23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
1
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, salah satu tugas Pusat
Kurikulum adalah mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif. Pengembangan dan uji coba yang dimaksud, dilakukan dalam rangka
menyusun model-model kurikulum inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan, potensi, karakteristik peserta didik dalam rangka memberikan layanan yang
optimal kepada peserta didik.
Salah satu pengembangan kurikulum inovatif pendidikan yang akan dikembangkan oleh pusat kurikulum adalah model integrasi kurikulum kesetaraan gender. Latar
belakang dari pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender adalah . 1.
Amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945, Pasal 27. 2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM PBB. Tahun 1948.
3. Undang-undang Nomor : 39 tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia. 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003.
5. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan 6.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi 7.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
8. Dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
pengembangan KTSP Pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender, dilandasi oleh
Deklarasi pada Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak, yang tertera pada point 7 5 yang berbunyi ”... ketidak seimbangan gender dalam pendidikan dasar
dan menengah harus di tiadakan”. Serta rencana aksi hasil dari Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak pada point 39 c yang berbunyi : ” .... Menghapuskan
ketimpangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005; dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 UNICEF. Begitu
pula adanya intruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang kebijakan Pengarusutamaan Gender PUG.
Dengan demikian Pusat Kurikulum pada tahun 2007 melakukan penelitian dan pengembangan untuk menyusun model integrasi kurikulum kesetaraan gender
sebagai implementasi dari kebijakan-kebijakan nasional maupun internasional, serta kebutuhan pada masyarakat.
B. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan model integrasi kurikulum kesetaraan gender. Model ini diharapkan dapat membantu tenaga kependidikan dalam
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Integrasi kurikulum kesetaraan gender baik dari : perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
dan penilaiannya yang mengacu pada standar isi pendidikan dengan mempertimbangkan kesesuaiannya serta kondisi dan kebutuhan peserta didik,
daerah, dan satuan pendidikan masing-masing.
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
2
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan pengembangan penyusunan model pada tahun anggaran 2007 dibatasi pada jenjang pendidikan menengah pada satuan pendidikan sekolah
menengah atas. Daerah uji coba masih terbatas pada tiga provinsi. Silabus dan RPP yang dikembangkan masih dibatasi pada kelas X .
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
3
BAB II LANDASAN
A. Landasan Teoritik
Konsep Dasar Gender Sebagaimana disinggung di muka, jender sebagai konsep sering disalahfahami. Persepsi
masyarakat tentang jender muncul berbeda–beda. Pandangan umum menyatakan bahwa perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan adalah suatu yang
niscaya dan tidak perlu dipermasalahkan. Padahal sebagai konsep, jender lahir dari rahim sosial dan budaya yang timpang.
Konstruk sosial-budaya inilah yang pada gilirannya membentuk konsep jender menjadi bias. Bagaimana pandangan itu muncul dan faktor apa yang melatarbelakangi konstruk
itu? Pada titik ini kajian akan lebih terarah apabila diawali dengan pemahaman terhadap teori-teori dasar tentang jender.
Beberapa teori dasar yang sering digunakan dalam membedah sekaligus membenarkan adanya perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai
berikut.
1. Teori Kodrat Alam Nature Teori kodrat alam memandang bahwa pemilahan peran sosial antara laki-laki dan
perempuan dianggap sebagai kejadian yang alamiah. Seperti dikemukakan Kamla Bhasin, ”Selama berabad-abad diyakini bahwa sifat-sifat, peran sosial, dan status
yang berbeda dari laki-laki dan perempuan dalam masyarakat ditentukan oleh biologis yaitu jenis kelamin. Hal itu bersifat alamiah sehingga tidak dapat diubah”.
