Kajian pengembangan roof garden di Metropolitan dalam upaya mengatasi fenomena urban heat island:studi kasus DKI Jakarta

(1)

KAJIAN PENGEMBANGAN

ROOF GARDEN

DI

METROPOLITAN DALAM UPAYA MENGATASI

FENOMENA

URBAN HEAT ISLAND

(Studi Kasus : DKI Jakarta)

JUWITA APSARI

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

JUWITA APSARI. Kajian Pengembangan di Metropolitan dalam Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island. Studi Kasus di DKI Jakarta. Dibimbing oleh BAMBANG SULISTYANTARA.

DKI Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia ya ng mempunyai masalah lingkungan yang harus mendapat perhatian, terutama karena fungsinya sebagai ibukota negara dimana terdapat segala pusat kegiatan utama seperti pemerintahan dan ekonomi. Proses pembangunan fisik telah mengakibatkan degradasi lingkungan, salah satunya yaitu terjadinya fenomena

Urban Heat Island (UHI). Salah satu upaya untuk mengatasi fenomena UHI yaitu pengembangan dan pengimplementasian Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan. Dalam penerapannya, pengembangan RTH mengalami banyak masalah diantaranya keterbatasan lahan. Roof garden merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah keterbatasan lahan tersebut.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap

roof garden dan UHI, mengetahui peta implementasi roof garden, serta menelusuri informasi tentang kebijakan pemerintah dalam pengembangan roof garden. Penelitian dilaksanakan di wilayah administrasi DKI Jakarta. Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan teknik survei. Sampel dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu bangunan fungsi hunian dan bangunan fungsi non hunian. Pembagian kuisioner dilakukan dengan mendatangi para pemilik atau pengelola bangunan, melalui pos, memanfaatkan kegiatan seminar tentang roof garden yang diadakan oleh Suku Dinas (Sudin) Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat, serta memanfaatkan fasilitas internet, yaitu dengan mengupload kuisioner online dalam bentuk website dengan alamat http://www.ossy.integrasolusi.com dan dipublikasikan melalui beberapa alamat

mailing list.

Berdasarkan survei melalui pembagian kuisioner kepada pemilik atau pengelola bangunan di DKI Jakarta diketahui bahwa secara umum tanggapan responden cukup rendah yaitu sejumlah 46.0% pengembalian untuk kelompok bangunan hunian dan 16.0% pengembalian untuk kelompok bangunan non hunian. Jumlah responden yang menjadi sampel dalam survei yaitu 65 orang, terdiri dari 29 orang (44.6%) pemilik atau pengelola bangunan hunian dan 36 orang (55.4%) pemilik atau pengelola bangunan non hunian.

Karakteristik responden pada kelompok bangunan hunian tidak jauh berbeda dengan kelompok bangunan non hunian. Responden didominasi oleh laki- laki dengan rentang usia 25 sampai dengan 40 pada kelompok bangunan hunian dan rentang usia lebih dari 40 tahun pada kelompok bangunan non hunian. Berdasarkan latar belakang agama diketahui bahwa mayoritas responden beragama Islam. Sebagian besar responden menempuh tingkat pendidikan setaraf pendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi).

Jenis bangunan pada kelompok bangunan hunian terdiri dari rumah tinggal dan apartemen, dan pada kelompok bangunan non hunian responden terbanyak mengelola bangunan perkantoran sedangkan responden lainnya mengelola bangunan industri, hotel, bangunan perdagangan, rumah sakit atau bangunan kesehatan, dan bangunan pendidikan. Bangunan yang dimiliki atau


(3)

dikelola responden memiliki satu hingga dua lantai pada kelompok bangunan hunian dan lebih dari lima lantai pada kelompok bangunan non hunian, dengan status kepemilikan atas nama sendiri. Jenis konstruksi bangunan didominasi oleh tembok dengan atap genting pada kelompok bangunan hunian dan dak semen pada kelompok bangunan non hunian, memiliki beranda, serta memiliki taman di halaman bangunannya.

Persepsi responden terhadap UHI meliputi arti, dampak, dan cara mengatasi UHI. Pada kelompok bangunan hunian, sebagian besar responden mengetahui arti UHI walaupun persentasenya cukup rendah (48.3%), sedangkan pada kelompok bangunan non hunian persentasenya cukup tinggi (75.0%). Secara umum sebagian besar responden mengetahui bahwa udara yang panas merupakan dampak UHI yang paling dirasakan. Mayoritas responden mengatakan bahwa penghijauan merupakan cara yang paling baik dalam mengatasi UHI. Beberapa faktor latar belakang responden mempengaruhi persepsi terhadap UHI yaitu tingkat pendidikan, pendapatan dan jenis pekerjaan, diduga bahwa responden dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi serta bekerja sebagai pegawai swasta mempunyai pengetahuan yang lebih baik mengenai UHI.

Persepsi responden terhadap roof garden meliputi arti, bentuk, manfaat dan peran roof garden dalam perbaikan iklim kota. Mayoritas responden mengetahui arti roof garden, baik pada kelompok bangunan hunian (62.1%) maupun bangunan non hunian (94.4%), dan mengemukakan pendapatnya mengena i bentuk roof garden yang lebih mengarah pada estetika dan kenyamanan. Mayoritas responden menyetujui bahwa roof garden dapat menurunkan suhu di dalam dan di sekitar bangunan serta memberikan keindahan visual, dan mengetahui peran roof garden dalam perbaikan iklim kota.

Kelompok bangunan mempengaruhi persepsi responden mengenai roof garden, dimana responden pada kelompok bangunan non hunian memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada responden pada kelompok bangunan hunian. Faktor latar belakang responden yang mempengaruhi persepsi mengenai

roof garden yaitu faktor jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pendapatan. Responden berjenis kelamin laki- laki, atau berusia lebih dari 40 tahun, atau mempunyai tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi diduga mempunyai pengetahuan yang lebih baik mengenai roof garden. Mayoritas responden menginginkan taman atap sederhana untuk diterapkan pada bangunan yang mereka miliki atau kelola, baik pada kelompok bangunan hunian (34.5%) maupun pada kelompok bangunan non hunian (58.3%).

Berdasarkan hasil survei dapat diketahui bahwa pengimplementasian roof garden di DKI Jakarta belum meluas. Pada kelompok bangunan hunian, hanya sejumlah 10 bangunan (34.5%) yang mempunyai taman beranda dan hanya 1 bangunan (3.5%) yang memiliki taman atap. Pada kelompok bangunan non hunian terdapat 8 bangunan (22.2%) yang memiliki taman beranda, dan 13 bangunan (36.1%) yang memiliki taman atap.

Secara umum, sebagian besar responden tertarik untuk memiliki roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola. Pada kelompok bangunan hunian, mayoritas responden tertarik memiliki roof garden dengan alasan psikologis yaitu bahwa roof garden dapat meningkatkan kenyamanan sedangkan pada kelompok bangunan non hunian, mayoritas responden tertarik memiliki roof garden dengan alasan estetika (38.5%) yaitu bahwa roof garden dapat


(4)

tembok mempunyai ketertarikan yang rendah.

Kesulitan pemeliharaan dirasakan cukup rendah oleh para pemilik atau pengelola bangunan yang memiliki roof garden pada bangunannya. Sebagian besar responden mengalami kesulitan pemeliharaan dalam hal penyiraman dan drainase.

Tidak terdapat kebijakan yang secara khusus mengatur tentang roof garden, namun terdapat berbagai kebijakanyang secara tidak langsung berkaitan dengan pengembangan roof garden. Aspek legal yang mendasari tertuang dalam berbagai produk hukum, mulai dari skala wilayah atau kota yaitu, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 8 tahun 2002, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 139 tahun 2001, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 140 tahun 2001, dan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 189 tahun 2002, sampai skala nasional yaitu Inmendagri No 14 Tahun 1988, UU No 28 tahun 2002, Permendagri No 2 tahun 1987, PP No 69 tahun 1996, dan UU No 23 tahun 1997.


(5)

KAJIAN PENGEMBANGAN

ROOF GARDEN

DI

METROPOLITAN DALAM UPAYA MENGATASI

FENOMENA

URBAN HEAT ISLAND

(Studi Kasus : DKI Jakarta)

OLEH:

JUWITA APSARI

SK R I P SI

Seba ga i sa l a h sa t u sy a r a t u n t u k m em p er ol eh gel a r Sa r j a n a P er t a n i a n p a d a F a k u l t a s P er t a n i a n

I n st i t u t P er t a n i a n B ogor

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

Judul : Kajian Pengembangan Roof Garden di Metropolitan Dalam Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island (Studi Kasus : DKI Jakarta) Nama : Juwita Apsari

NRP : A34202037

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr NIP : 131 578 797

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP : 130 422 698


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Agustus 1984, merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Yusuf Syarifudin dan Cucu Sutiana.

Pada tahun 1990 penulis menamatkan pendidikan di TK Tunas Rimba 1 Bogor dan memasuki masa pendidikan dasar di SD Panaragan 3 Bogor selama 6 tahun. Pada tahun 1996-1999 penulis bersekolah di SLTP Negeri 1 Bogor kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Program Studi Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian.

Semasa kuliah penulis aktif di beberapa organisasi intra kampus, diantaranya Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON) periode kepengurusan 2003-2004 dan Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada tahun 2004. Selain itu penulis juga aktif di beberapa kegiatan insidentil seperti Masa Perkenalan Fakultas, Masa Perkenalan Departemen dan Lintas Desa.

Pada tahun 2004 penulis bersama rekan-rekan mahasiswa menggagas pembentukan HIMASKAP, serta bersama rekan-rekan mahasiswa Arsitektur Lanskap dari perguruan tinggi lain membentuk Perhimpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap Indonesia (PERHIMALI) dan menjadi anggota Badan Pengurus Nasional (BPN) Divisi Keprofesian periode 2004-2006.

Semasa menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mahasiswa pada mata kuliah Dasar-Dasar Arsitektur Lanskap.


(8)

Puji syukur kehadirat Illahi Robbi atas ridha-Nya yang telah menerangi jalan dan menuntun langkah penulis dalam menyelesaikan skripsi berjudul ”Kajian Pengembangan Roof Garden di Metropolitan dalam Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island (Studi Kasus : DKI Jakarta)”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr selaku pembimbing skripsi atas bimbingan dan arahannya, serta rasa kekeluargaan yang hangat selama penulis menjadi bimbingannya.

2. Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS dan Ibu Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku dosen penguji atas saran, kritik dan masukannya.

