Muhammadiyah dan Pasar Bebas Dakwah (1)
MUHAMMADIYAH DAN PASAR BEBAS DAKWAH
(Tanggapan untuk Abd Sidiq Notonegoro)
Dimuat di Kompas Jatim, 5 Maret 2008
Oleh Ahmad Khoirul Fata
Koordinator Jaringan KB-PII Muda Jawa Timur
Muktamar Pemikiran )slam yang mengambil tema Dinamisasi Muhammadiyah untuk
Pencerahan Peradaban di UMM
-13/02) dinilai Abd Sidiq Notonegoro
Muhammadiyah Maju, Ada Yang Sakit (ati?, Kompas Jatim, 5/
memiliki makna
penting sebagai jembatan yang bisa menghubungkan silaturrahim antarkader
Muhammadiyah. Dengan itu diharapkan terjadi pencairan hubungan antara dua
kecederungan pemikiran liberal dan fanatik-normatif dalam Muhammadiyah.
Sidiq melihat, saat ini ada beberapa kelompok yang memang sengaja mengagitasi
Muhammadiyah untuk menanamkan pengaruhnya sekaligus berupaya merebut aset-aset
Muhammadiyah. Secara jelas Sidiq menuding kelompok yang berideologi transnasional
sebagai kelompok yang berkeinginan merongrong ormas tua itu.
Pembicaraan tentang kelompok Islam transnasional memang menarik. Pasalnya, kelompok
ini biasanya dituding sebagai kekuatan radikal yang berkeinginan merubah tatanan sosialpolitik yang mapan dengan sebuah tatanan baru berdasarkan Islam yang dipahami secara
ideologis. Jaringan lintas negara yang dimiliki kelompok-kelompok ini menjadikan mereka
kelompok ideologis tanpa batas teritorial dengan titik pusat di beberapa negara kawasan
Timur Tengah.
Beberapa gerakan Islam yang dianggap transnasional adalah: Al-Ikhwan Al-Muslimun
(IM/Tarbiyah) dari Mesir, Hizbut Tahrir (HT) dari Lebanon, Jihadi (Afghanistan), Salafi
(Arab Saudi), Syiah (Iran/Irak) dan Jamaah Tabligh (JT-India/Pakistan) (Reform Review,
vol I, 2007).
Dari keenam gerakan itu, mungkin hanya HT, Tarbiyah, dan Salafi yang memiliki pengaruh
cukup luas di Indonesia Ini bisa dilihat dari berbagai aktivitas mereka yang tampak kolosal
(seperti demonstrasi) dan kemampuan mereka masuk dalam berbagai lini kehidupan,
seperti dalam lembaga pendidikan-sosial dengan menjamurnya Sekolah Islam Terpadu dan
lembaga pengelola zakat infaq (Lazis).
Contoh paling kongkrit kuatnya pengaruh gerakan transnasional adalah fenomana PKS
(sayap politik Gerakan Tarbiyah di Indonesia) yang dalam waktu relatif singkat mampu
memperoleh dukungan cukup besar dalam pemilu 2004 lalu.
Meski demikian, istilah ideologi transnasional yang dipakai Sidiq sesungguhnya
membingungkan. Apalagi bila itu dihadapkan dengan Muhammadiyah mengingat ormas
yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini mengambil inspirasi gerakannya dari ideologi
puritanisme Wahabiyah di Saudi Arabia dan reformisme Abduh di Mesir seperti yang
diakui ketua PW Muhammadiyah Jatim Prof Dr Syafiq A Mughni MA dalam sebuah diskusi
bulanan di kantor PW Muhammadiyah Jatim.
Maka, Muhammadiyah sebenarnya juga masuk dalam kategori gerakan Islam transnasional
karena pada saat itu (sekitar awal abad 20 di mana Muhammadiyah lahir) ideologi yang
diusung Muhammad Abduh dan Abdul Wahhab tersebut bergema melampaui batasan
teritorial seperti gema ideologi yang diusung gerakan Islam model Hizbut Tahrir, Salafi,
atau Ikhwanul Muslimun saat ini.
Pasar Bebas
Perkembangan yang begitu cepat dan luas itu tentu saja menimbulkan sejumlah gesekan
dengan beberapa gerakan Islam yang lebih dulu eksis. Ini sebenarnya peristiwa yang wajar
dan lumrah mengingat mereka sama-sama memperebutkan sepiring kue bernama umat
Islam Indonesia.
