Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa (Colletotrichum acutatum) menggunakan analisis dialel

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK
KETAHANAN TANAMAN CABAI
TERHADAP ANTRAKNOSA (Colletotrichum acutatum)
MENGGUNAKAN ANALISIS DIALEL

YULIA IRAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Parameter Genetik
Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Antraknosa (Colletotrichum acutatum)
Menggunakan Analisis Dialel adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tesis ini.


Bogor, Juni 2011

Yulia Irawati
A351030131

ABSTRACT
YULIA IRAWATI. Genetic Parameters Estimation of Pepper (Capsicum
annuum L.) Resistance to Anthracnose (Colletotrichum acutatum) Using
Diallel Analysis. Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI and WIDODO.
Anthracnose (Colletotrichum acutatum) is considered of the major disease
that may cause significant yield losses in pepper. Resistance variety is important
for controlling disease infection since other methods were not effective. The aim
of this research is to identify pepper genotype resistance and estimating genetic
parameters of pepper resistance to anthracnose. This experiment were done in
three steps: (1) screening of pepper resistance to anthracnose, (2) estimating
genetic parameters of pepper resistance to anthracnose using diallel analysis and
(3) determining the selection character using path analysis. The first experiment
was conducted using 21 genotypes and C. acutatum isolate BKT 04. Mature green
fruit were inoculated using microinjection method. The result showed that based
on disease incidence, there was no genotype which resistance to anthracnose.

However, there were three genotypes (IPB C15 x IPB C10, IPB C15 and IPB C8)
which resistance based on lesion diameter. Set population from half diallel crosses
which involve 6 parents and 15 crosses with C. acutatum isolate BKT 04 were
used in the second experiment. Disease resistance percentage and lesion diameter
were used for estimating genetic parameters and combining ability. Disease
incidence and lesion diameter were used for estimating heterosis. The results
show that there is no non alellic interaction, gene effects for resistance to
anthracnose were additive and dominance, dominance effect larger than additive
effect, the degree of dominance was overdominance, genes distribution in the
parents was assymetrical, anthracnose resistance was controlled by one gene
group, broad-sense heritability was high and narrow-sense heritability was low.
General combining ability of IPB C15 was high for disease resistance percentage
and lesion diameter, specific combining ability of IPB C15 x IPB C9 was high for
disease resistance percentage and specific combining ability of IPB C15 x IPB
C10 and IPB C4 x IPB C2 were high for lesion diameter. Negative heterosis was
expected in disease resistance traits, IPB C15 x IPB C9 had negative heterosis for
disease incidence and IPB C10 x IPB C9 had negative heterosis for lesion
diameter. The thickness of fruit flesh is recomended for selection criteria for
developing anthracnose resistant pepper varieties.
Keywords: anthracnose, pepper, diallel analysis, path analysis


RINGKASAN
YULIA IRAWATI. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai
terhadap Antraknosa (Colletotrichum acutatum) Menggunakan Analisis
Dialel. Di bawah bimbingan SRIANI SUJIPRIHATI dan WIDODO.
Penyakit antraknosa merupakan salah satu dari penyakit utama pada cabai.
Penggunaan kultivar resisten merupakan cara yang terbaik untuk mengendalikan
penyakit ini. Perakitan varietas tahan akan lebih mudah jika tersedia informasi
kendali genetik karakter yang diinginkan. Perilaku genetik gen-gen karakter yang
diinginkan dapat dipelajari melalui studi genetik menggunakan metode analisis
dialel. Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa terdiri
dari tiga percobaan yaitu: (1) pengujian ketahanan cabai terhadap antraknosa, (2)
pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa menggunakan
analisis dialel, (3) penentuan karakter seleksi menggunakan analisis lintasan.
Percobaan pertama menggunakan 21 genotipe dan isolat C. acutatum BKT
04. Buah hijau yang sudah matang diinokulasi menggunakan metode suntik
dengan mikroinjeksi. Peubah yang diamati adalah kejadian penyakit dan diameter
bercak. Hasil pengujian ketahanan cabai terhadap antraknosa menunjukkan tidak
terdapat genotipe yang tahan pada peubah kejadian penyakit. Pada peubah
diameter bercak terdapat tiga genotipe yang tahan, yaitu IPB C15 x IPB C10, IPB

C15 dan IPB C8.
Percobaan kedua menggunakan enam genotipe tetua dan 15 genotipe F1
yang disusun dalam populasi half diallel. Peubah ketahanan (1-kp) dan diameter
bercak digunakan untuk menduga nilai parameter genetik dan daya gabung,
sementara peubah kejadian penyakit dan diameter bercak digunakan untuk
menduga nilai heterosis. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketahanan terhadap
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat BKT 04
dikendalikan oleh satu kelompok gen, gen pengendali ketahanan adalah dominan,
derajat dominansi dikategorikan sebagai overdominan. Aksi gen pengendali
ketahanan adalah aditif dan dominan, ragam dominan lebih besar dibandingkan
dengan ragam aditif. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi dan nilai
heritabilitas arti sempit tergolong rendah. Genotipe IPB C15 merupakan genotipe
cabai yang memiliki daya gabung umum tinggi untuk ketahanan dan diameter
bercak. Sementara untuk pendugaan daya gabung khusus, persilangan IPB C15 x
IPB C9 merupakan kombinasi persilangan dengan nilai DGK tinggi pada peubah
ketahanan. Persilangan IPB C15 x IPB C10 dan IPB C4 x IPB C2 memiliki nilai
DGK terbaik pada peubah diameter bercak. Untuk pendugaan nilai heterosis,
genotipe IPB C15 x IPB C9 merupakan genotipe yang memiliki nilai heterosis
negatif dan genotipe IPB C10 x IPB C9 merupakan genotipe dengan nilai
heterobeltiosis negatif pada peubah kejadian penyakit. Sementara pada peubah

diameter bercak, genotipe IPB C10 x IPB C9 merupakan genotipe dengan nilai
heterosis negatif dan genotipe IPB C15 x IPB C10 merupakan genotipe dengan
nilai heterobeltiosis negatif.
Percobaan ketiga menggunakan 10 genotipe dan analisis lintasan digunakan
untuk menentukan karakter kriteria seleksi dari 15 karakter agronomi yang dipilih

dalam percobaan ini. Hasil analisis lintasan menunjukkan bahwa peubah tebal
kulit buah dapat direkomendasikan sebagai karakter kriteria seleksi ketahanan
cabai terhadap antraknosa.
Kata kunci: antraknosa, cabai, analisis dialel dan analisis lintasan.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENDUGAAN PARAMETER GENETIK
KETAHANAN TANAMAN CABAI
TERHADAP ANTRAKNOSA (Colletotrichum acutatum)
MENGGUNAKAN ANALISIS DIALEL

YULIA IRAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nya akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “Pendugaan

Parameter Genetik Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Antraknosa
(Colletotrichum acutatum) Menggunakan Analisis Dialel”.
Penelitian dan penulisan tesis dilakukan di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir.
Sriani Sujiprihati, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Widodo,
MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Penelitian ini didanai oleh Hibah
Fundamental tahun 2006-2007.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis, penulis mendapatkan
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih
kepada:
1.

