Pengaruh Penambahan Ragi Roti Dan Lama Waktu Fermentasi Terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu (Saccharum officanarum) Dengan HCl 30% Dalam Pembuatan Bioetanol

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN LAMA WAKTU

FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS

SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum officanarum)

DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN

BIOETANOL

SKRIPSI

FERI SUSANTO

080802063

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN LAMA WAKTU

FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS

SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum officanarum)

DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN

BIOETANOL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

FERI SUSANTO

080802063

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN

LAMA WAKTU FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum Officanarum) DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN BIOETANOL

Kategori : SKRIPSI

Nama : FERI SUSANTO

Nomor Induk Mahasiswa : 080802063

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Agustus 2012

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Yuniarti Yusak,MS DR. Rumondang Bulan, MS NIP. 194901271980022001 NIP.195408301985032001

Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

DR. Rumondang Bulan, MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN LAMA WAKTU

FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS

SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum officanarum)

DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN

BIOETANOL

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa karya skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2012

FERI SUSANTO 080802063


(5)

PENGHARGAAN

Alhamdulillahirabbil’alamin... Inilah kalimat indah untuk-Mu Ya Allah, kalimat yang menandakan rasa syukur ku sebagai hamba-Mu atas nikmat dan karunia yang tak henti-hentinya Engkau berikan. Sholawat dan salam untuk junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulis mengakui setulus-tulusnya bahwa banyak pihak yang telah memberikan dorongan, bimbingan, semangat dan saran dalam penyelesaian penulisan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Penambahan Ragi Roti dan Lama Waktu Fermentasi Terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

(Saccharum Officanarum) Dengan HCl 30% Dalam Pembuatan Bioetanol” dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Kimia FMIPA USU. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada : Ayahanda tercinta Sudirman dan Ibunda Zahara atas doa yang tiada henti, kesabaran dan kasih sayang yang tulus serta dukungan moril dan materil sehingga Ananda dapat mempersembahkan sebuah karya sebagai penyejuk hati. Kepada abang, kakak, dan keponakanku yang selalu memberikan tawa saat bersama dalam keluarga.

Penulis mengucapkan ribuan terima kasih atas segala kebesaran dan ketulusan hati yang telah memberikan saran, membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini serta untuk ilmu yang penulis dapatkan selama perkuliahan kepada : ibu Dr. Rumondang Bulan, MS, selaku Ketua Jurusan dan sebagai dosen pembimbing I dan ibu Dr. Yuniarti Yusak, MS, sebagai dosen pembimbing II, Bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku Sekretaris Jurusan Kimia, Bapak Drs. Firman Sebayang, MS, selaku kepala Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan, Bapak Dr. Ribu Surbakti, MS dan Ibu Dra. Emma Zaidar, M.Si, sebagai dosen biokimia, Bapak Prof. Basuki Wirjosentono,Ph.D, sebagai dosen wali serta bapak ibu dosen berserta semua staf Departemen Kimia FMIPA USU.

Dan tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga Biokimia (Tiwi, Icha, Yhaya, Arau, Ari, Tika, Putri, Echa dan Saiful) serta Kak Pia dan Kak Vika yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Sahabat-sahabat terbaikku (Jaka, Zefry, Jandri, Yohannes, Siti, Juju, Feby, Bethsy, Erin, Reni, Ria). Kawan-kawan seperjuangan stambuk 2008 yang banyak membantu Arif, Andreas, Enka, Bayu, Firman, Elisa, Tya. Dan untuk Nurul atas dukungan dan semangat kepada penulis. Kakak, Abang dan adik-adik satu almamater yang telah menjalin kerja sama, saling bertukar pikiran selama kuliah untuk menuju puncak keberhasilan bersama.

Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna dan penulis persembahkan skripsi ini kepada para pembaca semoga ada manfaatnya dan terima kasih.


(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penambahan ragi roti dan lama waktu fermentasi terhadap glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan HCl 30% dalam pembuatan bioetanol. Ampas tebu mengandung selulosa sebesar 29,81%. Selulosa diisolasi dari ampas tebu yang dihidrolisis dengan HCl 30% untuk menghasilkan glukosa yang dianalisa dengan metode Nelson-Somogyi dan kadar gula reduksi yang diperolah sebesar 9,15%. Fermentasi glukosa menggunakan variasi lama fermentasi 2 hari, 4 hari, 6 hari dan 8 hari dengan variasi penambahan ragi roti 1 g, 2 g dan 3 g. Kadar bioetanol dianalisa dengan titrasi volumetrik menggunakan metode oksidasi kalium dikromat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kadar etanol tertinggi diperoleh pada fermentasi sebesar 5,12% dengan lama fermentasi 6 hari dan penambahan ragi roti 2 gram.


(7)

THE INFLUENCE ADDED BAKER YEAST AND PERIODS OF FERMENTATION TOWARD GLUCOSE YIELD

HYDROLYSIS CELLULOSE SUGARCANE BAGASSE WITH HCl 30% TO MAKE

BIOETHANOL

ABSTRACT

The research on the influence added baker yeast and periods of fermentation toward glucoce yield hydrolysis sugarcane bagasse with HCl 30% to make bioethanol.. Sugarcane baggase was contained that cellulose was content was 29,81%. The cellulose was isolated from sugarcane baggase. It was hidrolized by HCl 30% to yield glucose and was analized by Nelson-Somogyi Method and the obtained data of the reduction glucose was 9,15%. The fermentation of glucose used various periods of fermentation were 2 days, 4 days, 6 days and 8 days and various added baker yeast were 1 g, 2, and 3 g. The percentage of bioethanol was analized by using pottassium dicromate titrations of oxidation volumetric method. The result of analysis show that the highest percentage was 5,12% with period of fermentation was 6 days and baker yeast 2 g.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstark v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran xii

Bab I Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Pembatasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Lokasi Penelitian 4

1.7 Metodologi Penelitian 4

Bab II Tinjauan Pustaka 6

2.1 Tanaman Tebu 6

2.1.1 Klasifikasi Tebu 6

2.2 Karbohidrat 7

2.2.1 Klasifikasi Karbohidrat 9

2.2.1.1 Monosakarida 9

2.2.1.2 Oligosakarida 9

2.2.1.3 Polisakarida 10

2.2.2 Lignin 11

2.2.3 Selulosa 12

2.2.4 Glukosa 14

2.3 Analisa Kualitatif dan Kuantitatif Gula Pereduksi 15

2.3.1 Analisa Kualitatif Gula Pereduksi 15

2.3.1.1 Uji Molisch 15

2.3.1.2 Uji Seliwanof 15

2.3.1.3 Uji Anthrone 16

2.3.1.4 Uji Barfoed 16

2.3.1.5 Uji Iodin 16

2.3.1.6 Uji Osazon 16

2.3.1.7 Uji Fehling 17

2.3.1.8 Uji Benedict 17


(9)

2.3.2.1 Metode Luff-Schroll 17

2.3.2.2 Metode Munson Walker 18

2.3.2.3 Metode Lane-Eynon 19

2.4 Glikolisis 19

2.5 Fermentasi 21

2.6 Ragi 22

2.6.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Ragi 22

2.7 Bioetanol 23

Bab III Metoda Penelitian 25

3.1 Alat dan Bahan 25

3.1.1 Alat-alat 25

3.1.2 Bahan-bahan 26

3.2 Prosedur Penelitian 27

3.2.1 Pengambilan Sampel 27

3.2.2 Pembuatan Larutan 27

1. Larutan K2Cr2O7 0689 N 27

2. Larutan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393 N 28

3. Indikator Ferroin 28

4. Pereaksi Benedict 28

5. Larutan HCl 30% 28

6. Larutan NaOH 10% 28

7. Larutan HNO3 3,5% 28

8. Larutan Na2SO3 2% 29

9. Larutan NaOH 2% 29

10. Larutan NaOH 17,5% 29

11. Larutan Na-Hipoklorit 1,75% 29

12. Larutan Pereaksi Nelson 29

13. Larutan Arsenomolibdat 30

3.2.3 Cara Kerja 30

3.2.3.1 Isolasi Selulosa dan Uji Kualitatif Selulosa 30 3.2.3.2 Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu dan 31

Uji Kualitatif Glukosa

3.2.3.3 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum 31 Larutan Glukosa Standar

3.2.3.4 Penyiapan Kurva Standar Glukosa 31 3.2.3.5 Analisa Kadar Glukosa dari Hidrolisis 32

Selulosa Ampas Tebu

3.2.3.6 Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa 32 Ampas Tebu Menjadi Bioetanol

3.2.3.7 Destilasi Larutan Fermentasi Glukosa Hasil 32 Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

3.2.3.8 Penentuan Kurva Kalibrasi Etanol Standar 33 3.2.3.9 Analisa Kadar Bioetanol Dengan Metode 33

Oksidasi Kalium Dikromat

3.3 Bagan Penelitian 34

3.3.1 Isolasi Selulosa dari Ampas Tebu dan Uji Kualitatif 34 Selulosa


(10)

3.3.2 Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu dan Uji Kualitatif 35 Glukosa

3.3.3 Pembuatan Larutan Fermentasi 36

3.3.4 Destilasi Larutan Hasil Fermentasi dan Uji 37 Kuantitatif Bioetanol

Bab IV Hasil dan Pembahasan 38

4.1 Hasil Penelitian 38

4.2 Perhitungan 39

4.2.1 Perhitungan Kadar Selulosa Dalam Ampas Tebu 39 4.2.2 Perhitungan Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis 39

Selulosa Ampas Tebu

4.2.3 Perhitungan Kadar Bioetanol 42

4.3 Pembahasan 44

4.3.1 Variasi Lama Fermentasi Terhadapa Kadar 44 Bioetanol

4.3.2 Variasi Penambahan Ragi Roti Terhadap 45 Kadar Bioetanol

4.3.3 Reaksi Kalium Dikromat Dengan Bioetanol 47

Bab V Kesimpulan dan Saran 48

5.1 Kesimpulan 48

5.2 Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa 38 Ampas Tebu

Tabel 4.2 Data Penentuan Larutan Glukosa Standar (mg/mL) Pada 40 Berbagai Konsentrasi


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Selulosa 12

Gambar 2.2 Reaksi Hidrolisis Selulosa Dengan Asam 14

Gambar 2.3 Resorcinol (1,3 dihidroksi benzen) 15

Gambar 2.4 Reaksi Gula Pereduksi Dengan Pereaksi benedict 17


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A Data Penentuan λ Maksimum dari Larutan Glukosa 52

0,05 mg/mL

Lampiran B Data Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm 52 Lampiran C Data Volume Titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0,393 N dan Kadar 53

Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Lampiran D Data Penentuan Ybaru 53

Lampiran E Kurva Penentuan λ Maksimum dari Larutan Glukosa 54 0,05 mg/mL

Lampiran F Kurva Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm 54 Lampiran G Kurva Larutan Etanol Standar Dengan Berbagai Konsentrasi 55 Lampiran H Kurva Kadar Bioetanol Dengan Variasi Penambahan 55


(14)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penambahan ragi roti dan lama waktu fermentasi terhadap glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan HCl 30% dalam pembuatan bioetanol. Ampas tebu mengandung selulosa sebesar 29,81%. Selulosa diisolasi dari ampas tebu yang dihidrolisis dengan HCl 30% untuk menghasilkan glukosa yang dianalisa dengan metode Nelson-Somogyi dan kadar gula reduksi yang diperolah sebesar 9,15%. Fermentasi glukosa menggunakan variasi lama fermentasi 2 hari, 4 hari, 6 hari dan 8 hari dengan variasi penambahan ragi roti 1 g, 2 g dan 3 g. Kadar bioetanol dianalisa dengan titrasi volumetrik menggunakan metode oksidasi kalium dikromat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kadar etanol tertinggi diperoleh pada fermentasi sebesar 5,12% dengan lama fermentasi 6 hari dan penambahan ragi roti 2 gram.


