Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan Suhu Tinggi Waktu Singkat

DAYA TAHAN HIDUP Toxoplasma gondii DALAM SUSU
KAMBING PADA PASTEURISASI SUHU RENDAH WAKTU
LAMA DAN SUHU TINGGI WAKTU SINGKAT

RISMAYANI SARIDEWI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Daya Tahan Hidup
Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu
Lama dan Suhu Tinggi Waktu Singkat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014
Rismayani Saridewi
NIM B261100021

RINGKASAN
RISMAYANI SARIDEWI. Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu
Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan Suhu Tinggi Waktu
Singkat. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN, MIRNAWATI
SUDARWANTO dan UMI CAHYANINGSIH.
Protozoa Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang
bersifat zoonotik, menyebar secara luas di alam dan dapat menginfeksi banyak
spesies hewan berdarah panas. Toksoplasmosis pada kambing dapat menurunkan
produksi, keguguran, kematian janin, mumifikasi janin, kerugian ekonomi dan
berbahaya bagi kesehatan manusia melalui konsumsi daging dan susu yang
terkontaminasi. Penyakit ini dianggap sangat penting dalam dunia kedokteran
hewan dan kesehatan masyarakat.
Susu kambing akhir-akhir ini menjadi trend untuk dikonsumsi
dibandingkan susu sapi, sebab kandungan gizi dalam susu kambing lebih baik

dibandingkan susu sapi. Susu kambing mengandung protein sebanyak 3.3-4.9%
dan lemak 4-7.3% sedangkan susu sapi mengandung protein sebanyak 3.3% dan
lemak 3.7%. Susu kambing lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi,
karena ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan homogen. Susu
kambing juga diketahui memiliki khasiat dapat menyembuhkan berbagai penyakit
dan sebagai pengganti air susu ibu bagi bayi yang alergi terhadap protein susu sapi.
Susu kambing segar diyakini mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan
susu kambing yang telah dipanaskan sehingga masyarakat lebih memilih
mengonsumsi susu kambing segar tanpa dipasteurisasi. Gejala klinis
toksoplasmosis pada manusia senantiasa dihubungkan dengan konsumsi susu
kambing tanpa pasteurisasi. Pasteurisasi merupakan metode pengolahan dengan
pemanasan di bawah titik didih untuk memperpanjang masa simpan susu segar.
Dikenal dua metode pasteurisasi susu, yaitu: suhu rendah waktu lama (low
temperature long time/LTLT), pemanasan pada suhu rendah 63 ºC selama
30 menit dan suhu tinggi waktu singkat (high temperature short time/HTST),
pemanasan pada suhu 72 ºC selama 15 detik dan 85 °C selama 1-2 detik. Takizoit
T. gondii juga dapat ditemukan di dalam susu kambing segar dan diduga
penularan melalui laktasi dapat juga terjadi pada manusia.
Sejauh ini belum ada laporan penelitian tentang kemampuan hidup takizoit
dalam susu pasteurisasi. Peneliti sebelumnya hanya mendeteksi keberadaan

T. gondii melalui uji polymerase chain reaction (PCR) yang tidak diketahui masih
hidup atau sudah mati. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui apakah takizoit masih dapat hidup dalam susu pasteurisasi.
Takizoit yang hidup kemungkinan masih dapat menyebabkan infeksi dan
berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini melalui 5 tahapan. Tahap
pertama: yaitu mencit dan aklimatisasi. Tahap kedua yaitu peremajaan isolat
T. gondii, tahap ketiga yaitu pasteurisasi pra-perlakuan, tahap keempat yaitu
pasteurisasi susu berisi takizoit dan tahap kelima adalah infeksi mencit dan
pemeriksan cairan peritoneum.
Hasil penelitian tahap pertama diperoleh mencit yang telah beradaptasi
dengan lingkungan dan siap diinfeksikan. Tahap kedua diperoleh isolat T. gondii

yang telah diremajakan setelah melakukan pasase beberapa kali. Tahap ketiga
yaitu pasteurisasi pra-perlakuan memberikan hasil status mikrobiologi di bawah
batas maksimal cemaran mikroba (BMCM) dan uji Storch menunjukkan enzim
peroksidase belum terhidrolisis sempurna pada pemanasan suhu 63 ºC selama
30 menit dan telah terhidrolisis sempurna pada suhu 72 °C selama 15 detik. Tahap
keempat diperoleh 4 kelompok susu yang dicampur dengan takizoit dan
1 kelompok susu yang tidak dicampur dengan takizoit sebagai kontrol negatif.

Kelima kelompok pada tahap ini terdiri dari (1) susu pasteurisasi dan takizoit yang
dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit (K1); (2) susu pasteurisasi dan
takizoit yang dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik (K2); (3) susu
pasteurisasi dan takizoit yang dipanaskan pada suhu 85 ºC selama 1-2 detik (K3);
(4) susu pasteurisasi dan takizoit tanpa dipanaskan sebagai kontrol positif (K4);
dan (5) susu yang tidak dicampur takizoit dan berperan sebagai kelompok kontrol
negatif (K5). Hasil dari tahap terakhir (tahap kelima) yaitu takizoit T. gondii galur
RH yang dipanaskan pada suhu 63 ºC selama 30 menit menunjukkan pada
kelompok kontrol positif ditemukan takizoit pada cairan peritoneum pada hari ke4, sedangkan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol negatif tidak
ditemukan takizoit sampai hari ke-16. Hasil pengamatan selanjutnya yaitu
kelompok mencit yang diinfeksikan dengan susu dan takizoit T. gondii RH yang
dipanaskan pada suhu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik
menunjukkan pada kelompok kontrol positif ditemukan takizoit pada cairan
peritoneum pada hari ke-4, sedangkan pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol negatif tidak ditemukan takizoit sampai hari ke-16.
Kata kunci: pasteurisasi, susu kambing, Toxoplasma gondii

SUMMARY
RISMAYANI SARIDEWI. Survival of Toxoplasma gondii in Goat Milk with
Pasteurization in Low Temperature Long Time and High Temperature Short

