Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut Desa-Kota Per Provinsi Di Indonesia

ANALISIS TAPAK AIR SEJUMLAH BAHAN MAKANAN
MASYARAKAT MENURUT DESA-KOTA
PER PROVINSI DI INDONESIA

RISA PEBRIANA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tapak Air
Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut Desa-Kota Per Provinsi di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan
belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Risa Pebriana
NIM G24090021

ABSTRAK
RISA PEBRIANA. Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat
Menurut Desa-Kota per Provinsi di Indonesia. Dibimbing oleh Hidayat Pawitan.
Tapak air didefinisikan sebagai total volume air tawar yang digunakan untuk
memproduksi barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat suatu negara.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi tapak air sejumlah bahan makanan
yang dikonsumsi masyarakat dengan fokus penelitian berupa pola konsumsi pada
34 provinsi di Indonesia menurut desa-kota. Tapak air konsumsi dihitung untuk
tahun 2010 dan proyeksi 2030 berdasarkan jumlah penduduk dan pola konsumsi
desa-kota. Pola konsumsi pada penelitian ini diasumsikan tetap yaitu
menggunakan data pola konsumsi 22 bahan makanan terpilih/pokok berdasarkan
publikasi BPS pada tahun 2013. Rata-rata tapak air konsumsi masyarakat per
kapita di Indonesia adalah sebesar 447 m³/kapita/tahun. Tapak air konsumsi per
kapita di perkotaan (448 m³/kapita/tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan

pedesaan (446 m³/kapita/tahun). Jawa Barat merupakan provinsi dengan tapak air
tertinggi yaitu sebesar 19 milyar m³ pada tahun 2010 dan 35 milyar m³ pada tahun
2030. Tapak air konsumsi nasional penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar
106 milyar m³ dengan jumlah penduduk 239 juta jiwa. Proyeksi tapak air
konsumsi nasional pada tahun 2030, dengan jumlah penduduk 296 juta jiwa
adalah sebesar 132 milyar m³ dengan persentase peningkatan sebesar 19.5%.
Peningkatan tapak air konsumsi nasional untuk penduduk perkotaan sebesar
36.8% (53 milyar m³ menjadi 84 milyar m³), sedangkan pada tapak air konsumsi
nasional penduduk pedesaan mengalami penurunan sebesar 9.2% (53 milyar m³
menjadi 48 milyar m³). Sejauh ini, besarnya tapak air konsumsi nasional masih
dapat tercukupi oleh ketersediaan air pada sungai yang daerah pengalirannya lebih
dari 1000 km² mencapai 318 milyar m³ pada tahun 2010.
Kata kunci : desa, estimasi, konsumsi, kota, tapak air.

ABSTRACT
RISA PEBRIANA. Water Footprint Analysis of Community Food Supply by
Urban-Rural per Province in Indonesia. Supevised by Hidayat Pawitan.
The water footprint is defined as the total volume of fresh water that used to
produce goods and services that consumed by the society in a nation. The aim of
this study is to estimate the water footprint of food consumed by people with

focus study in rural-urban consumption patterns of each provinces in Indonesia.
Water footpritnt consumption is calculated for the years 2010 and its projection in
2030 based on population and consumption pattern in rural-urban area.
Consumption patterns in this study are assumed stabble as consumption patterns
of 22 main foods in 2013. The average water footprint consumption per capita in
Indonesia is 447 m³/capita/year and it is higher in urban area (448 m³/capita/year)
than rural area (446 m³/capita/year). West Java has the highest water footprint
amongst all province of Indonesia. Water footprint national consumption of
Indonesian is 106 billion m³ in 2010 by population of 239 million. The 2030
projection show s the water footprint national consumption is 132 billion m³ with
population 296 million. Water footprint of national consumption for urban area
increase 36.8% (53 billion m³ to 84 billion m³), whereas the water footprint
national consumption of the rural area decrease 9.2% (53 billion m³ to 48 billion
m³). However, the amount of the water footprint national consumption fufilled
with water availability in drainage basin more than 1000 km² is 318 billion m³ in
2010.
Keywords: estimate, food consumption, rural, urban, water footprint.

ANALISIS TAPAK AIR SEJUMLAH BAHAN MAKANAN
MASYARAKAT MENURUT DESA-KOTA

PER PROVINSI DI INDONESIA

RISA PEBRIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Program Studi Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Judul Sklipsi: Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut
Desa-Kota per Provinsi di Indonesia.
Nama


: Risa Pebriana

NIM

: G24090021

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Hidayat Pawitan
Pembimbing Skripsi

Tanggal Lufus:

2 6 J AN 2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sifat Rahman dan Rahim-Nya sehingga skripsi ini
berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul Analisis Tapak Air Sejumlah Bahan Makanan Masyarakat Menurut DesaKota per Provinsi di Indonesia.
Banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih terutama kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Hidayat Pawitan selaku pembimbing yang sudah sangat
bersabar dalam membimbing, memberi arahan dan masukan.
2. Ibu Dr Tania June, MSc dan Bapak Dr Rahmat Hidayat yang telah
memotivasi dan membantu dalam segala proses penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Dr Bambang Dwi Dasanto, MSi dan Ibu Fithriya YR, MSi selaku
penguji.
4. Ayah, Ibu, Kakak dan Adik-adik atas segala motivasi, doa, dan kasih
sayangnya.
5. Pak Azis dan jajaran staf TU yang telah membantu secara administatif serta
doa dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Saudari-saudari RQ 1 IPB yang telah membersamai dalam setiap suka duka.
7. Gemilang 46, GFM 46, dan adik-adik GFM 47-48 atas support doa, semangat
dan kebersamaannya.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah membalas semua kebaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Januari 2016
Risa Pebriana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Pola Konsumsi dan Kesejahteraan Masyarakat

2

Air Maya Produk

2


Tapak Air

3

METODE

4

Alat dan Bahan

4

Prosedur Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

9


Deskripsi Data dan Kajian

9

Analisis Tapak Air Konsumsi
SIMPULAN DAN SARAN

12
18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA


18

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1 Nilai air maya pada setiap jenis bahan makanan
2 Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030

6
11

DAFTAR GAMBAR
1 Skema representasi komponen tapak air
2 Pola konsumsi penduduk Indonesia pada beberapa bahan makanan
penting (kg/kapita/tahun)
3 Tapak air konsumsi per kapita perkotaan dan pedesaan
4 Tapak air konsumsi provinsi daerah pedesaan 2010
5 Tapak air konsumsi provinsi daerah perkotaan 2010
6 Proyeksi tapak air provinsi daerah pedesaan 2030
7 Proyeksi tapak air provinsi daerah perkotaan 2030

