The Role of Males Common Carp (Cyprinus carpio L.) to Stimulate Spawning of Java Carp (Barbonymus gonionotus B.) using Cangkringan Method

PERAN IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) JANTAN
DALAM MERANGSANG PEMIJAHAN IKAN TAWES
(Barbonymus gonionotus B.) DENGAN METODE CANGKRINGAN

LYSA SIMANJUNTAK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
*
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Ikan Mas
(Cyprinus carpio L.) Jantan dalam Merangsang Pemijahan Ikan Tawes
(Barbonymus gonionotus B.) dengan Metode Cangkringan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Lysa Simanjuntak
NIM 100071

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

RINGKASAN
LYSA SIMANJUNTAK. Peran Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Jantan dalam
Merangsang Pemijahan Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus B.) dengan Metode
Cangkringan. Dibimbing oleh MUHAMMAD ZAIRIN Jr, MIA SETIAWATI,
dan RUDHY GUSTIANO.
Salah satu cara mempercepat pemijahan ikan adalah dengan merangsang
ikan melalui sistem imbas atau yang lebih dikenal dengan metode Cangkringan.
Metode ini merupakan metode alami yang efektif dan aman karena selama

penanganan induk tidak terjadi stres sehingga resiko mortalitas kecil, dan induk
ikan mas dapat digunakan sebagai perangsang untuk beberapa kali pemijahan
(Zairin et al. 2005). Sistem imbas dikembangkan oleh Balai Benih Ikan Sentral
(BBIS) Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada awal tahun
1970-an. Metode ini dilakukan dengan menggunakan ikan mas yang dipijahkan
dalam wadah yang sama dengan induk ikan tawes yang relatif sulit dipijahkan
walaupun telah matang gonad. Hasilnya ketika ikan mas memijah, ikan tawes juga
ikut memijah. Imbas diduga disebabkan oleh adanya semacam feromon yang
dilepas oleh ikan mas (Zairin 2003).
Perilaku pemijahan ikan diindikasikan dipengaruhi oleh feromon (sinyal
kimia yang dikeluarkan oleh ikan sejenis) (Stacey dan Sorensen 2005).
Penggunaan feromon dalam budidaya ikan memiliki nilai praktis yang sangat
tinggi karena dapat diterapkan tanpa langsung menangani ikan sehingga
mengurangi stres serta merangsang proses endogenous normal sehingga
mengurangi kegagalan pemijahan dan pembuahan. Cara ini hanya bekerja pada
induk yang benar-benar matang gonad. Pemijahan yang dirangsang dengan
feromon sangat potensial untuk dikembangkan pada ikan pemijah massal (mass
spawner) (Zairin 2003). Cara ini perlu dikembangkan untuk menemukan sumber
feromon yang dapat dijadikan perangsang pada pemijahan ikan. Namun sampai
saat ini belum diketahui peran ikan mas jantan dalam merangsang pemijahan ikan

tawes dengan metode Cangkringan. Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu
dilakukan penelitian mengenai peran ikan mas jantan dalam merangsang
pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan.
Rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan satu faktor dalam
RAL yang terdiri lima perlakuan dengan tiga kali ulangan. Setiap pasang induk
ikan tawes ditempatkan sewadah dengan tiga ekor ikan mas (baik disuntik
maupun tidak disuntik ovaprim) sebagai pengimbas dengan komposisi A sebagai
kontrol negatif (♂♂♀ tidak disuntik), B sebagai kontrol positif (♂♂♀ disuntik), C
(♂♂ disuntik ♀ tidak disuntik), D (♂♂♂ disuntik), dan E (♂♂♂ tidak disuntik).
Semua data yang didapatkan dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang bertindak sebagai pengimbas pada
pemijahan ikan dengan metode Cangkringan ini adalah ikan mas karena ikan
tawes hanya akan memijah jika ada ikan mas yang memijah. Pada penelitian ini
ikan tawes tidak memijah mendahului ikan mas. Pengaruh pemijahan ikan tawes
dapat disebabkan baik oleh pasangan ikan mas heteroseks (♂♂♀) yang berovulasi
maupun pasangan monoseks jantan
♂♂♂)( ya
ng mengalami spermiasi.
Pencapaian interval waktu imbas tercepat ditunjukkan oleh perlakuan D yaitu 3
jam 15 menit dan C yaitu 4 jam 17 menit. Derajat pemijahan ikan tawes tertinggi


diperoleh pada perlakuan B dan D kemudian perlakuan A, C dan E masingmasing sebesar 66,7%, 66,7%, 33,3%, 33,3% dan 0%.
Hasil analisis hormon testosteron dan estradiol menunjukkan bahwa
konsentrasi testosteron pada ikan mas jantan dan estradiol pada ikan mas betina
pada akhir pemijahan sangat menentukan status pemijahan ikan tawes.
Konsentrasi testosteron 1,08-6,53 ng mL-1 dapat memberikan pengaruh pemijahan
pada ikan tawes (perlakuan B3, C3, D3, A2, B1, dan D1). Konsentrasi testosteron
yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng mL-1: perlakuan A1 pada ikan mas betina)
atau terlalu tinggi (10,42-15,46 ng mL-1 pada ikan mas jantan: perlakuan A1, E1,
E2, dan E3) tidak memberikan pengaruh pemijahan pada ikan tawes. Terjadinya
pemijahan ikan tawes pada keenam perlakuan di atas juga didukung oleh
rendahnya konsentrasi estradiol yaitu berkisar antara 0,23-0,72 ng mL-1
(Perlakuan B3, C3, A2, dan B1).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa spermiasi pada ikan mas
jantan yang disuntik ovaprim dapat memberikan pengaruh imbas pada pemijahan
ikan tawes. Namun, pengaruh imbas tersebut akan semakin kuat jika juga terdapat
ikan mas betina sebagai pengimbas.
Kata kunci: Estradiol, ikan mas jantan, metode Cangkringan, spermiasi, tawes,
testosteron


