Natural infection of rabies virus on dogs: pathomorphological and immunohistochemical study

INFEKSI ALAMI VIRUS RABIES PADA ANJING :
STUDI MORFOPATOLOGI DAN IMUNOHISTOKIMIA

IBENU RAHMADANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Infeksi Alami Virus Rabies pada
Anjing : Studi Morfopatologi dan Imunohistokimia adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012


Ibenu Rahmadani
NRP. B351090031

ABSTRACT
IBENU RAHMADANI Natural Infection of Rabies Virus on Dogs:
Pathomorphological and Immunohistochemical Study. Under the supervision of
EKOWATI HANDHARYANI and EVA HARLINA.
Rabies is a zoonotic disease that remains a big problem in public health
sector in Indonesia. The pathomorphological and antigen distribution of street
rabies virus infection of the dogs brain from endemic area in Indonesia need for
further investigation. The aim of this study was to describe macroscopical,
histopathological and antigen distribution of rabid dogs which is infected with
rabies virus naturally. Fourteen brains of stray rabid dogs from Disease
Investigation Centre Bukittinggi area were used as samples. Conformatory
diagnosed based on direct fluorescence antibody technique test. Hyperemic
meningeal blood vessels were consistently found in all samples, sometimes
associated with multiple ptechie and cerebral edema. Histopathological changes
showed mild non-suppuratif meningoencephalitis with perivascullar cuffing
surrounded by lymphocyte cells, associated with gliosis. Negri bodies were found
in neuron cytoplasms in all samples mainly localized in pyramidal cells of cornua

ammons of hippocampus and cerebral cortex, while neuronal degeneration and
necrosis were mild. Viral antigens localized in perikaryon extending along the
dendrites and axon and mostly localized on pyramidal cells of hippocampus,
talamus and frontal lobes of cerebral cortex. Rabies antigen were also detected in
epithelial cells of mucogenic acini of mandibulary glands and mildly in granular
of striated duct of luminal parotidal glands. This study suggested that frontal lobes
of cerebral cortex and mandibulary glands could be used as samples for rabies test
in laboratory besides hippocampus.
Keywords: rabies, dogs, brain, pathomorphology, immunohistochemistry.

RINGKASAN
IBENU RAHMADANI. Infeksi Alami Virus Rabies pada Anjing:
Studi Morfopatologi dan Imunohistokimia. Dibimbing oleh EKOWATI
HANDHARYANI dan EVA HARLINA.
Rabies adalah salah satu penyakit zoonosis yang masih menjadi masalah
bagi kesehatan masyarakat di Indonesia dan di seluruh dunia. Diperkirakan 55.000
orang didunia setiap tahunnya meningggal akibat infeksi virus rabies, khususnya
terjadi di negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
Indonesia adalah daerah endemis rabies, hanya sembilan propinsi yang masih
dinyatakan bebas. Anjing, kucing dan kera merupakan sumber penular utama

virus rabies di Indonesia. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah pusat
maupun daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk
menurunkan angka kejadian rabies di Indonesia. Usaha yang dilakukan antara lain
dengan vaksinasi, eliminasi anjing liar, depopulasi serta pengawasan lalu lintas
hewan. Namun usaha tersebut belum mampu menurunkan angka kejadian rabies
di Indonesia bahkan ada kecenderungan daerah yang sebelumnya bebas menjadi
tertular rabies.
Diagnosa laboratorium yang tepat dan akurat merupakan salah satu
komponen utama dalam usaha pengendalian penyakit rabies. Pengambilan sampel
uji yang tepat menjadi kunci awal dalam diagnosa rabies di laboratorium.
Hipokampus merupakan bagian dari otak yang direkomendasikan Office
International des Epizooties untuk uji rabies. Karena ukurannya yang kecil serta
letaknya yang jauh dari permukaan otak, mengakibatkan kesulitan dalam
pengambilannya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan patologi
anatomi, histopatologi dan distribusi antigen virus rabies pada otak dan kelenjar
ludah anjing yang terinfeksi virus rabies secara alami. Diharapkan dalam
penelitian ini dapat memberikan informasi tentang lokasi pengambilan sampel
yang lebih mudah agar dapat terhindar dari resiko terpapar virus rabies. Teknik
pewarnaan jaringan dengan hematoksilin eosin telah dikenal dapat menjelaskan
perubahan histopatologi, sedangkan teknik pewarnaan imunohistokimia dikenal

dapat menjelaskan distribusi antigen.
Sebanyak empat belas kepala anjing yang telah didiagnosa positif
terinfeksi virus rabies berdasarkan uji direct Fluorescence Antibody Technique
digunakan sebagai sampel. Satu kepala anjing negatif virus rabies digunakan
sebagai kontrol negatif. Perubahan patologi anatomi pada otak menunjukkan
seluruh sampel (14/14) mengalami hiperemia, ptekia terjadi pada 6 sampel dan
ekimosa pada 2 sampel, sedangkan pembengkakan hanya terjadi pada 2 sampel.
Gambaran histopatolgi seluruh otak anjing yang terinfeksi virus rabies
secara alami menunjukkan menunjukkan meningoensefalitis non supuratif ringan
disertai perivascular cuffing dengan dominasi sel mononuklear khususnya sel
limfosit. Sel-sel saraf terlihat mengalami degenerasi dan nekrosis meskipun
jumlahnya sedikit. Korteks serebrum serta talamus merupakan bagian sel saraf
yang banyak mengalami degenerasi dan nekrosis, sedangkan pada hipokampus
ditemukan dalam jumlah sedikit. Degenerasi sel paling banyak terjadi pada lobus
frontalis korteks serebrum (6/14) kemudian talamus (4/14). Negri bodies dengan

mudah ditemukan pada sitoplasma sel piramida hipokampus (12/14), lobus
frontalis korteks serebrum (10/14), serta pada bagian talamus (7/14).
Distribusi antigen virus rabies terbanyak ditemukan pada bagian
hipokampus kemudian talamus dan lobus frontalis korteks serebrum. Namun

