasarkan
studi terdahulu, untuk menyikapi ancaman variabilitas lingkungan (iklim)
terhadap sumber nafkahnya, petani dan segenap anggota rumahtangganya harus
berusaha melanjutkan kehidupan melalui serangkaian adaptasi sosial-ekonomi,
ekologi, dan kelembagaan (terutama pola hubungan sosial-produksi sumberdaya
agraria akibat perubahan lingkungan hidup atau ekosistem) yang responsif dan
dinamis. Sebagai hasil beberapa respon dinamis atas proses-proses adaptasi
tersebut, diperkirakan telah terjadi proses transformasi yang mendasar pada sistem
penghidupan rumahtangga petani sepanjang terjadinya variabilitas iklim dan krisis
ekologi di kawasannya (Titus and Burgers 2008).
Tingkat resiliensi petani di kawasan beriklim kering dapat di identifikasi
melalui, rendahnya tingkat ketersediaan pangan yang dapat ditelusuri dari
rendahnya tingkat livelihood dikarenakan rendahnya kapasitas adaptif mereka
terhadap perubahan sebagai akibat ketiadaan livelihood resources maupun modal
atau assets yang bisa membantu mereka untuk menghadirkan pendapatan yang
mampu untuk meningkatkan aksesnya terhadap stok pangan. Rendahnya produksi
pangan berarti juga penurunan pendapatan petani sehingga kemampuan
mengakses pangan juga menurun. Variabilitas iklim menghadirkan risiko
penurunan produksi pangan bagi lapisan petani tertentu yang tidak memiliki basis

8
nafkah selain pertanian, sehingga dapat menurunkan kapasitas adaptif yang
mengantarkannya kepada krisis ekonomi dan pangan.
Fenomena perubahan iklim global lebih memperparah terjadinya krisis
ekologi sehingga risiko kehancuran (kemiskinan) ekonomi rumahtangga petani di
kawasan beriklim kering meningkat seiring dengan variabilitas iklim yang
membuat krisis ekologi kawasan berlangsung semakin parah. Kerentanan yang
terjadi dapat di identifikasi dengan menggunakan Livelihood Vulnerability Index
(LVI). Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat kerentanan yang terjadi serta
dampak ekonomi yang ditimbulkan pada masyarakat petani di kawasan beriklim
kering dan sejauhmana mekanisme adaptasi yang dilakukan rumahtangga petani
di kawasan beriklim kering sebagai respon terhadap variabilitas iklim yang
berdampak terhadap ketahanan pangan masyarakat? Berdasarkan hal tersebut,
memberikan dasar yang kuat mengapa studi estimasi dampak ekonomi serta
mekanisme adaptasi dan resiliensi masyarakat beriklim kering penting dilakukan.
Selanjutnya, pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah seberapa besar tingkat kerentanan rumahtangga petani di kawasan beriklim
kering dan bagaimana rumahtangga petani tersebut dapat membangun resiliensi?
Secara spesifik, penelitian ini untuk menjawab pertanyaan:
1) Bagaimana menghitung nilai indeks kerentanan (livelihood vulnerability
index) rumahtangga petani yang ada di Kelurahan Boronubaen dan Desa
Taunbaen Timur, Kab. TTU terhadap variabilitas iklim dan dampaknya?
2) Berapa nilai kerugian yang dialami rumahtangga petani di Kelurahan
Boronubaen dan Desa Taunbaen Timur, Kab. TTU terhadap variabilitas
iklim?
3) Bagaimana tindakan kelentingan nafkah (livelihood resilience)
rumahtangga petani di Kelurahan Boronubaen dan Desa Taunbaen Timur,
Kab. TTU untuk bertahan hidup akibat variabilitas iklim?

