Investigation on Chemical and Biological Properties of Bamboo Rhizosphere as Disease Suppressive Soil

KAJIAN SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH RHIZOSFER
BAMBU SEBAGAI DISEASE SUPPRESSIVE SOIL

WINDA IKA SUSANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Sifat Kimia dan
Biologi Tanah Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Winda Ika Susanti
A154130091

RINGKASAN
WINDA IKA SUSANTI. Kajian Sifat Kimia dan Biologi Tanah Rhizosfer Bambu
sebagai Disease Suppressive Soil. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan
RAHAYU WIDYASTUTI.
Tanaman bambu dapat tumbuh di beberapa daerah di Indonesia dengan
keragaman fungsi dan spesies. Di Indonesia terdapat 60 spesies dari 200 spesies
bambu yang ada di kawasan Asia Tenggara dan memiliki daya adaptasi yang
sangat tinggi. Para petani sering menggunakan tanah rhizosfer bambu sebagai
media persemain beberapa jenis tanaman pertanian dan sudah menjadi indigenous
knowledge. Tanah rhizosfer bambu dikenal sebagai disease suppressive soil.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) mengkaji pengaruh tanah rhizosfer bambu
dalam fenomena disease suppressive soil dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah,
(ii) mempelajari dan mengkaji keragaman fungsional mikrob rhizosfer bambu
dalam kaitannya dengan fenomena disease suppressive soil.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai April 2015 di
laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya

Lahan IPB dan di Kebun percobaan IPB di Cikabayan. Sampel tanah rhizosfer
bambu diambil secara komposit pada kedalaman 0-20 cm dari beberapa lokasi di
Kabupaten Bogor Jawa Barat dengan empat spesies bambu, yaitu: Gigantochloa
apus, Dendrocalamus asper, Scyzosthachyum longispiculatum, dan Bambusa
vulgaris. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua bagian, yaitu: (i) percobaan rumah
kaca untuk mengetahui pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap pertumbuhan
tanaman dan kejadian penyakit pada bibit pepaya yang diinokulasikan
Phytophthora palmivora, (ii) percobaan laboratorium untuk mengetahui aspek
mikrobiologi rhizosfer bambu, yang meliputi: mikrob pelarut P dan K, bakteri
penambat N2, bakteri kitinolitik, IAA total tanah, jumlah bakteri dan cendawan
antibiosis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kimia serta biologi dari tanah
rhizosfer bambu berperan dalam meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya dan
menekan patogen P. palmivora. Mikrob asal rhizosfer bambu memiliki
keragaman mikrob yang tinggi. Dibandingkan tanah non rhizosfer bambu, tanah
rhizosfer bambu memiliki kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan menekan patogen tanaman. Kejadian penyakit pada D.
asper 12.50% dan B. vulgaris 16.70%. Persentase kematian tertinggi adalah pada
penanaman bibit pepaya di tanah non rhizosfer bambu sekitar 54.20%.
Kemampuan tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil ditentukan

oleh sifat kimia dan biologi tanah yang saling mempengaruhi. Sifat kimia tanah
rhizosfer bambu yang berkaitan meliputi: pH tanah yang rendah; KTK, C-organik,
kandungan P2O5 tersedia tanah yang tinggi. Sifat biologi tanah rhizosfer bambu
yang berkaitan meliputi: tingginya total bakteri dan mikrob fungsional (bakteri
kitinolitik, bakteri penambat N2), tingginya IAA total tanah dan jumlah mikrob
antibiosis. Dengan demikian, tanah rhizosfer bambu sangat baik digunakan
sebagai media persemain beberapa jenis tanaman pertanian.
Kata Kunci: rhizosfer bambu, Phytophthora palmivora, mikrob.

SUMMARY
WINDA IKA SUSANTI. Investigation on Chemical and Biological Properties of
Bamboo Rhizosphere as Disease Suppressive Soil. Supervised by SURYO
WIYONO and RAHAYU WIDYASTUTI.
Bamboo can growth in many places in Indonesia with high diversity.
There are 60 species from 200 species bamboo in Southeast Asia with high
adaptation. Bamboo rhizosphere known as disease suppressive soil. The
objectives of this research were to: (i) study the influence of bamboo rhizosphere
on disease suppressive soil phenomenon based chemical and biological soil
properties, (ii) study the functional diversity of bamboo rhizosphere on disease
suppressive soil.

This research was conducted from July 2014 to April 2015. Bamboo
rhizosphere samples were taken at depth 0-20 cm from three locations in the
district of Bogor, West Java province. There were four bamboo species
successfully examined, namely: Gigantochloa apus, Dendrocalamus asper,
Scyzosthachyum longispiculatum, and Bambusa vulgaris. This research was
conducted in two parts; (i) bioassay in the greenhouse to determine the influence
of bamboo rhizosphere on plant growth and the disease incidence,(ii) laboratory
investigation of microbiological aspects of bamboo rhizosphere, including: total
of microbes, P and K solubilizing microbes, N2 fixing bacteria, chitinolytic
bacteria, total of indole acetic acid (IAA) and antibiosis microbes of bamboo
rhizosphere.
The research result showed that chemical and biological properties of
bamboo rhizosphere influent the increasing of plant growth and suppressing soil
borne pathogen. Microbes in the rhizosphere of bamboo has a high diversity.
Microbes in the rhizosphere of bamboo has a better ability to promote plant
growth and suppress the growth of P. palmivora relative than non bamboo
rhizosphere. Effectiveness of bamboo rhizosphere as disease suppressive soil
determined by chemical properties, including: low pH; high Cation Exchange
Capacity, high C-organic, P2O5 in the soil, and biological properties, including:
high total bacteria, high functional microbes (chitinolitic bacteria, N-fixing

bacteria, P solubilizing bacteria), high total of IAA, and abundance of microbes
antibiosis. This research suggests the use of bamboo rhizosphere soil as a papaya
nursery medium.
Keyword: bamboo rhizosphere, Phytophthora palmivora, microbes

© Hak Cipta IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH RHIZOSFER
BAMBU SEBAGAI DISEASE SUPPRESSIVE SOIL

WINDA IKA SUSANTI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Widodo, MS.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul “Kajian Sifat Kimia dan Biologi Tanah
Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil” dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih yang setulusnya kepada Bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc. Agr selaku
ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, MSc. selaku anggota

komisi pembimbing atas bimbingannya selama proses penelitian hingga penulisan
tesis ini selesai.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada:
1.
Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Pertanian
IPB, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB dan
Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
melanjutkan program Magister Sains (S2) di IPB. Tidak lupa pula staf
pengajar dan pegawai yang ada di lingkup Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, atas segala ilmu pengetahuan dan bantuan yang telah
diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.
2.
Dirjen DIKTI yang telah memberikan dukungan dana melalui BPPDN
Calon Dosen.
3.
Ayahanda Waridi dan Ibunda Sulistyowati atas asuhan, didikan, kasih
sayang, doa restu yang tulus, dorongan semangat dan motivasi agar ananda
selalu tabah dan tegar menghadapi segala kesulitan selama menempuh
pendidikan di IPB. Terima kasih pula kepada adik-adikku Sandi Dwi

