Bacaan ke dua nomor 1 dan 3

Park (1936) mengemukakan bahwa ciri komunitas adalah wilayah tempat tinggal,
ikatan solidaritas yang kuat, dan berfungsi sebagai ukuran hubungan sosial dengan wilayah
geografis.
1. Wilayah tempat tinggal. Suatu komunitas pasti memiliki wilayah tempat tinggal
tertentu. Di dalam bacaan berjudul “Peningkatan Produktivitas Penangkapan Ikan
Masyarakat Nelayan (Kasus Mertasinga)” yang ditulis oleh Ono Sutarno, terdapat
sekumpulan nelayan yang hidup dalam satu desa, desa Mertasinga. Sekumpulan
nelayan dalam satu desa itu merupakan suatu komunitas yang ditandai dengan adanya
sekelompok kecil masyarakat yang homogen perkerjaannya, yaitu sebagai nelayan
yang hidup dalam suatu wilayah.
2. Ikatan solidaritas yang kuat. Hal ini didasari karena ciri pertama, yaitu tempat tinggal.
Wilayah tempat tinggal yang tetap dan permanen menyebabkan satu nelayan dengan
nelayan lain memiliki solidaritas yang kuat. Masyarakat desa Mertasinga dengan
penuh kesadaran dan kerelaan meninggalkan tradisi mereka yang menangkap ikan
dengan kapal trawl setelah salah satu pamong desa yang juga seorang nelayan
berpengalaman mengemukakan bahwa menangkap ikan dengan trawl sebenarnya
merugikan nelayan untuk ke depannya nanti. Masyarakat bahkan rela memulai
kehidupan baru mereka dengan belajar dahulu mengemudi motor kapal walau mereka
kurang puas dengan layanan dari PUSKUD. Mereka juga menurut program-program
yang telah dicanangkan pemerintah dengan komando dari pamong desa. Selain
program pergantian kapal trawl dengan kapal bermotor, dicanangkan pula program

pemberdayaan PKK untuk para istri nelayan dan remaja putri, salah satunya dengan
usaha perajutan jarring. Pada tahun 1983 saat desa Mertasinga mengalami musim
paceklik, kegiatan tersebut sempat tersendat karena perputaran uang yang tidak stabil.
Dalam kondisi seperti itu, muncullah tokoh baru, istri dari seorang pegawai di kantor
kabupaten Cirebon, yang menggerakkan kembali PKK. Berkat solidaritas yang kuat,
pada akhirnya komunitas (istri-istri) nelayan tersebut berhasil menggerakkan usaha
peternakan ayam. Selang beberapa waktu, mereka juga mengembangkan usaha-usaha
di bidang menjahit, membordir, penyuluhan kesehatan, dan lain sebagainya.
3. Komunitas berfungsi sebagai ukuran hubungan sosial dengan wilayah geografis.
Umumnya, semakin sedikit jumlah kelompok, semakin dekat pula hubungan
sosialnya. Begitu pula dengan wilayah geogafis yang tidak terlalu besar dan
berdekatan akan menimbulkan hubungan sosial yang kuat. Pamong desa dengan
masyarakat desa Mertasinga memiliki hubungan sosial lebih kuat daripada pemerintah
daerah dengan masyarakat desa Mertasinga. Hal ini disebabkan karena pamong desa
merupakan nelayan yang telah berpengalaman yang berasal dari desa Mertasinga.

Production-centered development merupakan peningkatan kualitas SDM diarahkan
dalam rangka peningkatan produksi (Tjokrowinoto 1996). Sedangkan alternatif lain dalam
strategi pembangunan manusia adalah people-centered development (Korten 1981 dalam
Kuncoro 2004). Maksudnya adalah manusia menjadi tujuan utama dari pembangunan.

Menurut kelompok kami, bacaan “Peningkatan Produktivitas Penangkapan Ikan Masyarakat
Nelayan (Kasus Mertasinga)” yang ditulis oleh Ono Sutarno termasuk ke dalam paradigma
production-centered development yang kemudian bergeser menjadi people-centered
development. Paradigma production-cenered development nampak saat komunitas nelayan
tersebut menggunakan kapal trawl. Mereka lebih menekankan pada peningkatan produksi.
Namun hasilnya justru merugikan masyarakat. Maka paradigma tersebut bergeser menjadi
paradigma people-centered development yang menekankan pembangunan manusia agar lebih
solid, lebih peka terhadap lingkungan, lebih mandiri, serta lebih kreatif.