Karakterisasi dan Uji Kepekaan terhadap Antibiotik Isolat Bakteri Staphylococcus aureus diisolasi dari Sapi Mastitis Subklinis

KARAKTERISASI DAN UJI KEPEKAAN
TERHADAP ANTIBIOTIK ISOLAT BAKTERI Staphylococcus
aureus DIISOLASI DARI SAPI MASTITIS SUBKLINIS

EVI NUR QOLBAINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

HALAMAN PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakam bahwa tesis berjudul Karakterisasi dan Uji
Kepekaan terhadap Antibiotik Isolat Bakteri Staphylococcus aureus diisolasi dari
Sapi Mastitis Subklinis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014

Evi Nur Qolbaini
NRP G851120061

RINGKASAN
EVI NUR QOLBAINI. Karakterisasi dan Uji Kepekaan terhadap Antibiotik
Isolat Bakteri Staphylococcus aureus diisolasi dari Sapi Mastitis Subklinis.
Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan DODI SAFARI.
Mastitis subklinis merupakan infeksi pada ambing yang tidak disertai
dengan gejala klinis. Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri
penyebab mastitis. Identifikasi bakteri Staphylococcus aureus penyebab mastitis
subklinis biasanya dilakukan secara fenotipik. Namun, belum mampu
mengidentifikasi S.aureus hingga tingkat spesies. Bakteri S.aureus memiliki gen
nuc mengkodekan produksi Tnase (Thermonuclease) yang memiliki sekuen
spesifik dan amplifikasi gen nuc memiliki potensi yang cepat untuk mendeteksi
infeksi S.aureus menggunakan metode PCR, sehingga bakteri S.aureus dapat
teridentifikasi hingga tingkat spesies dibandingkan dengan identifikasi secara
fenotipik. Identifikasi secara tepat pada S.aureus berhubungan dengan terapi

antibiotik yang diberikan pada sapi mastitis subklinis. Namun penggunaan
antibiotik β-laktam terkendala oleh resistansi antibiotik β-laktam yang dikenal
dengan MRSA (Methicillin Resistant of Staphylococcus aureus) dan regulasinya
dikendalikan oleh gen mecA. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi
secara fenotipik dan genotipik terhadap bakteri penyebab infeksi mastitis subklinis,
melakukan uji kepekaan antibiotik terhadap bakteri S.aureus penyebab mastitis
subklinis, serta mendeteksi adanya gen mecA yang menyandikan MRSA sebagai
indikator penyebab resistansi antibiotik β-laktam.
Sampel susu sapi mastitis subklinis diambil di kawasan usaha peternak
(KUNAK) Cibungbulang Bogor, sebanyak 102 sampel susu sapi. Uji CMT
(California Mastitis Test) dilakukan sebagai identifikasi dini adanya penyakit
mastitis subklinis. Sampel susu yang diambil, dikultur dalam media agar darah
dan diidentifikasi secara fenotipik melalui pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji
oksidase. Identifikasi secara genotipik dilakukan dengan PCR sebagai konfirmasi
adanya gen nuc. Isolat yang positif ditemukan gen nuc dinyatakan sebagai bakteri
S.aureus dan selanjutnya dilakukan uji kepekaan antibiotik. Antibiotik yang
digunakan diantaranya tetrasiklin, oksasilin, gentamisin, eritromisin,
kloramfenikol, sefoksitin, trimetrtoprim-sulfametoksazol. Isolat yang resistan
terhadap antibiotik oksasilin dan sefoksitin dilakukan konfirmasi dengan PCR
untuk mengetahui adanya gen mecA.

Hasil identifikasi secara fenotipik melalui pewarnaan Gram dan uji biokimia,
didapatkan 72% yang memiliki karakteristik Gram positif, koloni menyerupai
anggur, berbentuk bulat, tidak berspora, katalase positif, dan oksidase negatif.
Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi secara genotipik melalui gen nuc
didapatkan 48% yang dinyatakan positif bakteri S.aureus. Semua isolat bakteri
S.aureus penyebab mastitis subklinis sensitif terhadap antibiotik tetrasiklin,
gentamisin, kloramfenikol, eritromisin, dan trimetoprim-sulfametoksazol,
sedangkan 22.5% dinyatakan resistan terhadap β-laktam (sefoksitin dan oksasilin)
dan ditemukan adanya gen mecA.
Kata kunci: S.aureus, nuc, MRSA, mecA, antibiotik

SUMMARY
EVI NUR QOLBAINI. Characterization and Antimicrobial Succeptibility
Testing of Staphylococcus aureus isolated from Bovine Subclinical Mastitis.
Supervised by I MADE ARTIKA dan DODI SAFARI.
Subclinical mastitis is an infection of udder devoid of clinical symptoms,
and Staphylococcus aureus is one of bacteria that causes this disease. Phenotypic
identification of Staphylococcus aureus that causing subclinical mastitis was not
able to identify S. aureus to species level. S.aureus has nuc gene that encodes
production of Tnase (Thermonuclease) which have specific DNA sequences and

the amplification of nuc gene has a potential for the rapid detection of S. aureus
infections. PCR method can identify the presence of nuc gene, so S. aureus can be
identified quickly, accurately, and sensitive to species level compared with the
phenotypic identification. Identification of S. aureus associated with antibiotic
therapy that given to cows with subclinical mastitis infection. However, the used
of β-lactam antibiotics was constrained by β-lactam antibiotic resistance that
known as MRSA (Methicillin Resistant of Staphylococcus aureus) which was
controlled by the mecA gene. The aims of this study are to identify the phenotypic
and genotypic of bacteria causing subclinical mastitis infections, antibiotic
sensitivity test of S.aureus bacteria causing subclinical mastitis, as well as detect
the presence of the mecA gene that encode β-lactam antibiotic resistance.
In the present study we investigated subclinical mastitis in Cibungbulang,
Bogor, West Java dairy cows using the California Mastitis Test (CMT). We
randomly collected 102 milk samples from dairy farms in different stalls. Samples
of milk were cultured on Blood agar (BA) and phenotypically identified by Gram
stain, catalase test and oxidase test. Moleculer identification was performed by
PCR to confirm the presence of thermonuclease gene (nuc). Isolates that
expressed nuc gene were positive S.aureus, then antibiotic succeptibility testing
was performed. The antibiotics that was used include tetracycline, oxaciline,
gentamicin,

erythromicyn,
chloramphenicol,
cefoxitin,
trimethoprimsulfamethoxazole. Isolates were resistant to antibiotics cefoxitin and oxacilin will
be confirmed by PCR for the presence of the mecA gene.
The results of the the phenotypic identification by Gram staining and
biochemical tests obtained that 72% had characteristics of Gram-positive, roundshaped, not sporulating, catalase positive, and oxidase negative. Then proceed
with the genotypic identification through nuc gene obtained 48% tested positive
for the bacteria S.aureus. All isolates of S.aureus causing subclinical mastitis were
sensitive to the antibiotic tetracycline, gentamicin, chloramphenicol, erythromycin,
and trimethoprim-sulfamethoxazole, while 22.5% were resistant to cefoxitin and
oxacilin. Molecular identification for the cause of resistance to β-lactam
antibiotics (cefoxitin and oxacilin) was detected by presence of the mecA gene.
22.5% of bacteria that resistant to β-lactam antibiotics was found mecA gene.
Keywords: S.aureus, nuc, MRSA, mecA, antibiotic