SUMMARY
LYSA SIMANJUNTAK. The Role of Males Common Carp (Cyprinus carpio L.)
to Stimulate Spawning of Java Carp (Barbonymus gonionotus B.) using
Cangkringan Method. Under guidance of MUHAMMAD ZAIRIN Jr, MIA
SETIAWATI, and RUDHY GUSTIANO.
A method to induce spawning in fish is a stimulation through other
spawning fish which known as the Cangkringan method. This method is still a
natural spawning that effective and safe for reducing stress, lowering mortality
risk, and using common carp as inducer for spawning of Java carp (Zairin et al.
2005). The inducing system was developed by BBIS Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta in the early 1970's. This method is performed by using common carp
spawning in the same tank with the java carp which is relatively difficult to be
spawned. The results showed that Java carp will spawn following spawning of
common carp. Pheromone released by common carp was suspected as a
responsibile factor for java carp to spawn (Zairin 2003).
The spawning behavior indicated the influenced of pheromones (chemical
signals released by a type of fish) (Stacey and Sorensen 2005). The use of
pheromones in fish breeding is very practical value because it can be applied
without directly handling the fish, it reduce stress and stimulate normal
endogenous processes that reduce spawning and fertilization failure. This

condition only works on the parent good maturation. The spawning stimulated by
pheromones is very potential to be developed in mass spawner fish (Zairin 2003).
Therefore it should be developed to find the source of pheromones that can be
used as an inducer on fish spawning. Nowadays, the role of male common carp in
stimulating the java carp spawning by Cangkringan method is yet not understood.
Based on the above problems it is necessary to study the role of male carp to
stimulate Java carp spawning with Cangkringan method.
The experimental design used RAL design consisting of five treatments
with three replications. Each pair of Java carp parent were placed in the same tank
with three common carp (either injected or not injected with ovaprim) as inducer
with composition ♂♂♀ not injected (A), ♂♂♀ injected (B), ♂♂ injected ♀ not
injected (C), ♂♂♂ injected (D), ♂♂♂ not injected (E). The results o f this study
showed that the inducer on fish spawning by Cangkringan Method is the common
carp because the Java carp will spawned only after common carp spawn. In this
study, the Java carp did not spawn before the common carp. The Java carp
spawning was done to either by a heterosexual common carp (♂♂♀) or monosex
(♂♂♂) spermiation. The resutls showed that the fastest spawning of java carp due
to stimulation from common carp occurred in D treatment (3 hours 15 minutes)
and C treatment (4 hours 17 minutes). Java carp spawnning were obtained 66.7 %
for B (K +) treatment, 66.7 % for D, 33.3% for A, 33.3% for C and 0% for E

treatment, respectively.
Results of hormones analysis showed that the concentration of testosterone
in males and estradiol in female common carp after spawing enable to determine
spawning status of Java carp. Concentrations of 1.08 to 6.53 ng mL-1 testosterone
enable to triger Java carp spawn naturally or to be stripped (treatment B3, C3, D3,

A2, B1, and D1). Mean while, too low concentrations (less than 1 ng mL-1) in
female as or too high (more than 10.42 ng mL-1 ) in male common carp (treatment
A1, E1, E2, and E3) could not give any influences to the Java carp spawn. The
occurrence of java carp spawn was also supported by the low concentration of
estradiol ranged from 0.23-0.72 ng mL-1 (treatment B3, C3, A2, and B1).
The overall results of this study showed that the spermiation of male
common carp that were injected with ovaprim, could induce the java carp to
spawn. The effect of induction will will be stronger if the female common carp
exist.
Keywords: Estradiol, male goldfish, Cangkringan methods, spermiasi, tawes,
testosterone

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERAN IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) JANTAN
DALAM MERANGSANG PEMIJAHAN IKAN TAWES
(Barbonymus gonionotus B.) DENGAN METODE CANGKRINGAN

Lysa Simanjuntak

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi: Dr Ir Widanarni, MSi

Judul Tesis : Peran Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Jantan dalam Merangsang
Pemijahan Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus B.) dengan
Metode Cangkringan
Nama

: Lysa Simanjuntak

NIM

: C151100071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir Muhammad Zairin Jr, MSc
Ketua

Dr Ir Mia Setiawati, MSi
Anggota

Dr Ir Rudhy Gustiano, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Enang Harris, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal ujian: 29 Januari 2013

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah Peran Ikan Mas
(Cyprinus carpio L.) Jantan dalam Merangsang Pemijahan Ikan Tawes
(Barbonymus gonionotus B.) dengan Metode Cangkringan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir
Muhammad Zairin Jr, MSc, Dr Ir Mia Setiawati, MSi, dan Dr Ir Rudhy Gustiano,
MSc selaku pembimbing, atas kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan
nasehat, arahan dan dorongan mulai dari penulisan proposal, selama pelaksanaan
penelitian berlangsung hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih
pula penulis sampaikan kepada Dr Ir Widanarni, MSi dan Dr Dinamella
Wahjuningrum yang telah banyak memberi saran.
Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta,
ayah Ir Hazairin Simanjuntak, MSi dan ibu Nuryalis atas limpahan kasih sayang
yang tulus, do’a yang tak putus-putusnya, pengorbanan serta dukungan moril
maupun materi yang diberikan kepada penulis. Kepada kakak dan adik-adik
penulis, Hery, SS; Nova Rizki, SSos; Lina Saktriana, SE; Lenni, CSPd; Putri
Riski Ananda serta seluruh keluarga besar di Padangsidempuan dan Lubuk Jambi,
atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Penghargaan dan terima kasih kepada para dosen dalam lingkup
Departemen Budidaya Perairan dan Ilmu Akuakultur IPB atas ilmu yang penulis
dapatkan selama ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada mitra selama
penelitian Lita Masitha, SPi MSi atas dukungan dan kebersamaannya yang tak
terlupakan, teman-teman seperjuangan AKU 2010 atas semangat kebersamaan
dalam tiap-tiap episode manis selama menempuh pendidikan bersama. Di
samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada para peneliti dan teknisi dari
Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar Cijeruk atas bantuan
selama proses penelitian.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman di Wisma Melati,
teman-teman pengurus HIMMPAS IPB 2011-2012, teman-teman pengurus Forum
Wacana IPB 2011-2012 atas dukungan dan semangatnya. Terimakasih juga tak
lupa penulis sampaikan kepada para ustadz dan ustadzah pembina Rumah AlQur’an IPB serta teman-teman RQ IPB atas kebersamaan, do’a dan dukungannya.
Terkhusus untuk tim uji petik, Ulan, Tiwi, Pipit, Nia, Ria dan Izza terima kasih
untuk corat-coretnya. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tak dapat
dituliskan satu persatu, semoga Allah subhanahu wa ta’ala berkenan membalas
setiap kebaikan itu dengan balasan yang lebih baik. Aamiin.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Lysa Simanjuntak

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1.

2.

3.

4.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus B.)
Vitelogenesis dan Proses Pematangan Oosit Tingkat Akhir
Sistem Cangkringan
Feromon

2
3
4
4
5

BAHAN DAN METODE
Materi Uji dan Rancangan Penelitian
Metode Penelitian
Persiapan Induk
Persiapan Wadah
Pemberokan Induk
Pengambilan Contoh Telur
Pengambilan Sampel Darah
Penyuntikan Induk
Pemijahan dengan Sistem Imbas
Parameter Penelitian
Tingkat Kematangan Gonad
Tingkah Laku Pemijahan Ikan
Diameter Telur
Waktu Ovulasi Ikan Mas (WOM)
Beda Waktu Mijah Antara Ikan Mas dan Ikan Tawes (WOT)
Derajat Pemijahan (DP) Ikan Tawes
Jumlah Telur yang Diovulasikan (TO) pada Ikan Tawes
Derajat Pembuahan (FR) pada Ikan Tawes
Daya Tetas Telur (HR)
Konsentrasi Hormon Testosteron dan Estradiol pada Ikan Mas
Parameter Kulitas Air
Analisis Data

6
6
6
6
7
7
8
8
9
9
9
9
10
10
10
10
10
10
11
11
11
11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kematangan Gonad
Diameter Telur
Posisi Inti Telur
Tingkah Laku Pemijahan
Efek Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes

11
11
12
13
15

5.

