Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa dan Beberapa Karakter Kuantitatif pada Cabai

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KETAHANAN
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA DAN BEBERAPA
KARAKTER KUANTITATIF PADA CABAI

SYAIDATUL ROSIDAH

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Parameter
Genetik Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa dan Beberapa Karakter
Kuantitatif pada Cabai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Syaidatul Rosidah
NIM A24090176

ABSTRAK
SYAIDATUL ROSIDAH. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan terhadap
Penyakit Antraknosa dan Beberapa Karakter Kuantitatif pada Cabai. Dibimbing
oleh MUHAMAD SYUKUR.
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Laboratorium
Pemuliaan Tanaman IPB pada bulan Oktober 2012 sampai April 2013. Populasi
hasil persilangan genotipe C15 dan C2 digunakan untuk mempelajari parameter
genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum acutatum dan beberapa karakter kuantitatif pada cabai. Sebanyak
dua puluh buah matang hijau dari setiap tanaman diinokulasi dengan isolat PYK
04. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa
dikendalikan oleh gen resesif. Tidak ada efek maternal dalam penurunan karakter
yang diamati kecuali karakter panjang buah. Heritabilitas arti luas tergolong tinggi
untuk karakter kejadian penyakit, diameter nekrosis, tinggi tanaman, diameter
batang, tinggi dikotomus, umur berbunga, dan umur panen; dan tergolong sedang

untuk karakter panjang dan diameter buah. Heritabilitas arti sempit tergolong
tinggi untuk karakter diameter batang, tinggi dikotomus, dan umur berbunga;
sedang untuk karakter kejadian penyakit, tinggi tanaman, dan umur panen; dan
rendah untuk karakter diameter nekrosis, panjang buah dan diameter buah. Rasio
ragam aditif bernilai tinggi untuk karakter kejadian penyakit, tinggi tanaman,
diameter batang, tinggi dikotomus, dan umur berbunga; sedang untuk karakter
diameter nekrosis, umur panen, dan diameter buah; dan rendah untuk karakter
panjang buah. Pembentukan varietas cabai tahan antraknosa dan berdaya hasil
baik sebaiknya diarahkan pada varietas open pollinated (bersari bebas).
Kata

kunci:

cabai, Colletotrichum
heterobeltiosis

acutatum,

heritabilitas,


heterosis,

ABSTRACT
SYAIDATUL ROSIDAH. Estimation of Resistance Genetic Parameter for
Anthracnose Disease and Quantitative Characters of Pepper. Supervised by
MUHAMAD SYUKUR.
The research was conducted at Leuwikopo Experimental Field and Plant
Breeding Laboratory of IPB, from October 2012 to April 2013. Crossing
population between C15 and C2 genotype were used to study resistance genetic
parameter for anthracnose disease caused by Colletotrichum acutatum and
quantitative characters in pepper. Twenty mature green pepper fruits from each
plant were inoculated by PYK 04 isolate. Experiment result showed that
resistance to anthracnose in pepper was controlled by recessive gene. There were
no maternal effect for all observed character except fruit length. Broad-sence
heritability were high for disease incidence, necrotic diameter, plant height, stem
diameter, dichotomous height, days for flowering, days for harvesting; and

medium for fruit length and diameter character. Narrow-sence heritability were
high for stem diameter, dichotomous height, days for flowering; medium for
disease incidence, plant height, days for harvesting; and low for necrotic diameter,

fuit length and diameter character. Additive-variance ratio were high for disease
incidence, plant height, stem diameter, dichotomous height, and days for
flowering; medium for necrotic diameter, days for harvesting, fruit diameter; and
low for fruit length character. Producing pepper varieties which are resistance to
anthracnose and good yield should be aimed to open pollinated varieties.
Key words: Colletotrichum acutatum, heritability, heterosis, heterobeltiosis,
pepper,

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KETAHANAN
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA DAN BEBERAPA
KARAKTER KUANTITATIF PADA CABAI

SYAIDATUL ROSIDAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan terhadap Penyakit
Antraknosa dan Beberapa Karakter Kuantitatif pada Cabai
Nama
: Syaidatul Rosidah
NIM
: A24090176

Disetujui oleh

Dr Muhamad Syukur, SP MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Tema
penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai April 2013 ini adalah ketahanan
cabai terhadap penyakit penting, dengan judul Pendugaan Parameter Genetik
Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa dan Beberapa Karakter Kuantitatif pada
Cabai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor yang berkenan menerima penulis menjadi mahasiswa
2. Dr Muhamad Syukur, SP MSi selaku pembimbing skripsi dan Abdul
Hakim, SP selaku laboran Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman,
IPB yang telah banyak memberi saran selama penelitian
3. Prof Dr Ir HMH Bintoro MAgr selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan, semangat, dan kasih sayangnya selama penulis
belajar di IPB

4. Ibu Siti Kalimah, Ayah Sukardi (wali), dan Bapak Ahmad Faozi atas doa,
dorongan, dan kasih sayangnya
5. Seluruh dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah
memberikan pembelajaran selama penulis kuliah
6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Himpunan Keluarga Rembang
Bogor (HKRB), Lembaga Amil Zakat Alhurriyyah, Karya Salemba
Empat, Bakti BCA, dan Ikatan Alumni Korea-Indonesia atas bantuan dan
beasiswa yang diberikan kepada penulis
7. Seluruh teman-teman atas saran dan doanya
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Syaidatul Rosidah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Serangan Colletotrichum acutatum terhadap Capsicum annuum L.
Ketahanan Capsicum annuum L. terhadap Colletotrichum acutatum
Pemuliaan Capsicum annuum L. Resisten Colletotrichum acutatum
METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode Pelaksanaan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa
Karakter Vegetatif Cabai
Karakter Generatif Cabai

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
UCAPAN TERIMAKASIH

1
1
2
2
2
2
3
4
5
5
5
5
6
7
8

12
15
18
18
18
18

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5
6

Jumlah tanaman pada setiap populasi berdasarkan skor ketahanan
terhadap antraknosa
Rata-rata, ragam, dan simpangan baku diameter nekrosis setiap populasi
Nilai rata-rata, galat baku, dan uji nilai tengah kejadian penyakit dan
diameter nekrosis F1 dan F1R
Komponen ragam kejadian penyakit dan diameter nekrosis pada cabai
yang disebabkan oleh C. acutatum
Heterosis dan heterobeltiosis kejadian penyakit dan diameter nekrosis
antraknosa pada cabai
Nilai rata-rata, ragam, dan ragam baku karakter tinggi tanaman, diameter
batang, dan tinggi dikotomus setiap populasi cabai

8
10
10
10
11
12

7
8
9
10
11
12
13

Nilai rata-rata, ragam baku, dan uji nilai tengah tinggi tanaman, diameter
batang, dan tinggi dikotomus F1 dan F1R
Komponen ragam tinggi tanaman, diameter batang, dan tinggi
dikotomus pada cabai
Heterosis dan heterobeltiosis tinggi tanaman, diameter batang, dan tinggi
dikotomus pada cabai
Nilai rata-rata, ragam, dan ragam baku karakter umur berbunga, umur
panen, panjang buah, dan diameter buah setiap populasi cabai
Nilai rata-rata, ragam baku, dan uji nilai tengah umur berbunga, umur
panen, panjang buah, dan diameter buah F1 dan F1R
Komponen ragam umur berbunga, umur panen, panjang buah, dan
diameter buah pada cabai
Heterosis dan heterobeltiosis umur berbunga, umur panen, panjang buah,
dan diameter buah pada cabai