(15)

THE INFLUENCE ADDED BAKER YEAST AND PERIODS OF FERMENTATION TOWARD GLUCOSE YIELD

HYDROLYSIS CELLULOSE SUGARCANE BAGASSE WITH HCl 30% TO MAKE

BIOETHANOL

ABSTRACT

The research on the influence added baker yeast and periods of fermentation toward glucoce yield hydrolysis sugarcane bagasse with HCl 30% to make bioethanol.. Sugarcane baggase was contained that cellulose was content was 29,81%. The cellulose was isolated from sugarcane baggase. It was hidrolized by HCl 30% to yield glucose and was analized by Nelson-Somogyi Method and the obtained data of the reduction glucose was 9,15%. The fermentation of glucose used various periods of fermentation were 2 days, 4 days, 6 days and 8 days and various added baker yeast were 1 g, 2, and 3 g. The percentage of bioethanol was analized by using pottassium dicromate titrations of oxidation volumetric method. The result of analysis show that the highest percentage was 5,12% with period of fermentation was 6 days and baker yeast 2 g.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1.Latar Belakang

Tanaman tebu di Indonesia banyak ditanam oleh para petani kecil baik atas usaha sendiri maupun atas usaha kerjasama dengan pabrik gula atau pabrik gula yang menyewa lahan pertanian penduduk dan sekaligus mengupah tenaganya dalam usaha mengembangkan tanaman tebu bagi keperluan memenuhi bahan baku bagi pabriknya (Kartasapoetra, 1988).

Produk utama dari pabrik gula adalah gula putih. Namun ada produk yang merupakan produk samping dari pengolahan tebu menjadi gula. Hasil samping tersebut berupa tetes (molase), pucuk daun tebu, blotong, ampas tebu yang merupakan limbah pabrik. Hasil samping berupa limbah pabrik sering menimbulkan banyak permasalahan sebab menjadi sumber pencemaran lingkungan.

Ampas tebu adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas tebu sekitar 35 – 40% dari berat tebu yang digiling. Mengingat begitu banyak jumlahnya, maka ampas tebu akan memberikan nilai tambah untuk pabrik jika diberi perlakuan lebih lanjut (Tim Penulis PS, 1992).

Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu bahan lignoselulosa yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian penting karena bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar. Penggunaan bioetanol


(17)

sebagai bahan bakar terus dikembangkan . Menurut Licht (2009), pada tahun 1999 produksi bahan bakar etanol mencapai 4.972 juta galon (setara dengan 18.819 juta liter) dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 17.524 juta galon (setara dengan 66.328 juta liter). (Hermiati, 2009).

Manfaat umum yang dapat diperoleh dari bahan bakar bioetanol antara lain, digunakan untuk bahan baku industri turunan alkohol, campuran minuman keras, industri farmasi, sampai pada bahan baku campuran kendaraan. Tentu saja, pemanfaatan etanol ini harus disesuaikan dengan jenis kebutuhannya. Misalnya, untuk kebutuhan industri diperlukan etanol dengan grade antara 90-96,5%, sedangkan untuk minuman keras dibutuhkan etanol berkadar 99,5-100%, atau etanol yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif (Abidin, 2009).

Pemanfaatan ampas tebu untuk dikonversikan menjadi bioetanol telah banyak dikembangkan dari dulu hingga saat ini, diantaranya yang pernah memanfaatkan ampas tebu menjadi bioetanol yaitu M.Samsuri dkk (2007) “Pemanfaatan Selulosa Bagas Untuk Produksi Etanol Melalui Sakarifikasi Dan Fermentasi Serentak Dengan Enzim Xylanase”; M.Samsuri dkk (2007) “Sakarifikasi Dan Fermentasi Bagas Menjadi Etanol Menggunakan Enzim Selulase dan Enzim Selobiase”; dan Euis Hermiati dkk (2009) “Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol”.

Penelitian ini dilatarbelakangi berdasarkan penelitian Pembuatan Bioetanol Dari Biji Durian Sebagai Sumber Energi Alternatif oleh Fifi Nurfiana (2009) dan Pembuatan Bioetanol Dari Singkong Secara Fermentasi Menggunakan Ragi Tape oleh Heppy Rikana dan Risky Adam (2000). Dimana pada penelitian ini, ragi tape dapat dengan langsung digunakan untuk proses fermentasi tanpa mengisolasi mikroba yang ada dalam ragi tape terlebih dahulu.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pemanfaatan ampas tebu dalam pembuatan bioetanol secara fermentasi dengan menggunakan ragi roti tanpa mengisolasi Saccharomyces cereviceae terlebih dahulu.


(18)

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah ragi roti dapat digunakan secara langsung tanpa mengisolasi Saccharomyces cereviceae terlebih dahulu dalam pembuatan bioetanol dari fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan HCl 30% ?

2. Bagaimana pengaruh variasi penambahan ragi roti dan lama waktu fermentasi terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan?

1.3 Pembatasan Masalah

Karena luasnya permasalahan dalam pemanfaatan ampas tebu, maka penelitian ini dibatasi sebagai berikut:

1. Ampas tebu diperoleh dari Pabrik Gula Sei Semayang Jalan Medan-Binjai Km 12. 2. Hidrolisis ampas tebu menggunakan HCl 30%.

3. Ragi roti yang digunakan untuk fermentasi adalah ragi roti dalam bentuk kemasan dengan merk saf instant.

4. Kadar bioetanol ditentukan secara volumetrik dengan metode oksidasi kalium dikromat.

5. Kadar glukosa ditentukan dengan metode Nelson Somogyi. 6. Variasi ragi roti yang digunakan yaitu 1, 2, dan 3 gram. 7. Variasi lama fermentasi yaitu 2, 4, 6, dan 8 hari.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah ragi roti dapat memfermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa dari ampas tebu menjadi bioetanol tanpa melalui isolasi Saccharomyces cereviceae terlebih dahulu.

2. Untuk mengetahui pengaruh variasi berat ragi roti yang ditambahkan dan lama waktu fermentasi terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan.


(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan:

1. Pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku penghasil bioetanol diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis bagi para petani tebu.

2. Dapat memanfaatkan limbah pabrik gula sebagai bahan baku pembuatan bioetanol untuk bahan bakar alternatif.

3. Dapat memberikan informasi kadar bioetanol yang dihasilkan untuk penelitian lebih lanjut.

4. Dapat memberikan informasi ilmiah dalam pemanfaatan limbah pabrik gula untuk pembuatan bioetanol dengan menggunakan ragi roti.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan FMIPA-USU Medan, Laboratorium Ilmu Dasar FMIPA-USU dan Pusat Penelitian FMIPA-USU.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah bersifat eksperimental laboratorium dengan menggunakan ampas tebu dimana metode penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Penelitian dilakukan dengan 4 tahapan yaitu: 1. Penyediaan selulosa ampas tebu.

• Bahan baku adalah ampas tebu yang diperoleh dari Pabrik Gula Sei Semayang Jalan Medan- Binjai Km 12.

• Proses isolasi selulosa dengan cara delignifikasi ampas tebu.

• Uji kualitatif selulosa dilakukan dengan penambahan larutan Iodin. 2. Penyediaan glukosa dari hidrolisis selulosa ampas tebu.

• Bahan baku adalah selulosa yang diisolasi dari ampas tebu.

• Proses perubahan selulosa ampas tebu menjadi glukosa adalah hidrolisis dengan menggunakan HCl 30%.


(20)

• Uji kualitatif glukosa dengan menggunakan pereaksi Benedict.

• Kadar glukosa dianalisa dengan menggunakan metode Nelson Somogyi.

3. Fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu untuk menghasilkan bioetanol

• Substrat yang digunakan pada fermentasi adalah glukosa hasil hidrolisis selulosa dari ampas tebu.

• Mikroba yang digunakan berasal dari ragi roti. 4. Pemurnian bioetanol hasil fermentasi.

• Bioetanol dipisahkan dari sisa glukosa dengan menggunakan alat destilasi.

• Kadar bioetanol hasil pemisahan dianalisa dengan menggunakan metode titrasi oksidasi kalium dikromat.

Adapun variabel–variabel dalam penelitian adalah :

1. Variabel bebas adalah variabel yang mempunyai pengaruh terhadap kadar bioetanol yaitu:

• Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap fermentasi hasil hidrolisis selulosa ampas tebu.

• Pengaruh penambahan ragi terhadap glukosa 1, 2, dan 3 gram

2. Variabel terikat adalah variabel yang terukur terhadap perubahan perlakuan. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat yaitu :

• Kadar bioetanol.

3. Variabel tetap adalah variabel yang dibuat tetap sehingga tidak menyebabkan terjadinya perubahan variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel tetap adalah:

• Berat sampel

• Berat ragi

• pH fermentasi yaitu pH= 4 - 5

• Temperatur fermentasi pada suhu kamar

• Kadar gula tetap


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Tebu

Tanaman tebu tidak asing lagi bagi kita, karena telah lama ada di negeri ini. Asal mula tebu tidak diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan tebu berasal dari India, karena tebu ditemukan pertama kali di India. Akan tetapi, di India tidak ditemukan tanaman tebu yang hidup liar, sehingga India diragukan sebagai tempat asal mula tebu. Beberapa tahun kemudian orang menemukan tebu di hutan-hutan Irian. Setelah diamati, kemungkinan besar tebu berasal dari daerah ini (Tim Penulis PS, 1992).

Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh didaerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput – rumputan. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera (Wikipedia.com).

Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri sebab didalam batangnya terdapat zat gula. Mulai dari pangkal sampai ujung batangnya mengandung air gula dengan kadar mencapai 20%. Air gula inilah yang kelak dibuat menjadi kristal-kristal gula atau gula pasir (Tim Penulis PS, 1992).

2.1.1 Klasifikasi Tebu

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida


(22)

Ordo : Poales Famili : Poaceae Genus : Saccharum (www.wikipedia.com)

Jenis-jenis tebu yang sering ditanam yaitu POY 3016, PS 30, PS 41, PS 38, PS 36, PS 8, BZ 132, BZ 62 dan lain-lain. Adapun nama lokal tebu yaitu Sugar cane (Inggris), Tebu (Indonesia), Tebu,Rosan (Jawa), Tiwu (Sunda), Tebhu (Madura), Tebu,Isepan (Bali), Teubee (Aceh), Tewu (Nias,Flores), Atihu (Ambon), Tebu (Lampung), Tepu (Timor) (www.iptek.net.id).

