Pemutuan Belimbing Berdasarkan Warna dan Rasa dengan Pengolahan Citra dan Logika Fuzzy

(1)

PEMUTUAN BELIMBING BERDASARKAN WARNA

DAN RASA DENGAN PENGOLAHAN CITRA DAN

LOGIKA FUZZY

IRMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Latar belakang

Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dikembangkan secara komersial. Belimbing manis banyak digemari tidak hanya di Indonesia tetapi juga mancanegara karena mempunyai bentuk buah yang menarik, rasa yang lezat dan komposisi gizi yang cukup lengkap terutama kandungan vitamin A dan C yang relatif tinggi. Disamping itu, buah belimbing dapat juga digunakan untuk pencegahan dan terapi berbagai macam penyakit, seperti anti kanker, memperlancar pencernaan, menurunkan tekanan darah dan juga kolesterol, serta bermanfaat pula untuk membersihkan usus.

Dilaporkan bahwa pada tahun 1989, tingkat konsumsi buah-buahan perkapita penduduk Indonesia hanya mencapai 22.92 kg/tahun. Ini tentunya masih jauh dari nilai kecukupan gizi yang ditargetkan oleh FAO yaitu rata-rata 60 kg/tahun per kapita penduduk. Salah satu jenis buah yang berpotensi untuk mendukung pencapaian target tersebut adalah belimbing. Walaupun pada tahun 1993 Indonesia hanya mempunyai andil sekitar 0.4% dari total nilai impor buah tropis, akan tetapi dimungkinkan prospek pemasaran buah tropis terutama belimbing dari waktu ke waktu semakin meningkat. Hal ini tidak lain disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan semakin banyaknya konsumen yang menyadari pentingnya kecukupan gizi dari buah-buahan. Peningkatan permintaan akan buah belimbing adalah sebesar 6.1% pada tahun 1995 – 2000, 6.5% pada tahun 2000 - 2005, 6.8% pada tahun 2005 - 2010 serta mencapai 8.9% pada tahun 2010 – 2015 (Anonim, 2000).

Kelebihan sifat yang dimiliki oleh belimbing dalam aspek budidaya selain cepat berbuah adalah mudah di tanam di kebun, pekarangan maupun pot dan dapat berbuah sepanjang tahun. Potensi inilah yang kemudian berhasil dikembangkan oleh Dinas Pertanian Pemerintah Kota Blitar melalui usaha pertanian berbasiskan tanaman lokal di Kelurahan Karangsari. Dari 1185 KK (kepala keluarga) penduduk Karangsari, hampir semuanya mempunyai tanaman belimbing yang hasil panennya


(3)

2

mampu meningkatkan penghasilan mereka. Kini, produksi buah belimbing di Kelurahan Karangsari mencapai 1420 ton per tahun dengan nilai sekitar 4.3 miliar rupiah.

Produksi buah belimbing di Indonesia semakin meningkat setiap tahun dimana produksi tertinggi pada tahun 2004 sebesar 78117 ton, mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 65967 ton dan kembali meningkat pada tahun 2006 menjadi 70298 ton. Perkembangan produksi belimbing dari tahun 1997 sampai tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produktivitas belimbing manis tahun 1997-2006 (BPS, 2007)

Tahun Produksi (Ton)

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

49 219 47 575 39 649 48 252 53 157 56 753 67 261 78 117 65 967 70 298

Sampai saat ini, sebagian besar produksi belimbing di Indonesia masih dihasilkan dari pekarangan. Pengembangan usaha tani belimbing yang berorientasi pasar atau konsumen harus dikelola secara profesional dan berorientasi agribisnis. Dengan pengelolaan seperti ini, kualitas belimbing menjadi prioritas sehingga mampu bersaing di pasar ekspor (Sunarjono, 2004).

Sampai saat ini pemasaran belimbing masih terbatas untuk konsumsi dalam negeri (domestik). Belimbing dijual di pasar tradisional maupun di pasar modern dalam bentuk buah segar dengan harga yang bervariasi. Husen (2006) menyatakan bahwa pada rantai pasar tradisonal, petani menjual ke tengkulak dan sistem penjualan per buah dimana buah berukuran besar maupun kecil yang dihasilkan pada saat panen dibeli dengan harga yang sama. Pada rantai pasar tradisional harga relatif tidak stabil.


(4)

Pada rantai pasar modern, penjualan yang dilakukan oleh petani sistem penjualan per kg. Pada sistem ini petani menjual ke pedagang besar kemudian penjualan dilanjutkan ke pasar modern seperti supermarket atau hypermarket dan pasar buah. Pada sistem penjualan per kg sudah dilakukan pengkelasan, harga relatif tinggi dan stabil.

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan produk hortikultura adalah sistem perdagangan bebas dimana produk-produk hortikultura dari negara lain dapat masuk secara bebas ke Indonesia. Dalam hal ini tentunya diperlukan kebijakan pemerintah untuk mampu memberikan perlindungan kepada petani lokal tanpa melanggar kesepakatan AFTA. Tantangan ini hendaknya dapat mendorong petani Indonesia untuk menghasilkan komoditi holtikultur yang mampu bersaing dengan produk hortikultura dari negara lain atau paling tidak dapat menguasai pasar dalam negeri.

Pada saat ini Indonesia belum mampu meningkatkan volume ekspor buah-buahan tropis karena kendala kurang terpenuhinya persyaratan mutu yang diminta negara tujuan ekspor. Salah satu penyebabnya adalah selama ini sistem sortasi atau pemilahan buah yang dilakukan secara visual dan manual, dimana sortasi visual tersebut kurang mampu memisahkan buah-buahan tersebut mengikuti klasifikasi yang ditentukan. Padahal konsumen di negara maju berani membeli dengan harga tinggi untuk buah-buahan tropis yang dianggap eksotik asalkan mempunyai mutu prima.

Secara umum, produksi belimbing manis saat ini masih digunakan untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan belum mampu menembus pasar ekspor yang mensyaratkan standar yang seragam untuk tingkat kematangan, kesegaran, warna, berat, serta terbebas dari kerusakan. Dikarenakan sampai saat ini sortasi belimbing masih dilakukan secara visual maka perlu kiranya dikembangkan suatu sistem sortasi yang mampu meningkatkan kualitas dan efektifitas proses pemilahan sehingga dapat mengklasifikasikan komoditi yang sesuai dengan standar mutu yang diinginkan.

Pengembangan alat sortasi secara otomatis mengarah kepada penilaian mutu buah secara non destruktif. Alat sortasi mampu mengklasifikasi buah tidak saja berdasarkan sifat fisik luar tetapi juga dapat menentukan kualitas dalam buah seperti


(5)

4

kadar gula, kadar asam, total padatan terlarut dan rasa buah. Abbott et al. (1997) menyatakan beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas dalam buah antara lain metode near infra merah, sinar-x, sinar gamma dan nuclear magnetic resonance (NMR).

Munawar (2002) melakukan pendugaan kualitas dalam buah yaitu kadar gula dan kekerasan buah belimbing manis menggunakan teknologi near infra merah. Pendugaan menggunakan data absorbansi (log 1/R) mampu menganalisa kadar gula dan kekerasan buah belimbing lebih baik dibandingkan data reflektansi. Panjang gelombang terpilih untuk pendugaan kadar gula sejumlah 56 panjang gelombang dan pendugaan kekerasan menggunakan 58 panjang gelombang terpilih.