3
9
12
14
14
16
16

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030
Persentase penduduk perkotaan dan pedesaan tahun 2010 dan 2030
Air maya pada beberapa jenis bahan makanan terpilih
Kuantitas konsumsi beberapa jenis bahan makananan siap olah per
provinsi tahun 2013
5 Tapak air konsumsi per provinsi antara desa dan kota tahun 2010 dan
proyeksi tahun 2030 (liter/tahun)
6 Tapak air konsumsi per kapita tahun 2013

21
22
23
24
36
41

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia namun keberadaannya
sangatlah terbatas. Sebagaimana diketahui, bahwa keberadaan air dibumi sebesar
97% dan hanya 2.5% berupa air tawar. Disamping itu, air yang dapat diakses
untuk kegiatan konsumsi kurang dari 1% dari air tawar tersebut (Sosrodarsono
2006). Ketersediaan air yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah penduduk
yang terus bertambah. Artinya, pertambahan penduduk akan meningkatkan
permintaan air dan semakin lama air akan menjadi langka. Terbatasnya
ketersediaan air mengakibatkan banyak negara yang harus mengkaji ulang
kebijakan pengelolaan airnya dan menemukan penyebab sekaligus solusi untuk
masalah ini.
Saat ini telah hadir sebuah konsep yang dapat membantu dalam
mengevaluasi penggunaan air yaitu water footprint. Pertama kali konsep ini
diperkenalkan oleh Hoekstra (2003). Water footprint (tapak air) dapat
dipergunakan untuk menghitung jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi
barang/jasa yang dikonsumsi oleh seseorang, sektor atau negara (Hoekstra et al.
2011). Tapak air erat kaitannya dengan air maya yang merupakan representasi
dari jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu produk. Banyak negara
yang telah menggunakan konsep ini untuk menghitung besarnya tapak air dalam
ranah konsumsi (Ercin dan Hoekstra 2014, Hoekstra dan Chapagain 2007b).
Menurut Hoekstra dan Chapagain (2007a) penggunaan sumber daya air pada
akhirnya berhubungan erat dengan konsumsi. Hal ini kemudian menjadikan pola
konsumsi sebagai salah satu faktor yang perlu dianalisis (Bulsink et al. 2010, Liu
dan Savenije 2008).
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan 34
provinsi membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing provinsi
memiliki jumlah penduduk dan pola konsumsi yang berbeda. Perbedaan pola
konsumsi juga dapat dilihat berdasarkan desa-kota yang tentunya dipengaruhi oleh
perbedaan budaya dan kondisi setempat. Oleh karena itu, perlu diketahui tapak air
konsumsi masyarakat Indonesia hingga desa-kota.
Hoestra et al. (2011) menyebutkan tapak air konsumsi memiliki dua dimensi
yaitu tapak air langsung dan tapak air tidak langsung. Tapak air langsung
merupakan tapak air yang merepresentasikan konsumsi air secara langsung,
sedangkan tapak air tidak langsung merupakan representasi dari konsumsi air
secara tidak langsung melalui produk-produk yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil
penelitian Bulsink et al. (2010) diketahui bahwa tapak air pada konsumsi
komoditas pertanian sebesar 3099 liter/kapita/hari yang berarti air yang
dibutuhkan untuk konsumsi komoditas pertanian dalam setahun sebanyak 1131
m³/kapita/tahun atau 1.1 juta liter/kapita/tahun. Tapak air tidak langsung tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan tapak air langsung yang digunakan untuk
minum, mencuci, mandi dan sebagainya. Sebesar 120 liter/kapita/hari atau
sebanyak 44 ribu liter/kapita/tahun air dikonsumsi di daerah perkotaan.
Sedangkan di daerah pedesaan sebesar 60 liter/kapita/hari atau 22 ribu
liter/kapita/tahun air dikonsumsi secara langsung (BSN 2002).

2

Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini diestimasi tapak air pada pola
konsumsi masyarakat Indonesia dengan cakupan desa-kota setiap provinsi. Hal ini
dimaksudkan agar kebutuhan air tidak langsung dapat dianalisis pada skala
konsumsi yang mungkin dapat berpengaruh terhadap ketersediaan air yang ada.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari studi ini adalah mengestimasi tapak air sejumlah bahan
makanan yang dikonsumsi masyarakat dengan fokus penelitian berupa pola
konsumsi setiap provinsi di Indonesia menurut desa-kota.

TINJAUAN PUSTAKA
Pola Konsumsi dan Kesejahteraan
Menurut BPS (2014) pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu
indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang
pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan
terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran
kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran
yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga
tersebut berpenghasilan rendah. Makin tinggi penghasilan rumah tangga, maka
makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran
rumah tangga. Pola konsumsi makanan penduduk merupakan salah satu indikator
sosial ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat.
Masyarakat yang tinggal di pegunungan lebih banyak mengkonsumsi sayuran,
sedangkan masyarakat yang tinggal di pantai umumnya mengkonsumsi ikan. Pola
konsumsi makanan dapat dikaitkan dengan kondisi kesehatan dan gizi
masyarakat, namun untuk penyajian data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) hanya berkaitan dengan pola makanan berupa kuantitas dari masingmasing jenis makanan yang dikonsumsi.
Air Maya Produk
Air maya (virtual water) yang terkandung dalam suatu produk didefinisikan
sebagai total volume air tawar yang digunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk menghasilkan produk (Allan 1998). Kandungan air maya dari
suatu produk (komoditas, barang atau jasa) merupakan volume air tawar yang
digunakan untuk memproduksi produk, diukur dari tempat di mana produk
tersebut diproduksi secara aktual (lokasi tempat produksi) dan berkaitan dengan
“mata rantai” produksi (Hoekstra 2003, Renault 2002).
Kandungan air maya suatu produk dapat pula didefinisikan sebagai
“kandungan volume air yang digunakan untuk memproduksi suatu produk pada
lokasi dimana produk tersebut dikonsumsi”. Renault (2002) merekomendasikan
untuk menggunakan definisi lokasi tempat produksi dan menyebutkannya secara
eksplisit jika definisi lokasi tempat konsumsi digunakan. Sifat “maya”
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa semua penggunaan air untuk produksi

3

suatu produk tidak terkandung di produk itu sendiri. Kandungan air pada kondisi
nyata dari produk tersebut umumnya dapat diabaikan.
Tapak Air
Tapak air didefinisikan sebagai total volume air tawar yang digunakan untuk
memproduksi barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat pada suatu
negara (Hoekstra et al. 2011).Hoekstra (2003) menyebutkan tapak air sebagai alat
yang dapat menunjukkan dampak kegiatan manusia terhadap sumber daya alam.
Selanjutnya, Hoekstra et al. (2011) menerangkan bahwa penilaian tapak air terdiri
dari beberapa kegiatan, yaitu:
1. Mengukur dan menemukan tapak air dari proses, produk, produsen atau
konsumen di wilayah geografis tertentu.
2. Menilai kelestarian lingkungan, sosial dan ekonomi melalui tapak air ini.
3. Merumuskan strategi untuk merespon hal tersebut.
Hoekstra et al. (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa konsep ini berkaitan
erat dengan konsep air maya sebagai penyumbang pemberian sumber daya alam
pada konteks volume air yang dibutuhkan untuk konsumsi manusia (Hoekstra et
al. 2009). Hoekstra dan Chapagain (2008) mengistilahkan tapak air sebagai
kandungan air virtual atau air eksogen atau air maya yang terkandung dalam suatu
produk. Sementara Liu dan Savenije (2008) mengatakan tapak air pada kategori
produk yang spesifik, tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi jenis produk
tersebut tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air maya dari produk. Tapak air
pada produk pertanian umumnya diekspresikan dalam satuan m³/ton atau liter/kg.