Fekunditas, Derajat Pembuahan (FR), Derajat Penetasan Telur (HR)
Profil Hormon Testosteron dan Estradiol Ikan Mas
Kualitas Air

17
18
20

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

20
20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1. Desain perlakuan pemijahan ikan mas dalam merangsang pemijahan ikan
tawes dengan metode Cangkringan
2. Ukuran diameter telur ikan mas (mm)
3. Ukuran diameter telur ikan tawes (mm)
4. Status pemijahan ikan, respons ikan tawes, waktu ovulasi ikan mas
(WOM), waktu ovulasi ikan (WOT) dan derajat pemijahan ikan tawes
5. Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR), derajat penetasan telur
(HR) pada ikan tawes yang memijah
6. Konsentrasi hormon testosteron dan estradiol ikan mas
7. Nilai parameter kualitas air selama penelitian

6
12
12
16
18
19
20

DAFTAR GAMBAR
1. Ikan mas (Cyprinus carpio L.)
2. Ikan tawes (Barbonymus gonionotus B.)
3. Wadah perlakuan yang digunakan selama penelitian; hapa sebagai
pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (panah)
4. Pengambilan contoh telur
5. Pengambilan sampel darah
6. Penyuntikan induk
7. Telur ikan mas dan ikan tawes. Panah hitam putus-putus telur dorman
(GV). Panah hitam inti telur mulai bergerak ke tepi (GVM)
8. Kakaban dipenuhi telur ikan mas
9. Ikan mas memakan telur-telur yang menempel pada hapa pembatas

2
3
7
8
8
9
13
14
14

DAFTAR LAMPIRAN
1. Desain pengacakan wadah
2. Data statistik diameter telur ikan mas dan ikan tawes pada setiap
perlakuan dan ulangan
3. Gambar telur ikan mas pada setiap perlakuan dan ulangan
4. Gambar telur ikan tawes pada setiap perlakuan dan ulangan
5. Waktu penyuntikan pertama dan kedua serta waktu pemijahan ikan mas
dan tawes pada setiap perlakuan dan ulangan
6. Data bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat
penetasan ikan tawes pada setiap perlakuan dan ulangan
7. Data mentah pengukuran hormon testosteron dan estradiol ikan mas pada
setiap perlakuan dan ulangan

26
27
30
31
32
34
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemijahan merupakan salah satu bagian dari reproduksi yang menentukan
keberlangsungan hidup suatu spesies ikan agar tetap ada. Faktor-faktor yang
merangsang pemijahan ikan terdiri dari faktor internal (kematangan gonad,
testosteron dan esrtadiol) dan faktor eksternal berupa faktor fisik (cahaya, suhu,
arus), faktor kimia (pH, DO, feromon) dan faktor biologis (adanya lawan jenis dan
predator). Berdasarkan tekniknya pemijahan ikan dapat dibagi menjadi pemijahan
ikan secara alami, semi buatan dan buatan.
Pemijahan alami adalah cara yang paling sederhana, namun tingkat
keberhasilannya mungkin rendah, karena sangat tergantung pada alam. Pemijahan
semi buatan yaitu menyuntik atau memasukkan hormon perangsang pada induk
betina. Selain mahal, telur yang dihasilkan melalui teknik ini tidak bagus. Hal ini
terjadi karena penyuntikan hormon dapat menyebabkan telur yang ada dalam
tubuh ikan dipaksa untuk keluar hingga terjadi pemijahan. Pemijahan buatan
sangat rumit karena harus melalui beberapa tahapan kerja, yaitu menyuntik induk
betina, mengambil sperma, membuat larutan sperma, mengurut telur dan
mencampurkan telur dengan sperma. Selain itu biaya yang diperlukan tidak
sedikit, terutama untuk menyediakan bahan-bahan dan peralatan.
Salah satu cara mempercepat pemijahan adalah dengan merangsang ikan
melalui sistem imbas atau yang lebih dikenal dengan metode Cangkringan.
Metode ini merupakan metode alami yang efektif dan aman karena selama
penanganan, induk tidak mengalami stres sehingga resiko mortalitas kecil, dan
induk ikan mas dapat digunakan sebagai perangsang untuk beberapa kali
pemijahan (Zairin et al. 2005). Sistem imbas dikembangkan oleh Balai Benih Ikan
Sentral (BBIS) Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada awal
tahun 1970-an. Metode ini dilakukan dengan menggunakan ikan mas yang
dipijahkan dalam wadah yang sama dengan induk ikan tawes yang relatif sulit
dipijahkan walaupun telah matang gonad. Hasilnya ketika ikan mas memijah, ikan
tawes juga ikut memijah. Imbas diduga disebabkan oleh adanya semacam
feromon yang dilepas oleh ikan mas (Zairin 2003).
Perilaku pemijahan ikan diindikasikan dipengaruhi oleh feromon, yaitu
sinyal kimia yang dikeluarkan oleh ikan sejenis (Stacey dan Sorensen 2005).
Penggunaan feromon dalam budidaya ikan memiliki nilai praktis yang sangat
tinggi karena dapat diterapkan tanpa langsung menangani ikan sehingga
mengurangi stres serta merangsang proses endogenous normal sehingga
mengurangi kegagalan pemijahan dan pembuahan. Cara ini hanya bekerja pada
induk yang benar-benar matang gonad. Pemijahan yang dirangsang dengan
feromon sangat potensial untuk dikembangkan pada ikan pemijah massal (mass
spawner) (Zairin 2003). Cara ini perlu dikembangkan dengan menemukan sumber
feromon yang dapat dijadikan perangsang pada pemijahan ikan. Namun sampai
saat ini belum diketahui peran ikan mas jantan dalam merangsang pemijahan ikan
tawes dengan metode Cangkringan. Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu
dilakukan penelitian mengen ai peran ikan mas jantan dalam merangsang
pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran ikan mas jantan dalam
merangsang pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi penelitian
feromon sebagai perangsang pemijahan ikan di Indonesia mendatang, sehingga
menjadi solusi alternatif bagi pemijahan secara alami.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
Menurut Saanin (1984) ikan mas (Gambar 1) dapat diklasifikasikan ke
dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Pisces, kelas Osteichtyes,
subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Cyprinoidea, family Cyprinidae,
genus Cyprinus, dan spesies Cyprinus carpio L. Menurut Hardjamulia (1979) ikan
mas memiliki ciri-ciri badan memanjang, sedikit pipih ke samping (compressed)
mulut dapat disembulkan dan terdapat diujung tengah (terminal), sungut dua
pasang. Selanjutnya Sumantadinata (1981) menjelaskan bahwa ikan mas memiliki
kepala yang relatif kecil dibandingkan dengan badan dan bentuknya agak
meruncing, badan tebal, punggung tinggi, sisik teratur rapih dan batang ekor lebar
dengan sirip terbuka.