3. Ibu Dr. Ir. Nurhayati HSA, MS selaku pembimbing akademik yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis.

4. Keluarga tercinta (Ibu, Ayah, A’Okeu dan A’Oga) atas kasih sayang yang melimpah dan dukungan serta doa yang tiada henti.

5. Panitia seminar Roof Garden dari Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat dan Bapak Wien dari BMG Balai Wilayah II Jakarta.

6. My second family LA39 atas persaudaraan dan kenangan manis yang kan selalu terukir di hati serta teman-teman LA35-LA42 yang telah mewarnai hari- hariku.

7. Staf Departemen Arsitektur Lanskap atas bantuannya.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis demi kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Bogor, Januari 2007


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kota dan Permasalahannya ... 6

Roof Garden ... 7

Urban Heat Island ... 11

Persepsi dan Preferensi ... 13

METODOLOGI Tempat dan Waktu ... 15

Metode Penelitian ... 16

Pengambilan Sampel dan Pembagian Kuisioner ... 17

Jenis Data yang Dikumpulkan ... 18

Metode Analisa ... 19

Batasan Penelitian ... 20

KONDISI UMUM DKI JAKARTA ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Tanggapan Responden Secara Umum ... 26

Identitas Responden ... 27

Keterangan Bangunan ... 29

Persepsi Responden Terhadap Urban Heat Island ... 32

Persepsi Responden Terhadap Roof Garden... 36

Preferensi Responden Terhadap Roof Garden... 40

Pengembangan Roof Garden ... 42

Aspek Legal dalam Pengembangan Roof Garden ... 47


(10)

Saran... 55 DAFTAR PUSTAKA ... 56 LAMPIRAN... 59


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tipe Green Roof... 8

2. Gambaran Pertanyaan Pada Kuisioner... 18

3. Jenis Bangunan yang Dikelola Responden Pada Seminar Roof Garden di Jakarta Pusat... 27

4. Karakteristik Responden ... 28

5. Jenis Bangunan yang Dimiliki atau Dikelola Responden ... 30


(12)

1. Kerangka Pikir Studi ... 5

2. Ilustrasi Fluktuasi Suhu Pada Urban Heat Island... 11

3. Lokasi Penelitian... 15

4. Bagan alur penelitian ... 16

5. Kondisi Umum Iklim DKI Jakarta Periode 1994-2004 ... 23

6. Perbandingan Suhu Maksimum dan Minimum Antara 5 wilayah DKI Jakarta dan Bogor Tahun 1994-2004 ... 25

7. Persentase Perolehan Data Kuisioner ... 26

8. Persentase Kelompok Bangunan... 29

9. Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Arti UHI ... 32

10. Persentase Dampak UHI yang Diketahui Responden... 33

11. Persentase Tanggapan Responden Untuk Mengemukakan Cara Untuk Mengatasi UHI ... 34

12. Persentase Jawaban Responden Mengenai Cara Untuk Mengatasi UHI... 35

13. Persentase Persepsi Responden Mengenai Arti Roof Garden ... 36

14. Persentase Tanggapan Responden Mengenai Bentuk Roof Garden .... 37

15. Persentase Persepsi Responden Mengenai Manfaat Roof Garden ... 39

16. Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Peran Roof Garden dalam Perbaikan Iklim Kota ... 40

17. Persentase Preferensi Responden Mengenai Bentuk Roof Garden ... 41

18. Roof Garden Pada Gedung K FALTL Trisakti... 43

19. Roof Garden Pada Harco Mangga 2 Square ... 43

20. Taman Beranda Pada Salah Satu Gedung Perkantoran di Kawasan Industri Pulogadung ... 43

21. Persentase Ketertarikan Responden Untuk Memiliki Roof Garden .... 44

22. Persentase Alasan Responden Mengenai Ketertarikan Memiliki Roof Garden ... 45


(13)

23. Persentase Tanggapan Responden Mengenai Kesulitan Pemeliharaan

Roof Garden pada Bangunan yang Dimiliki atau Dikelola ... 46 24. Contoh Penerapan Roof Garden di Atlanta Amerika Serikat ... 52


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Lembar Kuisioner ... 59

2. Kuisioner Online ... 62

3. Tabel data iklim DKI Jakarta dan Bogor ... 64

4. Contoh jenis bangunan... 66

5. Tabel daftar nama dan alamat responden... 69

6. Tabel hubungan kelompok bangunan dengan persepsi dan preferensi responden ... 73

7. Tabel hubungan latar belakang responden dengan persepsi terhadap Urban Heat Island ... 73

8. Tabel hubungan latar belakang responden dengan persepsi terhadap roof garden ... 74

9. Tabel hubungan keterangan bangunan dengan preferensi terhadap roof garden ... 75

10. Tabel hubungan latar belakang responde dengan preferensi terhadap roof garden ... 75

11. Tabel hubungan keterangan bangunan dengan ketertarikan memiliki roof garden ... 76

12. Tabel hubungan latar belakang responden dengan ketertarikan memiliki roof garden ... 76

13. Tabel produk hukum yang berkaitan dengan pengembangan roof garden dan upaya mengatasi fenomena Urban Heat Island ... 77


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan daerah perkotaan di Indonesia dewasa ini semakin meningkat. Modernitas kehidupan kota menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia akan fasilitas dan prasarana yang memudahkan mereka untuk menjalankan berbagai aktivitas, terutama dalam hal pemuasan ekonomi. Sebagai ibukota negara, DKI Jakarta merupakan pusat dari segala aktifitas utama seperti perekonomian dan pemerintahan. Terkonsentrasinya aktifitas-aktifitas tersebut berimplikasi pada pemusatan komunitas baik untuk bermukim maupun bekerja, namun tak lepas dari sebuah realita bahwa Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami penurunan kualitas lingkungan yang cukup signifikan.

Menurut penelitian yang dilakukan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) pada tahun 1994 oleh Adiningsih dkk¹ diketahui bahwa ada perbedaan suhu maksimum dan minimum antara daerah Jakarta (sebagai daerah

urban) dan Bogor (rural) yang mencapai 1-3 ºC. Kondisi itu diperkuat dengan citra satelit Landsat yang memperlihatkan perkembangan Jakarta dengan jelas dan menunjukkan semakin meluasnya daerah yang memiliki aktivitas tinggi seperti perkantoran, permukiman, daerah industri, dan jalan-jalan beraspal (Tursilowati, 2004). Perubahan tata guna lahan yang signifikan ini terlihat dari berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi.

Berdasarkan data suhu yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta dan Bogor (Tabel Lampiran 3), diketahui bahwa pada tahun 2004 perbedaan suhu maksimum antara Jakarta dan Bogor mencapai 4°C dengan perbedaan tertinggi yaitu wilayah Jakarta Utara (35.4°C) dan Bogor (31.87°C). Data suhu minimum juga menunjukkan adanya perbedaan mencapai 2°C, yaitu wilayah Jakarta Timur (23.9°C) dan wilayah Jakarta Barat (22.1°C), Jakarta Selatan (22.1°C) dan Bogor (22.6°C). Fakta tersebut menunjukkan keadaan Jakarta yang mengalami sebuah fenomena yang disebut sebagai Pulau Panas Perkotaan atau Urban Heat Island (UHI).


(16)

Peristiwa panas kota yang berlebihan ini disebabkan oleh wajah kota yang didominasi oleh struktur bangunan, yang menjadikan kota semakin kaku dan tidak bersahabat (Sulistyantara, 2005). Selain itu UHI juga dipengaruhi oleh faktor iklim di Indonesia yaitu tropis. Intensitas radiasi matahari yang terus-menerus sepanjang tahun diterima secara ekstrim oleh permukaan bumi yang ditutupi oleh material keras seperti bangunan dan jalan.

Peningkatan suhu di perkotaan merupakan salah satu indikator penurunan kualitas lingkungan yang akan berdampak pada kualitas hidup manusia yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya. Secara psikologis, panas akan menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi manusia sehingga mereka menjadi tergantung pada alat pendingin. Padaha l ketergantungan manusia tropis terhadap energi (listrik) sebetulnya relatif jauh lebih rendah dibanding mereka yang berada pada iklim sub tropis (Karyono, 2001). Penggunaan pendingin secara tidak langsung juga berdampak pada lingkungan karena emisi gas ya ng dihasilkan dapat mempengaruhi penurunan kualitas iklim secara global, yang biasa disebut dengan efek rumah kaca (green house effect).

Telah menjadi sebuah wacana yang sangat klasik bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan cara yang paling efektif dalam mengatasi peningkatan suhu di kota. Kemampuan vegetasi sebagai unsur utama RTH sangat berperan penting dalam mengendalikan keseimbangan ekologis pada struktur kota. Menurut Soegijanto (1998) keberadaan RTH di sekitar bangunan akan mempengaruhi suhu di dalam bangunan.

Pembangunan kota yang pesat serta laju pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan lahan kota menjadi terbatas dan mahal, sehingga penggunaan lahan lebih ditujukan untuk kepentingan komersial dan semakin menyusutkan lahan untuk RTH. Luas RTH yang terbentuk di wilayah DKI Jakarta hanya sebesar ± 9%, jauh dari standar luas yang telah ditetapkan pada Inmendagri no. 14 tahun 1988 yaitu sebesar 40% dari total wilayah.

Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian target RTH diantaranya keterbatasan alokasi lahan, perubahan atau penyimpangan fungsi RTH, kerusakan akibat ulah masyarakat dan pencemaran lingkungan serta keterbatasan dana dan fasilitas bagi pengelolaan dan pemeliharaan RTH (NKLD,


(17)

3

2002). Perbedaan angka yang sangat signifikan tersebut seharusnya memacu warga dan pemerintah kota untuk menyiasati kendala tersebut.

Dewasa ini telah dikembangkan suatu teknik penghijauan yang dilakukan ke arah vertikal yaitu Taman Atap (Roof Garden). Roof garden merupakan suatu taman yang tidak terletak di halaman rumah atau bangunan seperti umumnya, melainkan terdapat di atas atap suatu bangunan.

Teknik ini dapat menjawab kekhawatiran tentang masalah keterbatasan lahan untuk dijadikan RTH, bahkan dapat memaanfaatkan potensi lahan yang selama ini kurang terperhatikan. Selain itu kehadiran bangunan yang tinggi dan kaku dapat terlihat lebih lembut akibat pengaruh dari elemen lunak yang ditanam.

