135 jauh dan tidak berhubungan dengan praktik kehidupan keseharian.
Masih kuat kesan bahwa filsafat hanya membahas masalah- masalah langit tak berpijak di bumi selain lebih sebagai silat-lidah.
Masih untung jika orang memandang filsafat sebagai silat-lidah yang berarti atau bermakna seperti Ludwig Wittgenstein.
Berbeda dari kesan umum tentang filsafat di atas, banyak orang memandang bahwa berbagai persoalan sosial, ekonomi,
politik, budaya dan moralitas yang tengah dihadapi bangsa dan masyarakat negeri ini membutuhkan penjelasan dan jawaban
kefilsafatan. Tetapi, orang banyak tersebut juga bertanya
“penjelasan dan jawaban kefilsafatan yang bagaimana yang tidak hanya melangit tidak membumi tetapi benar-benar bisa dimengerti
dan dipraktikkan? Apakah jika demikian itu adanya masih bisa
disebut dengan filsafat kalau bukan teknik filsafat?” Makalah ini mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan
tersebut dengan tetap berada dalam rumah filsafat. Karena itu referensi penting urain tersebut ialah jawaban atas pertanyaan
“Mengapa kesan di mata publik bahwa filsafat itu sulit dan sebuah mimpi masih begitu kuat?” Pertanyaan demikian penting
dijelaskan dan disikapi dengan bijak .
C. Retradisi Pancasila Berguru pada Rakyat
Sebelum penjelasan
atas persoalan
tersebut dan
jawabannya diurai secara ringkas, ada baiknya kita lihat bagaimana filsafat hadir dalam kehidupan masyarakat. Masalah ini berkait
dengan posisi ideologi dan dasar negara Pancasila dalam realitas kehidupan publik. Jika semua Filsafat Negara itu digali dari bumi
pertiwi, dari tradisi yang hidup di tengah gejolak keseharian yang mengendap di sanubari rakyat, pada satu masa ideologi negara itu
justru menjadi momok rakyat.
Kita tahu bahwa Pancasila lahir melalui proses transendensi yang panjang dari apa yang sejak lama hidup dalam kehidupan
masyarakat yang mudah kita temukan dalam tradisi daerah di seluruh pelosok nusantara. Melalui proses panjang itu para
pemimpin negeri ini sampai pada kata sepakat dalam satu konsensus nasional yang secara formal berlangsung pada tahun
1945. Dari sinilah Pancasila naik ke tingkat politik nasional sebagai ideologi dan dasar negara.
136 Sayangnya, justru sesudah itu Pancasila seolah tercerabut
dan terasing dari tradisi kehidupan warga. Pancasila mengalami pen-sakral-
an menjadi sesuatu yang semacam “tabu” sehingga hampir tak tersentuh warga biasa dan rakyat kebanyakan. Dari
sinilah “tragedi” Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara mulai berlangsung. Orang biasa menjadi seolah tak punya hak untuk
mendongengkan tentang nilai-nilai Pancasila tanpa ijin yang berwewenang.
Indoktrinasi memang perlu, namun ketika itu dilakukan tanpa memperhatikan rasa dan tradisi yang hidup dalam keseharian
rakyat, bisa berubah menjadi tekanan bahkan ancaman. Karena itu ada baiknya dipertimbangkan pembalikan konsensus elite menjadi
sebuah proses ulang pengungkapan nilai-nilai tradisi yang hidup di dalam keseharian rakyat. Orang menyebut itu sebagai pembalikan
top-down menjadi bottom-up yang saya sebut sebagai berguru kepada rakyat kebanyakan.
Penjelasan pertama yang bisa dikemukakan berkaitan dengan praktik pembelajaran filsafat di Fakultas Filsafat atau
sejenis yang masih berorientasi kitab selain lebih banyak mengulang pendapat para filsuf daripada berfilsafat secara praktis.
Kedua, penelitian filsafat lebih banyak penelitian kepustakaan daripada realitas kehidupan, baik yang berupa mitos, tradisi,
kearifan lokal, dongeng rakyat atau folk belief. Akibatnya, karena teori-teori filsafat tumbuh dari peradaban barat maka kajian dan
studi filsafat tampak terasing dari realitas kehidupan stake holder dan mahasiswa itu sendiri.
Hal ini juga dialami atau terjadi dalam pembelajaran Filsafat Pancasila yang lebih banyak berorientasi pada naskah-
naskah lama tentang perdebatan di sekitar kelahiran dasar dan ideologi negara itu. Sosialisasi Pancasila sebagai ideologi bangsa
kurang lebih juga mengalami nasib serupa menjadi semacam sebuah hiasan dinding kamar tamu tetapi kurang menyentuh kalbu
rakyat. Prosedur tunggal top-down itu menyebabkan Pancasila jauh dari kehidupan keseharian warga bangsa.
Selanjutnya, Pancasila mengalami transedensi secara radikal tercerabut dari akar kehidupan rakyat sendiri walaupun
secara otentik tetap hidup sebagai bagian dari kehidupan keseharian mereka. Hal itu merupakan akibat Pancasila hanya
boleh ditafsir sesuai kosa-kata pejabat yang berwenang dengan meninggalkan bahasa keseharian dan kearifan hidup warga
137 masyarakat. Situasi demikian lebih-lebih lagi ketika Pancasila
menjadi alat penguasa untuk memberangus pikiran kritis masyarakat atas alasan memeliharan kesatuan bangsa dan negara.