Kedua orang tua tercinta, Iwan Sarwono dan Sri Hartini, serta adik tersayang,
Febryadi Bondan Dwipayana, yang dengan penuh kesabaran senantiasa
memberikan kasih sayang, kekuatan dan semangat kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini.

2.

Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan

Dr. Ir. Widodo, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas motivasi,
bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis.

3.

Dr. Rahmi Yunianti, SP. MSi sebagai penguji luar komisi yang telah
memberikan bantuan dan masukan yang sangat berharga baik dalam
penyelesaian penelitian maupun dalam penulisan tesis.

4.

Dr. Muhamad Syukur, SP. MSi atas bantuan dan masukan selama melakukan
penelitian.

5.

Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Ketua Program
Studi Agronomi, beserta seluruh staf pengajar Departemen Agronomi dan
Hortikultura.


6.

Ibu Ade, Siti Marwiyah, Purwati, Mba Ita, Pak Dadang, Susi dan Pak Agus
yang sangat membantu penulis dalam melakukan penelitian.

7.

Pak Gusti, Nita dan Arif yang sangat membantu dalam pengolahan data dan
penyelesaian penulisan tesis.

8.

Kepala Balai, Ketua dan Anggota Kelti Pemuliaan, Kepala Bagian
Kepegawaian beserta staf, Kepala Bagian Pelayanan Teknis beserta staf,
Kepala Bagian Jasa Penelitian beserta staf dan seluruh pegawai Balai
Penelitian Tanaman Buah Tropika atas bantuan yang telah diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi di SPS IPB.

9.


Kepala Balai, Kepala Bagian Kepegawaian beserta staf, Ketua dan Anggota
Kelti Pemuliaan Balai Penelitian Tanaman Hias, terutama Ibu Susi dan Teh
Dedeh atas bantuan yang diberikan selama penulis melakukan detasir.

10. Teman-teman Program Studi Agronomi bidang Pemuliaan Tanaman
Angkatan 2003: Millah, Mba Ismi, Mba Niken, Uni Reni, Ade, Nila, Imay
dan Apri atas bantuan, kebersamaan dan dorongan semangat kepada penulis.
11. Teman-teman Ponytail, Pondok Putri dan Graha Matudilipa, Uni Neni, Uni
Susi, Dian, Nana, Mba Wiwi, Cici dan Uni Ida atas kebersamaan, bantuan
dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
12. Nazly dan Akhyar atas bantuan selama melakukan penelitian dan penulisan
tesis serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
13. Fitri, Riry dan Liza atas kebersamaan selama di Solok serta bantuan dan
dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB.
14. Staf pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Sekolah
Pascasarjana IPB atas bantuan dan kerjasamanya.
Semoga informasi dari penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2011


Yulia Irawati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 31 Desember 1977.
Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Iwan Sarwono dan Ibu Sri Hartini.
Penulis lulus dari SDN Kranji I Bekasi pada tahun 1990 dan pada tahun
1993 penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 2 Bandung. Penulis
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 5 Bandung dan lulus pada tahun 1996, di
tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Pemuliaan
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Pada tahun 2003 penulis
melanjutkan pendidikan pada Program Studi Agronomi bidang Pemuliaan
Tanaman Program Pascasarjana IPB.
Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai pegawai di Balai Penelitian
Tanaman Buah Tropika dan bergabung dalam Kelompok Peneliti Pemuliaan
Tanaman.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
1

2

3

4

5

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................
Tujuan Penelitian ........................................................................
Hipotesis ....................................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi, Botani dan Syarat Tumbuh Cabai ..........................
Penyakit Antraknosa .................................................................
Analisis Dialel ...........................................................................
Heterosis ....................................................................................

4
6
8
10

BAHAN DAN METODE
Pengujian Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa ....................
Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Terhadap
Antraknosa Menggunakan Analisis Dialel
Pendugaan Parameter Genetik Menggunakan Pendekatan
Hayman ..................................................................................
Pendugaan Daya Gabung .....................................................
Pendugaan Heterosis ........................................................
Penentuan Karakter Seleksi Menggunakan Analisis Lintasan ...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa ........................
Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Terhadap
Antraknosa Dengan Menggunakan Analisis Dialel
Pendugaan Parameter Genetik menggunakan Pendekatan
Hayman ...............................................................................
Pendugaan Daya Gabung ..............................................
Pendugaan Heterosis ......................................................
Penentuan Karakter Seleksi Menggunakan Analisis Lintasan ...

13

16
20
21
21

24

28
34
37
39

KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................

45

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................

47

LAMPIRAN ......................................................................................

51

DAFTAR TABEL
1

Halaman
Kelas ketahanan berdasarkan kejadian penyakit ............................
15

2

Kelas ketahanan berdasarkan diameter bercak ...............................

3

Populasi half dialel dalam menduga parameter genetik untuk
ketahanan cabai terhadap antraknosa .................................................. 16

4

Sidik ragam untuk analisis daya gabung metode 2 .........................

20

5

Respon 21 genotipe cabai terhadap antraknosa (kejadian penyakit) ....

24

6

Respon 21 genotipe cabai terhadap antraknosa (diameter bercak) .....

26

7

Kuadrat tengah ketahanan cabai terhadap antraknosa .........................

29

8

Pendugaan parameter genetik ketahanan tanaman cabai terhadap
antraknosa ............................................................................................ 29

9

Sebaran Vr + Wr .................................................................................

31

10 Kuadrat tengah daya gabung ketahanan cabai terhadap antraknosa ....

34

11 Nilai DGU ketahanan cabai terhadap antraknosa ..............................

35

12 Nilai DGK ketahanan cabai terhadap antraknosa ..............................

35

15

13 Nilai duga heterosis dan heterobeltiosis ketahanan cabai terhadap
antraknosa ............................................................................................ 38
14 Nilai koefisien korelasi antar karakter ................................................

43

15 Koefisien lintasan pengaruh langsung dan tidak langsung berbagai
karakter pada ketahanan cabai terhadap antraknosa ........................... 44

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Koloni C. acutatum berwarna oranye hasil inokulasi ...........................
28
2 Buah cabai hasil inokulasi ....................................................................

28

3 Hubungan antara peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk ketahanan
(1 - kp) ..................................................................................................