berdasarkan uji statistik tidak didapatkan perbedaan yang nyata jumlah antigen
pada talamus dan lobus frontalis korteks serebrum. Diantara empat lobus
serebrum, deposit antigen virus rabies terbanyak ditemukan pada lobus frontalis.
Perubahan histopatologi pada kelenjar mandibula menunjukkan sialodenitis
nonsupuratif dengan derajat sedang hingga berat dengan dominasi sel limfosit.
Perubahan yang terjadi pada kelenjar parotid cenderung lebih ringan. Dengan
mempertimbangkan kemudahan dalam koleksi sampel dan antigen virus rabies
terdeposit dalam jumlah yang cukup banyak, maka lobus frontalis kortek
serebrum dan kelenjar mandibula dapat dijadikan sebagai alternatif lokasi
pengambilan sampel untuk pengujian rabies di lapangan selain hipokampus.
Distribusi antigen pada jaringan menunjukkan variasi bentuk pada tiaptiap bagian antara lain titik, granul serta massa tebal berwarna coklat. Pada
talamus dan korteks serebrum antigen berbentuk titik, di hipokampus terdapat
kecenderungan berbentuk bulatan atau granul, sedangkan pada kelenjar ludah
berbentuk seperti massa yang tebal. Perbedaan bentuk antigen ini menunjukkan
tahapan perkembangan, proses replikasi dan kepadatan protein virus. Selain itu
diduga perbedaan bentuk antigen berhubungan dengan kandungan virus yang
terdapat pada masing-masing bagian. Daerah dengan antigen berbentuk granul
ataupun massa yang tebal memiliki jumlah virus yang lebih tinggi dibandingkan
daerah dengan antigen yang hanya berbentuk titik (spot).
Pada penelitian ini anjing yang diduga terinfeksi rabies secara alami tidak

dilakukan tindakan observasi terlebih dahulu, namun segera dilakukan eutanasi
oleh pemilik atau petugas peternakan setempat. Gambaran distribusi antigen pada
penelitian ini menunjukkan antigen tersebar pada berbagai bagian otak dan
kelenjar ludah. Tindakan eutanasi HPR didaerah endemis dan epidemis rabies
segera setelah terjadinya kasus gigitan tidak berpengaruh terhadap keberadaan
antigen dalam jaringan saraf dan kelenjar ludah.
Kata kunci : rabies, anjing, morfopatologi, imunohistokimia.

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1.

Dilarang mengutip sebagian atau salah seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2.


Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

INFEKSI ALAMI VIRUS RABIES PADA ANJING :
STUDI MORFOPATOLOGI DAN IMUNOHISTOKIMIA

IBENU RAHMADANI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D. APVet.


HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian

: Infeksi Alami Virus Rabies pada Anjing:
Studi Morfopatologi dan Imunohistokimia

Nama

: Ibenu Rahmadani

NRP

: B 351090031

Mayor

: Ilmu Biomedis Hewan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D. APVet
Ketua

Dr. drh.Eva Harlina, MSi. APVet
Anggota

Diketahui,
Ketua Mayor

Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Biomedis Hewan

drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D. APVet

Tanggal Ujian : 20 Januari 2012

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


Tanggal Lulus : 3 Februari 2012

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 adalah
Infeksi

Alami

Virus

Rabies

pada

Anjing:


Studi

Morfopatologi

dan

Imunohistokimia.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu drh. Ekowati Handharyani,
MS, Ph.D, APVet dan Ibu Dr. drh. Eva Harlina, MSi, APVet. yang telah banyak
meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan saran serta bimbingan selama
pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Disamping itu penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak drh. Muhammad Syibli, APVet sebagai Kepala
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional II Bukittinggi 20072010 yang telah memberikan kesempatan berharga kepada penulis untuk dapat
melanjutkan pendidikan program magister, serta Bapak drh. Azfirman Kepala
BPPV Regional II Bukittinggi 2010-sekarang yang masih memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan pendidikan. Penulis sampaikan
terima kasih kepada seluruh staf BPPV Regional II Bukittinggi, dosen dan tenaga
kependidikan Bagian Patologi FKH IPB, seluruh rekan-rekan seperjuangan
mahasiswa Pascasarjana Mayor Ilmu Biomedis Hewan dan Biologi Reproduksi
2009, serta seluruh keluarga Perwira 6. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada bapak (Alm.), ibu, istri serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Januari 2012

Ibenu Rahmadani

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pad tanggal 1 September 1977 dari ayah
H. Mardjani (Alm.) dan Ibu Hj. Piatun SPd. Penulis merupakan putra kedua dari
tiga bersaudara.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Surabaya dan pada tahun
yang sama penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga melalui jalur UMPTN. Lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun
2000 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2001. Tahun 2009 penulis
mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Mayor
Ilmu Biomedis Hewan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan
beasiswa DIPA BPPV Regional II Bukittinggi Kementerian Pertanian RI.
Penulis bekerja sebagai staf Laboratorium Patologi pada BPPV Regional
II Bukitinggi, Kementerian Pertanian RI sejak tahun 2003-sekarang.
Saat ini penulis sebagai anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia
(PDHI) dan Asosiasi Patologi Veteriner Indonesia (APVI). Karya Ilmiah berjudul
Natural Case of Rabies in Street Dogs: Pathomorphology and Antigen
Distribution Studies of Brain and Salivary Glands telah disajikan pada
International Seminar and Second Congress of Sout East Asia Veterinary School
Association (SEAVSA) di Surabaya pada bulan Juni 2011. Karya ilmiah tersebut
adalah bagian dari penelitian s2 penulis.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL.........................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR....................................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………...
Kerangka Pemikiran…………………………………………………....
Tujuan Penelitian…………………………………………………….....
Manfaat Penelitian...................................................................................
Hipotesis …………………………………………………….................

1
2
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Virus Rabies…………………………………………………………....
Genotip Lyssavirus …………………………………………………….
Penularan…………………………………………………………….....
Gejala Klinis……………………………………………………………
Patologi Anatomi dan Histopatologi…………………………………...
Patogenesis……………………………………………………………..
Replikasi Virus .......................................................................................
Diagnosa Laboratorium Rabies…………………………………….......
Anatomi dan Histologi Organ Saraf …………………………………...
Serebrum ………………………………………………………………
Sistem Limbus …………………………………………………………
Hipokampus …………………………………………………………...
Talamus ………………………………………………………………..
Kelenjar Ludah…………………………………………………………

5
6
6
7
8
9
10
11
12
12
14
15
15
16

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………………..
Sampel Penelitian………………………………………………………
Prosedur Penelitian…………………………………………………......
Sampling…………..…………………………………………………....
Pembuatan Preparat Histopatologi…… ……………………………….
Imunohistokimia…………………………………………………..........
Pengamatan Patologi Anatomi…………..……………………………..
Pengamatan Perubahan Histopatologi………………………………….
Pengamatan Imunohistokimia…………………………………….........
Analisa Data.…………………………………………………………...