13
13
14
15
16
16
17

DAFTAR GAMBAR
1 Panjang diameter nekrosis
2 Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua dan rataratanya (MP) berdasarkan skor ketahanan terhadap antraknosa

9
12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merupakan komoditas hortikultura yang strategis. Permintaan
terhadap cabai cenderung tetap sehingga produksi cabai harus dapat dilakukan
dengan berkesinambungan. Produksi cabai ditentukan oleh luas areal pertanaman
dan produktivitas. Luas areal pertanaman cabai tahun 2012 mencapai 120 094 ha.
Namun, luasnya areal pertanaman tidak didukung dengan nilai produktivitas
cabai yang tinggi. Produktivitas cabai nasional tahun 2012 hanya mencapai 7.4
ton ha-1 (BPS 2013). Kondisi ini masih jauh dari produktivitas potensial cabai
yang mampu mencapai 20-30 ton ha-1 (Syukur et al. 2010).
Tingkat produktivitas cabai dipengaruhi oleh gangguan hama dan
penyakit. Salah satu penyakit yang cukup besar pengaruhnya terhadap
produktivitas cabai adalah antraknosa (Humaedah 2012). Antraknosa dapat
menyebabkan kehilangan hasil cabai sampai 50% (Pakdeevaraporn et al. 2005).
Efri (2010) menyatakan bahwa serangan antraknosa pada batang dan daun tidak
menimbulkan masalah yang berarti bagi tanaman, tetapi dari bagian inilah
penyakit dapat berkembang ke buah dan dapat menimbulkan kerusakan yang
sangat serius. Akibatnya produktivitas cabai yang dapat dipanen menurun.
Antraknosa disebabkan oleh cendawan dari genus Colletotrichum.
Beberapa spesies antraknosa telah teridentifikasi di Indonesia antara lain C.
acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici. Spesies C. acutatum adalah jenis
yang pertama dilaporkan dan paling dominan di Indonesia (AVRDC 2009).
Suatu penelitian menyatakan bahwa C acutatum lebih virulen dibanding C.
gloeosporioides dan C. capsici (Mongkolporn et al. 2010). Umumnya, varietas
cabai yang ada rentan terhadap antraknosa. Pengujian yang dilakukan pada lima
kultivar nasional dan sepuluh kultivar koleksi IPB menunjukkan bahwa semua
kultivar cabai tersebut rentan terhadap antraknosa (C. acutatum) (Marliyanti et al.
2013). Kim et al. (2010) melakukan pengujian terhadap 209 aksesi cabai dan 173
aksesi terinfeksi C. acutatum. Kim et al. (2012) menemukan bahwa dari 869
kultivar cabai yang diuji, 847 kultivar dinyatakan rentan terhadap C. acutatum.
Penggunaan pestisida telah banyak dilakukan untuk mengendalikan
penyakit antraknosa pada cabai. Aplikasi pestisida yang berlebihan tidak hanya
meningkatkan biaya produksi, tetapi juga berbahaya bagi petani dan konsumen.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengendalian lain yang bersifat ramah
lingkungan. Salah satu hal yang dilakukan yaitu pembentukan kultivar baru
dengan cara menyilangkan tanaman cabai resisten antraknosa sebagai donor
dengan cabai lainnya (Prasath et al. 2007; Kaur et al. 2011).
Pengetahuan mengenai parameter genetik suatu karakter yang diinginkan
sangat diperlukan dalam program pemuliaan tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa gen ketahanan terhadap penyakit antraknosa bersifat
poligenik (Wusani 2004) dan tidak ada efek maternal (Syukur et al. 2007). Akan
tetapi tingkat resistensi varietas cabai terhadap penyakit antraknosa masih tidak
stabil (Park 2005). Hal ini terbukti dari analisis pengujian F1 hasil persilangan
tananaman cabai tahan antraknosa dengan tanaman cabai rentan antraknosa
menunjukkan respon yang berbeda tergantung dari kerentanan tetua (Kim et al.

2
2007). Dengan demikian perlu adanya studi pendugaan parameter genetik
ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan beberapa karakter kuantitatif pada
cabai.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menduga parameter genetik ketahanan terhadap
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dan
beberapa karakter kuantitatif pada cabai.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah:
1. Heritabilitas arti sempit dan arti luas pada cabai tergolong tinggi untuk
karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan karakter kuantitatif.
2. Tidak ada efek maternal untuk karakter ketahanan terhadap penyakit
antraknosa dan karakter kuantitatif.
3. Ragam aditif lebih tinggi daripada ragam non aditif untuk karakter
ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan karakter kuantitatif.
4. Heterosis tergolong rendah untuk karakter ketahanan terhadap penyakit
antraknosa dan karakter kuantitatif.

TINJAUAN PUSTAKA
Serangan Colletotrichum acutatum terhadap Capsicum annuum L.
Penyakit antraknosa dapat dilihat pada tiga fase, yaitu: fase pembibitan
atau damping off, fase bercak daun, dan fase buah. Serangan antraknosa pada
fase buah menyebabkan berkurangnya bobot kering buah dan menurunnya
kandungan capcaisin serta oleoresin (Mistry et al. 2008). Capcaisin ini dikenal
sebagai senyawa yang menimbulkan rasa pedas pada cabai dan diketahui mampu
menghambat pertumbuhan berbagai organisme pengganggu tanaman salah
satunya cendawan antraknosa (Kraikruan et al. 2008).
Umumnya, penyakit antraknosa ditandai dengan munculnya bintik-bintik
hitam kecil berbentuk lingkaran pada kulit buah yang menyebar ke arah sumbu
memanjang sehingga berbentuk elips. Saat infeksi penyakit terjadi, bintik-bintik
akan menyebar dan hitam, berwarna kehijauan atau abu-abu tua atau dibatasi
dengan garis hitam yang tebal dan nyata memisahkan bagian yang hitam dan
yang terang. Ketika buah yang terserang antraknosa dibuka, bagian di bawah
kulit akan terdapat masa yang berwarna hitam atau disebut dengan sklerotia
jamur. Sekumpulan hifa meliputi benih. Biji tersebut warnanya akan berubah
menjadi seperti warna karat. Buah yang terserang akan berwarna putih dan
kehilangan kepedasannya. Serangan yang parah menyebabkan tanaman
mengalami defoliasi (Nayaka et al. 2009).