32

4 Hubungan antar peragam (Wr) dan ragam (Vr) untuk diameter bercak

33

5 Diagram lintasan beberapa karakter dengan ketahanan terhadap
antraknosa..............................................................................................

42

DAFTAR LAMPIRAN

1

Halaman
Genotipe-genotipe yang digunakan dalam pengujian ketahanan
terhadap antraknosa ................................................................................. 52

2

Deskripsi genotipe tetua IPB C2 .............................................................. 53

3

Deskripsi genotipe tetua IPB C4 .............................................................. 54

4

Deskripsi genotipe tetua IPB C8 .............................................................. 55

5

Deskripsi genotipe tetua IPB C9 .............................................................. 56

6

Deskripsi genotipe tetua IPB C10 ............................................................ 57

7

Deskripsi genotipe tetua IPB C15 ............................................................ 58

8

Nilai tengah genotipe-genotipe yang digunakan dalam analisis lintasan

59

9

Sidik ragam analisis dialel metode Hayman peubah ketahanan ..............

60

10 Sidik ragam umum analisis dialel metode Griffing peubah ketahanan ...

60

11 Sidik ragam daya gabung peubah ketahanan ...........................................

60

12 Sidik ragam analisis dialel metode Hayman peubah diameter bercak ..... 61
13 Sidik ragam umum analisis dialel metode Griffing peubah diameter
bercak ....................................................................................................... 61
14 Sidik ragam daya gabung peubah diameter bercak .................................. 61

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L.) adalah komoditas sayuran yang bernilai
ekonomi tinggi sehingga banyak diusahakan petani. Buah cabai terutama
digunakan sebagai penambah rasa dan warna dalam masakan. Buah cabai segar
mengandung provitamin A (caroten), vitamin B, C dan E (Purseglove et al. 1981).
Buah cabai juga digunakan dalam industri farmasi karena mengandung senyawa
capsaicin.
Produktivitas cabai merah di Indonesia masih jauh dari potensi produksinya
yang mencapai 12 ton per hektar (Duriat 1996). Berdasarkan data BPS (2011)
produksi cabai nasional pada tahun 2010 adalah 6.57 ton/ha. Rendahnya
produktivitas cabai disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya dikarenakan
oleh serangan penyakit. Widodo (2007) dalam studi kasus yang dilakukan pada
periode 1994-1997 di Lampung dan Jawa Barat melaporkan bahwa serangan
hama dan penyakit menempati urutan pertama sebesar 61.4 % dibandingkan
dengan masalah lain seperti penurunan kesuburan tanah, masalah pengairan dan
harga pasar.
Penyakit antraknosa merupakan salah satu dari penyakit utama pada cabai.
Antraknosa berada pada kisaran urutan kedua dan ketiga diantara 10 hama dan
penyakit utama pada cabai pada tahun 2001-2006 (Widodo 2007). Penyakit
antraknosa menyerang daun, batang dan buah dengan gejala timbulnya titik
berwarna gelap atau luka yang menjorok ke dalam. Pada buah penyakit ini
seringkali bersifat laten dan biasanya mengakibatkan buah busuk dan gugur
(Agrios 2005). Perkiraan penurunan hasil akibat serangan antraknosa di pulau
Jawa berkisar antara 40-60 % (Hartman dan Wang 1992).
Pengendalian secara kimiawi dapat mengurangi serangan penyakit dan
direkomendasikan untuk pengendalian terhadap antraknosa, tetapi penanaman
kultivar yang resisten merupakan cara yang terbaik untuk mengendalikan penyakit
ini (AVRDC 1988). Selain lebih praktis dan efisien, penanaman kultivar resisten
dapat menekan biaya produksi, mencegah munculnya spesies patogen resisten dan

mengurangi resiko pencemaran lingkungan serta gangguan kesehatan terhadap
manusia akibat pemakaian fungisida.
Penelitian untuk mendapatkan varietas cabai tahan antraknosa telah banyak
dilakukan. Syukur (2007) telah berhasil mendapatkan genotipe tahan antraknosa
yaitu genotipe IPB C15 yang tahan terhadap isolat PYK 04 dan moderat terhadap
isolat BGR 027, MJK 01 dan PSG 07. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
genotipe IPB C15 memberikan reaksi ketahanan yang berbeda ketika diinokulasi
dengan isolat yang berbeda, oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan isolat
BKT yang berasal dari Bukittinggi yang tidak digunakan dalam penelitian
sebelumnya untuk mengetahui reaksi ketahanan dari genotipe-genotipe yang telah
diuji sebelumnya.
Perakitan varietas tahan akan lebih mudah jika tersedia informasi kendali
genetik karakter yang diinginkan. Perilaku genetik gen-gen karakter yang
diinginkan dapat dipelajari melalui studi genetik menggunakan metode analisis
silang dialel. Selain untuk mempelajari kendali genetik suatu sifat, analisis silang
dialel juga digunakan untuk menduga nilai daya gabung dalam hibrida serta
membantu pemulia dalam meningkatkan dan menyeleksi populasi segregan (de
Sousa dan Maluf 2003).
Fenomena heterosis terjadi ketika nilai rata-rata F1 lebih baik daripada nilai
rata-rata tetuanya. Hibrida F1 dikembangkan berdasarkan adanya fenomena
heterosis tersebut, karena itu informasi mengenai heterosis penting dalam
pembentukan hibrida varietas tahan antraknosa.
Proses seleksi yang digunakan dalam perakitan varietas tahan antraknosa
pada umumnya adalah dengan menggunakan metode seleksi langsung dengan
cara menginokulasi buah berwarna hijau yang telah matang fisiologis, kemudian
melihat persentase buah yang terserang. Metode seleksi langsung ini memiliki
keterbatasan karena harus menunggu buah cabai matang fisiologis serta tidak
efisien karena berdasarkan standar pengujian AVRDC, pengujian ketahanan
antraknosa harus dilakukan di dalam laboratorium untuk menghindari penyebaran
penyakit di lapangan. Oleh karena itu, perlu untuk mencari karakter agronomi
yang dapat dijadikan kriteria seleksi untuk ketahanan terhadap antraknosa.

Genotipe-genotipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah genotipegenotipe yang mempunyai karakter agronomi yang baik dan juga genotipe yang
mempunyai ketahanan terhadap penyakit tertentu yang telah diuji dalam beberapa
penelitian sebelumnya. Diharapkan melalui penelitian ini bisa didapatkan
genotipe tahan antraknosa yang mempunyai karakter agronomi yang baik.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi tingkat ketahanan cabai terhadap antraknosa.
2. Menduga parameter genetik dan daya gabung dari genotipe-genotipe yang
diuji.
3. Memperoleh informasi fenomena heterosis pada karakter ketahanan.
4. Menentukan karakter seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan antraknosa.