Time. Under the supervision of DENNY WIDAYA LUKMAN, MIRNAWATI
SUDARWANTO and UMI CAHYANINGSIH.
Protozoan Toxoplasma gondii is an obligate intracellular parasite that is
zoonotic, spread widely in nature and can infect many species of warm-blooded
animals. Toksoplasmosis in goats may decrease production, miscarriage, fetal
death, fetal mummification, economic losses and harmful to human health through
the consumption of contaminated meat and milk, so the disease is considered very
important in the world of veterinary medicine and public health. Goat milk into
today's trend to be consumed than cow milk, because nutrient content in goat milk
is more than cow milk. Goat milk contains protein as much as 3.3-4.9% and
4-7.3% fat, whereas cow's milk contains proteins and fats as much as 3.3-3.7%.
Goat's milk is easier to digest than cow's milk, because of the size of goat milk fat
molecules are smaller and naturally had to be in a homogeneous state. Goat milk
is also known to have the efficacy to cure various diseases and as a substitute for
breast milk for infants who are allergic to cow milk protein. Fresh goat milk is
believed have a higher nutritional value rather the goat milk after heating so the
people prefers to consump fresh non pasteurized goat milk. Clinical symptom of
Toxoplasmosis in humans is always associated with the consumption of
unpasteurized goat milk, but this is not true for all types, for raw milk only.
Pasteurization is a method of treatment by heating below the boiling point for

extending the shelf life of fresh milk. There are two methods of milk
pasteurization, namely: low temperature long time (LTLT) at 63 ºC for 30 minutes
and high temperature short time (HTST) at 72 ºC for 15 seconds and 85 °C for
1-2 seconds. Tachyzoite T. gondii can also be found in fresh goat milk and
lactation through the suspected transmission can also occur in humans.
There have been no research reports on the living ability of tachyzoite
inpasteurized milk. Dubey (1998) found T. gondii DNA in the milk using a
polymerase chain reaction test (PCR), and the tachyzoite contained in milk was
unknown whether it was alive or dead. Based on the description above, this study
was conducted to determine whether tachyzoite still alive in pasteurized milk
because the living tachyzoite may still be able to cause infection and harmfulness
to public health.
The method of this study was conducted in five steps. The first step is
mice and acclimatization. The second step is the rejuvenation of T. gondii isolates,
the third step is pasteurization pre-treatment, the fourth step is pasteurization of
milk contains tachyizoite, and the fifth steps are mice infection and examination
of peritoneal fluid.
The results showed that mice have adapted to the environment and ready
for infected. T. gondii isolates rejuvenation be stable after passage several times.
Pasteurization pre treatment showed that microbiology below the microbial

contamination maximal limit (BMCM) and peroxidase from Storch test was not
hydrolyzed perfectly on heating at 63 ºC for 30 minutes and it was hydrolyzed
perfectly at 72 °C for 15 seconds. The fourth step is obtained 4 groups of

tachyzoites mixed with milk and 1 group is without mixed with tachyzoite as a
negative control. The fifth group consists of (1) pasteurized milk and tachyzoite
heated at a temperature of 63 ºC for 30 minutes (K1); (2) pasteurized milk and
tachyzoite heated at a temperature of 72 ºC for 15 seconds (K2); (3) pasteurized
milk and tachyzoite heated at a temperature of 85 ºC for 1-2 seconds (K3); (4)
pasteurized milk and tachyzoite without being heated as a positive control (K4);
and (5) pasteurized milk without tachyzoite as a negative control (K5).
Observations of infected mice group with T. gondii was heated at low temperature
long time (63 ºC for 30 minutes) and high temperature short time (72 ºC for
15 seconds and 85 ºC for 1-2 seconds) showed that the positive control group was
found tachyzoite in peritoneal fluid on day 4, whereas in treatment group and
negative control group were not found tachyzoite until day 16.
Keyword: goat milk, pasteurization, Toxoplasma gondii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAYA TAHAN HIDUP Toxoplasma gondii DALAM SUSU
KAMBING PADA PASTEURISASI SUHU RENDAH WAKTU
LAMA DAN SUHU TINGGI WAKTU SINGKAT

RISMAYANI SARIDEWI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr drh Elok Budi Retnani, MS
drh Suhardono, MVSc, PhD

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr drh Hardiman, MM
Dr med vet drh Hadri Latif, MSi

Judul Disertasi

Nama
NIM

: Daya Tahan Hidup Toxoplasma gondii dalam Susu
Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu Lama dan
Suhu Tinggi Waktu Singkat
: Rismayani Saridewi

: B261100021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
Ketua

Prof Dr drh Mirnawati B. Sudarwanto
Anggota

Prof drh Umi Cahyaningsih, MS, PhD
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi


Tanggal Ujian
Kamis, 12 Juni 2014

Dekan Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus

PRAKATA
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur kepada Allah
SWT atas rahmat-Nya sehingga disertasi berjudul “Daya Tahan Hidup
Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing pada Pasteurisasi Suhu Rendah Waktu
Lama dan Suhu Tinggi Waktu Singkat” dapat disusun dan diselesaikan. Disertasi
ini memuat topik untuk mengetahui apakah T. gondii dalam susu kambing yang
telah dipanaskan dengan suhu rendah waktu lama dan suhu tinggi waktu singkat
masih dapat bertahan hidup atau tidak. Disertasi ini menghasilkan dua artikel yang
diterbitkan pada dua jurnal. Naskah pertama yang berjudul “Survival of
Toxoplasma gondii in Goat Milk after Pasteurization with Low Temperature and
Long Time” telah dipublikasikan pada jurnal Global Veterinaria 11(6):789-793
tahun 2013 (ISSN:1992-6197). Naskah kedua yang berjudul “Daya Tahan Hidup
Toxoplasma gondii dalam Susu Kambing dengan Pasteurisasi Suhu Tinggi Waktu
Singkat” telah diterima di Jurnal Kedokteran Hewan dan akan dipublikasikan
pada Vol 9 No 2 September 2015 (ISSN 1978-225X).
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Ketua Komisi
Pembimbing Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi, atas bimbingan,
arahan, motivasi, dan semangat yang diberikan kepada penulis selama pendidikan
hingga penyelesaian studi. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga
penulis sampaikan kepada Prof Dr drh Mirnawati B. Sudarwanto dan Prof drh
Umi Cahyaningsih, MS, PhD atas segala bimbingan, arahan dan masukan
perencanaan dan berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian disertasi ini. Jasa
dan kebaikan dari komisi pembimbing kepada penulis sungguh sangat berharga
dan tidak akan dilupakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Penguji
Luar Komisi pada Ujian Tertutup, yang terhormat Dr drh Elok Budi Retnani, MS
dan drh Suhardono, MVSc, PhD; dan kepada Penguji Luar Komisi pada Ujian
Terbuka, yang terhormat Dr drh Hardiman, MM dan Dr med vet drh Hadri Latif,
MSi. Pertanyaan, saran, kritik dan koreksinya sangat berharga dalam
penyempurnaan disertasi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Jenderal Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik
Indonesia yang telah memberikan izin belajar, drh Syamsul Ma’arif, MSi selaku
Kepala Balai Veteriner Lampung yang memberikan kesempatan bagi penulis
untuk mengikuti program doktor, drh Endang Ekowati selaku Kepalai Balai
Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan dimana tempat penulis
dititiptugaskan selama penyelesaian studi, drh Boethdy Angkasa, MSi yang
menerima penulis pada awal penitipan, dan drh Soeparno MP, MM yang selalu
memberikan motivasi bagi penulis. Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor,
penulis ucapkan terima kasih untuk izin magang dan penelitiannya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dr med vet drh Denny
Widaya Lukman, MSi selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Veteriner beserta seluruh staf pengajar, staf administrasi Pak Agus Haryanto dan
laboran Pak Yuhendra di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Mbak
Selin di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Dr drh Agustin
Indrawati, MSi untuk rekomendasi awal masuk Pascasarjana IPB, Prof drh