1
Teori ini mengacu pada kodrat manusia secara alami, kehendak takdir, atau dalam bahasa Islam disebut ”ciptaan Allah”. Teori ini memandang laki-laki terlahir sebagai
laki-laki dan perempuan terlahir sebagai perempuan, dalam penampilan fisik, fungsi fisik secara biologis dan peran sosialnya. Karena manusia diciptakan sejak sono-nya
berbeda, maka manusia harus menerima. Apabila penampilan fisik, fungsi serta peran masing-masing dipertukarkan maka dianggap ada yang tidak beres pada orang
yang bersangkutan. Sanksi sosial akan menuduh laki-laki yang berpenampilan feminin dengan sebutan banci, dan perempuan yang berpenampilan maskulin sebagai
tomboy.
2
Sejak lahir secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki sejak lahir telah memiliki penis zakar, dan pada saat tumbuh dewasa ia mulai
berkumis, berjenggot, dan memiliki jakun. Sedangkan perempuan memiliki rahim, buah dada, payudara, indung telur sebagai ciri-ciri biologis untuk melaksanakan
fungsi 4M yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Berdasarkan pandangan teori ini apa yang dimiliki laki-laki tidak dimilki oleh
perempuan, demikian pula sebaliknya, sehingga laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi.
3
Kondisi fisik yang secara kodrati memang berbeda tersebut dianggap berpengaruh pada kondisi psikis masing-masing.
Perempuan yang memiliki kodrat fisik berkaitan dengan fungsi reproduksi 4M dianggap sangat berkaitan dengan berkembangnya perangai psikologis yang
1
Kamla Bhasin, Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2002, h. 23
2
Suryadi Idris, Kesetaraan Gende, h. 44-45
3
Suryadi Idris, Kesetaraan Gender, h. 45
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
4
dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkannya, seperti perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, lemah lembut dan kasih sayang. Sedangkan lawan
jenisnya yang terlahir sebagai laki-laki secara kodrati mempunyai ciri fisik seperti mampu produksi sperma, dan dipandang merepresentasikan fisik-laki-laki yang kuat
dan perkasa.
4
Kondisi fisik yang kuat cenderung agresif dianggap akan berdampak pada perangai psikologis yang lebih tegar, lebih tenang, keras dan bahkan kasar.
Kaum laki-laki yang memiliki sosok fisik lebih kuat dikonstruksikan untuk berperan di sektor publik, menghadapi kerasnya kehidupan, sekaligus memberi perlindungan
kepada pihak yang lebih lemah, yaitu perempuan.
5
Sementara perempuan dengan kelembutan sifatnya cukup berkecimpung pada urusan domestik dan menjadi pelayan
laki-laki. Teori ini bukan saja membagi manusia secara kategoris per se, tetapi juga
menyebabkan pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan: sektor publik versus domestik. Perempuan dengan perangai yang lembut dan penuh kasih
sayang mengharuskannya untuk mengasuh anak dan membereskan semua urusan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki dengan fisik dan perangai kuat lebih layak
melakukan kegiatan di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga dan memberi perlindungan terhadap semua anggota keluarganya. Perbedaan biologis ini,
kata Sanderson, merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan.
6
Teori kodrat alam sebenarnya lebih berorientasi kapada kondisi masyarakat pra- industri, dimana laki-laki berperan sebagai hunter pemburu dan perempuan sebagai
gatherer peramu. Seperti dilukiskan Nasarudin Umar, ”sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada diluar rumah dan bertanggung jawab untuk menghasilkan
makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dan urusan reproduksi....”.
7
Pada masyarakat tradisional, pembagian peran atau kerja seperti ini telah terbukti mampu menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil.
Dengan demikian, pembagian peran laki-laki dan perempuan menurut teori ini mutlak diperlukan demi mencapai keharmonisan keluarga dan masyarakat.