Hipotesis
1. Terdapat genotipe cabai tahan antraknosa.
2. Terdapat tetua yang memiliki daya gabung umum yang baik dan terdapat
pasangan persilangan yang memiliki daya gabung khusus yang baik pada
karakter ketahanan cabai terhadap antraknosa.
3. Terdapat fenomena heterosis pada karakter ketahanan.
4. Terdapat karakter yang dapat dijadikan kriteria seleksi dalam perakitan cabai
tahan antraknosa.

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Botani dan Syarat Tumbuh Cabai
Genus Capsicum termasuk dalam kingdom Plantae, divisio Magnoliophyta,
kelas Magnoliopsida, ordo Rosales, dan famili Solanaceae (Bosland dan Votava
2000). Para ahli taksonomi modern mengidentifikasi lima spesies utama yang
telah dibudidayakan, yaitu C. annuum L., C. frutescens L., C. chinense Jacquin, C.
pendulum Wildenow,dan C. pubescens Ruiz & Pavon. Lima spesies utama
tersebut dapat dibedakan dari kombinasi karakter bunga dan buah. C. annuum
berbunga putih dengan anter biru sampai ungu, mempunyai calyx yang berlekuk
dan berbunga serta berbuah tunggal setiap buku. C. frutescens berbunga agak
kehijauan dengan anter biru, calyx yang tidak berlekuk dan pada umumnya
berbuah tunggal setiap buku serta beberapa bunga majemuk pada bukunya. C.
chinense berbunga putih atau putih kehijauan dengan anter biru, calyx berlekuk
dan pada umumnya berbuah 1-3 setiap buku. C. pendulum berbunga putih dengan
bintik kuning pada dasarnya, anter kuning, tangkai bunga panjang, dan berbunga
tunggal. C. pubescens berbunga besar keunguan, buah oranye, dan biji berwarna
gelap (Greenleaf 1986). Tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini semua
spesies budidayanya merupakan diploid (2n = 2x = 24) (Purseglove et al. 1981).
Tanaman cabai adalah tanaman herba, sebagian besar menjadi berkayu pada
pangkal batang, dan beberapa jenis menjadi semak. Bentuk percabangan tegak
atau menyebar dengan tinggi 0.5-1.5 m. Akar merupakan akar tunggang kuat dan
dalam, perakaran umumnya berkembang sempurna. Daun cabai merupakan daun
tunggal dengan helaian daun berbentuk ovate atau lanceolate. Warna mahkota
bunga bervariasi dari putih hingga putih kehijauan, dan putih keunguan hingga
ungu. Warna kepala sari biru, ungu, dan kuning. Warna biji kuning muda, coklat,
atau hitam. Warna buah sangat bervariasi; hijau, kuning, dan ungu ketika muda
berubah menjadi merah, jingga, kuning, atau campuran. Bentuk buah juga
bervariasi, berkisar dari linier, kerucut, bulat, atau kombinasi dari bentuk-bentuk
tersebut. Buah dapat berdinding tebal atau tipis, panjang buah berkisar antara 1-30
cm dengan diameter berkisar antara 1-15 cm (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).

Cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri, walaupun demikian
penyerbukan silang dapat terjadi pada beberapa genotipe dan pada lingkungan
tertentu. Bunga cabai merupakan bunga sempurna dimana alat reproduksi jantan
dan betina terdapat dalam satu bunga. Helaian mahkota bunga cabai merah
berjumlah lima atau enam. Pada dasar bunga terdapat daun buah berjumlah lima
yang kadang-kadang berlekuk. Setiap bunga memiliki satu putik, kepala putik
berbentuk bulat. Terdapat lima sampai delapan helai benang sari dengan kepala
sari yang berbentuk lonjong berwarna biru keunguan. Tepung sari berbentuk
lonjong terdiri dari tiga segmen berwarna kuning mengkilat. Dalam satu kotak sari
terdapat sekitar 11.000-18.000 tepung sari (Kusandriani 1996)
Cabai dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Agar
mampu tumbuh dengan optimal cabai merah memerlukan kisaran suhu antara
18-27 oC. Suhu optimal untuk pertumbuhan dan pembungaan berkisar antara
21-27 oC dan untuk pembuahan antara 15.5-21 oC (Sumarni 1996). Bunga tidak
terbuahi pada suhu di bawah 16 oC atau di atas 32 oC karena produksi tepung sari
yang tidak viabel (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah sekitar
600-1250 mm per tahun (Sumarni 1996). Tanaman cabai merah dapat tumbuh
pada berbagai jenis tanah asal drainase dan aerasi tanah cukup baik karena
tanaman sangat peka terhadap genangan. Tanaman yang tergenang cenderung
mengalami kerontokan daun dan terserang penyakit akar. Tanah harus
mengandung cukup bahan organik, unsur hara, air, bebas dari gulma, dan patogen.
Tingkat kemasaman (pH) tanah yang paling sesuai berkisar antara 6.5-7.0
(Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Pemilihan waktu tanam cabai yang tepat sangat penting, terutama
hubungannya dengan ketersediaan air, curah hujan, serta gangguan hama dan
penyakit. Air diperlukan oleh tanaman cabai sejak awal pertumbuhan tanaman
sampai periode pembungaan dan pembuahan. Kekurangan air pada masa
pertumbuhan vegetatif menyebabkan tanaman cabai tumbuh kerdil. Kekurangan
air pada masa pembentukan bunga dan buah dapat menurunkan hasil buah bahkan
dapat menggagalkan panen. Akan tetapi lahan yang terlalu lembab juga
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Curah hujan yang tinggi pada

saat pembentukan bunga dan buah dapat menggugurkan bunga dan membusuknya
buah. Penggunaan mulsa dapat meningkatkan hasil, baik pada musim kemarau
maupun musim hujan. Peningkatan hasil ini terjadi karena mulsa dapat
mempertahankan struktur tanah tetap gembur, memelihara kelembaban dan suhu
tanah, mengurangi kehilangan unsur hara, dan menekan pertumbuhan gulma
(Sumarni 1996).