Ekowati Handharyani, MSi, PhD dan Prof drh Dondin Sajuti, PhD atas saran dan
bantuan untuk memperoleh ACUC sebelum penelitian dimulai. Ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada drh Didik Tulus Subekti, M.Kes yang telah
banyak menolong penulis selama penelitian, semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan Bapak. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pak Edi dan
rekan-rekan di BBALITVET Bogor dan Mas Yuri yang banyak membantu di
Rumah Sakit Hewan IPB.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan seangkatan (Annytha
Ina Rohi Detha, Mazdani Ulfah Daulay, Ferry Davidson Maitindom, Rahmat
Setya Adji, Heri Yulianto), rekan-rekan di Balai Veteriner Lampung, rekan-rekan
di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan dan berbagai pihak yang
membantu penyelesaian studi penulis. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih
disampaikan kepada kedua orang tua, almarhum ayahanda, ibunda tersayang,
keluarga di Depok, kakanda Nurhalina Afriana dan Ferdinand P Siagian, anakanakku Rafa Zavier Asadel, Bryan Daniswara Siagian, dan Talitha Dearhoney
Siagian, keluarga kakanda Rita Wizni di Medan atas doa, kasih sayang dan
dukungan kepada penulis selama ini, suamiku Jalaluddin penulis ucapkan terima
kasih banyak atas kasih sayang, pengorbanan dan kesabaran yang telah diberikan
kepada penulis selama menyelesaikan studi.
Disertasi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun dan menyempurnakan disertasi ini sangat penulis
harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat. Terima kasih.

Bogor, Juni 2014
Rismayani Saridewi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Toxoplasma gondii
Siklus Hidup Toxoplasma gondii
Deteksi Toksoplasmosis
Penyebaran Toksoplasmosis
Pencegahan dan Pengobatan Toksoplasmosis
Susu Kambing

4
4
5
7
8
9
10

3 METODE
Waktu dan Tempat
Metode Penelitian

12
12
12

4 PASTEURISASI SUSU KAMBING SEBELUM PENAMBAHAN
ISOLAT TAKIZOIT TOXOPLASMA GONDII GALUR RH
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

15
15
15
15
16
17
18

5 DAYA TAHAN HIDUP TOXOPLASMA GONDII DALAM SUSU
KAMBING DENGAN PASTEURISASI SUHU RENDAH WAKTU
LAMA
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

19
19
19
19
20
23
25

DAFTAR ISI (lanjutan)
6 DAYA TAHAN HIDUP TOXOPLASMA GONDII DALAM SUSU
KAMBING DENGAN PASTEURISASI SUHU TINGGI WAKTU
SINGKAT
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

26
26
26
27
28
30
32

7 PEMBAHASAN UMUM

33

8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

36
36
36

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

37
44
82

DAFTAR TABEL
1. Hasil pasteurisasi susu terhadap uji angka lempeng total, agar darah
dan Storch
2. Hasil pengamatan kelompok mencit yang diinfeksikan susu pasteurisasi
3. Jumlah takizoit yang diperoleh dari kelompok kontrol positif
4. Hasil pengamatan dari setiap kelompok perlakuan campuran susu
dan takizoit

17
23
24
30

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Bagan alur metode penelitian secara umum
Bagan alur metode penelitian LTLT
Bagan alur metode penelitian HTSError! Bookmark not defined.
Jumlah takizoit dari cairan peritoneum kelompok kontrol positifError!
Bookmark not defined.

14
22
29
31

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Publikasi jurnal internasional
Surat keterangan telah diterima oleh jurnal nasional
Draft jurnal nasional
Formulir ACUC
Sertifikat ACUC
Peremajaan isolat takizoit T. gondii RH

44
49
50
62
78
79

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki udara hangat dengan
kelembaban tinggi, memiliki kerugian terutama menyangkut aspek kesehatan.
Kerugian tersebut antara lain disebabkan oleh mikroorganisme yang dapat
berkembang biak dengan baik berupa virus, bakteri, cendawan dan protozoa.
Salah satu mikroorganisme tersebut bersifat zoonotik, dapat ditularkan dari hewan
ke manusia dan sebaliknya.
Penyakit zoonotik yang cukup meresahkan masyarakat adalah
toksoplasmosis. Penyakit ini menjadi perhatian karena dapat ditularkan secara
kongenital serta menyebabkan abortus. Toksoplasmosis disebabkan oleh
Toxoplasma gondii yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas. Induk
semang definitif penyakit ini yaitu kucing dan beberapa spesies dari bangsa
kucing liar (Dharmojono 2001).
Infeksi T. gondii pada anak kucing ditularkan secara transplasenta pada
masa kebuntingan induknya (Dubey dan Hoover 1977; Dubey et al. 1995, 1996;
Omata et al. 1994; Powell dan Lappin 2001). Takizoit T. gondii ditemukan dalam
susu domba, kambing, sapi, dan tikus (Dubey 1998; Pettersen 1984; Tenter et al.
2000). Infeksi pada manusia ditularkan melalui konsumsi susu kambing mentah
(Sacks et al. 1982; Skinner et al. 1990) dan diduga penularan melalui laktasi dapat
juga terjadi pada manusia (Bonametti et al. 1997).
Gejala klinis toksoplasmosis pada manusia telah dihubungkan dengan
konsumsi susu kambing tanpa pasteurisasi (Riemann et al. 1975; Sacks et al.
1982; Chiari dan Neves 1984; Skinner et al. 1990). Tenter (2009) menyatakan
bahwa hanya susu mentah yang dapat menularkan toksoplasmosis. Takizoit dari
T. gondii telah ditemukan pada beberapa jenis susu (Dubey dan Beattie 1988).
Transmisi toksoplasmosis melalui susu yang tidak dipasteurisasi, atau keju yang
berasal dari susu tanpa pasteurisasi, merupakan salah satu sumber penularan
toksoplasmosis (Hiramoto et al. 2001).
Susu pasteurisasi adalah hasil olahan susu segar dan merupakan cara untuk
memperpanjang daya tahan susu segar. Pasteurisasi dimaksudkan untuk
membunuh kuman patogen yang ada dalam susu dan mempertahankan
semaksimal mungkin nutrisi serta cita rasa susu segar (Purnomo dan Adiono
1987).
Metode pasteurisasi yang umum dilakukan pada susu ada dua cara, yaitu:
low temperature long time (LTLT) yakni pasteurisasi pada suhu rendah waktu
lama 63 ºC selama 30 menit dan high temperature short time (HTST) yaitu
pasteurisasi pada suhu tinggi waktu singkat 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC
selama 1-2 detik (Rennie 1989). Menurut Hadiwiyoto (1983) pada umumnya
pasteurisasi dilakukan pada suhu 63 ºC selama 30 menit dan 72 ºC selama
15 detik. Adnan (1994) menyatakan bahwa pasteurisasi hanya mematikan 95-99%
bakteri yang ada. Menurut Standar Nasional Indonesia 7388:2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, yaitu batas cemaran mikroba yang