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membahas seberapa besar
indeks kerentanan rumahtangga petani di kawasan beriklim kering di Indonesia,
yaitu di daerah NTT. Oleh karena itu, tujuan spesifik yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
1) Menghitung nilai indeks kerentanan (livelihood vulnerability index)
rumahtangga petani yang ada di Kelurahan Boronubaen dan Desa
Taunbaen Timur, Kab. TTU terhadap variabilitas iklim serta dampaknya,
2) Mengestimasi nilai kerugian yang dialami rumahtangga petani di
Kelurahan Boronubaen dan Desa Taunbaen Timur, Kab. TTU terhadap
variabilitas iklim dan,
3) Membahas kelentingan nafkah (livelihood resilience) rumahtangga petani
di Kelurahan Boronubaen dan Desa Taunbaen Timur, Kab. TTU untuk
bertahan hidup dalam menghadapi variabilitas iklim.

9
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak,
antara lain:
1) Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan dan literatur tentang hubungan antara kerentanan, resiliensi,
serta kapasitas adaptif yang harus dilakukan akibat adanya variabilitas
iklim.
2) Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi
yang bermanfaat untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan terkait pembangunan ekonomi.
3) Bagi masyarakat petani, hasil penelitian ini diharapkan menjadi literatur
penyadaran dan pertimbangan terkait bentuk resiliensi yang dapat
diterapkan saat terjadi variabilitas iklim di kawasan beriklim kering agar
terwujud kehidupan petani dan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian
Terdapat beberapa batasan dalam penelitian ini:
1) Penelitian mengkaji kerentanan, nilai kerugian ekonomi, dan tindakan
resiliensi rumahtangga petani di kawasan beriklim kering terhadap
variabilitas iklim.
2) Penelitian dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) tepatnya di Kelurahan Boronubaen dan
Desa Taunbaen Timur yang mengalami kekeringan di tahun 2015 akibat
variabilitas iklim.
3) Unit analisis adalah rumahtangga petani yang terkena dampak variabilitas
iklim, yaitu kekeringan.

10

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kerentanan (Vulnerability)
Pada awalnya konsep kerentanan berkembang dalam disiplin ilmu-ilmu
sosial, seperti misalnya ilmu psikologi, komunikasi, dan sosiologi serta digunakan
dalam unit analisis mikro seperti di dalam individu, keluarga, dan masyarakat,
kemudian setelah itu dikembangkan dan diperluas konsepnya pada tataran institusi
dan kerentanan sebuah kawasan (Birkmann 2006; Sunarti et al. 2009). Salah satu
teori yang berasal dari Adger and Kelly mengatakan bahwa definisi dari
kerentanan (vulnerability) menurut mereka adalah sebuah kerentanan
(vulnerability) terhadap tekanan lingkungan sangat bervariasi.
Kerentanan (vulnerability) merupakan derajat sebuah sistem pengalaman
dalam mengalami kerugian akibat paparan sebuah bahaya dan gangguan atau
tekanan (Turner et al. 2003; Berkes 2007). Sementara itu, resiliensi atau daya
lenting merupakan kemampuan yang berhubungan dengan sistem sosio-ekologi
untuk menguraikan bahaya dan penyedia wawasan yang membuat berkurangnya
kerentanan (Berkes 2007). Dapat diartikan juga bahwa kerentanan dan resiliensi
merupakan dua sisi yang saling berkebalikan. Jika kerentanan meningkat maka
resiliensi berusaha meningkat untuk menurunkan kerentanan, kemudian jika
resiliensi berhasil meningkat maka kerentanan akan menurun. Jika kerentanan
tidak berhasil diturunkan oleh daya resiliensi maka akan terjadi kematian stagnasi
dan ketidakberlanjutan.
Beberapa analis menilai kerentanan sebagai titik akhir dari setiap penilaian,
sedangkan yang lain sebagai titik fokus, dan juga sebagai titik awal. Menurut
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kerentanan di definisikan
sebagai sejauh mana perubahan iklim dapat merusak atau membahayakan sebuah
sistem; tidak hanya tergantung pada sensitivitas sistem, tetapi juga pada
kemampuannya untuk beradaptasi untuk kondisi iklim yang baru. Sensitivitas
dalam konteks ini, adalah sejauh mana suatu sistem akan merespon perubahan
kondisi iklim. Indikator kerentanan merupakan sarana yang berguna sebagai
pemantauan kerentanan dari waktu ke waktu, mengidentifikasi proses yang
berkontribusi pada kerentanan, memprioritaskan strategi untuk mengurangi
kerentanan, dan mengevaluasi efektivitas strategi dalam pengaturan sosial dan
ekologi yang berbeda (Adger et al. 2009; Dow 1992). Namun untuk saat ini
definisi dan penilaian kerentanan akibat perubahan iklim sering diterapkan secara
tidak konsisten.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) juga mencirikan
kerentanan sebagai fungsi dari tiga komponen, yaitu: kapasitas adaptif,
sensitivitas, dan paparan (Schneider et al. 2007). Kerentanan (vulnerability)
merupakan derajat sebuah sistem pengalaman dalam mengalami kerugian akibat
paparan sebuah bahaya dan gangguan atau tekanan (Turner et al. 2003; Berkes
2007). Semakin tinggi paparan (exposure) dan kepekaan (sensitivity), maka
semakin tinggi juga tingkat kerentanannya. Sementara itu semakin tinggi tingkat
kapasitas adaptif (adaptive capacity), maka semakin rendah tingkat
kerentanannya. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat kerentanan bisa dengan