Prayoga dan Putri Dea Asmarani serta seluruh keluarga atas segala
dorongan semangat dan motivasinya.
4.
Nyimas Khadijah Nastiti Adinda (Dinda Hauw) dan keluarga yang selama
ini telah menginspirasi penulis, memotivasi, dan memunculkan semangat
kepada penulis selama menempuh pendidikan dan melaksanakan
penelitian di IPB. Juga sahabatku Nurul Ismah yang membantu dorongan
mental selama penulis menempuh pendidikan serta teman-teman dari
Wisma Bintang.
5.
Rekan-rekan seperjuangan di Program Pascasarjana Bioteknologi Tanah
dan Lingkungan atas jalinan persahabatan, kerjasama, dan kebersamaan
selama menempuh pendidikan. Terimaksih pula kepada Bu Asih Karyati,
Pak Sardjito, Bu Julaiha, dan Bu Yeti atas segala bantuan dan kemudahan
fasilitas yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di
laboratorium dan Pak Apud yang telah banyak membantu penelitian di
rumah kaca Cikabayan IPB.
Penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan
karuania-Nya sepada semuanya. Akhirnya penulis berharap semoga tesis
ini memberikan manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya di

bidang pertanian. Aminn ya Rabbal A’lamin.
Bogor, Agustus 2015
Winda Ika Susanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

vi
vi
vii
1
2
2

2

TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Mikrob Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil
Rhizosfer Tanaman Bambu
Bakteri Kitinolitik
Mikrob Pelarut P
Bakteri Pelarut K
Mikrob Panghasil IAA
Bakteri Penambat N
Patogen Phytophthora palmivora

4
4
6
6
7
7
8
8


METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan bahan
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Sifat Fisik Kimia Tanah
Pengujian Tanah Rhizosfer Bambu terhadap Bibit Pepaya
Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu

10
10
10
10
11
11

HASIL
Peranan Tanah Rhizosfer Bambu sebagai Disease Suppressive Soil
Mekanisme Disease Suppressive Soil Rhizosfer Bambu
Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu
Keragaman Mikrob Fungsional Rhizosfer Bambu
Kemampuan Antibiosis Mikrob Rhizosfer Bambu
Uji Patogenesitas Mikrob Rhizosfer Bambu

14
18
20
22
27
29

PEMBAHASAN
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

31
35
35
36
40

DAFTAR TABEL

1 Analisis sifat fisik dan kimia tanah

11

2 Pengaruh rhizosfer bambu terhadap jumlah daun dan tinggi bibit pepaya

14

3 Pengaruh rhizosfer bambu terhadap volume dan panjang akar bibit pepaya

15

4 Rata-rata Bobot Basah Tanaman pada Pembibitan Pepaya

16

5 Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap kejadian penyakit

17

6 Analisis sifat fisik dan kimia tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu

19

7 Total populasi mikrob dan kandungan IAA tanah rhizosfer bambu

21

8 Karakteristik Bakteri Rhizosfer Bambu

22

9 Mikrob fungsional rhizosfer bambu

23

10 Uji antibiosis mikrob rhizosfer bambu

28

DAFTAR GAMBAR

1

Struktur kitin yang terdiri dari monomer N-asetil glukosamin

6

2

Pertumbuhan bibit pepaya pada 15 HST

17

3

Pertumbuhan bibit pepaya pada 30 HST

18

4

Mikrob pelarut fosfat tanah rhizosfer bambu

24

5

Bakteri kitinolitik tanah rhizosfer bambu

25

6

Bakteri penambat N2 tanah rhizosfer bambu

26

7

Bakteri pelarut kalium tanah rhizosfer bambu

27

8

Antibiosis cendawan dan bakteri rhizosfer bambu

27

9

Kelimpahan mikrob antibiosis rhizosfer bambu

28

10 Uji patogenitas bakteri rhizosfer bambu

29

11 Uji patogenitas cendawan rhizosfer bambu

30

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengamatan morfologi koloni bakteri rhizosfer bambu

40

2 Pengamatan fisiologi bakteri rhizosfer bambu

41

3 Hasil uji bakteri dan cendawan rhizosfer bambu

42

4 Hasil uji patogenesitas mikrob rhizosfer bambu

43

1

I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh di beberapa
daerah di Indonesia dengan keragaman fungsi dan spesies. Di Indonesia terdapat
60 spesies tanaman bambu dari 200 spesies yang ada di kawasan Asia Tenggara
dan dapat dijumpai di daerah yang bebas dari genangan air, mulai dari dataran
rendah hingga pegunungan. Sifat adaptasi bambu yang tergolong tinggi membuat
tanaman ini dapat tumbuh baik hampir di setiap jenis tanah (Widjaja et al. 1995).
Para petani sering menggunakan tanah perakaran (rhizosfer) bambu sebagai media
persemaian yang sudah menjadi indigenous knowledge. Diduga tanah rhizosfer
bambu memiliki peranan dalam fenomena disease suppressive soil. Mekanisme
suppressive soil dipengaruhi oleh faktor tidak langsung yaitu kondisi fisik dan
kimia tanah yang meliputi: tekstur, pH, kandungan bahan organik, C-organik,
KTK serta faktor secara langsung dan paling berperan yaitu total populasi serta
aktivitas mikrob tanah (Hadiwiyono 2010).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan tanah rhizosfer bambu
dalam mengendalikan penyakit yang dikenal sebagai disease suppressive soil pada
pengendalian penyakit tanaman pepaya. Pepaya digunakan sebagai objek
penelitian karena merupakan tanaman buah penting di Indonesia yang saat ini
mulai banyak ditanam secara intensif di perkebunan baik untuk keperluan pasar
lokal maupun ekspor. Busuk pangkal batang yang disebabkan oleh patogen
Phytophthora palmivora merupakan penyakit terpenting pada pertanaman pepaya
dan tersebar luas di dunia, termasuk di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang
dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 85%-100%. Sampai saat ini belum
ada cara pengendalian yang efektif untuk menanggulangi penyakit ini, baik secara
fisik maupun kimia sehingga diperlukan upaya yang bijaksana untuk
mengendalikan patogen ini (Wibowo et al. 2003; Chliyeh et al. 2014).
Hingga saat ini telah banyak dilaporkan mikrob antagonis potensial asal
rhizosfer bambu yang memiliki daya antagonisme terhadap patogen tular tanah
(soil borne disease) melalui mekanisme antagonis berupa persaingan hidup,
parasitisme, antibiosis dan induced systemic resistence. Selain menekan
perkembangan patogen, mikrob rhizosfer juga dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman melalui berbagai mekanisme, diantaranya melalui produksi senyawa
stimulan pertumbuhan seperti fitohormon. Di dalam tanah banyak mikrob yang
mempunyai kemampuan dalam melarutkan fosfat dan kalium, menambat N2, dan
menghasilkan fitohormon. Mikrob ini dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
dengan memproduksi senyawa fitohormon indole acetic acid (IAA) sebagai
nutrisi bagi tanaman (Aryantha et al. 2004; Zahir et al. 2004).
Penelitian terhadap keberadaan dan keragaman mikrob rhizosfer bambu
telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Menurut Sharma et al. (2010)
pada rhizosfer tanaman bambu sehat ditemukan cendawan antagonis seperti
Aspergillus, Penicillium, Trichoderma yang mampu menekan patogen Fusarium
dan Phytophthora. Penelitian yang dilakukan oleh Asniah et al. (2013)
menunjukkan bahwa inokulasi fungi Paecilomyces sp dan Chaetomium globosum
asal rhizosfer bambu ke dalam tanah persemaian berpengaruh nyata terhadap