17
17
17
17
18
18
19
19
20
20

Halaman
HASIL DAN PEMBAHASAN
Patologi anatomi…………..……………………………………………
Histopatologi…...……....………………………………………………
Distribusi Antigen Virus Rabies pada Jaringan..…………………….....

21
23
28

KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………

35

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...

37

1

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Perubahan patologi anatomi pada hewan yang diduga terinfeksi
virus rabies ……………………………………………………….

22

2

Perubahan histopatologi pada masing-masing bagian otak………

25

3

Distribusi antigen virus rabies pada masing-masing bagian otak
yang berbeda……………………………………………………...

28

2

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Morfologi virus rabies…………………………………………

5

2

Tahapan replikasi virus rabies…………………………………

10

3

Struktur anatomi serebrum…………………………………….

13

4

Struktur anatomi sistem limbus………………………………..

14

5

Struktur anatomi kelenjar ludah anjing………………………..

16

6

Potongan bagian otak membujur………………………………

18

7

Patologi anatomi otak anjing yang diduga terinfeksi virus
rabies………...............................................................................

23

8

Perubahan histopatologi masing-masing bagian otak…………

26

9

Perubahan Histopatologi kelenjar ludah……………………….

27

10

Distribusi antigen pada hipokampus…………………….……..

30

11

Distribusi antigen pada kelenjar ludah………...……………….

31

12

Distribusi antigen pada talamus dan korteks serebrum….……..

32

3

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

2

Skor distribusi antigen virus rabies pada masing-masing bagian
otak………………………………………………………………

43

Metode kerja pewarnaan imunohistokimia rabies……………..

44

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rabies adalah salah satu penyakit zoonosis yang bersifat neurotropik dan
neuroinvasif. Penyakit ini dapat mengakibatkan ensefalitis, paralisa dan kematian
pada hewan dan manusia. Infeksi virus rabies pada kondisi alami hanya
menimbulkan perubahan neuropatologi yang ringan tanpa didapatkan kematian sel
saraf (McGavin & Zachary 2007). Diperkirakan 55.000 orang didunia setiap
tahunnya meningggal akibat infeksi virus rabies, hal ini terjadi khususnya di
negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Knobel et al.
2005). Rabies disebabkan oleh virus dari famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus,
non segmented negative-stranded RNA dan beramplop (Hunt 2009).
Kejadian rabies di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Schoorl tahun
1884 pada kuda di Bekasi. Tahun 1889, Esser melaporkan kejadian pada kerbau
sedangkan kasus pada anjing pertama kali ditemukan tahun 1890 oleh Penning.
Kejadian pada manusia dilaporkan pertama kali oleh EV de Haan tahun 1894
(Dirjennak 1991). Hingga saat ini sudah 128 tahun penyakit rabies masih
ditemukan di Indonesia. Diantara 33 propinsi di Indonesia hanya sembilan
propinsi yang masih dinyatakan bebas yaitu DKI Jakarta, Jateng, Jatim, DIY,
Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Nusa Tengggara Barat
(Soegiarto 2010).
Hampir semua mamalia dapat tertular virus rabies. Di Indonesia 95%
kasus rabies ditularkan oleh anjing, 3,5% oleh kucing dan 1,5% oleh kera. Kurang
dari satu persen rabies ditularkan oleh sapi, kambing, domba, musang dan babi
tetapi hewan tersebut bukan merupakan sumber penular yang penting (Soegiarto
2010). Di luar negeri kelelawar, racoon, coyotte, skunk, serigala liar, dan beberapa
jenis anjing hutan sebagai vektor utama (Iwasaki & Tobita 2002).
Usaha pengendalian rabies di Indonesia telah dilakukan oleh pemerintah
antara lain dengan melakukan vaksinasi, pengendalian populasi anjing liar, serta
pengawasan lalu lintas hewan. Namun hal tersebut belum mampu menurunkan
angka kejadian rabies di lapangan, bahkan ada kecenderungan semakin bertambah
daerah yang sebelumnya bebas kemudian dinyatakan tertular rabies. Beberapa
kendala yang terjadi di lapangan dalam upaya pengendalian penyakit rabies antara

2

lain kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan vaksinasi secara rutin,
lemahnya pengawasan lalu lintas hewan, serta kurangnya kemampuan teknis
Petugas Peternakan atau Kesehatan Hewan di daerah dalam penentuan sampel
yang tepat untuk pemeriksaan rabies.
Diagnosa laboratorium yang tepat dan akurat sangat diperlukan dalam
rangka menunjang pengendalian rabies. Pengambilan sampel yang tepat sangat
penting untuk menghasilkan diagnosa yang akurat. Hipokampus merupakan
bagian dari otak yang direkomendasikan oleh OIE (Office International des
Epizooties) sebagai sampel untuk pengujian rabies (OIE 2000). Karena ukurannya
yang kecil serta terletak di bawah serebrum seringkali menyebabkan kesulitan
bagi petugas dilapangan dalam pengambilan sampel. Oleh karena itu perlu dicari
bagian lain dari sistem saraf pusat yang lebih mudah pengambilannya untuk
menghindari resiko terpapar virus.
Teknik pewarnaan imunohistokimia telah digunakan untuk menjelaskan
distribusi antigen virus rabies pada hewan dan manusia. Teknik ini mereaksikan
jaringan yang terinfeksi virus rabies dengan antibodi spesifik yang ditandai
dengan adanya perubahan warna (Sinchaisri et al. 1992). Teknik pewarnaan
imunohistokimia untuk penyakit rabies merupakan uji yang cepat, aman dan
sensitif (Jogai et al. 2000).