Pada saat ini pengembangan teknologi image processing (pengolahan citra) menjadi sangat populer dan secara tidak langsung dapat digunakan untuk menentukan kadar gula buah. Kondo et al. (2000) mengevaluasi kualitas dalam jeruk iyokan menggunakan pengolahan citra. Kadar gula dan pH jeruk iyokan diprediksi dengan metode jaringan syaraf tiruan menggunakan masukan parameter pengolahan citra berupa rasio komponen warna (R/G).

Abdullah et al. (2005) telah berhasil mengembangkan sistem sortasi buah belimbing berdasarkan bentuk dan warna buah menggunakan pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Sistem yang dibuat mampu mengklasifikasikan belimbing berdasarkan tingkat ketuaan dengan tingkat keberhasilan 90.5 % dan membedakan belimbing berdasarkan bentuk (jumlah segi) dengan tingkat keberhasilan 100 %. Abdullah et al. (2006) menggunakan transformasi Forrier untuk membedakan bentuk buah fresh-cut berdasarkan jumlah segi. Klasifikasi berdasarkan tingkat kematangan meliputi mentah, belum matang, matang dan lewat matang dilakukan dengan menggunakan parameter warna Hue (H) sebagai input pada multi layer perceptron. Meskipun demikian kriteria ketuaan dan kematangan dalam penelitian ini masih rancu.

Hubungan antara parameter warna dengan rasa sangat komplek, oleh karena itu diperlukan suatu teknik yang dapat menggambarkan hubungan tersebut secara baik seperti yang dilakukan oleh otak manusia. Du dan Sun ( 2004) menyatakan bahwa


(6)

metode statistika, teknik Jaringan Syaraf Tiruan dan metode logika fuzzy merupakan metode yang umum digunakan untuk evaluasi kualitas bahan pangan. Metode tersebut dapat disimulasikan sebagai perilaku pengambilan keputusan seperti manusia, konsisten dan variabelnya dapat diperluas.

Metode logika fuzzy telah digunakan sebagai metode klasifikasi penentuan kualitas buah selain metode jaringan syaraf tiruan. Model logika fuzzy adalah sistem pengambilan keputusan yang non parametrik yang dapat menduga hubungan non linier antara input dan output. Dalam bidang pertanian metode logika fuzzy telah digunakan untuk klasifikasi mutu apel, mutu melon dan tingkat ketuaan kacang tanah.

Kavdir dan Guyer (2003) mengembangkan model logika fuzzy untuk klasifikasi mutu apel. Model logika fuzzy yang disusun menggunakan masukan berupa parameter warna, kerusakan eksternal, berat dan ukuran. Keluaran dari model berupa tiga klasifikasi mutu dan selanjutnya hasil predikasi model dibandingkan dengan pemutuan yang dilakukan expert. Hasil prediksi model dibandingkan dengan pemutuan expert dengan tingkat akurasi 89 %.

Kajian pengembangan system pemutuan kualitas eksternal melon dengan menggunakan fuzzy inference dilakukan oleh Nakano et al. (2004). Dalam kajian ini digunakan 30 melon untuk masing-masing 3 tingkat mutu melon (excellent, superior dan good). Input yang digunakan dalam model adalah besaran pengolahan citra berupa rasio net, warna, bentuk dan vine index. Algoritma yang dibuat dapt mengklasifikasi melon dengan tingkat akurasi untuk excellent 80 %, superior 73.3 % dan good 83.3 %.

Shahin et al. (2000) mengembangkan model logika fuzzy untuk pendugaan tingkat ketuaan kacang tanah. Model logika fuzzy yang dikembangkan menggunakan masukan hari setelah panen dan parameter FID (Free Induction Decay) yang diperoleh dari pengukuran menggunakan NMR (Nuclear Magnetic Resonance). Model logika fuzzy yang dikembangkan mengklasifikasi kacang menjadi 3 tingkat ketuaan dan hasil pendugaan lebih akurat dibandingkan pendugaan dengan metoda Linear Discriminant Analysis (LDA).


(7)

6

Permasalahan

Permasalahan utama pada buah-buahan yang berbuah sepanjang tahun tanpa adanya musim seperti buah belimbing adalah pada saat panen terdapat buah dengan tingkat ketuaan buah yang beragam. Penentuan buah yang akan dipanen dilakukan secara visual sehingga hasil pemanenan sangat beragam. Oleh karena itu proses sortasi merupakan proses penanganan pasca panen yang sangat penting untuk mendapatkan buah yang seragam baik berdasarkan ukuran, tingkat ketuaan, warna dan tingkat kemanisan.

Saat ini proses pemutuan buah belimbing ditingkat petani atau pedagang pengumpul dilakukan secara manual. Pemutuan secara manual seringkali menghasilkan pengelompokkan buah yang tidak seragam, tidak konsisten dan ketidak sesuaian antara mutu bagian dalam dan bagian luar buah.

Pemutuan bagian dalam buah belimbing diantaranya adalah tingkat kemanisan diharapkan menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan daya tarik untuk mengkonsumsi buah belimbing. Saat ini penilaian tingkat kemanisan ditentukan berdasarkan warna buah secara visual. Buah dinyatakan manis ketika berwarna kuning sampai oranye atau dinyatakan asam ketika berwarna hijau. Perubahan warna yang gradual menyulitkan dalam penentuan rasa buah.

Metode penentuan kualitas dalam buah belimbing secara nondestruktif dapat dilakukan menggunakan Near Infra Merah (Munawar, 2002). Teknologi Near Infra Merah mempunyai beberapa kelemahan diantaranya membutuhkan biaya yang tinggi dan teknik analisa yang lebih rumit.

Metode pengolahan citra merupakan metode non destruktif yang umum digunakan untuk mengevaluasi kualitas luar buah seperti bentuk, ukuran dan warna. Metode pengolahan citra memiliki beberapa keunggulan antara lain relatif murah, metode sedarhana dan praktis. Metode pengolahan citra dapat diterapkan untuk mempredikasi rasa secara tidak langsung karena adanya hubungan antara warna buah dengan parameter rasa, seperti TPT (total padatan terlarut), total asam atau rasio TPT/total asam.


(8)

Keterbaruan dalam penelitian ini adalah pengukuran warna buah belimbing dalam berbagai model warna menggunakan pengolahan citra dan pemanfaatan kombinasi warna tersebut untuk memprediksi rasa buah menggunakan metode logika fuzzy.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan mengembangkan model logika fuzzy untuk pemutuan buah belimbing dengan menggunakan parameter warna hasil pengolahan citra. Adapun tujuan yang lebih spesifik dapat diperinci sebagai berikut :

1. Mengkaji sifat ketuaan buah belimbing dengan menggunakan pengolahan citra (image processing)

2. Menentukan hubungan karakteristik pengolahan citra dengan total padatan terlarut (TPT) dan total asam buah belimbing

3. Menentukan hubungan karakter pengolahan citra dengan kriteria rasa hasil uji organoleptik buah belimbing

4. Menyusun model pemutuan buah belimbing dengan logika fuzzy berdasarkan karakteristik pengolahan citra yang mampu menggolongkan buah berdasarkan rasa.

Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. Hasil pemutuan buah belimbing berdasarkan warna dan rasa buah.

2. Sistem yang dibuat mampu menghasilkan standarisasi evaluasi mutu buah belimbing dalam rangka adanya quality transparancy.