Gambar 1 Ikan mas (Cyprinus carpio L.)
Ikan mas betina sudah dapat mulai dipijahkan setelah berumur satu setengah
sampai dua tahun, setelah mencapai berat sekitar 2 kg (Sumantadinata 1981).
Induk ikan mas yang sudah siap untuk dipijahkan dapat terlihat dari perutnya yang
membesar, pergerakannya yang lamban, serta lubang anus agak terbuka dan
memerah, perutnya lunak jika diraba. Sementara itu, ikan mas jantan yang sudah
siap untuk dipijahkan akan mengeluarkan cairan putih (sperma) apabila bagian
perut diurut ke arah anus. Periode waktu dari satu pemijahan ke pemijahan

3
berikutnya adalah sekitar satu sampai dua bulan. Menurut Cholik et al. (2005) di
Indonesia pemijahan ikan mas berlangsung sepanjang tahun. Rangsangan
pemijahan pada ikan mas dapat berupa rangsangan lingkungan dan rangsangan
suntikan hormon. Dalam persiapan pemijahan, perbandingan induk jantan dan
betina adalah 1:1 (kg/m2) tetapi jumlah jantan lebih banyak. Artinya untuk satu
ekor induk betina berbobot 2 kg/ekor maka jumlah induk jantan adalah 3 ekor
masing-masing dengan bobot 600-700 g/ekor (Mantau et al. 2004).
Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus B.)
Ikan tawes (Gambar 2) termasuk kedalam kelas Actinopterygii ordo
Cypriniformes, subordo Cyprinoidea, family Cyprinidae, genus Barbonymus dan
spesies Barbonymus gonionotus B. (Kottelat 1999). Menurut Cholik et al. (2005)
ikan tawes memiliki ciri-ciri bentuk tubuh memanjang dan pipih, punggungnya
melengkung. Ujung mulutnya meruncing dan dilengkapi dengan dua pasang
sungut, sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu sampai abu-abu
kekuning-kuningan. Sirip perut dan sirip anus agak berwarna oranye dengan
ujungnya berwarna merah, sirip dada agak pucat sampai agak kekuningan.
Ikan tawes betina sudah dapat mulai dipijahkan setelah berumur satu tahun
sedangkan induk ikan jantan pada umur 6-8 bulan (Cholik et al. 2005).
Ardiwinata (1981) menyatakan induk ikan tawes yang sudah matang gonad
biasanya berukuran antara 300-600 gram, sedangkan ukuran induk jantan yaitu
200-400 gram. Menurut Sumantadinata (1981) induk ikan tawes betina dapat
dipijahkan sekali dalam tiga sampai empat bulan, sedangkan ikan tawes jantan
dapat dipijahkan sekali dalam satu sampai dua bulan.

Gambar 2 Ikan tawes (Barbonymus gonionotus B.)
Di alam, ikan tawes memijah pada awal musim hujan, sedangkan di kolam
ikan tawes dapat dipijahkan sepanjang tahun dengan cara diberikan rangsangan
(induced breeding) hormon maupun perubahan lingkungan (Cholik et al. 2005).
Ikan matang telur pada umur ± 8 bulan dengan ukuran panjang 20 cm berat 175
gram dengan fekunditas berkisar antara 25.980-86.916 butir. Untuk rangsangan
suntikan hormon dapat digunakan ekstrak hipofisa maupun LHRH analog.
Rangsangan imbas memicu pemijahan ikan tawes dengan cara ikan tawes
mengikuti pemijahan jenis ikan lain misalnya ikan mas. Menurut Soedarman

4
(1983) pemijahan ikan tawes dengan cara imbas hasilnya lebih baik dibandingkan
dengan cara tradisional maupun hipofisasi.
Vitelogenesis dan Proses Pematangan Oosit Tingkat Akhir
Proses perkembangan gonad dan ovulasi pada ikan diatur oleh sistem
hormon (Randall 1995). Hormon estrogen, terutama estradiol 17β mempengaruhi
sintesis vitelogenin di hati (Nagahama et al. 1983; Randall 1995) dan hormon
gonadotropin berfungsi mempercepat proses kematangan akhir oosit dalam
persiapan ovulasi ataupun spermiasi (Lieberman 1995).
Perkembangan telur mencapai ovulasi (akhir pematangan) diatur oleh
hormon gonadotropin, yang dibentuk dan disimpan dalam kelenjar pituitari atau
hipofisa, seperti FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing
Hormone) kontinyu diproduksi dan dikeluarkan ke dalam aliran darah. Organ
target gonadotropin dan steroid adalah gonad (Degani dan Boker 1992 dalam
I’tishom 2008). Gonadotropin yang sudah dilepaskan akan mencapai gonad dan
merangsang proses praovulasi dan akhir ovulasi (Woynarovich dan Horvath
1980). Gonadotropin ada dua jenis yaitu FSH merangsang produksi testosteron
pada lapisan teka yang diaromatase oleh sel granulosa menjadi estradiol-17β
(Yaron 1995) untuk proses vitelogenesis. Gonadotropin lainnya merangsang
sintesis 17α, 20β-DHP oleh 20β-dihidroksisteroid dehidrogenase (20β-HSDH) di
dalam sel-sel granulosa (Yaron 1995). Steroid ini menyebabkan kematangan oosit
akhir (Yaron 1995; Kobayashi et al. 1996).
Sistem Cangkringan
Menurut Soedarman (1983), di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS)
Cangkringan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tetua ikan tawes tidak mau
memijah di dalam hapa bila tidak disuntik terlebih dahulu dengan ekstrak
hipofisa, meskipun kolam pemijahan telah dipersiapkan sesuai dengan keperluan
cara pemijahan tradisional. Secara kebetulan dicobalah memijahkan ikan tawes
bersama ikan mas dalam satu kolam pemijahan. Kemudian ditemukan bahwa ikan
tawes dapat memijah mengikuti pemijahan ikan mas.
Soedarman (1983) menamakan cara induksi ini sebagai sistem Cangkringan,
karena cara ini mulai dicoba dan ditemukan di BBIS Cangkringan DIY. Sejak itu
di BBIS Cangkringan, pemijahan ikan tawes dilakukan dengan cara induksi.
Dalam pelaksanaanya, pemijahan ikan mas yang juga berfungsi sebagai
perangsang pemijahan ikan tawes dapat dilakukan di dalam atau di luar hapa.
Dengan demikian pemijahan ikan tawes dengan sistem induksi dianggap lebih
murah dan lebih efektif dibandingkan cara hipofisasi.
Pada pemijahan secara induksi, diduga pada saat memijah ikan mas
mengeluarkan zat kimia. Umumnya pemijahan ikan tawes mengikuti pemijahan
ikan mas dengan selang waktu antara 10 menit sampai dengan 1 jam 45 menit
(Lestari 1998). Adanya rangsangan akan menyebabkan ikan tawes memijah secara
alami. Larva hasil pemijahan alami memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan
daya tahan larva hasil pemijahan secara pengurutan (Sumantadinata 1981).