Diperkirakan kandungan polisakarida pada tebu mencapai lebih dari 70% yang terbagi atas selulosa 50-55% dan hemiselulosa 15-20%. Kandungan lignin diperkirakan hanya sekitar 20-30%. Pada biomassa lignoselulosa hanya selulosa dan hemiselulosa yang biasanya diolah menjadi monosakarida untuk pembuatan etanol (Samsuri, 2007).

Dibandingkan dengan bahan lignoselulosa lain yang banyak tersedia sebagai hasil samping industri perrtanian dan perkebunan, misalnya jerami padi dan tandan kosong kelapa sawit, ampas tebu memiliki kelebihan terutama dalam bentuk dan ukuran bahan. Ampas tebu dari pabrik gula sudah merupakan partikel kecil yang tidak lagi memerlukan proses perlakuan pendahuluan secara fisika berupa pencacahan atau penggilingan untuk memperkecil ukuran bahan. Ampas tebu dapat langsung diberi perlakuan pendahuluan lanjutan untuk mendegradasi lignin dalam bahan (Hermiati, 2009).

2.2 Karbohidrat

Karbohidrat adalah polihidroksi aldehida atau polihidroksi keton yang mempunyai rumus molekul umum (CH2O)n. Yang lebih dikenal sebagai golongan aldosa dan yang kedua sebagai ketosa. Dari rumus umum dapat diketahui karbohidrat adalah suatu polimer. Senyawa yang menyusunnya adalah monomer-monomer. Dari jumlah


(23)

monomer yang menyusun polimer itu, maka karbohidrat digolongkan menjadi monosakarida, disakarida, trisakarida dan seterusnya sampai polisakarida. Bilamana jumlah monomer yang menyusunnya berturut-turut adalah satu, dua, tiga dan banyak. Untuk memudahkan biasanya dibagi menjadi tiga golongan yaitu monosakarida, oligosakarida dan polisakarida.

Karbohidrat atau sakarida mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bahan bakar dan sebagai bahan penyusun struktur sel. Contoh karbohidrat yang tergolong dalam kelompok pertama adalah glukosa, pati dan glikogen, dan yang termasuk kelompok kedua adalah selulosa, kitin dan pektin (Martoharsono, 1998).

Molekul karbohidrat terdiri atas atom-atom karbon, hidrogen dan oksigen. Jumlah atom hidrogen dan oksigen merupakan perbandingan 2:1 seperti molekul air. Sebagai contoh molekul glukosa mempunyai rumus kimia C6H12O6. Pada glukosa tampak bahwa jumlah atom hidrogen berbanding jumlah atom oksigen ialah 12:6 atau 2:1, sedangkan pada sukrosa 22:11 atau 2:1. Dengan demikian dahulu orang berkesimpulan adanya air dalam karbohidrat, yang berasal dari “karbon” yang berarti mengandung unsur karbon dan “hidrat” yang berarti air (Poedjiadi, 2007).

Bersama-sama dengan lemak dan protein, karbohidrat memegang peranan penting bagi kehidupan dibumi ini. Bukan saja sebagai sumber energi utama bagi makhluk hidup, tetapi juga sebagai senyawa yang menyimpan energi kimia. Pada hewan atau manusia energi disimpan dalam bentuk glikogen dan pada tanaman sebagai pati. Disamping kedua senyawa tersebut, ada pula karbohidrat pembentuk struktur, misalnya selulosa yang berperanan sebagai komponen utama di dinding sel bakteri. Selain terdapat pada dinding sel bakteri dan tumbuhan, polisakarida juga banyak terdapat pada dinding sel binatang (Girindra, 1990).


(24)

2.2.1 Klasifikasi Karbohidrat

Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Monosakrida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakrida dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer monosakarida.

2.2.1.1 Monosakarida

Monosakarida yang mengandung satu gugus aldehida disebut aldosa, sedangkan ketosa mempunyai satu gugus keton. Monosakarida dengan enam atom C disebut heksosa, misalnya glukosa (dekstrosa atau gula anggur), fruktosa (levulosa atau gula buah), dan galaktosa. Sedangkan yang mempunyai lima atom C disebut pentosa, misalnya : xilosa, arabinosa dan ribosa.

Beberapa monosakarida seperti D-glukosa, D-galaktosa dan D-fruktosa dengan cepat dan mudah terserap melalui dinding usus kecil manusia, sedangkan monosakarida lain yang mempunyai BM sama atau lebih kecil seperti D-mannosa, L-arabinosa dan L-sorbosa hanya sebagian kecil saja yang terserap.

Meskipun ada bentuk D dan L, tetapi monosakarida-monosakarida yang terdapat di alam pada umumnya berbentuk D, dan jarang sekali dalam bentuk L, kecuali L-fruktosa yang terdapat dalam mukopolisakarida dan mukoprotein.

2.2.1.2 Oligosakarida

Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya bersifat larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul monosakarida disebut disakarida, dan bila tiga molekul disebut triosa, bila sukrosa (sakarosa atau gula tebu) terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa, laktosa terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa.


(25)

Ikatan antara dua molekul monosakarida disebut ikatan glikosidik. Ikatan ini terbentuk antara gugus hidroksil dari atom C nomor 1 yang juga disebut karbon anomerik dengan gugus hidroksil dan atom C pada molekul gula yang lain. Ikatan glikosidik biasanya terjadi antara atom C nomor 1 dengan atom C nomor 4 atau dengan melepaskan 1 mol air. Ikatan-ikatan glikosodik jarang terjadi antara karbon anomerik dengan karbon yang ganjil misalnya 1, 3, 1,5, 1,7, tetapi biasanya dengan ikatan karbon genap yaitu 2, 4, dan 6.

Ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) hidroksil reaktifnya terletak pada karbon nomor dua.

Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya. Karean itu, laktosa bersifat pereduksi sedangkan sukrosa bersifat nonpereduksi.

2.2.1.3 Polisakarida

Polisakarida dalam bahan makanan berfungsi sebagai penguat tekstur (selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin) dan sebagai sumber energi (pati, dekstrin, glikogen, fruktan). Polisakarida penguat tekstur ini tidak dapat dicerna oleh tubuh, tetapi merupakan serat-serat yang dapat menstimulasi enzim-enzim pencernaan.

Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang spesifik kerjanya. Hasil hidrolisis sebagian akan menghasilkan oligosakarida dan dapat dipakai untuk menentukan struktur molekul polisakarida.

Menurut jenis monosakaridanya dikenal pentosan dengan unit-unit pentosa dan heksosan dengan monomer heksosa. Beberapa polisakarida mempunyai nama trivial yang berakhiran “in’ misalnya : pektin, kitin dan dekstrin (Winarno, 1992).


(26)

2.2.2 Lignin

Lignin merupakan komponen kimia dan morfologi yang karakteristik dari jaringan tumbuhan tinggi seperti Pteridofita dan Spermatofita (gimnosperm dan angiosperm), dimana lignin terdapat dalam jaringan vaskuler yang khusus untuk pengangkutan cairan dan kekuatan mekanik. Tumbuhan primitif seperti jamur, lumut dan ganggang tidak mengandung lignin, sementara masih dapat dipertanyakan apakah lumut mengandung lignin yang sebenarnya atau hanya senyawa fenolat yang juga menghasilkan sisa yang tidak dapat dihidrolisis selama perlakuan dengan asam. Penelitian-penelitian yang lebih mutakhir terhadap sejumlah lumut (misalnya Sphagnum maggellanicum) menunjukkan bahwa lumut tidak mengandung lignin dan terdapat lignin terbatas pada tumbuhan vaskuler.

Jumlah lignin yang terdapat dalam tumbuhan yang berbeda sangat bervariasi. Meskipun dalam spesies kayu kandungan lignin berkisar antara 20 hingga 40%, angiosperm akuatik dan herba maupun banyak monokotil (misal spesies ekor kuda) kurang mengandung lignin.

Di samping itu distribusi lignin di dalam dinding sel dan kandungan lignin bagian pohon yang berbeda tidak sama. Sebagai contoh kandungan lignin yang tinggi adalah khas untuk bagian batang yang paling rendah, paling tinggi dan paling dalam, untuk cabang kayu lunak, kulit dan kayu tekan. Kandungan lignin dalam daun jarum dan daun lebar dikatakan tidak tentu, terkadang tinggi atau rendah, kemungkinan tergantung pada keadaan perkembangannya.

Dalam kebanyakan penggunaan kayu lignin digunakan sebagai bagian integral kayu. Hanya dalam hal pembuatan pulp dan pengelantangan lignin dilepaskan dari kayu dalam bentuk terdegradasi dan berubah, dan merupakan sumber karbon lebih dari 35 juta ton tiap tahun di seluruh dunia yang sangat potensial untuk keperluan kimia dan sumber energi (Wegener, 1984).


(27)

2.2.3 Selulosa

Selulosa adalah suatu senyawa polimer yang tersusun atas residu dari D-glukopiranosa yang dihubungkan melalui ikatan β-(1,4) glikosida. Selulosa termasuk struktural polisakarida yang paling penting dalam tumbuhan. Karena jumlah selulosa yang terdapat dalam tumbuhan kira-kira sepertiga dari biomassa, sehingga selulosa termasuk kedalam bahan organik yang banyak dibumi ini. Diperkirakan sekitar 100 juta kg selulosa dihasilkan setiap tahun (McKee, 1996).

Adapun struktur selulosa yaitu dapat digambarkan sebagai berikut :

CH2OH CH2OH

H O H O

O OH O OH O

H H

OH OH n

Gambar 2.1 : Struktur selulosa. Dimana “n” mencapai ribuan unit

Struktur utama selulosa dapat dipecah dengan metode analisis metilasi. Selulosa yang termasuk kedalam polimer linear mengandung residu glukosa hingga 15.000 yang dihubungkan dengan ikatan glikosida (Voet, 1990).

Pada hidrolisis yang tidak lengkap terbentuk disakarida selobiosa, sedangkan pada hidrolisis lengkap terbentuk β-glukosa. Satuan β-glukosa ini berhubungan dengan ikatan 1-4. Selulosa tidak larut dalam air, berat molekulnya antara 50.000 sampai 400.000 dan ini sesuai dengan 300-2500 molekul glukosa. Dengan iodium, selulosa tidak memberi warna. Enzim-enzim pencernaan tidak dapat memecah selulosa sehingga selulosa penting sebagai sumber ‘bulk’ dalam makanan (Iswari, 2006).

Ikatan β (1,4)-glikosida pada selulosa dapat dihidrolisis oleh asam kuat menghasilkan glukosa dan selobiosa. Ikatan β (1,4)-glikosida tidak dapat dihidrolisis


(28)

oleh enzim glikosidase yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia atau hewan, tetapi ular menghasilkan enzim selobiosa yang dapat menghidrolisis polimer ini (Girindra, 1990).

Proses hidrolisis selulosa secara asam dibagi menjadi lima tahap yaitu pencampuran selulosa dan asam, hidrolisis, netralisasi, pemucatan, penyaringan dan pemekatan. Adapun mekanisme hidrolisis selulosa sebagai berikut :

CH2OH CH2OH

H O H O

O OH O OH O + H3O+

H H

OH Selulosa OH

CH2OH CH2OH

H O H O

O OH O OH O H+

H H

OH OH

CH2OH CH2OH O O

OH H+ + OH O

HO HO

OH OH

CH2OH

H2O O H2O OH2

HO OH


(29)

CH2OH O

OH + H3O+ HO OH

OH Glukosa

Gambar 2.2 : Reaksi Hidrolisis Selulosa Dengan Asam

(Humprey, 1979).