(9)

TINJAUAN PUSTAKA

Belimbing

Belimbing merupakan tanaman buah yang berasal dari kawasan Malaysia dan kemudian menyebar luas ke berbagai negara yang beriklim tropis lainnya di dunia termasuk Indonesia. Belimbing memiliki bentuk yang unik dimana jika diiris secara melintang maka bentuknya akan seperti bintang. Oleh karenanya, orang barat menyebut belimbing sebagai star fruit. Sewaktu muda warna buahnya adalah hijau muda dan berubah menjadi kuning sampai kemerahan setelah tua . Di Indonesia, pada umumnya belimbing ditanam dalam bentuk kultur pekarangan (home yard gardening), yaitu ditanam sebagai tanaman peneduh di halaman rumah (Anonim, 2000).

Jenis belimbing manis yang diunggulkan ciri-cirinya adalah bentuknya besar, warnanya menarik, seratnya halus, berair banyak, dan rasanya manis segar. Buah belimbing manis sangat lezat jika dikonsumsi tidak hanya dalam keadaan segar akan tetapi juga dalam bentuk produk olahan seperti juice atau yang lainnya. Adapun kandungan gizi dalam 100 gram buah belimbing manis tampak seperti pada Tabel 1. Tabel 2. Kandungan Gizi dalam 100 gram Buah Belimbing

Komponen Gizi Nilai

Energi 35,00 kkal

Protein 0,50 g

Lemak 0,70 g

Karbohidrat 7,70 g

Kalsium 8,00 mg

Fosfor 22,00 mg

Serat 0,90 g

Besi 0,80 mg

Vitamin A 18,00 RE

Vitamin B1 0,03 mg

Vitamin B2 0,02 mg

Vitamin C 33,00 mg

Niacin 0,40 g


(10)

Disamping sebagai sumber nutrisi tubuh manusia, buah belimbing juga dapat digunakan untuk pencegahan bahkan terapi berbagai macam penyakit, antara lain bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah, anti kanker, memperlancar pencernaan, menurunkan kolesterol, dan membersihkan usus

Seperti dapat dilihat pada Tabel 2, buah belimbing manis merupakan sumber vitamin C yang baik, juga zat besi dan zat kapur. Belimbing dapat digunakan sebagai anti oksidan yang berfungsi mencegah penyebaran sel kanker. Selain itu, bagi yang tahan terhadap makanan yang bersifat asam serta tidak mengidap penyakit maag, juice belimbing sayur (belimbing wuluh) dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi bila diminum sehari 1 sendok makan. Di Indonesia khasiat ini sudah banyak dikenal sebagai obat tradisional.

Pada dinding sel belimbing terdapat pektin yang merupakan bahan pembentuk gel di dalam usus. Terbentuknya gel tersebut mempunyai pengaruh menurunkan kolesterol. Dalam hal ini pektin mengikat kolesterol dan asam empedu dalam usus serta mendorong pengeluarannya.

Kualitas buah belimbing ditentukan oleh waktu dan cara pemetikan pada saat panen dimana umur panen belimbing sangatlah dipengaruhi oleh geografi lokasi penanaman yang meliputi faktor lingkungan dan iklim. Di dataran rendah dimana tipe iklimnya bersifat basah, umur petik buah belimbing adalah sekitar 35 – 60 hari setelah pembungkusan buah atau sekitar 65 – 90 hari setelah buah mekar. Ciri buah belimbing yang sudah saatnya dipanen adalah ukurannya besar (maksimal), telah matang dan warna buahnya berubah dari hijau menjadi putih atau kuning atau merah atau variasi warna lainnya tergantung dari varietas belimbing. Cara panen buah belimbing dilakukan dengan cara memotong tangkainya. Pemetikan buah berlangsung secara kontinyu dengan memilih buah yang telah matang. Waktu panen yang paling baik adalah pagi hari, saat buah masih segar dan sebelum cuaca terlalu panas (terik). Buah belimbing yang baru dipetik segera dimasukkan (ditampung) dalam suatu wadah secara hati-hati agar tidak memar atau rusak.

Perubahan warna merupakan indikator untuk menentukan tingkat kematangan. Indeks kematangan berdasarkan warna dan tujuan pemasaran yang digunakan oleh


(11)

10

Malaysia dapat dilihat pada Tabel 3. Pada awal tingkat ketuaannya belimbing tampak berwarna hijau. Warna ini secara gradual berubah menjadi kuning ketika matang dan menjadi oranye ketika terlalu matang. Selama perkembangan warna buah, kandungan kadar gula meningkat dan kadar asam menurun. Pada prinsipnya, perubahan warna hijau disebabkan karena penurunan kandungan klorofil. Selain itu terdapat sejumlah pigmen seperti anthocyanin, karotenoid dan flavon yang turut berperan dalam menentukan perubahan warna buah belimbing disamping proses penuaan dan penurunan kesegaran buah setelah panen.

Tabel 3. Indeks Kematangan Buah Belimbing Berdasarkan Perubahan Warna

Indeks Kematangan

Karakteristik

Indeks 1- Warna hijau tua, buah belum matang tidak sesuai untuk dipasarkan

Indeks 2 - Warna hijau sedikit kuning, buah matang dan sesuai untuk diekspor

Indeks 3 - Warna hijau melebihi kuning, buah matang, sesuai diekspor melalui udara

Indeks 4- Warna kuning dominan dibanding hijau, buah matang, sesuai untuk diekspor melalui udara

Indeks 5- Warna kuning dengan sedikit warna hijau, buah matang sesuai untuk pasaran lokal

Indeks 6 - Warna Kuning, buah matang, sesuai untuk pasaran lokal

Indeks 7 - Oranye, buah terlalu matang, tidak sesuai untuk dipasarkan

Sumber : ( FAMA, 2005)

Lembaga pemasaran pertanian persekutuan (FAMA) Kementerian Pertanian dan Industri Asas Tani Malaysia telah menetapkan standar untuk belimbing yang akan dipasarkan segar ke konsumen. Pada standar tersebut belimbing dibagi menjadi


(12)

3 klas yaitu klas premium, kelas I dan kelas 2. Spesifikasi untuk masing-masing kelas dan toleransi yang diperbolehkan ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi, spesifikasi dan toleransi untuk belimbing yang dipasarkan segar

Klas Spesifikasi Toleransi (maksimum)

Premium Mempunyai varietas yang sama, segar dan bersih, ukuran dan kematangan seragam, bebas dari cacat dan kerusakan

Kematangan ≤ 3 % Segar ≤ 5 %

Rusak ≤ 3 % Cacat ≤ 3 %

Keseragaman ukuran ≤ 5 % Klas 1 Mempunyai varietas yang sama,

segar dan bersih, ukuran dan kematangan seragam, agak bebas dari cacat dan kerusakan

Kematangan ≤ 5 % Segar ≤ 5 %

Rusak ≤ 5 % Cacat ≤ 5 %

Keseragaman ukuran ≤ 10 % Klas 2 Mempunyai varietas yang sama,

segar dan bersih, ukuran dan kematangan seragam, agak bebas dari cacat dan kerusakan

Kematangan ≤ 10 % Segar ≤ 10 %

Rusak ≤ 10% Cacat ≤ 10 %

Keseragaman ukuran ≤ 10 %

Sumber : ( FAMA, 2005)

Klasifikasi berdasarkan ukuran buah ditentukan oleh massa buah dalam unit gram. Klasifikasi dibagi menjadi 4 kelas yaitu terlalu besar (XL) untuk massa buah yang lebih besar dari 220 g, besar (L) untuk massa buah yang berkisar antara 181-220 g, sedang (M) untuk massa buah yang berkisar antara 141-180 g) dan kecil untuk massa buah yang berkisar antara 100 – 140 g.