5
Pemijahan ikan tawes secara imbas dianggap lebih murah dari teknik hipofisasi
karena ikan mas perangsang bisa dipakai lebih dari sekali (Zairin et al. 2005).
Feromon
Kittredge et al. (1971) telah memperkirakan 20 tahun sebelumnya bahwa
organisme perairan umumnya menggunakan senyawa hormonal sebagai feromon.
Feromon telah didefenisikan sebagai zat yang diekskresikan ke luar oleh suatu
individu (pengirim) dan diterima oleh individu kedua dari spesies yang sama,
dimana keduanya menyebabkan reaksi tertentu, misalnya perilaku tertentu atau
proses perkembangan (Karlson dan Luscher 1959 dalam Sorensen dan Stacey
2004). Perilaku pemijahan ikan diindikasikan dipengaruhi oleh feromon.
Berdasarkan fungsinya, feromon dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu isyarat
anti-predator, isyarat sosial, dan isyarat reproduksi. Masing-masing kategori
terdiri dari feromon yang dapat menimbulkan respons primer yaitu efek fisiologis
atau perubahan endokrinologis yang terjadi lebih lambat dan atau releaser
responses yaitu perubahan perilaku yang kuat (Sorensen dan Stacey 2004, Appelt
dan Sorensen 2007).
Semua tahap kehidupan ikan mas menggunakan bau feromon
multikomponen yang kompleks untuk mengidentifikasi kondisi seksual dalam
perilaku aktif ikan dari banyak spesies (Levesque et al. 2011). Feromon tidak
terbatas pada jenis kelamin tertentu dan spesies yang berbeda dapat memproduksi
dan melepaskan feromon yang sama, namun respon induksinya bervariasi
(Burnard et al. 2008).Feromon pada ikan dilepaskan bersamaan dengan urin
(Yambe et al. 2006). Selain merangsang, feromon yang dilepaskan akan
membantu penyeragaman aktivitas seksual yang maksimum, peningkatan
kemungkinan pembuahan dan waktu kematangan telur (Zairin et al. 2005).
Ikan mas koki betina (Carrasius auratus) yang berovulasi melepaskan
hormon seks steroid 17α,20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one (17α,20β-P) berfungsi
sebagai feromon seks praovulasi (Dulka et al. 1987). Saat ovulasi, ikan betina dari
berbagai spesies merilis F-Prostaglandin yang menarik ikan jantan sejenis. Pada
ikan mas, feromon ini diidentifikasi sebagai PGF2α dan metabolit tubuh lain yang
tidak teridentifikasi, disebut feromon kompleks (Lim dan Sorensen 2012). Zheng
et al. (1997) mengemukakan bahwa respon terhadap feromon 17α,20β-P
merupakan penentu utama kesuksesan reproduksi ikan mas koki jantan. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh feromon 17α,20β-P menyebabkan
peningkatan aktivitas pemijahan, volume dan cairan sperma, durasi motilitas
sperma dan proporsi sperma motil. Berbagai macam bahan kimia telah
diupayakan agar memiliki fungsi yang sama seperti feromon. Namun hanya
steroid gonad, prostaglandin, dan asam empedu yang diketahui dapat dideteksi
organ penciuman dan menimbulkan respons biologis (Sorensen dan Stacey 2004).

3. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember
2012, bertempat di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar

6
Cijeruk. Analisis hormon testosteron dan estradiol dilakukan di Laboratorium
Hormon Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Uji dan Rancangan Penelitian
Induk yang digunakan adalah induk ikan mas betina dengan bobot + 1,5
kg/ekor dan jantan + 0,5 kg/ekor, sedangkan induk ikan tawes dengan bobot
sekitar 0,5 kg/ekor.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan satu faktor dalam
RAL dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan (Tabel 1 dan Lampiran 1).
Tabel 1

Desain perlakuan pemijahan ikan mas dalam merangsang pemijahan
ikan tawes dalam metode Cangkringan

Perlakuan
A (K-)
B (K+)
C
D
E

Keterangan
Ikan mas (♂♂♀ tidak disuntik) & ikan tawes (♂♀)
Ikan mas (♂♂♀ disuntik) & ikan tawes (♂♀)
Ikan mas (♂♂ disuntik, ♀ tidak disuntik) & ikan tawes (♂♀)
Ikan mas (♂♂♂ disuntik) & ikan tawes (♂♀)
Ikan mas (♂♂♂ tidak disuntik) & ikan tawes (♂♀)
Metode Penelitian

Persiapan Induk
Induk ikan mas bersal dari Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air
Tawar Cijeruk Bogor sedangkan induk ikan tawes berasal dari petani ikan di Desa
Petir Kecamatan Darmaga Bogor. Induk telah siap digunakan sebagai organisme
uji ketika telah matang gonad. Induk ikan mas betina yang dapat dipijahkan
berumur 1,5-3 tahun sedangkan induk jantan berumur 6 bulan ke atas. Menurut
Zairin et al. (2005) kematangan gonad pada ikan mas betina ditandai dengan perut
yang membesar, gerakan lamban, lubang genital agak terbuka dan memerah. Pada
ikan tawes betina, kematangan gonad ditandai dengan perut yang membuncit pula
ke arah anus dan bila diraba terasa lunak. Tanda lain adalah terlihatnya pembuluh
darah pada sirip dada, sirip perut dan sirip ekor lebih jelas dari biasanya dan
berwarna kemerah-merahan. Kematangan induk jantan ditunjukkan oleh
keluarnya cairan putih dengan mudah jika perutnya diurut dari bagian perut ke
arah anus.
Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan berupa bak fiber berbentuk bulat dengan volume
2,25 ton sebanyak 15 unit yang masing-masing di dalamnya ditempatkan hapa
sebagai pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (Gambar 3). Kakaban
ditempatkan di permukaan air sebagai tempat penempelan telur ikan mas. Setelah
pemasangan hapa selesai, air dialirkan ke wadah pemijahan hingga tinggi air
dalam hapa kira-kira 75 cm dan diaerasi. Air yang digunakan adalah air yang telah
diendapkan di dalam tandon. Temperatur air berkisar antara 25-27 oC.
Pengamatan tingkah laku ikan sebelum, selama dan setelah pemijahan, dilakukan

7
dengan cara pada setiap wadah ditempatkan kamera perekam dengan jarak 50 cm
dari atas permukaan air.