2

penurunan indeks penyakit akar gada dan peningkatan bobot basah tanaman
brokoli. Penelitian yang dilakukan Tu et al. (2013) di Cina terhadap rhizosfer 6
spesies bambu menunjukkan bahwa total populasi cendawan dan bakteri serta
aktivitas mikrob pada tanah rhizosfer bambu sangat tinggi dan berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan tanah rhizosfer bambu
dalam fenomena disease suppressive soil, yang menekan penyakit busuk pangkal
batang yang disebabkan oleh P. palmivora dan meningkatkan pertumbuhan bibit
pepaya. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui mekanisme disease suppressive
soil yang terjadi pada rhizosfer bambu tersebut dilihat dari sifat kimia dan biologi
tanah.
Rumusan Masalah
Tanaman bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh di beberapa
daerah di Indonesia. Banyak sekali spesies bambu dengan keragaman fungsinya.
Selain itu, para petani juga sering menggunakan tanah perakaran bambu sebagai
media persemaian yang sudah menjadi indigenous knowledge. Diduga di rhizosfer
bambu tersebut terdapat banyak mikrob bermanfaat dalam fenomena disease
suppressive soil yang berkaitan dengan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pepaya merupakan buah-buahan tropis yang banyak diminati, termasuk di
Indonesia karena memiliki banyak manfaat di antaranya sebagai sumber nutrisi,
menjaga kesehatan tubuh, dan bahan baku industri. Namun, dalam budidayanya
tanaman ini sering ditemui organisme pengganggu tanaman khususnya yang
disebabkan oleh P. palmivora penyebab penyakit busuk akar dan pangkal batang.
Pemanfaatan tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil sangat
potensial untuk menekan perkembangan patogen ini melalui berbagai mekanisme.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil
dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah ?
2. Bagaimanakah keragaman fungsional mikrob rhizosfer bambu dalam
kaitannya dengan fenomena disease suppressive soil?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji pengaruh tanah rhizosfer bambu sebagai disease suppressive soil
dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah.
2. Mempelajari dan mengkaji keragaman fungsional mikrob rhizosfer bambu
dalam kaitannya dengan fenomena disease suppressive soil.

Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi, data, dan pengetahuan
baru mengenai keragaman bakteri dan cendawan yang diisolasi dari rhizosfer

3
tanaman bambu dalam fenomena disease suppressive soil yang berpotensi
mengendalikan patogen tanaman, misalnya Phytophthora palmivora penyebab
penyakit busuk akar dan pangkal batang tanaman pepaya. Selain itu, dapat
diperoleh informasi mengenai peranan serta mekanisme bakteri dan cendawan
yang menghuni rhizosfer bambu dalam menekan patogen tanaman dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman, mengingat tanah perakaran bambu ini
sering digunakan oleh petani sebagai media persemaian.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Mikrob Rhizosfer Sebagai Disease Suppressive Soil
Penggunaan mikrob rhizosfer sebagai agensia pemacu pertumbuhan
tanaman dan pengendali hayati (Plant Growth-Promoting and Bioprotecting
Rhizobacteria/ PGPBR) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya
dukung lahan sehingga produktivitas tanaman dapat meningkat. Penggunaan
PGPBR akan sangat bermanfaat jika isolat-isolat indigenus dilakukan sedikit
modifikasi, sehingga dengan mudah mampu beradaptasi apabila diaplikasikan ke
lingkungan alaminya. Dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia,
penggunaan PGPBR memiliki beberapa keuntungan antara lain : (i)
penggunaannya tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, (ii) tidak
mengandung bahan beracun yang dapat menimbulkan residu pada rantai makanan,
(iii) tidak memerlukan aplikasi berulang, karena mikroba dapat memperbanyak
diri selama lingkungan mendukung perkembangannya, (iv) tidak menimbulkan
efek samping terhadap organisme yang bermanfaat pada tanaman, dan (v) dapat
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen (Zhang et al. 2002).
Mekanisme PGPBR sebagai pemacu pertumbuhan dan agensia pengendali hayati
belum sepenuhnya dimengerti, namun diduga erat kaitannya dengan beberapa
mekanisme seperti (i) kemampuan menghasilkan atau mengubah konsentrasi
hormon tumbuh seperti indole acetic acid (IAA), gibberellic acid, cytokinins, dan
ethylene; (ii) fiksasi N2 secara bebas; (iii) bersifat antagonis antibiotik dan sianida,
dan (iv) kemampuan melarutkan mineral fosfat dan hara lainnya (Cattelan et al.
1999). Pengendalian hayati patogen tanaman oleh mikrob rhizosfer dapat melalui:
produksi siderofor, ß-1,3-glukanase, kitinase. Mikrob yang dapat hidup pada
daerah rhizosfer sangat sesuai digunakan sebagai agen pengendalian hayati,
mengingat bahwa rhizosfer adalah daerah yang utama dimana akar tumbuhan
terbuka terhadap patogen. Jika terdapat mikrob antagonis pada daerah ini, patogen
akan berhadapan selama menyebar dan menginfeksi akar.
Menurut Rao (1999) dalam tanah banyak bakteri yang mempunyai
kemampuan melepas P dari ikatan Fe, Al, Ca dan Mg sehingga P yang tidak
tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, salah satunya adalah Pseudomonas. Selain
itu, juga terdapat mikroba penghasil fitohormon yang berperan dalam penyediaan
dan penyerapan unsur hara bagi tanaman. Bakteri ini dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman dengan memproduksi hormon IAA sebagai nutrisi bagi
tanaman (Aryantha et al. 2004). Kedua jenis bakteri tersebut dapat digunakan
sebagai Biofertilizer yang dapat memacu pertumbuhan tanaman tanpa
membahayakan lingkungan.