2.2.4 Glukosa

Glukosa juga dinamakan dekstrosa atau gula anggur, terdapat luas dialam dalam jumlah sedikit yaitu didalam sayur, buah, sirup jagung, sari pohon dan bersamaan dengan fruktosa dalam madu. Tubuh hanya dapat menggunakan glukosa dalam bentuk D-glukosa. Glukosa murni yang ada dipasar biasanya diperoleh dari hasil olahan pati. Glukosa memegang peranan penting dalam ilmu gizi. Glukosa merupakan hasil akhir pencernaan pati, sukrosa, maltosa dan laktosa pada hewan dan manusia.

Dalam proses metabolisme, glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang beredar di dalam tubuh dan di dalam sel merupakan sumber energi. Dalam keadaan normal sistem saraf pusat hanya dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Glukosa dalam bentuk bebas hanya terdapat dalam jumlah terbatas dalam bahan makanan. Glukosa dapat dimanfaatkan untuk diet tinggi energi. Tingkat kemanisan glukosa hanya separuh dari sukrosa sehingga dapat digunakan lebih banyak untuk tingkat kemanisan yang sama (Almatsier, 2001).


(30)

2.3. Analisa Kualitatif dan Kuantitatif Gula Pereduksi 2.3.1. Analisa Kualitatif Gula Pereduksi

2.3.1.1 Uji Molisch

Karbohidrat oleh asam sulfat pekat akan dihidrolisa menjadi monosakarida dan selanjutnya monosakarida mengalami dehidrasi oleh asam sulfat menjadi furfural atau hidroksi metil furfural. Furfural atau hidroksil metil furfural dengan α-naftol akan berkondensasi membentuk senyawa kompleks yang berwarna ungu. Apabila pemberian asam sulfat pada larutan karbohidrat yang telah diberi α-naftol melalui dinding gelas dan secara hati-hati maka warna ungu yang terbentuk berupa cincin pada batas antara larutan karbohidrat dengan asam sulfat pekat. Dehidrasi pentosa oleh asam akan dihasilkan furfural, dehidrasi heksosa menghasilkan hidroksi metil furfural dan dehidrasi ramnosa menghasilkan metil furfural.

2.3.1.2 Uji Seliwanoff

Peristiwa dehidrasi monosakarida ketosa menjadi furfural lebih cepat jika dibandingkan dengan dehidrasi monosakarida aldosa. Hal ini dikarenakan aldosa sebelum mengalami dehidrasi lebih dahulu mengalami transformasi menjadi ketosa. Dengan demikian aldosa akan bereaksi negatif pada uji Seliwanoff. Pada pengujian ini furfural yang terbentuk dari dehidrasi tersebut dapat bereaksi dengan resorcinol membentuk senyawa kompleks berwarna merah.

OH

OH

Gambar 2.3 : Resorcinol (1,3 dihidroksi benzen)

Sebagai zat untuk dehidrator dapat digunakan asam klorida 12% atau asam asetat atau asam atau asam sulfat alkoholik.


(31)

2.3.1.3 Uji Anthrone

Karbohidrat oleh asam sulfat akan dihidrolisa menjadi monosakarida dan selanjutnya mengalami dehidrasi oleh asam menjadi furfural atau hidroksi metil furfural. Selanjutnya senyawaan furfural ini dengan anthrone (9,10-dihidro-9-oxoanthracene) membentuk senyawa kompleks yang berwarna biru kehijauan.

2.3.1.4 Uji Barfoed

Larutan Barfoed (campuran kupri asetat dan asam asetat) akan bereaksi dengan gula reduksi sehingga dihasilkan endapan kuprooksida. Dalam suasana asam ini gula reduksi yang termasuk dalam golongan disakarida memberikan reaksi yang sangat lambat dengan larutan Barfoed sehingga tidak memberikan endapan merah kecuali pada waktu percobaan yang diperlama. Uji ini untuk menunjukkan gula reduksi monosakarida.

2.3.1.5 Uji Iodin

Karbohidrat golongan polisakarida akan memberikan reaksi dengan larutan iodin dan memberikan warna spesifik bergantung pada jenis karbohidratnya. Amilosa dengan iodin akan berwarna biru, amilopektin dengan iodin akan berwarna merah violet, glikogen maupun dekstrin dengan iodin akan berwarna merah coklat.

2.3.1.6 Uji Osazon

Aldosa ataupun ketosa dengan fenilhidrazin dan dipanaskan akan membentuk hidrason atau osazon. Senyawa ini terjadi karena gugus aldehid ataupun ketonik dari karbohidrat berikatan dengan fenilhidrazin. Reaksi antar senyawaan tersebut merupakan reaksi oksido-reduksi atom C yang mengalami reaksi adalah atom C nomor satu dan dua dari aldosa atau ketosa. Fruktosa dan glukosa menunjukkan osazon yang sama.


(32)

2.3.1.6 Uji Fehling

Larutan fehling yang terdiri dari campuran kupri sulfat, Na-K-tartrat dan NaOH dengan gula reduksi dan dipanaskan akan terbentuk endapan yang berwarna hijau, kuning-orange atau merah bergantung dari macam gula reduksinya (Sudarmaji, 1984).

2.3.1.7 Uji Benedict

Pereaksi Benedict terdiri dari tembaga sulfat dalam larutan natrium karbonat dan natrium sitrat yang dapat mereduksi glukosa. Dimana glukosa terlebih dahulu dioksidasi dalam bentuk garam asam glukoronat. Reaksi ini juga akan membentuk endapan merah bata Cu2O dan produk oksidasi lainnya. Adapun reaksinya sebagai berikut :

CH2OH CH2OH

OH O OH O 2Cu2+ + 5OH- + OH CH OH C-O-

HO HO

OH OH

+ 3H2O + Cu2O merah bata

Gambar 2.4 : Reaksi Gula Pereduksi Dengan Pereaksi Benedict

(McKee, 1996)

2.3.2. Analisa Kuantitatif Gula Pereduksi

2.3.2.1 Metode Luff-Schrool

Pada penentuan gula cara Luff-Schrool yang ditentukan bukannya kuprooksida yang mengendap tetapi dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan sampel gula


(33)

reduksi (titrasi sampel). Penentuannya dengan titrasi menggunakan Natrium tiosulfat. Selisih titrasi blanko dengan titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada dalam bahan atau larutan. Reaksi yang terjadi selama penentuan karbohidrat cara ini mula-mula kuprioksida yang ada dalam reagen akan membebaskan iod dari garam kalium iodida. Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan banyaknya kuprioksida. Banyaknya iod dapat diketahui dengan titrasi menggunakan natrium tiosulfat. Untuk mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka diperlukan indikator amilum. Apabila larutan berubah warnanya dari biru menjadi putih berarti titrasi sudah selesai. Agar perubahan warna biru menjadi putih dapat tepat maka penambahan amilum diberikan pada saat titrasi hampir selesai. Setelah diketahui selisih banyaknya titrasi blanko dan titrasi sampel kemudian dikonsultasikan dengan tabel yang sudah tersedia yang menggambarkan hubungan antara banyaknya natrium tiosulfat dengan banyaknya gula reduksi. Reaksi yang terjadi dalam penentuan gula cara Luff-Schrool dapat dituliskan sebagai berikut:

R-COH + CuO Cu2O + R-COOH H2SO4 + CuO CuSO4 + H2O CuSO4 + 2KI CuI2 + K2SO4 2CuI2 + I2 Cu2I2 + I2

I2 + Na2S2O3 Na2S4O6 + NaI

2.3.2.2 Metode Munson-Walker

Penentuan gula dengan cara ini adalah dengan menentukan banyaknya kuprooksida yang terbentuk dengan cara penimbangan atau dengan melarutkan kembali dengan asam nitrat kemudian menitrasi dengan tiosulfat. Jumlah kuprooksida yang terbentuk ekuivalen dengan banyaknya gula reduksi yang ada dalam larutan dan telah disediakan dalam bentuk tabel Hammond hubungan antara banyaknya kuprooksida dengan gula reduksi. Tiap 1mL Na-tiosulfat (39 gram Na2S2O3) sesuai dengan 11,259 mg Cu2O.


(34)

2.3.2.3 Metode Lane-Eynon

Penentuan gula cara ini adalah dengan cara menitrasi reagen Soxhlet (larutan CuSO4, K-Na-tartrat) dengan larutan gula yang ditentukan. Banyaknya larutan contoh yang dibutuhkan untuk menitrasi reagen soxhlet dapat diketahui banyaknya gula yang ada dengan melihat pada tabel Lane-Eynon. Agar diperoleh penentuan yang tepat maka raegen soxhlet perlu distandarisasi dengan larutan gula standar. Standarisasi ini dikerjakan untuk menentukan besarnya faktor koreksi dalam menggunakan tabel Lane-Eynon. Pada titrasi reagen soxhlet dengan larutan gula akan berakhir apabila warna larutan berubah dari biru menjadi tak berwarna. Indikator yang digunakan cara ini adalah bromtimol blue (Sudarmadji, 1984).

2.4 Glikolisis

Pada dasarnya metabolisme glukosa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu yang tidak menggunakan oksigen atau anaerob dan yang menggunakan oksigen atau aerob. Reaksi anaerob terdiri atas serangkaian reaksi yang mengubah glukosa menjadi asam laktat. Proses ini disebut glikolisis anaerob.

Proses glikolisis anaerob dimulai dengan molekul glukosa dan diakhiri dengan terbentuknya asam laktat. Sedangkan glikolisis aerob dimulai dari molekul glukosa dengan terbentunya piruvat yang akan masuk ke siklus krebs. Serangkaian reaksi-reaksi dalam proses glikolisis tersebut juga dinamakan jalur Emden-Meyerhof.

Reaksi-reaksi yang berlangsung pada proses glikolisis dapat dibagi dalam dua fase. Pada fase pertama, glukosa diubah menjadi triosafosfat dengan proses fosforilasi. Fase kedua dimulai dari reaksi oksidasi triosafosfat hingga terbentuk asam laktat. Perbedaan antara kedua fase ini terletak pada aspek energi yang berkaitan dengan reaksi-reaksi dalam kedua fase tersebut.

Dalam proses glikolisis satu mol glukosa diubah menjadi dua mol asam laktat. Fase pertama dalam proses glikolisis melibatkan dua mol ATP yang diubah menjadi


(35)

ADP. Jadi fase pertama ini menggunakan energi yang tersimpan dalam bentuk molekul ATP. Fase kedua mengubah dua mol triosa yang terbentuk pada fase pertama menjadi dua mol asam laktat dan dapat menghasilkan 4 mol ATP (Girindra, 2007).

Fermentasi glukosa menjadi etanol dan karbondioksida oleh ragi telah lama digunakan. Pembuatan bir dan roti merupakan awal pengembangan dari proses fermentasi glukosa. Kemudian para ilmuwan mencoba meneliti lebih lanjut mengenai mekanisme glikolisis yang dimulai sekitar pertengahan abad ke 19.