CODEX (2005) menetapkan standard mutu untuk buah belimbing dan syarat minimum meliputi buah utuh, bersih dari kotoran, bebas dari kerusakan yang disebabkan hama, bebas dari bau dan rasa asing, keras, tampak segar, bebas dari kerusakan akibat suhu yang rendah, bebas dari cacat dan cukup matang. CODEX mengklasifikasi buah belimbing menjadi 3 klas yaitu: klas ekstra, klas I dan klas II. Klas ekstra mempersyaratkan warna dan tingkat kematangan harus seragam, memiliki bentuk yang baik dan bebas dari cacat. Belimbing yang masuk dalam klas I adalah buah yang memiliki keseragaman warna dan kematangan, memiliki bentuk yang


(13)

12

cukup baik dan bebas cacat. Pada kelas ini dimungkinkan cacat kecil yang tidak mempengaruhi penampilan umum produk dan kualitasnya. Total permukaan cacat yang diperbolehkan tidak lebih dari 5 %. Klas II adalah buah yang memenuhi persyaratan minimum dan permukaan cacat tidak boleh lebih dari 10 %.

Klasifikasi berdasarkan ukuran dibagi menjadi 3 klas yaitu klas A, B dan C. Klas A buah yang memiliki massa berkisar antara 80 – 129 g, klas B adalah buah yang memiliki massa berkisar antara 130 – 190 g dan kelas C adalah buah yang memiliki massa lebih besar dari 190 g. Dalam satu kemasan toleransi ukuran adalah 5 % untuk klas ekstra, 10 % untuk klas I dan II.

Siller et.al. (2004) mengevaluasi kualitas buah belimbing pada beberapa tingkat ketuaan yang disimpan pada suhu 20 °C selama 10 hari. Tingkat ketuaan dibedakan berdasarkan warna kulit yaitu tingkat ketuaan I (buah berwarna hijau), tingkat ketuaan II (buah berwarna hijau kekuningan), tingkat ketuaan III (buah berwarna kuning) dan tingkat ketuaan IV (buah berwarna oranye). Selama penyimpanan kehilangan berat buah terbesar terjadi pada buah yang berwarna hijau (> 6,7 %). Pada saat pemetikan kandungan padatan terlarut buah berwarna hijau dan total asam tertitrasi secara berurutan 4,89 °Brix dan 0,808 sementara buah yang berwarna oranye memiliki nilai 6,7 °Brix dan 0,412. Selama penyimpanan tidak ada perubahan yang nyata kandungan padatan terlarut dan keasaman pada setiap tingkat ketuaan.

Mitcham dan Mcdonald (1991) telah melakukan kajian terhadap proses pematangan buah dan menyatakan bahwa proses pematangan belimbing sangat terkait dengan perubahan warna, kekerasan, kandungan sellulose, hemisellulose, dan pectin. Perubahan warna merupakan indikator terbaik untuk menentukan tingkat kematangan buah.

Evaluasi Mutu Buah dengan Pengolahan Citra (Image Processing)

Teknik pengolahan citra merupakan teknik analisis citra yang melibatkan persepsi visual dengan cara menangkap reflektan objek. Data masukan diperoleh


(14)

melalui kamera yang mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap cahaya yang masuk. Cahaya yang masuk selanjutnya dirubah dari masukan analog menjadi digital dan kemudian dengan menggunakan algoritma pengolahan citra dapat digunakan untuk mengetahui karakter objek.

Pada saat ini pengembangan teknologi image processing (pengolahan citra) telah mencapai aplikasi yang luas pada sortasi buah. Palanlappan et al. (2004) dari Department of Agricultural and Biological Engineering, University of Florida telah berhasil mengembangkan sebuah mesin sistem imaging warna untuk mengindentifikasi jeruk dan memperkirakan kondisi real time buah jeruk. Sistem ini terdiri dari kamera analog warna, Receiver DCPS dan encoder. Treshold segmentasi image untuk mengenal buah jeruk diperoleh dari sebaran pixel warna menggunakan model warna HSI.

Arham et al.(2004) menentukan mutu jeruk nipis menggunakan image processing dan pengolahan data menggunakan model warna melalui pengukuran intensitas warna merah, hijau dan biru (RGB). Untuk mendapatkan nilai RGB, tingkat RGB dikomposisikan dari tiga warna tersebut dan masing-masing warna mempunyai 28 atau 256 bit (0 sampai 255). Model warna RGB dinyatakan dalam indeks warna RGB dengan cara menormalisasi setiap komponen warna. Berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh bahwa nilai indeks warna merah meningkat sejalan dengan bertambahnya umur petik sedangkan indeks warna hijau dan indeks warna biru menurun dengan bertambahnya umur petik. Dari percobaan dapat dinyatakan bahwa indeks warna model warna RGB dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat ketuaan buah jeruk nipis.

Delwiche dan Baumgardner (1985) melakukan kajian terhadap perubahan warna dasar buah peach untuk 3 kultivar menggunkan model warna L ab. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa perubahan warna dasar 3 kultivar hampir serupa. Semua koordinat warna bertambah selama 3 minggu sebelum pemanenan dimana koordinat a menunjukkan laju perubahan yang tertinggi.

Choi et al. (1995) mengembangkan prosedur analisis image warna dan mengklasifikasikan tomat segar ke dalam 6 tingkat kematangan sesuai dengan


(15)

14

kreteria standar USDA. Nilai Image RGB, masing-masing tomat diperoleh dan dikonversi ke nilai HSI. Klasifikasi didasarkan pada persentase luas permukaan sudut hue. Informasi yang didapatkan melalui hue ini dapat digunakan dengan baik untuk mengklasifikasikan tingkat kematangan buah tomat.

Nakano (1997) berhasil menggunakan jaringan syaraf tiruan untuk mensortasi apel fuji berdasarkan warna dimana akurasi tingkat pengklasifikasiannya adalah sebesar 75 % dalam memisahkan buah yang rusak. Li (2002) memperkenalkan system pemutuan berbasis computer vision based system untuk sortasi apel berdasarkan luasan area ujung tangkai /calyx yang diidentifikasi dengan jaringan syaraf tiruan. Kondo et al. (2000) mengevaluasi kualitas jeruk iyokan secara non destruktif menggunakan pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Jaringan Syaraf Tiruan (JST) yang dibuat dapat memprediksi kandungan gula dan tingkat keasaman buah dengan tingkat akurasi yang dapat diterima. Sementara itu, Kavdir et al. (2002) berhasil mensortasi buah apel berdasarkan kualitas permukaan menggunakan back propagation neural network. Evaluasi mutu buah yang dilakukan oleh Ying et al. (2003) menggunakan jaringan syaraf tiruan berhasil mengklasifikasikan buah pear berdasarkan bentuknya dengan tingkat akurasi pengklasifikasiannya mencapai 90%.

Mendoza dan Aquilera (2004) mengklasifikasi tingkat kematangan pisang menggunakan pengolahan citra dengan fitur L*, a*, b*, % BSA (persentase bercak coklat per luasan total) dan kontras. Teknik klasifikasi menggunakan analisis diskriminan dan dapat mengklasifikasi buah pisang pada tujuh tingkat kematangan dengan akurasi 98 %.