Segregasi sosial yang menjadikan dominasi pekerjaan pada sektor publik oleh kaum laki-laki khususnya untuk pekerjaan berat atau kerja kasar, anehnya, dimaksudkan
untuk menjaga tugas mulia kaum perempuan 4M. Kaum laki-laki diharuskan secara sosial bekerja keras untuk mencari dan mencukupi nafkah keluarganya, terdiri atas
perempuan dan anak-anak. Hubungan patriarkhi yang membagi peran perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, secara turun temurun telah diyakini
kebenarannya dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya tersebut melalui pembiasaan budaya dan adat istiadat sejak anak dilahirkan. Kemudian secara
estafet generasi muda menerimanya tanpa kritik dan keraguan.
8
Pada akhirnya gender yang dikonstruk secara sosial ini menjadi budaya dominan yang diterima oleh antar-
generasi sebagai suatu yang niscaya dan semestinya.
4
Bandingkan Muthali’in, Bias Gender, h. 24
5
Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1985, h. 1-14
6
Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995, h. 409
7
Umar, Argumen, h. 134
8
Suryadi Idris, Kesetaraan Gender, h. 47
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
5
2. Teori Kebudayaan Nurture Teori ini disebut teori kebudayaan karena memandang jender sebagai akibat dari
konstruksi budaya. Identitas jender dari perempuan dan laki-laki tidak ditentukan oleh kodrat alam, melainkan secara psikologis dan sosial, yang berarti secara historis dan
budaya. Teori ini tampaknya sebagai ”bantahan” terhadap teori kodrat alam. Teori nurture tidak setuju bahwa pemilahan dan pembedaan peran sosial laki-laki dan
perempuan merupakan kodrat alam. Faktor biologis tidak menyebabkan laki-laki lebih unggul ketimbang perempuan. Pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap
laki-laki ketimbang perempuan lebih disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap kondisi biologis jenis kelamin.
9
Dengan demikian pembentukan sifat yang berbeda yang disebut dengan sifat-sifat feminin dan maskulin merupakan hasil dari
proses sosial-budaya masyarakat, bahkan lebih khusus dapat dibentuk melalui pendidikan.
Meskipun teori nurture berbeda dengan teori nature, tetapi pandangan terhadap peran sosial laki-laki dan perempuan tetap saja sama. Pemilahan manusia menjadi laki-laki
dan perempuan, dan usaha untuk membedakan keduanya dalam posisi dan peranan sosial yang berbeda ini, menurut Budiman, merupakan suatu tindakan yang disengaja.
Apa yang disebut sebagai kodrat perempuan adalah hasil buatan, yaitu hasil kombinasi antara tekanan dan paksaan di suatu pihak dengan rangsangan yang tidak
wajar sekaligus menyesatkan di pihak lain, khususnya perempuan.
10
Teori nurture memandang pembagian peran sosial berdasarkan jenis kelamin sebagai menifestasi dari budaya masyarakat setempat. Dimensi lokalitas itu menyebabkan
konstruk budaya tertentu tidak bisa berlaku dan dipaksakan secara universal, melainkan tergantung pada kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Menurut teori
ini, terjadinya keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh budaya yang dipengaruhi oleh peluang laki-laki yang lebih besar untuk berperan aktif
di dunia luar.
11
Peluang ini dimungkinkan karena bergesernya orientasi kepemilikan benda yang bersifat komunal menjadi milik pribadi. Semula rumah tangga dan harta
milik yang ada di dalamnya menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Perempuan memiliki hak dan kontribusi yang sama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi
kelompokrumah tangganya. Namun, dengan berkembangnya kepemilikan pribadi, kesetaraan itu kemudian bergeser. Laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk
menguasai materi atau harta milik pribadi, karena laki-laki tidak disibukkan oleh tanggung jawab mengandung, melahirkan, menyusui bahkan mengasuh anak,
sehingga laki-laki lebih leluasa bekerja keras untuk meraih dan mengumpulkan uang. Kepemilikan pribadi atas harta milik yang merupakan aset ekonomi itu
memungkinkan laki-laki memiliki kontrol terhadap seluruh lingkungan kehidupan sosial budaya yang lain, termasuk kehidupan rumah tangganya. Kondisi ini pada
gilirannya laki-laki bukan saja menggenggam harta, tetapi juga memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan.