Kerangka Pemikiran
Penyakit rabies sampai saat ini masih menjadi masalah bagi sektor
kesehatan dan kesehatan hewan di Indonesia. Penyakit ini menyerang sistem saraf
dan menyebabkan kematian pada manusia atau hewan yang terinfeksi. Anjing,
kucing dan kera merupakan hewan pembawa rabies (HPR) utama di Indonesia.
Usaha penanggulangan rabies telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah
bekerja sama dengan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, antara lain
dengan vaksinasi masal HPR, depopulasi anjing dan pengawasan lalu lintas
hewan. Namun berbagai usaha yang telah dilakukan belum mampu menurunkan
angka kejadian rabies di Indonesia. Bahkan terdapat kecenderungan daerah yang
sebelumnya bebas menjadi daerah yang terinfeksi rabies. Beberapa kendala yang

3

dihadapi antara lain kurangnya kesadaran pemilik hewan untuk memvaksin
hewannya dan sulitnya mengendalikan populasi HPR terutama anjing.
Peranan laboratorium dalam pengendalian penyakit rabies sangatlah
penting. Diagnosa laboratorium yang cepat, tepat dan akurat sangat diperlukan
jika terjadi kasus gigitan oleh HPR. Pada manusia atau hewan yang positif
terinfeksi virus rabies harus secepatnya dilakukan vaksinasi sebelum gejala klinis
muncul. Pengambilan sampel yang tepat merupakan langkah awal untuk
mendapatkan hasil pengujian yang akurat. Hipokampus merupakan lokasi
pengambilan sampel yang direkomendasikan oleh OIE untuk pengujian rabies.
Karena ukuran yang kecil dan lokasi yang jauh dari permukaan otak seringkali
menyebabkan kesulitan dan kesalahan dalam pengambilannya. Sehingga perlu
dicari alternatif lokasi pengambilan sampel yang lebih mudah dalam
pengambilannya namun tidak mengurangi keakuratan hasil pengujian.
Penjelasan tentang patomorfologi dan distribusi antigen virus rabies pada
masing-masing bagian otak sangat diperlukan. Diharapkan dapat memberikan
informasi lokasi pengambilan sampel yang tepat untuk pengujian penyakit rabies
selain hipokampus. Teknik pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) digunakan untuk
menjelaskan patomorfologi jaringan secara umum, sedangkan teknik pewarnaan
imunohistokimia (IHK) dipergunakan untuk mendeteksi adanya antigen virus
rabies pada jaringan. Dengan menggunakan teknik IHK dapat dijelaskan pola
distribusi antigen virus rabies dalam jaringan tubuh hewan dan manusia,
berdasarkan ikatan spesifik antara antigen dan antibodi yang ditandai dengan
perubahan warna.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan patologi anatomi
dan histopatologi serta distribusi antigen pada jaringan saraf dan kelenjar saliva
anjing yang terinfeksi virus rabies secara alami.

4

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang lokasi
pengambilan sampel yang tepat dan menghindari resiko terpapar virus dalam
diagnosa penyakit rabies di lapangan.

Hipotesis
Terdapat perbedaan pola perubahan patologi anatomi dan histopatologi
serta distribusi antigen virus rabies pada masing-masing bagian jaringan sistem
saraf pusat anjing yang terinfeksi virus rabies secara alami.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Rabies
Virus Rabies
Rabies termasuk dalam famili Rhabdoviridae dari genus Lyssavirus. Virus
ini berbentuk peluru dengan ukuran 180 x 75 nm (Gambar 1), mengandung single
stranded ribonucleic acid (ss-RNA) (Rantam 2005). Nukleokapsid membungkus
RNA spiral, pada bagian luar terdapat amplop yang mengandung spike (Fenner et
al. 1993). Struktur protein virus rabies tersusun dari 5 komponen, yakni
glikoprotein (G), nukleoprotein (N), RNA dependen polymerase (L), protein
matrik (M), fosfoprotein (P). Protein L, N dan P terikat secara non-kovalen pada
avirion RNA, menghasilkan kompleks ribonukleoprotein (RNP) yang berbentuk
gulungan heliks dalam virion. Nukleokapsid dikelilingi amplop lipoprotein yang
terdiri dari protein M dan pada permukaan virion terdapat protein G (Dietzschold
et al. 2008).

Gambar 1 Morfologi virus rabies, G=Glikoprotein, N=Nukleoprotein, M=Matriks
protein, P = Phosphoprotein, L=RNA dependen polymerase (Wunner et al.
1988).

6

Diantara kelima protein diatas, nukleoprotein (N) dan glikoprotein (G)
memiliki arti yang penting. Nukleoprotein berperan langsung pada pengaturan
transkripsi, replikasi, dan faktor penting bagi adaptasi inang sedangkan
glikoprotein berperan penting dalam patogenitas, antigenitas dan menentukan
kisaran inang (Kissi et al. 1995; Tuffereau et al. 1998; Sato et al. 2004).
Kompleks ribonukleoprotein (RNP) adalah antigen yang penting dalam
menginduksi CD4+ sel T yang berperan dalam pembentukan antibodi terhadap
virus rabies (Dietzschold 1987).
Smith et al. (1992) mengelompokkan virus rabies di Indonesia satu grup
dengan isolat Cina karena tingkat homologi sekuen nukleotida mencapai 95 %.
Menurut Suwarno (2005) telah terjadi perubahan nukleotida pada fragmen gen-G
virus rabies strain alam asal Sumatera (Bukittinggi) dengan strain alam asal
Kalimantan. Perubahan nukleotida pada fragmen gen-N terjadi pada strain alam
asal Nusa Tenggara Timur dengan strain alam yang berasal dari Sulawesi.
Adaptasi terhadap lingkungan menyebabkan virus rabies mengalami perubahan
sekuens nukleotida, dimana kondisi fisik suatu daerah geografik di Indonesia
merupakan faktor pemicu terjadinya mutasi.

Genotipe Lyssavirus
Virus rabies yang berada di alam disebut street virus sedangkan yang telah
diadaptasikan di laboratorium dikenal dengan fixed virus. Berdasarkan penyebaran
inang alamiahnya, genus Lyssavirus dibedakan menjadi 7 genotipe/serotipe yakni
Rabies (genotipe 1), Lagos Bat (genotipe 2), Mokola (genotipe 3), Duvenhage
(genotipe 4), European Bat Lyssavirus type-1/EBL-1 (genotipe 5), European Bat
Lyssavirus type-2/ dan EBL-2 (genotipe 6) dan Australian Bat Lyssavirus (ABL)
(genotipe 7) (Tordo et al. 2006).

Penularan
Virus rabies ditularkan secara langsung pada hewan lain maupun manusia
melalui gigitan, goresan, jilatan hewan tersangka rabies pada kulit yang luka atau
membran mukosa, dan jarang sekali hewan ataupun manusia terinfeksi melalui
kontak langsung. Terdapat kemungkinan penularan melalui cara yang berbeda

7

yaitu ditemukan kasus positif rabies setelah transplantasi kornea, pankreas, hati,
ginjal dan paru-paru dari manusia yang terinfeksi rabies Bronnet (2007). Virus
rabies juga dapat ditularkan melalui aerosol seperti terjadi di laboratorium ataupun
di gua kelelawar (Winkler 1967). Penularan rabies secara oral berhasil dibuktikan
oleh Ramsden & Jahnston (1975) pada red fox dan skunk yang diberi makan
mencit yang diinfeksi virus rabies strain alam dan Challenge Virus Standard
(CVS). Di Massachusets, Amerika Serikat, tahun 1996 pernah dilaporkan kejadian
sekelompok orang harus divaksin anti rabies karena meminum susu yang belum
dipasteurisasi yang berasal dari sapi yang diduga rabies (CDC 1999).