Rhizosfer Tanaman Bambu
Gigantochloa apus (Bambu Apus)
Bambu ini diduga berasal dari Burma dan Thailand bagian Selatan. Di
Jawa, bambu tali tumbuh dan tersebar luas dan sudah menyebar juga ke daerah
Sumetera Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah. Bambu tali memiliki

5
sifat adaptasi yang tingi sehingga cepat tumbuh dan tidak membutuhkan kondisi
tanah yang khusus. Ciri dari bambu ini di antaranya adalah buluhnya berwarna
hijau kekuningan, ketika masih muda terdapat lapisan lilin pada bagian bawah
bukunya, pelepah buluh yang selalu melekat pada buluhnya, termasuk tanaman
simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 cm dengan diameter buluh 4-13, tebal
buluh 1,5 cm, berwarna hijau terang sampai kuning, panjang ruas 20-60 cm dan
buku sedikit membengkok pada bagian luar (Widjaja et al. 1995).
Dendrocalamus asper (Bambu Betung)
Beberapa ciri dari bambu betung di antaranya adalah rumpun yang agak
sedikit rapat dengan tinggi batang dapat mencapat 20 m dan dengan diameter 20
cm. Pada buku bambu betung sering terdapat akar pendek dan menggerombol.
Panjang ruas batang bambu betung berkisar antara 40-60 cm. Dinding buluh
bambu betung cukup tebal yaitu berkisar 0,5-3 cm. Cabang bambu betung yang
mampu bercabang lagi hanya terdapat pada buku-buku bagian atas batang dan
pelepah buluhnya mudah jatuh. Panjang pelepah buluh bambu betung adalah 2055 cm dengan miang berwarna coklat keputihan. Bambu ini tumbuh baik pada
ketinggian 0-2000 mdpl, akan tumbuh baik jika tanahnya cukup subur terutama di
daerah yang beriklim tidak terlalu kering (Widjaja et al. 1995).
Schizostachyum longispiculatum (Bambu Jalur)
Bambu ini rumpunnya rapat dan tegak dengan ujung buluh yang terkulai.
Tinggi buluh mencapai 7,5 m. Buluhnya ramping dan kecil dengan gaya tengah
sampai 6 cm. Masing-masing ruas panjangnya tidak lebih dari 75 cm.
Percabangan terdapat mulai dari buku-buku yang dekat dengan tanah, pendek dan
tumbuhnya sama besar. Warna buluhnya hijau, pelepah buluhnya berwarna
kuning kotor dan mudah sekali terlepas dari buluhnya. Daun pelepah buluhnya
berbentuk pita, panjang dengan ujung yang lancip. Bambu ini menyukai tanah
terbuka di dataran rendah dengan ketinggian di bawah 300 mdpl (Widjaja et al.
1995).
Bambusa vulgaris (Bambu Kuning)
Bambu kuning mempunyai rumpun agak jarang. Buluhnya tegak atau agak
condong, tinggi antara 15 m dan 20 m dengan garis tengah sampai 10 cm.
Buluhnya berwarna kuning, hijau bertotol coklat, hijau mengkilat atau kuning
bergaris hijau. Percabangan terdapat pada buku-buku bagian atas, tapi tidak jarang
dijumpai cabang pada buku pada bagian bawah. Letak cabang berselang-seling.
Cabang primer lebih besar dari cabang-cabang yang lain. Pelepah buluhnya
berniang hitam, dengan pelepah buluh yang masih menempel. Daun pelepah
buluh berbentuk bundar telur melebar. Kuping daunnya ada dan jelas. Bambu
kuning sangat mudah beradaptasi dengan bermacam-macam tanah dan
kelembaban, di daerah-daerah dengan ketinggian sampai 700 mdpl. Seringkali
jenis ini dijumpai di pematang sawah. Jika rumpun bambu dipotong, dengan
mudah dapat tumbuh kembali. Rebungnya dapat dimakan sebagai sayuran.
Biasanya rebung ini dipotong segera setelah tumbuh, sebab pertumbuhannya cepat,
sehingga cepat pula rebung ini akan menjadi buluh muda. Dalam waktu 2 minggu
buluh yang muda dapat mencapai tinggi 4 m (Widjaja et al. 1995).
.

6

Bakteri Kitinolitik
Kitinase adalah enzim yang mendegradasi kitin menjadi Nasetilglukosamin, degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme kitinolitik
dengan melibatkan enzim kitinase. Mikrob pendegradasi kitin umumnya berasal
dari kelompok bakteri. Enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik
mempunyai potensi tinggi untuk mendegragadi kitin sehingga dapat berfungsi
sebagai agen biokontrol terhadap patogen tanaman maupun serangga hama yang
umumnya memiliki komponen kitin pada dinding selnya (Muharni 2009). Bakteri
kitinolitik dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti rhizosfer, filosfer, tanah
atau dari lingkungan air. Selain lingkungan mesofil, bakteri kitinolitik juga telah
berhasil diisolasi dari lingkungan termofilik seperti sumber air panas. Beberapa
bakteri kitinolitik dari berbagai sumber telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi,
misalnya Vibrio furnisi, Serratia marcescens, Bacillus circulans, Pseudomonas
aeruginosa, Alkaligenes denitrificans, Agrobacterium sp, Aeromonas hydrophila
yang mendegradasi kitin dan memanfaatkan N-asetilglukosamin sebagai sumber
karbon (Herdyastuti et al. 2009).
Bakteri kitinolitik dapat diperoleh dari sumbernya dengan cara
menumbuhkan dalam media yang mengandung kitin. Aktivitas kitinolitik
diinduksi dalam media pertumbuhan strain dengan adanya kitin sebagai sumber
karbon (Chernin et al. 1998). Suspensi koloidal kitin digunakan dalam media
agar nutrien untuk isolasi bakteri kitinolitik. Koloidal kitin adalah kitin yang
dilarutkan dalam asam klorida pekat sebagai media selektif untuk mendapatkan
Actinomycetes dari air dan tanah. Bakteri kitinolitik dapat diseleksi keberadaannya
dengan mendegradasi media agar kitin yang dapat dideteksi dengan adanya zona
bening di sekitar koloni bakteri (Muharni 2009).