12
Dalam perspektif teori ini, materi atau harta kekayaan turut menentukan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Misalnya raja-raja atau kaum bangsawan pada jaman dahulu dapat menguasai dan mendominasi perempuan bahkan lebih dari satu orang perempuan istri. Perempuan
yang tidak memiliki kontrol terhadap kepemilikan harta, dengan demikian, akan menurut dan sangat tergantung pada laki-laki.
9
Sanderson, Sosiologi Makro, h. 409
10
Periksa Budiman, Pembagian Kerja, h. 4
11
Suryadi Idris, Kesetaraan Gender, h. 48
12
Sanderson, Sosiologi Makro, h. 412-16
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
6
Secara empirik diketahui laki-laki sering mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk memperebutkan dan mendapatkan kekayaan dan perempuan, seperti berkelahi,
berperang, merampok, mencuri, membajak, korupsi dan sebagainya. Dari kondisi seperti ini, lahir peran sosial berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Laki-
laki yang memiliki akses yang lebih besar terhadap sektor produktif kemudian dikonstruksikan untuk berperan sosial di sektor publik, sedangkan perempuan yang
mempunyai tugas 4M dikonstruksikan untuk berperan pada sektor domestik yaitu mengurusi rumah tangga, anak dan melayani laki-laki atau suami.
13
Teori kebudayaan yang memandang jender sebagai hasil dari proses budaya masyarakat yang membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan sangat banyak
pengikutnya. Semua pejuang kesetaraan jender berpandangan bahwa jender bukan kodrati tetapi jender adalah hasil dari proses budaya yang diwariskan secara turun
temurun. Implikasinya gender atau pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dapat dibentuk dan dapat dilatihkan. Melalui pandangan ini,
munculnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender menjadi isu krusial dan mendapat perhatian yang besar.
3. Teori Psikoanalisis Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli psikoanalisa kenamaan,
Sigmund Freud. Teori ini berpangkal dari pernyataan Freud tentang penis evny, yaitu perasaan iri terhadap alat kelamin laki-laki. Maksudnya, pada saat anak perempuan
pertama kali melihat alat kelamin laki-laki, ia segera menjadi sadar bahwa dirinya memiliki kekurangan sesuatu, atau tidak selengkap yang dimiliki anak laki-laki. Anak
perempuan ketika melihat alat kelamin laki-laki memandang sebagai sesuatu yang sempurna dan dapat dibanggakan. Dia menyadari bahwa yang dimilikinya tidak bisa
dibanggakan sehingga memunculkan sifat kurang percaya diri, karena tidak memilki kebanggaan seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Mulai saat itu pada diri anak
perempuan berkembang perasaan rendah diri, malu-malu atau kurang percaya diri karena merasa ada yang kurang pada dirinya, terutama pada saat berhadapan dengan
laki-laki. Dari sini muncul kesadaran akan sifat-sifat feminin dan maskulin.
Selanjutnya berdasarkan teori ini, ketika anak perempuan menjadi dewasa, keinginan untuk memiliki kelamin laki-laki berubah menjadi keinginan untuk memiliki bayi.
Jika laki-laki berkembang menjadi senang kepada perempuan, pada perempuan berkembang menjadi senang kepada bayi. Berkembangnya rasa kasih sayang yang
besar kepada bayi dan anak-anak adalah sebagai kelanjutan dari perasaan adanya kekurangan pada diri perempuan, atau sebagai pengganti dan penghibur kekurangan
itu. Kebahagiaan seorang perempuan akan semakin besar jika keinginan memiliki bayi terkabulkan, apalagi bayi yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki. Bayi laki-
laki, bagi perempuan, merepresentasikan kelamin yang diidam-idamkannya.
