Asupan energi, zat gizi dan status gizi pada balita ispa dan tidak ispa di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat

ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PADA BALITA
ISPA DAN TIDAK ISPA DI KECAMATAN CIPATAT KAB.
BANDUNG BARAT

Fauzan Bayu Ramdani

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRACT
FAUZAN BAYU RAMDANI. Energy and Nutrient Intake, and Nutritional Status in
Toddlers with Acute Respiratory Infections (ARI) and without ARI at sub-district
Cipatat Bandung Barat. Supervised by HADI RIYADI and LEILY AMALIA
FURKON
ARI (acute respiratory infection) is an important health issue that causes
highly enough death of infant and toddlers about 1 among 4 death occured. Each
child annualy expected 3-6 times infected by ARI Myrnawati research (2003) also
found about 20-30% infant mortality causes by ARI. Based on the results
of Indonesian Demographic and Health Survey, there were several factor that

cause respiratory disease such as environment, weather, parents occupation,
age, and food intake (Depkes 2002). Main purpose of this research are to know
the differences of energy intake, nutrients and nutritional status of toddlers ARI
suspect and non ARI suspect at Cipatat, Bandung Barat. This study was
implemented by cross-sectional design. Data collection was conducted in
Agustus to September 2010, with a total sample of 60 persons. Example
collected by purposive with the criteria has an history of respiratory illness during
the last 2 weeks (as a group of ARI suspect) and has no history of respiratory
infection (as a group of non ARI suspect) that registered at Puskesmas Cipatat.
Category ARI and non ARI was determined based on existing data in Puskesmas
Cipatat by doctor’s diagnosis.
The data collection then processed and analyzed descriptively and
statistically using Miccrosoft excel and SPSS 16.0. Data processing include
editing, coding and data entry. To knowing difference of adequacy level of
energy, nutrients and nutritional status between ARI suspect and non ARI
suspect was used Indeppendent Sample T-test.
Based on the results of statistical analysis there were significant
differences between energy intake, protein and zinc on infants ARI suspect and
non ARI suspect (p=0,043) (0,004) and (p=0,036) (p0,05). From the results of anthropometric
measurements that the nutritional status on the indicators BB/U, TB/U, and

BB/TB there was no difference between group of toddler with ARI and without
ARI (p>0,05).
Key word : Energy and Nutrient Intake, Nutritional status, Acute Respiratory
Infections (ARI)

RINGKASAN
FAUZAN BAYU RAMDANI. Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita
ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat. Dibimbing oleh
HADI RIYADI dan LEILY AMALIA FURKON
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu mengetahui perbedaan asupan
energi, zat gizi dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan
Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Adapun tujuan khususnya yaitu (1)
Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, (2) Mengetahui
karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (3) Mengetahui tingkat
kecukupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (4)
Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA, (5)
Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita ISPA
dan tidak ISPA (6) Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita
ISPA dan tidak ISPA.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study, yaitu model

pendekatan atau observasi sekaligus pada satu saat. Lokasi penelitian di
Kecamatan Cipatat di mana terdapat daerah penambangan batu kapur. Lokasi
dipilih berdasarkan pertimbangan tingginya polusi udara akibat kegiatan
penambangan batu kapur tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus
dan September 2010. Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita usia 12-59
bulan yang berada di daerah ruang lingkup wilayah kerja Puskesmas Cipatat.
Pemilihan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria mempunyai riwayat
penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir (sebagai kelompok ISPA) dan tidak
memiliki riwayat ISPA (sebagai kelompok tidak ISPA) serta terdaftar di
Puskesmas Cipatat. Kategori ISPA dan tidak ISPA ditetapkan berdasarkan data
yang ada di Puskesmas Cipatat berdasarkan hasil diagnosa dokter. Jumlah
contoh masing-masing kelompok adalah 30 sehingga total 60 anak balita.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data primer
meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh, data kebiasaan merokok
dalam rumah, data karakteristik individu contoh, data konsumsi makanan serta
data antropometri. Data sekunder berasal dari puskesmas yaitu data profil
puskesmas dan data kejadian penyakit ISPA selama 2 minggu terakhir. Data
diolah dan dianalisis secara deskriptif dan statistik. Program komputer yang
digunakan adalah Miccrosoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows.