Gejala Klinis
Gejala kinis pada hewan yang terinfeksi virus rabies secara alami sering
tidak spesifik dan masing-masing spesies hampir mirip namun secara individu
terdapat variasi (Murphy et al. 2006). Sebagai pedoman hanya adanya perubahan
tingkah laku. Hewan menunjukkan gejala klinis rabies diawali munculnya rasa
takut, gelisah, tidak mau makan, muntah, demam ringan, dilatasi pupil,
hipersensitif dan hipersalivasi. Beberapa kasus pada kucing tidak menyebabkan
perubahan tingkah laku, gejala klinis diawali dengan ataksia, kelemahan kaki
belakang dan diikuti dengan paralisa. Kuda yang terinfeksi sering menampakkan
gejala kolik, sedangkan pada sapi, kuda dan anjing mengalami paralisa pada laring
yang mengakibatkan perubahan nada suara. Penyakit rabies pada beberapa hewan
dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba tanpa menimbulkan gejala klinis
yang jelas. Apabila gejala klinis telah muncul biasanya hewan jarang bertahan
untuk hidup.
Kejadian di lapangan masa inkubasi penyakit rabies berlangsung beberapa
hari hingga beberapa bulan, tergantung dari virulensi, lokasi dan jumlah gigitan
(Jackson & Rossiter 2007). Secara klinis dikenal bentuk ganas (furious form),
bentuk diam (dumb form) dan bentuk tak tersifat (atypical form). Bentuk ganas
pada rabies ditandai oleh hewan yang menyerang dan menggigit setiap makhluk
atau benda yang bergerak, saliva keluar secara berlebihan dan mengalir dari mulut
atau terlihat sebagai buih disekitar mulut. Hewan umumnya berubah sifat yang
tadinya penakut berubah menjadi agresif. Rubah pada siang hari berani mendekati

8

tempat ramai, demikian pula di Amerika Utara dan Selatan, kelelawar yang
terbang kian kemari pada siang hari dicurigai menderita rabies. Bentuk diam pada
rabies ditunjukkan dengan gejala hewan berada dalam keadaan sebagian atau
sama sekali tidak sadar ditandai dengan paralisa yang progresif. Paralisa pada
rahang bawah dan tenggorokan akan menyebabkan hewan mengalami kesulitan
dalam menelan dan mengakibatkan hipersalivasi. Gejala klinis pada ruminansia
biasanya hewan mengasingkan diri dari kelompoknya, terlihat depresi, mengantuk
dan berhenti ruminasi. Gejala klinis pada bentuk tak tersifat hewan menunjukkan
gatal dan sembelit.

Patologi Anatomi dan Histopatologi
Perubahan mikroskopis pada sistem saraf pusat hewan positif rabies
adalah meningoensefalitis non supuratif ringan, perivascular cuffing yang
didominasi sel limfosit, makrofag, dan sel plasma, mikrogliosis, degenerasi
neuron, dan ganglioneuritis, dengan penekanan bahwa neuron yang terinfeksi
sedikit menimbulkan perubahan morfologi. Badan inklusi intrasitoplasma yang
disebut Negri Bodies pada sistem saraf pusat dan ganglion perifer merupakan ciri
khas infeksi virus rabies meskipun tidak ditemukan pada semua kejadian (Carlton
et al. 1995).
Negri body adalah badan sebesar 1-27 µ, yang awalnya merupakan
agregasi dari untaian nukleokapsid. Kemudian berubah bentuk secara cepat
membentuk matriks granular, berbentuk bundar, lonjong kadang berbentuk
segitiga. Semakin lama seiring berjalannya penyakit semakin besar negri bodies.
Negri bodies di jaringan otak banyak ditemukan pada hipokampus, sedangkan
pada sapi banyak ditemukan di sel purkinje serebelum. Tiap neuron dan sel glia
dalam susunan saraf pusat dapat mengandung negri bodies.
Selain limfosit pada daerah perivaskuler juga ditemukan sarang-sarang
neurofagi, kariopiknosis dan karioreksis. Perubahan spongiform ditemukan pada
hewan yang terinfeksi secara alami atau secara buatan, dan biasa ditemukan pada
neuropil substansia abu-abu talamus dan korteks serebrum yang awalnya
merupakan vakuola pada intrasitoplasma dendrit yang membesar dan menekan
jaringan disekitarnya (Carlton et al. 1995).

9

Patogenesis
Pengenalan tentang pola patogenesis penyakit rabies khususnya yang
disebabkan oleh virus rabies strain alam (street rabies virus) menjadi sangat
penting dalam mengetahui perubahan yang ditimbulkan pada jaringan. Pola dan
taraf kerusakan jaringan dapat dikaitkan dengan manifestasi klinis sehingga
berguna bagi penentuan diagnosa yang akurat, strategi pengendalian yang tepat,
serta dasar untuk mengetahui mekanisme tanggap kebal inang dalam usaha
pencegahan dan pemberantasan penyakit rabies (Murphy 1977). Selain peran
langsung dari virus rabies pada host, cara penularan, jenis host serta letak
geografik suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap kerentanan host, masa
inkubasi, gejala klinis, lama penyakit dan ekskresi virus (Hamir et al. 1996).
Pada kejadian rabies di lapangan virus rabies masuk dalam tubuh melalui
gigitan atau luka pada otot atau jaringan subkutan, kemudian terjadi replikasi pada
serabut otot untuk menghasilkan virus dalam jumlah yang cukup sebelum menuju
sistem saraf (Park et al. 2006). Virus menuju sistem saraf melalui ikatan dengan
reseptor postsynaptic asethylcholine pada neuromuscular junction (Lentz et al.
1982). Apabila virus telah berada pada saraf tepi, virus dapat terbawa aliran
aksoplasma secara retrograde atau melalui saraf sensorik atau motorik menuju
korda spinalis atau ganglion akar dorsal (Kojima 2009), sebelum berakhir pada
sistem saraf pusat. Glikoprotein berperan penting dalam distribusi virus rabies
saat terjadi infeksi pada sistem saraf.
Saat tiba di sistem saraf pusat virus menginfeksi neuron dan dendrit
kemudian terjadi replikasi besar-besaran pada membran neuron dan secara
langsung akan menyebar dari sel ke sel. Di sistem saraf pusat virus mengalami
pergerakan centripetal menuju sel asinar kelenjar ludah (salivary gland) dengan
konsentrasi virus tertingi pada kelenjar mandibula, konsentrasi virus sedang pada
kelenjar parotid dan terendah pada kelenjar sublingualis (Charlton 1983).
Replikasi virus rabies pada neuron sistem saraf pusat akan membentuk badan
inklusi intrasitoplasmik (negri bodies) (Dietzschold 2008).