Gambar 1 Skema representasi komponen tapak air (Hoekstra et al. 2011)
Hoekstra et al. (2011) membagi tapak air menjadi tiga komponen yaitu
green water footprint (tapak air hijau), blue water footprint (tapak air biru), dan
grey water footprint (tapak air abu-abu) yang direpresentasikan pada skema
Gambar 1. Berikut ini penjelasan skema tersebut.

4

1.
2.
3.

Aliran balik (return flow) tidak termasuk komponen air biru.
Penggunaan air secara langsung tidak hanya pada komponen air biru, tetapi
juga mencakup air hijau dan abu-abu.
Tapak air tidak terbatas pada penggunaan air secara langsung, tetapi juga
mencakup penggunaan air tidak langsung.

(Flanchman et al. 2012) menjelaskan proses tapak air hijau tergantung pada
curah hujan efektif dan evapotranspirasi dari tanaman, sedangkan tapak air biru
tambahan dipengaruhi irigasi. Tapak air biru didefinisikan sebagai air irigasi dari
air tanah dan air permukaan. Menurut konsep ini, definisi tapak air biru adalah air
hujan yang merembes ke air tanah, atau curah hujan yang mengalir dari tanah ke
sungai dan laut. Tapak air abu-abu merupakan volume air yang tercemar selama
proses produksi. Hal ini dapat dikuantifikasikan dengan menghitung jumlah air
yang dibutuhkan untuk mengencerkan polutan yang kembali ke sistem air alamiah
Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya pada sumber
daya alam tanah dan energi, beberapa penelitian tentang air telah dilakukan
berkaitan dengan hubungan ketersediaan sumber daya terhadap pola konsumsi.
Selain itu kajian mengenai dampak pola makan terhadap kebutuhan air telah
banyak dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan yang mengkaji dampak
pola makan terhadap kebutuhan air. Zimmer dan Renault (2003) mengemukakan
bahwa manusia membutuhkan air setidaknya 1000 liter/kapita/hari pada pola
makan dalam standar bertahan hidup. Sementara pada konsumsi produk hewani,
setidaknya dibutuhnya air sebanyak 10.000 liter air/kapita/hari.
Liu dan Savenije (2008) menganalisis kebutuhan air berdasarkan tapak air
pada pola makanan di Cina. Pola makanan pada penelitian tersebut dibagi
menajdi 3 tingkatan yaitu tingkat dasar, tingkat substansi dan tingkat budaya.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan air per kapita untuk makanan
di Cina mengalami peningkatan dari 255 m³ kapita/tahun pada tahun 1961
menjadi 860 m³ kapita/tahun pada tahun 2030, terutama karena peningkatan
konsumsi produk hewani dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun terus
meningkat, kebutuhan air pada per kapita melalui konsumsi makanan di China
masih jauh lebih rendah dibandingkan negara maju dengan prediksi pada tahun
2030 untuk makanan sebesar 1127 km3/tahun. Mekonnen dan Hoekstra (2011)
menunjukkan bahwa semakin banyak penduduk suatu negara, semakin besar pula
tapak airnya. Sebagai contoh, China memiliki tapak air konsumsi tertinggi yaitu
sebesar 1368 juta m³/tahun, kemudian India dan Uni Soviet sebesar 1145 juta
m³/tahun dan 821 juta m³/tahun. Negara dengan tapak air terkecil yaitu UK
dengan tapak air sebesar 1258 m³/tahun. Hal ini disebabkan jumlah penduduk
China lebih banyak dibandingkan India dan Uni Soviet.

METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu seperangkat personal
computer dan software ArcGis 10 yang digunakan untuk memetakan hasil.
Sedangkan bahan dan data yang digunakan terinci sebagai berikut:

5

1. Data survei ekonomi nasional (Susenas) (BPS 2013b).
2. Data sensus penduduk tahun 2010 yang terdiri dari jumlah penduduk tahun
2010 dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata per provinsi untuk 34 provinsi
(BPS 2015a).
3. Data proyeksi persentase penduduk di perkotaan tahun 2010 dan 2030 untuk
34 provinsi (BPS 2015b).
4. Data air maya tanaman dan produk tanaman berupa nilai air maya hijau, biru,
dan abu-abu untuk setiap tanaman atau produk bahan makanan yang berasal
dari tanaman (Mekonnen dan Hoekstra 2010a).
5. Data air maya hewan dan produk hewan berupa nilai air maya hijau, biru, dan
abu-abu untuk setiap jenis hewan/produk yang berasal dari hewan (Mekonnen
dan Hoekstra 2010a).
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan antara lain: Studi pustaka,
pengumpulan data sekunder konsumsi penduduk Indonesia, analisis data pola
konsumsi, proyeksi jumlah penduduk tahun 2030, estimasi tapak air konsumsi per
kapita dan estimasi tapak air nasional. Berikut merupakan penjelasan dari
masing-masing tahapan.
Analisis Data Konsumsi
Jenis data yang digunakan dalam penelitian merupakan hasil survei yang
dilakukan oleh BPS yaitu data Susenas. Data yang dianalisis adalah data volume
konsumsi sebulan tahun pada bulan maret tahun 2013 dengan sampel sebanyak
75.000 rumah tangga. Data tersebut tersaji ke dalam jangkauan nasional dan
provinsi yang dibedakan antara perkotaan dan pedesaan. Kuantitas konsumsi
tersebut berupa bahan makanan penting yang dimasak/disiapkan rumah tangga,
bukan makanan siap saji. Data bahan makanan ini berjumlah sebanyak 25 jenis.
Namun, pada penelitian ini hanya diambil sebanyak 22 jenis bahan makanan
karena menyesuaikan dengan ketersediaan data air maya dari bahan makanan
tersebut (Tabel 1). Pada data kuantitas konsumsi, asumsi nilai dianggap sama
untuk 2010 dan proyeksi tahun 2030 disebabkan ketersediaan data kuantitas
konsumsi bahan makanan pokok per provinsi yang belum ditemukan untuk tahun
sebelum tahun 2013.
Proyeksi Jumlah Penduduk
Data jumlah penduduk yang digunakan adalah data proyeksi jumlah
penduduk tahun 2010 hingga 2030. Data tersebut merupakan data hasil sensus
penduduk dan proyeksi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang
terdiri dari data jumlah dan proyeksi jumlah penduduk per provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data konsumsi, terdapat skala konsumsi yang dibedakan hingga desakota. Maka dari itu dibutuhkan data jumlah penduduk hingga skala desa-kota per
provinsi. Perhitungan jumlah penduduk desa-kota per provinsi menggunakan data
persentase penduduk kota yang juga berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS
2015b). Perhitungan penduduk desa diperoleh dari hasil pengurangan persentase
penduduk kota.