Pedreschi et al. (2006) mengembangkan sistem citra untuk mengukur warna bahan makanan yang heterogen seperti potato chips pada model warna L*a*b* dari model warna RGB. Briones dan Aguilera (2005) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis perubahan warna permukaan coklat selama penyimpanan. Kang et al. (2008) melakukan pengukuran secara akurat dan dapat mendeskripsikan perubahan warna buah mangga selama proses pematangan menggunakan pengolahan citra.


(16)

Penerapan Logika Fuzzy untuk Pemutuan Buah

Kavdir dan Guyer (2003) mengembangkan model logika fuzzy untuk pemutuan apel. Model logika fuzzy yang disusun menggunakan masukan berupa parameter warna, kerusakan eksternal, berat dan ukuran. Keluaran dari model adalah berupa tiga klasifikasi mutu dan selanjutnya hasil predikasi model dibandingkan dengan pemutuan yang dilakukan expert. Hasil prediksi model dibandingkan dengan pemutuan expert dengan tingkat akurasi sebesar 89 %.

Shahin et al. (2000) mengembangkan model logika fuzzy untuk pendugaan tingkat ketuaan kacang tanah. Model logika fuzzy yang dikembangkan menggunakan masukan hari setelah panen dan parameter FID (Free Induction Decay) yang diperoleh dari pengukuran menggunakan NMR (Nuclear Magnetic Resonance). Model logika fuzzy yang dikembangkan mampu mengklasifikasikan kacang menjadi 3 tingkat ketuaan dengan hasil pendugaan lebih akurat dibandingakan pendugaan menggunakan Linear Discriminant Analysis (LDA).

Kajian pengembangan system pemutuan kualitas eksternal melon dengan menggunakan fuzzy inference dilakukan oleh Nakano et al. (2004). Dalam kajian ini digunakan 30 melon untuk masing-masing 3 tingkat mutu melon (excellent, superior dan good). Input yang digunakan dalam model adalah besaran pengolahan citra berupa rasio net, warna, bentuk dan vine index. Algoritma yang dibuat dapat mengklasifikasi melon dengan tingkat akurasi untuk excellent 80 %, superior 73,3 % dan good 83,3 %.

Sementara itu, Anjar (2005) telah berhasil mengembangkan model fuzzy untuk pemutuan belimbing berdasarkan tingkat kemanisan. Model logika fuzzy yang dibuat menggunakan masukan nilai kadar gula dan nilai kadar asam yang diperoleh dari pengukuran refractometer dan metode titrasi. Proses pendugaan tingkat kemanisan menggunakan sistem inferensi fuzzy metode Mamdani. Out put dari model mampu mengklasifikasikan belimbing menjadi tiga tingkat kemanisan yaitu manis, sedang dan asam. Hasil pendugaan memiliki tingkat akurasi sebesar 88 % dibandingkan dengan hasil uji organoleptik.


(17)

16

Sistem Inferensi Fuzzy

Sistem Inferensi Fuzzy disebut juga Fuzzy Inference System (FIS). Inferensi Fuzzy adalah proses yang memformulasikan pemetaan suatu input yang diberikan menuju suatu output tertentu menggunakan logika fuzzy. Struktur dasar FIS ditunjukkan pada Gambar 1 .

Normalization Module

Fuzzification Module

Inference Engine

---Rulebase

meaning representation

Database

Defuzzification Module Denormalization

Module Crisp State Input

Values

Crisp Control-Output Values

Computational Flow Information Flow

Gambar 1. Struktur dasar Sistem Inferensi Fuzzy.

Ada berbagai macam tipe FIS (Fuzzy Inference System), tetapi yang paling sering dipakai ada 3, yaitu model fuzzy Mamdani, model fuzzy Sugeno, dan model fuzzy Tsukamoto. Model FIS tersebut, secara ringkas, yaitu:

1. Sistem inferensi Mamdani

Hasil keluaran sistem inferensi mamdani masih berupa fuzzy. 2. Sistem inferensi Sugeno (Takagi-Sugeno-Kang)

Basis kaidah fuzzy tipe Sugeno memiliki bentuk If x adalah X dan y adalah Y Then z = f(x,y)

Dengan X dan Y merupakan himpunan fuzzy dan z = f(x,y) merupakan fungsi tegas yang biasanya dalam bentuk polinomial dengan variabel x dan y. Jika f(x,y) adalah konstan model ini dikatakan sistem inferensi Sugeno orde nol (zero-order). Hasil keluaran sistem inferensi Sugeno sudah berbentuk tegas.


(18)

3. Sistem inferensi Tsukamoto

Pada model Tsukamoto, dicirikan dengan consequent dari tiap aturan fuzzy if-then direpresentasikan dengan set fuzzy yang mempunyai MF yang monoton. Akibatnya output yang didapatkan dari tiap rule didefinisikan sebagai nilai crisp yang diinduksi oleh firing strength dari rule. Karena tiap rule menghasilkan output crisp, model fuzzy Tsukamoto mengumpulkan output setiap rule dengan menggunakan metode rata-rata bobot sehingga menghindari proses deffuzification yang menghabiskan waktu.

Input sistem inferensi fuzzy bisa berupa input fuzzy ataupun input crisp, sementara outputnya set fuzzy. Namun kadangkala dibutuhkan bahwa output haruslah berupa input crisp. Kasus ini sering terjadi pada disain pengendali fuzzy, dengan demikian dibutuhkan metoda tambahan yang disebut sebagai defuzzification, yang bertujuan untuk mengekstrak nilai crisp yang paling tepat untuk merepresentasikan nilai fuzzy yang dihasilkan oleh FIS

Gambar 2. Model Fuzzy Inference System, dan representasi bilangannya.

Proses fuzzy inference Mamdani berdasarkan pada proses perhitungan terdiri dari 5 tahapan, yaitu:

1. Fuzzifikasi variabel input

2. Operasi Fuzzy pada antecedent (And - Or atau secara teoritis menggunakan komposisi min-max,dll)


(19)

18

4. Aggregasi masing-masing consequent dari tiap rule untuk menghasilkan suatu kesimpulan

5. Defuzzifikasi

Fuzzifikasi

Proses fuzzifikasi yaitu mengambil data dari input bilangan tegas dan menentukan derajat keanggotaan dari input tersebut. Caranya yaitu lewat Membership Function. Proses fuzzifikasi input ini bisa didapat dengan cara membandingkan input dengan lookup table atau pengevaluasian fungsi keanggotaan (evaluasi rumus matematika).

Operasi Fuzzy

Setelah masing-masing input di defuzzifikasi, maka dapat ditemukan derajat keanggotaan masing-masing antecedent dalam setiap aturan (rule). Jika antecedent dari sebuah rule mempunyai lebih dari 1 input, maka operasi fuzzy harus dilakukan untuk mencapai 1 nilai yang merepresentasikan hasil dari antecedent untuk masing masing rule. Hasil berupa 1 nilai tersebut disebut juga dengan firing strength.