Gambar 1 Struktur kitin yang terdiri dari monomernya N-asetil-glukosamin dan
sisi spesifik pemotongan kitinase

Mikrob Pelarut Fosfat
Mikrob pelarut fosfat hidup terutama di sekitar perakaran tanaman dan
keberadaannya dari satu tempat ke tempat yang lain sangat beragam. Akar
tanaman mempengaruhi kehidupan mikrob tersebut dan secara fisiologis mikrob

7
pelarut fosfat yang berada dekat dengan daerah perakaran lebih aktif daripada
yang hidup jauh dari perakaran. Pertumbuhan mikrob pelarut fosfat sangat
dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikroba
didominasi oleh kelompok cendawan sebab pertumbuhan cendawan optimum
pada pH 5-5,5. Pertumbuhan cendawan menurun bila pH meningkat. Cendawan
dalam tanah berbentuk miselium vegetatif ataupun spora yang tersebar di antara
partikel tanah dan tersusun dalam hifa-hifa bersepta atau tidak. Sebaliknya
pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH sekitar netral dan meningkat
seiring dengan meningkatnya pH tanah. Secara umum bakteri pelarut fosfat yang
dominan yang diisolasi dari rizosfer tanah termasuk ke dalam golongan mikrob
aerob pembentuk spora, hidup pada kisaran pH 4-10 (Sharma 2011; Reena et al.
2013).
Mikrob pelarut fosfat terdiri atas bakteri, fungi, dan sedikit aktinomiset.
Mikrob yang termasuk dalam kelompok bakteri pelarut fosfat misalnya
Pseudomonas striata, P. diminuta, P. fluorescens, P. cerevisia, P. aeruginosa, P.
putida, P. denitrificans, P. rathonis, Bacillus polymyxa, B. laevolacticus, B.
megatherium, Escherichia freundii, dan lain-lain. Sedangkan fungi yang dapat
melarutkan fosfat umumnya berasal dari kelompok Deuteromycetes misalnya
Aspergillus niger, A. awamori, A. tubingensis, Fusarium sp., Penicillium
digitatum, P. oxalicum, P. bilaji dan lain-lain. Fungi pelarut fosfat yang dominan
di tanah adalah Penicillium dan Aspergillus (Vance et al. 2003; Tallapragada et al.
2012).
Mikrob Pelarut Kalium
Mikrob memainkan peran kunci dalam siklus K alami. Ada cukup bakteri
pelarut K di dalam tanah dan rhizosfer sehingga mikrob yang dapat melarutkan K
bisa menjadi teknologi alternatif untuk membuat kalium tersedia bagi penyerapan
tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikrob dapat mempercepat
pelapukan mineral dan batuan dengan menghasilkan asam-asam organik,
senyawa-senyawa fenolik, siderofor, dan senyawa metabolit lainnya. Beberapa
genus bakteri, seperti Bacillus, Pseudomonas dan Burkholderia serta fungi dari
spesies Aspergillus niger dan Aspergillus terreus mampu melarutkan K dari
mineral batuan. Mikrob pelarut K berpotensi sebagai pupuk hayati yang mampu
meningkatkan ketersediaan unsur hara K bagi tanaman. Pupuk hayati ini sangat
berperan penting dalam meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan tanah serta
pertumbuhan tanaman (Prajapati et al. 2012).

Mikrob Penghasil Fitohormon
Mikrob penghasil IAA mampu menghasilkan fitohormon yang dapat
mempercepat pertumbuhan tanaman. Hormon IAA adalah auksin endogen yang
berperan dalam pembesaran sel, menghambat pertumbuhan tunas samping,
merangsang terjadinya absisi, berperan dalam pembentukkan jaringan xilem dan
floem, dan juga berpengaruh terhadap perkembangan dan pemanjangan akar
(Patten & Glick 2002). Menurut Rao (1999) dalam tanah banyak bakteri yang
mempunyai kemampuan melepas P dari ikatan Fe, Al, Ca dan Mg sehingga P

8

yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, salah satunya adalah
Pseudomonas. Selain itu, juga terdapat mikroba penghasil fitohormon yang
berperan dalam penyediaan dan penyerapan unsur hara bagi tanaman. Bakteri ini
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memproduksi hormon IAA
sebagai nutrisi bagi tanaman (Aryantha et al. 2004). Kedua jenis bakteri tersebut
dapat digunakan sebagai pupuk hayati yang dapat memacu pertumbuhan tanaman
tanpa membahayakan lingkungan. Berbagai hasil penelitian sebelumnya
melaporkan bahwa beberapa mikroba mampu menghasilkan senyawa yang dapat
mempercepat pertumbuhan tanaman. Bakteri Rhizobium yang terseleksi mampu
menstimulasi pertumbuhan, baik pada tanaman Leguminoceae (tanaman kacangkacangan) maupun yang bukan Leguminoceae. Bakteri tersebut terbukti mampu
memproduksi fitohormon yaitu sitokinin dan auksin (Moeinzadeh et al. 2010).
Sedangkan Bacillus megaterium dilaporkan dapat melarutkan fosfat. Selain itu
beberapa strain dari genus Pseudomonas, Bacillus dan Rhizobium yang diisolasi
dari negara tropis, juga dilaporkan dapat melarutkan fosfat (Rodríguez & Fraga
1999).
Mikrob Penambat N2
Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro esensial yang menyusun sekitar
1,5 % bobot tanaman dan terutama berfungsi untuk pembentukan protein. Di
atmosfer, nitrogen merupakan unsur paling dominan (80% dari seluruh gas yang
ada), tetapi tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman. Nitrogen
bersifat labil karena mudah berubah bentuk dan hilang baik melalui volatilitas
ataupun pelindihan. Di daerah rhizosfer tanaman terdapat beberapa bakteri
penambat N non -simbiotik yang hidup bebas seperti Azotobacter (Hanafiah 2010).
Beberapa speies Azotobacter menghasilkan protein untuk mengikat nitrogenase
dan melindunginya dari kerusakan oleh oksigen. Selain itu, beberapa bakteri
aerobik diazotrof menghasilkan koloni besar dan gummy (ekstraseluler
polisakarida) pada media agar bebas nitrogen yang berfungsi sebagai penghalang
koloni terhadap paparan oksigen (Hastuti 2007). Azotobacter memiliki bentuk
yang sangat variatif, bersifat gram negatif yang aerob obligat, serta tumbuh baik
pada media defisien N serta menghasilkan lendir kapsul jika diberikan glukosa
sebagai sumber karbon. Adanya akumulasi bakteri ini pada rizosfer merupakan
cerminan adanya stimulasi eksudat akar muda berupa berbagai gula, yang
mendorong migrasi dan pembelahan sel-selnya, serta perkecambahan kista. Hal
ini menjelaskan kerja fungistatis dalam tanah (Hanafiah 2010).
Patogen Phytophthora palmivora pada Pepaya
Patogen ini dahulu disebut Ph. faberi Maubl., mudah dibiakkan pada alas
makanan yang umum, membentuk banyak sporangium besar dalam karangan
simpodium mempunyai papil terminal yang menonjol. Setelah masak, sporangium
lepas dari sporangiofornya beserta dengan pedisel yang pendek. Sporangium ratarata memiliki ukuran 40-60 um x 25-35 um. Sporangium berkecambah dengan
membentuk hifa atau dengan mengeluarkan 10-40 lebih spora kembara
(zoospora). Membentuk klamidospora bulat atau agak bulat, terminal atau