2
diperbolehkan dalam susu pasteurisasi adalah 3 x 104 cfu/ml (BSN 2009).
Mikroorganisme yang dapat hidup dalam susu pasteurisasi bergantung pada suhu
penyimpanan, jumlah dan tipe mikroorganime (Frazier dan Westhoff 1979).
Menurut Lake et al. (2002), bradizoit (kista) T. gondii dalam daging babi
akan mati pada suhu 49 ºC selama 336 detik, suhu 55 ºC selama 44 detik dan suhu
61 ºC selama 6 detik. Pemanasan pada suhu 65 ºC menggunakan gelombang
mikro memberikan hasil yang bervariasi untuk mematikan bradizoit yang ada
dalam daging kambing. Bradizoit dalam jaringan juga dilaporkan dapat mati pada
suhu 49 ºC selama 53.5 menit, 55 ºC selama 5.8 menit, 61 ºC selama 3.8 menit
dan 67 ºC selama 3.6 menit. Takizoit akan mati pada suhu 55 ºC selama 30 menit,
kista akan mati pada suhu 55 ºC selama 30 menit, dan ookisa akan mati pada suhu
58 ºC selama 15 menit dan -20 ºC selama 3 minggu.
Toksoplasmosis dapat terjadi melalui minum susu kambing yang tidak
dipasteurisasi (Sacks et al. 1982; Chiari dan Neves 1984; Skinner et al. 1990).
Chiari dan Neves (1984) melaporkan bahwa ekskresi takizoit di dalam susu
berasal dari kambing yang terinfeksi T. gondii secara alami. Walaupun infeksi
terjadi akibat mengonsumsi susu kambing, tetapi peneliti lain melaporkan bahwa
mengonsumsi produk susu mentah pada hewan lain juga dapat menyebabkan
penularan T. gondii secara horizontal (Spalding et al. 2005; Kijlstra dan Jongert
2008).
Konsumsi susu kambing, domba, dan sapi serta produknya yang tidak
dipasteurisasi dapat berisiko terhadap penularan takizoit T. gondii (Dubey 1998).
Kejadian ini mengindikasikan bahwa infeksi takizoit dapat terjadi secara oral
(Cook et al. 2000). Kasus toksoplasmosis juga dilaporkan pada anak-anak yang
mengonsumsi susu ibu yang terinfeksi toksoplasmosis akibat memakan daging
domba setengah masak. Takizoit yang berada dalam susu tidak dapat dihancurkan
oleh asam lambung (Bonametti et al. 1997).
Selama ini belum ada penelitian tentang kemampuan hidup takizoit dalam
susu pasteurisasi, karena Dubey (1998) hanya menemukan DNA T. gondii pada
susu melalui uji PCR yang sumber infeksinya belum diketahui berasal dari induk
atau kontaminasi. Takizoit yang terkandung di dalam susu tidak diketahui masih
hidup atau sudah mati. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian ini
untuk mengetahui apakah takizoit masih dapat hidup dalam susu pasteurisasi,
sebab takizoit yang hidup kemungkinan masih menyebabkan infeksi dan
berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Karakter biologi dari masing-masing tipe Toxoplasma berbeda satu dengan
yang lain. Beberapa karakter berbeda yang telah diketahui di antaranya adalah
kemampuan replikasi, migrasi dan kemampuan melewati sel atau jaringan.
Perbedaan lainnya juga terlihat pada kemampuan menginduksi sistem imun yang
mengarah pada efek detrimental serta kemampuan menyebabkan kematian
(letalitas) pada hewan coba terutama mencit. Penelitian ini menggunakan mencit
sebagai hewan coba dengan melihat keberadaan takizoit di dalam cairan
peritoneum. Pasteurisasi dilakukan pada susu kambing yang telah diberi isolat
T. gondii dengan suhu rendah dan waktu lama (low temperature long time), yaitu
63 ºC selama 30 menit serta dengan suhu tinggi dan waktu singkat (high
temperature short time) yaitu 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan hidup takizoit
T. gondii galur RH dalam susu yang dipasteurisasi dengan suhu 63 ºC selama
30 menit, 72 ºC selama 15 detik dan 85 ºC selama 1-2 detik (dengan melihat
keberadaan takizoit di dalam cairan peritoneum mencit).