Kehadiran roof garden sudah mulai tampak menghiasi wajah kota Jakarta. Secara mikro, keberadaan roof garden ini dapat membantu menurunkan suhu udara di ruang bangunan di bawahnya, sehingga dapat menghemat penggunaan energi untuk mendinginkan ruangan. Dalam skala kota, roof garden belum mampu menciptakan kondisi lingkungan yang berkualitas karena jumlahnya terbatas pada beberapa bangunan saja.

Bila pemanfaatan roof garden diimplementasikan secara luas, bukan tidak mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan di kota dan secara tidak langsung mengatasi fenomena UHI. Kurangnya pemanfaatan roof garden ini dapat dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat, kurangnya kemampuan dan keinginan masyarakat serta kurangnya law enforcement dari pihak pemerintah. Maka dari itu diperlukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar respon masyarakat untuk mengembangkan roof garden, aspek legal yang mendukungnya serta hambatan pengembangannya.


(18)

Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui tanggapan masyarakat terhadap roof garden dan urban heat island.

2. Mengetahui peta implementasi roof garden di DKI Jakarta

3. Menelusuri informasi tentang kebijakan pemerintah dalam mengatasi fenomena urban heat island.

Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pemerintah setempat dan masyarakat untuk berperan serta dalam upaya mengatasi fenomena urban heat island.


(19)

5

Perkembangan kota

Pembangunan Penurunan RTH struktur fisik

Urban Heat Island

- Ketidaknyamanan Dampak negatif - Pemborosan energi

- Perubahan iklim global

Upaya mengatasi

Urban Heat Island

Penghijauan Keterbatasan lahan

Roof Garden

- Ketidaktahuan - Ketidakmampuan Hambatan - Ketidakmauan

- Kurang dorongan dari pemerintah

Potensi Pengembangan


(20)

Kota dan Permasalahannya

Berdasarkan Pasal 1 Permendagri No 2 tahun 1987, kota dideskripsikan sebagai pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang- undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan (Hardjasoemantri, 2000). Menurut Branch (1995) dan Hardoy dalam Catanese (1986), kota merupakan kawasan yang memiliki keaktifan, keanekaragaman dan kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Sebuah kota akan menjadi pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya, dimana fungsi- fungsi penting seperti perekonomian, pemerintahan, industri, kebudayaan, pendidikan dan militer terdapat di dalamnya.

Kota memiliki berbagai komponen dan unsur, mulai dari komponen yang secara fisik terlihat seperti bangunan dan infrastruktur lainnya, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Karakteristik masyarakat yang terdapat di kota yaitu heterogen dan bertingkat-tingkat dan secara umum mempunyai kecenderungan individual dan materialistis yang tinggi.

Aktifitas kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan perkotaan, yang berkaitan erat dengan kualitas hidup penghuninya (Irwan, 1996), seperti aktifitas perekonomian yang menuntut pembangunan fisik yang seimbang, terutama pembangunan jalur transportasi serta pembangunan fasilitas pendukung. Pembangunan fisik tersebut dilakukan baik pada lahan baru atau pada lahan yang telah dibangun sebelumnya (Janala, 1995).

Menurut Ambarwati (2005), salah satu penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan yaitu masalah perubahan cuaca dan iklim, terutama dalam hal peningkatan suhu. Masalah ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi, dan sebagainya.

Permasalahan suhu yang tinggi di kota-kota besar di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor alami dan faktor sosial. Sebagai kota tropis, persoalan


(21)

7

yang ditimbulkan oleh iklim yaitu pemanasan yang ditimbulkan oleh radiasi matahari dengan implikasi absorpsi yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah pedesaan (rural), terjadinya Urban Heat Island, berkurangnya kecepatan angin karena kerapatan bangunan yang tinggi, dan berkurangnya vegetasi persatuan luas tertentu (Karyono, 2004).

Dari sisi sosial, peningkatan aktivitas manusia sangat mempengaruhi peningkatan suhu kota. Adanya perubahan penggunaan lahan dari agraris ke non agraris yang cukup signifikan dengan dibukanya lahan- lahan alami bervegetasi menjadi lahan terbangun, baik untuk lokasi pembangunan gedung maupun untuk jalur transportasi merupakan faktor utama masalah tersebut. Penyebab lainnya yaitu jumlah penduduk, penggunaan bahan bakar fosil dan listrik, jumlah kendaraan bermotor, jumlah bangunan dan permukiman yang semuanya itu relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Selanjutnya menurut Karyono (2004), sebuah kota dirancang dengan jalan-jalan lebar serta ruang-ruang terbuka yang diperkeras, tanpa cukup diberi peneduh pohon. Bangunan-bangunan dirancang sedemikian rupa sehingga tidak akan nyaman tanpa pengkondisian udara, mengakibatkan peningkatan suhu udara kota yang semula sudah tinggi akibat pemanasan aspal, beton serta pembuangan panas oleh mesin- mesin pengkondisian udara itu sendiri. Kemudian ditambah panas yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor yang menggunakan AC. Dari persoalan-persoalan yang terakumulasi ini, ketergantungan manusia yang tinggal di kota terhadap penggunaan energi semakin tinggi.

Roof Garden

Perkembangan pembangunan fisik yang pesat di perkotaan telah menyebabkan perubahan wajah kota menjadi semakin kaku, namun secara manusiawi masyarakat yang tinggal di dalamnya tetap mempunyai keinginan untuk senantiasa berdekatan dengan alam (Branch, 1995). Menurut Ambarwati (2005), menghadirkan suasana alami dalam lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja manusia merupakan sebuah usaha untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman. Dari berbagai latar belakang tersebut kemudian timbul suatu cabang lanskap yang dinamakan roof landscape.


(22)

Roof landscape atau lebih dikenal dengan green roof, rooftop garden, atau

roof garden merupakan salah satu upaya pemberdayaan potensi ruang yang tak termanfaatkan ya itu pada atap bangunan menjadi sebuah ruang hijau yang dapat memberikan banyak manfaat baik dalam skala mikro maupun skala kota. Pengembangan ruang hijau vertikal ini mempunyai peran ekologis dalam meningkatkan keragaman biologis di perkotaan (Pramukanto, 2006).

Dilihat dari pengertian kata, green roof berarti ruang hijau di atas atap yang memanfaatkan vegetasi hidup (Voogt, 2004) dan lebih populer dengan nama

roof garden atau taman atap. Secara sederhana roof garden dideskripsikan sebagai taman dimana semua unsur tanamannya ditanam tidak di atas tanah pada halaman bangunan, melainkan di atas atap bangunan. Pengertian roof garden yang lebih luas juga mencakup semua bentuk bak-bak tanaman yang diletakkan beberapa meter di atas permukaan tanah. Pembentukan roof garden yang paling sederhana yaitu berupa penambahan fasilitas bak tanaman yang dipasang di tepian beranda dan ditanami dengan tanaman hias pot ataupun tanaman rambat. Bentuk roof garden yang lebih kompleks yaitu berupa penanaman vegetasi pada suatu media tanam diatas lapisan kedap air dan dilengkapi sistem irigasi, drainase dan utilitas lainnya (Sukaton et al., 2004; US EPA, 2006). Pada tabel 1 dijelaskan tentang dua tipe green roof atau roof garden, yaitu tipe intensif dan tipe ekstensif.

Tabel 1. Tipe Green Roof

Kriteria Intensif Ekstensif

Ketebalan media tanam minimal 30 cm 2.5-7.5 cm Jenis vegetasi yang

ditanam

dapat berupa pohon besar dan semak yang ditata menjadi taman yang terpelihara

Jenis rumput dan ground cover lain

Kemampuan menahan beban

120-225 kg per meter persegi pada struktur bangunan

18-75 kg per meter persegi tergantung karakteristik tanah

Akses memasuki taman dapat diakses oleh umum biasanya bukan untuk akses umum

Pemeliharaan sangat teratur tahunan sampai tanaman tumbuh memenuhi media Sistem irigasi dan drainase kompleks sederhana

(Sumber: Schloz-Barth, Katrin. 2001. ”Green roofs: Stormwater Management From the Top Down.” Environment Design and Construction)


(23)

9

Konsep taman atap telah menjadi inspirasi sejak 6 abad sebelum masehi yaitu dibangunnya Taman Gantung Babylonia yang bertujuan untuk menciptakan tiruan alam di istana. Salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini dibangun oleh raja Kaldea, Nebupalassar dan dilanjutkan oleh puteranya Nebuchadnezar. Taman ini berupa teras-teras bertingkat pada dinding kota seluas dua hektar dengan ketinggian 3500 kaki diatas permukaan laut.

Pada abad ke 19 daerah perbukitan di Islandia menjadi sumber inspirasi bentuk roof garden selanjutnya, dimana para petani menanami atap rumahnya dengan rumput. Penghijauan atap era modern dimulai di Jerman, Swiss, Austria dan negara Skandinavia pada tahun 1960-an. Sampai tahun 1996 lebih dari 3.2 juta m2 ruang hijau dibangun di atap bangunan-bangunan di Jerman. Setelah Eropa, Amerika Serikat dan Kanada juga mengembangkan roof garden. Begitu pula dengan beberapa negara di Asia seperti Singapura, Hongkong (China), Jepang dan Korea. Menghijaukan atap bangunan menjadi salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungan kota. (Sukaton et al., 2004; Pramukanto, 2006).

Secara garis besar manfaat roof garden dapat dikategorikan menurut fungsi ekologis, ekonomis, dan estetika baik dalam skala mikro (bangunan dan sekitarnya) maupun skala meso (kota). Menurut Sukaton et al (2004), Pramukanto (2006) dan US EPA (2006), roof garden dapat berimplikasi terhadap peningkatan kualitas lingkungan. Tanaman sebagai unsur utama roof garden dapat meningkatkan kadar oksigen sekaligus menurunkan kadar karbondioksida di udara, dalam hal ini tanaman berperan sebagai filter alami terhadap polusi udara, debu dan suara karena dapat membantu menurunkan transfer bising dari ruang luar. Proses fotosintesis yang dialami oleh vegetasi dapat meningkatkan biomassa kota. Selain itu roof garden dapat berperan sebagai lingkungan hidup yang meyediakan habitat untuk satwa liar terutama burung dan hewan kecil lain.

Roof garden merupakan salah satu sistem modifikasi atap yang dapat menurunkan intensitas urban heat island dengan menyediakan bayangan dan melalui evapotranspirasi yang melepaskan air dari tanaman ke udara di sekelilingnya sehingga kelembaban udara meningkat dan udara akan menjadi lebih segar. Keberadaan roof garden dapat menurunkan akumulasi panas dari


(24)

bangunan dan menurunkan emisi polutan dari AC dan gas rumah kaca (Voogt, 2004).