9
interkalar, dinding tebal atau tipis, tumbuh dengan membentuk hifa. Jika 2 hifa
dipertemukan akan membentuk oogonium dengan oospora bulat dan rata-rata
bergaris tengah 22-24 um (Chliyeh et al. 2014).
Gejala penyakit pada tanaman pepaya adalah mula-mula daun bawah layu,
menguning dan menggantung di sekitar batang sebelum rontok. Seterusnya daundaun yang agak muda menunjukkan gejala yang sama, hingga tanaman hanya
mempunyai sedikit daun-daun kecil di puncaknya da akhirnya tanaman mati.
Beberapa tanaman mati dengan cepat, sedang lainnya tampak menjadi sembuh
kembali untuk beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika digali maka akan
tampak akar-akar lateral membusuk, berwarna kecoklatan, lunak, dan berbau tak
sedap. Pembusukkan semakin meluas hingga tanaman menjadi roboh. Seringkali
pembusukan meluas pada pangkal batang di atas permukaan tanah. Pada
persemaian pepaya, penyakit ini timbul sebagai penyakit semai atau damping off
di mana pangkal batang membusuk dan tampak seperti selai. Penyakit ini juga
dapat timbul pada buah yang masih hijau. Buah membusuk, tetapi tetap keras.
Pada umumnya pembusukan mulai dari dekat tangkai. Buah diliputi oleh
miselium berwarna putih, seperti beledu hingga akhirnya buah mengeriput dan
berwarna hitam (Klement et al. 1990; Semangun 2004).

10

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai April 2015 di
Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan dan Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
IPB. Uji pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap pengendalian P. palmivora dan
peningkatan pertumbuhan bibit pepaya dilakukan di kebun percobaan IPB di
Cikabayan.
Bahan dan Alat
Bahan- bahan yang digunakan adalah tanah rhizosfer dan non rhizosfer
bambu, media Marthin Agar, PDA, NA, NB, Alexandrov, kitin agar, dan
Pikovskaya, benih pepaya var. Calina, isolat P. palmivora, larutan fisiologis,
alkohol 70%, aquadest, buffer fosfat, L-triptofan, larutan stok IAA, bahan fase
gerak High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Alat yang digunakan di
laboratorium adalah autoklaf, bunsen, cawan petri, erlenmeyer, inkubator, ose,
kaca objek, kaca penutup, magnetic stirrer, mikroskop, pipet serologis, shaker,
soil tester, spatula, tabung reaksi, timbangan, vortex, unit HPLC. Alat yang
digunakan di lapangan adalah sekop tanah, GPS, pH meter, thermometer, kamera.

Metode Penelitian
Penelitian terdiri atas 3 bagian, yaitu: (i) tahap pengambilan sampel tanah
dan analisis kimia tanah non rhizosfer dan rhizosfer bambu, (ii) pengujian tanah
rhizosfer bambu terhadap penyakit busuk batang dan pertumbuhan bibit pepaya di
rumah kaca, dan (iii) kajian biologi tanah rhizosfer bambu yang meliputi: total
populasi mikrob, kandungan IAA total ekstrak tanah, keragaman mikrob
fungsional (mikrob pelarut fosfat, bakteri penambat nitrogen, bakteri pelarut
kalium, bakteri kitinolitik) serta jumlah mikrob antibiosis yang meliputi cendawan
dan bakteri asal rhizosfer bambu.
(i) Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Sifat Fisik Kimia Tanah
Pengambilan sampel tanah rhizosfer bambu dilakukan di beberapa lokasi di
Kabupaten Bogor Jawa Barat dengan empat spesies bambu, yaitu: Gigantochloa
apus (bambu apus) asal hutan bambu IPB, Scyzosthachyum longispiculatum
(bambu jalur) asal Desa Cangkurawok Dramaga-Bogor, Dendrocalamus asper
(bambu betung) serta Bambusa vulgaris (bambu kuning) asal kaki Gunung Salak
dan hutan bambu IPB. Sebagai pembanding, diambil pula sampel tanah non
rhizosfer bambu di sekitar hutan IPB dengan vegetasi berupa berbagai jenis
tanaman pohon, perdu, dan ilalang. Sampel tanah diambil secara komposit dengan
sekop tanah dari sekitar perakaran bambu dengan kedalaman 0-20 cm sebanyak 5
titik per tanaman. Setiap lokasi pengambilan sampel diwakili oleh 5 tanaman.

11
Setelah itu, sampel tanah dicampurkan dan sebanyak 500 g dimasukkan dalam
kantung plastik tipis untuk isolasi bakteri dan cendawan di laboratorium serta
3000-4000 g tanah untuk uji rumah kaca.
Setiap sampel tanah pada masing-masing rhizosfer tanaman bambu dan tanah
non rhizosfer dianalisis sifat fisik dan kimia tanahnya yang meliputi:
Tabel 1 Analisis sifat fisik dan kimia tanah
Analisa
Metode
pH
pH meter- glass electrode
Kadar air
Gravimetri
C-organik
Walkey Black
N-total
Kjeldhal
P-total
HClO4: HNO3 (1:5) spektrofotometer
K-total
HClO4: HNO3 (1:5) AAS
KTK
NH4OAc 1 N pH 7
Tekstur: (%) pasir debu liat
(ii) Pengujian Tanah Rhizosfer Bambu terhadap Penyakit Busuk Batang
dan Pertumbuhan Bibit Pepaya
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan tanah rhizosfer
bambu dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan penyakit busuk
pangkal batang yang disebabkan oleh P. palmivora. Media tanam yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tanah rhizosfer bambu dan sebagai kontrol digunakan
tanah non rhizosfer bambu. Tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu dibersihkan
dari akar-akar tanaman dan dimasukkan ke dalam polibag diameter 11x14 cm.
Benih pepaya var. Calina ditanam pada media tanah tersebut di dalam polibag
dengan setiap polibag 1 benih pepaya. Setelah berumur 1 minggu, media tanah
tersebut diinokulasikan P. palmivora kepadatan 103 spora g-1 berat kering tanah
dengan cara disiramkan, kemudian dilakukan pengamatan. Penanaman bibit
pepaya dilakukan selama 30 hari dengan pemeliharaan yang meliputi penyiraman,
pemupukan, dan pengendalian hama. Pengamatan meliputi kejadian penyakit
tanaman, tinggi tanaman, jumlah daun, volume akar, dan bobot basah. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 7 perlakuan media tanam (tanah non rhizosfer bambu, rhizosfer D. asper
KGS, rhizosfer D. asper hutan IPB, rhizosfer B. vulgaris KGS, rhizosfer B.
vulgaris hutan IPB, rhizosfer S. longispiculatum, rhizosfer G. apus) dan 6 ulangan.
Setiap ulangan terdiri atas 4 sub unit sehingga total seluruh unit adalah 168
polibag. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam pada taraf α0.05.
Apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range
Test).
(iii) Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu
Kajian Total Populasi Mikrob dan Kandungan IAA
Isolasi mikrob dilakukan dengan teknik pengenceran dengan dua ulangan.
Sebanyak 10 g contoh tanah rhizosfer bambu dari kedalaman 0-20 cm
disuspensikan ke dalam labu Erlenmeyer yang berisi 90 ml aquadest dan
diguncang menggunakan shaker dengan kecepatan 120 rpm selama 15 menit.