Pada titik ini, tulisan Sidiq tersebut sesungguhnya mengekspresikan kehawatiran akan
hilangnya pengaruh Muhammadiyah dalam percaturan gerakan dakwah Islam di Indonesia
digantikan gerakan-gerakan baru yang lebih bercorak ideologis dan transnasional. Sidiq
tampaknya begitu terkejut dengan kehadiran mereka yang tiba-tiba besar dan berpotensi
menyaingi gerakan-gerakan Islam semacam Muhammadiyah yang lebih dulu ada.
Semestinya keterkejutan itu tidak perlu terjadi bila Sidiq mampu membaca tanda-tanda
zaman yang semakin bebas dan terbuka. Dalam alam kebebasan, semua kelompok memiliki
hak yang sama untuk memasarkan ide-idenya tanpa ada yang berhak memiliki kekhususan
dalam persaingan itu. Di sini berlaku hukum demand & supply yang menuntut setiap
kelompok untuk selalu berkreasi dan berinovasi demi memikat pembeli .
Maka, para fungsionaris Muhammadiyah seharusnya bertanya, apa yang salah sehingga
banyak kadernya yang termakan ideologi transnasional. Muhammadiyah perlu melihat
kembali ideologi gerakan, sistem kaderisasi, metode dakwah dan sistem keorganisasiannya
untuk diselaraskan dengan perkembangan zaman dan perubahan paradigma berfikir umat
Islam secara global.
Sebagai gerakan dakwah yang tua dan besar, sangat mungkin para kader Muhammadiyah
mengalami kejenuhan dengan berbagai pola yang selama ini terstruktur dalam tubuh
persyarikatan. Kiranya, upaya ini tidak akan berlangsung lama mengingat kematangan usia
gerakan dan banyaknya cendekiawan dalam Muhammadiyah.
Sikap ini jauh lebih arif dan solutif daripada berapologi dengan membangun kesan seolaholah ada musuh yang sedang berbuat makar pada Muhammadiyah sebagaimana yang
diekspresikan pada tulisan Abd Sidiq Notonegoro. Allahu a’lam
(Tanggapan untuk Abd Sidiq Notonegoro)
Dimuat di Kompas Jatim, 5 Maret 2008
Oleh Ahmad Khoirul Fata
Koordinator Jaringan KB-PII Muda Jawa Timur
Muktamar Pemikiran )slam yang mengambil tema Dinamisasi Muhammadiyah untuk
Pencerahan Peradaban di UMM
-13/02) dinilai Abd Sidiq Notonegoro
Muhammadiyah Maju, Ada Yang Sakit (ati?, Kompas Jatim, 5/
memiliki makna
penting sebagai jembatan yang bisa menghubungkan silaturrahim antarkader
Muhammadiyah. Dengan itu diharapkan terjadi pencairan hubungan antara dua
kecederungan pemikiran liberal dan fanatik-normatif dalam Muhammadiyah.
Sidiq melihat, saat ini ada beberapa kelompok yang memang sengaja mengagitasi
Muhammadiyah untuk menanamkan pengaruhnya sekaligus berupaya merebut aset-aset
Muhammadiyah. Secara jelas Sidiq menuding kelompok yang berideologi transnasional
sebagai kelompok yang berkeinginan merongrong ormas tua itu.
Pembicaraan tentang kelompok Islam transnasional memang menarik. Pasalnya, kelompok
ini biasanya dituding sebagai kekuatan radikal yang berkeinginan merubah tatanan sosialpolitik yang mapan dengan sebuah tatanan baru berdasarkan Islam yang dipahami secara
ideologis. Jaringan lintas negara yang dimiliki kelompok-kelompok ini menjadikan mereka
kelompok ideologis tanpa batas teritorial dengan titik pusat di beberapa negara kawasan
Timur Tengah.
Beberapa gerakan Islam yang dianggap transnasional adalah: Al-Ikhwan Al-Muslimun
(IM/Tarbiyah) dari Mesir, Hizbut Tahrir (HT) dari Lebanon, Jihadi (Afghanistan), Salafi
(Arab Saudi), Syiah (Iran/Irak) dan Jamaah Tabligh (JT-India/Pakistan) (Reform Review,
vol I, 2007).