Gambar dibawah ini menjelaskan mengenai jalur glikolisis dalam pengubahan glukosa menjadi piruvat yang menggunakan 2 ATP. Pada kondisi anaerobik, fermentasi alkohol dari piruvat terjadi dengan adanya ragi, dimana fermentasi homolitik terjadi dalam otot. Sedangkan kondisi aerob, piruvat dioksidasi menjadi H2O dan CO2 terjadi melalui siklus sitrat.

Glukosa

2ADP + 2Pi 2NAD+

Fruktosa-1,6-difosfat

2ATP 2NADH Piruvat

Fermentasi Homolitik Oksidasi Aerobik Fermentasi Alkohol

Anaerobik Anaerobik

Asetil KoA Siklus Asam Sitrat 2NADH 6O2

2NADH 2NADH

Fosforilasi Oksidatif

2NAD+ 2NAD+

2NAD+

2Laktat 6CO2 + 6H2O 2CO2 + Etanol


(36)

2.5 Fermentasi

Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan dalam fermentasi adalah Acetobacter xylinum pada pembuatan nata de coco, Acetobacter aceti pada pembuatan asam asetat. Contoh khamir dalam fermentasi adalah Saccharomyces cereviseae dalam pembuatan alkohol, sedangkan contoh kapang adalah rhizopus sp pada pembuatan tempe, Monascus purpureus pada pembuatan angkak dan sebagainya (Hidayat, 2009).

Fermentasi mulai dikenal pada tahun 1857 ketika Louis Pasteur menemukan bahwa fermentasi merupakan sebuah hasil dari sebuah aksi mikroorganisme yang spesifik. Fermentasi sebagai industri dimulai awal 1990, dengan produksi dari enzim mikroba, asam organik, dan yeast.

Fermentasi alkoholik, dimana suatu molekul glukosa diubah menjadi dua molekul etanol dan dua karbon dioksida, merupakan proses katabolik anaerobik yang sama seperti glikolisis kecuali untuk stadium akhirnya yang menghasilkan produk akhir yang berbeda. Pada glikolisis, perantara metabolik terakhir, piruvat direduksi menjadi laktat. Dalam fermentasi alkoholik, ini dirubah menjadi etanol dan CO2 (Maulany, 1995).

Pada prinsipnya reaksi dalam proses pembuatan alkohol dengan fermentasi adalah sebagai berikut:

C6H12O6 2 C2H2O5 + CO2

Jika digunakan disakarida seperti sakarosa, reaksinya adalah sebagai berikut:Reaksi hidrolisis reaksi fermentasi sama seperti penggunaan monosakarida.


(37)

Khamir tidak dapat langsung memfermentasikan pati. Oleh karena itu tahap yang penting adalah proses sakarifikasi, yaitu perubahan pati menjadi maltosa atau glukosa dengan menggunakan enzim atau asam (Hidayat, 2009).

2.6 Ragi Roti

Penemu Yeast ( ragi roti ) pertama kali adalah Louis Pasteaur pada tahun 1872. Bibit yeast yang terbagus terdapat dalam buah anggur dan apel serta pada akar pohon tersebut.

Jenis – jenis ragi roti :

a. Fresh Yeast, merupakan jenis ragi yang pertama kali ditemukan, berbentuk cair sehingga dalam penyimpanan memerlukan pembekuan sering disebut compressed yeast.

b. Dry Yeast, merupakan jenis ragi yang kering berbentuk butiran – bituran sering disebut dehydrated yeast.

c. Instan Yeast, merupakan ragi yang dibentuk dalam bentuk tepung/powder Cara pemakaian dari ragi – ragi tersebut berbeda – beda yaitu:

a. Fresh Yeast sebelum dicampurkan dengan bahan – bahan lain harus dicairkan terlebih dahulu

b. Dry Yeast sebelum dicampurkan dengan bahan – bahn lainnya harus dilarutkan dulu dengan air dan difermentasikan. Instan yeast biasanya dicampurkan langsung dengan bahan – bahan lain sehingga menjadi suatu adonan

( Subagjo, 2007 ).

2.6.1 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Ragi

1. Nutrisi (Zat gizi)

Dalam kegiatannya khamir memerlukan penambahan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, yaitu :


(38)

b. Unsur N, dengan penambahan pupuk yang mengandung nitrogen, misal urea, dan amonia.

c. Unsur P, dengan penambahan pupuk fosfat, misal NPK. d. Mineral-mineral.

e. Vitamin-vitamin. 2. Keasaman (pH)

Untuk fermentasi alkohol, khamir memerlukan media dengan suasana asam, yaitu antara pH 4,8 – 5,0. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penambahan asam sulfat jika substratnya alkalis atau dengan natrium bikarbonat jika substratnya asam.

3. Suhu

Suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan adalah 280C – 300C. pada waktu fermentasi terjadi kenaikkan panas, karena reaksinya eksoterm. Untuk mencegah agar suhu fermentasi tidak naik, perlu pendinginan agar dipertahankan tetap 260C -300C

4. Udara

Fermentasi alkohol berlangsung secara anaerobik (tanpa udara). Namun demikian udara diperlukan pada proses pembibitan sebelum fermentasi untuk perkembangbiakan khamir tersebut (Hidayat, 2009).

2.7 Bioetanol

Bioetanol adalah etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen pati atau selulosa, seperti singkong dan tetes tebu. Dalam dunia industri, etanol umumnya digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras (seperti sake atau gin), serta bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade sebagai berikut :

• Grade industri dengan kadar alkohol 90-94%.

• Netral dengan kadar alkohol 96-99,5%, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi.


(39)

Adapun bahan baku yang dapat digunakan untuk menghasilkan bioetanol yaitu: - Bahan berpati, berupa singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji

jagung, biji sorgum, gandum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia dan alain-lain.

- Bahan bergula, berupa molases (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira batang sorgum manis, nira aren (enau), nira nipah, gewang, nira lontar dan lain-lain. - Bahan berselulosa, berupa limbang logging, limbah pertanian seperti jerami

padi, ampas tebu, tongkol jagung, onggok (limbah tapioka), batang pisang, serbuk gergaji dan lain-lain.

Dari bahan-bahan yang disebutkan diatas, bahan baku yang memiliki efisiensi tertinggi adalah jagung, tetes tebu dan ubi kayu, sedangkan tebu memiliki efisiensi paling rendah.

Pemerintah Indonesia melalui Dewan Standarisasi Indonesia (DSI) telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bioetanol. Yaitu SNI-06-3565-1994 untuk alkohol teknis yang terbagi atas alkohol prima super, alkohol prima I, dan alkohol prima II. Syarat mutu dalam SNI ini mencantumkan kadar etanol (pada 15oC) untuk prima super sebesar maksimal 96,8% dan minimal 96,3%, sedangkan prima I dan prima II masing-masing minimal 96,1% dan 95,0% (Prihandana, 2007).


(40)

BAB III

METODA PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

− Alat Autoklaf Fiesher Scientific

− Buret Pyrex

− Hot plate stirer Cimarec

− Labu ukur Pyrex

− Neraca analitik Sartorius

− pH universal p.a. Merck

− Pipet Volume Pyrex

− Termometer Fischer

− Oven Griffin

− Bunsen

− Bola karet

− Botol Akuades

− Corong

− Kertas saring Whatman

− Penangas air

− Pipet tetes

− Statif dan klem

− Spatula

− Stirer Magnetik

− Gelas Erlenmeyer Pyrex


(41)

− Desikator

− Gelas ukur Pyrex

− Tungku kaki tiga

− Penjepit tabung

− Tabung reaksi

− Plastik dan karet

− Kapas

− Elektromantle

− Kondensor Pyrex

− Labu leher tiga Pyrex

− Pendingin Liebig

− Gabus karet

− Spektrofotometer Genensys 20

3.1.2 Bahan-bahan :

− Ampas Tebu

− Akuades

− Ragi roti saf instant

− CuSO4.5H2O p.a. Merck

− Etanol 99,9% p.a. Merck

− Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O p.a. Merck

− FeSO4.7H2O p.a. Merck

− Glukosa monohidrat p.a. Merck

− H2SO4(p) p.a. Merck

− KH2PO4 p.a. Merck

− K2Cr2O7 p.a. Merck

− MgSO4.7H2O p.a. Merck

− NaOH p.a. Merck

− Na2SO3 p.a. Merck

− HNO3(p) p.a. Merck


(42)

− NaNO3 p.a. Merck

− Aluminium Foil

− Indikator Ferroin

− Na-sitrat p.a. Merck

− Na-Hipoklorit p.a. Merck

− K-Na-Tartrat p.a. Merck

− Na2HAsO4.7H2O p.a. Merck

− (NH4)6Mo7O24.4H2O p.a. Merck

− Na2SO4 p.a. Merck

− NaHCO3 p.a. Merck

− C6H12O6 p.a. Merck

− 1,10-O-phenantrolin.H2O p.a. Merck

3.2. Prosedur Penelitian

3.2.1 Pengambilan Sampel

Sampel berupa ampas tebu diperoleh dari satu lokasi yaitu Pabrik Gula Sei Semayang Jalan Medan-Binjai Km 12.

3.2.2 Pembuatan Larutan 1. Larutan K2Cr2O7 0,689 N

Sebanyak 162,5 mL larutan H2SO4(p) ditambahkan kedalam 200 mL akuades pada labu ukur 500 mL. Campuran diaduk dan didinginkan pada suhu 80-90oC. Ditambahkan 16,88 g K2Cr2O7 (standar primer), dilarutkan dan didinginkan. Kemudian diencerkan dengan akuades sampai garis tanda lalu dihomogenkan.


(43)

2. Larutan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393 N

Dilarutkan 77 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dalam 250 mL akuades pada labu ukur 500 mL, ditambahkan 15 mL H2SO4(p) dan diencerkan dengan akuades hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

3. Indikator Feroin

Sebanyak 0,695 g FeSO4.7H2O dilarutkan dalam 50 mL akuades, kemudian ditambahkan 1,485 g 1,10-O-phenantrolin.H2O dan diencerkan pada labu ukur 100 ml sampai garis tanda lalu dihomogenkan.

4. Pereaksi Benedict

Sebanyak 17,3 g Na-Sitrat dilarutkan dengan akuades. Dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL (Larutan 1). Sebanyak 1,73 g CuSO4.H2O dilarutkan dengan akuades (Larutan 2). Perlahan – lahan larutan 2 ditambahkan kedalam larutan 1. Kemudian di encerkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL sampai garis tanda lalu dihomogenkan.

5. Larutan HCl 30%

Sebanyak 81,08 mL HCl 37% diencerkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

6. Larutan NaOH 10 %

Sebanyak 10 g NaOH pelet dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

7. Larutan HNO3 3,5 %

Sebanyak 54,6 mL HNO3 64% di tambahkan 10 mg NaNO3 lalu diencerkan dengan akuades dalam labu ukur 1000 mL hingga garis batas lalu dihomogenkan.