Penyakit Antraknosa
Nama antraknosa diambil dari kata anthrax yang berarti karbon (Agrios
2005). Nama tersebut digunakan karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini
menimbulkan bercak berwarna hitam seperti warna karbon.
Penyakit ini menimbulkan gejala pada seluruh bagian tanaman termasuk
akar, batang, daun, bunga dan buah (Bailey et al. 1992). Pada umumnya gejala
pertama muncul berupa bercak kecil basah berwarna kuning atau kehitaman yang
membesar dengan cepat. Bercak kemudian berkembang sampai diameter 3-4 cm
berwarna dari merah gelap sampai coklat muda dengan jaringan cendawan
berwarna gelap yang terdiri dari kumpulan seta atau aservuli yang menghasilkan
massa spora berwarna pucat atau salem yang tersebar atau berbentuk lingkaran
konsentrik pada bercak (Hadden dan Black 1989). Gejala pada biji dapat
menimbulkan kegagalan berkecambah, pada kecambah dapat menimbulkan rebah
kecambah, dan pada tanaman dewasa dapat menimbulkan mati pucuk
(Suryaningsih 1996).
Menurut Hartman dan Wang (1992) cendawan dapat hidup pada kulit dan di
dalam benih, serta pada sisa tanaman yang terjangkit. Jika sumber penyebaran
inokulum adalah benih, kotiledon dapat terinfeksi. Jika sumber penyebaran
inokulum berupa sisa tanaman sakit, siklus penyakit dapat berawal ketika sisa
tanaman yang terinfeksi atau konidia yang muncul pada sisa tanaman tersebut
terpercik ke tanaman cabai, bercak awal muncul dan aservuli pada bercak
mengandung batang-batang pendek yang menghasilkan konidia bersel tunggal
dalam jumlah besar yang dilindungi oleh matriks bergelatin. Matriks bergelatin
dapat larut oleh air dan konidia akan berkecambah dalam lima hari bila keadaan
cukup lembab. Benih dapat terinfeksi jika buah terinfeksi cendawan. Bila benih

terinfeksi tersebut digunakan untuk musim tanam berikutnya maka cendawan
dapat menyebar ke area tanam baru tersebut.
Penyakit antraknosa berkembang dengan cepat dalam

lingkungan yang

hangat dengan kelembaban tinggi. Kelembaban relatif udara 95 % yaitu pada
cuaca berkabut dan berembun dapat membantu inisiasi infeksi dan perkembangan
penyakit selanjutnya (Suryaningsih 1996).
Spesies Colletotrichum acutatum dalam keadaan tahapan aseksual
(anamorf) termasuk dalam kelompok Coelomycetes dan dalam keadaan tahapan
seksual (teleomorf) termasuk dalam genus Glomerella dan dimasukan dalam
kelompok Ascomycetes (Wharton dan Uribeondo 2004). Beberapa genus yang
termasuk dalam kelompok Ascomycetes, seperti Glomerella, jarang menghasilkan
spora seksual (askospora) dan lebih sering menghasilkan spora aseksual (konidia),
karena itu genus Glomerella lebih dikenal dalam nama tahapan aseksualnya yaitu
Colletotrichum (Agrios 2005).
Koloni spesies C. acutatum pada awalnya berwarna putih kemudian berubah
warna menjadi pink atau oranye. Konidia berbentuk elipsoid dan meruncing
setidaknya pada salah satu ujungnya (Peres et al. 2005) dan berukuran 8.5-16.5 x
2.5-4 µm (Sutton 1992). Suhu optimum untuk spesies ini adalah 25ºC (Wharton
dan Uribeondo 2004).
Tahap awal dari pertumbuhan cendawan dalam proses infeksi dari spesies
ini pada dasarnya sama dengan spesies dari genus Colletotrichum lainnya, yaitu
persentuhan konidia pada permukaan tanaman, penempelan konidia pada
permukaan tanaman, perkecambahan konidia, produksi apresoria, penetrasi ke
epidermis tanaman, pertumbuhan dan pembentukan koloni pada jaringan tanaman
serta produksi aservuli dan pembentukan spora. Proses terjadinya tiap tahapan
tersebut dalam proses infeksi bervariasi bergantung antara lain pada jaringan
inang dan isolat cendawan tersebut (Wharton dan Uribeondo 2004).
Konidia C. acutatum diproduksi dalam aservuli pada tanaman inang dan
disebarkan melalui percikan air hujan. Spesies C. acutatum dapat hidup pada
tanah dan permukaan tertentu. C. acutatum dapat tetap viabel selama 105 hari
pada tanaman yang terinfeksi yang terkubur dalam tanah dan konidia dapat tetap
viabel pada bahan pakaian selama 35-45 hari. Walaupun demikian cendawan ini

tidak dapat bersaing atau berkembang pada sisa daun atau pada tanah jika ada
organisme lain yang aktif (Peres et al. 2005).
Keberhasilan kolonisasi pada tanaman inang oleh suatu patogen bergantung
pada kemampuan patogen tersebut untuk mengatasi sistem pertahanan tanaman
tersebut. Ketahanan buah muda pada kolonisasi spesies C. acutatum kemungkinan
berhubungan dengan salah satu dari empat mekanisme pertahanan yang dimiliki
tanaman, yaitu pembentukan awal senyawa racun yang menghambat pertumbuhan
patogen terjadi pada buah muda, buah muda tidak menyediakan substrat yang
sesuai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan energi bagi patogen, enzim patogen
tidak sesuai untuk membentuk kolonisasi pada buah muda, dan produksi
fitoaleksin pada buah muda (Wharton dan Uribeondo 2004).

Analisis Dialel
Persilangan dialel adalah persilangan dengan menggunakan semua
kombinasi persilangan yang mungkin dilakukan diantara sekelompok tetua
termasuk selfing. Tujuan dari persilangan dialel adalah untuk mengevaluasi dan
memilih tetua berdasarkan turunan terbaik dan evaluasi turunan terbaik
(Ganefianti 2010). Genotipe yang digunakan dalam persilangan dialel dapat
berupa individu, klon, galur dan lain-lain (Hayman 1954).
Di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat
dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 dan BCP2.
Analisis dialel dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi segregasi diploid, tidak ada
perbedaan diantara persilangan resiprok, tidak ada interaksi gen non alelik, tidak
ada multiple allelism, tetua homozigot dan gen-gen menyebar bebas diantara tetua
(Hayman 1954).
Ploidi tanaman cabai adalah diploid (Greenleaf 1986), dengan demikian
segregasi gen-gen yang terjadi merupakan segregasi diploid. Gen-gen yang
mengendalikan suatu karakter harus menyebar diantara tetua-tetua persilangan.
Untuk memenuhi asumsi ini maka dipilih tetua yang mewakili tahan, moderat dan
rentan.
Analisis dialel menghasilkan informasi mengenai parameter genetik yang
didapatkan melalui metode Hayman serta informasi mengenai daya gabung umum