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISASI DAN UJI KEPEKAAN
TERHADAP ANTIBIOTIK ISOLAT BAKTERI Staphylococcus
aureus DIISOLASI DARI SAPI MASTITIS SUBKLINIS

EVI NUR QOLBAINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Suryani, M.Sc

Judul Tesis : Karakterisasi dan Uji Kepekaan terhadap Antibiotik Isolat Bakteri
Staphylococcus aureus diisolasi dari Sapi Mastitis Subklinis
Nama
: Evi Nur Qolbaini
NIM
: G851120061
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc
Ketua

Dodi Safari, Ph.D
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biokimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Maria Bintang, M.S

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 7 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 sampai
April 2014 ini adalah Karakterisasi dan Uji Kepekaan terhadap Antibiotik Isolat

Bakteri Staphylococcus aureus diisolasi dari Sapi Mastitis Subklinis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. I Made Artika,
M.App.Sc dan Bapak Dodi Safari, Ph.D selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dan saran, ibu Decy selaku kepala lab EOCRU atas saran
yang telah diberikan selama penelitian, Ibu Lia dan Pak Majid selaku asisten di
laboratorium Mikrobiologi Eijkman yang telah membantu selama penelitian.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami, ibu, kakak, kakak ipar,
dan adik yang telah memberikan semangat, doa, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah yang telah tersusun ini bermanfaat bagi semua.
Bogor, September 2014
Evi Nur Qolbaini

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian

1
2
3
3
3
3
4
4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kuantifikasi Mastitis Subklinis KUNAK Bogor
Karakteristik Koloni Bakteri dan Uji Biokimia
Hasil Amplifikasi Gen nuc S.aureus

Kepekaan S.aureus terhadap Antibiotik
Hasil Amplifikasi Gen mecA

6
8
10
11
13

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

14
15

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

16
22
31

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kasus mastitis subklinis di kawasan usaha peternak
(KUNAK) sapi perah Cibungbulang, Bogor
Tabel 2 Uji kepekaan antibiotik terhadap bakteri S.aureus

7
12

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Zona Bening yang terbentuk di sekitar koloni S.aureus
pada media agar darah
Gambar 2 Hasil pewarnaan Gram pada bakteri Staphylococci dengan
perbesaran mikroskop 400×
Gambar 3 Uji katalase pada bakteri
Gambar 4 Hasil amplifikasi gen nuc dari S.aureus dengan panjang
255 bp
Gambar 5 Hasil uji antibiotik terhadap bakteri S.aureus
Gambar 6 Hasil amplifikasi gen mecA penyandi MRSA (Methicilin
Resistant of Staphylococcus aureus) dengan panjang 527
bp.

8
9
9
10
11

14

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil pemeriksaan mastitis subklinis dengan reagen
CMT
Lampiran 2 Hasil pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji oksidase
Lampiran 3 Standar diameter zona bening pada uji kepekaan
antibiotik terhadap bakteri S.aureus
Lampiran 4 Diameter zona hambatan beberapa antibiotik terhadap
bakteri Staphylococcus aureus
Lampiran 5 Gambar pengamatan lokasi penelitian
Lampiran 6 Hasil amplifikasi Gen nuc

22
24
26
27
28
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mastitis merupakan peradangan pada kelenjar susu sebagai respon dari
adanya luka dengan tujuan untuk merusak agen penginfeksi sehingga dapat
kembali ke fungsi normal. Pada daerah peternakan sapi, mastitis banyak
disebabkan oleh mikroorganisme yang menyerang ambing, kemudian berkembang
biak dan menghasilkan toksin yang sangat berbahaya bagi kelenjar susu (Jones
2009; Schroeder 2012). Akibat peradangan pada ambing, Schroeder (2012) dan
Seegers et al. (2003) menjelaskan bahwa hal tersebut berdampak pada penurunan
produksi susu dan juga penurunan kualitas susu. Penurunan kualitas tersebut dapat
dilihat dari penurunan kadar laktosa, lemak, mineral potasium. Mastitis subklinis
berbeda dengan mastitis klinis yang disertai dengan gejala klinis yang timbul pada
ambing. Namun, mastitis subklinis merupakan penyakit utama yang menyerang
peternakan sapi (Oliver et al. 2004). Salah satu bakteri penyebab infeksi pada
ambing adalah Staphylococcus aureus (S.aureus) yang paling banyak ditemukan
pada kasus mastitis pada sapi (Østeras et al. 2006; Ferguson et al. 2007). S.aureus
dapat mencapai kelenjar susu baik secara langsung dari ambing atau kontaminasi
sekunder (Scherrer et al. 2004). Kontaminasi sekunder tersebut kemungkinan
terjadi dari transfer S.aureus antara manusia dan sapi (Matos et al. 1991;
Roberson et al. 1994; Zadoks et al. 2002).
S.aureus termasuk bakteri yang berbahaya, karena patogenitas organisme ini
memiliki proses yang komplek dan melibatkan berbagai faktor virulensi yang
berlangsung ketika proses infeksi terjadi pada jaringan (Cotar et al. 2010). Faktor
virulen tersebut meliputi berbagai macam eksoprotein dan protein dinding sel
(Arvidson dan Tegmark 2001). Hampir seluruh strain S.aureus mengeluarkan
eksoprotein, seperti eksotoksin dan enzim, termasuk koagulase, nuklease, protease,
lipase, hialuronidase dan kolagenase. Staphylocoagulase (SC) merupakan salah
satu faktor virulensi menyebabkan koagulasi plasma dan digunakan sebagai
penanda untuk membedakan S.aureus dan Staphylococci lain yang kurang
patogenik, yaitu Staphylococci koagulase negatif (Bronner et al. 2004). Selain
S.aureus, terdapat beberapa spesies lain yang termasuk dalam Staphylococci
koagulase positif (Devriese et al. 2005; Freney et al. 1999). Sehingga perlu
identifikasi secara tepat untuk mengetahui adanya infeksi bakteri S.aureus pada
mastitis subklinis.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia pada umumnya melakukan
identifikasi dan karakterisasi bakteri S.aureus secara fenotipik saja. Identifikasi
secara fenotipik pada koloni S.aureus dapat dilakukan dengan mengamati
pertumbuhan pada media agar darah, pewarnaan Gram, uji katalase, uji oksidase,
uji koagulase, dan fermentasi manitol (Wahyuni et al. 2010; Tirtana 2008; Anri
dan Sugiri 2010). Identifikasi secara fenotipik yang dilakukan tersebut tidak dapat
mengidentifikasi hingga tingkat spesies, namun hanya membantu identifikasi
bakteri sebagai seleksi awal penentuan jenis bakteri yang menginfeksi.
Identifikasi secara genotipik melalui gen nuc dapat digunakan sebagai penanda
genetik bakteri S.aureus (Rushdy et al. 2007). Gen tersebut dimiliki oleh beberapa
jenis Staphylococci dan tiap-tiap spesies memiliki sekuen DNA yang spesifik.