3
Antraknosa merupakan penyakit yang disebabkan oleh cendawan dari
genus Colletotrichum. Beberapa spesies telah teridentifikasi yaitu C.
gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici, and C. coccodes (Park
2005). Pada tahun 2010, Golzar dan Wang melaporkan adanya spesies baru yaitu
C. phormii yang menyerang tanaman Phormium tenax di Australia. Syukur et al.
(2009) dan Stankova et al. (2011) menyatakan bahwa tingkat serangan
antraknosa tergantung dari jenis tanaman inang dan spesies antraknosa yang
menyerang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wharton dan Uribeondo (2004)
dan Mongkolporn et al. (2010) menunjukkan bahwa dari spesies yang diuji, C.
acutatum merupakan spesies yang memiliki virulensi paling besar terhadap cabai.
Cendawan C. acutatum merupakan spesies cendawan penyebab
antraknosa yang memiliki ciri warna kultur abu-abu sampai pink, tidak
mempunyai fase seksual, tumbuh optimal pada suhu 24-26 0C, rata-rata tumbuh
pada media PDA (suhu optimal) adalah 7.7 (4.9-9.9) mm hari-1, dan menginfeksi
pada buah yang belum matang (Freeman et al. 1998). C. acutatum menghasilkan
koloni oranye pucat dengan sedikit miselium aerial dan beberapa konidia
berwarna oranye mengelilingi pusatnya (Than et al. 2008a).
Ketahanan Capsicum annuum L. terhadap Colletotrichum acutatum
Pengaruh antraknosa yang cukup besar dalam menurunkan produksi cabai
(Kim et al. 2010; Lee et al. 2010) menjadi suatu hal yang penting untuk
diperhatikan. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui tentang
ciri morfologi (Freeman dan Katan 1997), molekular (Roca et al. 2003), dan
fisiologi (Oanh et al. 2004; Dieguez-Uribeondo et al. 2005) cendawan penyebab
antraknosa. Selain itu juga telah dilakukan identifikasi mengenai gejala
timbulnya penyakit antraknosa (Sergeeva et al. 2008) dan metode
pengendaliannya.
Penelitian yang mempelajari hubungan senyawa kimia di dalam tanaman
cabai dengan ketahanannya terhadap antraknosa telah dilakukan. Dilaporkan
bahwa vilurensi C. acutatum dipengaruhi oleh konsentrasi ABA. Pemberian
ABA dapat meningkatkan diameter nekrosis dan kejadian penyakit pada cabai
(Hwang et al. 2008). Ada pula yang menyatakan bahwa ketahanan cabai
terhadap antraknosa dipengaruhi oleh kandungan capsaicin. Cabai dengan
kandungan capsaicin rendah mudah terserang antraknosa (Kaur et al. 2011)
meskipun keterangan selanjutnya menyatakan bahwa kandungan capsaicin tidak
berkorelasi dan tidak dapat dijadikan sebagai penanda ketahanan terhadap
antraknosa (Syukur et al. 2009).
Senyawa lain yang diduga berkaitan dengan ketahanan terhadap
antraknosa adalah enzim peroksidase. Peningkatan aktivitas enzim peroksidase
akan meningkatkan produk toksin bagi patogen, sehingga menghasilkan tingkat
ketahanan yang lebih tinggi terhadap infeksi (Agrios 1997). Penelitian Zen et al.
(2002) selanjutnya menjelaskan bahwa aktivitas enzim peroksidase yang tinggi
tidak berkaitan dengan intensitas penyakit antraknosa yang rendah karena
perbedaan aktivitas enzim ini timbul setelah terjadi infeksi penyakit.
Upaya pengendalian antraknosa dapat dilakukan dari luar dan dalam
tanaman. Salah satu pengendalian dari luar yang mudah untuk dilakukan adalah
aplikasi fungisida. Aplikasi fungisida memang secara nyata mampu mengurangi

4
serangan antraknosa (Marvel 2003; Ivey et al. 2004). Sejalan dengan
berkembangnya isu lingkungan, penggunaan biofungisida mulai dilakukan. Agen
yang dapat digunakan sebagai biofungisida di antaranya Trichoderma harzianum
(Warin et al. 2009) dan mengkudu (Morinda citrifolia) (Efri 2010) yang terbukti
dapat menghambat serangan antraknosa. Pengendalian dari dalam dilakukan
dengan melakukan rekayasa susunan genetik memalui program pemuliaan
tanaman.
Pemuliaan Capsicum annuum L. Resisten Colletotricum acutatum
Pengendalian antraknosa dapat dilakukan melalui kombinasi metode
yaitu pengendalian secara kimia dengan pestisida, biologi dengan agen hayati,
dan molekular dengan membentuk kultivar resisten (Wharton dan Uribeondo
2004). Penggunaan kultivar resisten adalah pengendalian yang paling murah,
mudah, aman, dan efektif. Pengendalian ini tidak hanya menghilangkan serangan
penyakit tetapi juga mengurangi biaya pengendalian secara kimia dan mekanik,
sehingga mengurangi kontaminasi senyawa kimia terhadap lingkungan (Than et
al. 2008b).
Pembentukan kultivar baru dapat dilakukan melalui seleksi, hibridisasi,
mutasi, atau introduksi. Hibridisasi lebih baik digunakan dalam perakitan
kultivar resisten antraknosa karena umumnya kultivar yang resisten mempunyai
bentuk buah yang kurang bagus dan tidak disukai konsumen. Hal yang perlu
dipersiapkan sebelum dilakukan hibridisasi adalah tetua resisten antraknosa
(sebagai donor) dan tetua dengan sifat lain yang diinginkan. Seleksi tetua resisten
antraknosa dapat dilakukan di laboratorium melalui inokulasi cendawan ke
dalam buah. Inokulasi dapat dilakukan dengan metode celup atau suntik. Syukur
(2007) menyatakan bahwa metode celup digunakan untuk mengindikasikan
mekanisme ketahanan cabai secara fisik sedangkan metode suntik secara
biokimia . Menurut Yoon dan Park (2001) dan Park (2005) metode screening
(seleksi) yang baik adalah metode suntik dengan kerapatan konidia minimal
1x105 konidia ml-1.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketahanan tanaman cabai terhadap
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dikendalikan
oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal. Jumlah faktor efektif (gen
pengendali) ketahanan paling sedikit delapan gen. Gen pengendali ketahanan
adalah resesif (Syukur et al. 2007). Dari perspektif pemulia cabai, resisten
dominan lebih berguna daripada resisten resesif karena hal ini akan diturunkan
ke hibrida F1 meskipun tetua hanya mempunyai satu alel aditif. Produksi
kultivar cabai resisten dari tetua resisten resesif membutuhkan waktu dan usaha
lebih (Kim et al. 2007).

5

METODE
Tempat dan Waktu
Penanaman cabai dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Institut
Pertanian Bogor (IPB). Kegiatan pemurnian, perbanyakan, pemeliharaan,
inokulasi cendawan, dan pengamatan terhadap gejala penyakit antraknosa
dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen
Agronomi dan Hortikultura, IPB. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012
sampai April 2013.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah cabai genotipe IPB C-15 sebagai
tetua tahan (P1), IPB C-2 sebagai tetua rentan (P2), F1(IPB C-15 X 1PB C-2), F1
Resiprokal (IPB C-2 X IPB C-15), BCP1(FI X 1PB C-15), BCP2 (F1 X 1PB C2), dan F2. Bahan lain yang digunakan yaitu tray, platik polietilen, tisu, plastik,
spidol, dan label. Pupuk yang digunakan adalah NPK mutiara, gandasil D,
gandasil B, urea, SP-36, dan KCl. Pestisida yang digunakan adalah furadan 3G,
Curacron 500EC, Dithane M-45, dan Antracol. Isolat yang digunakan adalah
biakan murni C. acutatum PYK 04. Peralatan yang digunakan adalah alat-alat
budidaya tanaman, timbangan, meteran, jangka sorong, gunting, alat suntik,
kawat, ember, dan haemocytometer.
Metode Pelaksanaan
Set populasi cabai ditanam sebanyak 13 tanaman F1, 20 tanaman P1, P2,
F1R, 50 tanaman BCP1, BCP2, dan 126 tanaman F2. Penanaman dilakukan 2
bulan setelah semai (BSS). Karakter kuantitatif diamati pada semua tanaman
cabai. Karakter kuantitatif yang diamati meliputi: (1) umur berbunga (HSS),
diamati jumlah hari mulai dari semai sampai tanaman telah berbunga; (2) umur
panen (HSS), diamati jumlah hari mulai dari semai sampai buah siap dipanen
(kematangan 70%); (3) tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang sampai
pucuk setelah panen pertama; (4) diameter batang (mm), diukur 5 cm dari
permukaan tanah, setelah panen pertama; (5) tinggi dikotomus (cm), diukur dari
pangkal batang sampai cabang dikotomus, setelah panen kedua; (6) panjang buah
(cm), diukur dari pangkal hingga ujung buah dari 3 buah segar, setelah panen
kedua; dan (6) diameter buah (mm), diukur pada bagian pangkal dari 3 buah
segar, setelah panen kedua.
Bahan pengujian penyakit adalah buah cabai yang dipanen pada saat buah
sudah tua tapi masih hijau. Setiap tanaman diambil sepuluh buah untuk dilakukan
inokulasi cendawan. Pengujian penyakit dilakukan sebanyak dua ulangan. Media
perbanyakan inokulum adalah potato dextrose agar (PDA). Kepadatan inokulum
diatur mencapai 5x105 konidia ml-1 dengan haemacytometer.
Buah yang diinokulasi dicuci menggunakan aquades. Inokulasi dilakukan
dengan cara menyuntikkan 2 µl inokulum sebanyak 2 suntikan pada daerah yang