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah a) memberikan informasi kepada masyarakat
tentang bahaya mengonsumsi susu kambing mentah; b) mengetahui bahwa
takizoit dapat mati pada susu pasteurisasi LTLT dan HTST.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Toxoplasma gondii
Nama Toxoplasma diambil dari bahasa Yunani “toxon”, berarti busur
panah atau lengkung. Ini sesuai dengan bentuk Toxoplasma yang seperti bulan
sabit. Adapun bentuk seperti ini didapatkan pada Toxoplasma dalam bentuk
tropozoit fase proliferasi, merozoit dari kista, merozoit dari skizogoni pada epitel
usus kucing dan pada sporozoit dari ookista.
Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit obligat intraselular yaitu T. gondii.
Parasit ini merupakan golongan protozoa yang hidup bebas di alam. T. gondii
pertama kali ditemukan tahun 1908 oleh Nicolle dan Manceaux dari limpa dan
hati hewan pengerat (rodensia) Ctenodactyles gondii (gundi) di Sahara Afrika
Utara (Sciammarella 2001). Toxoplasma termasuk dalam filum Apicomplexa,
kelas Sporozoa (Sarcocytidae), subkelas Coccidia (Coccidiasina), ordo
Eucoccidiorida, famili Sarcocystidae, genus Toxoplasma dan spesies Toxoplasma
gondii (Levine 1990). Parasit ini mempunyai sifat yang tidak umum dibandingkan
dengan genus lain, diantaranya dapat menginfeksi inang antara dalam kisaran
yang sangat luas (tidak bersifat inang spesifik).
Filum Apicomplexa terdiri dari 3 stadium yaitu stadium takizoit
merupakan stadium multiplikasi aktif dari tropozoit dan biasanya teramati pada
infeksi akut. Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing
dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 µm, lebar 2-4 µm dan
mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa
organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Levine 1990). Stadium ini
paling sering dijumpai pada organ tubuh khususnya otak, otot daging, otot jantung
dan mata, ditularkan secara transplasental kepada fetus maupun neonatal. Stadium
kedua adalah stadium bradizoit merupakan stadium kista tidak aktif dan berada
dalam jaringan, berukuran 7-10 µm, lebih sering dijumpai pada daging babi dan
kambing. Stadium kista jarang ditemukan pada daging sapi. Menurut Levine
(1990), pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh dan
terutama di otak. Stadium ketiga adalah stadium ookista yang berada dalam
kotoran/feses kucing, sangat tahan terhadap lingkungan dan menulari manusia
serta bangsa burung. Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 µm x 9-11 µm.
Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua
sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding
dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit
yang berukuran 8 x 2 µm (Frenkel 1989; Levine 1990).
Keragaman spesies T. gondii ternyata tidak selalu bermakna adanya
kesamaan karakter biologis maupun patogenitasnya. Beberapa galur tertentu
menunjukkan tingkat patogenitas yang tinggi, sedangkan yang lainnya hampir non
patogenik. Secara keseluruhan saat ini telah diketahui bahwa T. gondii memiliki
struktur yang terdiri dari tiga tipe atau klonet dasar dan dua tipe baru sebagai
bentuk rekombinan, yaitu tipe I, II, III, IV, dan V. Awalnya hanya tiga klonet atau
tipe yang diketahui yaitu tipe I, II dan III (Howe dan Sibley 1995; Darde 1996;
Sibley dan Howe 1996). Namun seiring dengan semakin berkembangnya marka
genetik, saat ini telah dibedakan menjadi lima tipe dengan tambahan dua tipe baru

5
yaitu tipe IV dan V. T. gondii IV merupakan hasil rekombinasi akibat perkawinan
silang dari parental tipe I dan III. Sementara itu, T. gondii V merupakan hasil
rekombinasi dari parental tipe II dan III (Subekti dan Arrasyid 2006).
Rekombinasi antar tipe tersebut dapat terjadi karena adanya perkembangan
seksual pada siklus hidup T. gondii.
Teknik untuk menentukan patogenitas T. gondii dapat dilakukan secara
langsung pada hewan hidup yang peka ataupun dengan analisis genetik
menggunakan marka genetik tertentu. Kedua teknik tersebut tidak dilakukan
secara terpisah tetapi saling melengkapi. Hewan peka yang selalu dapat
menunjukkan gejala klinis pada infeksi T. gondii adalah mencit. Oleh sebab itu,
berbagai studi dan penentuan patogenitas dan imunopatogenesis dari infeksi
T. gondii umumnya menggunakan mencit (Darde 1996; Sibley dan Howe 1996).
T. gondii yang patogen umumnya mengakibatkan kematian pada mencit (LDI00)
dalam kurun waktu 6-9 hari pascainfeksi dan tergantung dari dosis infeksinya
(Sibley dan Howe 1996). Namun berbagai hasil percobaan dan penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa infeksi secara intraperitoneum takizoit
T. gondii I (T. gondii RH) dengan dosis lebih besar dari 103 hampir selalu
mengakibatkan kematian (LD100) pada 3-5 hari pascainfeksi, sedangkan infeksi
dengan dosis lebih kecil dari 103 akan membunuh semua mencit pada hari ke-8
sampai 9 pascainfeksi. Selanjutnya T. gondii II dan III merupakan kelompok yang
mudah membentuk kista dan hanya menyebabkan kematian (LD50) pada mencit
jika diinfeksikan dengan dosis di atas 103 (Sibley et al. 2002; Su et al. 2002;
Robben et al. 2004). Sebaliknya, apabila diinfeksikan pada dosis kurang dari 103
umumnya akan membentuk kista dan mencit dapat terus bertahan hidup tanpa
menunjukkan gejala klinis (Sibley et al. 2002; Su et al. 2002).

Siklus Hidup Toxoplasma gondii
Siklus hidup T. gondii diperantarai oleh sel inang ke intraselular inang dan
kemudian melakukan multiplikasi. Parasit ini mempunyai siklus hidup yang
bersifat obligat dengan fase seksual dan aseksual. Siklus seksual terjadi pada
tubuh kucing dan siklus aseksual terjadi pada berbagai inang antara yang sangat
bervariasi (Sciammarella 2001). Inang definitif adalah kucing dan hospes
perantaranya adalah manusia dan mamalia lainnya, serta beberapa jenis burung.
Siklus seksual T. gondii hanya terdapat pada kucing melalui gametogoni
(reproduksi seksual). Kucing dapat terinfeksi saat memakan tikus yang
mengandung kista, pseudokista atau ookista dari lingkungan. Kemudian tropozoit
masuk ke dalam epitel usus kucing dan membentuk skizon yang kemudian
membentuk makrogamet dan mikrogamet. Hasil perkawinan makrogamet dan
mikrogamet membentuk ookista, lalu dikeluarkan bersama feses kucing 3-5 hari
setelah terinfeksi dan menetap di dalam feses selama 1-2 minggu. Ookista
kemudian menjadi infeksius saat terjadi sporulasi setelah 1-3 hari pada suhu
22-32 ºC. Ookista dapat bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan dan
pada udara bebas selama 1 tahun atau lebih.
Toksoplasmosis mempunyai masa inkubasi 10-23 hari bila penularan
melalui makanan (daging yang dimasak kurang matang) dan 5-20 hari bila
penularannya melalui ookista pada feses kucing. Penularan toksoplasmosis juga