Metode Operator Fuzzy ini diatur oleh kaidah fuzzy If-Then. Metode yang sering digunakan adalah operasi AND (yaitu:metode minimum, metode product) dan operasi OR(yaitu: metode maximum, dan metode Probabilistic OR)

Implikasi

Sebelum melakukan proses implikasi, setiap firing strength akan diberikan pembobotan sesuai dengan kaidahnya. Pembobotan itu disebut dengan rule weight (bernilai antara 0 sampai 1). Umumnya rule weight adalah 1. Selanjutnya, consequent akan dibentuk sesuai dengan fungsi yang berhubungan dengan antecedent (dalam hal ini adalah firing strength). Input dari proses implikasi adalah firing strength, dan outputnya adalah sebuah gugus fuzzy. Proses implikasi ini dilakukan untuk setiap rule. Metode Implikasi adalah metode penalaran fuzzy. Metode yang sering digunakan ada 2, yaitu: minimum dan product.


(20)

Aggregasi

Keputusan/kesimpulan dalam sistem logika fuzzy didasarkan pada pengujian untuk semua aturan , maka setiap rule harus digabungkan dengan suatu metode untuk mencapai suatu kesimpulan. Aggregasi adalah proses yang menggabungkan beberapa gugus fuzzy yang merepresentasikan suatu output menjadi satu fuzzy set. Ilustrasi proses agregasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Metode penggabungannya yaitu menggunakan operator komposisi. Beberapa metode yang sering digunakan untuk aggregasi adalah: maximum , probabilistic or, dan sum (penjumlahan langsung).

0

Metode Aggregasi: Max

Me

mbe

rs

h

ip

Gra

d

e

25%

Me

mb

er

sh

ip

Gr

ad

e

Me

mbe

rshi

p

Gr

ade

0

Me

mb

e

rshi

p

Gr

ad

e

25% Rule Output 1:

Rule Output 2:

Rule Output 3:

Hasil Aggregasi:

0 25%

0 25%

Gambar 3. Ilustrasi proses Aggregasi

Defuzzifikasi

Defuzzifikasi merupakan cara untuk mendapatkan sebuah bilangan/nilai crisp dari nilai fuzzy (yang representatif). Metode defuzzifikasi pada dasarnya terdiri dari 5 metode defuzzifikasi yaitu Centroid of area (zCOA), Bisector of area (zBOA), Mean

of maximum ( zMOM ), Smallest of maximum (zSOM), dan Largest of maximum (ZLOM).


(21)

20

S m a lle s t o f m a x

C e n tro id o f M a x

C e n tro id o f A re a

L a rg e s t o f M a x

Gambar 4. Berbagai metode defuzzifikasi untuk memperoleh output tegas (crisp)

U Centroid of area (zCOA) :

Untuk sistem kontinyu:

= Z A Z A COA dz z zdz z z ) ( ) ( μ μ

Untuk sistem diskrit:

= =

=

l l 1 1

)

(

)

(

i i COA

z

i

z

i

zi

z

μ

μ

Dengan μA(z) adalah kumpulan output MF. Metode ini adalah yang paling banyak dipakai untuk strategi deffuzification. Walaupun konsepnya berbeda, metode ini mengingatkan kembali pada cara penghitungan nilai harapan pada distribusi probabilitas.

U Bisector of area (zBOA):

α μ = β μ

BOA

z A

BOA z

A(z)dz (z)dz

Dengan α=min{z|z Z} dan β=max{z| z Z}. Jadi zBOA adalah garis tegak lurus yang membagi area antara z=α sampai z=β.

U Mean of maximum ( zMOM ):

= ' ' Z Z MOM dz zdz z


(22)

zMOM adalah nilai z yang berada pada titik dimana garis lurus pada titik ini akan membagi area yang memiliki MF bernilai maksimum menjadi 2 daerah sama besar.

U Smallest of maximum (zSOM):

zSOM adalah nilai z terkecil yang mempunyai nilai MF maksimum.

U Largest of maximum (ZLOM):

ZLOM adalah nilai z terbesar yang mempunyai nilai MF maksimum.

Penghitungan untuk memperoleh hasil dari kelima metode tersebut membutuhkan banyak waktu kecuali bila digunakan prosesor yang handal. Selain itu kelima metode tersebut juga tidak mudah untuk dianalisis secara matematis.


(23)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Keteknikan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Waktu penelitian bulan Juni 2006 sampai Agustus 2008.

Bahan dan Peralatan

Penelitian ini menggunakan bahan berupa buah belimbing manis kultivar Dewi yang diperoleh di perkebunan rakyat Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Dalam penelitian ini tingkat ketuaan belimbing diklasifikasikan menjadi 4 macam, yang merupakan penyederhanaan dari pengklasifikasian belimbing pada Tabel 2. Indeks A (gabungan indeks 1 dan 2 pada Tabel 2) adalah belimbing yang memiliki umur petik 40 hari, indeks B (gabungan indeks 3 dan 4) adalah belimbing yang memiliki umur petik 50 hari, indeks C (gabungan indeks 5 dan 6) adalah belimbing yang memiliki umur petik 60 hari, sedangkan indeks D (indeks 7) adalah belimbing yang memiliki umur petik 70 hari. Umur petik dihitung sejak putik berukuran sebesar gabah. Buah belimbing yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 5.

Buah belimbing yang digunakan berasal dari buah yang mendapat perlakuan pembungkusan menggunakan kertas karbon sejak berumur 2 minggu. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 75 belimbing pada masing-masing indeks untuk penyusunan model dan sebanyak 25 belimbing pada masing-masing indeks untuk validasi.


(24)

Gambar 5. Buah belimbing manis berdasarkan tingkat ketuaan Indeks B Indeks C

Indeks A Indeks D

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah refraktometer digital ATAGO PR-201, rheometer model CR 300 DX-L, Recordmeter SR-6511, timbangan digital, dan alat titrasi.

Peralatan yang digunakan untuk citra adalah perangkat sistem pengolahan citra yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan adalah kamera CCD digital berwarna VED model OC-305 D dan seperangkat komputer dengan processor 133 Mhz yang dilengkapi dengan video capture MATROX meteor dan Mil-Lite ver 3.1 sebagai fungsi pustaka untuk penulisan program, 4 buah lampu TL 7 watt yang diberi penghalang berupa glass fleksi setebal 3 mm, kotak tempat pengambilan citra yang terbuat dari tekwood, kain putih sebagai dasar, dan kain sebagai penutup untuk menghalangi cahaya dari luar.

Perangkat lunak digunakan adalah program pengolahan citra (image processing) dalam bahasa C dengan kompiler microsoft visual C, yang merupakan pengembangan dari program image processing yang tersedia di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP).

Metode Pengambilan Citra

Citra Buah belimbing dengan tingkat ketuaan yang berbeda direkam dengan menggunakan camera CCD. Buah terlebih dahulu dibersihkan menggunakan kertas tisue. Buah diletakkan diatas kain berwarna putih berukuran 25 x 18,75 cm2


(25)

23

sebagai latar belakang. Pengambilan citra dilakukan pada posisi buah mendatar dan ditempatkan dibawah kamera CCD dengan jarak 32 cm

Skema perekaman citra yang akan dilakukan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Skema perekaman buah belimbing ke dalam citra digital.

Intensitas reflektans dari buah belimbing ditangkap oleh sensor kamera CCD melalui lensa dan ditampilkan di monitor komputer yang dihubungkan dengan sensor kamera. Citra buah belimbing direkam dan disimpan secara otomatis dengan ukuran 256x192 piksel dimana 1 cm2 mewakili 10,24x10,24 piksel dan 256 tingkatan intensitas cahaya merah, hijau, dan biru (RGB).