6

Analisis Air Maya pada Bahan Makanan
Air maya dari produk makanan berasal dari dua sumber yaitu sumber
tanaman dan hewan. Air maya yang berasal dari tanaman dihitung mulai dari
menghitung evapotranspirasi, presipitasi, infiltrasi, irigasi hingga air pollutan. Air
maya produk makanan yang berasal dari hewan, untuk menghitung dimulai dari
kebutuhan minum, kandang, pakan yang dimakan dan seterusnya. Sehingga untuk
mengasilkan sebuah produk makanan akan membutuhkan berliter-liter air.
Metode yang digunakan Mekonnen dan Hoekstra (2010a, 2010b) merujuk pada
metode yang digunakan oleh Chapagain dan Hoekstra (2004) untuk menghitung
air maya tanaman dan hewan serta metodologi yang digunakan oleh FAO Allen et
al. (1998) yang lebih detail menjelaskan metodologi kebutuhan air pada tanaman.
Tabel 1 Nilai air maya pada setiap jenis bahan makanan
Nilai Air Maya (liter/kg)
Jenis Bahan Makanan
Hijau
Biru Abu-abu Total
Beras lokal/ketan*
2149
263
261 2673
Jagung basah dengan kulit*
1368
36
327 1731
Jagung pocelan/pipilan*
1471
38
352 1861
Ketela pohon*
420
28
448
Ketela rambat*
564
17
37
618
Gaplek*
420
28
448
Bawang merah*
176
44
51
271
Bawang putih*
1421
27
189 1637
Cabe merah*
1003
13
207 1223
Cabe rawit*
1003
13
207 1223
Kacang kedelai*
3938
210
82 4230
Tahu*
4632
247
97 4976
Tempe*
6908
369
144 7421
Minyak
4067
16 4083
kelapa/jagung/lainnya*
Kelapa*
1161
5 1166
Gula pasir*
166
48
12
226
Daging sapi/kerbau**
14414
550
451 15415
Daging ayam
3545
313
467 4325
ras/kampung**
Telur ayam ras/kampung **
2592
244
429 3265
Telur itik/manila/asin **
2592
244
429 3265
Susu kental manis**
3622
157
145 3924
Susu bubuk bayi**
9054
393
362 9809
Keterangan : * Mekonnen dan Hoekstra 2010a, ** Mekonnen dan Hoekstra 2010b
Nilai air maya yang digunakan pada penelitian ini diambil dari hasil
penelitian Mekonnen dan Hoekstra (2010a, 2010b) yang telah menghitung ratarata air maya selama 10 tahun mulai tahun 1996-2005 pada setiap negara.
Konversi air maya untuk tahun-tahun berikutnya menggunakan nilai yang sama

7

karena pada penelitian ini diasumsikan bahwa data kuantitas konsumsi dan nilai
air maya beberapa jenis bahan makananan adalah tetap. Berikut ini adalah nilai
air maya yang digunakan (tabel 1)
Estimasi Tapak Air Konsumsi
Tapak air konsumsi merupakan jumlah air yang digunakan untuk
memproduksi barang atau jasa yang dikonsumsi oleh seseorang, sektor atau
negara. Secara sederhana tapak air konsumsi merupakan air yang secara tidak
langsug dikonsumsi manusia melalui makanannya. Estimasi tapak air konsumsi
diawali dengan mengetahui nilai air maya per kelompok bahan makanan yang
didapat dari hasil penelitian Mekonnen dan Hoekstra (2010a) yang kemudian
dikalikan dengan kuantitas konsumsi produk tersebut. Adapun rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut (Hoekstra 2011):

Keterangan :
= Tapak air konsumsi produk (liter/kg/tahun)


= Kuantitas konsumsi produk (kg/tahun)
= Air maya yang terkandung dalam produk yang dikonsumsi (liter/kg)

Objek estimasi tapak air konsumsi tergantung pada sasaran konsumen.
Estimasi tapak air pada penelitian ini terbagi menjadi tiga sasaran kajian yaitu
tapak air konsumsi per kapita, tapak air konsumsi penduduk per provinsi menurut
desa-kota dan tapak air nasional menurut desa-kota.

1. Tapak air konsumsi per Kapita
Tapak air konsumsi per kapita pada penelitian ini dibagi menjadi tapak air
konsumsi per kapita untuk desa dan tapak air konsumsi per kapita untuk kota.
Estimasi tapak air desa-kota tergantung pada pola konsumsi di dua daerah
tersebut. Data pola konsumsi yang digunakan berasal dari data BPS (2013b). Pola
konsumsi berdasarkan data ini kemudian diasumsikan tetap sehingga dapat
digunakan untuk tahun 2010 dan 2030.
2. Tapak Air Konsumsi Provinsi
Tapak air konsumsi per provinsi dibedakan antara desa-kota. Estimasi tapak
air berhubungan dengan jumlah penduduk setiap provinsi. Perhitungan jumlah
penduduk desa kota didapat jika tapak air per kapita telah diketahui maka dapat
diakumulasi berdasarkan jumlah penduduk. Maka tapak air disetiap provinsi
dihitung dengan rumus sebagai berikut:



8

Keterangan :



= Tapak air pada konsumsi produk dalam skala provinsi (liter)
= Tapak air pada konsumsi produk per kapita di provinsi (liter/kg)
= Kuantitas konsumsi nasional produk (kg/tahun)

Nilai tapak air konsumsi tergantung pada kuantitas dan pola konsumsi
bahan makanan per kapita yang dikonsumsi oleh penduduk di provinsi tersebut.
Pola konsumsi yang berbeda menunjukkan bahwa pola konsumsi dipengaruhi
oleh faktor budaya dan lingkungan setempat. Secara tidak langsung, hal ini dapat
menggambarkan kondisi tapak air setiap provinsi dapat dipengaruhi oleh budaya
dan lingkungan setempat. Namun, kajian ini lebih difokuskan untuk melihat
seberapa besar tapak air meningkat dengan semakin bertambahnya penduduk.
Oleh karena itu, estimasi tapak air dihitung untuk tahun 2010 dan 2030 setiap
provinsi yang terbagi atas desa-kota dengan asumsi pola konsumsi di tahun 2010
dan 2030 dianggap tetap dengan data yang digunakan adalah pola konsumsi tahun
2013. Jumlah penduduk provinsi didapat dari BPS (2015b) untuk tahun 2010 dan
proyeksi 2030 yang diketahui persentase penduduk perkotaan, sehingga jumlah
penduduk desa-kota dapat dihitung.