Gambar 3 Wadah perlakuan yang digunakan selama penelitian; hapa sebagai
pemisah antara ikan mas dan ikan tawes (panah)
Pemberokan Induk
Induk ikan mas dan ikan tawes yang telah terpilih untuk dipijahkan, diberok
atau dipuasakan pada air yang mengalir secara terpisah antara jantan dan betina.
Fungsi pemberokan adalah menghilangkan stres pada saat ditangkap. Selain itu
pemberokan bertujuan untuk membuang kotoran, mengurangi kandungan lemak
dalam gonad dan menghindari perkawinan liar. Pemberokan ikan mas dilakukan
selama 2 hari dan ikan tawes selama 5 hari.
Pengambilan Contoh Telur
Pengambilan contoh telur dilakukan sebelum penyuntikan pertama dengan
metode kanulasi pada semua induk betina (Gambar 4). Contoh telur diambil
minimal sebanyak 30 butir per ekor ikan. Telur yang diperoleh ditempatkan dalam
larutan serra (alkohol 99% : formaldehida 40% : asam asetat 100% dengan
perbandingan 6:3:1) (Yueh dan Chang 2000; Zarski et al. 2011) untuk
meningkatkan transparansi dari sitoplasma. Telur diukur dan diamati
menggunakan mikroskop dengan pembesaran 40x10 yang dilengkapi dengan
mikrometer okuler untuk melihat diameter dan letak inti telur. Telur yang telah
matang dapat dilihat dari posisi inti telur yang tampak jelas berada di tengah (fase
dorman) atau sudah mulai bergerak ke tepi, GVM (Germinal Vesicle Migration).

8

Gambar 4 Pengambilan contoh telur
Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan hanya pada induk ikan mas untuk
analisis hormon testosteron dan estradiol. Sampel darah diambil sebelum
penyuntikan pertama dan sesudah induk ikan mas memijah. Ikan mas dianestesi
menggunakan 2-fenoxyethanol (0,3 mL/L air media). Kemudian ikan ditandai,
selanjutnya sampel darah diambil dari bagian vena caudal (ekor) sebanyak 1,5 mL
menggunakan syringe 3 mL yang telah dibilas dengan anti koagulan (Natrium
citrat hydrate 3,8%) (Gambar 5). Setelah itu darah disentrifugasi selama 15 menit
pada suhu 4 oC dengan kecepatan 3000 rpm. Plasma yang diperoleh diambil
menggunakan pipet mikro dan dipindahkan ke dalam tabung polietilen1,5 mL.
Plasma disimpan dalam freezer pada suhu -20 oC hingga dilakukan pengukuran
kadar hormon. Setelah pengambilan darah, ikan uji kemudian dimasukkan ke
dalam bak fiber untuk pemulihan selama 2 jam sebelum penyuntikan dilakukan.

Gambar 5 Pengambilan sample darah
Penyuntikan Induk
Sebelum disuntik, bobot tubuh ikan mas dan ikan tawes ditimbang terlebih
dahulu. Ikan mas disuntik dengan ovaprim secara intramuskular dengan dosis 0.6

9
ml/kg bobot tubuh untuk merangsang ovulasi (Gambar 6). Penyuntikan dilakukan
sebanyak dua kali untuk ikan mas betina (dosis 30:70) dengan interval
penyuntikan masing-masing 6 jam. Sedangkan penyuntikan pada ikan mas jantan
dilakukan satu kali bersamaan dengan penyuntikan kedua pada ikan betina. Pada
perlakuan A dan E tidak dilakukan penyuntikan.

Gambar 6 Penyuntikan induk
Pemijahan dengan Sistem Imbas
Sesaat setelah penyuntikan, induk-induk ikan kemudian dimasukkan
kedalam wadah penelitian. Padat penebaran pada masing-masing bak adalah 3
ekor ikan mas (jenis kelamin sesuai perlakuan) dan 2 ekor ikan tawes (1 jantan +
1 betina), di dalam wadah pemijahan antara ikan tawes dan ikan mas disekat
dengan hapa. Setiap selang waktu 3 jam dilakukan pengecekan telur terhadap
induk-induk betina yang mengalami ovulasi. Lama masa tunggu dalam pencatatan
waktu ovulasi ikan yaitu selama 36 jam setelah penyuntikan ke dua. Setelah 36
jam pengecekan ovulasi telur dilakukan dengan cara mengambil ikan
menggunakan serokan ikan kemudian diurut (stripping) menggunakan jari jempol
secara perlahan.
Parameter Penelitian
Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad pada induk ikan mas dan ikan tawes dapat
dilihat dari diameter dan posisi inti telurnya. Telur yang telah matang memiliki
ukuran diameter maksimum dan inti telur yang tampak jelas, lebih kecil dan
berada di tengah (fase dorman) atau sudah mulai bergerak ke tepi (germinal
vesicle migration, GVM) (Rotdmann et al. 1991; Yueh dan Chang 2000).
Tingkah Laku Pemijahan Ikan
Parameter yang diamati yaitu tingkah laku pemijahan ikan yang dibagi
menjadi tiga, yaitu tingkah laku pada fase pra-pemijahan, tingkah laku ikan pada
fase pemijahan dan tingkah laku ikan pada fase pasca-pemijahan. Tingkah laku
pemijahan diamati dengan menggunakan kamera perekam.

10
Diameter Telur
Penghitungan pengukuran diameter telur menggunakan rumus:
A = B/C x 0,01 mm
Keterangan: A = Ukuran sebenarnya dalam mm
B = Nilai yang didapat dari pengamatan mikrometer
C = Perbesaran lensa objektif dibagi 100
Waktu Ovulasi Ikan Mas (WOM)
Setelah penyuntikan kedua, dilakukan pencatatan terhadap lama waktu
masing-masing ikan uji tersebut mencapai ovulasi. Setiap selang waktu 3 jam
dilakukan pengecekan telur terhadap induk-induk betina yang mengalami ovulasi.
Lama masa tunggu dalam pencatatan waktu ovulasi ikan yaitu selama 36 jam
setelah penyuntikan ke dua.
Beda Waktu Mijah Antara Ikan Mas dan Ikan Tawes (WOT)
Waktu memijah spesies ikan yang berbeda adalah tidak sama. Untuk itu
perlu adanya pencatatan beda waktu mijah antara ikan mas dan ikan tawes agar
didapatkan berapa selisih waktu yang dibutuhkan masing-masing ikan tersebut
untuk memijah sehingga dapat diketahui ikan yang lebih dulu terangsang untuk
memijah apakah ikan mas atau ikan tawes.
Derajat Pemijahan (DP) pada Ikan Tawes
Derajat pemijahan ditentukan dari jumlah induk yang berovulasi dibagi
dengan jumlah induk yang dipijahkan dan dinyatakan dalam persen. Derajat
ovulasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah induk yang berovulasi
Derajat pemijahan
=
x 100 %
Jumlah induk yang dipijahkan
Jumlah Telur yang Diovulasikan (TO) pada Ikan Tawes
Jumlah telur yang diovulasikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
TO = (Bg/Bs) x N
Keterangan: TO
Bg
Bs
N

=
=
=
=

jumlah telur yang diovulasikan,
bobot gonad (g),
bobot sub sampel gonad (g),
jumlah telur dalam sub sampel gonad (butir).