Lapisan yang dihasilkan roof garden dapat melindungi material atap dari kerusakan mekanik (dari manusia, hewan, angin dan debu), dari radiasi ultra violet (UV) dan fluktuasi suhu harian yang ekstrim, serta meminimalkan kerusakan yang diakibatkan karena memuai dan mengkerutnya material atap. Keberadaan vegetasi yang menutupi atap bangunan dapat membantu mengendalikan radiasi matahari sebelum menyentuh permukaan (Laurie, 1979) karena proses alami vegetasi yaitu fotosintesis menyebabkan sinar matahari yang jatuh pada permukaan atap akan terlebih dahulu diabsorpsi oleh vegetasi tersebut sehingga suhu permukaan dapat ditekan mencapai angka dibawah 35ºC.

Dengan menurunnya suhu permukaan pada bangunan maka suhu di dalam bangunan menjadi lebih sejuk sehingga permintaan akan penggunaan AC akan menurun dan dengan sendirinya akan menghemat biaya untuk penggunaan energi AC tersebut. Suasana nyaman yang tercipta karena keberadaan roof garden akan meningkatkan citra yang baik kepada masyarakat sehingga dapat menambah nilai ekonomi bangunan (Sukaton et al., 2004; US EPA, 2006). Selain itu roof garden

dapat menjadi alternatif tempat produksi bahan makanan yang bisa diaplikasikan dalam pot, bak tanaman atau dirambatkan pada dinding atau pergola.

Kehadiran roof garden pada suatu bangunan dapat menciptakan keindahan visual karena fungsi tanaman yang dapat melembutkan struktur bangunan yang kaku. Selain itu pemanfaatan roof garden yang meluas dapat melembutkan horizon kota yang monoton sehingga predikat kota sebagai ’hutan beton’ dapat diminimalisir.

Ketiga fungsi yang telah dijelaskan tersebut mendukung suatu kecenderungan psikologis yang baik bagi masyarakat kota. Suhu udara yang tidak tinggi dapat meningkatkan kenyamanan bagi manusia, baik di ruang luar maupun di dalam bangunan. Hal lain yang mempengaruhi kenyamanan manusia secara klimatologis yaitu radiasi matahari dan kelembaban (Robinette dalam Miller, 1988) yang semuanya itu dapat diadaptasi oleh manfaat roof garden. Suasana udara yang nyaman serta pemandangan yang indah dapat memberikan rasa tenang sehingga produktifitas kerja dapat meningkat.


(25)

11

Saat ini keberadaan roof garden terbatas di beberapa bangunan seperti hotel dan apartemen yang memang ingin meningkatkan kualitas untuk menarik pengunjung, namun menurut US EPA (2006) roof garden dapat diaplikasikan pada fasilitas industri, pemukiman, perkantoran dan fasilitas komersil lain, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan bentuk bangunan. Pengembangan

roof garden di perkotaan perlu diupayakan untuk membuka peluang terciptanya kawasan hijau bersifat alami yang merupakan bagian dari penataan ruang kota sebagai kawasan hijau.

Urban Heat Island

Urban Heat Island (UHI) merupakan suatu istilah untuk mendeskripsikan tingginya suhu udara baik di atmosfer dan permukaan di perkotaan (daerah urban) dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya (Sulistyantara, 2005; Voogt, 2004; US EPA, 2006). Fenomena yang pertama kali ditemukan oleh seorang ahli meteorologi bernama Luke Howard pada tahun 1818 ini disebut juga pulau panas atau pulau bahang kota karena berupa suatu kawasan dimana bila ditarik garis isoterm maka akan membentuk seperti pulau dan semakin ke pusat intensitas suhu akan meningkat.

Rosenberg (2005) menyatakan bahwa suhu udara pada UHI dapat mencapai 11ºC lebih tinggi daripada daerah rural di sekitarnya, yaitu terjadi pada Central Business District (CBD), area-area komersil, dan bahkan pemukiman di suburban. Fluktuasi suhu pada UHI diilustrasikan pada Gambar 2, dimana terlihat bahwa keberadaan taman di dalam kota dapat menurunkan suhu udara.

Gambar 2. Ilustrasi Fluktuasi Suhu Pada Urban Heat Island


(26)

Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya fenomena UHI. Menurut Sulistyantara (2005) dan Voogt (2004), salah satu faktornya yaitu iklim yang terdiri dari komponen suhu, kelembaban, curah hujan dan intensitas matahari. Bentuk UHI dipengaruhi oleh kondisi cuaca lokal terutama angin dan awan. Semakin sedikit hembusan angin dan jumlah awan akan menyebabkan peningkatan UHI. Faktor lainnya yaitu geometri kota yang terdiri dari topografi kota, struktur bangunan, pola ruang kota dan pengisian unsur alam, serta aktivitas manusia seperti pola penggunaan energi. Intensitas UHI akan meningkat sesuai dengan ukuran kota dan kerapatan penduduknya.

UHI adalah sebuah contoh dari modifikasi iklim ketika urbanisasi mengubah karakteristik dari permukaan dan atmosfer bumi. UHI terbentuk karena kota menggantikan penutupan lahan alami dengan perkerasan, bangunan dan infrastruktur lain yang meminimalisir efek penyejukan alami dari bayangan dan evapotranspirasi dari vegetasi dan tanah.

Menurut Laurie (1979), pembentukan UHI dipengaruhi oleh material kepadatan bangunan yang mempunyai karakteristik lambat untuk memanas dan mendingin serta menyimpan energi lebih besar, dimana permukaan gelap dan tak teratur dengan dinding vertikal lebih banyak menyerap sinar matahari. Selain itu bangunan tinggi dan jalan-jalan lebar dapat menjebak udara panas diantaranya dan memperkecil aliran udara yang mengalir di dalam kota. Pada malam hari, kota menjadi lebih hangat akibat pemancaran kembali panas yang diserap oleh jalan dan bangunan, karena daya hantar dan kapasitas panas beton, aspal, dan batu bata lebih besar dibandingkan dengan tanah dan tumbuhan.

Selain itu suhu udara kota ya ng telah tinggi mendapatkan tambahan panas dari energi yang digunakan untuk proses industri, pemanasan, pendinginan dan penerangan bangunan, penggunaan lainnya dalam industri dan rumah tangga, dan transportasi, juga pengaruh dari energi metabolisme manusia (Neiburger et al., 1995; US EPA, 2006).

Fenomena UHI menimbulkan beberapa dampak negatif yang dapat mempengaruhi manusia dan aktifitasnya. Menurut Neiburger et al (1995), Voogt (2004) dan US EPA (2006), efek panas UHI dapat menyebabkan


(27)

13

ketidaknyamanan bagi manusia sehingga meningkatkan pemakaian energi untuk AC. Kondisi panas tersebut juga dapat mengganggu kesehatan baik psikis maupun psikologis, bahkan kadang menyebabkan pingsan dan kematian.

UHI sendiri tak berdampak terhadap pemanasan global, namun dengan proses urbanisasi yang meluas dampak UHI akan meningkatkan emisi gas ke atmosfer yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global tersebut. Aktifitas manusia yang mengakibatkan pemanasan atmosfer secara langsung oleh pembakaran bahan bakar dan perubahan energi nuklir, serta perubahan suhu yang diakibatkan oleh peningkatan kadar CO2, gas lainnya, dan partikel di seluruh atmosfer akan memberikan pengaruh yang mendunia.

Terdapat beberapa cara yang diupayakan oleh beberapa pihak untuk mengatasi fenomena UHI (Voogt, 2004; US EPA, 2006), diantaranya yaitu dengan menggunakan material atap dan perkerasan yang ramah lingkungan, pengendalian emisi kendaraan bermotor, serta memperbanyak penanaman vegetasi. Cara terakhir dinilai paling efektif dalam mengatasi fenomena tersebut. Selain proses fotosintesis yang akan menyerap energi matahari lebih besar, efek bayangan dan evapotranspirasi yang dihasilkan oleh tanaman akan meningkatkan kelembaban udara sehingga suhu menjadi lebih rendah.

Persepsi dan Preferensi

Persepsi merupakan suatu proses psikologis yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan mendeskripsikan suatu objek yang ada di lingkungannya (Sutaat, 2005). Menurut Sadli (1976) dan Sarwono dalam Sutaat (2005), persepsi merupakan suatu proses pemaknaan yang bersifat aktif, yang bukan hanya dipengaruhi oleh rangsangan yang mengenainya (Tuan dalam Porteous, 1977) namun juga dipengaruhi oleh motivasi, sikap, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. Selain itu persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman, cara berpikir serta keadaan perasaan atau minat tiap-tiap orang sehingga seringkali dipandang bersifat subjektif. Persepsi tidak sekedar pengenalan atau pemahaman tetapi juga evaluasi bahkan juga bersifat inferensional (menarik kesimpulan).


(28)

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi diantaranya jenis kelamin dan umur, latar belakang, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan, asal/tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, serta kemampuan fisik dan intelektual (Brockman dan Marriem dalam Nasution, 1995). Selanjutnya ditambahkan Bartol et al. dalam Sutaat (2005) bahwa presepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman belajar dari masa lalu, harapan dan preferensi.

Persepsi terhadap lanskap diwujudkan oleh faktor penambah rangsangan lanskap yang dipengaruhi oleh pengalaman, penilaian, kepercayaan dan sikap, keadaan sosial ekonomi, serta harapan seseorang dimasa depan (Zube et al. dalam Linawati, 1995). Penilaian persepsi terhadap lingkungan didasarkan oleh faktor obyektif dan subyektif yang dapat memberi model pola suatu hubungan manusia dan lingkungannya.

Preferensi adalah kecenderungan untuk memilih sesuatu yang lebih disukai daripada yang lain. Menurut Porteous (1977) keinginan pengguna terhadap suatu objek yang akan direncanakan dapat dinilai oleh para disainer dan ahli lingkungan dengan menggunakan studi prilaku individu, dimana preferensi dapat memberikan masukan sebagai bentuk partisipasi dalam proses perencanaan. Preferensi tiap individu akan berbeda tergantung pada pribadi dan pengalaman yang dimiliki.


(29)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administrasi DKI Jakarta tanpa wilayah Kepulauan Seribu. Survei lapang dan pembagian kuisioner dilakukan dari bulan Maret sampai Juli 2006. Pengolahan data dan penyusunan laporan dilakukan dari bulan Juni sampai September 2006.