3. Tapak Air Konsumsi Nasional
Estimasi tapak air nasional merupakan akumulasi total tapak air per provinsi
atau total tapak air konsumsi per kapita. Dapat dirumuskan sebagai berikut.

Keterangan :




= Tapak air konsumsi produk dalam skala nasional (kg/tahun)
= Tapak air pada konsumsi produk per kapita nasional (liter/kg)
= Kuantitas konsumsi produk dalam skala nasional (kg/tahun)

Estimasi tapak air konsumsi dilakukan untuk menunjukkan nilai kebutuhan
air secara tidak langsung di Indonesia. Kemudian perbedaan tapak air desa-kota
tersebut dianalisis. Perbedaan tapak air pada desa-kota diindikasikan oleh pola
konsumsi antar desa-kota yang berbeda. Menurut BPS (2014) pola konsumsi
merupakan salah satu faktor yang menunjukan kondisi ekonomi suatu daerah
dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat.
Tapak air dihitung untuk tahun 2010 dan 2030. Sementara tapak air
konsumsi nasional dapat diestimasi juga berdasarkan jumlah penduduk pada tahun
tersebut. Jumlah penduduk didapat dari data proyeksi BPS (2015c) untuk tahun
2010 dan 2030. Jumlah penduduk dan pola konsumsi menurut Ecin dan Hoektstra
(2014) menjadi salah satu faktor tingginya permintaan air (demand water).

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
DESKRIPSI DATA DAN KAJIAN
Pola dan Jenis Konsumsi
Pola konsumsi makanan penduduk merupakan salah satu indikator sosial
ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Artinya
pola konsumsi dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui
proporsi pengeluaran pangan atau non pangan. Semakin tinggi proporsi
pengeluaran pangan maka kesejateraan akan semakin rendah atau rentan Secara
umum, BPS (2013a) mencatat proporsi pengeluaran masyarakat untuk makanan di
Indonesia sebesar 50.66% dengan proporsi di desa 59.19% dan di kota 40.81%.
Kondisi masyarakat Indonesia sebagai negara agraris secara otomatis
menempatkan beras sebagai makanan utama sehingga kuantitas konsumsinya
akan lebih tinggi dibandingkan makanan lain (Gambar 2).

Gambar 2 Pola konsumsi penduduk Indonesia pada beberapa bahan makanan penting
(kg/kapita/tahun)

Provinsi dengan kuantitas beras tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat
dengan volume konsumsi sebesar 115 kg/kapita/tahun (Lampiran 4). Angka
konsumsi beras teredah adalah Papua dengan volume konsumsi 42
kg/kapita/tahun. Akan tetapi provinsi Papua memiliki volume konsumsi tertinggi
pada ketela rambat sebesar 128 kg/kapita/tahun. Provinsi Nusa Tenggara Timur
memiliki volume konsumsi tertinggi pada bahan makanan jagung basah (7
kg/kapita/tahun) dan jagung pipilan (20 kg/kapita/tahun). Provinsi Kepulauan riau

10

memiliki volume konsumsi tertinggi di beberapa bahan makanan yaitu daging
sapi/kerbau (1,3 kg/kapita/tahun), daging ayam (11 kg/kapita/tahun), telur (16
kg/kapita/tahun), susu kental manis (3 kg/kapita/tahun), susu bubuk (7
kg/kapita/tahun), dan gula pasir (15 kg/kapita/tahun). Provinsi Maluku memiliki
volume konsumsi tertinggi pada bahan makanan ketela pohon (23
kg/kapita/tahun) dan gaplek (0,5 kg/kapita/tahun). Provinsi Sumatera Barat
memiliki volume konsumsi tertinggi pada bahan makan bawang merah (4
kg/kapita/tahun), cabe merah (7 kg/kapita/tahun), dan kelapa (42 kg/kapita/tahun).
beberapa komoditas lain seperti tahu, dikonsumsi tertinggi di Jawa Timur (13
kg/kapita/tahun), tempe di Yogyakarta (12 kg/kapita/tahun), minyak kelapa di
Jambi (11 kg/kapita/tahun).
Kuantitas konsumsi makanan khususnya makanan pokok yang berasal dari
tumbuhan (nabati) lebih tinggi di Desa. Sebaliknya, kuantitas makanan yang
bersumber dari hewan (hewani) rendah. Umumnya penduduk pedesaan dengan
mata pencaharian sebagian besar sebagai petani lebih mudah mengakses bahan
makanan nabati sehingga secara kuantitas konsumsi bahan makanan nabati di desa
lebih tinggi. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat
kesejahteraan masyarakat desa lebih rendah daripada kota.
Pola konsumsi akan berubah seiring dengan adanya perubahan pendapatan
rumah tangga. Berdasarkan selera, menurut Hukum Engel menyatakan dengan
asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk
pangan akan semakin kecil seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan.
Mengikuti Hukum ini, proyeksi pola konsumsi di tahun 2030 diasumsikan sama
dengan pola konsumsi di tahun 2013 dengan faktor perubahan pendapatan
diabaikan.
Laju dan Pertumbuhan Penduduk Indonesia
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 238 juta jiwa.
Pertumbuhan penduduk diproyeksi akan menigkat sebesar 29.5% menjadi 296
juta jiwa. Tahun 2010 pulau Jawa memiliki penduduk sekitar 238.5 juta jiwa.
Pada tahun ini jumlah penduduk terbanyak terdapat di provinsi Jawa Barat dengan
jumlah penduduk sebanyak 43.2 juta jiwa. Proyeksi penduduk Pulau Jawa di
tahun 2030 meningkat sebesar 16.3% menjadi 163.8 juta jiwa. Pulau Sumatera
menduduki peringkat jumlah penduduk terbesar kedua. Pada tahun 2010 jumlah
penduduk Pulau Sumatera sebanyak 50.9 juta jiwa. Kemudian di tahun 2030
jumlah penduduk Pulau Sumatera diproyeksi meningkat sebesar 22.9% menjadi
65.9 juta jiwa. Provinsi dengan penduduk yang terbanyak di pulau Sumatera
adalah Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sebanyak 13 juta jiwa dan
diproyeksi akan meningkat di tahun 2030 menjadi 15.8 juta jiwa. Kemudian
penduduk paling sedikit di Pulau ini yaitu provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dengan jumlah penduduk sebanyak 1.2 juta jiwa pada tahun 2010 dan diproyeksi
meningkat sebanyak 1.8 juta jiwa pada tahun 2030.
Daerah Bali dan Kep. Nusa Tenggara diproyeksi akan mengalami
peningkatan jumlah penduduk sebesar 21.6% dari jumlah penduduk sebanyak
13.1 juta jiwa menjadi 16.8 jiwa di tahun 2030. Jumlah penduduk di Pulau
Kalimantan diproyeksi akan meningkat pada tahun 2030 sebesar 28.1% dengan
jumlah penduduk sebanyak 19.3 juta jiwa. Pulau Sulawesi diproyeksi akan
mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 20.6% dari jumlah penduduk