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, dan entry data. Untuk
mengetahui perbedaan tingkat kecukupan energi, zat gizi dan status gizi antara
penderita ISPA dan tidak ISPA menggunakan uji Independent Samples T-Test.
Sebanyak 36,7% tingkat pendidikan orang tua contoh pada balita ISPA
hanya sampai tingkat SLTP, sedangkan pada balita tidak ISPA (40%) sampai
tingkat SLTA. Sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh pada balita ISPA
adalah buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA (33,3%) sebagai buruh
dan pegawai swasta. Besar keluarga contoh adalah kategori keluarga kecil pada
balita ISPA (50%) sedangkan pada balita tidak ISPA (73,3%). Tingkat
pendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp. 139.000,- per
kapita per bulan, bahwa sebagian besar 63,3% rumah tangga balita ISPA
tergolong miskin, sedangkan balita tidak ISPA (63,3%) tergolong tidak miskin.
Sebagian besar 76,7% anggota keluarga contoh pada balita ISPA mempunyai
kebiasaan merokok dalam rumah, sedangkan pada balita tidak ISPA (63,3%).
Mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur 12-36 bulan,
sedangkan balita tidak ISPA (80%). Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian

besar 63,3% responden laki-laki menderita ISPA, sedangkan pada balita tidak
ISPA (56,7%) responden adalah perempuan.
Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar

balita ISPA dan balita tidak ISPA masing-masing 56,7% dan 40% mengalami
defisiensi berat. Dari hasil uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara
asupan energi pada balita ISPA dan tidak ISPA (p0,05). Sebagian besar tingkat kecukupan vitamin
C mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 70% sedangkan pada
balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
asupan vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar
tingkat kecukupan seng mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA maupun
balita tidak ISPA sebesar 96,7%. Ada perbedaan yang signifikan antara asupan
seng pada balita ISPA dan tidak ISPA (p0,05).
Sebagian besar 56,7% status gizi contoh berdasarkan BB/U mengalami
status gizi normal, baik pada balita ISPA maupun tidak ISPA. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan BB/U pada balita ISPA
dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalami status gizi normal
berdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%) sedangkan pada balita tidak ISPA
(70%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan TB/U
pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05). Sebagian besar contoh mengalami
status gizi normal berdasarkan BB/TB, pada balita ISPA sebesar 80% sedangkan
pada balita tidak ISPA (83,3%). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
status gizi berdasarkan BB/TB pada balita ISPA dan tidak ISPA (p>0,05).
Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan

energi, protein, dan seng pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ISPA mempengaruhi terhadap asupan energi, protein, dan
seng. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa asupan vitamin A, vitamin E.
vitamin C, dan Fe dalam kategori defisiensi berat sehingga perlu untuk
meningkatkan asupan. Dengan demikian para orang tua balita sebaiknya
melakukan pencegahan dengan mengupayakan kebutuhan zat gizi agar
kecukupan terpenuhi, dan menghilangkan kebiasaan merokok dalam rumah.
Untuk Puskesmas diharapkan melakukan penyuluhan kepada orang tua tentang
pentingnya makanan bergizi untuk memenuhi kecukupan gizi anak dan bisa
menekan angka kejadian ISPA pada balita agar tidak menjadi akut.

ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI DAN STATUS GIZI PADA
BALITA ISPA DAN TIDAK ISPA DI KECAMATAN CIPATAT KAB.
BANDUNG BARAT

FAUZAN BAYU RAMDANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul Skripsi

: Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan
Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat

Nama
Nrp

: Fauzan Bayu Ramdani
: I14086012

Menyetujui,
Dosen Pembimbing I


Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS

Leily Amalia Furkon, STP, M.Si

NIP. 19610615 198603 1004

NIP. 19721209 200501 2001

Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
NIP. 19621218 198703 1001

Tanggal Lulus :


RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung pada tanggal 14 Mei 1987, penulis merupakan
anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan bapak Suwinda dan ibu Teti
Suryati.
Pendidikan formal pertama di tempuh pada tahun 1991-1993 di TK
Pertiwi Desa Rajamandala. Tahun 1993 memulai pendidikan di SD Negeri RAMA
I selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan di
SLTP Negeri 1 Cipatat. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 9
Bandung hingga tahun 2005. Selama di SMA penulis aktif dalam kegiatan
organisasi seperti pecinta alam dan kegiatan olahraga.
Pada tahun 2005 penulis diterima di Poltekkes DEPKES Bandung
Jurusan Gizi. Selama kuliah di Jurusan Gizi, penulis aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), dan ikatan remaja
masjid.

Pada

tahun

2008


penulis

melanjutkan

studi

pada

Program

Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis telah menyelesaikan penelitian akhir dan menyusun skripsi di
bawah bimbingan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS dan Ibu Leily Amalia Furkon, STP, M.Si.
dengan judul “Asupan Energi, Zat Gizi dan Status Gizi pada Balita ISPA dan
Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat”.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat,

kasih sayang, kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Asupan Energi, Zat Gizi
dan Status Gizi pada Balita ISPA dan Tidak ISPA di Kecamatan Cipatat
Kabupaten Bandung Barat”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S sebagai dosen pembimbing satu skripsi yang telah
memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian skripsi
ini.
2. Leily Amalia Furkon, STP, M.Si sebagai dosen pembimbing dua skripsi yang
telah memberikan bimbingan selama penelitian, penulisan dan penyelesaian
skripsi ini.
3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S sebagai dosen pembimbing akademik.
4. Ibu Mira Dewi, S.Ked sebagai pemandu seminar dan penguji skripsi, yang
telah memberikan masukan dan saran.
5. Orangtua (Bapak dan Ibu), kakak dan adik-adik atas kasih sayang, doa dan
bantuannya baik moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini.
6. Semua pihak yang belum tertulis diatas yang telah memberikan bimbingan
dan bantuannya dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi
ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak yang membaca. Penulis mengucapakan terima
kasih, semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua, Aamiin.