2
Amplifikasi gen nuc yang menyandikan enzim Thermonuclease memiliki potensi
yang cepat dan murah untuk mendeteksi adanya infeksi bakteri S.aureus (Costa et
al. 2005). Metode PCR secara tepat dapat mengidentifikasi adanya gen tersebut,
sehingga bakteri S.aureus dapat teridentifikasi secara cepat, akurat, dan sensitif
hingga tingkat spesies dibandingkan dengan identifikasi secara fenotipik (Neelesh
et al. 2008).
Identifikasi secara tepat pada bakteri penyebab mastitis berhubungan dengan
terapi antibiotik yang diberikan dan penentuan resistansinya. Uji kepekaan
antibiotik telah dilakukan pada beberapa penelitian di Indonesia, khususnya
terhadap bakteri S.aureus. (Suryanto et al. 2007; Purnomo et al. 2006; Anjarwati
dan Dharmawan 2010). Beberapa golongan antibiotik yang direkomendasikan
penggunaannya dalam peternakan diantaranya golongan β-laktam, golongan
tetrasiklin, dan golongan makrolida. Diantara golongan antibiotik tersebut,
golongan β-laktam paling sering digunakan dalam pengobatan mastitis (Sawant
2005). Salah satu permasalahan yang dihadapi pada terapi antibiotik adalah
resistansi antibiotik. Pemilihan antibiotik β-laktam, seperti penisilin atau
sefoksitin dalam mengatasi infeksi mastitis menimbulkan permasalahan resistan
antibiotik jenis β-laktam, yang dikenal dengan MRSA (Methicillin Resistant of
Staphylococcus aureus) (Gindonis et al. 2013). MRSA banyak ditemukan pada
manusia, kemudian terdeteksi pula pada hewan (Lee et al. 2004). Dalam beberapa
tahun terakhir, terdapat peningkatan jumlah strain Staphylococci yang
menunjukkan resistansi antibiotik jenis β-laktam telah menjadi masalah klinis dan
epidemiologi. Resistansi antibiotik β-laktam pada Staphylococci karena adanya
penicillin-binding protein 2α (PBP2α), yang dikodekan oleh gen mecA (Velasco et
al. 2005). Selain itu, S. aureus telah mengalami multiresistan terhadap variasi
antibiotik yang disebarkan antar ternak (Waage et al. 2002).

Perumusan Masalah
S.aureus merupakan salah satu bakteri penyebab mastitis subklinis.
Identifikasi secara tepat untuk mengtahui adanya infeksi bakteri S.aureus dapat
dilakukan secara genotipik. Namun identifikasi secara fenotipik secara
mikrobiologi dan biokimia perlu dilakukan terlebih dahulu untuk membantu
proses seleksi bakteri. Identifikasi selanjutnya dapat dilakukan secara genotipik
melalui gen nuc yang merupakan gen spesifik yang terdapat pada S.aureus dan
dapat diketahui melalui metode PCR. Identifikasi S.aureus secara tepat
berhubungan dengan terapi antibiotik yang akan diberikan sebagai terapi mastitis
subklinis.
Uji kepekaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui jenis antibiotik yang
tepat digunakan sebagai terapi. Permasalahan utama dalam terapi antibiotik adalah
resistansi antibiotik, terutama antibiotik β-laktam yang banyak digunakan pada
terapi mastitis. Gen mecA merupakan gen yang menyandikan penicillin-binding
protein 2α (PBP2α) yang resistan terhadap antibiotik jenis β-laktam. Gen mecA
juga dapat diketahui melalui metode PCR.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi secara fenotipik dan
genotipik bakteri S.aureus penyebab infeksi mastitis subklinis, melakukan uji
kepekaan terhadap antibiotik pada bakteri S.aureus, serta mendeteksi adanya gen
mecA yang menyandikan MRSA sebagai indikator penyebab resistansi antibiotik
β-laktam.
Manfaat Penelitian
Identifikasi secara molekuler untuk mengetahui adanya infeksi S.aureus
mampu mendeteksi secara tepat dan cepat adanya bakteri tersebut sebagai
penyebab penyakit mastitis subklinis pada sapi. Pengujian beberapa antibiotik
dapat membantu menentukan jenis antibiotik yang tepat digunakan sebagai terapi
antibiotik pada sapi yang terinfeksi mastitis subklinis.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakasanakan di Laboratorium Mikrobiologi Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman Jakarta. Sampel susu diambil di kawasan usaha peternak
(KUNAK) Cibungbulang Bogor, sebanyak 102 sampel susu sapi.
Waktu penelitian dilakukan selama 7 bulan dimulai dari bulan oktober 2013
sampai April 2014. Tahapan penelitian meliputi pemeriksaan dan pengambilan
sampel susu, isolasi dan identifikasi bakteri secara fenotipik, ekstraksi DNA,
identifikasi bakteri secara genotipik, uji antibiotik, dan identifikasi gen penyandi
MRSA.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah reagen CMT (california
mastitis test), susu sapi perah, media Tryptone soya agar (Oxoid CM0131), darah
domba, Mueller Hinton (Oxoid CM0337), agaros (Vivantis PC0701-1006),
Hidrogen peroksida 5%, STGG (skim milk, tryptone, glucose, and glycerin), Gram
staining kit (Himedia k001-IKT), N,N,N-tetramethyl-p-phenylediamine (Sigma T7394), hidrogen peroksida 5%, buffer TE, alkohol 70%, Go Taq green campuran
PCR (komposisi: buffer pH 8.5, 400µM dATP, 400µM dGTP, 400µM dCTP,
400µM dTTP, dan 3mM MgCl2) Promega REF M7122)), nuclease free water
(Promega REF P119A) ddH2O, primer nuc-R (5’-AGCCAAGCCTTGACGAACTAAAGC-3’) dan nuc-F (5’-GCGATTGATGGTGATACGGTT-3’),
primer mecA-F (5’-GGGATCATAGCGTCATTATTC-3’), primer mecA-R (5’AACGATTGTGACACGATAGCC-3’), SYBR safe DNA gel stain (Invitrogen),
McFarland turbidity standard 0.5 (BBL 397298), larutan NaCl 0.9%, tetrasiklin
30 µg, oksasilin 1 µg, gentamisin 10 µg, eritromisin 15 µg, kloramfenikol 30 µg,
sefoksitin 30 µg, trimetoprim-sulfametoksazol 1.25/23.75 µg.

4
Alat
Peralatan yang digunakan diantaranya adalah vortex (Thermolyne),
sentrifugator (Thermo Scientific Heraeus Pico 21), dry bath (Thermo Scientific),
water bath (Barnstead Lab-Line), inkubator (Thermo-Scientific Heraeus),
biosafety cabinet (Nuaire), laminar air flow (ESCO), mikroskop (Nikon Eclipse
E200), aparatus elektroforesis (Bio-Rad), jangka sorong, neraca analitik
(Sartorius), pipet mikro (Eppendorf), tabung mikro 1.5 ml (Axygen), tabung
mikro 0.25 ml (Axygen), spin down (Green liv), piring kaca steril diameter 8 cm
(Labserv), Cryotube 1.8 ml (Nunc), magnetic stirer (Cimarec), pengukur pH
(Thermo Orion 2 Star), kaca mikroskop (Saill Brand 7105), tabung falkon 50 ml
(Corning), Pedel, Gel doc 1000 (Bio-Rad), analytical paper (Schleicher and
Schuell), PCR cabinet (Scle-Pias).