14
Berdasarkan teori ini, laki-laki dan perempuan secara psikologis memang berbeda. Teori Freud memandang perbedaan jenis kelamin sebagai awal dari perbedaan
perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya perbedaan perkembangan psikologis itulah yang menentukan perbedaan perkembangan perilaku
masing-masing. Dari perkembangan perilaku kemudian berkembang kepada pemilihan peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan
13
Suryadi Idris, Kesetaraan Gender, h. 48-49
14
Baca lebih lanjut dalam Budiman, Pembagian Kerja, h. 8
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
7
teori ini pemilahan peran publik untuk laki-laki dan peran domestik bagi perempuan merupakan pilihan masing-masing dalam mengekspresikan dirinya.
Perbedaan sifat dari kompleks oedipus dan kompleks kastarsi inilah yang menjadi dasar berbagai perbedaan psikologis dari kedua jenis kelamin. Perbedaan psikologis
antara laki-laki dan perempuan dalam perkembangannya menghasilkan dinamika kepribadian yang berbeda pula. Sifat feminim dan maskulin menggambarkan sifat-
sifat kepribadian yang secara psikologis memang berbeda.”Sejak anak usia 3-6 tahun perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan
ini melahirkan perbedaan formasi sosial berdasarkan identitas jender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan”.
15
Asumsi dasar teori psikoanalisis ini banyak dikritik. Bahkan banyak kalangan yang menganggap bahwa teori Sigmund Freud ini sangat aneh dan tidak lazim. Pembedaan
laki-laki dan perempuan berdasarkan ”keirihatian” tidak nyata secara sosial dan dianggap mengada-ada. Kalau perempuan iri terhadap kelamin laki-laki, mengapa
laki-laki juga tidak iri terhadap kelamin perempuan yang juga berbeda dengan mereka?
4. Teori Fungsionalisme Struktural Teori ini hanya menyoroti bagaimana terjadinya masalah jender itu muncul, dan
mengarah kepada Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung pemilahan peran laki-laki dan perempuan bagaimana jender dipermasalahkan. Teori ini
memandang bahwa ”masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Masing-masing bagian secara terus menerus mencari
keseimbangan dan harmoni. Apabila kesalahan terjadi fungsi dari salah satu bagian struktur, sistem itu akan melahirkan gejolak”. Dalam kaitan dengan masalah
kesetaraan jender yang sedang disuarakan dapat diartikan bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi atau penyimpangan struktur
kehidupan masyarakat, sehingga terjadi gejolak. Gejolak itu adalah suatu gejala adanya kesalahan fungsi dan atau struktur kehidupan, dan gejolak itu sendiri
merupakan cara untuk mencapai keseimbangan equilibrium dan harmoni.
16
Teori fungsionalisme struktural memandang bahwa laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari struktur nilai dalam kehidupan di masyarakat. Masyarakat merupakan
suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait, masing-masing bagian akan terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Munculnya gejolak
merupakan indikator adanya kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur nilai di masyarakat. Selama tidak ada gejolak dalam masyarakat, berarti pemilahan peran
sosial menurut jenis kelamin perlu dipertahankan. Kondisi ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi harmoni dan keuntungan masyarakat secara
keseluruhan. Jadi, menurut teori ini, pembagian peran laki-laki dan perempuan mutlak diperlukan untuk menjaga harmoni dari keseluruhan sistem.
17
Perspektif teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti ditinggalkan. Artinya, status
15
Umar, Argumen Kesetaraan, h. 138
16
Baca lebih lanjut mengenai sistem sosial ini dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
17
Siti Zuhaini Dzuhayatin, “Ideologi Pembebasan Perempuan : Perspektif Feminisme dalam Islam”, dalam Bainar Ed., Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan, Jakarta:
CIDES-UII, 1998, h. 14
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
8
quo harus dipertahankan. Semampang peran laki-laki dan perempuan dalam kondisi integratif dan harmoni, keadaan itu mesti dipertahankan. Apabila terjadi gejolak atau
pertentangan dalam memandang pemilahan peran sosial laik-laki dan perempuan, berarti diperlukan pemecahan untuk mencapai equilibrium. Gejolak tersebut sebagai
akibat dari adanya kesalahan fungsi dalam struktur atau tatanan kehidupan di masyarakat yang harus segera diselasailkan. Adanya gejolak yang menuntut
’kesetaraan jender’ berarti struktur dan fungsi sosial lama yang berlaku di masyarakat perlu diperbaiki karena dianggap tidak sesuai atau terjadi penyimpangan.