(30)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan yaitu metode deskriptif dengan teknik survei. Kegiatan observasi lapang dilakukan untuk mengamati kondisi umum lokasi yang meliputi kondisi fisik seperti iklim dan penggunaan lahan, serta kondisi sosial seperti karakteristik penduduk.

Berdasarkan observasi lapang kemudian disusun daftar pertanyaan yang berkaitan dengan pengembangan roof garden. Wawancara terhadap masyarakat dilakukan melalui kuisioner untuk mengetahui karakteristik masyarakat, tanggapan, persepsi dan preferensi terhadap roof garden. Untuk mengetahui aspek legal yang berkaitan dengan upaya mengatasi urban heat island maka dilakukan penelusuran produk hukum, baik dengan meminta secara langsung kepada pihak terkait maupun pencarian melalui internet.

Persiapan Survei Analisa data Potensi Pengembangan Roof Garden

Pengumpulan data

Observasi Pembagian Aspek legal Kuisioner

Bangunan hunian Bangunan non hunian


(31)

17

Terdapat tiga tahapan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu:

1. Tahap persiapan untuk menentukan lokasi penelitian, penetapan tujuan dan pembuatan usulan penelitian, permohonan izin serta persiapan survei, diantaranya kegiatan menyiapkan isian data, kuisioner, petunjuk pelaksanaan dan penyusunan jadwal pengambilan data.

2. Tahap pengumpulan data (survei) meliputi observasi lapang, pengambilan sampel, pembagian kuisioner, serta mengumpulkan data mengenai aspek legal. 3. Tahap analisis data yang dilakukan dengan analisis deskriptif untuk membandingkan tingkat tanggapan terhadap permasalahan dari tiap komponen karakteristik sampel yang diambil.

Pengambilan Sampel dan Pembagian Kuisioner

Pengambilan sampel dilakukan secara acak terpilih (purposive sampling), yang dikelompokkan menjadi dua kelompok responden berdasarkan fungsi bangunan yaitu bangunan fungsi hunian meliputi rumah dan apartemen, serta bangunan fungsi non hunian yang meliputi bangunan fungsi usaha seperti perkantoran, bangunan industri, hotel dan bangunan perdagangan, serta bangunan fungsi sosial dan budaya seperti rumah sakit. Responden dipilih sebanyak 200 pemilik atau pengelola bangunan, terdiri dari 50 responden bangunan hunian dan 150 responden bangunan non hunian.

Pembagian kuisioner dilakukan dengan cara langsung yaitu dengan mendatangi para pemilik atau pengelola bangunan, dan cara tidak langsung yaitu melalui pos. Kuisioner ditinggal selama dua minggu agar tidak mengganggu waktu kerja dan dikirimkan kembali melalui pos. Cara lain penyebaran kuisioner yaitu melalui kegiatan seminar tentang roof garden yang diadakan oleh Suku Dinas (Sudin) Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat kepada sejumlah peserta yang hadir yaitu sebanyak 15 orang, serta dengan memanfaatkan fasilitas internet. Sebuah kuisioner online dibuat dalam bentuk website dan diupload pada sebuah

domain yaitu Space Integra dengan alamat http://www.ossy.integrasolusi.com (Lampiran 2) dan dipublikasikan melalui beberapa alamat mailing list.


(32)

Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh yaitu gambaran umum lokasi secara visual berupa foto dan data yang diperoleh melalui penyebaran kuisioner yang meliputi identitas responden, keterangan bangunan, persepsi terhadap Urban Heat Island, serta persepsi dan preferensi terhadap Roof Garden (Tabel 1). Secara lebih lengkap kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 1. Data sekunder yang diperoleh yaitu data fisik lokasi (posisi, iklim, dan penggunaan lahan), data kependudukan, dan data aspek legal.

Tabel 2. Gambaran pertanyaan pada kuisioner

Kelompok Pertanyaan Detail pertanyaan

Identitas Responden Nama Alamat Jenis kelamin Usia Suku bangsa Agama Pekerjaan

Pendapatan per bulan Pendidikan terakhir Keterangan Bangunan Fungsi bangunan

Jumlah lantai Status kepemilikan Jenis konstruksi Jenis atap

Keberadaan beranda

Fasilitas taman yang dimiliki

Persepsi Mengenai Urban Heat Island

Arti Urban Heat Island

Dampak Urban Heat Island

Cara mengatasi Urban Heat Island

Persepsi Mengenai Roof Garden Arti Roof Garden

Bentuk Roof Garden

Manfaat Roof Garden

Peran Roof Garden terhadap perbaikan iklim kota Preferensi Mengenai Roof

Garden

Bentuk Roof Garden yang diinginkan

Potensi Pengembangan Roof Garden

Ketertarikan untuk memiliki Roof Garden


(33)

19

Pertanyaan pada kuisioner terdiri dari beberapa tipe, yaitu pertanyaan pilihan yang hanya dapat menjawab satu pilihan, pertanyaan pilihan yang dapat menjawab lebih dari satu pilihan, dan pertanyaan isian yang dapat dijawab secara bebas oleh responden.

Metode Analisa

Metode yang digunakan untuk menganalisis hasil kuisioner agar dapat mencapai tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Data dikumpulkan dalam komputer dengan software database Filemaker Pro 7.

2. Data yang telah terkumpul ditabulasikan dengan menggunakan software

Microsoft Excel dan dipersentasekan terhadap total responden serta dianalisis secara deskriptif.

3. Uji Chi Kuadrat dilakukan untuk mengetahui hubungan persepsi dan preferensi dengan latar belakang responden.

4. Hubungan preferensi dengan keterangan bangunan yang dimiliki atau dikelola responden juga dianalisa dengan melakukan Uji Chi Kuadrat.

5. Pengolahan data dengan uji Chi Kuadrat dilakukan dengan menggunakan

software Microsoft Excel. Berdasarkan uji Chi Kuadrat diperoleh nilai probabilitas (P-value), nilai Chi-tabel dan nilai Chi- hitung. Melalui perhitungan tersebut dapat diketahui ada tidaknya hubungan (berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada taraf 10 %) antara persepsi dan preferensi dengan latar belakang responden atau dengan keterangan bangunan, dengan ketentuan sebagai berikut:

•Bila nilai Chi- hitung kurang dari nilai Chi- tabel atau P-value lebih dari 10 %, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara latar belakang dengan persepsi atau preferensi.

•Bila nilai Chi- hitung lebih dari nilai Chi-tabel atau P-value kurang dari 10 %, menyatakan bahwa ada hubungan antara latar belakang dengan persepsi atau preferensi.


(34)

Batasan Penelitian

1. Area studi di wilayah DKI Jakarta tanpa Kepulauan Seribu dengan spesifikasi lokasi pengambilan contoh berdasarkan fungsi bangunan yaitu bangunan fungsi hunian (rumah dan apartemen) dan bangunan fungsi non hunian terdiri dari bangunan fungsi usaha (perkantoran, bangunan industri, hotel, dan bangunan perdagangan) dan bangunan fungsi sosial budaya (rumah sakit dan bangunan pendidikan).

2. Responden adalah pemilik atau pengelola bangunan di wilayah DKI Jakarta. 3. Cakupan pengertian roof garden yaitu dalam pengertian sederhana (taman di

atas atap bangunan) dan dalam pengertian yang lebih luas (bak-bak tanaman yang berada pada beberapa meter di atas tanah).


(35)

KONDISI UMUM DKI JAKARTA

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terletak pada 5°19'12" sampai 6°23'54" LS dan 106°22'42" sampai 106°58'18" BT dengan luas wilayah 661,5 km² termasuk di dalamnya wilayah Kepulauan Seribu atau ± 650 km² tidak termasuk wilayah Kepulauan Seribu. Secara administratif wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 5 wilayah kota, 1 wilayah kabupaten, 44 kecamatan dan 267 kelurahan. 5 wilayah kota tersebut yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan dan wilayah kabupaten yaitu Kepulauan Seribu.

Sebagai Ibukota Negara, DKI Jakarta merupakan propinsi yang berbentuk suatu kota metropolitan. Dengan kepadatan penduduk sebesar 16.667 jiwa/km² DKI Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia. Data kependudukan Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta2 menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta sampai dengan bulan Mei 2006 yaitu 7.523.591 jiwa. Jumlah ini bertambah pada siang hari karena adanya para commuter yaitu orang-orang yang bekerja atau bersekolah di Jakarta namun bertempat tinggal di wilayah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tange rang dan Bekasi.

Pemusatan aktifitas-aktifitas penting seperti pemerintahan dan perekonomian mengakibatkan pembangunan DKI Jakarta semakin pesat. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya infrastruktur fisik yang dibangun seperti gedung-gedung pencakar langit juga sarana transportasi (misal jalan layang). Menurut Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah (NKLHD) tahun 2002, luas area yang sudah terbangun di DKI Jakarta yaitu sebanyak 92 persen dari total luas wilayah.

Pesatnya pembangunan fisik ini seharusnya diimbangi dengan memperhatikan kualitas lingkungan hidup kota. Salah satu indikatornya yaitu keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menurut penelitian Janala (1995) kebutuhan luas RTH yang ideal di DKI Jakarta dapat dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen. Setelah melakukan perhitungan, diperkirakan pada tahun 2005


(36)

DKI Jakarta membutuhkan RTH seluas 137.896,13 hektar atau lebih besar dari luas Jakarta. Kenyataannya, pada tahun 2005 luas RTH di DKI Jakarta termasuk taman hanya mencapai 9.242 hektar, sedangkan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) RTH ideal yang hendak dicapai seluas 9.544,8 hektar dan ditargetkan terpenuhi pada tahun 2010 (Perda No 6 tahun 1999).

Secara umum kondisi iklim DKI Jakarta periode 1994-2004 dapat dilihat

pada Gambar 5. Data tersebut didapat dari pengamatan Badan Meteorologi dan Geofisika DKI Jakarta pada lima stasiun yang tersebar di lima wilayah kota. Data dapat dilihat secara lebih lengkap pada Tabel Lampiran 3. Berdasarkan grafik suhu udara rata-rata tahunan diketahui bahwa suhu udara di DKI Jakarta berkisar antara 26.4-29.0 ºC dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan angka tertinggi di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Suhu maksimum rata-rata sebesar 33.8 ºC, lebih tinggi daripada suhu maksimum rata-rata iklim tropis pada umumnya yaitu antara 27-32 ºC. Begitu pula dengan data kelembaban udara rata-rata tahunan yang tidak banyak mengalami perubahan yaitu berkisar antara 69.0-86.8 %. Angka terendah tersebut juga menunjukkan bahwa kondisi kelembaban di Jakarta lebih rendah daripada kondisi umum iklim tropis yaitu 75% (Soegijanto, 1998).