Prosedur Penelitian
Identifikasi Kasus Mastitis
Sampel susu berasal dari 102 ekor sapi yang berada pada 8 kandang
berbeda. Uji CMT pada susu dilakukan terlebih dahulu sebagai Identifikasi dini
adanya penyakit mastitis subklinis (Blowey dan Edmondson 2010). Pengambilan
sampel susu dilakukan secara steril dengan cara membersihkan daerah puting
menggunakan alkohol 70%, kemudian susu diperah menggunakan sarung tangan.
Hasil pemerahan kedua atau ketiga ditampung pada pedel, dan ditambahkan
reagen CMT dengan perbandingan 1:1. Pedel diputar selama 10-15 detik. Hasil
positif mastitis ditunjukkan melalui terbentuknya gel berwarna putih abu-abu
dalam larutan berwarna ungu pada dasar pedel (Surjowardojo et al. 2008). Skor
mastitis ditentukan dengan angka 0, +1, +2, dan +3. Setiap angka memiliki tingkat
yang berbeda untuk mendeteksi mastitis subklinis menggunakan CMT. Angka 0
menunjukkan bahwa tidak terdapat infeksi mastitis subklinis pada sapi dan tidak
terbentuk gel pada campuran susu dengan reagen CMT. Angka +1 apabila terjadi
pembentukan gel pada campuran susu dan reagen CMT, namun hanya
berlangsung 2-3 detik dan jika pedel diputar terus, maka gel tersebut akan
menghilang. Angka +2, apabila terbentuk penebalan secara langsung dari kedua
campuran tersebut, namun gel yang terbentuk hanya sedikit. Berbeda dengan +3,
yang ditunjukkan dengan terbentuknya gel yang sangat tebal pada pedel (Barnum
dan Newbould 1961). Sapi dengan hasil positif mastitis kemudian diambil sampel
susunya dalam tabung steril. Susu disimpan pada suhu 40C dan pemeriksaan
sampel tidak melebihi 72 jam (Virdis et al. 2010).
Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penyebab Mastitis Subklinis
Media yang digunakan untuk isolasi bakteri adalah media agar darah
yang merupakan media selektif. Pembuatan media agar darah adalah
menggunakan media tryptone soya agar (40 gram/liter) yang telah disterilkan
dengan autoklaf, setelah mencapai suhu 500C kemudian dicampur dengan 5%
darah domba (Harley dan Prescott 2002). Sampel susu sapi dikultur dalam media
agar darah kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 370C (Bradley et al.
2007). Bakteri yang tumbuh setelah inkubasi 24 jam pada media BA diamati

5
karakteristik morfologi dan hemolitiknya. Koloni bakteri yang terpilih
diidentifikasi lebih lanjut dengan pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji oksidase
(Harley dan Prescott 2002). Tahap pewarnaan Gram adalah mengambil isolat
yang terpilih dan dibuat apusan di atas kaca objek kemudian difiksasi panas.
Apusan ditetesi kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit kemudian dibilas
dengan air mengalir. Apusan kemudian ditetesi dengan lugol dan dibiarkan selama
1 menit, setelah itu dibilas lagi dengan air mengalir. Alkohol 95% diteteskan di
atas apusan dan dibiarkan selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir.
Tahap terakhir adalah apusan ditetesi safranin dan dibiarkan selama 30 detik
sebelum dibilas dengan air mengalir kemudian dikeringkan dengan kertas
penyerap. Hasil apusan tersebut diamati di bawah mikroskop (Claus 1992). Uji
katalase dilakukan dengan cara meneteskan larutan Hidrogen Peroksida (H 2O2)
5% pada isolat bakteri (Harley dan Prescott 2002). Uji oksidase dilakukan dengan
menggunakan reagen uji oksidase (N,N,N-tetramethyl-p-phenylediamine) (Harley
dan Prescott 2002). Bakteri yang terpilih dimurnikan kembali pada media BA dan
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bakteri yang telah dimurnikan,
kemudian disimpan dalam medium STGG (skim milk, tryptone, glucose, and
glycerin) dan disimpan pada suhu -700C sampai -800C (O'Brien et al. 2001).
Ekstraksi DNA Bakteri Penyebab Mastitis Subklinis
Bakteri yang telah disimpan disubkultur pada medium agar darah dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Koloni bakteri yang tumbuh kemudian
diekstraksi dengan menggunakan metode boiling atau pemanasan seperti yang
dideskripsikan oleh Zhang et al. (2004), dengan modifikasi. Satu ose penuh koloni
bakteri ditransfer kedalam 400 µl buffer TE, kemudian divortex. Suspensi sel
bakteri tersebut dipanaskan pada suhu 1000C selama 10 menit, selanjutnya
diinkubasi pada suhu -200C selama 10 menit. Hasil inkubasi kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 13000 rpm selama 10 menit. Lapisan supernatan
hasil sentrifugasi dipindahkan pada tabung steril untuk dilakukan PCR.
Identifikasi gen nuc Melalui PCR
Identifikasi secara biomolekuler dilakukan sebagai konfirmasi adanya
gen nuc yang merupakan gen spesifik pada S.aureus. Identifikasi dilakukan
melalui polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer nuc-R (5’AGCCAAGCCTTGACGAACTAAAGC-3’) dan nuc-F (5’-GCGATTGATGGTGATACGGTT-3’) seperti yang dideskripsikan oleh Brakstad et al. (1992).
Komposisi campuran PCR meliputi 10 µl Go Taq Green, 0.5 µl masing-masing
primer, 2 µl DNA, dan 10 µl ddH2O, dengan volume total 23 µl. Kondisi
amplifikasi PCR diantaranya 940C selama 5 menit, diikuti dengan 35 siklus dari
940C selama 30 detik, annealing 550C selama 1 menit, extension 720C selama 1
menit, kemudian diikuti dengan final extension selama 10 menit pada suhu 720C.
Hasil PCR diamati dengan elektroforesis agaros 1%. Amplikon dengan panjang
255 bp dinyatakan sebagai gen nuc (Poulsen 2003).
Uji Kepekaan Antibiotik
Uji kepekaan antibiotik menggunakan metode disc diffusion Kirby Bauer,
berdasarkan pedoman CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institute ) 2014.
Koloni bakteri yang telah diinkubasi selama 24 jam diambil kemudian