Derajat Pembuahan (FR) pada Ikan Tawes
Setelah pembuahan terjadi dilakukan penghitungan derajat pembuahan.
Pengamatan derajat pembuahan ini dilakukan terhadap telur yang sudah
diinkubasi. Telur yang tampak jernih yolk-nya dan mulai berkembang dianggap
sebagai telur yang terbuahi. Sementara telur yang tampak yolk-nya putih buram
dan mulai pecah dianggap tidak terbuahi. Derajat pembuahan dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah telur yang dibuahi
Derajat pembuahan =
x 100 %
Jumlah telur yang dipijahkan

11
Daya Tetas Telur (HR) pada Ikan Tawes
Derajat penetasan ditentukan dari jumlah telur yang menetas dibagi dengan
total telur yang dibuahi dan dinyatakan dalam persen. Derajat penetasan dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah telur yang menetas
Derajat penetasan
=
x 100 %
Jumlah Telur yang dibuahi
Konsentrasi Hormon Testosterone dan Estradiol pada Ikan Mas
Analisis sampel darah dilakukan dengan menggunakan metode ELISA
(Enzyme-linked Immunosorbent Assay), untuk melihat kandungan hormon
testosteron dan estradiol yang terdapat dalam darah ikan sebelum dan sesudah
ikan memijah.
Parameter Kualitas Air
Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter
kualitas air sebagai data penunjang seperti kualitas air seperti suhu, DO, dan pH.
Analisis Data
Semua data yang didapatkan dalam penelitian ini dianalisis secara
deskriptif. Data disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kematangan Gonad
Dilihat secara visual berdasarkan hasil pengamatan diameter dan posisi inti
(germinal vesicle) telur pada penelitian ini menunjukkan bahwa induk-induk ikan
yang digunakan baik ikan mas maupun ikan tawes telah matang gonad.
Kematangan telur tersebut juga dapat dilihat dari penampilan telur yang bulat
seragam dan tidak menempel satu sama lain.
Diameter Telur
Keberhasilan metode Cangkringan yang ditandai dengan memijahnya ikan
tawes karena pengaruh pemijahan ikan mas sangat ditentukan oleh kematangan
telur ikan dari masing-masing induk. Rottmann et al. (1991) menyatakan diameter
telur, penampilan telur serta posisi inti telur adalah indikator visual perkembangan
telur. Berdasarkan hasil pengamatan, diameter telur pada ikan mas berkisar 0,91,5 mm (Tabel 2 dan Lampiran 2). Hardjamulia (1979) menyebutkan bahwa
diameter telur ikan mas dari 4 strain yang ditemukan di Indonesia sangat
bervariasi dari yang paling kecil yakni strain Sinyonya 0,1 mm dan yang terbesar
strain Majalaya 0,9-1,6 mm. Sementara itu hasil pengamatan diameter telur pada
ikan tawes menunjukkan ukuran diameter telur rata-rata 0,7 mm (Tabel 3).

12
Tabel 2 Ukuran diameter telur ikan mas (mm)
Induk ke
1
2
3

Perlakuan
B
1,3 ± 0,09
1,1 ± 0,18
1,4 ± 0,11

A
1,3 ± 0,07
1,3 ± 0,09
1,3 ± 0,08

C
1,4 ± 0,08
1,3 ± 0,16
1,4 ± 0,08

Tabel 3 Ukuran diameter telur ikan tawes (mm)
Induk
ke
1
2
3

A
0,7 ± 0,03
0,7 ± 0,04
0,7 ± 0,04

B
0,7 ± 0,04
0,7 ± 0,05
0,7 ± 0,04

Perlakuan
C
0,7 ± 0,04
0,7 ± 0,05
0,7 ± 0,04

D
0,7 ± 0,04
0,7 ± 0,04
0,7 ± 0,04

E
0,7 ± 0,03
0,7 ± 0,04
0,7 ± 0,04

Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah
kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung
sampai selesai. Semakin tinggi tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada
dalam gonad akan menjadi semakin besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al.
(1974) bahwa kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan
diameter rata-rata telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya.
Menurut Effendie (2002) ukuran diameter telur ikan dipengaruhi oleh umur,
lingkungan, genetik, nutrisi dan siklus reproduksi.
Posisi Inti Telur
Kucharczyk et al. (2008) menuliskan posisi inti oosit (penandan
pematangan oosit) dapat ditentukan dengan menggunakan skala empat tahap
yaitu: Tahap (1) posisi inti di tengah, tahap (2) migrasi awal inti, kurang dari
setengah dari jari-jari, tahap (3) migrasi akhir inti, lebih dari setengah dari jarijari, tahap (4) peleburan inti (GVBD). GVBD umumnya digunakan sebagai
indikator kematangan oosit dan pada beberapa spesies terjadi karena
berkumpulnya butiran kuning telur atau lempengan lipida yang diikuti inti yang
mengakibatkan oosit menjadi lebih transparan. Apabila kondisi GVBD telah
mencapai 100 persen, maka tidak lama lagi akan terjadi ovulasi (de Vlaming
1983).
Hasil pengamatan posisi inti telur pada penelitian ini dapat dilihat bahwa
masing-masing perlakuan didominasi oleh posisi inti telur pada tahap awal
migrasi (GVM) (Gambar 7). Ini menandakan induk betina berada pada posisi
matang gonad dan siap untuk dipijahkan. Sejalan dengan pernyataan
Woynarovich & Horvath (1980) bahwa induk yang siap dipijahkan adalah induk
yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitellogenesis) dan
masuk ke fase dorman. Pergerakan inti sel ini berkaitan dengan pematangan
gonad dan kesiapan telur untuk dibuahi. Pendapat ini diperkuat Rottmann et al.
(1991) yang menyatakan telur yang telah matang dapat dilihat dari posisi inti telur
yang berada di tengah (fase dorman) atau sudah mulai bergerak ke tepi (GVM).