Data intensitas matahari tidak dapat diperlihatkan secara lengkap karena terdapat dua stasiun yang tidak melakukan pengukuran secara efektif yaitu Stasiun Halim (Jakarta Timur) yang berhenti beroperasi sejak tahun 1997 dan Stasiun Cengkareng (Jakarta Barat) yang memang tidak melakukan pengukuran sejak awal berdiri. Dari ketiga stasiun lain dapat diketahui bahwa intensitas matahari di DKI Jakarta cenderung mengalami peningkatan. Hal ini diduga akibat menipisnya lapisan ozon di atmosfer. Curah hujan total tahunan me ngalami fluktuatif secara signifikan dengan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 1996 di wilayah Jakarta Selatan yaitu sebesar 3005.3 mm dan curah hujan terendah yaitu 594.6 mm terjadi pada tahun 1997 di wilayah Jakarta Pusat.


(37)

23

Suhu Udara Rata-Rata Tahunan

25.00 25.50 26.00 26.50 27.00 27.50 28.00 28.50 29.00 29.50

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun Suhu (oC) Utara Timur Pusat Barat Selatan

Kelembaban Udara Rata-Rata Tahunan

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

Kelmbaban udara (%)

Utara Timur Pusat Barat Selatan

Intensitas Matahari Rata-Rata Tahunan

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

Intensitas matahari (%)

Utara Timur Pusat Barat Selatan

Curah Hujan Total Tahunan

0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 3500.00

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun CH (mm) Utara Timur Pusat Barat Selatan

Gambar 5. Kondisi Umum Iklim DKI Jakarta Periode 1994-2004 (Sumber: BMG Balai Wilayah II Jakarta, 2006)


(38)

Gambar 6 memperlihatkan grafik suhu maksimum dan minimum antara 5 wilayah di DKI Jakarta dan Bogor dari tahun 1994-2004. Data suhu maksimum dan suhu minimum antara DKI Jakarta dan Bogor dapat diketahui secara lengkap pada Tabel Lampiran 3. Grafik perbandingan suhu maksimum menunjukkan perbedaan angka sampai dengan 3ºC antara Bogor dengan 5 wilayah di DKI Jakarta. Angka pada grafik perbandingan suhu minimum menunjukkan perbedaan sampai dengan 2 ºC antara Bogor dengan wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur, sedangkan antara Bogor dengan wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan cenderung memiliki suhu minimum yang relatif sama. Perbedaan suhu tersebutlah yang dikemukakan oleh LAPAN sebagai fenomena Urban Heat Island.

Padatnya penduduk yang bermukim dan beraktifitas mendukung terjadinya fenomena Urban Heat Island di DKI Jakarta. Selain infrastruktur fisik yang menjadikan Jakarta mendapat predikat ’hutan beton’, ketergantungan manusia pada alat yang memerlukan energi pun besar. Bangunan-bangunan berlantai banyak mengkonsumsi energi yang cukup besar yaitu 150-300 KWh/m².tahun, tergantung jenis bangunan. Penggunaan energi terbesar yaitu 60-80 % untuk mengoperasikan sistem mesin pendingin (AC) dan sistem tata cahaya (Soegijanto, 1998). Dari mesin pendingin sampai mesin industri, semua mengeluarkan emisi berupa kalor yang dibuang ke udara. Panas yang kemudian memenuhi udara Jakarta juga ditambah dari panas dari kendaraan bermotor beserta panas dari AC kendaraan bermotor tersebut dan panas dari metabolisme manusia itu sendiri.


(39)

25 Suhu Maksimum 28.00 29.00 30.00 31.00 32.00 33.00 34.00 35.00 36.00 Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Selatan Bogor Wilayah Suhu (oC) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Suhu Minimum 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 25.00 Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Selatan Bogor Wilayah Suhu (oC) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Gambar 6. Perbandingan Suhu Maksimum dan Minimum Antara 5 wilayah DKI Jakarta dan Bogor Tahun 1994-2004


(40)

Tanggapan Responden Secara Umum

Total responden yang mengisi kuisioner yaitu sejumlah 65 orang responden, terdiri dari 47 orang responden (72.3%) melalui penyebaran langsung dan pos, 15 orang responden (23.1%) melalui seminar roof garden, dan 3 orang (4.6%) melalui internet. Pada ketegori bangunan hunian diperoleh responden sebanyak 29 orang responden, terdiri dari 23 orang (79.3%) dari penyebaran langsung, 4 orang (13.8%) dari seminar dan 2 orang (6.9%) dari internet. Pada kelompok bangunan non hunian diperoleh responden sebanyak 36 orang responden, terdiri dari 24 orang (66.7%) dari penyebaran langsung dan pos, 11 orang (30.6%) dari seminar dan 1 orang (2.8%) dari internet. Persentase perolehan data kuisioner dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7 Persentase perolehan data kuisioner.

Secara umum perolehan kuisioner dari penyebaran langsung dan pos cukup rendah yaitu hanya sejumlah 46.0% pengembalian untuk bangunan hunian (23 responden dari 50 kuisioner yang dibagikan) dan 16.0% pengembalian untuk bangunan non hunian (24 responden dari 150 kuisioner yang dibagikan). Banyaknya jumlah responden menyebabkan kurangnya kontak langsung, sehingga diduga bahwa banyak responden yang tidak menghiraukan kuisioner untuk diisi dan dikirimkan kembali, lupa dan akhirnya tidak mengacuhkan, atau bahkan tidak menerima sama sekali kuisioner yang telah dititipkan untuk disampaikan pada mereka.


(41)

27

Tambahan data diperoleh melalui Seminar Roof Garden yang diadakan oleh Sudin Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat sebanyak 15 orang responden yaitu sebanyak peserta seminar yang hadir. Seminar ini diadakan untuk mensosialisasikan roof garden pada sejumlah pengelola bangunan yang terdapat di Jakarta Pusat. Tabel 3 memperlihatkan persentase jenis bangunan yang dikelola oleh responden pada seminar tersebut, dengan presentase responden terbesar yaitu pengelola bangunan hotel (33.3%).

Tabel 3 Jenis bangunan yang dikelola responden pada seminar roof garden di Jakarta Pusat

Jenis bangunan Jumlah Persentase

Rumah Tinggal 4 26.7

Bangunan Hotel 5 33.3

Bangunan Perkantoran 4 26.7

Bangunan Perdagangan 1 6.7

Bangunan Pendidikan 1 6.7

Kecilnya jumlah responden yang diperoleh melalui internet disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor teknis yaitu keterlambatan dalam pembuatan website, kesalahan dalam pengisian field database sehingga kapasitas muatan tidak banyak dan keterbatasan waktu pada domain sehingga website tidak dapat diakses kembali. Faktor lainnya yaitu karakteristik responden yang tidak memenuhi syarat, yaitu tidak berdomisili di DKI Jakarta dan bukan merupakan pemilik atau pihak pengelola bangunan yang sah.

Identitas Responden

Berdasarkan data yang diperoleh dari 29 orang responden pada kelompok bangunan hunian dan 36 orang responden pada kelompok bangunan non hunian, dapat diketahui identitas keseluruhan responden menurut karakteristiknya seperti pada Tabel 4. Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi jenis kelamin, usia, agama, pekerjaan, pendapatan per bulan dan pendidikan terakhir.


(42)

Tabel 4 Karakteristik responden No

Karakteristik Responden

Bangunan hunian (n=29)

Bangunan non hunian (n=36) Jumlah Persentase Jumlah Persentase

1 Jenis Kelamin

a. Laki-laki 18 62.1 26 72.2

b. Perempuan 10 34.5 6 16.7

c. Tidak menjawab 1 3.5 4 11.1

2 Usia

a. 25-40 tahun 15 51.7 10 27.8

b. > 40 tahun 13 44.8 20 55.6

c. Tidak menjawab 1 3.5 6 16.7

3 Agama

a. Islam 23 79.3 28 77.8

b. Kristen 4 13.8 2 5.6

c. Katolik 2 6.9 2 5.6

d. Tidak menjawab 0 0.0 4 11.1

4 Pekerjaan

a. Pegawai negeri 5 17.2 5 13.9

b. Pegawai swasta 16 55.2 28 77.8

c. Wiraswasta 3 10.3 0 0.0

d. Lainnya 4 13.8 1 2.8

e. Tidak menjawab 1 3.5 2 5.6

5 Pendapatan perbulan

a. < Rp. 500.000 1 3.5 0 0.0

b. Rp. 500.000 – Rp. 1.500.000 5 17.2 3 8.3 c. Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000 8 27.6 11 30.6 d. Rp. 3.000.000 – Rp. 5.000.000 3 10.3 5 13.9 e. Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000 5 17.2 8 22.2

f. > Rp. 10.000.000 3 10.3 0 0.0

g. Tidak menjawab 4 13.8 9 25.0

6 Pendidikan terakhir

a. SMA/sederajat 4 13.8 7 19.4

b. Akademi/sederajat 4 13.8 10 27.8

c. PT/sederajat 20 68.9 17 47.2

d. Tidak menjawab 1 3.5 2 5.6

Pada kelompok bangunan hunian, responden didominasi oleh laki- laki (62.1%) dengan rentang usia 25 sampai dengan 40 tahun (51.7%). Berdasarkan latar belakang agama diketahui bahwa mayoritas responden beragama Islam (79.3%). Sebagian besar responden (68.9%) menempuh tingkat pendidikan


(43)

29

44,6% 55,4%

Bangunan Hunian Bangunan Non Hunian

sampai dengan pergur uan tinggi. Sebanyak 55.2% responden bekerja sebagai pegawai swasta dengan tingkat pendapatan yang beragam.

Karakteristik responden pada kelompok bangunan non hunian tidak jauh berbeda dengan kelompok bangunan hunian. Mayoritas responden (72.2%) berjenis kelamin laki- laki namun dengan usia mayoritas (44.8%) lebih dari 40 tahun. Latar belakang agama responden yaitu sebanyak 77.8% beragama Islam. Sebagian besar responden (77.8%) bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebagai pengelola bangunan dengan tingkat pendapatan yang beragam. Tingkat pendidikan yang ditempuh oleh responden sebagian besar yaitu setaraf tingkat pendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi).