(44)

8. Larutan Na2SO3 2%

Sebanyak 10 g Na2SO3 dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 500 mL hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

9. Larutan NaOH 2%

Sebanyak 10 g NaOH pelet dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 500 mL hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

10. Larutan NaOH 17,5 %

Sebanyak 87,5 g NaOH pellet dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 500 mL hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

11. Larutan Na-Hipoklorit 1,75%

Sebanyak 72,9 mL Na-Hipoklorit 12% diencerkan dengan akuades dalam labu ukur 500 mL hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

12. Larutan pereaksi Nelson

Nelson A :

Dilarutkan12,5 g Natrium karbonat anhidrat, 12,5 g garam Rochelle (K-Na-Tartrat), 10 g Natrium Bikarbonat, dan 100 g Natrium Sulfat anhidrat dalam 300 ml akuades dan diencerkan sampai 500 mL.

Nelson B :

Dilarutkan 7,5 g CuSO4.5H2O dalam 50 mL akuades dan ditambahkan 1 tetes asam sulfat pekat.

Pereaksi Nelson dibuat dengan cara mencampur 25 bagian larutan Nelson A dan I bagian Nelson B. Pencampuran dilakukan setiap kali akan digunakan.


(45)

13. Larutan Arsenomolibdat

Dilarutkan 25 g ammonium molibdat dalam 450 mL akuades dan ditambahkan 25 mL H2SO4(p). Pada tempat yang lain, dilarutkan 3 g Na2HAsO4.7H2O dalam 25 mL akuades, kemudian dituangkan larutan ini ke dalam larutan pertama.

Disimpan dalam botol berwarna coklat dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Larutan pereaksi ini dapat digunakan setelah masa inkubasi dan berwarna kuning.

3.2.3. Cara Kerja

3.2.3.1. Isolasi Selulosa dari Ampas Tebu dan Uji Kualitatif Selulosa

75 g ampas tebu yang telah halus dimasukkan ke dalam gelas. Ditambahkan 1000 mL HNO3 3,5 % dan 10 mg NaNO2. Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 2 jam pada suhu 80o C. Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Ditambahkan 375 mL NaOH 2% dan 375 mL Na2SO3 2%. Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 1 jam pada suhu 50o C.Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Ditambahkan 500 mL Na-Hipoklorit 1,75 %. Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada suhu 100oC. Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Ditambahkan 500 mL NaOH 17,5 %. Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada suhu 80o C. Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Ditambahkan 500 mL Na-Hipoklorit 1,75 %. Dipanaskan selama 5 menit pada suhu 100o C. Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Dikeringkan residu didalam oven pada suhu 60o C. Dimasukkan kedalam desikator. Dimasukkan selulosa secukupnya kedalam plat tetes. Diteteskan dengan larutan iodin 0,1 N. Jika tidak terjadi perubahan warna menunjukkan positif selulosa


(46)

3.2.3.2. Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu Menjadi Glukosa Serta Uji Kualitatif Glukosa

Dimasukkan 0,5 g selulosa ampas tebu kedalam gelas erlenmeyer. Ditambahkan dengan 8 mL HCl 30%. Ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Dipanaskan dengan menggunakan termostat pada suhu 80oC selama 30 menit.Didinginkan hingga suhu kamar. Ditambahkan NaOH 10% hingga pH = 4 - 5. Disaring. Dipipet 1 mL filtrat ke dalam tabung reaksi.Ditambahkan larutan Benedict secukupnya.Dipanaskan dengan menggunakan termostat hingga terbentuk endapan merah bata.

3.2.3.3. Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan Glukosa Standar

Ditimbang 500 mg glukosa anhidrat dan dilarutkan dengan aquades sampai volume 500 ml ( larutan glukosa anhidrat 1 mg/mL). Dipipet 5 mL larutan induk glukosa l mg/mL dan dimasukkan kedalam labu takar 100 mL (0,05 mg/mL). Diencerkan dengan aquades hingga garis batas. Dipipet 1 ml larutan glukosa 0,05 mg/mL kedalam tabung reaksi,lalu ditambahkan 1 ml pereaksi Nelson lalu ditutup dengan kapas. . Dipanaskan hingga mendidih selama 20 menit lalu didinginkan. Ditambahkan 1 ml larutan arsenomolibdat lalu dikocok hingga semua endapan larut. Ditambahkan 7 ml akuades lalu dikocok hingga homogen. Diukur serapan panjang gelombang pada 600 – 800 nm. (diperoleh panjang gelombang maksimum).

3.2.3.4. Penyiapan Kurva Standar Glukosa

Disiapkan larutan glukosa standar dalam beberapa tabung reaksi dengan konsentrasi bertingkat dari 0,02 – 0,1 mg/mL. Ditambahkan 1 mL larutan Nelson kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 20 menit dan didinginkan. Ditambahkan 1 mL larutan arsenomolibdat lalu dikocok hingga semua endapan larut. Ditambahkan 7 mL akuades lalu dikocok hingga homogen. Diukur serapannya pada panjang gelombang 760 nm. Dibuat kurva standar yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi gula standar dan absorbansi.


(47)

3.2.3.5. Analisa Kadar Glukosa Dari Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Dipipet 1 ml filtrat hasil hidrolisa selulosa ampas tebu lalu diencerkan dalam labu ukur 50 ml dan diambil 1 ml untuk dianalisa. Ditambahkan 1 ml larutan Nelson kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 20 menit dan didinginkan. Ditambahkan 1 ml larutan arsenomolibdat lalu dikocok hingga semua endapan larut. Ditambahkan 7 ml akuades lalu dikocok hingga homogen. Diukur serapannya pada panjang gelombang 760 nm sehingga dapat dihitung kadar gula reduksinya

3.2.3.6. Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu Menjadi Bioetanol

Dimasukkan 100 mL larutan glukosa hasil hidrolisis ampas tebu kedalam gelas Erlenmeyer 250 mL. Ditambahkan 0,1 g MgSO4.7H2O , 0,1 g KH2PO4 dan 0,1 g (NH4)2SO4. Disterilisasi dengan menggunakan alat autoklaf pada suhu 121oC selama 1 jam lalu didinginkan. Ditambahkan ragi roti sebanyak 1 gram. Difermentasi selama 2, 4, 6, dan 8 hari. Dilakukan perlakuan yang sama untuk variasi berat ragi roti 2 dan 3 gram.

3.2.3.7. Destilasi Larutan Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Dimasukkan larutan fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu ke dalam labu leher dua. Dirangkai alat destilasi. Didestilasi pada suhu 78 – 80o C dengan termostat. Ditampung destilat pada erlenmeyer yang ditutup dengan plastik dan diikat karet. Ditambahkan 1 gram CaO kedalam destilat. Diaduk dan didiamkan selama 30 menit. Disaring.


(48)

3.2.3.8. Penentuan Kurva Kalibrasi Etanol Standar

Disiapkan larutan standar etanol dengan konsentrasi 0,2 ; 0,4 ; 0,6 ; 0,8 ; 1,0 ; 1,2 ; 1,4 ; 1,6 ; 1, 8 dan 2,0 %. Dipipet sebanyak 5 mL dari masing-masing larutan etanol yang telah disiapkan lalu diencerkan kedalam labu takar 100 mL. Dipipet 1 mL larutan etanol hasil pengenceran kemudian dimasukkan kedalam gelas Erlenmeyer. Ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,689N. Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin. Dititrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393N hingga larutan berwarna coklat kemerahan.

3.2.3.9. Analisa Kadar Bioetanol Dengan Metode Oksidasi Kalium Dikromat

Dimasukkan 1 mL destilat kedalam gelas Erlenmeyer. Ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,689N.Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin.Dititrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2. 6H2O 0,393N.Diukur volume titran pada saat terbentuk larutan berwarna coklat kemerahan.


(49)

3.3 Bagan Penelitian

3.3.1 Isolasi Selulosa dari Ampas Tebu dan Uji Kualitatif Selulosa

Dimasukkan kedalam beaker glass

Ditambahkan 1000 mL HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 2 jam pada suhu 80oC

Dicuci dengan aquades hingga pH = 7 dan disaring

Ditambahkan 375 mL NaOH 2% dan 375 mL Na2SO3 2% Dipanaskan menggunakan termostat selama 1 jam pada suhu 50oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7 Ditambahkan 500 mL Na-Hipoklorit 1,75%

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada suhu 100oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7 Ditambahkan 500 mL NaOH 17,5%

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada suhu 80oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7 Ditambahkan 500 mL Na-Hipoklorit 1,75%

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 5 menit pada suhu 100oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7

Dikeringkan didalam oven pada suhu 60oC Ditimbang massanya

Dimasukkan selulosa secukupnya kedalam plat tetes Diteteskan dengan larutan Iodin 0,1N

Jika tidak terjadi perubahan warna berarti menunjukkan positif selulosa 75 gram ampas tebu halus

Residu I Filtrat

Residu II Filtrat

Residu III Filtrat

Residu IV Filtrat

Residu V Filtrat

24,56 g


(50)

3.3.2. Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu dan Uji Kuantitatif Glukosa

Dimasukkan kedalam gelas erlenmeyer Ditambahkan 8 mL HCL 30%

Ditutup dengan menggunakan kapas dan aluminium foil

Dipanaskan dengan menggunakan termostat pada suhu 80oC selama 30 menit

Didinginkan

Ditambahkan NaOH 10% hingga pH = 4 – 5

Disaring

Dipipet 1 mL Diuji kadar glukosa dengan

Dimasukkan kedalam tabung reaksi metode Nelson Somogyi Ditambahkan larutan Benedict

secukupnya

Dipanaskan dengan termostat hingga terbentuk endapan merah bata

0,5 g selulosa ampas tebu

Larutan glukosa Residu

Hasil


(51)

3.3.3. Pembuatan Larutan Fermentasi

Dipipet 100 mL dan dimasukkan kedalalm erlenmeyer

Ditambahkan 0,1g MgSO4.7H2O, 0,1g KH2PO4, dan 0,1g (NH4)2SO4

Disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 1 jam lalu didinginkan

Ditambahkan ragi roti sebanyak 1 gram Difermentasi selama 2, 4, 6, dan 8 hari

Dilakukan perlakuan yang sama untuk variasi ragi roti 2 dan 3 gram Larutan glukosa


(52)

3.3.4. Destilasi Larutan Hasil Fermentasi dan Uji Kuantitatif Bioetanol

Dimasukkan kedalam labu leher dua Didestilasi pada suhu 78o-80oC dengan termostat

Ditampung destilat pada erlenmeyer yang ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet

Ditambahkan 1 g CaO

Diaduk dan didiamkan selama 30 menit Disaring

Dipipet 1mL Dimasukkan kedalam erlenmeyer Ditambahkan 5mL K2Cr2O7 0,689N Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin

Dititrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393 N hingga terbentuk larutan berwarna merah kecoklatan

Dicatat volume yang terpakai

Dihitung kadar bioetanol yang diperoleh Larutan Hasil Fermentasi

Destilat

Hasil


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dalam pembuatan bioetanol dari fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu terlebih dahulu dilakukan isolasi selulosa dari ampas tebu, dimana pada penelitian ini berat selulosa yang diperoleh sebesar 24,56 g dari 75 g ampas tebu dengan kadar 29,81 %.

Selulosa hasil isolasi ampas tebu kemudian dihidrolisis menggunakan HCl 30%. Hasil hidrolisis dianalisa secara kuantitatif dengan metode Nelson-Somogyi menggunakan spektrofotometer visible untuk mengetahui kadar glukosa hasil hidrolisis.