Bogor, Januari 2011

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................

i

DAFTAR ISI ................................................................................................

ii

DAFAR TABEL.............................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................

v

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................

1

Tujuan ................................................................................................

3

Hipotesis .............................................................................................

3

Kegunaan............................................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut ........................................................

4

Status Gizi...........................................................................................

6

Konsumsi Pangan ..............................................................................

9

Energi..................................................................................................

10

Zat-zat Gizi yang Berperan dalam Imunitas.........................................

11

Angka Kecukupan Gizi ........................................................................

18

KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................

19

METODOLOGI PENELITIAN
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................

21

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ...................................................

21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................

22

Pengolahan dan Analisis Data ............................................................

23

Definisi Operasional ...........................................................................

24

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum Lokasi Penelitian ....................................................

26

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh....................................

26

Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga ...............................................

30

Karakteristik Individu ...........................................................................

32

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi ..............................................

34

Status Gizi ..........................................................................................

46

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .........................................................................................

51

Saran ..................................................................................................

52

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

53

LAMPIRAN ..................................................................................................

57

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Tabel 19.
Tabel 20.
Tabel 21.
Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel 24.
Tabel 25.
Tabel 26.
Tabel 27.
Tabel 28.
Tabel 29.
Tabel 30.
Tabel 31.

Kategori Status Gizi Pada Berbagai Ukuran Antropometri.........
Angka Kecukupan Gizi Vitamin C yang di Anjurkan Pada
Berbagai Kelompok Usia.............................................................
Bahan makanan sumber besi.....................................................
Jenis peubah dan cara pengumpulan data.................................
Cara pengolahan data................................................................
Kategori Status Gizi Balita..........................................................
Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat
pendidikan.....................................................................................
Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh.........................................
Sebaran besar keluarga pada contoh.........................................
Sebaran pendapatan keluarga contoh........................................
Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh....................
Sebaran umur contoh.................................................................
Sebaran jenis kelamin contoh.....................................................
Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan
tidak ISPA menurut jenis kelamin per hari..................................
Rata-rata konsumsi pangan sumber energi per hari...................
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi.............
Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari..................
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein............
Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin A per hari
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A .......
Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E per hari
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin E........
Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C per hari
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C........
Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng per hari.......
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan seng...............
Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber besi per hari........
Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan besi................
Sebaran status gizi contoh menurut BB/U..................................
Sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U...........................
Sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB.........................

7
16
18
22
23
24
27
28
29
30
31
32
33
33
34
35
36
37
38
39
40
40
41
42
43
43
44
45
47
48
49

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.

Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan
infeksi........................................................................................

Gambar 2.
Gambar 3.

14

Kerangka pemikiran hubungan konsumsi dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita.........................................................

20

Kerangka cara penarikan contoh..............................................

21

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian..................................................................

56

Lampiran 2. Surat Pernyataan Kesediaan Mengikuti Penelitian...................

57

Lampiran 3. Kuesioner Karakteristik Soisal Ekonomi...................................

58

Lampiran 4. Form Food Recall.....................................................................

59

Lampiran 5. Output Analisi Data...................................................................

60

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Arah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya
menyebutkan

bahwa

pembangunan

kesehatan

diarahkan

untuk

meningkatkan derajat kesehatan termasuk didalamnya keadaan gizi
masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta kecerdasan
rakyat pada umumnya (Suhardjo 2003). Masalah gizi yang banyak
dihadapi Indonesia meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan
hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak
mencukupi kebutuhan. Anak balita (1-5 tahun) merupakan kelompok umur
yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (KEP) atau termasuk
salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi (Sedioetama 2000).
Menurut Sediaoetama (2000) bahwa anak balita akan mengalami
proses pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga memerlukan zat-zat
makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih tinggi. Hasil
pertumbuhan pada saat dewasa, sangat bergantung dari kondisi gizi dan
kesehatan sewaktu masa balita. Di negara berkembang anak-anak umur
0-5 tahun merupakan golongan yang paling rawan terhadap gizi.
Kelompok yang paling rawan di sini adalah periode pasca penyapihan
khususnya kurun umur 1-3 tahun. Anak-anak biasanya menderita
bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo
2003)
Status gizi rendah akibat masalah gizi pada anak, akan berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh yang rendah dan rentan terhadap serangan penyakit
infeksi, seperti diare, flu, ISPA, campak, dll. Apabila kejadian penyakit infeksi
tidak segera ditangani maka akan mempengaruhi tingginya angka kematian
balita. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, angka
kejadian infeksi saluran pernafasan akut di Jawa Barat pada anak usia 0-5 tahun
pada tahun 2003 sebesar 5% (Dinkes Jabar 2005).
Menurut Sediaoetama (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi seseorang adalah konsumsi makanan dan infeksi. Konsumsi makan dan
infeksi tersebut keduanya saling berkaitan. Konsumsi makan yang kurang dapat
menyebabkan daya tahan tubuh menjadi menurun, sehingga mudah untuk