11
mengurangi exposure atau keterpaparan seperti variabilitas iklim atau dengan cara
meningkatkan kapasitas adaptif (adaptive capacity).
Indikator kerentanan merupakan sarana yang berguna untuk memonitor
kerentanan dalam konteks ruang dan waktu, mengidentifikasi proses kerentanan,
memprioritaskan strategi untuk mengurangi kerentanan, dan mengevaluasi
efektivitas strategi dalam pengaturan sosial dan ekologi yang berbeda (Dow 1992;
Adger et al. 2009; Shah et al. 2013). Kerentanan dicirikan oleh tiga komponen,
yaitu: kapasitas adaptif (adaptive capacity), sensitivitas (sensitivity), dan
keterpaparan (exposure) (Schneider et al. 2007; Shah et al. 2013).
1) Kapasitas adaptif merupakan kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri
dengan tekanan.
2) Sensitivitas merupakan sejauh mana sistem akan merespon perubahan,
baik secara positif maupun negatif.
3) Keterpaparan merupakan tingkat stres pada unit analisis tertentu, dapat
direpresentasikan sebagai perubahan jangka panjang.
Indeks Kerentanan Livelihood (LVI) yang dikembangkan oleh Hahn et al.
(2009) dikutip oleh Shah et al. (2013) dilakukan melalui cara yaitu: (1)
menggabungkan indikator lokal dan kearifan lokal; (2) ketahanan dan kerentanan
gender pada norma-norma dalam masyarakat, sedangkan Gallopin (2006)
mendefinisikan kerentanan (vulnerability) sebagai kerentanan terhadap bahaya,
potensi untuk perubahan atau transformasi sistem ketika dihadapkan dengan
adanya gangguan, bukan sebagai hasil dari konfrontasi tersebut. Suatu sistem
dapat rentan terhadap suatu gangguan dan tidak terhadap yang lainnya. Dalam
rangka untuk menargetkan daerah dan masyarakat yang rentan, banyak metode
dan indikator yang telah dieksplorasi. Satu komponen yang paling berpengaruh
dan banyak digunakan adalah komponen yang didefinisikan oleh IPCC, dan
komponen tersebut termasuk paparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif.
Hubungan antara kerentanan dengan exposure, ancaman, dan dampaknya
dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Gallopin (2006)