dan daya gabung khusus yang didapatkan melalui metode Griffing (Singh dan
Chaudary 1979). Parameter genetik yang diperoleh dari metode Hayman meliputi
keragaman karena pengaruh lingkungan, keragaman karena pengaruh aditif,
keragaman karena pengaruh efek dominan, pengaruh dominan, penduga sebaran
gen dalam tetua untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua, ratarata tingkat dominansi, proporsi gen-gen dominan dan resesif pada tetua, jumlah
kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi,
heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit.
Daya gabung adalah kemampuan tetua untuk menghasilkan kombinasi
persilangan yang unggul dalam satu atau seri persilangan. Evaluasi daya gabung
ini bertujuan untuk memilih tetua-tetua atau genotipe yang akan dijadikan tetua
dalam pembentukan kultivar hibrida. Ada dua macam daya gabung yaitu Daya
Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK). DGU adalah rata-rata
penampilan tetua dalam satu seri persilangan, sementara DGK adalah kemampuan
bergabung dari tetua dalam persilangan tertentu (Chaudhary 1982). Menurut
Falconer (1981) efek DGU dan DGK adalah indikator penting dari nilai potensial
suatu galur murni dalam kombinasi hibrida. Welsh (1981) menyatakan bahwa
kemampuan berkombinasi umum (DGU) merupakan hasil dari aksi gen aditif,
sedangkan kemampuan berkombinasi spesifik (DGK) merupakan hasil dari gen
dominan, epistasis, dan aditif.
Menurut Griffing (1956) diacu dalam Roy (2000) untuk melakukan analisis
daya gabung diperlukan tiga set materi genetik yaitu tetua, F1 hasil silangan serta
resiproknya. Griffing menggunakan ketiga set materi genetik tersebut untuk
merumuskan empat metode dalam analisis daya gabung, yaitu metode 1 (full
diallel) melibatkan tetua, F1 hasil persilangan serta resiproknya dengan analisis
[n(n-1)/2]; metode 2 melibatkan tetua dan F1 hasil silangannya tanpa resiproknya
dengan analisis [n(n+1)/2]; metode 3 melibatkan F1 hasil silangan serta
resiproknya tanpa tetua dengan analisis n(n-1); serta metode 4 yang hanya
melibatkan F1 hasil silangan saja dengan analisis (n-1)/2.
Metode analisis dialel sudah banyak dimanfaatkan untuk mempelajari dasar
genetik karakter ketahanan pada cabai, antara lain: ketahanan pada antraknosa
(Syukur 2007), ketahanan terhadap Phytophthora capsici (Yunianti 2007),

ketahanan terhadap CMV dan ChiVMV (Riyanto 2007), ketahanan terhadap
Begomovirus

(Ganefianti

2010),

ketahanan

terhadap

antraknosa,

hawar

Phytophthora dan layu bakteri (Putri 2010), ketahanan terhadap powdery mildew
(Nandadevi et al. 2003) dan ketahanan terhadap thrips dan mite (Jagadeesha et al.
2006).

Heterosis
Pada persilangan tanaman menyerbuk silang seperti jagung, penampilan F1
selalu lebih baik daripada kedua tetuanya. Fenomena ini dinamakan heterosis atau
vigor hibrida. Heterosis adalah peningkatan ukuran atau tingkat pertumbuhan
suatu keturunan dibandingkan dengan tetuanya (Duvick 1999). Pada persilangan
dua galur murni tanaman menyerbuk sendiri seperti serealia, beberapa hasil
persilangan memang menampilkan fenomena heterosis tetapi nilainya sangat
rendah. Pada persilangan tanaman menyerbuk silang seperti jagung, heterosis bisa
mencapai lebih dari 200 %, sedangkan pada tanaman menyerbuk sendiri seperti
gandum, nilai heterosis hanya 10 % (Roy 2000).
Pada beberapa kasus fenomena heterosis tidak muncul sama sekali dan pada
kasus yang lain penampilan F1 lebih rendah dibandingkan tetuanya. Dari
perbandingan nilai tengah F1 terhadap tetuanya, terdapat dua jenis heterosis, yaitu
(1) heterosis, dimana nilai tengah F1 lebih besar bila dibandingkan dengan nilai
tengah kedua tetuanya dan (2) heterobeltiosis, dimana nilai tengah F1 lebih besar
bila dibandingkan dengan nilai tengah tetua terbaiknya.
Menurut Chaudhary (1984) heterosis dapat dibedakan menjadi dua tipe,
yaitu:
(1) Euheterosis
Euheterosis merupakan heterosis sebenarnya dan diturunkan. Euheterosis
terdiri dari euheterosis mutasional dan euheterosis seimbang. Euheterosis
mutasional merupakan hasil dari penutupan ekspresi gen-gen mutan resesif
yang tidak diinginkan bahkan terkadang bersifat letal, oleh alela dominannya
yang lebih superior dan adaptif, dalam populasi yang dihasilkan dari
persilangan. Pada umumnya mutasi tersebut bersifat letal, resesif dan inferior,
tetapi heterosis mutasional melindungi gen-gen letal tersebut dari eliminasi

dalam populasi. Euheterosis seimbang adalah heterosis dalam arti sebenarnya,
yang muncul dari kombinasi gen yang seimbang antara kemampuan adaptasi
dan karakter agronomi yang lebih baik. Heterosis ini yang digunakan dalam
progam pemuliaan untuk mengembangkan varietas hibrida.
(2) Pseudo-heterosis
Pseudo-heterosis pada dasarnya adalah suatu fenomena dimana suatu hasil
persilangan, secara kebetulan menampilkan ekspresi vigor dan pertumbuhan
di atas rata-rata tetapi bersifat sementara dan tidak adaptif.
Menurut Roy (2000) terdapat tiga teori yang berkaitan dengan heterosis
yaitu:
(1) Teori dominansi
Teori ini menyatakan bahwa F1 bersifat heterotik karena gen resesif yang
mengekspresikan sifat inferior dalam keadaan homosigot tertutupi oleh gen
dominan dan jumlah lokus dimana gen resesif berada dalam keadaan
homosigot berkurang pada F1 bila dibandingkan dengan tetuanya, sehingga
F1 memperlihatkan penampilan yang lebih superior dari tetua terbaiknya.
(2) Teori overdominansi
Teori

ini

menyatakan

bahwa

genotipe

heterozigot

lebih

superior

dibandingkan dengan genotipe homozigot, dimana genotipe heterosigot
memperlihatkan perkembangan homeostatis yang lebih besar daripada
genotipe homosigot yang memiliki fenotipe yang lebih rentan terhadap
cekaman lingkungan.
(3) Teori epistasis
Teori ini menyatakan bahwa interaksi antar gen berperan dalam ekspresi
heterosis, dimana heterosis merupakan ekpresi dari gen yang memperlihatkan
pengaruh aditif dengan dominan lengkap.
Selain tiga teori dengan dasar genetika di atas, terdapat teori lain yang
berdasarkan fisiologi dan biokimia. Dari sisi fisiologi, terdapat tiga teori, yang
pertama heterosis muncul karena ukuran embrio F1 yang lebih besar dari tetua,
yang kedua heterosis muncul karena adanya komplementasi mitokondria dan yang
ketiga heterosis muncul karena adanya interaksi antara gen inti dengan gen dalam
sitoplasma. Dari sisi biokimia dinyatakan bahwa heterosis merupakan ekspresi