terjadinya infeksi. Begitu juga apabila sudah terjadi infeksi, maka nafsu makan
menurun dan menyebabkan konsumsi makan berkurang, sehingga terjadi
gangguan salah satunya adalah zat gizi baik makro maupun mikro.
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) merupakan masalah kesehatan
yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi
yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6
episode ISPA setiap tahunnya. Penelitian Myrnawati (2003) juga menemukan
bahwa 20-30% kematian balita disebabkan oleh ISPA (diacu dalam Zyiefa 2009).
Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ada beberapa
faktor yang menyebabkan penyakit ISPA diantaranya adalah lingkungan, cuaca,
pekerjaan orang tua, umur, dan konsumsi makanan (Depkes 2002).
Menurut studi longitudinal yang dilakukan oleh Yoon et al (tahun 1997)
pada anak dibawah 2 tahun di metro Cebu-Philiphina menyatakan bahwa
terdapat pengaruh status gizi kurang terhadap kematian anak di bawah dua
tahun. Penelitian ini juga membuktikan bahwa status gizi kurang (berdasarkan
BB/U) berhubungan dengan faktor resiko terjadinya ISPA pada anak. Penurunan
berat badan akan meningkatkan 1,7 kali resiko terjadinya ISPA (AJCN 1997).

Pertambangan kapur Gunung Masigit terletak di daerah perbukitan
di Cipatat, Bandung, Jawa Barat. Pertambangan kapur ini merupakan
pertambangan tradisional dengan perilaku kerja pekerja yang berisiko
sehingga pekerja pertambangan memiliki risiko tinggi untuk terkena
penyakit ISPA akibat terpajan oleh debu kapur. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Eka (2009) sebanyak 56% pekerja mengalami gejala ISPA.
Debu yang cukup banyak dan menimbulkan pencemaran udara bagi
masyarakat sekitar dihasilkan dari penambangan batu kapur yang terdiri
dari pengadaan bahan baku, pengangkutan bahan, dan pada saat
pembakaran bahan. Aktivitas pengolahan batu kapur di desa Citatah
Kecamatan Cipatat sudah dilakukan sejak tahun 1960. Selain memiliki
fungsi sebagai penampung air batuan di kawasan Citatah, pengolahan
batu kapur juga memiliki manfaat ekonomi, yaitu batu kapur yang bisa
dijual dan dijadikan industri kerajinan marmer (Yusuf 2010). Dengan
demikian

meskipun

memiliki

manfaat

ekonomi,

dampak

dari

penambangan batu kapur harus mendapat perhatian yang lebih serius
terutama ISPA pada balita. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai asupan energi, zat gizi, dan status gizi
pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung
Barat.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan
asupan energi, zat gizi, dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di
Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Mengetahui karakteristik balita penderita ISPA dan tidak ISPA
3. Mengetahui asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi
antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
4. Mengetahui status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak ISPA
5. Mengetahui perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita
penderita ISPA dan tidak ISPA
6. Mengetahui perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan
tidak ISPA
Hipotesis
1. Ada perbedaan asupan energi dan zat gizi antara balita penderita
ISPA dan tidak ISPA
2. Ada perbedaan status gizi antara balita penderita ISPA dan tidak
ISPA
Kegunaan
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi kepada
pembaca

pada umumnya dan masyarakat Kecamatan Cipatat pada

khususnya mengenai kondisi tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan
status gizi, kaitannya dengan kejadian ISPA pada balita.

TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi saluran pernapasan atas di kenal sebagai ISPA adalah penyakit
infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring,
atau laring (Algsagaff et al 1998). ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) yang
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI)
mempunyai pengertian sebagai berikut:
a. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan
bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paruparu) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini,
jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan.
b. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini
dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau
disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab angka absensi
tertinggi, lebih dari 50% semua angka tidak masuk kerja/sekolah karena sakit
ISPA (Algsagaff et al 1998).
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stafilokokus,
pnemokokus, hemofilus, korinekbakterium dan bordetella. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan miksovirus, adenovirus, pikornavirus, mikoplasma,
hipervirus dan lain-lain.
Gejala ISPA dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu ringan,
sedang dan berat. Gejala ringan ditandai dengan batuk, serak yaitu anak
bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara
atau menangis), pilek yaitu mengeluarkan lendir / ingus dari hidung, panas, atau
demam dengan suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan
punggung tangan terasa panas, perlu berhati-hati karena jika anak menderita
ISPA ringan sedangkan ia mengalami panas badannya lebih dari 390C, gizinya