10

Replikasi Virus Rabies
Infeksi dimulai ketika tonjolan protein G berinteraksi dengan membran sel
inang (Gambar2.). Protein G akan terikat pada reseptor nikotinik asetilkolin
(nACH) sehingga virus mulai menyerang dan menginfeksi sel saraf. Absorbsi
virus kedalam sel melalui pinositosis. Sekali didalam sel saraf, virus berkumpul
dalam endosom dan dengan cepat akan menurunkan pH. Saat pH berubah
konformasi protein G berubah dan menyebabkan membran viral berfusi dengan
membran endosom serta dilepaskannya protein RN dalam sitoplasma, protein
viral dan RNA masuk dalam sitoplasma.

Protein-L akan mentranskripsi 5’

mRNA dari genom RNA menggunakan nukleotida bebas dari sitoplasma sel
inang. Monosistronik mRNA adalah ujung 3’ bertudung dan ujung 5’ mengalami
poliadenilasi yang akan ditranslasi menjadi lima macam protein viral yaitu protein
N, P, M, G, L di dalam ribosom bebas.

Gambar 2 Tahapan replikasi virus rabies (Jackson & Wunner 2007).
Protein juga mengalami modifikasi pasca translasi, meliputi glikolisasi
protein-G dan fosforilasi protein N. Meskipun pada awalnya protein G disintesis
dalam ribosom bebas tetapi sintesis secara lengkap dan pemrosesannya terjadi
didalam retikulum endoplasmik dan apparatus golgi. Rasio intraseluler leaderRNA menjadi protein N akan mengatur proses dari trankripsi ke replikasi, jika
perubahan ini diaktivasi, maka replikasi genom dimulai. Tahap awal replikasi

11

adalah sintesis full-length copies (plus strand) genom virus. Polimerasi viral
memasuki sisi tunggal ujung -3’ genom dan memulai mensistesis full-length copy
genom. Plus strand RNA bertindak sebagai template untuk sisntesis full-length
negative strand genom. Semua komponen viral dikumpulkan dalam satu lokasi
sitoplasma yang dapat terlihat dengan pewarnaan pada diagnostik sebagai Negri
bodies. Selama proses perakitan komplekss N-P-L menyelimuti negative strand
RNA menjadi protein RN dan protein M sebagai kapsul atau matriks yang
mengelilingi protein RN. Kompleks protein RN-M bermigrasi ke dalam area
plasma membran yang mengandung protein G dan protein M akan membelitnya.
Kompleks protein RN-M kemudian mengikat protein G dan virion akan bertunas
pada membran plasma. Virus kemudian menyebar dari sel ke sel dekatnya. Di
dalam sel neuron virus menyebar dengan sangat cepat, partikel virus secara
sederhana dipindahkan sepanjang akson sebelum proses pertunasan, hal ini
merupakan alasan mengapa penyakit dapat menyebar dengan cepat dari saraf tepi
menuju saraf pusat.

Diagnosis Laboratorium Rabies
Diagnosa rabies berdasarkan gejala klinis saja memiliki beberapa
kelemahan, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk
memperoleh diagnosa yang tepat. Beberapa diagnosa laboratorium yang rutin
dilakukan untuk pemeriksaan rabies antara lain 1. direct Fluorescence Antibody
Test (dFAT) merupakan gold standard untuk diagnosa rabies yang ditetapkan oleh
OIE. Sensitifitas dFAT mencapai 97-99 %. Prinsip kerjanya adalah jaringan otak
diwarnai dengan menggunakan antibodi yang dilabel dengan fluorescence isothyo-cyanat (FITC) untuk mendeteksi antigen rabies. Preparat sentuh otak hewan
yang diduga rabies difiksasi dengan aseton 30 menit pada suhu -200C, kemudian
dilakukan pewarnaan menggunakan conjugate fluorescence kemudian diamati
pada mikroskop fluorescence. Hasil positif jika didapatkan warna hijau
fluorescence dengan ukuran bervariasi. Hasil negatif jika tidak memberikan warna
fluorescence (Dean et al. 1996). 2. Sellers Test, prinsipnya preparat sentuh otak
diwarnai dengan sellers atau velabo kemudian diamati dibawah mikroskop cahaya
utuk menentukan ada tidaknya negri bodies rabies (Atanasiu et al. 1996). 3.

12

Mouse Inoculation Test (MIT) adalah uji biologis pada mencit yang dilakukan
jika uji dFAT dan Sellers hasilnya negatif, uji ini dilakukan dengan cara
mensuspensikan otak hewan yang diduga rabies kedalam 10 % NaCl fisiologis
kemudian disuntikkan pada 6 ekor mencit dengan dosis masing-masing 0,03 ml.
Dilakukan observasi selama 3 minggu jika didapatkan mencit yang mati segera
dilakukan uji dFAT untuk memastikan penyebab kematian mencit karena virus
rabies (Koprowski 1996).
Beberapa teknik diagnosa uji yang lain telah dikenal meskipun tidak
secara

rutin

digunakan,

yakni

imunohistokimia

(direct

dan

indirect),

histopatologi, kultur sel untuk isolasi virus, nucleic acid probes atau polymerase
chain reaction (PCR) diikuti sekuensing DNA. Uji serologik untuk mendeteksi
keberadaan antibodi dapat dilakukan dengan menggunakan virus neutralization
test (VNT), indirect enzyme linked immunosorbent assay (i-ELISA), rapid
fluorescence focus inhibition test (RFFIT), passive haemagglutination test (PHA)
dan fluorescence inhibition micro test (FIMT).