6
berbeda. Buah ditempatkan di atas kawat dalam bak plastik. Untuk menjaga
kelembaban, pada dasar bak plastik diletakkan tisu yang telah disemprot dengan
air. Kemudian bak ditutup dengan plastik polietilen dan diinkubasi pada suhu
250C selama 7 hari.
Pengamatan karakter ketahanan terhadap antraknosa meliputi kejadian
penyakit yang diamati pada hari kelima dan diameter nekrosis pada hari ketujuh
setelah inokulasi. Kejadian penyakit (KP) dihitung menggunakan rumus: KP =
(n/N) x 100%; dengan KP = kejadian penyakit, n = jumlah buah yang terserang,
dan N = jumlah buah total. Skor dan kriteria ketahanan terhadap penyakit
antraknosa berdasarkan kejadian penyakit diduga dengan metode Yoon (2003)
dimodifikasi Syukur et al. (2007), yaitu sebagai berikut: sangat tahan: 0-10%
terserang; tahan: 11-20% terserang; moderat: 21-40% terserang; rentan: 41-70%
terserang; sangat rentan: lebih dari 70% terserang.
Analisis Data
1. Pendugaan nilai heritabilitas
Heritabilitas arti luas dihitung berdasarkan rumus Allard (1960):

h2bs =

VF2 – (VF1 + VP1 + VP2)/3
VF2

Heritabilitas arti sempit dihitung berdasarkan rumus Warner (1952):
2VF2 – (VBC1 + VBC2)
h2ns =
VF2
Keterangan:
h2bs =heritabilitas arti luas
h2ns = heritabilitas arti sempit
VF1 = ragam populasi F1
VP1 = ragam populasi P1
VP2 = ragam populasi P2
VBC1= ragam populasi backcross dengan tetua C-15
VBC2= ragam populasi backcross dengan tetua C-2
VF2 = ragam populasi F2
Nilai duga heritabilitas digolongkan rendah jika h2bs< 0.2, sedang jika 0.2 ≤
h2bs ≤ 0.5, dan tinggi jika h2bs> 0.5 (Halloran et al, 1979). Ragam dihitung
berdasarkan rumus perhitungan ragam populasi.
2. Pendugaan efek maternal
Efek maternal diduga dengan uji t untuk membandingkan nilai tengah F1 dan
F1R. Rumus uji t yang digunakan adalah:
t=

XF1-XF1R
√S2F1 + S2F1R
nF1 nF1R

Keterangan;
XF1, XF1R = nilai tengah pupulasi F1, F1R

7
S2F1, S2F1R = ragam populasi F1, F1R
nF1, nF1R = jumlah individu dalam populasi F1, F1R
Jika nilai thitung > ttabel (0.025, n-1), nilai tengah kedua populasi berbeda nyata
pada taraf 5%.
3. Rasio ragam aditif (a)
Rasio ragam aditif dihitung untuk mengetahui perbandingan agam aditif
dengan ragam non aditif. Rasio ragaqm aditif diduga dengan rumus:
a = (h2ns/h2 bs) x 100%,
dengan a: Rasio heritabilitas arti sempit dan arti luas, h2ns: heritbilitas arti
sempit, dan h2bs: heritabilitas arti luas.
4. Heterosis
a. Heterosis tetua tengah
Heterosis tetua tengah adalah peningkatan atau penurunan penampilan F1
dibandingkan dengan nilai tengah kedua tetua. Rumus heterosis tetua
tengah adalah:
Heterosis = F1-MP X 100%,
MP
dengan XF1 adalah nilai rata-rata F1 dan MP adalah nilai tengah rata-rata
kedua tetua.
b. Heterobeltiosis
Heterobeltiosis adalah peningkatan atau penurunan penampilah F1
dibandingkan dengan tetua terbaik. Rumus heterobeltiosis adalah:
Heterobeltiosis = F1-HP X 100%,
HP
dengan XF1 adalah nilai rata-rata F1 dan HP adalah nilai tengah rata-rata
tetua terbaik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Penelitian dilakukan tanpa menggunakan perancangan lay out percobaan.
Tanaman cabai yang digunakan merupakan populasi bersegegrasi yang setiap
tanamannya mewakili genotipe tersendiri. Penanaman awal populasi cabai adalah
20 tanaman tetua (P1, P2), dan F1R; 13 tanaman F1; 80 tanaman BCP1 dan
BCP2; serta 160 tanaman F2. Populasi tetua, F1, dan F1R ditanam lebih sedikit
dibanding populasi lainnya karena populasi ini merupakan genotipe yang
memiliki homozigositas yang tinggi. Populasi F1 hanya ditanam 13 tanaman
karena dari 144 benih yang disemai hanya 13 bibit yang mampu tumbuh hingga
waktu penanaman di lapang.
Selama masa pertumbuhan vegetatif, penyakit layu bakteri, penyakit
kuning yang disebabkan oleh Gemini virus, serta hama tungau menyerang

8
pertanaman cabai. Serangan layu bakteri mengakibatkan banyak tanaman cabai
yang mati. Untuk mengendalikan penyakit tersebut, diaplikasikan kapur
pertanian.
Menjelang waktu pengamatan karakter kuantitatif dan pengujian penyakit
jumlah tanaman yang dapat diamati adalah 10 tanaman P1, P2, dan F1R; 9
tanaman F1; 50 tanaman BCP1 dan BCP2; dan 126 tanaman F2. Pengujian
ketahanan terhadap antraknosa dilakukan di laboratorium. Cabai yang masih
hijau digunakan sebagai bahan pengujian karena antraknosa yang disebabkan
oleh Colletotrichum acutatum mulai menyerang buah dari fase hijau sampai
pasca panen.
Pengujian penyakit antraknosa dilakukan dengan metode suntik. Cabai
yang sudah diinokulasi oleh konidia antraknosa kemudian diinkubasi. Selama
inkubasi, kelembaban lingkungan mikro harus dijaga untuk memberikan kondisi
optimal pertumbuhan antraknosa. Hal tersebut dilakukan dengan meletakkan tisu
basah di dasar bak penyimpanan buah cabai yang telah diinokulasi dan menutup
bak dengan plastik polietilen. Selain itu, selama inkubasi cabai diletakkan dalam
kondisi gelap untuk memicu pertumbuhan cendawan.
Karakter Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa
Antraknosa merupakan penyakit penting yang menyebabkan penurunan
produksi yang serius pada cabai (Lee et al. 2010). Pengujian ketahanan cabai
terhadap antraknosa dapat dilakukan dengan metode microinjection yang
selanjutnya diamati kejadian penyakit dan diameter nekrosisnya.
Tabel 1 Jumlah tanaman pada setiap populasi berdasarkan skor ketahanan
terhadap antraknosa
Skor
1
2
3
4
5

a

Kriteria

Sangat tahan
Tahan
Moderat
Rentan
Sangat rentan
Rata-rata
Ragam (σ2)
Simpangan baku (σ)