kurang umurnya 6 bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA
sedang (Depkes 2002).
Gejala sedang ditandai jika gejala seperti pernafasan lebih dari 50x
permenit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40x
permenit pada anak yang berumur satu tahun lebih. Cara menghitung
pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit.
Untuk menghitung dapat digunakan arloji, suhu lebih dari 390C (diukur dengan
thermometer), tenggorokan berwarna merah, timbul bercak campak, telinga sakit
atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga, pernafasan berbunyi seperti
mengorok (mendengkur), pernafasan berbunyi menciut-ciut (Depkes 2002).
Gejala ISPA berat yang ditandai dengan bibir atau kulit membiru, lubang
hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas, anak tidak
sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi seperti mengorok dan
anak tampak gelisah, sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas, nadi lebih
cepat dari 160x permenit atau tidak teraba, tenggorokkan berwarna merah
(Depkes 2002).
Faktor risiko yaitu faktor yang mempengaruhi atau memudahkan
terjadinya penyakit, tiga faktor risiko infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yaitu
: keadaan sosial

ekonomi dengan cara mengasuh atau mengurus anak,

keadaan gizi dan cara pemberian makanan, kebiasaan merokok

dan

pencemaran udara (Depkes 2002).
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan
dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan
dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat
iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga
menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh
bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan
kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat
dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernafasan (Mukono 1997)
Faktor yang meningkatkan morbiditas, yaitu kurang gizi, BBLR,
pemberian ASI tidak memadai, polusi udara, kepadatan dalam rumah
kekurangan vitamin A dan vitamin C. Sedangkan faktor yang meningkatkan
mortalitas, yaitu tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat
pendidikan ibu rendah, jangkauan pelayanan kesehatan rendah.

ISPA bila mengenai saluran pernafasan bawah, khususnya pada bayi,
anak-anak dan orang tua, memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek,
berupa bronchitis dan banyak berakhir dengan kematian. ISPA disebabkan
karena virus maka wanita lebih rentan terkena dibandingkan dengan laki-laki
namun pada waktu mensis mereka lebih tahan terhadap infeksi virus (Depkes
2002).
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Status gizi dapat dikatakan baik
apabila pola makan kita seimbang artinya banyak dan jenis makanan yang kita
makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Status gizi seseorang dipengaruhi
oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya
setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang
cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola
makannya sehari-hari (Depkes 2002).
Kondisi kesehatan anak saat diperiksa lebih banyak yang sakit pada
kelompok status gizi bawah. Risiko kurang gizi juga lebih tinggi secara nyata bila
konsumsi semua zat gizi pada anak lebih rendah. Riwayat kelahiran juga
berperan dalam risiko kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong
persalinan (Depkes 2002).
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita ada dua macam yaitu
faktor dalam yaitu jumlah dan mutu makanan, kesehatan balita (ada atau
tidaknya penyakit) sedangkan faktor luarnya yaitu tingkat ekonomi, pendidikan,
perilaku orang tua atau pengasuh, sosial budaya / kebiasaan, kesediaan bahan
makanan di rumah tangga (Depkes 2002).
Banyak faktor yang mempengaruhi baik buruknya keadaan seorang
balita. Keadaan gizi pada kehamilan merupakan penentu utama bagi
kelangsungan hidup

anak.

Growth

faltering

(menurunnya

pertumbuhan)

merupakan tanda terjadinya keadaan gizi yang tidak baik. Kejadian ini bisa
disebabkan oleh dua hal yaitu karena asupan makan yang salah atau tidak
memenuhi gizi seimbang dan karena penyakit infeksi (Sumardi 1995 diacu dalam
Fitri 2008).
Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain
karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan
anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan

tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan
infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial
terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001 diacu dalam
Maitatorum 2009).
Penelitian yang dilakukan Smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak
yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan
produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi.
Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat
rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan
seperti ISPA (diacu dalam Maitatorum 2009). Disamping kurang gizi, anak yang
mengalami gizi lebih juga mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi
jika dibandingkan dengan status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh
Chandra (1991) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih
mempunyai penurunan jumlah limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (selNK) dan penurunan stimulasi limposit T jika dibandingkan dengan anak status
gizi normal. Penurunan sistem kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak
potensial terkena penyakit infeksi (diacu dalam Maitatorum 2009).
Parameter antropometri merupakan dasar dari penelitian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) (Arisman 2003).
Tabel 1 Kategori Status Gizi Pada Berbagai Ukuran Antropometri
Indeks
BB/U

TB/U
BB/TB

Kategori
Gizi lebih : > 2.0 SD
Gizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SD
Gizi kurang : < - 2 SD
Gizi buruk : < - 3 SD
Normal : ≥ - 2 SD
Pendek/stunted : < - 2 SD
Gemuk : > 2.0 SD
Normal : - 2 SD s/d + 2 SD
Kurus/wasted : < - 2.0 SD
Sangat kurus : < - 3 SD