Anatomi dan Histologi Organ Sistem Saraf Pusat
Serebrum
Serebrum merupakan bagian otak terbesar dan paling berkembang, yang
meliputi 80% dari berat total. Serebrum merupakan sumber dari semua kegiatan
dan gerakan sadar, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Serebrum
terbagi menjadi dua belahan yaitu hemisfer kiri dan kanan. Masing-masing
serebrum hemisfer dapat dibedakan menjadi empat lobus yaitu lobus frontalis,
lobus temporalis, lobus parietalis dan lobus oksipitalis. Serebrum manusia
masing-masing lobus dipisahkan dengan sulkus, tetapi pada hewan lokasi lobus
sesuai dengan pembagian letak tulang kranium. Pada permukaan serebrum
ditandai dengan adanya penonjolan yang disebut sulkus dan lekukan yang disebut
girus.
Serebrum mempunyai dua lapis utama yakni substansia grisea (berwarna
abu-abu) dan substansia alba (berwarna putih). Substansia grisea pada otak
disebut juga korteks sedangkan substansia alba disebut medula. Korteks serebrum
terdapat pada permukaan serebrum yang menutupi substansia alba dibagian bawah

13

yang lebih tebal. Didalam substansia alba terdapat substansia grisea lain yaitu
nukleus atau ganglion basalis. Substansia grisea terdiri dari neuron yang tersusun
rapat dengan dendrit dan sel-sel glia, sedangkan jalinan serat-serat saraf bermielin
(akson) akan membentuk substansia alba. Warna putih pada substansia alba
disebabkan komposisi lemak dari mielin. Jalinan akson pada substansia alba akan
menyalurkan sinyal dari satu bagian korteks serebrum ke bagian sistem saraf pusat
yang lain, komunikasi semacam ini akan menyebabkan integrasi antar bagian
korteks dan bagian saraf yang lain.

Gambar 3 Struktur anatomi serebrum (Akers & Denbow 2008).
Bagian korteks pada hewan disebut neokorteks yang terdapat pada
permukaam hemisfer serebrum. Korteks serebrum terdiri dari beberapa lapis sel
yang tersusun pararel pada permukaan otak. Ciri khas sel saraf pada korteks
serebrum yaitu berbentuk piramida, yang terdiri dari enam lapisan sel yaitu
(1) Lapisan molekular, terdiri dari neuropil dan dendrit yang berasal dari sel
piramida dan cabang terminal serabut efferent, merupakan lapisan yang paling
dekat dengan permukaan otak yang dipisahkan oleh piamater, (2) Lapisan
granular eksternal, terdiri dari neuron kecil bertindak sebagai interneuron, (3)
Lapisan piramidal eksternal, terdiri dari sel piramida berukuran kecil sampai
medium. (4) Lapian granular internal, terdiri dari sel stellat neuron yang menerima
sensor spesifik, (5) Lapisan piramidal internal, terdiri dari sel piramida berukuran
medium sampai yang besar, dan (6) Lapisan multiform, terdiri atas banyak spindle
neuron merupakan bagian terdalam dari lapisan korteks.

14

Korteks serebrum berfungsi sebagai pengendali tingkah laku. Berdasarkan
fungsinya bagian korteks serebrum dapat dibedakan menjadi tiga area yaitu
(1) Area motorik, area ini merupakan bagian akhir sebelum sinyal dikirim ke otot
somatik, bertanggung jawab dalam mengontrol fungsi motorik. Area ini pada
mamalia terletak pada bagian rostral lobus frontalis dan memiliki sistem
piramidal. (2) Area sensoris, terletak pada seluruh bagian korteks yang bertugas
menerima informasi dari reseptor sensoris yang terletak pada kulit dan otot
skeletal. (3) Area gabungan yang berfungsi mengintegrasikan sinyal motorik dan
sensorik.
Sistem Limbus
Sistem limbus terdiri dari sekelompok bagian organ yang terletak pada
bagian medial setiap hemisfer serebrum yang melingkari brainstem. Sistem
limbus terdiri dari tiga struktur girus yaitu; girus cingulat, terletak pada bagian
dorsal dari corpus collosum. Girus dentatus dan girus parahipokampus, terletak
pada bagian posterior lobus limbus. Sistem ini meliputi antara lain korteks
serebrum, nukleus basalis, talamus, hipotalamus dan hipokampus, amigdala
(Akers & Denbow 2008).

Gambar 4 Anatomi sistem limbus (Sherwood 2001).
Sistem limbus yang kompleks ini berkaitan dengan emosi dan pola-pola
perilaku sosioseksual. Fungsi sistem limbus meliputi pengaturan perilaku dan
sifat emosi, menghubungkan perilaku sadar dan non sadar, serta menyimpan
memori.

Konsep emosi mencakup perasaan marah, takut, ditambah dengan

15

respon fisik yang nyata yang berkaitan dengan perasaan tersebut. Respon tersebut
mencakup pola perilaku spesifik misalnya persiapan menyerang atau bertahan.
Pemberian stimulasi pada sistem limbus di hewan coba yang secara normal jinak
akan menyebabkan pemunculan perilaku yang aneh yaitu respon kemarahan dan
kegusaran (Sherwood 2001).
Amigdala merupakan komponen utama pada sistem limbus yang
mempengaruhi sifat emosi. Adanya kerusakan pada bagian amigdala yang
menyebabkan munculnya perasaan takut terhadap sesuatu sehingga hewan terlihat
jinak. Percobaan dengan menghilangkan bagian amigdala kucing, menyebabkan
kucing tidak sadar adanya ancaman serangan dari sekelompok monyet (Akers &
Denbow 2008).

Hipokampus
Hipokampus terbentuk karena korteks serebrum menggulung ke dalam
ventrikel lateralis sepanjang girus hipokampus, girus tampak pada permukaan
medial serebrum hemisfer, tetapi hipokampus sendiri tersembunyi di dalam
ventrikel. Hipokampus berbentuk melengkung mengitari talamus dengan arah
dorso-caudo-ventral. Hipokampus terdiri dari enam lapis yaitu: (1) Lapis ependim
ventrikel, (2) Lapis endoventrikular alveus, mengandung akson berselubung
myelin, (3) Stratum oriens dengan sedikit sel polimorf, (4) Lapis piramidal besar
dan kecil dalam satu lapis, (5) Lapis lakunar, dan (6) Lapis molekular.

Talamus
Talamus terletak pada bagian dorsal hipotalamus, dipisahkan oleh nukleus
caudatus lateral dan kapsul internal lateralis. Bagian ini dipisahkan oleh ventrikel
tiga. Nukleus thalamus dibedakan menjadi empat kelompok yakni; anterior,
ventrolateral, medial dan posterior (Akers & Denbow 2008). Talamus berfungsi
sebagai stasiun penyambung dan pusat integrasi sinaps untuk pengolahan
pendahuluan semua masukan sensoris dalam perjalanannya menuju korteks.
Bagian ini menyaring sinyal-sinyal yang tidak bermakna dan mengarahkan
impuls-impuls sensoris penting ke daerah korteks somatosensoris yang sesuai
serta ke daerah-daerah lain. Talamus bersama dengan batang otak dan daerah

16

asosiasi korteks penting untuk kemampuan mengarahkan perhatian pada
rangsangan yang menarik (Sherwood 2001).