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu No Absorbansi Kadar Gula Reduksi (%) Rata-rata

1 0,872 9,13%

9,15%

2 0,881 9,24%

3 0,868 9,09%

Glukosa yang diperoleh dari hasil hidrolisis selulosa ampas tebu kemudian difermentasikan dengan variasi lama fermentasi yaitu 2, 4, 6, dan 8 hari. Sedangkan variasi berat ragi roti yang digunakan yaitu 1, 2, dan 3 g. Setelah itu dilakukan tahap destilasi sehingga diperoleh bioetanol yang kadarnya dianalisa dengan menggunakan metode oksidasi kalium dikromat. Dimana kadar tertinggi bioetanol yang diperoleh yaitu 5,12% pada lama fermentasi 6 hari dengan menggunakan ragi roti 2 g.


(54)

Untuk lebih jelasnya, kadar bioetanol untuk setiap variasi lama fermentasi dan variasi penambahan ragi roti dapat dilihat pada Lampiran C.

4.2 Perhitungan

4.2.1 Perhitungan Kadar Selulosa Dalam Ampas Tebu

Kadar selulosa dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

B−S

����������� x 100% Dimana :

B = berat cawan + berat sampel setelah pengeringan 110oC S = berat cawan + berat sampel setelah pengeringan 550oC

Jika diketahui B = 53,32 g dan S = 48,77 g, untuk berat sampel yang digunakan 15,26 g

Maka kadar selulosanya adalah :

B−S

�����������

x 100%

= 53,32−48,77

15,26 x 100% = 29,81 %

4.2.2. Perhitungan Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Untuk menghitung kadar gula reduksi hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan menggunakan HCl 30% , maka terlebih dahulu dicari persamaan garis regresi dari


(55)

kurva kalibrasi larutan glukosa standar dengan berbagai konsentrasi dan absorbansi sebagai berikut:

Tabel 4.2 Data Penentuan Larutan Glukosa Standar (mg/mL) Pada Berbagai Konsentrasi

No X Y X2 Y2 XY

1 0,02 0,112 0,0004 0,0125 0,0022

2 0,04 0,150 0,0016 0,0225 0,0060

3 0,06 0,162 0,0036 0,0262 0,0097

4 0,08 0,164 0,0064 0,0268 0,0131

5 0,10 0,191 0,0100 0,0364 0,0191

∑ 0,30 0,779 0,0220 0,1244 0,0501

Persamaan garis regresi : Y = aX + b Dimana :

a =

�(∑��)−(∑�)(∑�)

�(∑�2)−(∑�)2

=

5(0,0501)−(0,3)(0,779)

5(0,022)−(0,3)2

= 0,84

b =

(∑�2) (��)−(∑�)(∑��)

�(∑�2)−(∑�)2

=

(0,022)(0,779)−(0,3)(0,0501)

5(0,022)−(0,3)2

= 0,105

Maka persamaan garis regresinya adalah

Y = aX + b Y = 0,84X + 0,105 Dimana :

X = kadar glukosa (mg/mL) Y = absorbansi

a = slope b = intersept


(56)

Untuk memperoleh Ybaru maka persamaan di atas disubsitusikan sehingga memperoleh data baru yang baru.

Contoh :

Absorbansi dari pengukuran glukosa dengan konsentrasi 0,02 mg/mL adalah 0,112 dengan slope (a) = 0,84 dan intersep (b) = 0,105, maka :

Y1 = aX + b

Y1baru = 0,84 (0,02) + 0,105 = 0,1218

Dengan cara yang sama, maka Ybaru dapat dihasilkan yang dapat dilihat pada

Lampiran D.

Untuk mendapatkan kadar glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu, terlebih dahulu dicari harga X dengan persamaan garis regresi yang setelah diperoleh kemudian disubsitusikan ke dalam rumus :

Kadar gula reduksi =

X

.

Fp

S

100%

Dimana :

X = konsentrasi glukosa dari perhitungan regresi Fp = faktor pengenceran (mL)

S = berat sampel kering (mg) Contoh :

Absorbansi suatu pengukuran adalah 0,872 dengan faktor pengenceran 50 mL dan berat sampel kering 0,5 g, maka :

0,872 = 0,84X + 0,105 X = 0,872−0,105

0,84 = 0,913 mg/mL


(57)

Kadar gula reduksi = 0,913�50

500

100%

= 9,13%

Data selengkapnya pengukuran kadar gula reduksi pada Tabel 4.1

4.2.3. Perhitungan Kadar Bioetanol

Untuk menghitung kadar bioetanol dari fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu yaitu dengan menggunakan metode oksidasi kalium dikromat. Dengan menggunakan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi larutan etanol standar dengan berbagai konsentrasi sebagai berikut :

Tabel 4.3 Data Penentuan Kadar Etanol Standar Pada Berbagai Konsentrasi

No X Y X2 XY

1 0,2 8,0 0,04 1,60

2 0,4 7,8 0,16 3,12

3 0,6 7,6 0,36 4,56

4 0,8 7,3 0,64 5,84

5 1,0 7,0 1,00 7,00

6 1,2 6,7 1,44 8,04

7 1,4 6,4 1,96 8,96

8 1,6 6,2 2,56 9,92

9 1,8 5,8 3,24 10,44

10 2,0 5,5 4,00 11,00

∑ 11,0 68,3 15,40 70,48

Persamaan garis regresi : Y = aX + b Dimana :

a =

�(∑(��)−(∑�)(∑�)

�(∑�2)−(∑�)2

=

10(70,48)−(11,0)(68,3)


(58)

b =

(∑�2) (��)−∑�(∑��)

�(∑�2)−(∑�)2

=

(15,40)(68,3)−(11,0)(70,48)

10(15,40)−(11)2

= 10,5157

Maka persamaan garis regresinya adalah

Y = aX + b Y = -1,4090X + 10,5157

Dimana :

X = kadar etanol (%)

Y = volume pentiter Fe(NH4)2(SO4)2 0,393 N (mL) a = slope

b = intersept

Dengan menggunakan persamaan garis regresi diatas maka konsentrasi bioetanol dapat ditentukan sebagai berikut :

Contoh :

Volume pentiter untuk lama fermentasi 2 hari dengan penambahan 1 gram ragi roti yaitu 8,5 mL, maka kadar bioetanolnya adalah :

Y = aX + b X = 8,5−10,5157

−1,4090 = 1,43%

Dengan cara yang sama, maka kadar bioetanol selengkapnya dapat dilihat pada


(59)

4.3. Pembahasan

Pembahasan dari hasil penelitian ini terletak pada pengaruh lama fermentasi yang divariasikan yaitu 2 hari, 4 hari, 6 hari, dan 8 hari. Sedangkan untuk variasi penambahan ragi roti yaitu 1 gram, 2 gram dan 3 gram.

4.3.1. Variasi Lama Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol

Ketika waktu fermentasi semakin lama maka akan memberikan kesempatan lebih lama juga kepada mikroba untuk menguraikan glukosa menjadi bioetanol sehingga memungkinkan untuk diperoleh kadar bioetanol yang tinggi. Hal ini tentunya juga berhubungan dengan penurunan jumlah glukosa dimana glukosa berfungsi sebagai nutrisi bagi mikroba selama proses fermentasi berlangsung.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya waktu fermentasi maka kadar bioetanol yang dihasilkan juga semakin bertambah. Dimana kadar bioetanol paling kecil terjadi pada lama fermentasi 2 hari dengan penambahan 1 gram ragi roti yaitu 1,43%. Hal ini dikarenakan mikroba berada pada fase adaptasi dan aktivitas mikroba juga belum optimal untuk menguraikan glukosa menjadi bioetanol. Sedangkan fermentasi 6 hari dengan penambahan 2 gram ragi roti dihasilkan kadar bioetanol paling tinggi yaitu 5,12%. Pada hari ke enam inilah mikroba berada pada fase eksponensial dan waktu paling optimum bagi mikroba untuk dapat menguraikan glukosa menjadi bioetanol. Pada fermentasi 8 hari dengan penambahan 3 gram ragi roti dihasilkan kadar bioetanol yaitu 3,41%. Pada hari ke delapan ini mikroba telah memasuki fase kematian yang dapat dilihat adanya serbuk putih diatas larutan fermentasi. Fase kematian ini disebabkan karena penurunan jumlah nutrisi sehingga mikroba tidak mampu mengubah substrat glukosa menjadi bioetanol akibatnya kadar bioetanol yang dihasilkan semakin menurun.


(60)

4.3.2. Variasi Penambahan Ragi Roti Terhadap Kadar Bioetanol

Jumlah mikroba yang terdapat di dalam media fermentasi sangat berpengaruh terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan. Dimana semakin banyak mikroba yang ditambahkan maka kadar bioetanol yang dihasilkan juga akan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena mikroba yang menguraikan glukosa menjadi bioetanol semakin bertambah. Pada dasarnya penambahan ragi yang berbeda pada proses fermentasi untuk setiap bahan juga akan berpengaruh besar terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah ragi roti yang ditambahkan maka kadar bioetanol yang dihasilkan semakin tinggi. Dimana kadar bioetanol tertinggi diperoleh pada penambahan ragi roti 2 gram dengan lama fermentasi 6 hari yaitu 5,12%. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas mikroba yang optimal dalam mengubah glukosa menjadi bioetanol. Sedangkan kadar bioetanol terendah diperoleh pada penambahan ragi roti 1 gram dengan lama fermentasi 2 hari yaitu 1,43%. Hal ini dikarenakan jumlah mikroba yang mengubah glukosa menjadi bioetanol terlalu sedikit dan mikroba masih berada pada fase adaptasi serta mikroba belum mampu untuk memecah glukosa secara optimal sehingga kadar bioetanol yang dihasilkan masih terlalu rendah. Pada penambahan ragi roti 3 gram dengan lama fermentasi 6 hari kadar bioetanol yang diperoleh menurun yaitu 3,98% dibandingkan dengan penambahan ragi roti 3 gram dengan lama fermentasi 4 hari. Hal ini disebabkan jumlah nutrisi selama fermentasi tidak sebanding dengan jumlah mikroba yang ada sehingga mikroba lebih cepat memasuki fase kematian sebelum secara optimal dapat mengubah glukosa menjadi bioetanol akibatnya kadar bioetanol yang dihasilkan menurun.

Berikut ini adalah kurva pertumbuahn mikroorganisme yang sesuai dengan pembahasan diatas.


(61)

fase stationer

fase pertumbuhan fase kematian fase hidup

fase adaptasi

Waktu pertumbuhan

Keterangan kurva pertumbuhan mikroorganisme sebagai berikut : 1. Fase Adaptasi

Pada fase ini mikroorganisme masih menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dimana bermacam-macam enzim dan zat perantara dibentuk sehingga memungkinkan pertumbuhan lebih lanjut. Sel-selnya mulai membesar tetapi belum membelah diri.

2. Fase Pertumbuhan

Pada fase ini mikroorganisme mulai membelah diri, tetapi dimana pada fase ini metabolisme paling pesat sehingga bahan sel sangat cepat dan konstan. Keadaan ini berlangsung terus sampai salah satu atau beberapa nutrien habis atau telah terjadi penimbunan atas hasil metabolisme yang bersifat racun yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan.

3. Fase Stationer

Pada fase ini jumlah mikroorganisme yang dihasilkan sama dengan jumlah mikroorganisme yang mati sehingga jumlah sel mikroorganisme yang hidup konstan.