Sumber : Depkes (2000), Arisman (2003)

Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang infeksi, menurunnya nafsu makan atau

menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter
antropometri yang labil. Dalam keadaan kesehatan baik dan keseimbangan
antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan akan
berkembang mengikuti pertambahan umur (Supariasa 2001).
Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal terdapat dua kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang secara cepat atau lebih
lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka
indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik badan yang labil, maka indeks
BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional
status) (Supariasa 2001).
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu
relatif lama (Supariasa 2001).
Berdasarkan

karakteristik

tersebut

di

atas,

maka

indeks

ini

menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status masa lampau, juga
lebih erat kaitanya dengan status sosial ekonomi (Supariasa 2001).
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan berat badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jelliefe pada tahun 1966 telah
memperkenalakan indeks ini untuk mengindentifikasi status gizi (Supariasa 2001)
Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi
saat ini (sekarang). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, indeks BB/TB mempunyai
beberapa kelebihan yaitu: tidak memerlukan data umum, dapat membedakan
proporsi badan (gemuk, normal atau kurus) dan kelemahannya adalah : tidak
dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan
atau kelebihan tinggi badan menurut umumya, karena faktor umur tidak
dipertimbangkan,

dalam

prakteknya

sering

mengalami

kesulitan

dalam

melakukan

pengukuran

panjang/tinggi

badan

pada

kelompok

balita.

Membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama (Supariasa
2001).
Konsumsi Pangan
Menurut Riyadi (2006), konsumsi pangan seseorang atau sekelompok
orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang
mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk
keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga,
pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan.
Sumarwan (2002) menyatakan bahwa memahami usia konsumen adalah
penting karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan
jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan
selera dan kesukaan terhadap merk. Seorang yang berumur relatif muda akan
relatif lebih cepat dalam menerima sesuatu yang baru.
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan
seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang
lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang
berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Permana 2006).
Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang
paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang
erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang
menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan
masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila
penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga
meningkat mutunya (Suhardjo 1989).
Menurut

Suhardjo (1989), keluarga

yang

berpenghasilan

rendah

menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk pangan dan keluarga
yang berpenghasilan tinggi akan menurunkan pengeluaran untuk pangan.
Keluarga yang berpenghasilan rendah akan rendah pula jumlah uang yang
dibelanjakan untuk pangan. Jika penghasilan menjadi semakin baik, jumlah uang
yang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan juga akan meningkat
sampai tingkat tertentu dimana uang tidak dapat bertambah secara berarti.
Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan
pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak

kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi
sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004 diacu dalam
Rosyida 2010).
Energi
Manusia membutuhkan energi untuk menjalani hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi tersebut diperolah dari
karbohidrat, protein dan lemak yang ada dalam bahan makanan (Almatsier
2002). Manusia yang kurang makan akan lemah, baik daya kegiatan, pekerjaanpekerjaan fisik maupun daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan
yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (Marsetyo 2005).
Secara berturut-turut energi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah sebagai berikut : untuk memenuhi kebutuhan energi basal, untuk
aktifitas tubuh, untuk keperluan khusus (Moehji 2002).
Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi
energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi
seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat
aktifitas

yang

sesuai

dengan

kesehatan

jangka

panjang,

dan

yang

memungkinkan pemeliharaan fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi
(Almatsier 2002).
Kebutuhan energi setiap anak berbeda-beda, walaupun pada umur yang
sama, terutama oleh adanya perbedaan aktifitas fisik (Pudjiadi 2000). Pada anak
masa sekolah, aktifitas anak lebih banyak, baik di sekolah maupun di luar
sekolah, sehingga anak perlu energi lebih banyak. Pertumbuhan anak lambat
tetapi pasti, sesuai dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi anak
(Soetjiningsih 2002).
Energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas dalam kehidupan
sehari-hari didapatkan oleh tubuh dari energi yang dilepaskan di dalam tubuh
pada proses pembakaran zat makanan (Irianto 2004). Setelah melakukan
aktifitas fisik yang berat, seseorang akan mengalami proses oksidasi dalam sel
yang lebih aktif dibandingkan apabila tidak melakukan gerak fisik yang berat.
Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya energi basal metabolisme (Suhardjo
1992).