18
Berdasarkan pandangan teori ini, kehidupan masyarakat yang normal harus berfungsi dan berstruktur secara normal sehingga akan melahirkan harmoni dalam kehidupan.
Apabila terjadi kesalahan fungsi atau struktur kehidupan di masyarakat yang tidak berjalan dengan normal seperti terjadi penyimpangan yang melanggar norma atau
aturan maka akan terjadi gejolak. Pada dasarnya gejolak itu sendiri merupakan cara untuk membentuk fungsi dan struktur baru dalam mencapai keseimbangan.
Pemilihan peran sosial antara laki-laki dan perempuan seperti yang terjadi saat ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi terwujudnya keseimbangan
dan harmoni. Berdasarkan teori fungsionalisme struktural, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan apabila mendapatkan harmoni dan dapat menghindarkan
gejolak harus dipertahankan. Pemilahan peran sosial antara laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik telah terbukti dapat melahirkan harmoni dalam
kehidupan. Sebagai bukti bahwa hubungan patriarkhi telah melahirkan harmoni dalam masyarakat adalah pemilahan peran tersebut masih dipertahankan sampai
masyarakat yang bersangkutan memerlukan adanya perubahan yang ditandai dengan adanya gejolak.
19
Keluarga merupakan bagian penting dalam masyarakat. Untuk melahirkan harmoni dalam masyarakat diperlukan harmoni dalan kehidupan keluarga, yang ditempuh
dengan melakukan pembagian tanggung jawab dan peran antara suami dan istri dalam keluarga yang melahirkan rasa tenang pada keduanya.Harmoni dan ketenangan
dalam keluarga akan melahirkan harmoni dan ketenangan dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, harmoni dalam masyarakat sebagaimana diasumsikan
oleh teori fungsional dapat terjadi sebagai akibat adanya pemilahan peran dalam kehidupan berdasarkan jenis kelamin. Dengan kata lain, pemilahan peran secara
seksual memang diperlukan untuk menciptakan harmoni masyarakat.
Berdasarkan teori ini, munculnya tuntutan untuk kesetaraan jender dalam peran-peran sosial di masyaarakat sebagai akibat adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi
masyarakat. Pada masyarakat pra-industri, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah pangan, sandang dan papan, dan perempuan berperan sebagai pengurus rumah
tangga dan anak-anak. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat kapitalis, di jaman industrialissasi yang lebih mementingkan materi, kondisi masyarakat sangat
tergantung pada uang. Dalam era globalisasi, peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan faktor
jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh daya saing dan ketrampilan.
20
Demikianlah beberapa teori yang sering dipergunakan untuk menjelaskan terjadinya pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Di antara keempat teori tersebut,
18
Suryadi Idris, Kesetaraan Gender, h. 52
19
Suryadi Idris, Kesetaraan Gender, h. 52-53
20
Umar, Argumen Kesetaraan, h. 77
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
9
hanya tiga teori yang sering digunakan. Teori psikoanalisis kurang dipertimbangkan karena beberapa asumsi dasar teori ini dianggap kurang lazim dan mengandung
problem ontologis dan aksiologis.
Ada beberapa konsep yang mendasari, antara lain: a.