dari kombinasi aktivitas zat-zat kimia dalam tanaman sebagai hasil dari aksi gen
komplementer pada hibrida (Chaudhary 1984).
Fenomena

heterosis

ditemukan

pada

tanaman

cabai

sehingga

memungkinkan dibuat hibrida cabai (Berke 2000). Terdapat beberapa penelitian
tentang fenomena heterosis sifat ketahanan cabai terhadap penyakit yang sudah
dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Riyanto
(2007) yang menunjukkan fenomena heterosis dan heterobeltiosis ketahanan cabai
terhadap CMV dan ChiVMV. Hibrida (IPB C2 x IPB C4) memperlihatkan
fenomena heterosis dan heterobeltiosis berdasarkan kelas CMV, sementara
fenomena heterosis dan heterobeltiosis pada kelas ChiVMV terdapat pada hibrida
(IPB C2 x IPB C1) dan (IPB C4 x IPB C1). Pada penelitian ketahanan cabai
terhadap Phytophthora capsici yang dilakukan oleh Yunianti (2007), genotipe
IPB C4 x IPB C9 menunjukkan fenomena heterosis, sementara fenomena
heterobeltiosis ditunjukkan oleh genotipe IPB C10 x IPB C8 dan resiproknya.
Sementara Ganefianti (2010) dalam penelitiannya mengenai ketahanan cabai
terhadap Begomovirus, genotipe IPB C14 x IPB C26 memperlihatkan nilai
heterosis tertinggi dan genotipe IPB C35 x IPB C12 memperlihatkan nilai
heterobeltiosis tertinggi.

BAHAN DAN METODE
Penelitian terdiri dari tiga percobaan, yaitu 1) pengujian ketahanan cabai
terhadap antraknosa; 2) pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap
antraknosa dengan menggunakan analisis dialel; dan 3) penentuan karakter seleksi
dengan menggunakan analisis lintasan. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari-Juli 2007. Penanaman dilakukan di rumah plastik Kebun Percobaan IPB
Tajur Bogor yang terletak pada ketinggian ± 250 m di atas permukaan laut.
Perbanyakan dan pemeliharaan C. acutatum dilakukan di Laboratorium Klinik
Tanaman Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, dan pengujian
ketahanan

dilakukan

di

Laboratorium

Pendidikan

Pemuliaan

Tanaman

Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.

Pengujian Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa
Pengujian ketahanan cabai terhadap antraknosa ini menggunakan bahan
tanaman koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman AGH IPB. Genotipegenotipe yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan deskripsi tetua
disajikan pada Lampiran 2-7. Isolat C. acutatum yang digunakan adalah BKT 04
yang merupakan koleksi Dr. Widodo dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan
Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Benih cabai diberi perlakuan perendaman dalam air hangat (50 oC) selama
satu malam sebelum disemai. Benih disemai dalam tray yang berisi media semai
yang sudah disterilisasi dengan pemanasan pada suhu 150 oC selama tiga jam.
Pemeliharaan yang dilakukan pada saat persemaian adalah penyiraman dan
pemberian pupuk daun dengan dosis 2 g/l. Setelah empat minggu kemudian
dipindahkan ke dalam polibag berdiameter 35 cm berisi 8 kg media tanam steril.
Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1. Sterilisasi media tanam dilakukan dengan pemanasan media
tanam di atas api selama delapan jam. Pemeliharaan meliputi penyiraman,
pemupukan dan pengendalian hama penyakit.
Pengujian ketahanan terhadap antraknosa disusun menggunakan Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak faktor tunggal dengan tiga ulangan dan 21 genotipe

sebagai perlakuan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 20 buah cabai yang
dipanen pada saat buah masih berwarna hijau berumur sekitar seminggu sebelum
buah berwarna merah.
Perbanyakan inokulum dilakukan dengan cara mengambil koloni dari
biakan murni kemudian dibiakkan pada media PDA dalam cawan petri. Biakan
diinkubasi pada suhu 28 oC, diberi lampu selama 12 jam/hari selama 5-7 hari.
Pemanenan konidia dilakukan dengan cara mencuci cawan dua kali dengan air
steril sebanyak 15 ml kemudian permukaan isolat digosok menggunakan gelas L
untuk mengambil konidia. Suspensi kemudian disaring menggunakan dua lapis
kain saring untuk memisahkan potongan miselia. Kepadatan inokulum dihitung
menggunakan haemocytometer sampai mencapai 5 x 105 konidia/ml.
Inokulasi dilakukan dengan menyuntikkan 2 µl suspensi konidia ke
permukaan buah. Untuk buah berukuran kurang dari 4 cm inokulasi dilakukan
pada satu titik sementara untuk buah yang berukuran lebih dari 4 cm inokulasi
dilakukan pada dua titik dengan jarak 4 cm. Setelah inokulasi buah kemudian
diinkubasi dalam suhu ruang dan ditempatkan di atas kawat dalam bak-bak plastik
yang pada dasarnya diberi kertas tissue basah kemudian bak tersebut ditutup
plastik hitam. Reaksi penyakit diamati lima hari setelah inokulasi.
Pengamatan yang dilakukan meliputi kejadian penyakit (KP) dan diameter
bercak. Kejadian penyakit dihitung berdasarkan persentase buah yang terkena
serangan dengan melihat ada atau tidak adanya bercak pada lima hari setelah
inokulasi, dengan rumus berdasarkan AVRDC (2002):

x 100 %

dimana:

KP = kejadian penyakit
n

= buah yang bergejala

N = jumlah buah total

Persentase dari genotipe yang diuji kemudian ditentukan kelas ketahanannya
sesuai dengan Tabel 1.

Tabel 1. Kelas Ketahanan Berdasarkan Kejadian Penyakit
No
Persentase
1
0 ≤ KP ≤10
2
10 < KP ≤ 20
3
20 < KP ≤ 40
4
40 < KP ≤ 70
5
KP > 70
Sumber: Yoon (2003)

Kelas Ketahanan
Sangat Tahan
Tahan
Moderat
Rentan
Sangat Rentan

Penentuan skor pada buah yang telah diinokulasi dengan mengukur
diameter bercak yang ditimbulkan sesuai dengan Tabel 2.