11

sebelumnya 13.9 juta jiwa menjadi 19.3 juta jiwa. Pulau Maluku diproyeksi akan
mengalami peningkatan penduduk sebesar 28.3% dari total penduduk di tahun
2010 sebanyak 2.6 juta jiwa menjadi 3.6 juta jiwa. Pulau Papua akan mengalami
peningkatan jumlah penduduk di tahun 2030 sebanyak 5.1 juta jiwa. Pertambahan
penduduk ini meningkat sebesar 29.5% dari tahun 2010 dengan jumlah penduduk
sebesar 3.6 juta jiwa.
Tabel 2 Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan proyeksi tahun 2030
Provinsi
Pulau Sumatera
Pulau Jawa
Bali dan Kep. Nusa Tenggara
Pulau Kalimantan
Pulau Sulawesi
Kep. Maluku
Pulau Papua
INDONESIA
Sumber: data diolah dari bps.go.id

Tahun
2010

2030

50860300
137033300
131
29700
13850900
17437100
2585200
3622300
238518800

65938300
163754800
16751400
19264000
21953500
3603600
5139500
296405100

Laju pertumbuhan penduduk akan memberikan efek secara langsung yaitu
demand konsumsi makanan meningkat dan efek tidak langsung yaitu terhadap
pemukiman dan tapak air. Bertambahnya pemukiman secara otomatis akan
mengubah lahan menjadi tempat tinggal. Sedikitnya lahan akan mengurangi
produktivitas sehingga ketersediaan bahan makanan dari hasil pertanian akan
sedikit. Tapak air yang notabene-nya merupakan interpretasi kebutuhan air dari
konsumsi sebuah produk/makanan akan meningkat seiring pertambahan
penduduk. Sumber daya air jika tidak dikelola dengan baik tidak akan mencukupi
kebutuhan air masyarakat. Akhirnya hal ini perlu menjadi evaluasi bagi
pemerintah untuk mengantisipasi krisis makanan dan air.
Air Maya
Masing-masing jenis bahan makanan pada penelitian ini telah dihitung
kandungan air maya oleh Mekonnen dan Hoekstra (2010a, 2010b). Tabel 1
menunjukkan bahwa kandungan air maya pada produk nabati dan hewani
memiliki perbedaan nilai yang cukup tinggi. Kandungan air maya pada produk
nabati tertinggi terdapat pada produk makanan yang berasal dari kedelai yaitu
berupa tempe sebanyak 10% (7421 liter/kg). Kemudian berikutnya terdapat pada
tahu sebanyak 7% (4976 liter/kg) dan kedelai 6% (4230 liter/kg). Padi yang
menjadi komoditas utama di Indonesia memiliki kandungan air maya sebanyak
4% (2673 liter/kg). Pada produk hewani kandungan air maya memberikan
kontribusi sebesar 56% dari total ke 22 jenis bahan makanan tersebut.
Kandungan air maya terbanyak terdapat pada daging sapi/kerbau yaitu
sebanyak 21% (15415 liter/kg) kemudian terdapat pada susu bubuk sebanyak
9054 13% (liter/kg). Umumnya, bahan makanan hewani memiliki nilai air maya
yang lebih besar. Menurut Hoekstra dan Chapagain (2007b) hal ini disebabkan

12

supply chain air maya pada produk hewani berasal dari alur yang lebih panjang.
Air maya produk hewani berawal dari air maya konsumsi pakan (tanaman).
Kemudian ditambah air minum dan jasa pelayanan air sepanjang hidup hewan
tersebut. Air maya pada bahan makanan nabati (tanaman) dihitung berdasarkan
kebutuhan air tanaman (KAT) terhdadap produktifitas. Namun demikian,
kandungan air maya bagi berbagai produk sangat bervariasi dari tempat ke tempat,
tergantung pada cuaca, teknologi yang digunakan untuk memproduksi pertanian
dan besaran masing-masing produksinya.
ANALISIS TAPAK AIR KONSUMSI
Tapak air konsumsi per kapita
Tapak air konsumsi per kapita merupakan akumulasi dari banyaknya air
maya terhadap kuantitas dan jenis bahan makanan yang di konsumsi. Sebanyak
22 jenis bahan makanan dihitung berdasarkan air maya untuk 34 provinsi di
Indonesia menurut desa-kota. Gambar 3 menunjukkan rata-rata tapak air pada
konsumsi produk makanan yang digolongkan berdasarkan asal produknya yaitu
berasal dari tumbuhan (nabati) dan hewan (hewani).

Gambar 3 Tapak air konsumsi per kapita perkotaan dan pedesaan tahun 2013
Rata-rata tapak air konsumsi masyarakat per kapita di Indonesia adalah
sebesar 447 ribu liter/kapita/tahun yang terinci sebagai berikut. Sebesar 372 ribu
liter/kapita/tahun untuk makan nabati dengan rata-rata untuk pedesaan dan
perkotaan sebesar 390 liter/kapita/tahun dan 352 ribu liter/kapita/tahun. Rata-rata
tapak air konsumsi bahan makanan hewani masyarakat Indonesia adalah sebesar
76 ribu liter/kapita/tahun dengan rata-rata di pedesaan dan perkotaan sebesar 270