4. Fase Kematian

Pada fase ini kecepatan kematian terus meningkat sedangkan kecepatan pembelahannya menjadi nol. Setelah sampai ke fase kematian, logaritma kecepatan kematian mencapai maksimal dan jumlah sel menurun. Hal ini biasanya disebabkan karena jumlah nutrisi yang sudah habis.


(62)

4.3.3. Reaksi Kalium Dikromat Dengan Bioetanol

Cr2O72- + 14H+ + 6e 2Cr3+ + 7H2O C2H5OH C2H4O + 2H+ + 2e


(63)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh penambahan variasi ragi roti dan lama waktu fermentasi terhadap glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan HCl 30% dalam pembuatan bioetanol, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Bahwa ragi roti dapat digunakan secara langsung tanpa mengisolasi Saccharomyces cereviciae terlebih dahulu dalam pembuatan bioetanol dari glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan menggunakan HCl 30%. 2) Kadar bioetanol yang tertinggi diperoleh pada saat penambahan ragi roti 2

gram dengan lama fermentasi 6 hari yaitu 5,12%. Dimana semakin banyak ragi roti yang digunakan dan semakin lama waktu fermentasi maka kadar bioetanol yang dihasilkan semakin tinggi.

3) Kadar selulosa dalam ampas tebu yang diperoleh yaitu 29,81% dan kadar glukosa dari hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan menggunakan HCl 30% yaitu 9,15%.

5.2. Saran

Disarankan untuk penelitian selanjutnya agar melakukan pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol yang diperoleh untuk meningkatkan kadar bioetanol sehingga bisa digunakan sebagai bahan bakar.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, R. 2009. Membuat Bensin Dari Ubi. Jakarta : Bentara Cipta Prima. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Girindra, A. 1990. Pengantar Biokimia. Jakarta : Gramedia.

Hambali, E. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta : Agromedia Pustaka. Hawab, H. M. 2004. Biokimia. Jakarta : Andi Press.

Hermiati, E. 2009. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. Bogor : LIPI.

Hidayat, N. 2009. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Humprey,A.E. 1979. The Hydrolysis of Cellulosis Material of Useful Product. Washington DC : American Chemical Society.

Iswari, R. S. 2006. Pengantar Ilmu Biokimia. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Kartasapoetra, A. G. 1988. Teknologi Budidaya Tanaman Pangan Di Daerah Tropik. Jakarta : Bina Aksara.

Martoharsono, S. 1998. Biokimia. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Maulany, R. F. 1995. Buku Ajar Biokimia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. McKee,T. 1996. Biochemistry. Third Edition. New York : McGraw Hill.

Nurfiana, F. 2009. Pembuatan Bioethanol Dari Biji Durian Sebagai Sumber Energi Alternatif. Yogyakarta : STTN-BATAN.

Poedjiadi, A. 2007. Dasar-Dasar Biokomia. Jakarta : UI-Press.

Prihandana, R. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta : Agromedia Pustaka.


(65)

Rikana, H. Dan Adam, R. 2000. Pembuatan Bioethanol Dari Singkong Secara Fermentasi Menggunakan Ragi Tape. Semarang : Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Samsuri, M. 2007. Pemanfaatan Selulosa Bagas Untuk Produksi Ethanol Melalui Sakarifikasi Dan Fermentasi Serentak Dengan Enzim Xylanase. Jakarta : Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Samsuri, M. 2007. Sakarifikasi Dan Fermentasi Bagas Menjadi Ethanol Menggunakan Enzim Selulase Dan Enzim Sellobiase. Jakarta : Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Subagjo, A. 2007. Manajemen Pengolahan Kue Dan Roti.Edisi Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sudarmadji, S. 1984. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Liberti. Tim Penulis PS. 1992. Pembudidayaan Tebu Di Lahan Sawah dan Tegal. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Voet,D. 1990. Biochemistry. Second Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc. Wegener, G. 1984. Kayu. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Winarno, F. G. 1997. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


(66)

(67)

Lampiran A. Data Penentuan λ Maksimum dari Larutan Glukosa 0,05 mg/mL

Panjang gelombang (nm) Absorbansi

600 0,027

620 0,032

640 0,038

660 0,044

680 0,052

700 0,064

720 0,076

740 0,083

760 0,088

780 0,086

800 0,078

Lampiran B. Data Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm

Konsentrasi glukosa (mg/mL) Absorbansi

0,02 0,112

0,04 0,150

0,06 0,162

0,08 0,164


(68)

Lampiran C. Data Volume Titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0,393N dan Kadar Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Berat Ragi (g) Lama Fermentasi

Analisa Kadar Bioetanol

Volume Titrasi (mL) Kadar Bioetanol (%)

1

2 hari 8,5 1,43

4 hari 6,6 2,77

6 hari 5,2 3,77

8 hari 7,3 2,28

2

2 hari 6,8 2,63

4 hari 3,9 4,69

6 hari 3,3 5,12

8 hari 3,6 4,90

3

2 hari 5,1 3,84

4 hari 4,5 4,26

6 hari 4,9 3,98

8 hari 5,7 3,41

Lampiran D. Data Penentuan Ybaru

X Ybaru

0,02 0,1218

0,04 0,1386

0,06 0,1554


(69)

Lampiran E. Kurva Penentuan λ Maksimum Dari Larutan Glukosa 0,05 mg/mL

Lampiran F. Kurva Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm

y = 0,84x + 0,105

0 0.04 0.08 0.12 0.16 0.2

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

A bs o rba ns i

Konsentrasi Glukosa Standar (mg/mL)

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1

600 620 640 660 680 700 720 740 760 780 800

A bs o rba ns i


(70)

Lampiran G. Kurva Larutan Etanol Standar Dengan Berbagai Konsentrasi

Lampiran H. Kurva Kadar Bioetanol Dengan Variasi Penambahan Ragi Roti Terhadap Lama Fermentasi

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2

V o lu m e T it ra si (m L)

Konsentrasi Etanol Standar (mL/100mL)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5

2 4 6 8

K ad ar B io e tan o l ( % )

Lama Fermentasi (hari)

1 gram 2 gram 3 gram


(1)

Rikana, H. Dan Adam, R. 2000. Pembuatan Bioethanol Dari Singkong Secara Fermentasi Menggunakan Ragi Tape. Semarang : Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Samsuri, M. 2007. Pemanfaatan Selulosa Bagas Untuk Produksi Ethanol Melalui Sakarifikasi Dan Fermentasi Serentak Dengan Enzim Xylanase. Jakarta : Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Samsuri, M. 2007. Sakarifikasi Dan Fermentasi Bagas Menjadi Ethanol Menggunakan Enzim Selulase Dan Enzim Sellobiase. Jakarta : Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Subagjo, A. 2007. Manajemen Pengolahan Kue Dan Roti.Edisi Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sudarmadji, S. 1984. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Liberti. Tim Penulis PS. 1992. Pembudidayaan Tebu Di Lahan Sawah dan Tegal. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Voet,D. 1990. Biochemistry. Second Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc. Wegener, G. 1984. Kayu. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Winarno, F. G. 1997. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


(2)

(3)

Lampiran A. Data Penentuan λ Maksimum dari Larutan Glukosa 0,05 mg/mL

Panjang gelombang (nm) Absorbansi

600 0,027

620 0,032

640 0,038

660 0,044

680 0,052

700 0,064

720 0,076

740 0,083

760 0,088

780 0,086

800 0,078

Lampiran B. Data Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm

Konsentrasi glukosa (mg/mL) Absorbansi

0,02 0,112

0,04 0,150

0,06 0,162

0,08 0,164

0,10 0,191


(4)

Lampiran C. Data Volume Titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0,393N dan Kadar Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Berat Ragi (g) Lama Fermentasi

Analisa Kadar Bioetanol

Volume Titrasi (mL) Kadar Bioetanol (%)

1

2 hari 8,5 1,43

4 hari 6,6 2,77

6 hari 5,2 3,77

8 hari 7,3 2,28

2

2 hari 6,8 2,63

4 hari 3,9 4,69

6 hari 3,3 5,12

8 hari 3,6 4,90

3

2 hari 5,1 3,84

4 hari 4,5 4,26

6 hari 4,9 3,98

8 hari 5,7 3,41

Lampiran D. Data Penentuan Ybaru

X Ybaru

0,02 0,1218

0,04 0,1386


(5)

Lampiran E. Kurva Penentuan λ Maksimum Dari Larutan Glukosa 0,05 mg/mL

Lampiran F. Kurva Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm

y = 0,84x + 0,105

0 0.04 0.08 0.12 0.16 0.2

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

A

bs

o

rba

ns

i

Konsentrasi Glukosa Standar (mg/mL)

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1

600 620 640 660 680 700 720 740 760 780 800

A

bs

o

rba

ns

i

Panjang gelombang (nm)


(6)

Lampiran G. Kurva Larutan Etanol Standar Dengan Berbagai Konsentrasi

Lampiran H. Kurva Kadar Bioetanol Dengan Variasi Penambahan Ragi Roti Terhadap Lama Fermentasi

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2

V o lu m e T it ra si (m L)

Konsentrasi Etanol Standar (mL/100mL)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5

2 4 6 8

K ad ar B io e tan o l ( % )

Lama Fermentasi (hari)

1 gram 2 gram 3 gram


Dokumen yang terkait

Pembuatan Komposit Biodegradabel dari α-Selulosa Ampas Tebu Bz 132 (Saccharum officinarum) dan Polipropilena dengan Menggunakan Polipropilena Tergrafting Maleat Anhidrida dan Divinil Benzena Sebagai Agen Pengikat Silang

5 67 113

Pembuatan Bioetanol Dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal Dan Fermentasi: Pengaruh Ph, Jenis Ragi Dan Waktu Fermentasi

14 140 76

Pengaruh Lama Fermentasi Dan Berat Ragi Roti Terhadap Kadar Bioetanol Dari Proses Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Jerami Padi Dengan Hcl 30%

2 81 61

Studi Perbandingan Penambahan Variasi Ragi Tape dan Ragi Roti Dalam Pembuatan Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Tongkol Jagung Manis (Zea Mays L. Saccharata)

7 37 73

Studi Perbandingan Penambahan Variasi Ragi Tape dan Ragi Roti Dalam Pembuatan Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Tongkol Jagung Manis (Zea Mays L. Saccharata)

0 0 12

Studi Perbandingan Penambahan Variasi Ragi Tape dan Ragi Roti Dalam Pembuatan Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Tongkol Jagung Manis (Zea Mays L. Saccharata)

0 0 2

Studi Perbandingan Penambahan Variasi Ragi Tape dan Ragi Roti Dalam Pembuatan Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Tongkol Jagung Manis (Zea Mays L. Saccharata)

0 0 5

Pembuatan Bioetanol Dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal Dan Fermentasi: Pengaruh Ph, Jenis Ragi Dan Waktu Fermentasi

0 0 9

Pembuatan Bioetanol Dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal Dan Fermentasi: Pengaruh Ph, Jenis Ragi Dan Waktu Fermentasi

0 1 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jerami Padi - Pengaruh Lama Fermentasi Dan Berat Ragi Roti Terhadap Kadar Bioetanol Dari Proses Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Jerami Padi Dengan Hcl 30%

0 0 13