Analisis Warna

Intensitas warna yang diukur adalah merah, hijau, dan biru (RGB). Untuk mendapatkan nilai RGB dilakukan proses analisis warna yang dilanjutkan dengan perintah pengukuran intensitas warna. Warna dibaca dari seluruh piksel-piksel penyusun citra buah. Nilai RGB yang diperoleh adalah nilai rata-rata RGB untuk keseluruhan piksel citra buah.


(26)

Model warna yang digunakan adalah model warna RGB (Red, Green, Blue). Selain menggunakan model warna RGB akan digunakan model warna yang lain yaitu HSI, L*a*b* dan L*u*v*. Konversi nilai warna menggunakan persamaan (1)- (17). Diagram alir prosedur klasifikasi warna ditunjukkan pada Gambar 7.

Mulai

Pengambilan Citra Filter Background

Analisis Warna

Selesai Warna dalam

nilai R,G,B

Warna dalam nilai HSI

Warna dalam nilai Lu*v*

Warna dalam nilai La*b*

Penentuan korelasi warna terhadap nilai kadar gula

dan kadar asam

Gambar 7. Diagram alir prosedur klasifikasi warna

Proses pengolahan image dilakukan adalah dengan menormalisasi terhadap ketiga komponen warna R, G dan B. Nilai r, g dan b dihitung dengan persamaan berikut:

B G R

R r

+ +

= ...……… (1)

B G R

G g

+ +

= ...……… (2)

B G R

B b

+ +


(27)

25

Nilai warna hasil normalisasi kemudian ditafsirkan dengan melihat besarannya. Jika nilai indeks r = g = b = 1/3, maka objek dinyatakan tidak berwarna.

Konversi nilai RGB ke model warna HSI dihitung menggunakan persamaan 4 dan 5. Nilai intensitas besaran dihitung dengan menggunakan persamaan:

3 B G R

I = + + ……… ……… (4)

Nilai Hue dihitung dengan menggunakan persamaan :

(

R G

) (

R B

)(

G B

)

B G R H Cos − − + − − − = 2 2 2

……… (5) Bila B>G maka nilai Hue adalah 360 – H.

Saturation adalah jarak dari titik putih relatif terhadap jarak dari titik putih ke warna jenuh pada nilai hue yang sama dalam segitiga R, G, B. Saturation dihitung dengan persamaan :

) , , min( 3

1 R G B

B G R S + + −

= ... ………... (6)

Nilai hue tidak didefiniskan bila saturation bernilai nol, yaitu untuk semua warna pada sepanjang sumbu tegak dan sebaliknya saturation tidak didefinisikan bila intensitas bernilai nol.

Model warna La*b* menyatakan warna dalam nilai kecerahan L (lightness), derajat kemerahan (a) dan derajat kekuningan (b). Nilai L maksimum = 100 berarti semua dipantulkan total dan L minimum bernilai= 0, menunjukkan warna hitam. Sumbu a dan b tidak mempunyai batas secara numerik. Positif a adalah merah dan negatif a menunjukkan warna hijau. Positif b adalah kuning dan negatif b adalah warna biru.

Proses konversi dari model warna RGB ke model warna L*a*b* sebagaimana metode yang digunakan oleh Mendoza (2006) dan Kang (2007). Nilai RGB yang diperoleh dinormalisasi menjadi R’G’B’ dengan membaginya dengan nilai 255. Nilai R’G’B’ selanjutnya ditranformasi ke nilai sRGB menggunakan persamaan :

92 , 12 ) ( ; 03928 ,

0 f x x


(28)

4 , 2 055 , 1 055 , 0 ) ( ; 3928 , 0 ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + =

f x x

x ………. (8)

Dimana x adalah nilai R’, G’ atau B’ dan f(x) menunjukkan nilai konversi ke sR, sG dan sB. Nilai sRGB selanjutnya dikonversi ke model warna CIE XYZ dengan menggunakan persamaan :

⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ sB sG sR Z Y X 9505 , 0 1192 , 0 0193 , 0 0722 , 0 7152 , 0 2126 , 0 1805 , 0 3576 , 0 4124 , 0

………. (9)

Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai L*, a* dan b* dari CIE XYZ sebagaimana digunakan Papadakis et al (2000) dan Hanbury (2001) adalah sebagai berikut :

* 116 ⎟−16

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⋅ = n Y Y f

L ……… ……… (10)

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = n n Y Y f X X f

a* 500 ……… (11)

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = n n Z Z f Y Y f

b* 200 ……… (12)

dimana :

( )

⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧ ≤ + > = 008856 . 0 116 16 7867 . 7 008856 . 0 3 1 τ τ τ τ τ jika jika f

Xn, Yn dan Zn adalah nilai XYZ berkaitan dengan warna acuan objek putih. Pada

penelitian ini digunakan nilai Xn = 0,9503; Yn=1,0;dan Zn = 1,0981 (Kang, 2008).

Model warna CIELUV dikeluarkan CIE (Commission International de l’Eclairage) tahun 1976. Metode CIELUV memiliki transformasi diagram chromatik yang linier dan mendekati sistem Munsell. Konversi dari sistem X, Y, Z ke sistem LUV menggunakan persamaan berikut (Lu, 1998):

L* = 116 (Y/Yo)13 – 16 ………...(13)

u* = 13 L* (u’ – u’o) ………(14)

v* = 13 L* (v’-v’o) ………...(15)

dimana


(29)

27

v’ = 9Y/(X+15Y+3Z) ……..……….. (17)

Pengukuran Sifat Fisika Kimia Buah Belimbing

Pengukuran Kekerasan

Kekerasan buah belimbing diukur dengan menggunakan rheometer model CR 300 DX-L yang dilengkapi dengan Recordmeter SR-6511. Buah belimbing yang akan diukur ditaruh di bawah jarum kemudian alat rheometer di set. Tombol JOG ditekan dan lampu akan menyala. Posisi buah dinaikkan sehingga posisi ujung jarum menempel pada buah dengan menekan tombol UP. Tahapan selanjutnya tombol start ditekan, maka pada saat display strain menunjukkan angka yang sesuai dengan kedalaman yang diinginkan akan terbaca nilai kekerasan pada display LOAD. Pengukuran kekerasan dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap buah pada masing-masing tingkat ketuaan.

Pengukuran Total Padatan Terlarut (TPT)

Pengukuran nilai TPT buah belimbing dilakukan pada bagian ujung, tengah dan pangkal buah. Nilai TPT ditentukan dengan menggunakan alat refraktometer digital ATAGO PR-201. Cairan buah belimbing diteteskan pada alat refraktometer sehingga pada alat refraktometer akan terbaca nilai TPT pada satuan ° Brix.

Pengukuran Total Asam

Total asam ditentukan dengan metoda titrasi sesuai standar AOAC (1988).