13

ribu liter/kapita/tahun dan 95 ribu liter/kapita/tahun. Prediksi tapak air konsumsi
per kapita untuk tahun 2010 dan tahun 2030 menggunakan data tahun 2013. Hal
ini disebabkan data tidak tersedia secara lengkap, sehingga diasumsikan pola
konsumsi untuk tahun 2010 dan 2030 tidak jauh berbeda dengan pola konsumsi
tahun 2013. Secara umum, tapak air konsumsi per kapita untuk 22 jenis bahan
makanan terpilih di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan.
Daerah pedesaan umumnya memiliki tapak air pada konsumsi bahan
makanan nabati yang lebih tinggi kecuali di Jawa dan Papua. Tapak air konsumsi
bahan makanan perkapita di pedesaan tertinggi terdapat di wilayah Bali dan Nusa
tenggara sebesar 399 ribu liter/kapita/setahun. Tapak air terendah terdapat di
wilayah Papua sebesar 269 ribu liter/kapita/tahun. Tapak air di daerah pedesaan
untuk bahan makanan hewani tertinggi terdapat di Kalimantan (83 ribu
liter/kapita/tahun) dan terendah terdapat di Maluku (29 ribu liter/kapita/tahun).
Perbedaan nilai tapak air pada bahan makanan di desa dan kota disebabkan
oleh perbedaan pola konsumsi. Masyarakat kota memiliki tapak air konsumsi
pada bahan makanan nabati yang lebih rendah sedangkan tapak air bahan
makanan hewani lebih tinggi. Kondisi ini dapat dikarenakan masyarakat pedesaan
lebih dominan mengkonsumsi bahan makanan nabati dibandingkan bahan
makanan hewani.
Adanya perbedaan tapak air ini salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan
pola konsumsi yang mencerminkan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan (BPS
2014). Kondisi ekonomi masyarakat pedesaan yang umumnya lebih rendah
dibandingkan perkotaan pun dapat menjadi penyebab adanya perbedaan nilai
tapak air bahan makanan. Akibatnya daya beli atau pengeluaran untuk konsumsi
makanan pokok masyarakat pedesaan cenderung pada bahan makanan nabati.
Sedangkan masyarakat perkotaan cenderung memiliki pengeluaran pada bahan
makanan hewani yang lebih besar sehingga kuantitas konsumsinya pun lebih
banyak (BPS 2013b). Berdasarkan besar kecilnya tapak air konsumsi per kapita
tergantung pada jenis dan kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi. Contohnya,
daging memiliki nilai air maya paling besar, namun karena kuantitas konsumsinya
sedikit sehingga tapak air per kapita pada daging kecil. Berbeda dengan beras
misalnya yang merupakan bahan makanan pokok penduduk Indonesia. Meskipun
nilai air maya kecil, dengan kuantitas konsumsi yang besar makan nilai tapak air
per kapita akan besar pula.
Tapak air konsumsi provinsi
Nilai tapak air konsumsi setiap provinsi tergantung pada pola konsumsi dan
jumlah penduduk. Tapak air provinsi dihitung pada tahun 2010 dan proyeksi
tahun 2030 dengan asumsi pola konsumsi tetap, mengikuti data pola konsumsi
2013 (BPS 2013b). Kemudian tapak air konsumsi penduduk per provinsi
sebanding dengan jumlah penduduk di tiap provinsi tersebut.
Gambar 4 menunjukkan tapak air konsumsi penduduk per provinsi. Tapak
air konsumsi masyarakat pedesaan paling tinggi pada tahun 2010 adalah Jawa
Timur (9.1 milyar m³/tahun). Diketahui bahwa jumlah penduduk Jawa Timur
terbesar setelah Jawa Barat namun persentase penduduk desa jauh lebih tinggi
yaitu sebesar 52.4 % dari total penduduk 43 juta jiwa. Tapak air penduduk desa
terendah yaitu Kep. Riau (1.3 milyar m³/tahun) dengan persentase penduduk desa

14

hanya 17.2% dari total penduduknya yang tercatat sebesar 1.6 juta jiwa.
Disamping itu, tapak air konsumsi penduduk perkotaan tahun 2010 tertinggi
terdapat di Jawa Barat sebesar 12.4 milyar m³/tahun (Gambar 5) dengan
persentase penduduk kota sebesar 65.7%. Tapak air konsumsi penduduk terendah
di perkotaan terdapat di Kep. Riau sebesar 68 milyar m³/tahun dan persentase
penduduk kota sebesar 82.8%. Secara umum, Jawa Barat memiliki prosi tapak air

Gambar 4 Tapak air provinsi daerah pedesaan tahun 2010

Gambar 5 Tapak air provinsi daerah perkotaan tahun 2010

15

tertinggi sebesar 17.7% berbeda tipis dengan jawa Timur sebesar 17.5%. Hal ini
dominan dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Lebin lengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 1 dan 2.
Proporsi penduduk perkotaan di tahun 2010 mayoritas lebih dari 50%
jumlah penduduk masing-masing provinsi. Tentunya jumlah penduduk tidak
menjadi satu-satunya faktor. Namun hal ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor
lain yaitu kuantitas konsumsi dan jenis konsumsi. Semakin banyak jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi, semakin besar pula tapak air konsumsi. Begitupun
dengan jenis konsumsi. Beberapa jenis bahan makanan memiliki kebutuhan air
(air maya) yang tinggi. Jika dikonsumsi semakin banyak, maka akan
meningkatkan tapak air konsumsi suatu daerah (Hoekstra dan Chapagain 2007).
Secara umum, tapak air konsumsi di Indonesia akan meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan proyeksi
BPS, pada tahun 2030 beberapa provinsi terjadi peningkatan jumlah penduduk
hingga lebih dari 20% (Lampiran 1). Berdasarkan Gambar 6 dan 7, diproyeksi
terjadi peningkatan tapak air konsumsi di seluruh provinsi pada tahun 2030. Jika
dibedakan antara desa-kota, terdapat beberapa penurunan nilai tapak air konsumsi
penduduk desa di tahun 2030. Beberapa desa tersebut terdapat di provinsi
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan
Sulawesi Selatan dengan penurunan dari tahun 2010 masing-masing sebesar
30.9%, 30.6%, 11.5%, 32,3%, 22%, 32%, 11.1%, 18.7%, 22% dan 7.6%, 46.7%.
Sebaliknya, tapak air konsumsi penduduk perkotaan secara keseluruhan
meningkat. Hal ini sebanding dengan proyeksi peningkatan penduduk di kota
pada tahun 2030.
Persentase peningkatan tapak air konsumsi di perkotaan tertinggi yaitu
provinsi Kep. Riau (94%), sedangkan persentase peningkatan tapak air terendah
yaitu provinsi DKI Jakarta (20.5%). Kemudian persentase peningkatan tapak air
konsumsi penduduk pedesaan tertinggi yaitu Kep. Riau (93.2%), persentase
peningkatan terendah yaitu Kalimantan Barat (3.69%). Lebih lengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 5.
Proyeksi penduduk di tahun 2030 mengalami pertumbuhan yang cukup
signifikan. Semua provinsi mengalami peningkatan kuantitas penduduk kota,
yang berakibat menurunnya jumlah penduduk di desa (BPS 2015b). Hal ini dapat
terjadi disebabkan adanya migrasi peduduk desa ke kota. Namun, beberapa
provinsi masih memiliki proporsi penduduk desa dengan angka lebih dari 50%.
Diantaranya adalah provinsi Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
Maluku, dan Papua (Lampiran 2).
Perbedaan tapak air konsumsi di desa dan kota selain disebabkan oleh
jumlah penduduk, jenis dan volume konsumsi juga dapat disebabkan oleh faktor
lain secara tidak langsung. Menurut hasil survei BPS (2014), pendapatan dan mata
pencaharian masyarakat akan mempengaruhi jenis dan volume konsumsi. Pada
kondisi ini, mata pencaharian di desa didominasi petani, sedangkan di kota
didominasi penduduk dengan mata pencaharian yang memiliki pendapatan lebih
tinggi. Hal ini yang kemudian memberikan pengaruh terhadap daya dan budaya
konsumsi masyarakat desa yang akan lebih dominan mengonsumsi bahan
makanan yang berasal dari nabati dibandingkan hewani.