6
dapat melalui transplasenta wanita hamil ke anaknya. Tingginya prevalensi kasus
toksoplasmosis membawa resiko tingginya kejadian cacat lahir maupun
keguguran. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari pada yang
lahir cukup bulan, dapat disertai anemia, trombositopenia, hepatomegali,
splenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan saraf pusat dan lesi mata.
Infeksi pada kehamilan muda dapat menyebabkan abortus atau lahir mati (Jones et
al. 2003). Apabila toksoplasmosis menyerang wanita hamil pada trimester ketiga
dapat mengakibatkan hidrosefalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsy (Soeharsono
2002; Dharmojono 2001). Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester pertama
akan menyebabkan 20% janin terinfeksi T. gondii atau kematian janin, sedangkan
bila ibu terinfeksi pada trimester ketiga 65% janin akan terinfeksi. Infeksi ini
dapat berlangsung selama kehamilan (Indrawati 2002). Penularan juga dapat
terjadi lewat transfusi darah atau transplantasi organ (jantung, ginjal dan hati)
yang mengandung kista T. gondii. Infeksi pada orang dewasa biasanya tidak
diketahui karena jarang menimbulkan gejala (asimptomatik), tetapi bila seorang
ibu yang sedang hamil mendapatkan infeksi primer, maka ia dapat melahirkan
anak dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala klinis yang paling sering dijumpai
pada toksoplasmosis akuisita adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam
dan sakit kepala (Gandahusada et al. 2002).
Menurut Wu (2001) dan Shakespeare (1998), transmisi T. gondii dapat
terjadi melalui: a) transmisi transplasental dari wanita hamil yang terinfeksi
kepada janin yang dikandungnya (toksoplasmosis kongenital); b) konsumsi
daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista jaringan atau takizoit;
c) konsumsi air, susu, sayuran atau buah-buahan yang terkontaminasi ookista, atau
tertelan ookista yang berasal dari tanah; d) infeksi di laboratorium akibat bekerja
dengan hewan percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii, melalui jarum suntik,
alat laboratorium lain yang terkontaminasi dengan T. gondii, serta dapat terinfeksi
pada saat melakukan autopsi hewan terinfeksi; e) transfusi darah atau transplantasi
organ dari donor yang menderita toksoplasmosis laten.
Daging merupakan rute penularan yang banyak dilaporkan. Babi, kambing
dan domba merupakan ternak yang sangat penting sebagai sumber penularan
T. gondii. Selain ternak tersebut sapi, unggas dan hewan buruan juga berperan
sebagai sumber penularan (Dubey 1999). Di Amerika Serikat diperkirakan 50%
orang terinfeksi toksoplasmosis karena mengonsumsi daging (Roghmann et al.
1999). Kambing yang terinfeksi oleh T. gondii akan mengekskresikan takizoit
pada mukosa vaginal, air liur, sekresi nasal, urin dan susu. Tingkat mortalitas dan
morbiditas dari parasit ini cukup tinggi pada pasien yang immunocompromise
(AIDS, kanker, transplantasi) dan pada anak-anak yang tertular melalui ibunya
(Dubey 1999).
Marcin et al. (2007) melakukan penelitian terhadap 41 susu domba yang
diambil 2 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, lalu diuji dengan indirect
fluorescent antibody test (IFAT) dengan mendeteksi keberadaan antibodi IgG dan
IgM dari darah domba, 8 sampel menunjukkan titer antibodi positif. DNA
T. gondii dideteksi pada 7 sampel susu dari 5 ekor domba seropositif T. gondii.
Hasil sequensing yang diperoleh dari susu adalah 97-100% mengandung T. gondii.
Penemuan ini menyatakan bahwa pada periode peripartum masih ditemukan
adanya takizoit T. gondii di dalam jaringan dan dapat disirkulasikan kembali serta
dikeluarkan melalui susu (Camossia et al. 2011). Umumnya, pemeriksaan secara

7
luas pada peternakan domba menunjukkan bahwa 3.4% susu mengandung DNA
T. gondii, kenyataan bahwa kasus ini berhubungan penting terhadap kesehatan
manusia (Fusco et al. 2007).
Menurut Chiari dan Neves (1984) bahwa ekskresi takizoit pada susu di
Brazil berasal dari kambing yang terinfeksi T. gondii secara alami dan
menyebabkan penularan toksoplasmosis pada manusia akibat mengonsumsi susu
tersebut. Survei epidemiologi di Belo Horizonte, Minas Gerais State, Brazil,
mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara manusia yang terinfeksi
T. gondii secara serologis dengan konsumsi susu kambing yang terinfeksi (Chiari
et al. 1987).

Deteksi Toksoplasmosis
Perkembangan teknik diagnosis toksoplasmosis beragam seiring dengan
majunya ilmu dan teknologi. Menurut Remington et al. (2004), bahwa secara
prinsip teknik diagnosis toksoplasmosis terbagi empat macam yaitu secara
morfologis, serologis, molekuler dan serologis molekuler. Teknologi yang
pertama kali berkembang adalah pemeriksaan morfologis dengan menggunakan
mikroskop. Teknik ini bertujuan untuk identifikasi, diferensiasi dan klasifikasi
T. gondii. Diagnosis morfologis dilakukan untuk mengidentifikasi ookista,
takizoit atau bahkan kista yang berisi bradizoit. Ookista dan takizoit dapat
diperiksa secara natif ataupun dengan pewarnaan, sedangkan bradizoit umumnya
dalam bentuk preparat histopat. Teknik diagnosis morfologis menggunakan alat
dan bahan yang sangat sederhana serta relatif mudah diaplikasikan di
laboratorium.
Teknik diagnosis kedua adalah secara serologis pada hewan dan manusia.
Beberapa teknik serologis yang telah digunakan untuk diagnosis toksoplasmosis
yaitu Dye test (Sabin-Feldman dye test), CFT (complement fixation test), MAT
(modified agglutination test), CAT (card agglutination test), DAT (direct
agglutination test), IHA (indirect hemagglutination test), LAT (latex
agglutination test), IFA (indirect fluorescen assay), FA (fluorescen assay), ELISA
(enzyme linked immunosorben assay), immunoblotting (Jenum dan Straypedersen
1998; Figueiredo et al. 2001; Pietkiewietz et al. 2004) dan PCR (polymerase
chain reaction) (Jones et al. 2000; Lin et al. 2000; Menotti et al. 2003; Chabbert
et al. 2004; Remington et al. 2004; Vidal et al. 2004). Penggunaan teknik
diagnosis serologis pada hewan di Indonesia sampai saat ini terbatas pada CAT
dan LAT, sedangkan pada manusia menggunakan DAT, IHA dan ELISA.
Diagnosis serologis sangat terkait dengan evaluasi profil respon imun dan
penetapan status infeksi.
Teknik diagnosis ketiga adalah diagnosis molekuler, salah satunya adalah
teknik PCR yaitu dapat mendeteksi respon antibodi melalui ekspresi gen tetapi
spesifisitasnya masih jauh di bawah ELISA. Diagnosis molekuler sangat esensial
untuk menentukan keberadaan parasit dalam darah dan tipe atau klonet T. gondii.
Penggunaan PCR untuk diagnosis diarahkan pada determinasi tipe toksoplasma
yang menginfeksi hewan dan manusia. Prinsip PCR yaitu satu gen tertentu dari
DNA atau RNA akan diamplifikasi sebanyak mungkin yang selanjutnya
dielektroforesis dalam gel agarose. Teknik diagnosis yang memanfaatkan basis