6
disuspensikan ke dalam larutan NaCl 2% hingga mencapai kekeruhan sesuai
standar Mc. Farland 0.5 atau konsentrasi bakteri 1.5x108 CFU/ml (CFU=colony
forming unit). Kapas lidi steril dicelupkan ke dalam suspensi bakteri dan
dipastikan tidak terlalu basah, kemudian dioleskan di atas permukaan media
Mueller Hinton agar. Cakram antibiotik diletakkan di atas media, kemudian
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Jenis antibiotik yang digunakan
berdasarkan pedoman CLSI, diantaranya tetrasiklin 30 µg, oksasilin 1 µg,
gentamisin 10 µg, eritromisin 15 µg, kloramfenikol 30 µg, sefoksitin 30 µg,
trimetoprim-sulfametoxazole 1.25/23.75 µg. Isolat bakteri yang resistan terhadap
oksasilin dan sefoksitin dideteksi gen resistannya melalui PCR.
Identifikasi Gen mecA Melalui PCR
Isolat bakteri yang resistan terhadap antibiotik sefoksitin atau oksasilin, atau
resistan terhadap keduanya diidentifikasi secara molekuler adanya gen mecA
melalui PCR menggunakan primer mecA-F (5’-GGGATCATAGCGTCATTATTC-3’), primer mecA-R (5’-AACGATTGTGACACGATAGCC-3’). Komposisi
master mix PCR meliputi 10 µl Go Taq Green, 0.5 µl masing-masing primer, 2 µl
DNA, dan 10 µl ddH2O, dengan volume total 23 µl. Kondisi amplifikasi PCR
dimulai dengan pemanasan 940C selama 4 menit, kemudian diikuti dengan 30
siklus dari denaturasi 940C selama 45 detik, annealing 500C selama 45 detik, dan
extension 720C selama 1 menit, dilanjutkan dengan final extension 720C selama 3
menit (Anand et al. 2009). Hasil amplifikasi PCR diamati dengan elektroforesis
agaros 1%. Amplikon dengan panjang 527 bp dinyatakan sebagai gen mecA
(Poulsen 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kuantifikasi Mastitis Subklinis KUNAK Bogor
Uji mastitis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan CMT
(California Mastitis Test). Keuntungan menggunakan CMT adalah mudah, murah,
sederhana, membutuhkan sedikit peralatan, dan mudah dibersihkan. CMT
merupakan reagen yang mengandung arylsulfonate. Reagen tersebut akan
membentuk gelatin apabila bereaksi dengan leukosit dan sel somatik yang
terdapat dalam susu. Tingkat kekentalan yang terbentuk menunjukkan jumlah
leukosit dan sel somatik dalam susu. Jumlah leukosit dan sel somatik yang
berlebihan ditemukan apabila terjadi infeksi, misalnya infeksi mastitis pada
ambing (Akers 2002). Sebanyak 102 sampel sapi pada 8 kelompok kandang yang
berbeda di KUNAK Cibungbulang diperiksa sampel susunya menggunakan
reagen CMT untuk mengetahui adanya mastitis subklinis.
Hasil reaksi reagen CMT menunjukkan bahwa 84% sampel susu yang
diambil adalah positif mastitis subklinis (Tabel 1). Berdasarkan hasil tes CMT
dapat disimpulkan bahwa kasus mastitis subklinis di KUNAK cukup tinggi.
Penelitian mastitis subklinis di daerah lain yaitu di Malang, Jawa Timur juga
menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 51.87% (Winarso 2008), sedangkan
di daerah Surabaya sebesar 86,4% (efendi 2006) dan 80% diantaranya merupakan
mastitis subklinis.

7
Tabel 1 Kasus mastitis subklinis di kawasan usaha peternak
(KUNAK) sapi perah Cibungbulang, Bogor
Karakterisasi
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah sampel
a. Normal
b. Terinfeksi mastitis subklinis
Tingkat Infeksi
a. +1
b. +2
c. +3

102
16
86

16
84

19
39
28

22
45
33

Tingkat infeksi mastitis ditunjukkan dengan banyaknya gel yang
terbentuk. Hasil pemeriksaan susu sapi di KUNAK Cibungbulang (Tabel 1),
diperoleh angka +1 sebanyak 22% yang menunjukkan infeksi yang ringan, angka
+2 sebanyak 45% yang menunjukkan positif mastitis subklinis, sedangkan angka
+3 sebanyak 33% yang menunjukkan infeksi mastitis subklinis yang terjadi sudah
parah (Barnum dan Newbould 1961). Sehingga sebagian kecil dari sapi di
KUNAK Cibungbulang terindikasi infeksi mastitis subklinis, namun masih
termasuk ringan, dan sebagian besar termasuk dalam kategori positif mastitis
subklinis kategori sedang. Kasus mastitis subklinis yang parah juga terjadi di
KUNAK Cibungbulang dan memerlukan tindakan secepatnya, misalnya dengan
terapi antibiotik. Namun, tindakan yang lain juga diperlukan pada tingkat mastitis
yang lain agar tidak menjadi semakin parah. misalnya perbaikan dalam
manajemen pemerahan. Manajemen pemerahan yang baik meliputi pre dipping
dan post dipping (Bewley dan Arnold. 2012). Pre dipping adalah melakukan
sanitasi terhadap puting sebelum dilakukan pemerahan, hal tersebut untuk
mencegah masuknya bakteri yang berasal dari lingkungan. Hal yang sama juga
dilakukan pada akhir pemerahan (post dipping), kedua cara tersebut dapat
dilakukan dengan mencelupkan puting pada larutan detergen kemudian
dikeringkan.
Menurut Schroeder (2012) ada tiga hal utama yang berkaitan dengan
timbulnya mastitis, yaitu mikroorganisme, sapi, dan lingkungan. Puting sapi
merupakan jalan masuk utama bagi mikroorganisme selama masa laktasi dan
lingkungan disekitar sapi menentukan jenis bakteri yang berkembang biak.
Berdasarkan hasil pengamatan di KUNAK Bogor, lingkungan kandang sapi
mendukung terjadinya penularan mastitis, seperti kondisi kandang yang penuh
dengan kotoran sapi, lembab, dan licin, kondisi puting yang tidak dibersihkan, dan
tidak adanya saluran khusus untuk pembuangan kotoran sapi (Lampiran 5).
Penelitian yang dilakukan oleh Zdanowicz (2002) menjelaskan bahwa sapi yang
lebih banyak menghabiskan waktu di kandang, 50-60% sapi tidur di lantai.
Aktivitas sapi tersebut memudahkan bakteri untuk berpindah ke puting sehingga
terjadi infeksi. Salah satu faktor yang mendukung infeksi adalah sanitasi kandang
yang buruk. Selain faktor lingkungan, proses pemerahan juga memiliki pengaruh
terhadap mastitis. Proses pemerahan yang tidak benar dapat menyebabkan infeksi
pada puting. Berdasarkan pengamatan di KUNAK Bogor, seluruh peternak
menggunakan tangan dalam proses pemerahan.