Gambar 3 Hubungan antara kerentanan, ancaman, exposure, dan dampak

12
Waktu bergerak dari atas ke bawah gambar merupakan sistem target yang
diwakili oleh oval; pertukaran dengan yang eksternal lingkungan yang diwakili
oleh panah di kedua arah, dan normal pengoperasian proses internal dilambangkan
dengan spiral teratur. Itu komponen kerentanan sistem (sensitivitas dan kapasitas
respon) yang dibentuk dengan kotak. Dianggap proses (eksternal) atau gangguan
diwakili oleh bentuk melingkar di sebelah kanan, deng atribut yang relevan di
kotak. Pemaparan dari sistem ke gangguan diwakili oleh tumpang tindih antara
dua elemen, dan sistem diubah atau dipengaruhi oleh oval di dasar.

Resiliensi (Resilience)
Daya lenting (resilience) merupakan sebuah kapasitas dari sebuah sistem
untuk menyerap gangguan dan menyusun kembali ketika mengalami perubahan
(Walker et al. 2004; Berkes 2007). Menurut Adger et al. (2001) menegaskan
bahwa manakala kapasitas sebuah sistem meningkat dalam mengatasi shock and
crisis, maka resiliensi meningkat pula. Artinya resiliensi meningkat manakala
kerentanan melemah dan sebaliknya. Artinya kelentingan adalah kebalikan dari
kerentanan (vulnerability). Menurut Adger (2001), kelentingan dipahami sebagai
‘the speed of recovery from disturbance, highlighting the difference between
resilince and resistance, where the latter is the extent to which disturbance is
actualy translated into impact’. Selanjutnya, Adger (2001), Folke (2006), Lin
(2013) memahami kelentingan secara selaras, bahwa kelentingan adalah
kemampuan untuk bertindak lentur dalam menghadapi berbagai gangguan
(disturbance) dan guncangan (shock) atau krisis serta terus bertahan hidup di atas
keentanan-kerentanan yang mengancam, yang dibangun secara aktif oleh sebuah
rumahtangga atau masyarakat. Secara umum, hal ini dipahami sebagai konsep
livelihood resilience. Sementara itu Folke et al. (2004) memaknai arti kelentingan
sebagai the capacity of a system to absorb disturbance and reorganize while
undergoing change so as to retain essentially the same function, structure,
identity, and feedbacks. Namun demikian dikatakan juga bahwa kemampuan
sebuah sistem untuk mereparasi sendiri (self reparation of the system) atas
struktur-struktur yang rusak sebagai akibat datangnya gangguan, shock,
guncangan, dan perubahan lingkungan, seringkali tidak dapat berjalan otomatis
hingga ada sebuah active adaptive management dimana intervensi dari luar sistem
diperlukan kehadirannya untuk memulihkan sistem kepada keadaan semula. Pada
tataran ini resilience memerlukan intervensi untuk menguatkannya. Resiliensi
nafkah mengacu pada kapasitas nafkah untuk melindungi dari tekanan dan
gangguan. Resiliensi nafkah dicirikan dengan aset dan strategi aktor untuk
mempertahankan dan meningkatkan aset. Sebuah nafkah dikatakan lenting jika
dapat mempertahankan fungsi utama (makanan, pendapatan, jaminan, mengurangi
kemiskinan, dll) dan dapat menahan dampak gangguan tanpa menyebabkan
penurunan produksi dan kesejahteraan (Speranza et al. 2014). Terdapat tiga sifat
pokok yang menjadi indikator resiliensi, yaitu: Kapasitas penyangga atau daya
tahan (Buffer capacity), Self organization, dan Kapasitas belajar (capacity for
learning).
1) Kapasitas penyangga /daya tahan (Buffer capacity)
Merupakan jumlah dari perubahan (gangguan) sebuah sistem yang dapat