8
teknologi PCR serta mulai banyak digunakan adalah RFLP (random fragment
length polymorphism), sedangkan yang dapat dipakai untuk penentuan klonet
T. gondii adalah RT PCR (real time polymerase chain reaction) yang memiliki
sensitivitas dan spesivisitas tinggi dibanding PCR konvensional (Lin et al. 2000;
Grigg et al. 2001; Simmon et al. 2004).
Teknik diagnosis keempat secara serologis molekuler. Teknik yang telah
dikembangkan yaitu PCR ELISA dan Multiplex PCR (Menotti et al. 2003;
Schwab dan Mcdevitt 2003; Simmon et al. 2004; Ajzenberg et al. 2005). Teknik
PCR ELISA memungkinkan dilakukan kuantifikasi seperti halnya RT PCR
dengan sensitivitas yang setara (Menotti et al. 2003), namun pada PCR ELISA,
waktu yang dibutuhkan sedikit lebih lama karena menggabungkan teknik PCR
dengan ELISA produk PCR. Apabila ditinjau dari segi biaya operasional, PCR
ELISA jauh lebih terjangkau.

Penyebaran Toksoplasmosis
Toksoplasmosis di Indonesia pada manusia pertama kali dilaporkan oleh
Catar pada tahun 1962, ketika melakukan survei di Jawa dan Bali dengan hasil
27.4% sampel positif terhadap toksoplasmosis. Kemudian pada tahun 1964
diperoleh 24% penduduk asli di Lembah Baliem dan daerah Merauke yang
berumur 10-50 tahun mengidap atau pernah mengidap toksoplasmosis. Kasus
toksoplasmosis juga ditemukan di Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Surabaya,
Sulawesi Utara, Boyolali dan Sumatera Utara. Pemeriksaan serologis terhadap
1693 penduduk Jakarta yang berumur 20-85 tahun, Terazawa et al. (2003)
melaporkan bahwa tingkat seroprevalensi toksoplasmosis pada penduduk Jakarta
adalah 70%, tanpa ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki (71%) dan
perempuan (69%). Chandra (2001) melaporkan bahwa 52.25% kejadian abortus
spontan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta dan rumah sakit Hasan
Sadikin Bandung akibat infeksi T. gondii. Gandahusada et al. (2002) melaporkan
bahwa prevalensi toksoplasmosis pada manusia berkisar antara 2-63%, kucing
35-73%, anjing 75%, babi 11-36%, kambing 11-61%, sedangkan sapi dan kerbau
kurang dari 10%. Chandra (2001) menyebutkan adanya takizoit T. gondii yang
ditemukan pada daging kambing di pasar tradisional di kotamadya Surabaya
dengan prevalensi mencapai 66.7%. Hal ini mengindikasikan daging sebagai
bahan pangan berpotensi sebagai sumber penularan toksoplasmosis.
Seroprevalensi kejadian toksoplasmosis di dunia sangat bervariasi yaitu di
Jepang 12%, Inggris dan Amerika 21-36%, Perancis dan El Salvador 84-90% dan
Jerman 80% (Sciammarella 2001). Menurut Jones et al. (2003), di Amerika
Serikat diperkirakan terjadi 400-4000 kasus toksoplasmosis kongenital setiap
tahunnya. Pada orang dewasa dilaporkan 40% mengalami toksoplasmosis yang
asimptomatik. Survei serologis dari berbagai jenis hewan di Amerika prevalensi
antibodi terhadap toksoplasmosis didapatkan pada kucing (34%), sapi (47%),
kambing (48%), babi (30%), anjing (34-59%) (Sciammarella 2001).
Akhir-akhir ini toksoplasmosis telah menarik perhatian dunia kedokteran
karena merupakan zoonosis yang berbahaya. Meskipun demikian, penyakit ini
masih sedikit dikenal oleh masyarakat. Tingginya prevalensi kasus
toksoplasmosis membawa resiko tingginya kejadian cacat lahir maupun

9
keguguran. Soeharsono (2002) dan Dharmojono (2001) menyatakan bahwa
apabila toksoplasmosis mengenai wanita hamil trimester ketiga dapat
mengakibatkan hidrosefalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Kejadian
toksoplasmosis di beberapa kota besar di Indonesia juga pernah diteliti tahun 2003.
Adapun prevalensi kasus toksoplasmosis pada manusia di Indonesia adalah Aceh
(59.09%), Sumatera Utara (68.98%), Sumatera Barat (54%), Riau (55%), Jambi
(51.20%), Lampung (88.23%), Jakarta (76.92%), Jawa Barat (68.66%), Jawa
Tengah (58.62%), Jawa Timur (48.78%), Bali (53.57%), Nusa Tenggara Barat
(28.95%), Nusa Tenggara Timur (80%), Kalimantan Barat (55.88%), Kalimantan
Tengah (68.42%), Kalimantan Selatan (55.26%), Kalimantan Timur (81.25%),
Sulawasi Tengah (76.47%) dan Irian Jaya (68%) (Subekti 2008).
Suhardjo et al. (2003) melakukan penelitian pada 173 pasien penderita
toksoplasmosis okular (98 orang laki-laki dan 75 orang wanita) yang berumur
3 bulan sampai 68 tahun di rumah sakit Dr Sardjito dan Klinik mata Dr Yap di
Yogyakarta. Suhardjo et al. (2003) menyatakan bahwa manifestasi klinis
toksoplasmosis okular yang paling sering adalah khorioretinitis (71.2%), luka
pada retina mata (22.4%), mata juling (6.4%), katarak kongenital (2.8%),
nistagmus (6.4%) dan pengecilan pupil mata (2.8%). Penderita imunosupresan,
yaitu penderita AIDS, kanker ataupun pasien transplantasi organ gejala klinis akan
cepat terlihat. Pada tahun 1980-an ensefalitis toksoplasmik muncul sebagai
penyakit parasitik yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS. Gejala klinis
lainnya yaitu adanya gangguan sistem syaraf, ensefalitis, pembesaran
limfoglandula, gangguan mata, gangguan pendengaran, gangguan pernafasan dan
gangguan jantung. Angka kematian pada penderita imunosupresan cukup tinggi
(Wu 2013).
Kucing piara (Felis catus) dan hewan-hewan tergolong famili Felidae,
antara lain jaguarundi (F. yagouroundi), ocelot (F. paradalis), singa gunung
(F. concolor), leopard (F. bengalensis) dan bobcat (Lynx rufus) merupakan hospes
definitif. Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung
(Soeharsono 2002). Lima belas sampai 85% populasi anak-anak di dunia secara
kronis terinfeksi oleh toksoplasmosis dipengaruhi oleh kondisi geografi, suhu,
ataupun kelembaban (Indrawati 2002). Faktor kelembaban dan suhu yang sesuai
ookista akan mampu bertahan beberapa bulan sampai lebih dari satu tahun. Lalat,
cacing, kecoak dan serangga lain mungkin dianggap sebagai agen mekanis dalam
penyebaran parasit ini. Faktor lain yang berpengaruh adalah umur. Umur
berpengaruh secara serologi pada orang yang mengonsumsi daging babi yang
proses pemasakannya tidak sempurna dan pada orang yang selalu menangani
daging mentah.