Karena itu saya mengusulkan sekurangnya dua hal. Pertama pengembangan model pembelajaran filsafat yang dalam
kuliah umum untuk mahasiswa baru Fakultas Filsafat tahun 2005 yang saya sebut pembelajaran berorientasi Sosiologi Filsafat. Satu
pandangan filsuf atau aliran filsafat dibahas atau dikaji bukan terlepas dari konteks ia lahir, tapi di dalam dinamika dialektik
realitas empiris. Dari sini kemudian fakta empiris itu kemudian ditransformasikan ke dalam fakta aktual yang sedang berlangsung.
Saya menyebut inilah maksud learning to know sebagai bagian dari pendidikan berbasis kompetensi.
Model pembelajaran tersebut memerlukan langkah kedua yaitu pengkayaan data tentang pengalaman kehidupan empirik
dalam dinamika keseharian dari warga masyarakat. Untuk itu seorang pengajar filsafat harus melakukan sejumlah penelitian
lapangan bukan hanya kepustakaan. Penelitian ini sekaligus mengkaji tradisi, mitologi dan cara hidup warga masyarakat untuk
diungkap fakta-nilai yang berada di balik mitos, tradisi, dongeng rakyat atau folk belief dan kebiasaan hidup sehari-hari warga
masyarakat tersebut.
Fakultas Filsafat sudah semestinya memiliki laboratorium local wisdom, bukan hanya kaya kepustakaan dari karya tulis
orang asing berbahasa asing. Kepustakaan jenis itu memang penting tetapi tanpa kekayaan data penelitian lokal menjadi tidak
banyak berarti. Kelahiran filsuf besar, misalnya seperti Hegel, adalah dari studi kehidupan keseharian, mitos dan tradisi
masyarakat yang terus dikaji ulang dan disempurnakan hingga sampai ke tangan kita melalui teori besarnya dialektika.
Melalui proses tersebut Fakultas Filsafat atau dosen Fakultas Filsafat bisa mulai melibatkan pemerintah daerah dan
tokoh-tokoh lokal. Pelibatan mereka bukan hanya untuk mengungkap kekayaan nilai di daerah tetapi sekaligus
mengembangkan kearifan lokal bagi kepentingan daerah itu sendiri beserta warganya selain bagi kepentingan nasional.
Kearifan atau kecerdasan lokal merupakan representasi dan ekspresi pengalaman panjang warga biasa yang meliputi ekonomi,
sosial, politik, kesehatan dan ketuhanan. Mereka belajar bukan dari teks kitab tetapi dari alam, diri sendiri dan sesama. Hasilnya
138 kemudian diwariskan transmisi ke generasi baru melalui
dongeng, kepercayaan rakyat dan mitos. Mereka tidak akrab dengan bahasa akademik dan tidak bisa menjelaskan secara akaliah
tentang dongeng dan tradisi yang mereka pegang kukuh secara turun-temurun, tetapi mereka meyakini kebenarannya dan sudah
sejak lama menjadi pemandu hidupnya.
Kita bisa belajar tentang kecerdasan lokal itu dari Mbah Marijan ketika masyarakat ribut dan gelisah menghadapi bencana
lahar Merapi. Ia kukuh pada tradisi saat diajukan pertanyaan kepadanya atas alasan apa kukuh pada sikapnya, hanya menjawab
“ngugemi dhawuh dalem Sinuhun HB IX.” Kita memperoleh penjelasan dari ahli kegunungapian Dr. Ratdomopurbo ketika
diajukan pertanyaan atas sikap Mbah Marijan bahwa daerah itu secara ilmiah memang tidak termasuk daerah yang terkena
hempasan lahar panas atau wedus gembel.
Begitulah sebenarnya para filsuf besar lahir dengan karya- karya filsafatnya seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Hegel,
Derrida, Ibnu Rusd, Al-Ghazali hingga Habermas dan Foucault. Sebagian mereka yang memang menulis sendiri karya besarnya
sebagian lain merupakan hasil pengamatan orang lain. Mestinya mahasiswa dan dosen Fakultas Filsafat memiliki kekayaan data
tentang konteks historis para filsuf dan mitologi tanah air seperti Nyi Roro Kidul atau Ki Sapu Jagat lalu mengambil hikmah
daripadanya. Dari sini kita bisa memaknai lebih tepat metode kebidanan Sokrates bagi pembelajaran filsafat bukan sekadar hafal
kisah filsuf besar tersebut.
Berikut saya mau ulang dua artikel yang pertama tentang posisi rakyat kecil dalam pentas ideologi bangsa dalam judul
“berguru pada rakyat kecil.” Artikel pertama ini merupakan refleksi atas situasi yang belakangan dikhawatirkan banyak orang
tentang posisi aktual Pancasila sebagai ideologi, dasar negara atau filsafat hidup bangsa. Artikel kedua berkaitan dengan apa yang
saya sebut sosiologi filsafat. Di dalam artikel kedua yang berjudul
“belajar pada kearifan lokal” ini akan dikaji lebih lanjut tentang strategi pembelajaran filsafat bagi mahasiswa atau pun bagi
masyarakat luas.
139
D. Berguru pada Rakyat Kecil