Global UI december 2014

  

DEMOKRASI TANPA DEMOS:

PROBLEM GERAKAN OCCUPY DALAM ERA INFORMASI

  

ziyadfalahi@rocketmail.com

Abstract

  

This article try to examines the future of Occupy, which has became a leaderless

resistance movement with people of many colors, genders and political

persuasions who represent the 99% of people stand up, and say together that the

neoliberal system isn't working for us. Moreover, now the Zuccotti model is

morphing, and Occupy is undergoing a period of sustained global innovation.

However, Several large demonstrations have taken place all over the world in

recent years after global crisis in 2008. But, The ancient discussion about the

purposes of wealth and the conflict between oligarchy – rule of the rich – and

democracy – the rule of the demos/the people comes to the fore once again within

the current systemic crisis, The problems appears when Occupy use the

development of information and social media to call for social, economic justice

because the advance of Informations era led dramatical reduction of reality,

which often called by “hiperreality”. This condition causes occupy participant

increases rapidly, but without strategic, plan and ideology.

  Keywords: Neoliberalism, Occupy, Transnational Movement, Information age, and Democracy.

  Pendahuluan Freefall”, begitulah ungkapan Joseph Stiglitz menggambarkan tatanan

  perekonomian dunia pasca krisis 2008. Setelah prinsip kebebasan neoliberalisme selama lebih dari tiga puluh tahun senantiasa bangkit meski acapkali ditimpa krisis, namun kali ini Stiglitz meyakini jika hantaman krisis 2008 telah membuat

  1

  neoliberalisme lumpuh. Kejatuhan neoliberal diperkuat fakta ketika AS yang dalam sejarahnya paling lantang menyuarakan anti intervensi negara, ternyata pemerintahnya tak kuasa mengeluarkan baillout guna memperbaiki perekonomian pasca krisis. Namun apakah benar kembalinya intervensi negara menjadi indikator kejatuhan neoliberal?

  Sejenak marilah kita mulai mempertanyakan kembali pernyataan Stiglitz jika neoliberalisme telah mengalami freefall. Kasus baillout pemerintah AS justru menunjukkan bahwasanya dalam era pasca krisis 2008 ternyata dikotomi negara dan pasar ternyata tidak selalu menjadi dilema, bahkan justru berkolaborasi bersama. Logika kedaulatan negara dalam era globalisasi semakin tidak mampu menahan akselerasi logika akumulasi kapital yang semakin sporadis. Sebaliknya, logika pasar bebas semakin membutuhkan institusi yang mampu memberikan jaminan dan insentif ketika terguncang krisis. Implikasinya, ketika negara dan pasar saling menyelamatkan, maka seringkali rakyat yang harus dilupakan.

  Kompromi antara negara dan pasar kemudian melatarbelakangi munculnya gerakan transnasional. Kita dapat menyaksikkan setelah krisis 2008, menjadi era kelahiran beraneka gerakan sosial. Tidak terhitung banyak sekali gerakan sosial yang terjadi di penjuru dunia. Mulai yang fenomenal yakni people power di timur- tengah yang berhasil mengkudeta rezim otoriter di negaranya. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan sosial berbasis perekonomian global dimana diwarnai dengan kemunculan gerakan bernamakan “occupy” sebagai respon atas kondisi paska krisis 2008. Gerakan occupy merupakan gerakan transnasional yang terjadi di banyak negara setelah terinspirasi oleh gerakan occupy wall street di New York Sebuah gerakan transnasional yang bertekad untuk melakukan perlawanan terhadap kapitalisme-neoliberal.

  Occupy memperoleh antusiasme dari publik karena tekadnya yang kuat untuk merobohkan sistem neoliberalisme. Menjadi semakin menarik perhatian publik karena Occupy banyak dinisiasi oleh masyarakat kelas menengah, selebritis dan orang berpengaruh lainya. Didorong dengan segala optimisme tersebut, sudah lebih dari setahun publik menanti perubahan yang diagendakan Occupy, namun ternyata belum terjadi. Dilatarbelakangi hal tersebut, maka pertanyaan-pun muncul: mengapa Occupy belum mampu melakukan terobosan signifikan dalam menyuarakan anti neoliberalisme? Sekalipun keterbukaan infromasi dan demokrasi semakin berkembang. Untuk menjawabnya, tulisan ini akan dibagi menjadi enam pembahasan. Selanjutnya bagian kedua merupakan tinjauan teoritik demokrasi era infromasi. Pembahasan ketiga dan keempat merupakan elaborasi tentang Occupy dan teknologi informasi disertai contoh kasus. Kelima merupakan analisa lanjut mengenai prospek Occupy sebelum masuk pada subbab keenam yakni kesimpulan.

  Ketika Demokrasi Melupakan Demos

  Memperjuangkan “Demos” senantiasa menjadi tema besar dalam sejarah manusia. Namun dibalik gema dari setiap teriakan mengatasnamakan demos, selalu diusik oleh pertanyaan, mampukah sebuah kekuasaan secara tulus memperjuangkan demos?. Dari pertanyaan tersebut setidaknya memunculkan dua pandangan. Thomas Hobbes hadir dengan asumsi bahwa rakyat membutuhkan kekuasaan yang dapat menghindari adanya kondisi alamiah, dimana manusia cenderung saling memangsa (homo homini lupus). Sehingga pemerintahan otoriter sekalipun, justru merupakan institusi yang dibutuhkan oleh rakyat untuk menciptakan ketertiban. Namun pandangan berbeda diungkapkan oleh Jean Jaques Rosseau dan John Locke. Pemerintah ada karena ada rakyat yang secara kolektif memberi legitimasi kekuasaan pada negara sehingga kebebasan rakyat adalah tujuan pemerintahan.