13
menahan dan memelihara struktur, fungsi, ciri-ciri, timbal balik fungsi dan
struktur (Carpenter et al. 2001; Speranza et al. 2014). Indikator dari buffer
capacity ini adalah: Endowments dan entitlement. Endowment merupakan
sumberdaya yang dimiliki oleh aktor, sementara entitlement mengacu pada
aktor yang mengakses sumberdaya. Endowment biasanya merupakan
kapital nafkah (atau aset) dimana dapat berupa aset manusia
(keterampilan, kondisi kesehatan, pengetahuan), aset finansial
(pendapatan, tabungan), aset fisik (inovasi teknologi), aset sosial
(keuntungan menjadi anggota sebuah kelompok), aset alam (tanah organik
yang berisi karbon) (DFID 2000; Speranza et al. 2014).
2) Self organization
Self organisation merupakan kapasitas adaptif, kekuatan dan interaksi
sosial berbentuk kelentingan sosial (Obrist et al. 2010; Speranza et al.
2014). Atributnya mencakup: institusi, kerjasama dan jaringan, struktur
jaringan, kesempatan untuk organisasi diri, dan kepercayaan dalam sumber
daya yang dimiliki atau ketergantungan pada sumber daya sendiri
(Speranza et al. 2014).
3) Kapasitas belajar (capacity for learning)
Capacity of learning dapat dinilai mengunakan konsep kemampuan belajar
dan juga digambarkan sebagai dimensi proses pembelajaran sosial:
pengetahuan dari ancaman dan kesempatan, membagi visi sosial,
komitmen dari Social-Ecologycal System (SES), pengetahuan
mengidentifikasi kapabilitas, pengetahuan membagi kapabilitas,
kemampuan mentransfer pengetahuan, dan mekanisme fungsi timbal balik
(Speranza et al. 2014). Konseptual framework resiliensi dapat dilihat pada
Gambar 4.
Resilience

Buffer Capacity
Endowments: Assets
ownership
Entitlements: Access
to assets

Self Organisation
Institutions
Cooperations &
Networks

Capacity for Learning
Knowledge of threats &
opportunities
Shared societal
(collective) vision

Network structure
Human capital
Natural capital
Financial capital

Commitment to learning
Opportunity for selforganisation
Reliance on own
resources

Social capital
Physical capital

Knowledge
identification capability
Knowledge sharing
capability
Knowledge transfer
capability
Functioning feedback
mechanisms

Diversity

Sumber: Speranza (2014)

Gambar 4 Kerangka konseptual dan analisis karakteristik livelihood
resilience

14
Pendekatan livelihood berfokus pada komponen-komponen dan interaksinya
yaitu konteks nafkah, aset nafkah, institusi, strategi nafkah (pemilihan kombinasi
aset dan kegiatannya), dan dampak nafkah (Scoones 1998; Speranza et al. 2014).
Resiliensi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan individu atau rumahtangga
dalam melakukan strategi kehidupan yang berkelanjuran untuk kembali bangkit
dari guncangan atau tekanan yang terjadi.
Indikator-indikator resiliensi merupakan syarat agar terciptanya diversity.
Diversity mengacu pada perbedaan dalam karakteristik nafkah (diversifikasi
nafkah, diversifikasi hasil panen, biodiversitas, keanekaragaman kelompok sosial)
dan proses serta berbagai cara fungsi nafkah. Diversitas terhadap pilihan mata
pencaharian (livelihood) merupakan hal yang mendasar untuk mengakses sumber
penghasilan dalam konteks ruang dan waktu. Sebagian besar masyarakat
tradisional mempunyai praktek dan pengetahuan tertentu dalam mengatur sumber
penghasilan (resources) dibandingkan dengan ekosistem sederhana yang
diciptakan agroindustri monokultur (Berkes dan Folke 1998; Berkes 2007).
Nafkah mempunyai berbagai dimensi di tingkat individu dalam bentuk kapasitas
(aset nafkah dan strategi) dan di tingkat struktur dalam bentuk transformasi
struktur dan proses pada konteks kerentanan (vulnerability) (Sallu et al. 2010;
Speranza et al. 2014