16

Gambar 6 Proyeksi tapak air konsumsi daerah pedesaan tahun 2030

Gambar 7 Proyeksi tapak air konsumsi daerah perkotaan tahun 2030

17

Tapak Air Konsumsi Nasional
Tapak air konsumsi nasional secara umum akan mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Diketahui bahwa pada tahun
2010 tercatat jumlah penduduk Indonesia sebesar 239 juta jiwa (BPS 2015). Jika
diperhitungkan, tapak air konsumsi nasional penduduk Indonesia pada tahun
tersebut sebesar 106 milyar m³ dengan asumsi pola konsumsi tetap menggunakan
pola konsumsi tahun 2013. Proyeksi tapak air konsumsi nasional pada tahun 2030,
dengan jumlah penduduk 296 juta jiwa adalah sebesar 132 milyar m³ dengan
persentase peningkatan sebesar 19.5%. Peningkatan tapak air konsumsi nasional
untuk penduduk perkotaan sebesar 36.8% (53 milyar m³ menjadi 84 milyar m³),
sedangkan pada tapak air konsumsi nasional penduduk pedesaan mengalami
penurunan sebesar 9.2% (53 milyar m³ menjadi 48 milyar m³). Hal ini disebabkan
karena diproyeksi akan terjadi penurunan jumlah penduduk desa pada provinsi
tersebut. Sebaliknya, jumlah penduduk diproyeksi diproyeksi bertambah akibat
kemungkinan adanya migrasi desa-kota.
Berdasarkan data BPS (2015a) di tahun 2010 pasokan air tersedia pada
beberapa sungai yang pengalirannya lebih dari 1000 km³ sebanyak 318 milyar m³.
Jika dibandingkan dengan total tapak air konsumsi, volume air ini masih
mencukupi untuk memenuhi tapak air konsumsi masyarakat di tahun 2010 dan
tahun 2030. Namun, meskipun pasokan air masih tersedia, masih tetap diperlukan
upaya penghematan air. Hal ini disebabkan pada penelitian ini terbatas pada
konsumsi 22 jenis bahan makanan saja, belum termasuk konsumsi air secara
langsung dan konsumsi air pada sektor lain.
Sejauh ini total tapak air pada konsumsi 22 jenis yang dibahas pada
penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh antara pola konsumsi (dengan
asumsi pola konsumsi menggunakan pola tahun 2013) dan pertumbuhan
penduduk terhadap kebutuhan air baik di level kota-desa, provinsi maupun
nasional. Total tapak air umumnya dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu
volume konsumsi, pola konsumsi, kondisi iklim, dan efisiensi penggunaan air
pada kegiatan pertanian (Hoekstra dan Chapagain 2007). Menurut Ercin dan
Hoekstra (2014) faktor yang mempengaruhi total tapak air yaitu pertumbuhan
penduduk, perubahan produksi dan perdagangan produk pertanian serta
pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian hanya dibahas faktor pertumbuhan
penduduk dan volume konsumsi memiliki pengaruh dominan untuk menentukan
total tapak air sehingga faktor-faktor lainnya tidak dibahas secara detail.
Pengetahuan tentang tapak air di Indonesia dapat digunakan oleh pihakpihak yang terkait untuk menentukan kebijakan pengelolaan dan efisiensi air.
Perhitungan tapak air konsumsi menunjukkan kebutuhan air secara tidak langsung
yang bersumber dari proses produksi. Beberapa penelitian menyebutkan untuk
mengurangi tapak air harus dimulai dari mulai proses produksi asal produk
tersebut. Seperti produk-produk tanaman, perlu diperhatikan dalam hal teknologi
pertania. Dibutuhkan invovasi-inovasi yang dapat menghemat keterlibatan air
dalam produksi sehingga nilai tapak air. Serupa dengan produk tanaman, tapak air
produk hewani dapat direduksi diawal proses. Selain itu dapat pula dengan
mengimpor produk-produk tertentu. Hal ini akan membantu mengurangi nilai
tapak air konsumsi internal negara (Hoekstra dan Hung 2002).

18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Estimasi tapak air pada konsumsi 22 jenis bahan makanan dilakukan
terhadap 34 provinsi di Indonesia menurut desa-kota. Berdasarkan hasil estimasi
tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata tapak air konsumsi masyarakat per
kapita di Indonesia adalah sebesar 447 ribu liter/kapita/tahun dengan asumsi pola
konsumsi dianggap tetap, menggunakan pola konsumsi yang tercatat di BPS pada
tahun 2013. Tapak air konsumsi per kapita di perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan pedesaan dengan nilai 448 ribu liter/kapita/hari dan 446 ribu
liter/kapita/hari. Adanya perbedaan tapak air konsumsi per kapita disebabkan
karena kuantitas konsumsi. Konsumsi di daerah pedesaan lebih tinggi pada bahan
makanan nabati sedangkan konsumsi di perkotaan tinggi di bahan makanan
hewani.
Diketahui bahwa pada tahun 2010 tercatat jumlah penduduk Indonesia
sebesar 239 juta jiwa. Tapak air konsumsi nasional penduduk Indonesia pada
tahun tersebut sebesar 106 milyar m³ dengan asumsi pola konsumsi tetap
menggunakan pola konsumsi tahun 2013. Proyeksi tapak air konsumsi nasional
pada tahun 2030, dengan jumlah penduduk 296 juta jiwa adalah sebesar 132
milyar m³ dengan persentase peningkatan sebesar 19.5%. Peningkatan tapak air
konsumsi nasional untuk penduduk perkotaan sebesar 36.8% (53 milyar m³
menjadi 84 milyar m³), sedangkan pada tapak air konsumsi nasional penduduk
pedesaan mengalami penurunan sebesar 9.2% (53 milyar m³ menjadi 48 milyar
m³). Sejauh ini, besarnya tapak air konsumsi nasional masih dapat ditutupi
dengan ketersediaan air pada sungai yang pengalirannya lebih dari 1000 km m³
mencapai 318 milyar meter kubik pada tahun 2010. Namun, upaya penghematan
air tetap harus dilakukan mengingat kajian dalam penelitian ini terbatas pada 22
jenis bahan makanan pokok saja.
Saran
Perhitungan tapak air pada penelitian ini hanya terbatas konsumsi pangan
pokok manusia. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai berdasarkan
estimasi tapak air pada produksi bahan makanan tersebut agar dapat dilakukan
penilaian terhadap surplus/defisit air di suatu tempat.

DAFTAR PUSTAKA
Allan JA.1998. Virtual water: a strategic resource. Global solutions to regional
deficits. Groundwater. 36(4):545-546.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013a. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk
Indonesia, Maret 2013. Katalog BPS:3201004.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013b. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk
Indonesia per Provinsi, Maret 2013. Katalog BPS: 3201005.

19

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014a. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2014.
Katalog BPS : 4102004.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015a. Rata-rata Harian Aliran Sungai, Tinggi
Aliran, dan Volume Air di Beberapa Sun