  Demokrasi berupaya keluar dari dikotomi antara kekuasaan dan rakyat sekaligus menjadi upaya untuk mengembalikan demos pada singgasana kekuasaanya. Kata "demokrasi" yang berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yabg berarti pemerintahan dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi erat kaitannya pembagian kekuasaan dalam negara, umumnya berdasarkan konsep trias politica karena sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil.

  Banyak yang berpandangan, problem kesejahteraan negara berkembang lebih karena sistem politik yang tidak demokratis sehingga menjauhkan rakyat dari akses pengambilan kebjakan. Namun realitanya ketika sistem politik telah didemokrasikan, namun mengapa rakyat masih belum mampu mengambil kebijakan? Dan mengapa justru problem kesenjangan semakin melebar di beberapa negara demokrasi?. Lalu entah mengapa hanya demos yang memiliki kapital sajalah yang menguasai kratos dalam sistem Demokrasi.? Seperti yang terjadi di Indonesia ketika para pengusaha berlomba lomba memperebutkan kratos.Inilah lubang dalam ide demokrasi yang ternyata tidak kuasa menghadapi sindikat kartel yang justru mendapat legitimasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itulah, demokrasi yang dipraktikkan secara artifisial oleh beberapa negara justru semakin menjauhkan demos (rakyat) dari kratos (pemerintahan).

  Tanpa disadari, demokrasi kekinian dipadankan dengan “kebebasan” sehingga memunculkan istilah demokrasi liberal. Mulanya kebebasan bersuara dan berserikat diyakini akan memberikan akses rakyat pada kekuasaan (kratos). Namun dalam perkembanganya kebebasan membuat tumpang tindih antara mana yang merupakan ruang privat dan mana yang ruang publik. Sehingga Demokrasi justru dihadapkan pada tiadanya titik temu antara kolektifitas dengan individu. Dulu, atas nama kolektifitas, individu dikorbankan. Kini sebaliknya, atas nama kebebasan individu, kolektifitas yang dilupakan. Terlihat bagaimana privatisasi terhadap public goods seperti air, udara, tanah dll. Implikasinya, dibawah payung Liberal, demokrasi justru menjadi semakin jauh dari harapan untuk mewujudkan kekuasaan “demos”. Kebebasan sesungguhnya hanyalah kebebasan bagi para pemilik modal untuk membeli semua yang bisa dimilikinya.

  Daya tahan kapitalisme neoliberal menjadi sebuah misteri yang berusaha dikupas oleh David Harvey. Harvey melihat kemampuan metafisika kapitalisme

  2

  dalam reproduction of space. Akumulasi kapital tidak bisa lincah berakselerasi dalam ranah spatial fix kedaulatan negara (sovereignity), sehingga kapitalisme membutuhkan ruang ekspansi yang disebut spatio temporal fix. Dalam studi ilmu politik, spatio temporal fix merupakan bagian dari geopolitik dan geoekonomi. Namun dalam era kontemporer aspek spatio bukan lagi sesuatu yang statis. Kata Temporal dan fix dalam spatio temporal fix perlu untuk dibaca dengan cukup kritis karena menggambarkan sebuah perpaduan kata yang saling meng- antagonismekan. Dimana logika “Geo” yang statis bertemu dengan logika politik yang dinamis dan transformatif.

  Proses percumbuan antara logika kapital dan logika teritorial tersebut membuat benteng negara tak lagi ampuh untuk membendung neoliberalisme.. Dengan begini, maka perlu memikirkan kembali apakah neoliberalisme selalu identik dengan konsensus washington?. Atau dengan kata lain apakah jika konsensus washington tidak lagi dianut, maka berarti bahwa neoliberalisme telah mulai ditinggalkan? Neoliberalisme bukan hanya berkaitan dengan besar tidaknya intervensi negara. Atau dengan kata lain, besarnya intervensi negara sebagaimana yang dicontohkan oleh Cina yang komunis sekalipun, sesungguhnya berada dalam koridor neoliberalisme. Kita bisa melihat bagaimana ketergantungan Cina terhadap pasar bebas sehingga murahnya produk cina adalah penopang pasar

  3

  bebas dikala krisis. Ini menjawab mengapa Cina khawatir ketika AS mengalami krisis 2008 karena adanya relasi interdependence antar keduanya.

  Ketika negara tak sanggup lagi, muncullah alternatif jalan keluar terhadap neoliberal selain demokrasi, yakni perlawanan melalui gerakan transnasional. Apalagi kosmopolitanisme semakin berkembang seiring kemunculan “Network

  kompak ketika Thomas L Friedman dalam bukunya the lexus and the olive three mengungkapkan keyakinanya terhadap pasar bebas karena Informasi telah membuat perbedaan waktu dan tempat menjadi tidak relevan lagi (time space

  5 compressed). Dengan demikian, nilai cosmopolitanism merupakan hasil dari

  aktivitas transaksional. Kecenderungan terakhir tersebut paralel dengan deskripsi Paul Virillo sebagai kondisi di mana 'kontrak sementara' menggantikan institusi

  6

  permanen dalam ruang lingkup internasional. Secara ekonomi, Era Infromasi

  7

  menandai hadirnya era post-industri. Kecepatan tanpa kontrol membuat para

  8

  pelaku usaha seperti halnya bermain casino (Casino capitalism). Neoliberal merupakan rezim yang menjunjung tinggi mekanisme alamiah dari logika “ketidaksengajaan” pasar. Sehingga apapun model pemerintahanya, Demokrasi atau otoriter, selama ide neoliberal masih mendominasi, maka hanya demos yang memiliki kapital yang menguasai kratos.

  Dengan kata lain, Skenario sinetron neoliberalisme sejatinya belum selesai pasca krisis Global 2008. Adegan hanya berganti aktornya saja, dari swasta ke negara. Namun narasi cerita dalam skenarionya tetap sama, yaitu pasar bebas dan privatisasi. Dikhawatirkan gerakan Occupy hanya menjadi salah satu aktor yang turut meramaikan teater neoliberal sebagaimana negara. Sebagaimana perlawanan-perlawanan sebelumnya yang sebatas menjadi commercial break, sehingga sinetron neoliberal justru menjadi lebih menarik untuk ditonton episode selanjutnya. Lalu muncul pertanyaan, ditengah munculnya era infromasi yang secara logika mampu menjadi alat propaganda, Apakah Occupy yang diinisiasi oleh rakyat biasa mampu mendobrak tatanan kapitalisme neoliberal ketika negara sekalipun tak mampu?.

  Telah lama aksi gerakan "Occupy Wall Street" berlangsung. Gerakan yang dimulai pada tanggal 17 September 2011 tersebut akhirnya meluas dibanyak negara. Bahkan gerakan tersebut sukses menjadi pendorong revolusi di beberapa negara yang sedang krisis seperti di negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Berawal dari demostransi di Zuccotti Park, New York, para demonstran melakukan aksi tuntutan yang berlandaskan sentimen mengenai persamaan hak, tingginya tingkat pengangguran, korupsi hingga kebijakan bantuan terhadap rakyat miskin di AS. Pergerakan tersebut terus semakin meluas hingga munculnya antipati terhadap sektor finansial AS yang dinilai telah turut memiliki andil bagi keterpurukan ekonomi AS. Gerakan "Occupy Wall Street" semakin berkembang dan berlanjut di bulan Oktober, mulai bermunculan pergerakan serupa yang melanda di banyak negara. Didorong oleh semangat "Occupy Wall Street", kaum progresif turut melakukan aksi serupa di banyak negara seperti Inggris, Italia, Yunani, Mesir, Spanyol, Brasil.

  Gerakan Occupy bergerak berdasarkan leaflet yang disebarkan oleh kelompok yang menyebut diri mereka ‘Preparation Group to Act for 99%’. Pada 15 oktober kota terbesar kedua Australia, Melbourne, menjadi lokasi pertama yang memulai unjuk rasa setelah pemberitaan wall street.. Sementara Hong Kong, pengunjuk rasa yang berkoordinasi lewat jejaring sosial Facebook berkumpul di Exchange Square Podium. Lebih dari 1.500 orang Taiwan juga mengkonfirmasi kehadiran mereka via facebook di dekat Taiwan Stock Exchange. Seperti di Hong Kong yang mana juga berkoordinasi via Facebook, yakni laman Occupy Taipei yang sengaja dibuat khusus. Beralih ke Eropa dimana pengunjuk rasa Yunani berkumpul di Syntagma Square, Athena, lalu Bank Sentral Jerman di Frankfurt menjadi sasaran pengunjuk rasa Jerman. Sebanyak empat ribu orang Inggris juga berkumpul di pusat Ibukota London. Benua Hitam tak mau ketinggalan dengan pengumuman di situs Occupy South Africa dimana unjuk rasa digelar serentak di

  9 sejumlah kota seperti Cape Town, East London, Durban dan Johannesburg.

  Hampir semua prototipe umum gerakan Occupy sebagaimana yang telah dijelaskan ternyata berawal dari pemberitaan melalui ICT. Teknologi informasi dan media bukan hanya dalam tataran menginspirasi saja. Bahkan kemudian untuk menyusun sistematika dan tujuan dari gerakan Occupy juga melalui bantuan media seperti facebook dan twitter. Implikasi positifnya, gerakan yang terjadi berlangsung begitu masif secara massa, dan cepat menyebar hingga penjuru dunia serta menyita perhatian media massa internasional. Namun implikasi negatifnya, efek pemberitaan people power Occupy tersebut ternyata hanya muncul sekilas lalu lenyap begitu saja.

  Peranan teknologi informasi dan media terjadi pula pada gerakan Occupy di Indonesia yang diadakan sedikit terlambat pada November 2011. Gerakan Occupy Jakarta merupakan pergerakan yang diusung para demonstran yang mengusung isu anti kapitalisme, kemiskinan, lingkungan hidup sampai dengan tingginya tingkat pengangguran. Gerakan tersebut dilakukan dengan menduduki gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) setelah sebelumnya juga menyebar undangan melalui dunia maya. Namun ironisnya, sebuah gerakan yang pada hakikatnya penting, ternyata justru nyaris tidak diliput oleh media. Media bahkan lebih memilih untuk menyoroti reshuffle kabinet ketimbang sebuah gerakan populis yang diwakili oleh berbagai elemen masyarakat. Bahkan tidak ada respon apapun dari pemerintah terhadap tuntutan yang dikeluarkan Occupy Jakarta karena pemerintah terlalu sibuk mengurusi kabinet baru.

  Optimisme kaum neoliberal bahwa media massa atau kebebasan infromasi merupakan determinan bagi kesadaran gerakan sosial ternyata mudah sekali untuk difalsifikasi. Bahkan muncul sebuah keraguan terutama jika kita membandingkan

  10

  dengan kasus timur-tengah. Kenapa timur-tengah dengan kemajuan informasi yang masih sedikit justru sangat masif dalam melakukan gerakan sosial (Lihat

Tabel 1.1. dibawah). Bahkan gerakan berhasil menghasilkan beberapa kudeta seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia. Sebaliknya, negara Asia timur dengan

  perkembangan informasi yang lebih maju, namun ternyata masih jarang terjadinya gerakan sosial. Berikut ini sekilas untuk melihat komposisi masing masing negara dalam penguasaan infromasi.

  11 Gambar 1.1. Tabel Perbandingan Kecepatan Informasi antar Negara 2012

  Bahkan Cina dengan tingkat masyarakat melek informasi tertinggi di Asia malah menjadi antitesisnya. Perkembangan informasi yang pesat justru menjadi alat dominasi negara yang luar bisa besarnya dalam merepresi gerakan sosial. Hal yang sama juga ditemukan di Korea Selatan dimana hingga sekarang hanya ada PSPD (people solidarity for participatory democracy) yang aktif mengontrol pemerintahan ditengah kemajuan infromasi. Perbandingan antara kedua aspek yang kontradiktif ini menjadi celah kritik terhadap isu digital divide Dengan demikian, Optimisme bahwa perkembangan teknologi informasi senantiasa berbanding lurus dengan kesadaran untuk melakukan gerakan ternyata tidak sepenuhnya berlaku universal.

  Oleh karena itulah, perkembangan Teknologi Informasi menjadi aspek yang penting untuk dikaji secara serius dalam Occupy. Teknologi informasi secara teoritik diasumsikan semakin mempermudah suatu Gerakan sosial untuk mempercepat konsensus dalam rangka menyalurkan aspirasinya. Tidak bisa dipungkiri, melalui stimulus dari teknologi informasi, gerakan Occupy tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk membentuk segregasi ide sebagai nilai bersama untuk diperjuangkan dalam gerakan yang bersifat global. Wajar kiranya jika teknologi informasi dan komunikasi (ICT) memainkan peranan krusial dalam mempercepat gerakan Occupy. Namun. tanpa disadari bahwa Teknologi informasi merupakan instrumen pendukung neoliberalisme untuk mempermudah akselerasi pasar secara global. Dengan kata lain, Occupy yang menentang neoliberal, justru menggunakan senjata yang kini dijadikan andalan neoliberalisme dalam memperluas pasar bebas.

  

Perkembangan Informasi dan Gerakan Sosial: Segregasi Atau Turbulensi ?

  Teknologi informasi sebagaimana dalam kasus Occupy berperan signifikan. Namun tatkala dikomparasi dengan gerakan lainnya, nyatanya media tidaklah selalu menstimulus segregasi ide dan tujuan bersama untuk melakukan gerakan sosial. Sebagai contoh Jepang yang terkenal dengan kemajuan teknologi informasi yang maju menjadi contoh unik. Sebagai negara demokrasi, gerakan Occupy Jepang seolah tidak banyak berperan meskipun permasalahan ekonomi dan politik juga tidak sedikit. Sekalipun terdapat peraturan dari pemerintah Jepang yang memberikan kebebasan pers bagi media, ditambah banyak sekali Non-

  governmental Organization (NGO). Namun realitanya elemen kontrol terhadap

  kinerja pemerintahan eksekutif Jepang sangat mengandalkan pada kinerja parlemen Jepang, dan bukan pada gerakan sosialnya.

  Padahal jika disimak berdasarkan (Tabel 1.2.) sebagaimana dibawah ini justru memperlihatkan bahwa Jepang merupakan negara ketiga terbesar dalam penggggunaan internet di Asia. Dengan jumlah pengguna Internet hampir seratus juta, menunjukkan bahwa sekitar 78,2 peren dari seluruh populasi Jepang

  12

  merupakan pengguna Internet. Dan yang menarik adalah bahwa situs yang paling sering digunakan oleh masyarakat Jepang merupakan situs media sosial seperti facebook, twitter yang sejatinya dapat memudahkan kemunculan suatu gerakan sosial sebagaimana Occupy. Ketergantungan terhadap Internet di Jepang berlangsung masif sejak tahun 2000, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya

  13 internet sudah tergolong establhised.

  Dengan kata lain, meleknya masyarakat Jepang terhadap ranah Informasi secara teoritik seharusnya semakin mendorong intensitas masyarakat sipil untuk melakukan suatu gerakan sosial via dunia maya. Apalagi krisis nuklir Fukushima dan turunya perdana menteri Naoto Kan menjadi salah satu isu yang paling santer diakses masyarakat Jepang melalui dunia maya pada 2011. Namun ternyata tidak diketemukan adanya peranan gerakan sosial terhadap kedua isu utama yang kontrovesial tersebut. Terecuali saat rakyat Jepang memprotes cara pemerintah menangani bencana gempa bumi besar yang terjadi pada 11 Maret lalu, sekalipun juga tidak fenomenal. Bahkan dalam kasus Occupy dimana di Jepang terdapat tiga titik unjuk rasa, tidak terlihat adanya gerakan sosial yang masif sebagaimana di AS. Dengan demikian, maka pemikiran yang meyakini ICT sebagai intrumen

  14 segregasi antar ide untuk gerakan sosial ternyata terlalu simplifikatif.

  • 15

  Grafik.1.2. Grafik Negara dengan Pengguna Internet Terbanyak Banyak yang menilai bahwa faktor kelas menengah (middle class) yang menyebabkan masyarakat Jepang tidak terlalu agresif melakukan gerakan sosial.

  Lalu bagaimana dengan Indonesia? dimana gerakan sosial berbasis media massa juga banyak dipelopori oleh kaum terpelajar dan kelas menengah. Jepang dijadikan pembanding Indonesia adalah karena secara umum kedua negara memiliki karakteristik pemerintahan yang sama. Kesamaan tersebut diantara lain adalah karena Jepang dan Indonesia merupakan negara yang menganut demokrasi, sama-sama mengakui kebebasan pers, dan memberikan kesampatan masyarakat sipil serta Non Governmental Organization untuk menyalurkan aspirasinya. Terlebih lagi jika merujuk pada kapasitas teknologi informasi, maka sudah seharusnya Jepang justru lebih intensif dalam melakukan gerakan sosial ketimbang Indonesia, karena masyarakat Jepang lebih mengenal teknologi jauh sebelum Indonesia mengenal TI. Namun faktanya, gerakan sosial Indonesia ternyata menjadi lebih intens secara kuantitas meskipun ironisnya, tidak seberapa berkualitas pengaruhnya terhadap kekuasaan.

  Malahan muncul hipotesis sebaliknya yang justru memandang bahwa lain, masyarakat mudah terprovokasi oleh sesuatu yang tidak terlalu krusial, namun diam ketika terdapat masalah yang lebih substansial. Dalam kasus koin untuk Prita Mulyasari misalnya, gerakan yang dimulai dari media sosial facebook dapat meraih simpatisan mencapai satu juta orang dapat berlangsung hanya

  16

  dengan tempo lima hari. Sebaliknya, kontradiksi dapat ditelaah dalam kasus gerakan facebook pembebasan Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah yang membutuhkan proses segregasi gerakan yang lebih lama ketimbang Prita, dan

  17

  ironinya hanya sebentar saja memunculkan reaksi dari mahasiswa. Bahkan adegan bakar diri Sondang Hutagalung tidak menginspirasi lahirnya perlawanan selanjutnya. Malah pada waktu yang bersamaan, media justru lebih aktif menyoroti kasus penangkapan istri simpanan pejabat ketimbang aksi heroik Sondang yang merenggut nyawanya didepan istana.

  Dari penjelasan tersebut terlihat belum adanya sinkronisasi antara kemajuan Informasi dan kesadaran gerakan sosial. Ambivalensi Teknologi Informasi dengan gerakan sosial semakin diperparah ketika disi lain neoliberalisme menjadikan informasi sebagai komoditas mengatasnamakan hak asasi manusia. Fakta tersebut dapat disimak dari rencana WTO melalui Trade in

  relation Intellectual property right (TRIPS) dimana pengetahuan dan informasi

  perlu dihargai dengan uang. Jika dahulu pengetahuan dan informasi adalah public

  goods yang sifatnya tidak terbatas, kini melalui TRIPS maka informasi dan

  pengetahuan menjadi komoditas. Melalui TRIPS yang sedang dibahas dalam WTO, maka setiap transaksi yang berkaitan dengan pengetahuan, maka harus ada kompensasi yang dibayarkan.

  Turbulensi, begitulah yang dirasakan saat menggambarkan konteks gerakan sosial Era Infromasi. Kasus Indonesia yang kontradiktif ini menjadi refleksi adanya irrasionalitas media sosial yang acapkali membuang energi masyarakat untuk fokus yang kurang prioritas dan mengkesampingkan yang esungguhnya jadi prioritas. Sebagaimana Slavoj Zizek mengatakan bahwa kapitalisme dibantu dengan teknologi informasi telah mereproduksi sensasi, dimana salah satu sensasi yang direproduksi adalah sensasi untuk melawan

  18 kapitalisme itu sendiri. Karl Marx dan Antonio Gramscy terlibat dalam suatu perdebatan mengenai apakah basis realitas atau basis pemikiran terlebih dahulu yang mendorong lahirnya gerakan perlawanan. Karl Marx lebih melihat basis realitas material (infrastruktur) merupakan faktor pendorong gerakan sosial. Sebaliknya Gramscy lebih melihat penekananya pada aspek pemikiran (superstruktur). Dalam hal ini, Karl Marx dan Gramcy harus mengakui bahwa kapitalisme yang sempat diramalkan akan runtuh, justru menjadi semakin kuat. Mengapa? Jawaban dapat dirujuk pada analisa Jean Baudrillard bahwa kapitalisme telah berkembang dari

  19

  eksploitasi basis produksi menuju ke eksploitasi kedalam logika konsumsi. Di zaman Karl Marx abad kesembilan belas, penindasan bersifat langsung, frontal, keras dan mengkesploitasi secara tangible. Kini penindasan yang terjadi berlangsung secara halus, tidak langsung, dan intangible. Melalui bantuan iklan, penindasan justru menjadi kenikmatan bagi yang ditindas sehingga daya beli konsumen menjadi penopang sistem kapitalisme.

  Dengan kata lain, kapitalisme era informasi membuat kaburnya batas antara yang “realitas” dan yang “bukan” realitas. Apalagi realitas yang direkayasa melalui teknologi infromasi justru lebih real ketimbang aslinya. Sehingga perbedaan antara basis infrastruktur dan basis suprastruktur dalam kesadaran sebagaimana Marx katakan menjadi ambivalen. Bahkan dengan simulasi yang seduktif membuat kita semakin tidak bisa membedakan antara sadar atau “tidak sadar”. Oleh karena itulah Daniel Bell menyebut logika kultural “kapitalisme informasi” membuat individu seolah-olah bebas memilih produk, namun tanpa

  

20

  disadari ia telah dikontrol melalui iklan. Bahkan Lyotard menyebut kapitalisme Informasi sebagai kapitalisme libido (libidinal capitalism) ketika gairah temporer

  21

  memndorong manusia tidak lagi mampu berpikir normatif. Tidak dapat dipungkiri kapitalisme dalam bentuk paling canggih tersebut membuat teriakan anti kapitalisme semakin hari semakin sunyi.

  Dari tinjauan diatas, terlihat bahwa inilah kondisi demokrasi tanpa demos. Ketika rakyat kehilangan representasinya. Tanpa disadari realitas yang diyakini gerakan Occupy adalah realitas hasil “simulasi sehingga menjauhkan demos dari realitas hakiki. Apalagi media acapkali memberikan bumbu-bumbu tambahan supaya berita Occupy terlihat seperti sesuatu yang seolah dashyat (hiperrealitas) supaya laku dipasaran. Sehingga secara tak langsung memprovokasi masyarakat negara lain untuk juga melakukan gerakan yang serupa. Dengan kata lain, Occupy tidak lahir sebagai sebuah perencanaan strategis jangka panjang, namun justru muncul secara tidak sengaja. Oleh karena itulah, kewaspadaan menjadi perlu supaya kehadiran Occupy bukan malah secara “tak sengaja” memberikan solusi untuk menyelamatkan pasar bebas untuk keluar dari belenggu krisis 2008.

  Aspek “ketidaksadaran” dalam Occupy membuat kita tidak perlu kembali pada dualisme perdebatan klasik antara ide dan realitas..Namun yang diperlukan adalah elaborasi kedua basis tersebut sekaligus dalam melakukan gerakan, yakni suatu pemikiran yang berpangkal dari realitas yang objective. Tanpa visi pemikiran yang terukur, maka realitas simulasi dalam era hiperrealitas media akan senantiasa menjadi panduan seolah olah media selalu menampilkan kenyataan. Padahal pemberitaan media tiap hari bisa berubah dan tidak jelas fokusnya sesuai dengan berubahnya selera pasar. Jangan sampai Occupy seperti Nurman Kamaru yang ngetop hanya sebentar saja. Tanpa basis pemikiran yang terencana dan memiliki visi jangka panjang, Occupy akan selalu mengikuti turbulensi wacana dalam era infromasi. Dengan kata lain, realitas tanpa dianalisis melalui pemikiran,

  22 ibarat “raga” tanpa “ruh”, begitu pula sebaliknya.

  Banyak yang menilai Occupy lebih menjadi sebuah “obyek” ketimbang “subyek” dalam gerakan. Dengan kata lain Occupy adalah sebuah reaksi tak sadar melawan kapitalisme, bukan sebuah aksi yang dilakukan secara sadar. Padahal kesadaran kolektif penting bagi gerakan perlaanan karena kapitalisme menciptakan ketidaksadaran kolektif. Dalam derajat tertentu, ketidaksadaran kolektif terlihat dari sejarah Occupy sebarai respon karena momentum krsis global yang muncul dengan tidak sengaja. Occupy perlu ingat jika pasar bebas melakukan kontrol kuasanya melalui logika ketidaksengajaan, maka perlawanan terampuh adalah dengan melakukan “kesengajaan”. Maksudnya, tidak perlu menunggu krisis terlebih dahulu, gerakan perlu segera dilakukan.

  Bahkan banyak kritikan yang menyatakan jika gerakan Occupy hanya menjadi franchise atau pop culture. Hal tersebut karena gerakan Occupy di negara lain pun juga berlangsung dengan nama, pola dan cara yang sama dengan Occupy

  Wall street. Dengan kata lain masyarakat yang ikut lebih karena tergiring oleh

  sensasi pemberitaan yang sedang menyoroti Occupy wall street. Dalam terhadap kapitalisme sektor finansial saja tapi juga telah merambah ke masalah lingkungan hidup, keamanan dunia hingga diskriminasi gender, ras dan agama. Perluasan isu tersebut tentunya semakin menunjukkan inkonsistensi dari visi dan misi Occupy sesungguhnya, yaitu sebagai perlawanan atas kapitalisme neoliberal. Dengan demikian wajar jika dalam perkembanganya Occupy semakin hari gemanya semakin sunyi dan mengalami stagnasi.

  Kesimpulan

  Andaikata sejarah adalah sesuatu yang dapat direkonstruksi kembali, maka akan muncul pertanyaan; mungkinkah gerakan Occupy di negara lainya mampu muncul dan berkembang jika media tidak pernah menayangkan dan membesar- besarkan pemberitaan Occupy Wall Street?. Sebuah pertanyaan yang sejatinya hanya mampu dijawab oleh pelaku gerakan Occupy sendiri. Namun dari observasi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan jika Occupy berkembang pesat melalui media Infromasi.

  Gerakan transnasional bernama Occupy berpotensi melahirkan kontradiksi didalamnya. Sebuah gerakan yang mengatasnamakan perlawanan terhadap neoliberalisme, namun kritiknya justru berpotensi menyelamatkan neoliberalisme untuk semakin bermetamorfosis. Kita bisa menyaksikkan bagaimana Occupy di beberapa negara justru menyuarakan kembalinya Intervensi negara dalam perekonomian. Tanpa disadari intervensi negara dalam perekonomian seperti contoh AS dan Cina, justru melanggengkan sistem pasar bebas. Sehingga siapa yang resisten: Gerakan occupy yang resisten terhadap neoliberal, ataukah sebaliknya, neoliberal yang resisten terhadap Occupy.

  Karena tidak adanya basis ide atau nilai transenden yang jelas dimiliki oleh Occupy, maka Gerakan Occupy menjadi sangat bergantung pada realitas artifisial dalam era informasi. bahkan dalam perkembanganya kemudian Occupy malah semakin memperluas agendanya hingga ke masalah yang tidak sinkron pada tujuan utamanya. Bakan banyak gerakan Occupy yang muncul di negara lain dinilai hanya sekedar ikut-ikutan saja. Terlebih lagi banyak aktivis Occupy yang mendefinisikan Neoliberalisme terlalu simplifikatif dengan menyebut neoliberal sebagai ide yang dikonspirasikan oleh antek neolib macam mafia Berkeley dsb. dalam perekonomian Indonesia. Tanpa memahami dan mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan neoliberalisme, maka Occupy tidak sadar bahwa dirinya justru membantu menyelamatkan sistem neoliberal. Dengan kata lain, boleh dikatakan jika atraktifnya parade gerakan Occupy cenderung menjadi sebuah hiburan dikala dunia sedang krisis.

  Mengantisipasi problem tersebut, fundamentalisme perlu dihidupkan kembali sebagai anitesa Kosmopolitanisme yang kini menjadi pijakan Occupy. Kosmopolitanisme justru membuat gerakan Occupy di tiap tiap negara berjuang sendiri sendiri sehingga tidak menghasilkan gerakan yang masif dan terkoordinasi. Fundamentalisme memungkinkan adanya persatuan gerakan Occupy di seluruh dunia. Fundamentalisme disini difahami sebagai suatu sikap terarah yang berpangkal pada transendensi ide. Transendensi ide mampu diwujudkan melalui diagnosa terhadap akar neoliberalisme secara global, bukan berdasarkan kasus per kasus berdasarkan problem negara masing masing.

  Dengan kata lain, jalan keluarnya adalah skenario neoliberal dilawan dengan skenario. Jika Occupy hanya sekedar mengajukan skenario bahwa negara harus intervensi dalam perekonomian, maka sama saja dengan menganjurkan negara melestarikan pasar sebagaimana skenario neoliberal. Sebuah skenario yang tidak mudah tentunya, namun itulah sejarah perjuangan. Teringat Karl Marx berkata “human do not make history under condition of their own choosing”. Sebagai sebuah refleksi, maka “demokrasi tanpa demos” sebagai judul diatas memiliki makna untuk direnungkan kembali. Dengan demikian, maka diantara kratos dan demos, kita tidak selalu harus memilih salah satu diantara keduanya.

  

DAFTAR PUSTAKA

Buku

  Arnsperger, Cristian. Critical Political Economy: Complexity, Rationality and The Logic of Post-Orthodox Pluralism. London: Routledge, 2008. Baudrillard, Jean. The Mirror of Production. Cambridge: Polity press, 1977. Bell, Daniel. The Cultural Contradiction of Capitalism. London: Basic Books.

  2004. Friedman, Thomas. L. The Lexus and Olive Three. Farrar Strauss & Giroux. 1999. Giddens, Anthony. The Constitution of Society. Cambridge: Polity press. 1984. Grabel, Ilene. & Ha-joong, Chang. Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan. Yogyakarta: Insist Press. 2008.

  Harvey, David. The Brief History of Neoliberalisme. Oxford: Blackwell., 2005.