12

Suspensi yang dihasilkan dibuat seri pengenceran hingga 10-7 dalam tabung reaksi.
Untuk isolasi bakteri, diambil sebanyak 0.1 ml pada pengenceran 10-6 dan 10-7
kemudian dibiakkan pada media Nutrient Agar (NA), sedangkan cendawan pada
pengenceran 10-3 dan 10-4 dan dibiakkan pada media Martin Agar (MA). Semua
isolat bakteri dan cendawan yang diperoleh dihitung jumlah koloninya dan
dimurnikan. Perhitungan kandungan IAA potensial dari ekstrak tanah
menggunakan metode analisis HPLC.
Perhitungan:
Total populasi cfu g-1 tanah kering = (jumlah koloni) x (fp)
Berat kering tanah
Keterangan:
fp = faktor pengenceran pada cawan petri yang koloninya dihitung
bk = berat kering contoh tanah (g) = berat basah x (1- kadar air)
Untuk pengujian IAA, masing-masing sampel tanah disaring (< 2 mm)
kemudian ditimbang sebanyak 3 g ke dalam tabung sentrifus propilena. Sampel
tanah tersebut harus dijaga kelembabannya (jaga pada suhu in situ). Kemudian
ditambahkan 5 ml larutan buffer fosfat netral (PP7) dan mencampurkannya
dengan spatula, kocok agregat dengan sonifikasi selama 5 detik dalam ultrasonic
bath. Suspensi tanah tersebut kemudian disentrifus pada 5000 x g (swing out
rotor) selama 30 menit pada suhu 40 C dan diambil supernatannya dengan hatihati, filter (0.45 um) dengan slight partial vacum ke dalam gelas vial 15 ml.
Setelah itu, cuci permukaan tanah dua kali dengan 1 ml larutan PP7, filter kembali
suspensi cucian dan cuci permukaan peralatan filtrasi bagian dalam dua kali
dengan 1 ml PP7 ke dalam vial sehingga diperoleh 9-10 ml filtrat. Filtrat atau
supernatan ini langsung digunakan untuk pengukuran kadar IAA dengan analisis
HPLC.
Kajian Mikrob Fungsional Rhizosfer Bambu
Dalam mengisolasi mikrob pelarut fosfat, pelarut kalium, bakteri kitinolitik,
bakteri penambat N2 media yang digunakan masing-masing adalah Pikovskaya,
Alexandrov, kitin agar, dan NFM. Sampel tanah yang akan diisolasi diencerkan
hingga pengenceran 10-6 dalam tabung reaksi. Untuk mengisolasi Bakteri Pelarut
Fosfat (BPF) dan bakteri penambat N2, diambil 0.1 ml dari hasil pengenceran 10-5
dan 10-6, sedangkan untuk mikrob pelarut kalium, bakteri kitinolitik dan
Cendawan Pelarut Fosfat (CPF) pada pengenceran 10-3 dan 10-4. Hasil isolasi
kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 28 – 310C selama 3 – 7
hari. Koloni cendawan atau bakteri yang tumbuh dan membentuk zona bening
pada media Pikovskaya merupakan mikrob pelarut fosfat (Sharma et al. 2011),
bakteri yang membentuk zona bening pada media Alexandrov adalah bakteri
pelarut kalium (Prajapati et al. 2012), sedangkan yang membentuk zona bening
pada media kitin agar adalah bakteri kitinolitik (Muharni 2009). Bakteri penambat
N2 ditandai dengan adanya bakteri yang tumbuh pada media bebas N dengan
koloni berbentuk seperti lendir.

13
Kajian Antibiosis Mikrob Rhizosfer Bambu Secara in vitro
Uji antagonisme secara in vitro dilakukan dengan metode dual culture pada
medium Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan Petri. Mekanisme
penghambatan yang terjadi adalah antibiosis yang diamati dengan terbentuknya
zona bening sebagai zona penghambatan pertumbuhan P. palmivora. Untuk uji
antagonisme bakteri, sebanyak 1 lup inokulan digoreskan ke dalam cawan Petri
yang telah berisi media PDA dengan jarak 2 cm dari patogen. Untuk uji
antagonisme cendawan, ke dalam cawan Petri yang berisi media PDA diletakkan
isolat cendawan antagonis dan isolat patogen dengan diameter masing-masing
sebesar 3 mm dengan jarak 3 cm. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang dan
dilakukan pengamatan terhadap zona bening yang dihasilkan serta perhitungan
persentase antibiosis bakteri dan cendawan asal rhizosfer bambu.

Uji Patogenesitas Mikrob Antagonis Asal Rhizosfer Bambu
Uji Patogenitas Bakteri Rhizosfer Bambu
Uji patogenesitas bakteri dilakukan dengan menggunakan tanaman
tembakau (Nicotiana tabacum). Uji ini dilakukan untuk mencari isolat yang tidak
memberikan respon hipersensitif atau bersifat patogen terhadap tanaman uji.
Melalui uji ini akan diperoleh informasi mengenai sifat patogenitas isolat terhadap
tanaman, apakah isolat tersebut bersifat patogen bagi tanaman atau tidak. Masingmasing isolat yang berumur 24 jam dalam larutan fisiologis 0.85% dengan
konsentrasi 108 sel/ml, kemudian sebanyak 1 ml diinjeksikan pada area ruas daun
tembakau (Nicotiana tabacum) berumur 3 bulan. Pengamatan akan dilakukan 48
jam setelah penyuntikan. Kontrol negatif menggunakan air steril dan kontrol
positif dengan bakteri patogen tanaman. Respon patogenisitas ditunjukkan dengan
adanya nekrosis yang berwarna kecoklatan pada permukaan daun di daerah yang
telah diinjeksi oleh isolat mikrob. Nekrosis disebabkan karena kematian lokal
jaringan daun.
Uji Patogenesitas Cendawan Asal Rhizosfer Bambu
Isolat cendawan yang telah murni dari tanah perakaran bambu dan
pertumbuhan koloninya telah memenuhi cawan petri (umur biakan 10 hari)
dimasukkan benih-benih tanaman pepaya untuk dikecambahkan. Sebagai kontrol
benih dikecambahkan pada media martin agar (MA) steril tanpa isolat cendawan
antagonis. Setelah 5-10 hari dimana benih telah berkecambah ditandai dengan
akar yang telah muncul dan diharapkan akar dan cendawan telah berasosiasi.
Setelah itu, dilakukan pengamatan apakah cendawan tersebut bersifat patogen
pada benih-benih tanaman papaya atau tidak.

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Peranan Tanah Rhizosfer Bambu dalam Fenomena Disease Suppressive Soil
Di beberapa daerah di Indonesia, para petani sering menggunakan tanah
rhizosfer bambu sebagai media persemaian yang sudah menjadi indigenous
knowledge. Hasil penelitian ini menguraikan mengenai peranan tanah rhizosfer
bambu yang dikaji dari sifat kimia dan biologi tanah dalam meningkatkan
pertumbuhan dan ketahanan bibit pepaya terhadap serangan patogen. Penelitian
ini membuktikan bahwa tanah rhizosfer bambu bersifat disease suppressive soil
dalam menekan patogen P. palmivora penyebab busuk pangkal batang (damping
off) dan meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya melalui percobaan rumah kaca.
Pertumbuhan tanaman yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun,
panjang akar, volume akar, dan bobot basah tanaman. Pengaruh tanah rhizosfer
bambu terhadap tinggi tanaman pepaya ditunjukkan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2 Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap jumlah daun dan tinggi bibit
pepaya
Perlakuan
Pertumbuhan tanaman (30 HST)
Jumlah daun
tinggi (cm)
(helai)
Tanpa inokulasi patogen
Non Rhizosfer Bambu
7.0 d
13.77 e
14.92 de
Rhizosfer G. apus
7.0 d
Rhizosfer S. longispiculatum
7.0 d
15.83 d
Rhizosfer D. asper KGS
11.0 a
22.53 a
Rhizosfer D. asper Hutan IPB
9.0 bc
17.46 c
Rhizosfer B. vulgaris KGS
8.0 cd
17.84 c
Rhizosfer B. vulagris Hutan IPB
10.0 ab
20.20 b
Dengan inokulasi patogen
Non Rhizosfer Bambu
7.0 c
12.23 d
Rhizosfer G. apus
8.0 b
13.40 c
13.87 bc
Rhizosfer S. longispiculatum
7.0 c
Rhizosfer D. asper KGS
9.0 a
15.78 a
Rhizosfer D. asper Hutan IPB
8.0 b
13.62 c
14.62 ab
Rhizosfer B. vulgaris KGS
8.0 b
14.94 ab
Rhizosfer B. vulgaris Hutan IPB
9.0 a
Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%, KGS=kaki Gunung Salak.

Dalam penelitian ini, dilakukan uji percobaan rumah kaca pada pembibitan
tanaman pepaya selama 30 HST. Pertumbuhan bibit pepaya yang baik
diperlihatkan oleh tinggi tanaman dan jumlah daun. Bibit pepaya yang ditanam di
tanah rhizosfer bambu secara umum memiliki tinggi tanaman yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan bibit pepaya yang ditanam pada tanah non rhizosfer bambu.

15
Sama halnya dengan tinggi tanaman, pertumbuhan tanaman juga diindikasikan
dengan jumlah daun tanaman yang tumbuh. Semakin baik pertumbuhan tanaman,
jumlah daun tanamannya juga semakin banyak. Pada perlakuan tanpa inokulasi
patogen ataupun dengan inokulasi patogen, bibit pepaya yang ditanam pada
beberapa jenis rhizosfer bambu memiliki jumlah daun yang lebih banyak
dibandingkan dengan jika ditanam pada tanah non rhizosfer bambu, kecuali
penanaman bibit pepaya pada rhizosfer G. apus dan rhizosfer S. longispiculatum
yang tidak berbeda nyata dengan penanaman bibit pepaya pada tanah non
rhizosfer bambu. Penanaman bibit pepaya pada rhizosfer D. asper KGS dan B.
vulgaris hutan IPB menunjukkan nilai pertumbuhan tanaman terbaik (Tabel 2).
Selain tinggi tanaman dan jumlah daun, pertumbuhan bibit pepaya yang baik juga
diindikasikan oleh volume dan panjang akar tanaman, baik yang diinokulasi
dengan patogen P. palmivora ataupun yang tanpa inokulasi patogen.
Tabel 3 Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap volume dan panjang akar
bibit pepaya
Perlakuan
Parameter akar
Volume (cm3)
Panjang(m)
Tanpa inokulasi patogen
Non Rhizosfer Bambu
0.26 b
4.14 a
Rhizosfer G. apus
0.29 b
4.42 a
Rhizosfer S. longispiculatum
0.36 ab
4.32 a
Rhizosfer D. asper KGS
0.46 a
4.32 a
Rhizosfer D. asper Hutan IPB
0.32 b
4.61 a
Rhizosfer B. vulgaris KGS
0.28 b
4.34 a
Rhizosfet B. vulgaris Hutan IPB
0.44 a
4.56 a
Dengan inokulasi patogen
Non Rhizosfer Bambu
0.27 d
4.37 a
Rhizosfer G. apus
0.29 cd
3.95 a
0.33 bcd
Rhizosfer S. longispiculatum
3.91 a
Rhizosfer D. asper KGS
0.42 a
3.81 a
Rhizosfer D. asper Hutan IPB
0.34 bc
4.79 a
Rhizosfer B. vulgaris KGS
0.38 ab
4.06 a
Rhizosfer B. vulgaris Hutan IPB
0.38 ab
4.06 a
Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%, KGS=kaki Gunung Salak.

Penanaman bibit pepaya pada tanah non rhizosfer bambu dan pada tanah
rhizosfer bambu tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar bibit pepaya,
namun berpengaruh nyata terhadap volume akar bibit pepaya. Penanaman bibit
pepaya pada rhizosfer D. asper KGS dan B. vulgaris berpengaruh nyata terhadap
volume akar dan memberikan nilai volume akar tertinggi (Tabel 3). Nilai volume
akar yang tinggi akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik karena
penyerapan unsur hara, nutrisi, air dan garam-garam mineral dari tanah ke tubuh
tanaman menjadi lebih baik. Semua perlakuan tanah sebagai media pembibitan
menghasilkan panjang akar yang memiliki nilai rata-rata sama, baik bibit tanaman
pepaya yang diinokulasi dengan patogen ataupun bibit tanaman pepaya tanpa
diinokulasi dengan patogen.

16

Volume akar yang baik akan berpengaruh positif terhadap perkembangan
populasi mikrob yang terdapat pada tanah sekitar bambu tersebut. Nilai volume
akar yang tinggi diindikasikan oleh banyaknya rambut-rambut akar yang akan
berpengaruh pula terhadap kuantitas dari eksudat akar yang dihasilkan. Selain
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, volume akar juga akan berpengaruh
terhadap hasil tanaman yang diperlihatkan oleh bobot basah tanaman. Terdapat
korelasi posistif antara volume akar, eksudat akar yang dihasilkan dan juga total
komunitas mikrob yang mendiami rhizosfer tanaman, baik total populasi
cendawan, bakteri, maupun komunitas mikrob fungsional tanah rhizosfer bambu.
Pengaruh tanah rhizosfer bambu terhadap bobot basah bibit pepaya diperlihatkan
pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4 Rata-rata bobot basah tanaman pada pembib