8
Karakteristik Koloni Bakteri dan Uji Biokimia
Berdasarkan hasil uji CMT, susu sapi yang positif mastitis dilakukan uji
lebih lanjut untuk mengetahui apakah terdapat bakteri S.aureus yang
menyebabkan infeksi mastitis subklinis. Sampel susu yang telah diambil
kemudian dikulturkan di atas media agar darah untuk mendapatkan isolat S.aureus.
Identifikasi secara konvensional dilakukan sebagai identifikasi awal, yaitu dengan
pengamatan karakteristik koloni, pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji oksidase.
Hasil kultur sampel susu pada media agar darah dapat terlihat
karakteristik hemolitik bakteri Staphylococci. Pertumbuhan koloni S.aureus
setelah inkubasi selama 24 jam akan terbentuk zona bening di sekitar media agar
darah (Gambar 1). Zona bening yang terbentuk menunjukkan salah satu
karakteristik dari S.aureus yaitu memiliki β- dan σ-hemolisin (Ali-Vehmas et al.
2001). β- dan σ-hemolisin merupakan faktor virulensi yang terlibat dalam
berbagai macam infeksi bakteri (Goebel et al. 1988; Welch 1991). Kemampuan
memproduksi β-hemolisin merupakan karakter umum dari strain S.aureus pada
sapi, dan kemungkinan merupakan salah satu faktor virulensi pada mastitis.
Sedangkan σ-hemolisin dihasilkan oleh 97% strain S.aureus (Freer dan Birbeck
1982). Peran hemolisin pada infeksi mastitis kemungkinan untuk mempercepat
penetrasi bakteri dan pemempelan pada jaringan ambing. β- dan σ- hemolisin
Staphylococci memiliki fungsi yang sinergis dalam hemolisis (Jonsson dan
Wadstrom 1993).

Gambar 1 Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni S.aureus pada media
agar darah
Produksi hemolisin oleh bakteri tergantung pada kondisi media
pertumbuhannya, dan tingkat produksi hemolisin berkorelasi positif dengan
jumlah sel bakteri (Sutra dan Poutrel 1994). Perubahan peradangan dalam susu,
misalnya mastitis, berpengaruh pada kelangsungan hidup bakteri. Bakteri dapat
melindungi diri dari oksidasi lingkungan yang tinggi sulfihidril dalam susu
mastitis (Ali-Vehmas et al. 1994). Pertumbuhan bakteri secara in-vitro dalam
whey dari susu mastitis lebih baik daripada pertumbuhannya dalam whey yang

9
berasal dari susu normal (Mattila dan Sandholm 1984). hal tersebut menunjukkan
bahwa proses inflamasi pada ambing menyebabkan perubahan dalam susu yang
mendukung pertumbuhan bakteri.
Genus Staphylococci merupakan bakteri Gram positif, tidak bergerak,
dan berdiameter 1 µm (Gambar 2), mampu membentuk koloni, mampu tumbuh
dengan baik dengan oksigen maupun tanpa oksigen (anaerob fakultatif), tidak
mampu menghasilkan spora, akan tetapi mampu memfermentasi glukosa dan
manitol (Pagels et al. 2010; Watanakunakorn dan Bakie 1973). Genus
Staphylococci memiliki ciri katalase positif (Gambar 3). Enzim katalase (kat)
berfungsi sebagai katalis dalam reaksi penguraian hidrogen peroksida (H2O2)
menjadi H2O dan O2 (Harley dan Prescott 2002). Namun, pada kasus S. aureus
strain negatif untuk uji katalase telah diidentifikasi bahwa telah terjadi mutasi
missense atau penghapusan pada untaian gen katA (Piau et al. 2008). Genus
Staphylococci menunjukkan oksidase negatif (Wilkinson 1997).

Gambar 2 Hasil pewarnaan Gram pada bakteri Staphylococci dengan
perbesaran mikroskop 400×

Gambar 3 Uji katalase pada bakteri. (a) Kontrol Uji Katalase (b) Uji
katalase pada genus Staphylococci yang menunjukkan
katalase positif
Hasil identifikasi secara fenotipik yaitu pewarnaan Gram dan uji
biokimia, didapatkan 72% isolat memiliki karakteristik Gram positif, koloni
menyerupai anggur, berbentuk bulat, tidak berspora, katalase positif, dan oksidase
negatif (Lampiran 2). Hasil identifikasi secara fenotipik tersebut belum dapat
menunjukkan adanya infeksi S.aureus pada kasus mastitis subklinis di KUNAK
Cibungbulang.

10
Hasil Amplifikasi Gen nuc S.aureus
Berdasarkan hasil identifikasi secara fenotipik, isolat yang telah terpilih
dilanjutkan dengan identifikasi secara genotipik, karena identifikasi secara
konvensional belum dapat mengidentifikasi bakteri Staphylococcus sp hingga
tingkat spesies. Identifikasi secara genotipik menggunakan gen target dari
S.aureus, yaitu gen nuc, yang memiliki panjang 255 bp dan dapat
mengidentifikasi secara tepat adanya infeksi S.aureus (Poulsen 2003).
Terdapat 72% sampel hasil identifikasi fenotipik yang diidentifikasi lebih
lanjut menggunakan gen nuc dengan metode PCR. Hasil amplifikasi PCR
didapatkan 48% sampel ditemukan adanya gen nuc dengan panjang 255 bp
(Lampiran 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat 49 sampel/48% susu
sapi yang terinfeksi bakteri S.aureus.

.
Gambar 4 Hasil amplifikasi gen nuc dari S.aureus dengan panjang 255 bp. Baris
ke-1 adalah marker DNA 100-1500 bp, baris ke-2 kontrol positif
bakteri S.aureus, baris ke-3 sampai ke-7 sampel yang diuji, baris ke-8
kontrol negatif
Gen nuc yang spesifik dimiliki oleh S.aureus mengkodekan produksi
Tnase (Thermonuclease) dan memiliki sekuen DNA spesifik, hasil amplifikasi
gen nuc memiliki potensi yang cepat untuk mendeteksi infeksi S.aureus (Costa et
al. 2005). Enzin Thermonuclase merupakan faktor virulensi yang dimiliki oleh
S.aureus (Olson et al. 2013). Peran gen nuc hampir sama dengan DNases yang
diproduksi oleh bakteri gram positif lainnya, yaitu menghindari perangkap
ekstraseluler dari neutrofil ketika terjadi infeksi (Berend et al. 2010). Karakter
spesifik yang dimiliki oleh S.aureus menunjukkan bahwa identifikasi secara
genotipik dapat dilakukan untuk mengetahui infeksi S.aureus. Identifikasi secara
fenotipik saja sangat sulit untuk membedakan antar spesies Staphylococcus
koagulase positif karena kurangnya ciri khusus untuk identifikasi hingga tingkat
spesies (Freney et al. 1999; Sasaki et al. 2007).
Identifikasi secara molekuler untuk mengetahui adanya infeksi S.aureus
pada mastitis belum banyak diketahui di Indonesia. Berdasarkan beberapa
penelitian mengenai mastitis, uji koagulase merupakan identifikasi yang sering
dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi S.aureus pada mastitis (Wahyuni et al.
2010; Tirtana 2008; Anri dan Sugiri 2010). Uji koagulase merupakan standar
baku emas untuk identifikasi S.aureus di tingkat spesies (Sperber dan Tatini 1975).
Pada tes tersebut, bakteri diinokulasi bersama dengan plasma. Faktor-faktor
penggumpalan S.aureus mengikat glikoprotein larut plasma yang disebut
fibrinogen, sehingga menyebabkan aglutinasi antara bakteri dengan fibrinogen