P1a

P2

1
0
3
0
6
0
0
0
0
10
2.50 5.00
93.33 91.39
9.66 9.56

Jumlah tanaman
F1R
BCP1 BCP2
F2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
7
2
10
1
2
31
25
52
8
8
12
23
63
4.40
4.80
4.10
4.42 4.40
168.75 132.22 317.11 294.74 369.1
12.99
11.49
17.81 17.17 19.21
F1

P1: IPB C15; P2: IPB C2; F1: IPB C15 X IPB C2; F1R: IPB C2 X IPB C15; BCP1: F1X IPB
C15; BCP2: F1 X IPB C2; F2: selfing F1

Berdasarkan pengamatan kejadian penyakit, P1 adalah tetua yang
memiliki kriteria moderat sampai sangat tahan, P2 memiliki kriteria sangat
rentan, F1 dan F1R memiliki kriteria rentan dan sangat rentan, BCP1 dan BCP2
memiliki kriteria sangat rentan sampai moderat, dan F2 memiliki kriteria sangat
rentan sampai tahan (Tabel 1). Tabel 1 juga menunjukkan bahwa P1 dan P2
mempunyai jarak ketahanan yang cukup jauh. Dilihat dari nilai rata-rata skor
ketahanan terhadap antraknosa, P1 bersifat moderat, P2 bersifat sangat rentan, F1
dan F1R bersifat sangat rentan, BCP1, BCP2, dan F2 mengarah ke rentan.
Dengan demikian gen ketahanan C. annuum terhadap antraknosa (C. acutatum)
bersifat resesif sebagaimana yang dilaporkan oleh Syukur et al. (2007). Produksi

9
hibrida resisten terhadap antraknosa dari gen resesif membutuhkan waktu dan
usaha lebih (Kim et al. 2007) sehingga pembentukan varietas cabai tahan
antraknosa diarahkan pada varietas bersari bebas (open pollinated). Seleksi untuk
membentuk varietas tersebut dapat dilakukan pada generasi lanjut.
Kim et al. (2008a) menemukan bahwa ketahanan C. baccatum terhadap
antraknosa (C. acutatum) dikendalikan oleh gen dominan tunggal sedangkan
menurut Mahasuk et al. (2009) gen tersebut adalah resesif tunggal pada buah
matang hijau dan dominan tunggal pada buah matang merah. Hasil penelitian
Pakdeevaraporn et al. (2005) dan Kim et al. (2008b) menyatakan bahwa
ketahanan C. annuum terhadap C. capsici dikendalikan oleh gen resesif. Hal ini
menunjukkan bahwa gen ketahanan terhadap antraknosa berbeda tergantung
spesies cabai dan isolat antraknosanya.
P1 dan P2 merupakan genotipe yang mempunyai homozigositas yang
tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ragam keduanya yang rendah (Tabel 1). F1
merupakan turunan pertama dari hasil persilangan P1 dengan P2 (P1XP2)
sedangkan F1R merupakan turunan pertama dari hasil persilangan P2 dengan P1
(P2XP1). Gen-gen dalam F1 dan F1R merupakan gen-gen yang bersifat
heterozigot yang terbentuk dari gabungan gen-gen homozigot P1 dan P2,
sehingga secara genetik F1 dan F1R bersifat homogen. Ragam kejadian penyakit
F1 dan F1R (168.75 dan 132.22) lebih tinggi dari pada ragam kedua tetuanya.
Keragaman ini lebih dipengaruhi oleh lingkungan. Ragam BCP1 dan BCP2 lebih
besar dari ragam P1, P2, F1, dan F1R. Ragam BCP1 dan BCP2 dipengaruhi oleh
ragam genetik dan lingkungan. Keragaman genetik keduanya terbentuk dari
persilangan F1 (homogen heterozigot) dengan tetuanya (homogen homozigot)
menghasilkan progeni yang sebagian bersifat homozigot dan sebagian lagi
bersifat heterozigot. Populasi F2 mempunyai ragam yang paling tinggi (369.1).
Keragaman populasi F2 dipengaruhi oleh keragaman genetik, lingkungan, dan
interaksi genetik dengan lingkungan. F2 dihasilkan dari selfing populasi F1. Gengen F1 yang mengalami selfing bersegregasi sehingga diperoleh progeni dengan
kombinasi gen yang bervariasi. Sebagian progeni memiliki gen yang mengarah
kepada P1, sebagian mengarah kepada P2,
dan sebagian mengarah kepada F1.
Karakter ketahanan cabai terhadap
antraknosa yang diamati selanjutnya adalah
diameter nekrosis. Diamater nekrosis ini
diukur pada jarak terpanjang penyebaran
penyakit antraknosa (Gambar 1). Hasil
pengukuran diameter nekrosis menunjukkan
bahwa P1 memiliki diameter nekrosis yang
jauh lebih rendah dari pada P2. Berkaitan
Gambar 1 Panjang diameter
dengan
kriteria
ketahanan
terhadap
nekrosis antraknosa
antraknosa bahwa P1 yang bersifat moderat
memiliki diameter nekrosis yang rendah dan
P2 yang bersifat sangat rentan memiliki diameter nekrosis yang lebih tinggi,
begitu pula dengan F1, F1R, BCP1, BCP2, dan F2 yang mengarah ke rentan
sampai sangat rentan memiliki diameter nekrosis yang lebih tinggi dari P1. Dapat
dikatakan bahwa semakin rentan suatu populasi, diameter nekrosisnya akan

10
semakin tinggi. Hal ini karena cabai yang rentan akan memudahkan cendawan C.
acutatum berkembangbiak dan terus memperluas jangkauan serangannya.
Nilai ragam P1, P2, F1, dan F1R relatif lebih rendah diikuti oleh ragam
BCP1, BCP2, dan F2 yang lebih tinggi. Nilai ragam ini sesuai dengan komposisi
genetik P1, P2, F1, dan F1R yang homogen dan BCP1, BCP2, F2 yang heterogen.
Ragam F2 mempunyai nilai tertinggi karena kontitusi genetik yang menyebar
dari P1 sampai mengarah ke P2 (Tabel 2).
Tabel 2 Rata-rata, ragam, dan simpangan baku diameter nekrosis setiap populasi
Parameter

P1

Rata-rata diameter nekrosis
(mm)
Ragam (σ2)
Simpangan baku (σ)

P2

10.66 22.75
23.39 34.23
4.77 5.85

F1
21.79
31.17
5.58

Populasia
F1R BCP1 BCP2
18.20
40.42
6.36

16.18
62.74
7.92

19.09
62.38
7.89

F2
17.48
67.76
8.23

a

P1: IPB C15; P2: IPB C2; F1: IPB C15 X IPB C2; F1R: IPB C2 X IPB C15; BCP1: F1X IPB
C15; BCP2: F1X IPB C2; F2: selfing F1

Tabel 3 Nilai rata-rata, standar deviasi, dan uji nilai tengah kejadian penyakit dan
diameter nekrosis F1 dan F1R
Populasia
F1
F1R
t-hitung
a

Kejadian penyakit (%)
85±12.99
86±11.49
-0.18tn

Karakter
Diameter nekrosis (mm)
21.8±5.58
18.2±6.36
0.13tn

F1:IPB C15 X IPB C2; F1R: IPB C2 X IPB C15; tn: tidak berbeda nyata

Nilai tengah kejadian penyakit dan diameter nekrosis F1 dan F1R
dibandingkan dengan melakukan uji t. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai
tengah F1 dan F1R tidak berbeda nyata pada kedua karakter (Tabel 3). Hal ini
berarti bahwa pewarisan sifat ketahanan cabai terhadap C. acutatum tidak
dipengaruhi oleh efek maternal. Dengan kata lain, sifat ketahanan tersebut
dikendalikan oleh gen-gen yang berada di dalam inti sel.
Tabel 4 Komponen ragam kejadian penyakit dan diameter nekrosis pada cabai
yang disebabkan oleh C. acutatum
Komponen ragam
Ragam lingkungan (σE)
Ragam fenotipe (σP)
Ragam genetik (σ G)
Ragam aditif (σA)
Rasio ragam aditif
Heritabilitas arti luas (h2bs)
Heritabilitas arti sempit (h2ns)

Karakter
Kejadian penyakit
Diameter nekrosis
117.82
29.60
369.20
67.76
251.38
38.16
126.55
10.40
50.34
27.25
68.09
56.32
34.28
15.35

Heritabilitas merupakan komponen genetik yang menunjukkan seberapa
besar suatu sifat diturunkan kepada turunannya. Heritabilitas dibedakan menjadi
heritabilitas arti luas dan arti sempit. Heritabilitas arti luas diduga dari
perbandingan ragam genetik dengan ragam fenotipe. Ragam genetik diduga dari
pengurangan ragam populasi F2 yang mewakili ragam fenotipe dengan rata-rata
ragam P1, P2, dan P3 yang mewakili ragam lingkungan. Heritabilitas arti sempit
diduga dari perbandingan ragam aditif dengan ragam fenotipe. Ragam aditif

11
ditentukan dengan mengurangkan 2 kali ragam F2 yang merupakan ragam
fenotipe dengan jumlah ragam BCP1 dan BCP2 yang merupakan ragam non
aditif.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai heritabilitas arti luas
kejadian penyakit antraknosa termasuk dalam kategori tinggi yaitu 68.09. Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman kejadian penyakit lebih dipengaruhi oleh
keragaman genetik. Adapun nilai heritabilitas arti sempitnya termasuk dalam
kategori sedang yaitu 34.28. Sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik
pada karakter kejadian penyakit dapat dilihat dari nilai rasio radam aditif yaitu
50.34. Nilai ini menunjukkan sumbangan ragam aditif yang cukup tinggi yaitu
50.34% dari total ragam genetik. Karakter diameter nekrosis penyakit antraknosa
yang muncul mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang tergolong tinggi dan
nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong rendah. Sumbangan ragam aditif
terhadap total ragam genetik adalah 27.55%. Menurut Syukut et al. (2011)
keragaman genetik dan heritabilitas sangat bermanfaat dalam proses seleksi.
Seleksi akan efektif jika populasi tersebut mempunyai keragaman genetik yang
luas dan heritabilitas yang tinggi.
Beberapa penelitian mengenai ketahanan antraknosa sudah banyak
dilakukan. Syukur et al. (2007), menemukan bahwa ketahanan cabai (C.
annuum) terhadap antraknosa (C. acutatum) mempunyai heritabilitas arti luas
yang tinggi dan heritabilitas arti sempit yang sedang. Sanjaya (2003),
melaporkan bahwa ketahanan cabai hasil persilangan C. annuum dengan C.
chinense terhadap antraknosa (C. gloeosporioides dan C. capsici) mempunyai
nilai heritabilitas arti luas yang rendah. Yustisiani et al. (2006) menyatakan
ketahanan cabai hasil persilangan cabai merah dengan cabai ungu terhadap
antraknosa (C. gloeosporioides) mempunyai heritabilitas arti luas dan arti sempit
yang tinggi.
Tabel 5 Heterosis dan heterobeltiosis kejadian penyakit dan diameter nekrosis
antraknosa pada cabai
Komponen heterosis a
P1
P2
F1
MP
Heterosis tetua tengah (%)
Heterobeltiosis (%)
a

Karakter
Kejadian penyakit (%) Diameter nekrosis
26.00
95.50
85.00
60.75
39.92
226.92

(mm)
10.66
22.75
21.80
16.71
30.50
104.41

P1: IPB C15; P2: IPB C2; F1: IPB C15 X IPB C2; MP: rata-rata tetua

Nilai tengah P1 dan P2 untuk karakter kejadian penyakit berbeda jauh
dan nilai tengah F1 berada di antara kedua tetuanya (Tabel 5). Nilai heterosis
tetua tengah 39.92% artinya tingkat kejadian penyakit populasi F1 39.92% lebih
tinggi dari nilai tengah kedua tetua. Heterobeltiosis bernilai 226.92% artinya
tingkat kejadian penyakit populasi F1 226.92% lebih tinggi dari kejadian
penyakit tetua P1. Nilai heterosis dan heterobeltiosis tersebut menunjukkan
bahwa F1 bersifat lebih rentan terhadap antraknosa. Posisi relatif nilai tengah F1
terhadap kedua tetua dan rata-ratanya (MP) untuk karaker kejadian penyakit
dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan gambar, dapat dikatakan bahwa

12
populasi F1 tidak lebih unggul dari tetuanya karena lebih mengarah ke populasi
yang rentan terhadap antraknosa.
Diameter nekrosis penyakit antraknosa populasi F1 berada di antara tetua
P1 dan P2. Heterosis tetua tengah sebesar 30.50% artinya, diameter nekrosis
populasi F1 30.50% lebih panjang dibanding nilai tengah diameter nekrosis
kedua tetuanya. Heterobeltiosis 104.41%, artinya diameter nekrosis populasi F1
104.41% lebih panjang dibanding tetua P1.
P1
(Moderat)

MP

F1

26.00

60.75

85.00

P2
(Sangat rentan)
95.50

Gambar 2. Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua dan rata-ratanya
(MP) berdasarkan skor ketahanan terhadap antraknosa

Karakter Vegetatif Cabai
Nilai rata-rata tetua P1 dan P2 tidak berbeda jauh pada karakter tinggi
tanaman dan diameter batang tetapi berbeda jauh untuk karakter tinggi
dikotomus (Tabel 6). Rata-rata tinggi dikotomus tetua P2 lebih tinggi daripada
tetua P1. Berdasarkan kisaran tinggi tanaman yang sama dan tinggi dikotomus
yang berbeda, dapat dikatakan bahwa tetua P1 mempunyai tajuk yang lebih
panjang dibanding tetua P2.
Tabel 6 Nilai rata-rata, ragam, dan simpangan baku karakter tinggi tanaman,
diameter batang, dan tinggi dikotomus setiap populasi cabai
Karakter

P1
Tinggi tanaman (cm)
Rata-rata
49.08
Ragam
136.48
Simpangan
11.68
baku
Diamater batang (mm)
Rata-rata
9.44
Ragam
3.50
Simpangan
1.87
baku
Tinggi dikotomus (cm)
Rata-rata
8.32
Ragam
2.50
Simpangan
1.58
baku

P2

F1

Populasia
F1R
BCP1

BCP2

F2

54.32
95.98

52.18
89.23

59.82
87.80

54.78
185.58

50.87
146.89

63.65
214.62

9.80

9.45

9.37

13.62

12.12

14.65

9.18
2.29

9.09
2.60

9.60
3.94

9.76
5.65

8.30
4.18

10.87
6.93

1.51

1.61

1.99

2.38

2.04

2.63

20.70
4.55

12.39
5.03

14.76
7.71

11.17
8.01

14.98
17.84

15.72
19.66

2.13

2.24

2.78

2.83

4.22

4.43

a

P1: IPB C15; P2: IPB C2; F1: IPB C15 X IPB C2; F1R: IPB C2 X IPB C15; BCP1: F1 X IPB
C15; BCP2: F1X IPB C2; F2: selfing F1

Keragaman yang muncul pada populasi P1, P2, F1, F1R lebih
dipengaruhi oleh lingkungan, keragaman populasi BCP1, BCP2, dan F2

13
dipengaruhi oleh keragaman genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, nilai
ragam populasi P1, P2, F1, dan F1R mempunyai nilai yang terkecil, diikuti oleh
ragam BCP1 dan BCP2, selanjutnya ragam terbesar oleh populasi F2 untuk
semua karakter vegetatif yang diamati.
Berdasarkan data Tabel 7
dapat diketahui bahwa uji t untuk
membandingkan nilai tengah populasi F1 dan F1R memberikan hasil yang tidak
berbeda nyata pada karakter tinggi tanaman, diameter batang, dan tinggi
dikotomus. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada efek maternal dalam pewarisan
ketiga karakter tersebut. Dengan kata lain, gen-gen pengendali karakter tersebut
berada di dalam inti sel.
Tabel 7 Nilai rata-rata, standar deviasi, dan uji nilai tengah tinggi tanaman,
diameter batang, dan tinggi dikotomus F1 dan F1R
Karakter
a
Populasi
Tinggi
Diameter
Tinggi
tanaman (cm)
batang (mm)
dikotomus (cm)
F1
52.18±9.45
9.09±1.61
12.39±2.24
F1R
59.82±9.37
9.60±1.99
14.76±2.78
t-hitung
-0.60tn
-1.77tn
-2.03tn
a

F1: IPB C15 X IPB C2; F1R: IPB C2 X IPB C15; tn: tidak berbeda nyata

Ragam lingkungan dan ragam genetik pada karakter tinggi tanaman
mempunyai proporsi sumbangan yang sama (Tabel 8). Berbeda dengan karakter
diameter batang dan tinggi dikotomus yang mempunyai proporsi ragam genetik
yang lebih tinggi dibanding ragam lingkungannya. Proporsi ragam tersebut
menentukan nilai heritabilitas arti luas. Semakin tinggi proporsi ragam
genetiknya, maka heritabilitas arti luas akan bernilai semakin tinggi. Hasil
penelitian Syukur et al. (2010a) karakter tinggi tanaman, diameter batang, dan
tinggi dikotomus mempunyai ragam genetik yang luas.
Tabel 8 Komponen ragam tinggi tanaman, diameter batang, dan tinggi
dikotomus pada cabai
Komponen ragam
Ragam lingkungan (σE)
Ragam fenotipe (σP)
Ragam genetik (σ G)
Ragam aditif (σA)
Rasio ragam aditif
Heritabilitas arti luas (h2bs)
Heritabilitas arti sempit (h2ns)

Tinggi
tanaman (cm)
107.23
214.62
107.39
96.77
90.11
50.04
45.09

Karakter
Diameter
batang (mm)
2.79
6.93
4.14
4.03
97.34
59.74
58.15

Tinggi
dikotomus (cm)
4.03
19.66
15.63
13.47
86.18
79.50
68.51

Heritabilitas arti luas untuk ketiga karakter vegetatif yang diamati
tergolong tinggi (Tabel 9) seperti yang disampaikan Yunianti et al. (2010).
Adapun nilai heritabilitas arti sempit ditentukan oleh besarnya ragam aditif.
Karakter tinggi tanaman mempunyai heritabilitas arti sempit yang tergolong
sedang (45.09%) dan dua karakter lainnya mempunyai heritabilitas arti sempit
yang tergolong tinggi (58.15% dan 68.51%). Besarnya kendali ragam aditif
dalam ragam genetik dapat dilihat dari rasio ragam aditif. Ketiga karakter

14
mempunyai rasio ragam aditif yang tinggi, artinya gen-gen atitif mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam penurunan karakter-karakter tersebut.
Nilai tengah tinggi tanaman tetua P1 dan P2 tidak terlihat berbeda (Tabel
9). Nilai heterosis tinggi tanaman sangat rendah yaitu 0.93% sedangkan
heterobeltiosisnya bernilai negatif yaitu -3.94%. Heterosis 0.93% artinya tinggi
tanaman populasi F1 0.93% lebih tinggi dibanding nilai tengah tinggi tanaman
kedua tetuanya. Heterobeltiosis -3.94% artinya tinggi tanaman populasi F1 lebih
rendah 3.94% dati tinggi tanaman tetua P2. Menurut Rodrigues et al. (2012),
nilai heterosis tinggi tanaman bervariasi antara positif dan negatif tergantung dari
genotipe yang disilangkan. Meskipun tinggi tanaman tidak dapat digunakan
sebagai kriteria seleksi untuk daya hasil (Syukur et al. 2010c), karakter ini tetap
harus diperhatikan karena petani menyukai tanaman cabai yang pendek dan
berbuah lebat (Kusmana et al. 2009). Mengacu pada penelitian Kusmana et al.
(2009), hibrida F1 termasuk dalam kategori pendek.
Tabel 9 Heterosis dan heterobeltiosis tinggi tanaman, diameter batang, dan
tinggi dikotomus pada cabai
Komponen heterosis a
P1
P2
F1
MP
Heterosis tetua tengah (%)
Heterobeltiosis (%)
a

Tinggi
tanaman (cm)
49.08
54.32
52.18
51.70
0.93
-3.94

Karakter
Diameter
Tinggi
batang (mm)
dikotomus (mm)
9.44
8.32
9.18
20.70
9.09
12.39
9.31
14.51
-2.36
-14.61
-3.71
-40.14

P1: IPB C15; P2: IPB C2; F1: IPB C15 X IPB C2; MP: rata-rata tetua

Karakter diameter batang dan tinggi dikotomus mempunyai heterosis dan
heterobeltiosis yang bernilai negatif. Berdasarkan nilai heterosis dan
heterobeltiosis yang didapatkan, diameter batang populasi F1 2.36% lebih
rendah dari rata-rata diameter batang kedua tetuanya dan 3.71% lebih rendah dari
tetua P1. Nilai tengah tinggi dikotomus populasi F1 14.61% lebih rendah dari
rata-rata nilai tengah tinggi dikotumus kedua tetuanya dan 40.14% lebih rendah
dari tetua P2.
Seleksi sebaiknya dilakukan untuk memilih hibrida yang mempunyai
diameter batang besar dan tinggi dikotomus yang tinggi. Diharapkan hibrida
yang berdiamer batang besar mampu menopang tajuk dan tidak mudah roboh
akibat terkena angin. Diamater batang yang besar berkisar 15.4-18.2 cm (Herison
et al. 2008). F1 yang dihasilkan dalam populasi ini memiliki diameter batang
yang termasuk kecil. Meskipun hasil pengujian di laboratorium menyatakan
bahwa tinggi dikotomus tidak berbanding lurus dengan ketahanan terhadap
antraknosa (P1 dengan tinggi dikotomus rendah lebih tahan terhadap antraknosa
dibanding P2 dengan tinggi dikotomus yang tinggi), sebaiknya dipilih hibrida
yang dikotomusnya tinggi. Menurut Kirana dan Sofiari (2007), semakin tinggi
dikotomus, buah semakin tidak menyentuh tanah sehingga terhindar dari
percikan air dari tanah yang merupakan sumber infeksi bagi tanaman. Arif et al.
(2012) menyatakan bahwa tinggi dikotomus yang ideal pada tanaman cabai
adalah ± 25 cm. Bersadarkan karakter diameter batang dan tinggi dikotomus
tersebut, disarankan untuk membentuk varietas non hibrida.

15
Karakter Generatif Cabai
Umur berbunga dan panen tetua P1 lebih lama dibanding tetua P2. F1
mempunyai umur berbunga dan panen yang mengarah ke tetua P1. Diduga gen
pengendali umur genjah tanaman bersifat resesif. Panjang dan diameter buah
tetua P1 lebih pendek daripada P2, tetapi perbedaan ini tidak terlalu jauh. F1
mempunyai panjang dan diameter buah yang mengarah ke tetua P2. Diduga
karakter panjang dan diameter buah dikendalikan oleh gen dominan. Penelitian
Marame et al. (2008) juga menunjukkan bahwa karakter panjang buah
dikendalikan oleh gen dominan. Ragam populasi P1, P2, F1, dan F1R
mempunyai nilai terkecil diikuti oleh ragam BCP1, BCP2, dan selanjutnya ragam
F2. Hal ini terjadi karena populai P1, P2, F1, dan F1R mempunyai susunan
genetik yang homogen sehingga keragamannya hanya dipengaruhi oleh
lingkungan. Sedangkan populasi BCP1, BCP2, dan F2 mempunyai keragaman
susunan genetik yang lebih tinggi.
Tabel 10 Nilai rata-rata, ragam, dan simpangan baku karakter umur berbunga,
umur panen, panjang buah, dan diameter buah setiap populasi cabai
Karakter

P1
P2
F1
Umur berbunga (HSS)
Rata-rata
92.60
85.20
92.00
Ragam
14.93
20.62
30.44
Simpangan
3.86
4.54
5.52
baku
Umur panen (HSS)
Rata-rata
139.90 130.60 137.89
Ragam
6.32
26.93
36.55
Simpangan
2.51
5.19
6.05
baku
Panjang buah (cm)
Rata-rata
10.10
14.20
13.17
Ragam
2.91
1.22
2.10
Simpangan
1.71
1.10
1.45
baku
Diameter buah (mm)
Rata-rata
15.85
17.27
17.25
Ragam
3.07
3.40
1.37
Simpangan
1.75
1.84
1.17
baku

Populasia
F1R
BCP1

BCP2

F2

94.90
42.10

95.42
41.68

91.08
68.56

98.95
85.10

6.49

6.46

8.28

9.22

138.70
22.94

142.58
34.86

137.24
40.36

141.46
48.89

4.79

5.90

6.35

6.99

11.23
4.62

12.72
2.84

13.74
4.33

12.70
3.65

2.15

1.69

2.08

1.91

16.23
4.12

17.64
4.49

15.29
4.66

16.65
5.04

2.03

2.12

2.16

2.24

a

P1: IPB C15; P2: IPB C2; F1: IPB C15 X IPB C2; F1R: IPB C2 X IPB C15; BCP1: F1 X IPB
C15; BCP2: F1X IPB C2; F2: selfing F1

Uji t dilakukan untuk membandingkan nilai tengah F1 dan F1R terhadap
karakter generatif yang diamati. Hasil pengujian menunjukkan bahwa F1 dan
F1R tidak berbeda nyata untuk karakter umur berbunga, umur panen, dan
diameter buah tetapi berbeda nyata untuk karakter panjang buah (Tabel 11).
Dengan demikian pewarisan karakter umur berbunga, umur panen, dan diameter
buah tidak dpengarui oleh efek maternal dengan gen pengendali di dalam inti sel
sedangkan panjang buah dipengaruhi oleh efek maternal dengan gen pengendali
di dalam sitoplasma.

16
Karakter umur berbunga mempunyai ragam genetik yang lebih tinggi
dibanding ragam lingkungannya (Tabel 12). Berbeda dengan karakter umur
panen, panjang buah, dan diameter buah yang mempunyai ragam lingkungan dan
ragam genetik dengan proporsi sumbangan sama besar. Proporsi ragam tersebut
menentuntukan nilai heritabilitas arti luas. Semakin tinggi proporsi ragam
genetiknya, maka heritabilitas arti luas akan bernilai semakin tinggi. Menurut
Syukur et al. (2010a), karakter umur berbunga dan umur panen mempunyai
ragam genetik yang sempit dan karakter panjang dan diameter buah mempunyai
ragam genetik yang luas.
Tabel 11 Nilai rata-rata, standar deviasi, dan uji nilai tengah umur berbunga,
umur panen, panjang buah, dan diameter buah F1 dan F1R
Populasia
F1
F1R
t-hitung
a

Karakter
Umur panen
Panjang buah
(HSS)
(cm)
137.89±6.05
13.17±1.45
138.70±4.79
11.23±2.15
-0.35tn
2.28*

Umur berbunga
(HSS)
92.00±5.52
94.90±6.49
-1.08tn

Diameter buah
(mm)
17.25±1.17
16.23±2.03
1.33tn

F1: IPB C15 X IPB C2; F1R: IPB C2 X IPB C15; tn: tidak berbeda nyata; *: berbeda nyata

Tabel 12 menunjukkan heritabilitas arti luas untuk karakter umur
berbunga dan umur panen tergolong tinggi dan untuk karakter panjang dan
diameter buah tergolong sedang. Adapun nilai heritabilitas arti sempit ditentukan
oleh besarnya ragam aditif. Heritabilitas arti sempit tergolong tinggi untuk
karakter umur berbunga, sedang untuk karakter umur panen, dan rendah untuk
karakter panjang dan diameter buah. Besarnya kendali ragam aditif dalam ragam
genetik dapat dilihat dari rasio ragam aditif. Karakter umur berbunga dan panen
mempunyai rasio ragam aditif yang tinggi, artinya gen-gen aditif mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam penurunan karakter-karakter tersebut.
Karakter panjang dan diameter buah mempunyai rasio ragam aditif kecil yang
berarti bahwa kedua karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh gen-gen non aditif.
Tabel 12 Komponen ragam umur berbunga, umur panen, panjang buah, dan
diameter buah pada cabai
Karakter
Komponen ragam
Ragam lingkungan
(σE)
Ragam fenotipe (σP)
Ragam genetik (σG)
Ragam