Keterangan Bangunan

Berdasarkan data yang diperoleh dari 65 orang responden yang terdiri dari 29 orang responden (44.6%) pada kelompok bangunan hunian dan 36 orang responden (55.4%) pada kelompok bangunan non hunian (Gambar 8) dapat diketahui berbagai macam keterangan yaitu jenis bangunan, jumlah lantai, status kepemilikan, jenis konstruksi bangunan, jenis atap, keberadaan beranda dan fasilitas taman yang dimiliki.

Gambar 8 Persentase kelompok bangunan.

Keterangan jenis bangunan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Pada kelompok bangunan hunian terdiri dari rumah tinggal (89.7%) dan apartemen (10.3%). Pada kelompok bangunan non hunian responden terbanyak (44.4%) mengelola bangunan perkantoran dan responden lainnya mengelola


(44)

bangunan industri (13.9%), hotel (13.9%), bangunan perdagangan (11.1%), rumah sakit atau bangunan kesehatan (11.1%) dan bangunan pendidikan (5.6%).

Tabel 5 Jenis bangunan yang dimiliki atau dikelola responden

Jenis bangunan Jumlah Persentase

Bangunan hunian (n=29)

Rumah 26 89.7

Apartemen 3 10.3

Bangunan non hunian (n=36)

Bangunan Perdagangan 4 11.1

Bangunan Pendidikan 2 5.6

Rumah Sakit/Bangunan Kesehatan 4 11.1

Bangunan Perkantoran 16 44.4

Bangunan Industri 5 13.9

Bangunan Hotel 5 13.9

Keterangan lainnya mengenai bangunan dapat dilihat pada Tabel 6. Pada kelompok bangunan hunian, sebagian besar responden (89.7%) memiliki bangunan dengan jumlah lantai satu hingga dua lantai. Hal ini dikarenakan responden terbanyak merupakan pemilik bangunan rumah tinggal, sedangkan responden lainnya (10.3%) merupakan pengelola apartemen yang memiliki bangunan tinggi dengan jumlah lantai lebih dari lima lantai. Mayoritas responden memiliki bangunan atas nama mereka sendiri. Jenis konstruksi bangunan sebagian besar yaitu tembok dengan atap genting dan memiliki beranda. Hampir semua responden memiliki taman pada bangunannya. Sebagian besar responden (72.4%) memiliki taman di halaman bangunannya, sedangkan hanya 10 dari 21 responden (47.6%) yang memanfaatkan beranda sebagai taman.

Pada kelompok bangunan non hunian, mayoritas responden (61.1%) merupakan pemilik atau pengelola dari bangunan tinggi. Sebanyak 72.2% responden memiliki bangunan atas nama sendiri, artinya status kepemilikan dari bangunan tersebut adalah atas nama sebuah perusahaan yang mengelola dan menyewakan bangunannya untuk digunakan oleh perusahaan lain. Jenis konstruksi bangunan didominasi oleh tembok dengan jenis atap dak semen dan memiliki beranda. Sebagian besar responden (91.7%) memiliki taman di halaman


(45)

31

bangunannya, karena para pemilik atau pengelola bangunan menyadari bahwa setiap bangunan yang memiliki taman akan mempunyai citra yang baik di mata masyarakat.

Tabel 6 Keterangan bangunan No Keterangan Bangunan

Bangunan hunian Bangunan non hunian Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1

Jumlah lantai

a. 1-2 lantai 26 89.7 6 16.7

b. 3-5 lantai 0 0.0 8 22.2

c. > 5 lantai 3 10.3 22 61.1

2 Status kepemilikan

a. Milik sendiri 22 75.9 26 72.2

b. Milik bersama 5 17.2 4 11.1

c. Mengontrak/sewa 0 0.0 1 2.8

d. Lainnya 2 6.9 5 13.9

3 Jenis konstruksi

a. Kayu 0 0.0 0 0.0

b. Tembok 19 65.5 33 91.7

c. Kombinasi kayu/tembok 10 34.5 3 8.3 4 Jenis atap

a. Genting 21 72.4 0 0.0

b. Seng/asbes 1 3.5 4 11.1

c. Dak semen 2 6.9 24 66.7

d. Kombinasi 5 17.2 8 22.2

5 Terdapat beranda

a. Ya 21 72.4 23 63.9

b. Tidak 6 20.7 11 30.6

c. Tidak menjawab 2 6.9 2 5.6

6 Fasilitas taman yang dimiliki

a. Taman di halaman bangunan 21 72.4 33 91.7

b. Taman beranda 10 34.5 8 22.2


(46)

Persepsi Responden Terhadap Urban Heat Island

Persepsi responden terhadap Urban Heat Island (UHI) meliputi arti, dampak, dan cara mengatasi UHI. Persentase persepsi responden mengenai arti UHI dapat dilihat pada Gambar 9. Pada kelompok bangunan hunian, perbandingan persentase jawaban responden hampir berimbang yaitu 48.3% mengetahui arti UHI dan 44.8% tidak mengetahui arti UHI, sedangkan 6.9% tidak menjawab. Pada kelompok bangunan non hunian, sebagian besar (75.0%) responden mengetahui arti UHI.

.

Gambar 9 Persentase persepsi responden mengenai arti UHI.

Persepsi mengenai arti UHI dipengaruhi oleh kelompok bangunan, dimana terdapat perbedaan persepsi antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Berdasarkan Tabel Lampiran 6 dapat diketahui hubungan kedua variabel tersebut, dimana nilai chi-hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Perbedaan persepsi tersebut diduga karena sistem informasi lebih berkembang pada lingkungan kerja (bangunan non hunian) dibandingkan lingkungan permukiman (bangunan hunian) sehingga kalangan masyarakat terutama mereka yang awam terhadap isu-isu lingkungan kurang memperoleh informasi mengenai UHI.

Selain itu persepsi mengenai arti UHI juga dipengaruhi oleh latar belakang responden, yaitu faktor tingkat pendapatan dan pendidikan. Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 7). Artinya terdapat perbedaan persepsi antara responden dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang berbeda, semakin tinggi tingkat pendapatan dan pendidikan persepsi tentang arti UHI pun semakin


(47)

33 37,9 24,1 20,7 13,8 66,7 41,7 52,8 8,3 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0

A B C D

Dampak Urban Heat Island

Persentase

Bangunan hunian Bangunan non hunian

Ket:

A : Udara yang panas

B : Gangguan pada kesehatan

C : Pemborosan energi untuk

pendingin ruangan

D : Lainnya

tinggi. Hal ini diduga karena dengan pendapatan yang tinggi, maka kesempatan memperoleh informasi akan lebih banyak, baik melalui jalur pendidikan maupun teknologi informasi yang kian berkembang.

Persentase persepsi responden terhadap dampak UHI dapat dilihat pada Gambar 10. Pertanyaan pada kuisioner boleh dijawab responden lebih dari satu pilihan karena setiap pilihan tidak terikat satu sama lain, maka tiap pilihan memiliki persentase masing- masing atau bersifat independen. Pertanyaan mengenai dampak UHI (sebagaimana dikemukakan oleh Neiburger et al., 1995; Voogt, 2004 dan US EPA, 2006 ) yang ditanyakan kepada responden terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu:

A) Udara yang panas

B) Gangguan pada kesehatan

C) Pemborosan energi untuk pendingin ruangan, dan D) Dampak lain yang mungkin responden ketahui.

Gambar 10 Persentase dampak UHI yang diketahui responden.

Secara umum persepsi responden mengenai dampak UHI didominasi oleh kelompok responden pada kelompok bangunan non hunian, namun responden pada kelompok bangunan hunian cenderung lebih mengetahui dampak lain UHI dari pilihan jawaban yang diajukan. Gambar 10 memperlihatkan bahwa kelompok responden pada bangunan hunian tidak banyak mengetahui dampak dari UHI, dimana jawaban yang paling banyak dipilih oleh responden yaitu udara yang panas (37.9%). Pada kelompok bangunan non hunian mayoritas responden


(48)

memilih jawaban udara yang panas (66.7%) dan pemborosan energi untuk pendingin ruangan (52.8%). Dampak lain yang diketahui oleh responden yaitu dampak psikologis pada manusia akibat udara yang panas, serta dampak yang lebih bersifat global, seperti polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca yang kemudian merusak lapisan ozon. Dampak ini juga dikemukakan oleh Voogt (2004) dan US EPA (2006).

Berdasarkan uji Chi Kuadrat dapat diketahui hubungan kelompok bangunan dengan persepsi mengenai dampak UHI, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.01 (Tabel Lampiran 6). Artinya tidak ada pengaruh kelompok bangunan terhadap persepsi responden mengenai dampak UHI atau tidak ada perbedaan persepsi mengenai dampak UHI antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Walaupun demikian, secara keseluruhan persepsi mengenai dampak UHI dipengaruhi oleh latar belakang responden yaitu jenis pekerjaan. Berdasarkan Tabel Lampiran 7 diketahui bahwa nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Artinya terdapat perbedaan persepsi mengenai dampak UHI antara responden dengan jenis pekerjaan yang berbeda.

Pertanyaan lain yang diajukan berkaitan dengan persepsi mengenai UHI yaitu cara mengatasi dampak UHI yang responden ketahui. Pertanyaan ini berbentuk isian agar responden lebih bebas mengemukakan pendapat dan sarannya. Baik pada kelompok bangunan hunian maupun bangunan non hunian, persentase responden yang menjawab dan tidak menjawab pertanyaan hampir berimbang (Gambar 11).

Gambar 11 Persentase tanggapan responden untuk mengemukakan cara untuk mengatasi UHI.


(49)

35

Berdasarkan jawaban yang dikemukakan oleh responden mengenai cara untuk mengatasi UHI, diketahui bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa penghijauan merupakan cara yang paling baik dalam mengatasi UHI, baik dalam skala mikro (taman-taman di sekitar bangunan) maupun skala meso (hutan atau RTH kota. Gambar 12 memperlihatkan presentase jawaban mayoritas responden, yaitu 78.9% pada kelompok bangunan hunian dan 77.8% pada kelompok bangunan non hunian.

Gambar 12 Persentase jawaban responden mengenai cara untuk mengatasi UHI. Persepsi mengenai cara mengatasi UHI tidak dipengaruhi oleh kelompok bangunan, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Artinya tidak ada perbedaan persepsi mengenai cara mengatasi UHI antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Demikian juga hubungan antara persepsi mengenai cara mengatasi UHI dengan latar belakang responden. Berdasarkan Tabel Lampiran 7 diperoleh hasil bahwa dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10, artinya latar belakang responden tidak mempengaruhi persepsinya mengenai cara mengatasi UHI.