Tabel 2. Kelas Ketahanan Berdasarkan Diameter Bercak
No
Diameter Bercak (cm)
1
0
2
0.1 – 0.5
3
0.6 – 1
4
1.1 – 2
5
>2
Sumber: AVRDC (1990)

Kelas Ketahanan
Imun
Sangat Tahan
Tahan
Rentan
Sangat Rentan

Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai terhadap Antraknosa
dengan Menggunakan Analisis Dialel
Percobaan ini menggunakan enam genotipe tetua dan 15 genotipe F1 yang
disusun dalam populasi half diallel (Tabel 3). Metode yang digunakan sama
dengan percobaan pengujian ketahanan cabai terhadap antraknosa pada
Percobaan 1. Peubah yang digunakan dalam pendugaan parameter genetik
menggunakan pendekatan Hayman dan pendugaan daya gabung menggunakan
Metode 2 Griffing adalah ketahanan penyakit (1-kp) dan diameter bercak. Peubah
yang digunakan untuk pendugaan nilai heterosis adalah kejadian penyakit dan
diameter bercak.

Tabel 3. Populasi half dialel dalam menduga parameter genetik untuk ketahanan
cabai terhadap antraknosa
♂ IPB C2 IPB C4
IPB C8
IPB C9
IPB C10 IPB C15

IPB C2
2x2
IPB C4
4x2
4x4
IPB C8
8x2
8x4
8x8
IPB C9
9x2
9x4
9x8
9x9
IPB C10
10 x 2
10 x 4
10 x 8
10 x 9
10 x 10
IPB C15
15 x 2
15 x4
15 x 8
15 x 9
15 x 10
15 x 15

Analisis Data:
1. Pendugaan parameter genetik menggunakan pendekatan Hayman
Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa dilakukan
dengan analisis dialel menggunakan pendekatan Hayman (Singh dan
Chaudhary 1979).
a. Analisis ragam
Populasi dialel dianalisis menggunakan rancangan kelompok lengkap
teracak dengan tiga ulangan menggunakan model statistik:
Yij = µ + αi + βj + εij
Keterangan:
Yij

= Nilai pengamatan dari perlakuan genotipe ke-i

µ

= Nilai rata-rata

αi

= Pengaruh perlakuan genotipe ke-i

βj

= Pengaruh kelompok ke-j

εij

= Pengaruh galat percobaan pada perlakuan genotipe ke-i

b. Pendugaan ragam dan peragam
Untuk menduga nilai ragam dan peragam digunakan rata-rata dari tiap
ulangan.

∑xij

Rata-rata tetua (ML0)

=

i=j

n
1

Ragam tetua (V0L0)

=
n-1

2

∑ X ij

∑ (Xij)2 -

I=j

n

i=j

n

1
Ragam array (Vri)

n

∑ (Xij)2 -

=
n-1

1
Rata-rata ragam array (V1L1) =
n

j=l

n

j=l

n

∑ Vri

i=l

2

n

1
Ragam rata-rata array (V0L1) =

n

∑ (Xi) -

∑ Xi

2

n–1

2

∑ Xij

i=l

i=l

n
2

n

1
Peragam tetua dan keturunan (Wri) =

n–1

n

∑ (XijXi’j) j=l;i=l

1
Rata-rata peragam tetua dan array (W0L1) =

∑ XijXi’j
j=l;i=l

n

∑ Wri

n
Perbedaan rata-rata tetua dan rata-rata semua keturunan
1
1 n
2
2
(ML1 – ML0) =
∑ Xij - ∑ Xij
n
n i=l;j=l

c. Uji hipotesis
Kesahihan hipotesis diuji dengan koefisien regresi, menggunakan ragam
dan peragam.
b = (Cov (Wr,Vr)/(Var (Vr))
SE (b) = [(Var (Wr) – b * (Cov (Wr, Vr))/ (Var (Vr) * (n-1))] 1/2
Uji hipotesis:
H0 : b = 1
H1 : b ≠ 1
Jika b = 1, maka tidak terdapat interaksi gen non alelik
d. Grafik Wr – Vr
Parabola diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan:
Wri = (Vri x V0L0)1/2
Regresi diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan:
Wri = Wr – bVr + bVri
Intersep regresi diperoleh dari:

ɑ = Wr - bVr
semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y,
kandungan gen dominannya relatif semakin tinggi, sebaliknya semakin
jauh letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y semakin kecil
kandungan gen dominannya.

e. Pendugaan komponen ragam
Pendugaan komponen ragam yang dilakukan adalah:
D

= V0L0 – E

F

= 2V0L0 – 4W0L0 – 2(n-2) E/n

H1

= V0L0 – 4W0L1 + 4 V1L1 – (3n – 2) E/n

H2

= 4V1L1 – 4 V0L1 – 2E

h2

= 4(ML1 – ML0)2 – 4(n-1) E/n
= ½ [Var (Wr – Vr)]

S2
5

SE (D) = [(n + n4)/n5] * (S2)
SE(F) = [(4n5 + 20n4 – 16n3 + 16n2)/n5] * (S2)

SE(H1) = [(n5 + 41n4 – 16n3 + 16n2)/n5] * (S2)
SE(H2) = [(36n4)/n5] * (S2)
SE(h2) = [(16n4 + 16n2 – 32n + 16)/n5] *(S2)
SE(E) = [(n4)/(n5] * (S2)
Keterangan:
D : komponen ragam karena pengaruh aditif
F : nilai tengah Fr untuk semua array, Fr adalah peragam pengaruh
aditif dan non aditif pada array ke-r
H1 : komponen ragam karena pengaruh dominan
H2 : perhitungan untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada
tetua
h2 : pengaruh dominansi (sebagai jumlah aljabar dari semua persilangan
saat heterozigous)
E : komponen ragam karena pengaruh lingkungan
Jika intersep bernilai positif atau D > H1 maka interaksi yang terjadi adalah
dominansi sebagian. Jika bernilai negatif atau D < H1 maka interaksi yang
terjadi adalah overdominansi. Jika D = H1 interaksi yang terjadi adalah
dominan leng

Dokumen yang terkait

Analisis genetik dan pewarisan sifat ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh colletotrichum acutatum

1 16 173

Evaluasi Ketahanan terhadap Antraknosa (Colletotrichum sp.) serta Beberapa Karakter Kuantitatif dan Kualitatif pada Cabai (Capsicum annuum L.) Silang Dialel Penuh (Full Dialled).

0 9 159

Analisis genetik dan pewarisan sifat ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh colletotrichum acutatum

2 32 352

Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum

0 9 7

Ketahanan terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Korelasinya dengan Kandungan Kapsaicin dan Peroksidase

0 7 8

Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa pada Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L)

0 9 9

Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa (Colletotrichum acutatum) menggunakan analisis dialel

0 13 139

Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa dan Beberapa Karakter Kuantitatif pada Cabai

0 9 35

Beberapa Genotipe Cabai dan Ketahanannya terhadap Penyakit Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum.

1 11 69

Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum Inheritance of Resistance to Anthracnose caused by Colletotrichum acutatum in Pepper (Capsicum annuum L.)

0 2 6