Pencegahan dan Pengobatan Toksoplasmosis
Kista T. gondii dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -4 ºC selama
3 minggu. Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu
-15 ºC selama tiga hari dan pada suhu -20 ºC selama dua hari. Daging dapat
menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65 ºC selama 4-5 menit atau lebih,
maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga
hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat (WHO 1979).
Kista jaringan dalam induk semang antara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai

10
sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya pada suhu 66 ºC sampai
matang sebelum dimakan (Chahaya 2003). Untuk mencegah terjadinya infeksi
dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista
dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta
air panas 70 ºC yang disiramkan pada feses kucing (Remington dan Desmont
1983; Siegmund 1979). Lundén dan Uggla (1992) menyatakan bahwa pemanasan
pada suhu 50 ºC atau lebih, kemungkinan dapat membunuh kista dalam daging
kambing. Peneliti lain menunjukkan bahwa kista dalam jaringan dapat mati pada
suhu -12 ºC selama beberapa hari (Kotula et al. 1991).
Pencegahan toksoplasmosis dapat dilakukan melalui: a) tidak memakan
daging mentah atau kurang matang; b) mencuci tangan setelah memegang daging
mentah; c) mencuci alat dapur bekas daging mentah; d) mencuci sayuran
mentah/lalapan sebelum dikonsumsi; e) mencuci tangan setelah berkebun atau
memegang kucing dan f) mencegah lalat dan kecoa menghinggapi makanan
(Chahaya 2003).
Tingginya kadar antibodi dari pemeriksaan toksoplasmosis secara serologis
untuk menyatakan seseorang sudah terinfeksi adalah beragam, tergantung pada
cara peneraan yang dipakai dan kendali mutu serta batasan baku masing-masing
laboratorium. Tidak semua ibu hamil yang terinfeksi toksoplasmosis akan
menularkan toksoplasmosis bawaan pada bayinya. Bilamana dalam pemeriksaan
sebelum hamil menunjukkan IgG positif terhadap Toxoplasma, berarti ibu tersebut
terinfeksi sudah lama, tetapi bukan berarti bahwa 100% bayinya akan bebas dari
toksoplasmosis bawaan. Gandahusada (1992) menyatakan bahwa obat-obat yang
cukup efektif terhadap toksoplasmosis antara lain pirimetamin (daraprim,
fansidar) dengan dosis 1 mg/kg berat badan/hari secara oral. Obat ini dapat
menyebabkan depresi sumsum tulang, maka harus diberikan bersamaan dengan
asam folinat 3-10 mg IM/hari dan diberikan setiap hari selama dua minggu dan
tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena efek samping teratogenesis.
Sulfadiazin juga dapat diberikan secara oral yaitu dosis dewasa 3-6 g/hari, anak
150 mg/kg berat badan/hari dan efek sampingnya adalah gangguan ginjal.
Spiramisin diberikan secara oral dengan dosis dewasa 2-3 g/hari, anak 50 mg/kg
berat badan/hari dan efek samping ringan serta dapat diberikan kepada wanita
hamil. Kortikosteroid perlu diberikan juga, seperti prednison dengan dosis
1-2 mg/kg berat badan/hari secara oral, diberikan dua kali sehari selama masa
peradangan, kemudian dosis diturunkan.
Pencegahan toksoplasmosis pada ternak dapat dilakukan dengan memutus
rantai siklus hidupnya, yaitu mencegah kontaminasi T. gondii pada pakan.
Pengobatan pada ternak hanya efektif terhadap bentuk takizoit, tetapi tidak dapat
menghilangkan bentuk kista. Klindamisin dengan dosis 25-50 mg/kg berat badan
per hari dibagi menjadi dua dosis, yaitu pagi dan sore diberikan secara oral dan
diberikan sampai dua minggu setelah gejala klinis hilang. Sulfadiazin dengan
dosis 30 mg/kg berat badan diberikan secara oral setiap 12 jam. Pirimetamin
0.5 mg/kg berat badan dan diberikan juga asam folinic 5 mg/hari (Iskandar 1999).

Susu Kambing
Susu kambing di Indonesia umumnya berasal dari kambing perah
Peranakan Etawah (PE) dan mempunyai prospek pengembangan yang baik. Susu

11
kambing dianggap sebagian masyarakat dapat menyembuhkan berbagai penyakit
pernafasan seperti asma dan tuberkulosis, walaupun belum terbukti secara ilmiah.
Oleh karena itu, permintaan akan susu kambing cenderung semakin meningkat.
Susu kambing belum dikenal secara luas seperti susu sapi padahal memiliki
komposisi kimia yang cukup baik (Fauzan 2011). Menurut hasil penelitian Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan Bogor (1996), susu kambing mengandung protein sebanyak 3.3-4.9%
dan lemak 4.0-7.3%, sedangkan susu sapi mengandung protein sebanyak 3.3% dan
lemak 3.7%. Susu kambing lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi,
karena ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan secara alamiah sudah
berada dalam keadaan homogen. Globula-globula lemak yang berdiameter kecil
yaitu 4.5 µm pada susu kambing lebih banyak yaitu 82.7%, sedangkan pada susu
sapi hanya 65.4%.
Menurut Gaman dan Sherrington (1992) susu segar yang berkualitas baik
mempunyai ciri-ciri tidak memiliki aroma yang kuat, ada sedikit rasa manis dari
laktosa (gula susu), warnanya putih sampai sedikit kekuningan (akibat larutan zat
karoten dalam lemak susu), belum terpisahnya lemak, tidak terdapat lendir, serta
tidak ada penggumpalan protein susu yang sering terjadi jika susu mulai
mengalami proses pengasaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Food and
Agriculture Organization (FAO 1990) bahwa struktur molekuler susu kambing
berbeda dengan susu sapi, demikian juga dengan kasein susunya. Selain
laktalbumin, berbagai fraksi protein susu kambing berbeda dengan susu sapi. Susu
kambing lebih mudah dicerna dibandingkan susu sapi sehingga lebih cocok
diberikan pada bayi yang tidak