Kelenjar Saliva
Kelenjar saliva merupakan kelenjar pencernaan yang berhubungan dengan
rongga mulut. Sekresi yang dihasilkan berbentuk mukus, serus atau campuran
keduanya. Kelenjar utama pada kelenjar ludah terletak jauh dari rongga mulut
sehingga memerlukan saluran (ductus) untuk menyalurkan hasil sekresinya.
Kelenjar ludah parotid terletak dibawah telinga diantara otot maseter dan kulit
yang menghasilkan serus. Kelenjar mandibularis (mandibula dan submaksilaris)
terletak pada bagian kauda sudut rahang, yang merupakan kelenjar campura
(mukus dan serus). Kelenjar sublingual terletak dibawah lidah dan menghasilkan
sekresi dalam bentuk mukus (Akers & Denbow 2008).

Gambar 5 Struktur anatomi kelenjar ludah anjing (Akers & Denbow 2008).

17

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2011,
bertempat di Laboratorium Patologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner
Regional II Bukitinggi dan Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini berupa lima belas kepala anjing berasal dari daerah
endemis rabies yang merupakan wilayah kerja Balai Penyidikan dan Pengujian
Veteriner (BPPV) Regional II Bukittinggi. Empat belas sampel kepala anjing
yang telah didiagnosa positif dan satu negatif terhadap virus rabies; berdasarkan
uji direct Fluorescence Antibody Technique (dFAT) yang merupakan gold
standard untuk diagnosis rabies (OIE 2000).

Prosedur Penelitian
Sampling
Sampel kepala anjing yang diduga terinfeksi rabies dilakukan nekropsi,
kemudian dilakukan pembuatan preparat sentuh pada bagian hipokampus untuk
dilakukan pengujian dFAT. Setelah didiagnosa positif rabies kemudian dilakukan
pengambilan organ serebrum, hipokampus, talamus dan amigdala. Dilakukan juga
pengambilan kelenjar ludah, khususnya pada bagian kelenjar mandibula dan
kelenjar parotid. Jaringan difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin
(BNF) 10% selama satu malam. Selanjutnya dilakukan pemotongan organ secara
transversal menjadi tiga bagian sama besar, lalu dilakukan fiksasi kembali dalam
BNF 10% semalam. Hasil potongan pada masing-masing bagian dilakukan
pemotongan kembali secara transversal menjadi tiga bagian, sehingga didapatkan
sembilan bagian yang sama besar (Suja et al. 2009). Kemudian dilakukan
pengambilan sampel korteks serebrum pada daerah lobus frontalis, lobus
temporalis, lobus parietalis, lobus oksipitalis (masing-masing sisi kanan dan kiri),
hipokampus, talamus dan amigdala dengan ketebalan ± 0,3 cm.

18

Gambar 6 Potongan bagian otak anjing secara transversal.
Pembuatan Preparat Histopatologi
Potongan jaringan diletakkan pada tissue cassette kemudian direndam
dalam alkohol 70% selama satu malam. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan
mesin tissue processor menggunakan alkohol bertingkat (70%-absolut), terakhir
direndam dalam parafin cair sebelum diblok dengan menggunakan parafin. Blok
parafin dipotong setebal 4-5 µm, kemudiam ditempelkan pada slide preparat.
Selanjutnya dideparafinisasi dengan larutan xylol I, II dan III masing-masing
selama 3 menit, kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol konsentrasi
menurun mulai dari alkohol 95%, 80% dan 70% yang masing-masing selama 3
menit.

Setelah itu dilakukan pencucian dengan distillated water selama 3-5

menit. Slide kemudian direndam dalam pewarna hematoksilin selama 2 menit
kemudian dicuci dengan air mengalir lalu direndam dalam eosin selama 5 menit
dan dicuci kembali dengan air mengalir. Selanjutnya slide dicelup masing-masing
10x dalam alcohol absolut bertingkat, kemudian dilap, lalu diberi perekat entellan
dan ditutup menggunakan cover glass. Perubahan histopatologi diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif 40x.

Imunohistokimia
Deteksi

antigen

virus

rabies

menggunakan

teknik

pewarnaan

imunohistokimia berdasarkan metode polymer labeling two-step method (RamosVara & Miller 2006) yang telah dimodifikasi, dengan menggunakan reagen kit

19

polyvalent (universal) detection system RealTM EnvisionTM (K5007 DAKO®,
Denmark). Potongan jaringan dalam parafin setebal 4-5 µ ditempelkan pada objek
glass yang telah dilapisi dengan poly-L-lysine. Slide dideparafinisasi dalam xilol
kemudian rehidrasi dalam alkohol bertingkat, dicuci dengan Phosphat Buffered
Saline Tween 20 (PBST), blocking peroksidase endogenous menggunakan 3%
H2O2 yang dilarutkan dalam metanol, untuk menghilangkan reaksi nonspesifik
digunakan normal goat serum.
Adanya antigen virus rabies pada jaringan dideteksi dengan menggunakan
rabbit anti-rabies virus P antibody (Yuji Sunden, Laboratory of Comparative
Pathology, Graduate School of Veterinary Medicine, Hokkaido University,
Jepang) (1 : 1000). Sebagai kontrol negatif digunakan jaringan otak anjing yang
didiagnosa negatif virus rabies. Slide diwarnai dengan kromogen 3-3
diaminobenzidine (DAB), sebagai counterstain digunakan Mayer Haematoxyillin
untuk mendapatkan warna kebiruan pada jaringan.

Kemudian slide ditutup

dengan coverslide yang sebelumnya dilakukan mounting dengan entellan, lalu
diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 20x.

Pengamatan Patologi Anatomi
Data patologi anatomi didapatkan setelah dilakukan nekropsi pada 14
kepala anjing yang diduga terinfeksi rabies secara alami, yaitu dengan membuka
tulang kranium. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada organ sistem
saraf pusat, meliputi hiperemi, pembengkakan dan pendarahan.

Pengamatan Histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan pada jaringan otak meliputi bagian
lobus frontalis, lobus temporalis, lobus parietalis, lobus oksipitalis, hipokampus,