11
dalam tabung (Rotter dan Kelly 1966). Prosedur tambahan telah ditingkatkan
untuk mengidentifikasi hingga tingkat spesies untuk membedakan S.aureus
dengan staphylococci koagulase-negatif (Staphylococcus epidermidis dan lainlain) (Gillapsy et al. 1995). Misalnya, tes aglutinasi Pastorex ® Staph-Plus, yang
dikembangkan oleh Sanofi Pasteur, yang dapat mengidentifikasi S.aureus dengan
ketelitian 98.6%, namun dapat menurun mencapai 95.1% apabila S.aureus resistan
terhadap antibiotik β-laktam. Tes tersebut terdiri dari campuran partikel lateks
yang dilapisi dengan fibrinogen, imunoglobulin G dan antibodi monoklonal yang
berlawanan dengan polisakarida kapsuler S.aureus serotipe 5 dan 8 (Fournier et
al. 1993). Tes tersebut merupakan identifikasi S.aureus berdasarkan deteksi faktor
penggumpalan, protein A, dan polisakarida kapsuler, sehingga terjadi
penggumpalan sebagai hasil positifnya (Compernolle et al. 2007). Sampai saat ini,
tujuh spesies koagulase-positif stafilokokus telah teridentifikasi, diantaranya:
S.aureus, S.intermedius, S.schleiferisub sp.coagulans, S.hyicus, S.lutrae,
S.delphini, dan S. pseudintermedius (Devriese et al. 2005; Freney et al. 1999).
Sehingga penentuan spesies S.aureus berdasarkan tes koagulase tidak dapat
menentukan secara tepat hingga tingkat spesies.
Identifikasi bakteri penyebab infeksi, khususnya S.aureus perlu
dilakukan secara tepat. Hal tersebut berhubungan dengan pemeriksaan kepekaan
terhadap antibiotk methicillin (MRS=Methicillin Resistant of Staphylococci)
berdasarkan pedoman CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institute). Dalam
CLSI kosentrasi oxacilin untuk MIC (Minimal Inhibitory Concentration) resistan
terhadap methicillin adalah 4 µg/ml, berbeda dengan spesies lain yaitu 0.5-2
µg/ml. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan MIC oxacillin positif MRS
adalah 0.5-2 µg/ml untuk spesies S. pseudintermedius (Descloux et al. 2008;
Sasaki et al. 2007). Jika bakteri tersebut tidak teridentifikasi sebagai S.
pseudintermedius, tetapi teridentifikasi sebagai S.aureus, maka akan terjadi
kesalahan identifikasi MRS. Identifikasi spesies yang tidak tepat akan
mempengaruhi pemberian antibiotik untuk infeksi Staphylococci yang resistan
terhadap methicillin (Bemis et al. 2006). Identifkasi secara tepat juga
berhubungan dengan kesehatan masyarakat terkait kejadian MRSA baik dari
hewan ternak maupun dari manusia, karena MRSA juga dikenal dalam dunia
kedokteran hewan. (Morgan 2008; Weese dan E.van 2010).
Kepekaan S.aureus terhadap Antibiotik
Berdasarkan hasil identifikasi secara genotipik melalui gen nuc, 49
isolat/48% dinyatakan positif sebagai bakteri S.aureus. Selanjutnya dilakukan uji
kepekaan antibiotik menggunakan metode disc diffusion dari Kyrby Bauer dengan
tujuan untuk mengetahui tingkat kepekaan bakteri S.aureus terhadap beberapa
antibiotik dan dapat digunakan sebagai pilihan untuk mengobati mastitis subklinis
yang disebabkan oleh bakteri S.aureus. Beberapa antibiotik yang digunakan dalam
uji kepekaan antibiotik adalah golongan aminoglikosida (gentamisin), tetrasiklin,
macrolida (eritromisin), sulfonamida (trimetoprim-sulfametoksazol), fenikol
(kloramfenikol), dan β-laktam (oksasilin dan sefoksitin).
Penentuan kepekaan masing-masing antibiotik ditentukan sesuai standar
CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institute) 2014 yang digolongkan
dalam kelompok resistan, intermediet, dan sensitif (Lampiran 3).

12
Berdasarkan hasil uji kepekaan antibiotik, mayoritas antibiotik yang
digunakan dapat menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus. Kepekaan antibiotik
terhadap bakteri S.aureus ditentukan dengan terbentuknya zona bening pada
media (Gambar 5a). Berdasarkan uji kepekaan terhadap 7 jenis antibiotik (Tabel 3
dan Lampiran 4)), dapat diketahui bahwa sebagian besar isolat S.aureus dari susu
sapi mastitis subklinis masih sensitif terhadap gentamisin, tetrasiklin, eritromisin,
trimetoprim-sulfametoksazol, dan kloramfenikol. Sebagian dari S.aureus bersifat
resistan terhadap antibiotik β-laktam, yaitu oksasilin (9 isolat/22.5%) dan
sefoksitin (9 isolat/22.5%), dimana isolat yang resistan terhadap oxacilin juga
resistan terhadap cefoxitin.

b
a
Gambar 5 Hasil uji antibiotik terhadap bakteri S.aureus, a. Tidak terbentuk zona
bening (resistan). a.1. oksasilin, a.2. penisilin, a.3. sefoksitin. b.
Terbentuk zona bening (sensitif). b.1 gentamisin, b.2. tetrasiklin, b.3.
eritromisin, b.4. trimetoprim-sulfametoksazol, b.5. kloramfenikol
Tabel 2 Hasil uji kepekaan antibiotik terhadap bakteri S.aureus
Antibiotik
Gentamisin
Tetrasiklin
Eritromisin
Trimetoprimsulfametoksazol
Kloramfenikol
Oksasilin
Sefoksitin

10 µg
30 µg
15 µg

Resistan
(jumlah/persentase)
0/0%
0/0%
0/0%

Sensitif
(Jumlah/Persentase)
49/100%
49/100%
49/100%

1.25/23.75 µg

0/0%

49/100%

30 µg
1 µg
30 µg

0/0%
9/22.5%
9/22.5%

49/100%
40/77.5%
40/77.5%

konsentrasi

Hasil uji kepekaan antibiotik menunjukkan bahwa isolat S.aureus yang
berasal dari susu sapi mastitis subklinis masih sensitif terhadap beberapa
antibiotik. Hal tersebut menunjukkan bahwa kejadian mastitis subklinis pada sapi
di KUNAK Cibungbulang masih dapat diobati dengan berbagai antibiotik yang
masih sensitif. Sehingga berdasarkan hasil uji, dapat direkomendasikan beberapa
antibiotik yang dapat digunakan sebagai terapi pada sapi mastitis subklinis,