13

1,5 mm
0,7 mm

Gambar 7 Telur ikan mas dan ikan tawes. Panah hitam putus-putus telur dorman
(GV). Panah hitam inti telur mulai bergerak ke tepi (GVM)
Berdasarkan hasil pengamatan diameter dan posisi inti telur pada penelitian
ini meskipun ukuran diameter telur beragam, tetapi jika dilihat dari kematangan
secara fisiologis yaitu dari posisi inti telur semua induk ikan mas dan ikan tawes
yang digunakan pada setiap perlakuan sudah berada pada kondisi siap mijah
(Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4).
Tingkah Laku Pemijahan
Tingkah laku pra-pemijahan induk-induk ikan mas hampir sama pada semua
perlakuan sesaat setelah ikan dimasukkan ke dalam wadah pemijahan. Induk ikan
jantan maupun betina berenang mengelilingi bak dengan arah yang berlawanan
satu sama lainnya. Ketika ikan mas berpapasan dengan ikan mas lainnya maka
masing-masing ikan akan berbalik arah. Begitu juga pada perlakuan ikan tawes
dengan komposisi jantan betina (♂♀) pada saat pra-pemijahan masing-masing
ikan berenang mengelilingi bak dengan arah yang berlawanan satu sama lainnya.
Lim & Sorensen (2010) menyatakan bahwa ikan betina hanya akan menunjukkan
perilaku memijah ketika telur berovulasi.
Pada saat pemijahan ikan dengan komposisi ikan jantan dan betina (♂♂♀) ,
A, B, dan C, kedua ekor ikan mas jantan selalu berusaha mendekati mas betina
dengan berenang mengiringi mas betina dari satu tempat ke tempat lain, tetapi
betina tetap pasif bergerak menghindari kedua jantan yang mendekat. Namun ikan
mas jantan yang aktif terus mengejar betina dan umumnya berenang di bawah
tubuhnya. Seringkali ikan mas jantan yang aktif menghambat jalur betina
sehingga betina tidak dapat menghindari jantan. Ikan mas jantan akan
menempelkan badannya ke badan ikan mas betina dan terus mengejar ikan mas
betina. Aktivitas ini terjadi di bawah kakaban. Menurut Polling et al. (2001) ikan
mas jantan bersaing secara aktif untuk mendekati betina.
Kadang-kadang ikan mas akan menyembulkan kepalanya ke permukaan air,
hapa ikan mas akan terdengar riuh dengan kecipak air yang disebabkan gerakan
induk betina yang dikejar-kejar induk jantan. Selama pemijahan ikan jantan dan
betina menyamakan tingkah lakunya untuk mencapai pelepasan gamet yang

14
serempak (Liley dan Stacey 1983). Kondisi seperti ini biasanya menunjukkan
telah terjadi pemijahan pada ikan mas. Kakaban yang dipasang pada hapa ikan
akan mulai dipenuhi dengan telur berwarna kuning dan sebagian telur tersebut
juga tampak menempel pada hapa dan dinding bak pemijahan. Air pada saat
pemijahan ini telihat seperti berminyak, berbusa serta berbau amis (Gambar 8).
Sebaliknya pada perlakuan dengan komposisi ikan mas jantan semua (♂♂♂), ikan
mas jantan berusaha berenang beriringan dengan ikan jantan lainnya dari satu
tempat ke tempat lain.

Gambar 8 Kakaban dipenuhi telur ikan mas
Pada ikan tawes, induk akan mulai aktif ketika ikan mas sudah aktif
bergerak. Setelah ikan mas memijah maka ikan tawes semakin agresif. Ikan tawes
jantan akan menempelkan badannya ke badan ikan tawes betina lalu bergerak
memutar dan terus berusaha mengiringi gerak betina dari satu tempat ke tempat
lainnya. Tingkah laku seperti ini biasanya menunjukkan sedang terjadi pemijahan
pada ikan tawes. Telur-telur tawes agak susah dikenali dengan segera karena
warnanya yang bening dan sifatnya yang melayang di kolom air.

Gambar 9

Ikan mas memakan telur-telur yang
menempel pada hapa pembatas

15
Pasca pemijahan, tingkah laku ikan baik mas maupun tawes sama seperti
sebelum terjadinya pemijahan. Ikan-ikan tersebut berenang dengan tenang,
walaupun terjadi proses kejar mengejar antara ikan jantan dan betina, namun tidak
seaktif saat pemijahan sedang berlangsung. Pada periode pascamemijah, ikan mas
baik jantan maupun betina terlihat memakan telur yang menempel pada hapa
pembatas (Gambar 9). Menurut Haniffa et al. (2007) ikan mas bukanlah induk
yang baik, jika tidak segera dipisahkan dengan telurnya maka mereka akan mulai
memakan telur-telurnya. Oleh karena itu, ketika kakaban terlihat sudah dipenuhi
telur, perlu dipindahkan ke bak penetasan dan diganti dengan kakaban yang baru.
Sedangkan pada perlakuan D dengan komposisi ikan mas jantan semua (♂♂♂),
ikan mas berenang dengan tenang namun tidak seaktif pada fase pemijahan.
Efek Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang bertindak sebagai pengimbas
pada pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan ini adalah ikan mas
karena ikan tawes hanya akan memijah jika ada ikan mas yang memijah. Pada
penelitian ini ikan tawes tidak memijah mendahului ikan mas. Selama penelitian
berlangsung belum pernah terdapat perlakuan dengan ikan tawes yang memijah
lebih dulu. Ikan mas dengan kombinasi jantan dan betina (♂♂♀) ataupun jantan
saja (♂♂♂) dapat mengimbas ikan tawes untuk segera memijah.
Lamanya waktu stimulasi yang diperlukan hingga ikan tawes memijah
bervariasi dalam tiap perlakuan (Tabel 4). Waktu ovulasi ikan mas berkisar antara
49 menit – 8 jam 46 menit . Jarak antara ikan mas dan ikan tawes memijah yang
didapat dari hasil penelitian ini yaitu 3 jam 15 menit sampai dengan yang paling
lama 29 jam 38 menit. Perlakuan yang dibantu dengan induksi ovaprim lebih
cepat memijah (Lampiran 5). Hal ini sesuai dengan pernyataan Harker (1992)
bahwa ovaprim akan bekerja untuk meningkatkan kadar gonadotropin di dalam
darah dan selanjutnya menuju gonad sehingga proses ovulasi berjalan cepat.
Meningkatnya gonadotropin ini akan merangsang proses praovulasi dan ovulasi
ikan mas. Menurut Redding dan Pattino (1993) aktivitas biologis ovaprim
menyerupai GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus. Akibat aksi hormon
gonadotropin, inti yang mulanya berada di tengah kemudian bergerak ke tepi
mendekati mikrofil dan sesaat sebelum ovulasi terjadi, inti melebur (GVBD)
tetapi materi genetiknya tidak berubah. GVBD biasanya terjadi karena adanya
rangsangan steroid (Nagahama et al. 1983).
Hasil pengamatan jumlah induk ikan tawes yang memijah karena pengaruh
imbas dari ikan mas menunjukkan bahwa hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan
B (K+) dan D yaitu sebesar 66,7%, kemudian diikuti oleh perlakuan A (K-) dan C
memberikan hasil yang sama yaitu 3,33% dan perlakuan E sebesar 0% (Tabel 4).
Perlakuan B memberikan hasil tertinggi, diduga karena penyuntikan
ovaprim meningkatkan konsentrasi Luteinizing Hormon Releasing Hormon
(LHRH) pada hipotalamus sehingga memicu sekresi GTH II (LH). Akibat kerja
LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17α-hidroksiprogesteron yang
kemudian