Zat-zat Gizi yang Berperan Dalam Imunitas
Protein
Protein merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia setelah air
(Winarno 2002), seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di
dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di
dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein
mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2004).
Khusus untuk anak-anak, asupan protein di perlukan lebih tinggi daripada orang
dewasa, karena mereka masih dalam masa pertumbuhan (Irianto 2004).
Fungsi protein diantaranya untuk membantu pertumbuhan, pemeliharaan
dan membangun enzim, hormon dan imunitas, oleh sebab itu protein sering kali
disebut sebagai zat pembangun. Protein dibagi dua, yakni berasal dari hewani
dan nabati. Sumber pangan yang mengandung protein antara lain ikan, telur,
daging, susu dan kacang-kacangan (Almatsier 2004).
Hasil kajian pemantauan konsumsi makanan yang dilaksanakan tahun
1995 sampai 1998 di wilayah pedesaan prevalensi rumah tangga defisit protein
pada tingkat rumah tangga sudah tinggi pada tahun 1995. Mulai dengan
prevalensi sebesar 35% rumah tangga defisit protein, kemudian berkurang
menjadi 24% pada tahun 1996, akan tetapi terjadi kecenderungan meningkat dari
tahun 1996 ke tahun 1998 (Latief dkk dalam WKNPG VII 2000).
Vitamin A
Diantara beberapa jenis zat gizi, vitamin A merupakan zat gizi yang telah
banyak terbukti memiliki keterkaitan dengan status imunitas. Vitamin A
merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil.
Vitamin A atau retinol merupakan istilah generik bagi semua senyawa dari
sumber hewani yang memperlihatkan aktivitas biologik vitamin A. Senyawa
tersebut disimpan dalam bentuk ester retinol di dalam hati. Di dalam sayur,
vitamin A berwujud sebagai provitamin dalam bentuk pigmen β-karoten berwarna
kuning (Murray 2003). β-karoten merupakan antioksidan dan mempunyai peran
dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan pada tekanan parsial
oksigen yang rendah (Murray 2003).
Radikal bebas yaitu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Adanya kecenderungan memperoleh elektron
dari substansi lain menjadikan radikal bebas bersifat sangat reaktif. Namun, tidak

semua jenis oksigen reaktif merupakan radikal bebas, diantaranya oksigen
singlet (tunggal) dan H2O2

(Murray 2003). Karotenoid memperlihatkan

kemampuannya dalam menghambat reaksi radikal bebas. β-caroten sangat
efisien menurunkan radikal trichloromethylperoxyl (Sies dan Stahl 1995). Secara
biologis karotenoid kurang aktif daripada retinol. Selain itu, sumber dietari
karotenoid juga kurang diproses dan diserap secara efisisen di usus. Maka,
untuk mencapai efek yang serupa dengan retinol, β-karoten vitamin A harus
dicerna sebanyak enam kali lebih banyak (melalui massa makanan) (Sommer
2004).
Sifat kimia vitamin A, yaitu kristal alkohol berwarna kuning dan larut
dalam lemak atau pelarut lemak, stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Namun
demikian, vitamin A mudah sekali teroksidasi oleh udara dan akan rusak jika
dipanaskan pada suhu tinggi bersama sinar, udara, dan lemak yang sudah tengik
(Winarno 2002).
Vitamin A penting untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh,
kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi, mempertahankan kesehatan
jaringan epitel, membantu pembentukkan tulang dan gigi (Hartono 2000).
Antioksidan juga merupakan bahan yang menghambat atau mencegah
keruntuhan, kerusakan atau kehancuran akibat oksidasi (Youngson 2005).
Aktivitas enzim antioksidan meningkat pada alveolar macrophages perokok
muda tanpa gejala, tapi sel yang serupa dari perokok umur tua memperlihatkan
penurunan aktivitas dan terjadi ketidakseimbangan oksidan-antioksidan (Sridhar
1995).
Selain itu, antioksidan juga merupakan suatu senyawa yang dapat
menghambat atau mencegah kerusakan karena oksidasi pada suatu molekul
target. Perusakan oksidatif adalah serangan dari molekul radikal bebas
(superoksida, hidroksil radikal) atau molekul non radikal (singlet oksigen dan
ozon) kepada molekul biologis (Sitompul 2003). Radikal bebas dapat terbentuk
melalui pernafasan. Saat kita bernafas, akan masuk oksigen (O2) yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk proses pembakaran gula menjadi CO2, H2O, dan
energi. Namun demikian, dengan bernafas atau oksigen yang berlebihan saat
olahraga terjadi reaksi yang kompleks dalam tubuh dan menghasilkan produkproduk sampingan berupa radikal bebas, yaitu radikal oksigen singlet, radikal
peroksida lipid, radikal hidroksil, dan radikal superoksida. Semua radikal bebas
oksigen ini sangat cepat merusak jaringan-jaringan sel. Sehingga oksigen dapat

menjadi pemasok radikal bebas. Saat kita menghirup udara terpolusi oleh asap
rokok dan asap pembakaran bensin mobil dapat memicu terbentuknya radikal
bebas seperti radikal oksigen singlet, yang dapat merusak jaringan paru
(Kumalaningsih 2006).
Peroksidasi lipid merupakan mekanisme umum kerusakan jaringan oleh
radikal bebas yang diketahui bertanggungjawab pada kerusakan sel dan
menyebabkan banyak kejadian patologis. Selama inflamasi paru, peningkatan
jumlah