13
diantaranya golongan aminoglikosida (gentamisin), tetrasiklin, macrolida
(eritromisin), sulfonamida (trimetoprim-sulfametoksazol), fenikol (kloramfenikol).
Akan tetapi adanya isolat S.aureus yang telah resistan terhadap antibiotik,
mengindikasikan bahwa antibiotik yang diberikan tersebut tidak sesuai dengan
prinsip pengobatan antibiotik untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh
bakteri. Apabila diberikan, maka akan terjadi kecenderungan resistan terhadap
antibiotik yang diberikan. Kecenderungan resistansi tersebut dapat terjadi seperti
kejadian mastitis di daerah Baturaden yang telah resistan terhadap antibiotik βlaktam methicillin (5x.88%) dan juga resistan terhadap antibiotik lain, yaitu
gentamisin (5,88%) (Aminah 2013).
Pada dasarnya mekanisme penghambatan masing-masing antibiotik
adalah berbeda. Antibiotik jenis tetrasiklin, eritromisin, dan gentamisin bekerja
dengan cara menghambat sintesis protein. Antibiotik tetrasiklin bekerja dengan
cara menghambat pengikatan aminoacyl-transfer (t-RNA) pada A-site (Harms et
al. 2003). Eritromisin mencegah terbentuknya subunit ribosom 50S,
penghambatan eritromisin terjadi dalam tahap translasi antara proses inisiasi dan
elongasi (Nicola et al. 1998). Gentamisin menghambat subunit 30S sehingga
menghambat perpanjangan rantai polipeptida (Lambert 2012). Antibiotik
golongan fenikol (kloramfenikol) bekerja dengan mencegah pepanjangan rantai
polipeptida dengan menghambat aktivitas enzin peptidil transferase (Lambert
2012). Antibiotik trimetoprim-sulfamatoksazol merupakan perpaduan 2 jenis
antibiotik. Trimetoprim bekerja dengan mengikatkan diri pada dihydrofolate
reductase dan menghambat reduksi dihydrofolic acid (DHF) mejadi
tetrahydrofolic acid (THF). Sulfametoksazol bekerja dengan menghambat
dihydropteroate synthetase yang merupakan enzim yang berada di daerah
upstream pada proses sintesis yang sama. Kombinasi kedua antibiotik tersebut
memiliki fungsi yang sinergis dan dapat mengurangi perkembangan resistansi
apabila hanya digunakan satu jenis (Brogden 1982). Antibiotik β-laktam
(sefoksitin dan oksasilin) bekerja dengan cara menghambat biosintesis dinding sel.
Antibiotik tersebut mengikat enzim transpeptidase dan menghambat sintesis
dinding sel. Enzim transpeptidase disebut juga penicilin-binding protein (Walsh
2000).
Hasil Amplifikasi Gen mecA
Antibiotik jenis β-laktam, seperti penicilin, oxacilin, dan cefoxitin, sering
digunakan dan sangat efektif dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh
Staphylococci (Sawant 2005). Namun, pengobatan antibiotik tersebut terkendala
dengan resistansi antibiotik jenis β-laktam, yang dikenal dengan MRSA
(Methicilin Resistant of Staphylococcus aureus). Berdasarkan hasil uji kepekaan
antibiotik, terdapat 9 isolat/22.5% bakteri yang berasal dari susu mastitis subklinis
resistan terhadap antibiotik jenis β-laktam, yaitu oksasilin dan sefoksitin.
Hasil pengamatan secara molekuler dapat dilihat bahwa 22.5% bakteri
S.aureus yang resistan terhadap antibiotik jenis β-laktam (sefoksitin dan oksasilin)
terdeteksi adanya gen mecA yang dilakukan dengan metode PCR (Gambar 6).
Amplikon diamati dengan gel agaros 1% dibawah sinar ultraviolet. Gen mecA
memiliki panjang 527 bp (Poulsen 2003). Hasil penelitian tersebut tidak sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pinanditya (2014), yang menyatakan

14
bahwa sebanyak 93.75% kasus MRSA ditemukan pada sapi mastitis subklinis di
daerah Boyolali, Pacitan, dan Ponorogo, namun gen mecA tidak terdeteksi pada
semua isolat S. aureus baik yang resistan maupun sensitif terhadap methicilin
dengan menggunakan metode disc diffusion. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa amplifikasi gen mecA dengan teknik PCR merupakan konfirmasi yang baik
untuk menunjukkan kejadian MRSA dan dapat mendeteksi dengan cepat
(Baddour et al. 2007; Mohanasoundaram dan lalitha. 2008). Konfirmasi adanya
gen mecA yang mengkodekan MRSA juga dilakukan dalam penelitian dan
dihasilkan bahwa bakteri yang terdeteksi MRSA melalui uji antibiotik juga
ditemukan adanya gen mecA.

Gambar 6 Hasil amplifikasi gen mecA penyandi MRSA (Methicilin Resistant of
Staphylococcus aureus) dengan panjang 527 bp. Baris ke-1 adalah
marker DNA 100-1500 bp, baris ke-2 kontrol positif MRSA, baris ke-3
sampai ke-11 sampel yang diuji, baris ke-12 kontrol negatif
MRSA menghasilkan PBP2α (Penicilin binding Protein) yang memberikan
resistansi terhadap semua antibiotik jenis β-laktam. PBP2α dikodekan oleh gen
mecA (Matsuhashi et al. 1986). Bakteri Gram positif memproduksi dinding sel
luar tebal yang terdiri dari peptidoglikan yang berguna untuk memproteksi bakteri
dari sistem pertahanan hospes, yaitu sistem komplemen atau pun kerusakan yang
disebabkan tekanan osmotik (Hakenbeck et al. 1998). Karakteristik dari struktur
cincin antibiotik β-laktam adalah mengikat PBP yang terkait dalam sintesis
peptidoglikan dan mencegah sintesis dinding sel. Resistansi terhadap β-laktam
merupakan hasil dari degradasi enzimatis dari cincin β-laktam oleh betalaktamase
atau rendahnya afinitas (Vavra et al. 2003).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil identifikasi secara fenotipik melalui pewarnaan Gram dan uji biokimia,
didapatkan 72% yang memiliki karakteristik Gram positif, koloni menyerupai
anggur, berbentuk bulat, tidak berspora, katalase positif, dan oksidase negatif.
Hasil tersebut kemudian dilanjutkan dengan identifikasi secara genotipik melalui
gen nuc didapatkan 48% yang dinyatakan positif bakteri S.aureus. Semua isolat

15
bakteri S.aureus penyebab mastitis subklinis sensitif terhadap antibiotik tetrasiklin,
gentamisin, kloramfenikol, eritromisin, dan trimetoprim-sulfametoksazol,
sedangkan 22.5% bakteri dinyatakan resistan terhadap antibiotik β-laktam
(sefoksitin dan oksasilin) dan ditemukan adanya gen mecA melalui konfirmasi
secara molekuler.
Saran
Pemeriksaan mastitis subklinis perlu dilakukan secara berkala sehingga
dapat menghasilkan produksi susu yang berkualitas.
Identifikasi secara tepat tentang bakteri penyebab mastitis dapat
bekerjasama dengan balai penelitian peternakan, sehingga dapat dilakukan
penanganan yang tepat, terutama untuk terapi antibiotik.
Uji antibiotik yang digunakan sebagai terapi mastitis subklinis perlu
dilakukan secara berkala untuk mengetahui perkembangan resistansi antibiotik
dan pemilihan antibiotik secara tepat.
Identifikasi molekuler yaitu deteksi gen nuc dan gen mecA dapat dilanjutkan
dengan sekuensing untuk memastikan apakah hasil amplifikasi PCR tersebut
adalah tepat.

16

DAFTAR PUSTAKA
Akers RM. 2002. Lactation and the Mammary Gland. Ames: Iowa State
University Press.
Ali-Vehmas T, Vikerpuur M, Sandholm M. 1994. Lactoperoxidase antagonizes
anti-staphylococcal activity of cell-wall destab