Cara lain yang dikemukakan responden yaitu lebih bersifat pengendalian pencemaran udara seperti pengurangan penggunaan bahan yang dapat merusak lapisan ozon yang berasal dari aktifitas industri maupun kendaraan bermotor, serta pemilihan bahan pada bangunan seperti pengurangan penggunaan kaca.


(50)

Persepsi Responden Terhadap Roof Garden

Persepsi responden terhadap roof garden meliputi arti, bentuk, manfaat dan persepsi responden mengenai peran roof garden terhadap perbaikan iklim kota. Persentase persepsi responden mengenai arti roof garden dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Persentase persepsi responden mengenai arti roof garden. Mayoritas responden mengetahui arti roof garden, baik pada kelompok bangunan hunian maupun bangunan non hunian, namun tingkat persepsi kelompok responden pada kelompok bangunan non hunian lebih tinggi (94.4%). Berdasarkan uji Chi Kuadrat pada Tabel Lampiran 6 dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara kelompok bangunan dengan persepsi mengenai arti roof garden, dimana nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Artinya persepsi reponden mengenai arti roof garden dipengaruhi oleh kelompok bangunan, atau terdapat perbedaan persepsi mengenai arti roof garden

antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Hal ini diduga karena istilah roof garden lebih populer di kalangan responden pada kelompok bangunan non hunian yang memang memiliki

roof garden pada bangunannya.

Berdasarkan Tabel Lampiran 8 diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa faktor latar belakang responden yang mempengaruhi persepsinya terhadap arti

roof garden, yaitu jenis kelamin, tingkat pendapatan dan pendidikan. Terdapat perbedaan persepsi antara responden laki- laki dan responden perempuan, dimana responden laki- laki lebih mengetahui arti roof garden. Demikian pula terdapat


(51)

37

perbedaan persepsi antara responden dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang berbeda.

Persepsi responden mengenai bentuk roof garden dijawab secara bebas, agar responden dapat mengemukakan pendapatnya sesuai dengan persepsi yang dimiliki. Berdasarkan jawaban responden tersebut kemudian dipilah kelompok jawaban yang mendekati pengertian istilah roof garden sesuai referensi. Menurut Sukaton et al. (2004), secara sederhana roof garden dideskripsikan sebagai taman dimana semua unsur tanamannya ditanam tidak di atas tanah pada halaman bangunan melainkan di atas atap bangunan, dan secara lebih luas juga mencakup semua bentuk bak-bak tanaman yang diletakkan beberapa meter di atas permukaan tanah.

Pada Gambar 14 dapat diketahui bahwa telah banyak dari responden yang dapat mendeskripsikan bentuk roof garden dengan benar. Mayoritas responden mengemukakan pendapatnya mengenai bentuk roof garden lebih mengarah pada fungsi estetika dan kenyamanan, namun ada sebagian kecil responden yang kurang benar dalam mendeskripsikan bentuk roof garden. Pada kelompok bangunan hunian sebanyak 48.3% menjawab dengan benar, sedangkan 44.8% lainnya tidak menjawab. Pada kelompok bangunan non hunian persentase responden yang menjawab dengan benar lebih besar yaitu 52.8% dan persentase responden yang tidak menjawab lebih kecil yaitu 19.4%, namun persentase responden yang menjawab dengan kurang benar lebih besar (27.8%).


(52)

Berdasarkan uji Chi Kuadrat untuk hubungan kelompok bangunan dengan persepsi mengenai bentuk roof garden diperoleh hasil nilai chi hitung kurang dari nilai chi tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Artinya persepsi mengenai bentuk roof garden akan dipengaruhi oleh kelompok bangunan, atau terdapat perbedaan persepsi antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Hal ini diduga karena responden pada bangunan non hunian lebih sering melihat roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola, atau pada bangunan tinggi lain seperti hotel, bangunan perkantoran, bangunan perdagangan dan bangunan komersil lainnya.

Faktor latar belakang responden yang juga mempengaruhi persepsi responden mengenai bentuk roof garden yaitu jenis kelamin, dimana nilai chi hitung kurang dari nilai chi tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 8). Artinya terdapat perbedaan persepsi mengenai bentuk roof garden antara responden laki- laki dengan responden perempuan.

Persepsi responden mengenai manfaat roof garden dapat dilihat pada Gambar 15. Pertanyaan ini bersifat independen sehingga responden dapat memilih lebih dari satu jawaban. Berdasarkan berbagai manfaat roof garden yang dikemukakan oleh Sukaton et al. (2004), Voogt (2004), Pramukanto (2006) dan US EPA (2006), diajukan beberapa pilihan jawaban yaitu:

A) Menurunkan suhu di dalam dan di sekitar bangunan B) Memberikan keindahan visual

C) Meningkatkan nilai ekonomi bangunan D) Sebagai tempat rekreasi

E) Menghemat penggunaan energi listrik untuk pendingin F) Manfaat lain yang mungkin responden ketahui


(1)

Heat island

No Nama Produk Hukum BAB Isi

1 Inmendagri No 14 Tahun 1988

Pedoman Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan

Pendahuluan “ Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup di wilayah perkotaan yang mencakup

bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, maka diperlukan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kawasan-kawasan hijau. Pengembangan RTH di wilayah kota dititikberatkan pada hijau sebagai unsur kota baik produktif maupun non produktif dapat berupa kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau pertanian, kawasan hijau jalur pesisir pantai, kawasan jalur sungai dan bentuk RTH lainnya.”

Bab V

Kriteria Umum

Letak Lokasi RTH:

a) RTH dikembangkan sesuai dengan kawasan-kawasan peruntukan ruang kota b) Pada tanah dengan bentang alamnya bervariasi

c) Pada tanah di wilayah perkotaan yang dikuasai Badan Hukum atau perorangan yang tidak dimanfaatkan dan atau diterlantarkan

Bab VI

Wewenang dan Pengelolaan RTH Kota

2a) Pelaksanaan kegiatan pembangunan RTH kota selain dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah juga menuntut peran serta swasta dan masyarakat.

2 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 8 tahun 2002 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan Propinsi DKI Jakarta

Seksi Perancangan bertugas untuk:

(1) Melakukan pendataan, pengukuran, analisa teknis dan penggambaran taman kota, taman bangunan umum, jalur hijau kota, keindahan kota dan pengembangan kawasan termasuk taman interaksi sosial;

(2) Menentukan spesisikasi teknis dan penghitungan rencana anggaran biaya taman kota, taman bangunan umum, jalur hijau kota, keindahan kota dan pengembangan kawasan;


(2)

(3) Memelihara peta-peta dan gambar taman kota, taman bangunan umum, jalur hijau kota, keindahan kota dan pengembangan kawasan;

(4) Membuat data visual taman kota, taman bangunan umum, taman lingkungan dan kawasan serta taman interaksi sosial.

Seksi Taman bertugas untuk:

(1)Melakukan inventarisasi dan pendataan taman kota, taman bangunan umum dan taman rekreasi;

(2)Melakukan pembangunan, rehabilitasi, penataan dan pemeliharaan taman-taman beserta kelengkapannya;

(3)Melaksanakan pembangunan dan pengembangan taman interaksi sosial; Seksi Penyuluhan/Ketertiban bertugas untuk:

(1)Melakukan penyidikan terhadap pelanggaran peraturan daerah tentang taman dan jalur hijau

(2)Melakukan pembinaan mitra kerja

(3)Melakukan kegiatan koordinasi penyuluhan di bidang teknis pertamanan dan keindahan kota

(4)Melakukan pembinaan masyarakat, pengelolaan taman di taman kota yang berada di jalur hijau maupun taman

Seksi Pengembangan Kawasan/Penghijauan bertugas untuk: (1)Melakukan pengembangan penataan kawasan

(2)Melakukan pengembangan ruang terbuka hijau di lingkungan pemukiman padat (3)Melakukan inventarisasi dan pendataan kawasan penghijauan

(4)Melakukan pembinaan ruang terbuka hijau dan taman yang dikelola oleh badan atau instansi lain


(3)

3 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 139 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta

Bagian ke-7

Bidang Pengembangan Informasi dan Kemitraan Lingkungan Pasal 23

(1) Tugas Subbidang Pengembangan Informasi : a) melaksanakan pengumpulan , pengolahan data dan informasi lingkungan; d) melaksanakan penyebaran informasi lingkungan kepada masyarakat

4 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 140 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Tata Kota Propinsi DKI Jakarta

Bab I

Ketentuan Umum

Pasal 1

(19) Penggunaan tanah dan bangunan adalah pemanfaatan tanah dan bangunan dalam arti luas, ditinjau dari pembangunan fisik dan berbagai bentuk kegiatan di atas dan di bawahnya.

(22) Perbaikan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik yang mengakibatkan lingkungan berfungsi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

5 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 189 tahun 2002 tentang Jenis Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan

Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta

Bab II

Bidang Prasarana Wilayah

9) Pembangunan Kawasan Perumahan/pemukiman (kawasan padat, horizontal, vertikal)

14) Pembangunan pusat perkantoran, pendidikan, olahraga, kesenian, tempat ibadah, pusat perdagangan/perbelanjaan relatif terkonsentrasi

Bab X Bidang

Perindustrian dan Perdagangan

B) Perdagangan


(4)

6 UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Bab IV Persyaratan

Bangunan Gedung

Bagian Ketiga

Persyaratan Tata Bangunan Paragraf 3

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Pasal 14

(1) Persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.

(4) Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya

Bab V

Penyelenggaraan Bangunan Gedung

Bagian Keenam

(1) Hak dan Kewajiban Pemilik dan Pengguna Bangunan Gedung Pasal 41

(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak : (e) mendapatkan keterangan tentang bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.

(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban: (b) memelihara dan/atau merawat bangunan gedung secara berkala


(5)

7 Permendagri No 2 tahun 1987 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup

Pasal 1

(7) Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan atau perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan mahkluk hidup lain

Pasal 9

(3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

8 PP No 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam Penataan Ruang

Pasal 13

Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berbentuk kegiatan menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian lingkungan

9 UU No 23 tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Bab I

Ketentuan Umum

Pasal 1(3)

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan;


(6)

Bab III

Hak, Kewajiban, Dan Peran Masyarakat

Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan

informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Bab IV

Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 10

Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban:

(a) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan

tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;

(b) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran

akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;

(c) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan

antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

(g) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup; (h) Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada