MEMAHAMI DOKTRIN DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH DALAM PERSPEKTIF DAKWAH

http://www.suara-muhammadiyah.or.id/new/content/view/536/27/
MEMAHAMI DOKTRIN DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH DALAM
PERSPEKTIF DAKWAH
Senin, 02 Januari 2006

Oleh: Muhsin Hariyanto*

Muhammadiyah bukan sekadar gerakan dakwah dalam arti sempit, tetapi
merupakan gerakan Islam multi-wajah yang memiliki misi dan visi yang jelas,
selaras dengan maksud dan tujuan pendiriannya. Oleh karenanya, tidak mudah
mendefinisikan doktrin dan gerakan Muhammadiyah dalam rentang waktu yang
cukup lama. Muhammadiyah akan selalu konsisten dengan pendiriannya, karena
semangat purifikasinya, dan sekaligus selalu berubah selaras dengan watakdinamisnya sebagai gerakan pembaruan Islam
Citra Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah sudah menjadi
pemahaman umum di kalangan masyarakat, baik di dalam atau di luar
Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri pun menyadarinya, bahwa predikat
tersebut bukanlah merupakan asumsi yang salah. Sebab, motif utama pendirian
Muhammadiyah – oleh para pendirinya, yang dipelopori oleh KHA Dahlan –
adalah untuk menjadi instrumen penting untuk pelaksanaan dakwah Islamiyah
secara menyeluruh.


Memahami Arti Dakwah Muhammadiyah
Muhammadiyah memahami kata “dakwah” bukan sekadar melaksanakan
kegiatan pengislaman dalam arti formal. Lebih jauh dari itu, Dakwah diartikan
sebagai upaya menyeluruh untuk menumbuhkembangkan kondisi ideal dalam
takaran “Islam” (I huruf besar menandai “islam” sebagai sebuah kebenaran
universal). Sehingga rumusan tujuan Muhammadiyah selalu mengarah pada
“pengislaman” dalam arti yang sebenar-benarnya (Islam dalam pengertian
esensialnya).
Dari penjelasan di atas, kita menjadi paham kenapa Muhammadiyah tidak
membatasi lingkup dakwah sesempit yang dipahami sebagian umat Islam atau
seluas pengertian yang – kadang-kadang – tidak terkendali. Karena betapa pun
kata dakwah berkaitan dengan: in-put (masukan), proses dan out-put (keluaran)
yang terbangun dalam satu kesatuan sistem. Ada di antara umat Islam yang
memahami bahwa dakwah adalah sekadar mengembalikan kejayaan Islam
(Muslem-Dom) masa lalu; napak-tilas perilaku salaf (mengulangi apa yang
pernah dilakukan oleh para pendahulu tanpa sikap kritis) dan revitalisasi Islam
masa silam (Islam yang sudah dimakan usia). Di samping itu ada juga yang
secara dekonstruktif ingin menampilkan wajah baru Islam yang sama sekali
terputus dari mata rantai keberhasilan Islam sebagai sebuah bangunan historis
yang sarat makna; mereka adalah kaum muda atau yang bersemangat muda

untuk menampilkan Islam Multi-Wajah, Islam Warna-warni, Islam Kontemporer
yang tercerabut dari akar sejarahnya. Nampaknya dua kutub ekstrem itu ada
dan mulai menjadi fenomena yang secara transparan menampakkan diri di
dalam tubuh Muhammadiyah sendiri. Meskipun, barangkali, fenomena itu
hanyalah bagian dari dinamika internal yang – di satu sisi – merupakan reaksi

http://www.suara-muhammadiyah.or.id/new/content/view/536/27/
spontan atas anomali-anomali yang ada di dalam tubuh Muhammadiyah, yang
dirasakan oleh kaum tua (baca: “konservatif”) yang menganggap “cetak-biru”
Islam (versi Muhammadiyah yang diyakini “Benar” [dengan huruf B besar])
sudah benar-benar jadi dan shâlih li kulli makân wa zamân. Di sisi lain
merupakan gejala ketidakpuasan kaum muda (baca: hermeneut)
Muhammadiyah yang selalu meyakini bahwa tafsir atas Islam tidak akan pernah
berhenti dan terus mengalir bersama arus perubahan zaman. Sehingga mereka
pun berasumsi bahwa tidak pernah ada “cetak-biru” -- yang secara teologis
merupakan sebuah keniscayaan-historis (ada pada setiap komunitas, bahkan
juga individu) – harus dijadikan sebagai ideologi sepanjang masa oleh komunitas
dan individu di mana pun dan kapan pun. Karena apa yang yang dikatakan
“cetak-biru” oleh kaum tua itu tidak kurang dan tidak lebih hanyalah merupakan
hasil interpretasi yang serba relatif.

Muhammadiyah, dalam hal ini, seharusnya bersikap arif untuk bersedia
mengkamodasi dua kecenderungan tersebut, dan kemudian secara arif juga
bersedia untuk melakukan ijtihad untuk memadukan dua kencenderungan
tersebut menjadi sebuah gagasan yang secara sinergis dapat dijadikan sebagai
panduan untuk pelaksanaan dakwahnya. Karena, bagaimanapun kedua
kecenderungan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,
yang ketika keduanya didudukkan secara proporsional akan mnendatangkan
kemanfaatan yang cukup signifikan bagi Muhammadiyah sendiri dalam
melanjutkan estafeta perjuangan dakwah al-amr bi al-ma’rûf dan an-nahy ‘an almunkarnya dalam pengertian yang tepat.

Doktrin Dakwah-Muhammadiyah
Berbicara tentang doktrin berarti berbicara tentang normativitas sesuatu. Secara
tekstual, dakwah sering diartikan dengan makna: “mengajak” dengan beberapa
derivasi maknanya. Dalam hal ini orang pun bertanya: (1) siapa yang
mengajak?; (2) siapa yang diajak?; (3) apa pesan-pesan yang disampaikan?;
(4) apa medianya?; (5) bagaimana caranya?; dan (6) apa “ultimate-goal”nya?’
Pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab satu-persatu. Tetapi terlalu boros untuk
menjawabnya secara panjang lebar. Sebab secara sederhana pertanyaanpertanyaan itu bisa dijawab dengan jelas, ketika kita merujuk pada argumen
awal ketika KHA Dahlan berkehendak untuk mendirikan Muhammadiyah. Beliau
berkata dengan sebuah kaedah fiqih untuk menjelaskan tafsir QS Âli ‘Imrân, 3:

104: “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib”. Inilah penjelasn para
guru saya ketika saya masih sekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Yogyakarta.
Dari penjelasan ini kita paham bahwa setiap upaya dakwah itu memerlukan
sarana dan prasarana; dan arti pentingnya sarana dan prasarana bisa sepenting
arti yang disaranai. Andaikata dakwah itu dimaknai sebagaimana yang
dinyatakan oleh Allah SWT dalam QS An-Nahl, 16: 125, maka QS Âli ‘Imrân, 3:
104 dapat dimaknai bahwa “dakwah” adalah serangkaian kegiatan manajerial
“pengislaman” (dengan huruf “i” kecil, karana sifat relatifnya) yang dikerjakan
secara sistemik dan sistematik, dengan serangkaian perencanaan,

http://www.suara-muhammadiyah.or.id/new/content/view/536/27/
perorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang matang dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dari penjelasan tersebut, kita tidak perlu memperdebatkan lagi doktrin dakwah
Muhammadiyah tersebut. Karena bagaimanapun juga upaya purifikasi yang
dilakukan oleh orang (baca: Da’i Muhammadiyah) akan selalu berhadapan
dengan dinamika gerakan dan pemikiran seluruh komponen umat
Muhammadiyah yang memiliki komitmen untuk ber-Islam dan menemukan
“Islam Otentik” dalam bentuk islam-islam yang diinterpretasikan, baik oleh

dirinya atau orang lain yang menawarkan “kebenaran” dan diakui “benar”
olehnya.

Mengemas Gerakan Dakwah Muhammadiyah
Gerakan Dakwah Muhammadiyah (selanjutnya disebut GDM) tidak boleh
berhenti dan pasti niscaya tidak akan pernah berhenti ketika Umat
Muhammadiyah sadar akan kewajiban mereka sebagai hamba dan khalifah Allah.
Sebagai hamba umat Muhammadiyah memiliki kewajiban tunduk dan patuh
kepada-Nya, dan sebagai khalifah mereka berkewajiban untuk menyebarluaskan
rahmat Allah kepada semua makhluk Allah di bumi, utamanya umat manusia.
Dakwah sebagai salah satu komponen penting dari tindakan manusia sebagai
khalifah haruslah dikemas sedikian rupa, sehingga dapat menawarkan sesuatu
yang berarti bagi umat manusia dalam rangka menjadikan dirinya sebagai
hamba dan khalifah Allah secara ideal. Idealita tersebut bisa dijelaskan dengan
beberapa ayat al-Quran yang sacara eksplisit maupun implisit menawarkan
gagasan ideal tentang: in-put, proses dan out-put yang diharapkan oleh Allah
dalam wilayah personal, interpersonal dan sosial.
Dalam wilayah personal, Allah memperkenalkan gagasan “taqwa”, yang ketika
sifat itu melekat pada pribadi-pribadi manusia, maka akan lahirlah hambahamba dan khalifah-khalifah ideal; dalam wilayah interpersonal Allah
menawarkan gagasan “ukhuwwah”, yang ketika sikap itu dimiliki oleh setiap

orang dalam relasi interpesonalnya, maka akan lahir hubungan interpersonal
yang ideal; dalam wilayah social Allah menjelaskan gagasan “ummatan
wâhidah”, sebagai produk ideal dari kesadaran untuk bertakwa pada diri
manusia dan berukhuwwah pada diri-diri manusia dalam relasi interpersonalnya.
Sehingga muncullah kesadaran untuk bertasâmuh, berta’âwun, bertakâful, yang
secara kultural akan menjadi sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua orang. Dan
inilah gagasan “Islam” sebagai rahmatan lil ‘âlamîn.
Setelah kita pahami uraian di atas, tentu saja yang harus kita lakukan adalah
bagaimana kita dapat “menerjemahkan Islam Normatif menjadi Islam Yang
Menyejarah”. Dan semuanya adalah “tugas kita bersama”