Gender
Pengertian gender termuat dalam Lampiran Inpres No. 92000 dinyatakan:
Gender adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah
sesuai dengan perkembangan zaman. Melihat pengertian di atas, dapat dilihat bahwa pengertian gender dibedakan dengan
pengertian seks. Seks sesuatu yang tidak dapat pertukarkan karena itu disebut sebagai kodrat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kodrat dipa-hami sebagai sesuatu yang
tidak dihindari, sesuatu yang telah ditentukan, tergariskan sejak awal. Sementara gender menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai
ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan atau dibentuk melalui proses belajar yaitu sosialisasi dan internalisasi. Untuk lebih jelasnya
perbedaan antara Seks dan Gender dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbedaan antara Seks dan Gender
SEKS GENDER
Nature Nurture
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Penis Sperma
Jakun Vagina
Sel Telur Melahirkan
Menyusui Kuat
Rasional Tampan
Kasar Maskulin
Publik Lemah
Emosional Cantik
Lembut Feminin
Domestik Ciptaan Tuhan Given
Bukan Ciptaan Tuhan merupakan bentukankonstruksi manusia
Tidak dapat dipertukarkan kodrat
Dapat dipertukarkan dan bukan kodrat Permanen universal
Dapat berubah tidak universal Proses alamiah
Proses belajar
Sumber: Modul APPHGI , 2006
Gender pada dasarnya dapat dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masya-rakat dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman, yang antara lain dipengaruhi oleh
tempat, waktuzaman, sukurasbangsa. Budaya. Status sosial, agama, negaraideologi.
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
10
Bagan I. Pengertian Gender
Sumber: Modul, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Jakarta, 2001
b. Kesetaraan Gender
Pengertian Kesetaraan Gender termuat dalam Lampiran Inpres No.9 2000, yaitu:
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perem- puan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Bagan 2 Kesetaraan Gender
Kesetaraan Gender
Kesamaan dalam menikmati
hasil pembangunan Kesamaan kondisi laki-
laki dan perempuan memperoleh
kesempatan dan hak- haknya
Mampu berperan
dan berpartisipa
si dalam bidang
Politik Ekonomi
Sosial Budaya
Pertahanan Keamanan
Nasional Konstruksi
bentukan sosial Tidak dimiliki
sejak lahir
Bisa dibentukbisa
berubah
GENDER Tempat
WaktuJaman
SukuRasBangsa
Budaya Status Sosial
Agama NegaraIdeologi
Dipengaruhi oleh
• Bukan kodrat Relatif
• Dibuat manusia Ciri-ciri tersebut terda-
• Bisa diubah pat pada laki-laki
perempuan
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
11
c. Keadilan Gender :
Pengertian Keadilan Gender termuat dalam Lampiran Inpres No.92000, dinyatakan:
Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Keadilan Gender ini dimaksudkan untuk mengatasi ketidakadilan gender yang terjadi. Adapun bentuk-bentuk
ketidakadilan gender itu meliputi marginilisasi, subordinasi, pelabelanstereotip, kekerasan, beban kerja, yaitu
21
:
1 Marginalisasi
Proses marginalisasi peminggiranpemiskinan yang mengakibatkan kemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang dise-babkan karena
jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang
disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pe-kerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi
pertanian yang hanya memfo-kuskan pada petani laki-laki.
2 Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin
lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menem-patkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Banyak kasus dalam
tradisi, tafsir keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan pada tataran subordinat. Kenyataan memperlihatkan pula
bahwa masih ada ma-syarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diber-bagai kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang istri
yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak berpergian keluar negeri harus mendapatkan izin dari suami, tetapi apabila suami pergi ia bisa
mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri.
3 Pelabelanstereotip
Pelabelan atau penandaan stereotip yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotip yang melahirkan
ketidakadilan dan diskrimi-nasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin
tertentu. Misalnya pandangan ter-hadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melak-sanakan pekerjaan yang berkaitan dengan
kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagai akibatnya ketika ia berada di ruang pu-blik, maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di
masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanya merupakan ‘perpan-jangan’ peran domestiknya.