ROS (Reactive

Oxygen

Species) dan

RNI

(Reactive Nitrogen

Intermediates) diproduksi sebagai konsekuensi letusan phagocytic pernafasan.
Produksi Reactive Oxygen Species (ROS) oleh phagocytes aktif dapat
disebabkan oleh mikrobakteria. Meskipun hal tersebut merupakan bagian penting
dalam

pertahanan melawan mikrobakteria, hasil perluasan ROS dapat

mengakibatkan luka pada jaringan dan inflamasi. Hal ini dapat berkontribusi lebih
jauh pada immunosuppression, terutama dengan kapasitas antioksidan yang
tidak berpasangan, diantaranya pasien yang terinfeksi HIV. Selain itu, malnutrisi
yang terjadi pada pasien TB dapat menambah kapasitas antioksidan yang tidak
berpasangan dalam pasien tersebut (Reddy et al 2004).
Reactivate oxygen species terjadi pada jaringan dan dapat merusak DNA,
protein, karbohidrat, dan lemak. Reaksi penghapusan yang potensial diawasi
oleh sistem antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang menghilangkan
prooksidan dan mencari radikal bebas. Kemampuan karotenoid larut lemak
adalah untuk memadamkan molekul oksigen singlet dapat menjelaskan
beberapa sifat karotenoid, tidak tergantung pada aktivitas provitamin A (Mascio
et al 1991).
Kaitan antara Vitamin A dan Kejadian Infeksi
Menurut Supariasa (2002) Penyakit infeksi berkaitan dengan keadaan gizi
kurang sehingga merupakan hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat
memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk akan mempermudah
terjadinya infeksi. Berikut adalah bagan kaitan antara vitamin A dan kejadian
infeksi.

infeksi

Perubahan Integrasi Epitel
Jaringan Limfoid
Imunitas Spesifik Mekanisme
Non Spesifik
dll

Panas, Gangguan
nafsu makan,
Gangguan absorpsi
Gangguan utilisasi dll

Kekuarangan Vitamin A
Gambar 1 Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan infeksi
Tingkat keparahan penyakit selalu berkorelasi dengan tingkat defisiensi
vitamin A. Kematian selalu berhubungan dengan infeksi diantaranya pneumonia
dan diare berat. Pemberian vitamin A dosis besar dapat menurunkan risiko
kematian akibat infeksi (Rolfes et al 2006). Untuk mengurangi pengaruh infeksi
dan memperbaiki status gizi, pasien dianjurkan untuk menjalani diet yang
dianjurkan oleh ahli gizi.
Vitamin E
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam
lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur
cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat
merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Bila menerima
hidrogen, radikal bebas menjadi tidak reaktif. Pembentukan radikal bebas terjadi
didalam tubuh dalam proses metabolisme aerobik normal pada waktu oksigen
secara bertahap direduksi menjadi air. Radikal bebas yang dapat merusak itu
juga diperoleh tubuh dari benda-benda polusi, ozon dan asap rokok (Almatsier
2004).
Walaupun vitamin E adalah antioksidan larut lemak utama di dalam
membran sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000
molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau
reduktase lain yang mereduksi radika

Dokumen yang terkait

Perbedaan Status Gizi Balita yang Berada di Wilayah Kerja Posyandu Madya dengan Posyandu Purnama di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru

2 54 72

Hubungan antara Asupan Protein dan Status Gizi Pada Balita di Puskesmas Cikidang Kecamatan Cikidang Kabupaten Sukabumi tahun 2012

0 10 53

STATUS GIZI, ASUPAN PROTEIN, ASUPAN SENG DAN KEJADIAN ISPA ANAK BALITA DI PERKAMPUNGAN KUMUH KOTA SURAKARTA

0 3 10

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BALITA, ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita, Asupan Energi Dan Protein Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono I Ka

0 4 11

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BALITA, ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN BALITA DENGAN STATUS Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita, Asupan Energi Dan Protein Balita Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyudono I Kabupaten Boyolal

0 2 17

HUBUNGAN STATUS GIZI TERHADAP TERJADINYA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas Pajang Surakarta.

0 1 14

HUBUNGAN STATUS GIZI TERHADAP TERJADINYA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas Pajang Surakarta.

0 1 13

ASUPAN ENERGI, ZAT GIZI MAKRO DAN STATUS GIZI PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS DI BANGSAL Asupan energi, Zat Gizi MAkro dan Status Gizi pada Pasien Sirosis Hepatis di Bangsal Melati RSUD DR. Moewari Surakarta.

0 2 14

HUBUNGAN KESAKITAN ISPA DAN DIARE DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA SELODOKO KECAMATAN AMPEL Hubungan Kesakitan ISPA dan Diare dengan Status Gizi Anak Balita di Desa Selodoko Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali.

0 1 17

Hubungan Status Imunisasi dan Status Gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita

0 0 19