  Harvey, David. Imperialisme: Genalogi kapitalisme Kontemporer, Yogyakarta: Resist Book, 2005. Hayek, Frederick. The Road of Serfdom. Chicago University Press. 2004. Jackson, Robert., & Sorensen. Global Political Economy. Oxford University

  Press. 2008., Jameson, Frederick. The cultural Logic of late Capitalism. London : Verso, 2000 Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal. Hegemony and Socialist Strategy : Towards a Radical Democratic Politics. London dan New York: Verso, 2001.

  Stiglitz. Joseph. Freefall: America, Free market and the sinking of global economy. New York: Norton Company. 2009 Strange, Susan. Casino capitalism. London : Blackwell, 1997. Virillo, Paul. Lost Dimension. New York: Semiotext, 1991. Zakaria, Fareed. The Post-American World. New York: Norton Company, 2008.

  Jurnal

  Onuf, Nicholas. Institution, Intention, and International Relation, Journal Review

  of International Studies, 28, (2002): 211-228 Internet

  “Aksi Dukungan terhadap Bibit dan Chandra Meluas di Facebook“, dalam

  akses 10 januari 2012, pk 22.12

  “Countries-with-highest-internet-users” dalam

  akses 3 Februari 2012. Pk 21.46.

  “From WallStreetdalam http:/akses 6 Desember 2011. Pk 14.22. “Occupy Sprit” dalam http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2011/oct/26/ diakses pada 4 Desember 2011, pk 21.35. “Occupy tokyo another good excuse to come out-and hate on tepco“

  akses 20 desember 2011.pk 20.55.

  “Occupy Attack”, http://www.yomiuri.co.jp/dy/national/T111015002399.html, diaskes 20 desember 2011, pk 22.14. “Occupy-jakarta-tolak-ekonomi-kapitalis”. http://occupyindonesia.org/berita/dalam-media/84-occupy-jakarta-tolak- ekonomi-kapitalis- diakses pada 4 Desember 2011, pk 13.00. “Occupy-Tokyo-Mass-demonstrations-go-unreported-by-Japanese-media” http://www.sott.net/articles/show/237704-Occupy-Tokyo-Mass- demonstrations-go-unreported-by-Japanese-media, diakses 17 Desember 2011, pk 23.10. “The Global Digital Divide” dalam http://www.internetworldstats.com/top20.htm, diakses 13 november 2011, pk 21.45.

  Catatan Belakang

  

1 Stiglitz. Joseph. Freefall: America, Free Market and The Sinking of Global Economy (New York: Norton Company,

2009).

  

2Harvey, David. Imperialisme: Genalogi Perkembangan Kapitalisme Kontemporer (Yogyakarta: Resist Book, 2005).

  3 Harvey, David. The Brief History of Neoliberalisme (Oxford: Blackwell, 2005).

  4 Hayek, Frederick. A. The Road of Serfdom (Chicago University Press, 2004)

  5 Friedman, Thomas., L. The Lexus and Olive Three (Farrar Strauss & Giroux, 1999)., 6 Virillo,Paul. Lost Dimension (New York: Semiotext, 1991).

  7 Jameson, Frederick. The Cultural Logic of late Capitalism (London : Verso, 2000).

  8 Strange, Susan. Casino Capitalism London : Blackwell, 1997.

  “From Wall street”, dalam www.occupywallst.org, diakses 6 desember 2011. PK 23.12

  9

10“Occupy-jakarta-tolak-ekonomi-kapitalis”, dalam http://occupyindonesia.org/berita/dalam-media/84-occupy-jakarta-

tolak-ekonomi-kapitalis- , diakses pada 4 Desember 2011 PK 23.12. akses 13 november 2011

  11“The Global Digital Divide” dalam

12“Countries-with-highest-internet-users” http://www.therichest.org/technology/countries-with-highest-internet-users-

2011/ 13“Occupy Attack”, dalam http://www.yomiuri.co.jp/dy/national/T111015002399.html, diaskes 20 desember 2011 14“Occupy-Tokyo-Mass-demonstrations-go-unreported-by-Japanese-media” dalam http://www.sott.net/articles/show/237704-Occupy-Tokyo-Mass-demonstrations-go-unreported-by-Japanese-media, diakses 17 desember 2011 PK 21.12. 15“Occupy Sprit” dalam http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2011/oct/26/ diakses pada 4 Desember 2011.

  16

  17Aksi.Dukungan.terhadap.Bibit-Chandra.Meluas.di.Facebook“ http://nasional.kompas.com/read/2009/10/30/09061446/Aksi.Dukungan.terhadap.Bibit-Chandra.Meluas.di.Facebook

  18Laclau, Ernesto dan Mouffe, Chantal. Hegemony and Socialist Strategy : Towards a Radical Democratic Politics. (London dan New York: Verso, 2001).

  19 Baudrillard, Jean. The Mirror of Production (Cambridge: Polity press, 2002).

  20 Bell, Daniel., The Cultural Contradiction of Capitalism (London: Basic Books, 2004).

  21Lyotard, Francois. .Libidinal Economy (Penguin Books, 1994).

  22 Arnsperger, Cristian. Critical Political Economy: Complexity, Rationality and The Logic of Post-Orthodox Pluralism (London: Routledge, 2008).