Dari keenam gerakan itu, mungkin hanya HT, Tarbiyah, dan Salafi yang memiliki pengaruh
cukup luas di Indonesia Ini bisa dilihat dari berbagai aktivitas mereka yang tampak kolosal
(seperti demonstrasi) dan kemampuan mereka masuk dalam berbagai lini kehidupan,
seperti dalam lembaga pendidikan-sosial dengan menjamurnya Sekolah Islam Terpadu dan
lembaga pengelola zakat infaq (Lazis).
Contoh paling kongkrit kuatnya pengaruh gerakan transnasional adalah fenomana PKS
(sayap politik Gerakan Tarbiyah di Indonesia) yang dalam waktu relatif singkat mampu
memperoleh dukungan cukup besar dalam pemilu 2004 lalu.
Meski demikian, istilah ideologi transnasional yang dipakai Sidiq sesungguhnya
membingungkan. Apalagi bila itu dihadapkan dengan Muhammadiyah mengingat ormas
yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini mengambil inspirasi gerakannya dari ideologi
puritanisme Wahabiyah di Saudi Arabia dan reformisme Abduh di Mesir seperti yang
diakui ketua PW Muhammadiyah Jatim Prof Dr Syafiq A Mughni MA dalam sebuah diskusi
bulanan di kantor PW Muhammadiyah Jatim.
Maka, Muhammadiyah sebenarnya juga masuk dalam kategori gerakan Islam transnasional
karena pada saat itu (sekitar awal abad 20 di mana Muhammadiyah lahir) ideologi yang
diusung Muhammad Abduh dan Abdul Wahhab tersebut bergema melampaui batasan
teritorial seperti gema ideologi yang diusung gerakan Islam model Hizbut Tahrir, Salafi,
atau Ikhwanul Muslimun saat ini.
Pasar Bebas
Perkembangan yang begitu cepat dan luas itu tentu saja menimbulkan sejumlah gesekan
dengan beberapa gerakan Islam yang lebih dulu eksis. Ini sebenarnya peristiwa yang wajar
dan lumrah mengingat mereka sama-sama memperebutkan sepiring kue bernama umat
Islam Indonesia.
Pada titik ini, tulisan Sidiq tersebut sesungguhnya mengekspresikan kehawatiran akan
hilangnya pengaruh Muhammadiyah dalam percaturan gerakan dakwah Islam di Indonesia
digantikan gerakan-gerakan baru yang lebih bercorak ideologis dan transnasional. Sidiq
tampaknya begitu terkejut dengan kehadiran mereka yang tiba-tiba besar dan berpotensi
menyaingi gerakan-gerakan Islam semacam Muhammadiyah yang lebih dulu ada.
Semestinya keterkejutan itu tidak perlu terjadi bila Sidiq mampu membaca tanda-tanda
zaman yang semakin bebas dan terbuka. Dalam alam kebebasan, semua kelompok memiliki
hak yang sama untuk memasarkan ide-idenya tanpa ada yang berhak memiliki kekhususan
dalam persaingan itu. Di sini berlaku hukum demand & supply yang menuntut setiap
kelompok untuk selalu berkreasi dan berinovasi demi memikat pembeli .
Maka, para fungsionaris Muhammadiyah seharusnya bertanya, apa yang salah sehingga
banyak kadernya yang termakan ideologi transnasional. Muhammadiyah perlu melihat
kembali ideologi gerakan, sistem kaderisasi, metode dakwah dan sistem keorganisasiannya
untuk diselaraskan dengan perkembangan zaman dan perubahan paradigma berfikir umat
Islam secara global.
Sebagai gerakan dakwah yang tua dan besar, sangat mungkin para kader Muhammadiyah
mengalami kejenuhan dengan berbagai pola yang selama ini terstruktur dalam tubuh
persyarikatan. Kiranya, upaya ini tidak akan berlangsung lama mengingat kematangan usia
gerakan dan banyaknya cendekiawan dalam Muhammadiyah.
Sikap ini jauh lebih arif dan solutif daripada berapologi dengan membangun kesan seolaholah ada musuh yang sedang berbuat makar pada Muhammadiyah sebagaimana yang
diekspresikan pada tulisan Abd Sidiq Notonegoro. Allahu a’lam