4 Kekerasan
Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata ‘kekerasan’ yang merupakan
terjemahan dari ‘violence’ artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak
hanya menyangkut serangan fisik saja tetapi perko-saan, pemukulan dan
21
Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN,
UNFPA
. 2005
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
12
penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki
yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat
individual seperti di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat dan negara, misalnya suami membatasi uang
belanja dan memonitor pengeluarannya secara ketat. Istri tidak boleh bekerja oleh suami setelah menikah.
5 Beban kerja double burden
Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu
rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-
laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh pe-rempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90 dari pekerjaan dalam
rumah tangga. Selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan do-mestik. Dengan adanya konsep-konsep tersebut di
atas, sebenarnya memperlihatkan bahwa jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara “seksual” berada dalam posisi yang tidak sama dan setara.
Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan, itu bukan tidak ada proses menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dalam Bagan 3.
Bagan 3 Keadilan Gender
B. Landasan Yuridis
1. Amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945, Pasal 27 yang memberikan
jaminan adanya persamaan hak dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki didalam hukum maupun pemerintahan. Hal ini dapat di lihat dari ayat 1 yang
berbunyi ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”. Serta ayat 2 yang berbunyi ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM PBB. Tahun 1948 pada
Pasal 1 yang berbunyi : ”Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Serta pasal 2 yang berbunyi ”Setiap warga berhak atas semua hak dan kebebasan yang
tecantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali seperti jenis kelamin”
KEADILAN GENDER
Proses menjadi adil terhadap laki-laki dan
perempuan Marginalisasi
Subordinasi PelabelanStereotipe
Kekerasan Beban Kerja
Laki-laki dan perempuan
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
13
3. Undang-undang Nomor : 39 tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia Ratifikasi
DUHAM 4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 4 yang berbunyi ”Peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Demikian juga kewajiban hukum dari pemerintahan terhadap hak atas pendidikan mengacu kepada skema 4 – A berikut, yaitu :
a. Availability Ketersediaan; b. Acceptability Keberterimaan,
c. Adaptability Kebersesuaian, d. Accessibility Keterjangkauan
Accessibility Keterjangkauan, berarti pemerintah harus menghapuskan praktik- praktik diskriminasi gender dan rasial serta menjamin pelaksanaan hak asasi
manusia secara merata.
Pusat Kurikulum Departemen pendidikan nasional melakukan dan mengembangkan model integrasi kurikulum kesetaraan gender, hal ini dilandasi oleh Deklarasi pada
Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak, yang tertera pada point 7 5 yang berbunyi ”... ketidak seimbangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah
harus di tiadakan”. Serta rencana aksi hasil dari Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak pada point 39 c yang berbunyi : ” .... Menghapuskan ketimpangan
gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005; dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 UNICEF. Begitu pula
adanya intruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang kebijakan Pengarusutamaan Gender PUG.
23Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender2007
14
BAB. III POLA PENGEMBANGAN MODEL
Pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional adalah
bagian dari pengembangan kurikulum inovatif. Model Kurikulum Integrasi Kesetaraan Gender yang dikembangkan dalam kurikulum
pendidikan sangatlah perlu karena peserta didik diharapkan dapat memahami secara mendalam tentang pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan. Upaya yang
dilakukan itu untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender Gender Equity dan Equality.
INTEGRASI KURIKULUM KESETARAAN GENDER
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kesetaraan gender ini sangat penting untuk dipahami oleh peserta didik dari tingkat pendidikan anak usia dini, dan salah satunya di tingkat menengah.
Pemahaman kesetaraan gender ini telah tercantum dalam berbagai peraturan nasional, yang juga berakar dari instru-men internasional, sebagaimana termuat dalam:
1.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang kemudian Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
2. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita yang telah diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
3. Konvensi Anak yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak 4.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutaman Gender dalam Pembangunan Nasional.
A. Prinsip-prinsip Pengembangan