Penentuan total asam dilakukan dengan menghancurkan masing-masing sebanyak 10 g potongan buah bagian ujung, tengah dan pangkal belimbing menggunakan mortar dan blender. Sejumlah tertentu hancuran buah selanjutnya dimasukkan ke dalam labu piala 100 ml dan ditambah aquades sampai tanda tera. Larutan dihomogenkan dan kemudian disaring dengan kertas saring. Penetapan sampel dilakukan dengan mengambil 25 ml larutan lalu dititrasi menggunakan NaOH 0,1 N dengan indikator fenolptalen. Hasil yang diperoleh dihitung sebagai persen asam sitrat menggunakan rumus :


(30)

Total asam (%) = ×100 W

VxNxBExP

Dimana V = volume NaOH yang dipakai (ml) N = Normalitas NaOH

P = faktor pengenceran = 100/25 W =berat contoh (g)

BE = Bobot ekivalen = 1/3 x berat molekul asam sitrat

Pengembangan model Logika Fuzzy

Sebuah model merupakan representasi dari sebuah sistem nyata sehingga keluaran yang diduga adalah sesuai dengan sistem nyata yang diinginkan. Model logika fuzzy yang dikembangkan digunakan untuk memprediksi rasa belimbing dengan masukan parameter warna dari pengolahan citra. Rasa belimbing dibedakan atas 3 klasifikasi manis, sedang, dan masam. Skema model logika fuzzy untuk mengevaluasi rasa belimbing ditunjukkan pada Gambar 8.

Tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mendapatkan output adalah sebagai berikut:

a. Penyusunan gugus fuzzy (fuzzifikasi) untuk input b. Penyusunan rule fuzzy (aturan)

c. Penyusunan gugus fuzzy untuk output (defuzzifikasi)

Pemilihan input didasarkan atas tingkat korelasi antara parameter warna dan kadar gula atau kadar asam.

Parameter Warna Pengolahan Citra

Rasa Belimbing Aturan dasar

(Rulebase)

Gambar 8. Skema model logika fuzzy untuk menduga rasa belimbing

Penyusunan gugus fuzzy untuk input

Hasil analisis korelasi warna yang diperoleh dari citra terhadap nilai total padatan terlarut dan kadar asam akan digunakan sebagai penentuan pemilihan


(31)

29

input model. Nilai korelasi yang besar akan dipilih sebagai input model logika fuzzy.

Dalam penelitian ini keanggotaan fungsi dibentuk berdasarkan sebaran data eksperimen. Kisaran nilai parameter warna yang terpilih diklasifikasikan dalam 3 kelompok nilai yaitu rendah, sedang dan tinggi. Skema gugus fungsi dari masing-masing parameter input dapat dilihat pada Gambar 9. Nilai a, b, c, d, e, f dan g merupakan bilangan gugus fungsi ditentukan berdasarkan nilai yang diperoleh dari pengukuran atau hasil pengolahan data. .

Derajat Keanggotaan

Tinggi sedang

Rendah

μA (x)

Parameter warna

a b c,d,e f g

1

Gambar 9. Fungsi keanggotaan untuk parameter warna

Penyusunan aturan (rule)

Proses implikasi dapat ditentukan jika telah diketahui besarnya derajat keanggotaan yang memiliki nilai dalam selang [0,1]. Setiap aturan fuzzy memiliki bentuk pernyataan IF-THEN. Aturan dasar dalam bentuk umum adalah sebagai berikut:

Ruler : If x1 is A1ji and ... and ….. xn is Anjn then u is Aj

Dimana A1ji adalah anggota ke-j dari variabel linguistik I yang berhubungan

dengan fungsi keanggotaan μji(x) dan Aj berhubungan dengan fungsi keanggotaan

μj

(u) yang menyatakan keadaan untuk variabel tindakan pengaturan. Matriks yang digunakan untuk mempermudah dalam menyusun aturan-aturan ditunjukkan pada Tabel 4.


(32)

Contoh aturan pernyataan IF-THEN yang dipergunakan diantaranya adalah:

IF “R/G ” is kecil and “hue ” is sedang Then “Rasa” is Manis IF “Hue” is Kecil and “a*” is Positif Then Rasa is Manis

Tabel 4. Matriks Hubungan Input dan Output untuk penyusunan Aturan (rule)

H R/G

Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Sedang Asam Sedang Manis Sedang Asam Besar Manis Sedang Sedang

Masukan dari proses implikasi adalah nilai yang dihasilkan oleh antecedent dari suatu kaidah yang diberikan serta memiliki lebih dari suatu bagian. Operator fuzzy digunakan untuk mempresentasikan hasil inferensi dari aturan tersebut. Proses ini menghasilkan gugus yang dinyatakan dengan fungsi keanggotaan. Nilai gugus tersebut bersesuaian sifat linguistiknya, dimana variable linguistiknya digunakan sebagai input untuk aturan-aturan fuzzy.

Penyusunan gugus fungsi untuk output (defuzzification)

Defuzzifikasi adalah proses mentransformasikan hasil penalaran fuzzy ke dalam nilai keluaran. Variabel output model dibagi dalam 3 set fuzzy atau 3 klasifikasi rasa.

Derajat Keanggotaan

Manis sedang

Asam μA (x)

k l m,n,o p q

rasa


(33)

31

Dalam metode Centroid (Center Of Gravity) nilai dari variabel output dihitung dengan mengambil nilai dari posisi pusat dari kurva fungsi keanggotaan variabel output yang merupakan gabungan dari proses agregasi gugus fuzzy output. Formula metode tersebut adalah sebagai berikut :

= =

=

n

i n

i

Fi

FixSi

D

1 1

Dimana: D = decision F1= fuzzy output

Si = posisi pusat sistem output

n = Jumlah gugus yang didefinisikan untuk sistem output

Nilai D adalah nilai crisp hasil defuzzifikasi. Kategori yang dipilih disesuaikan dengan letak nilai D pada selang-selang kriteria rasa yang ditetapkan untuk output nilai TPT dan nilai rasio TPT/total asam.

Validasi Model

Validasi model dilakukan dengan mengamati satu set contoh yaitu 101 buah belimbing yang memiliki indeks (tingkat ketuaan) yang bervariasi. Output sistem fuzzy terhadap set contoh berupa rasa dibandingkan dengan rasa yang didasarkan kriteria yang ditetapkan. Kriteria rasa didasarkan pada nilai sebaran hasil pengukuran TPT dan rasio TPT/total asam dengan hasil uji organoleptik. Nilai statistik berupa nilai rata-rata dan standard deviasi digunakan untuk menentukan nilai batas yang dijadikan kriteria rasa.

Uji organoleptik dilakukan oleh beberapa panelis yang menilai rasa buah belimbing pada berbagai tingkat ketuaan. Setiap panelis diberikan buah belimbing sebagai acuan yang terdiri dari buah belimbing yang diaggap manis dan buah belimbing yang diaggap memiliki rasa asam. Penentuan buah belimbing sebagai acuan didasarkan pada rasa dan nilai TPT. Setiap panelis memberikan penilaian rasa terhadap sampel buah.


(34)

Buah belimbing yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah belimbing dengan tingkat ketuaan yang berbeda yaitu buah yang dipetik pada umur buah 40 hari, 50 hari, 60 hari dan 70 hari. Secara visual warna buah berwarna hijau pada tingkat ketuaan 40 hari, warna hijau berkurang pada tingkat ketuaan 50 hari, muncul warna kuning dan pada linggir buah berwarna hijau pada tingkat ketuaan 50 hari dan berwarna oranye pada tingkat ketuaan 70 hari. Contoh buah belimbing pada berbagai tingkat ketuaan pada Gambar 5.

Buah dalam perkembangannya memiliki massa yang cenderung semakin besar. Massa minimum, massa maksimum dan massa rata-rata buah belimbing yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 12. Massa buah pada tingkat ketuaan 40 hari berkisar 74.83 – 149.28 gram, pada tingkat ketuaan 50 hari berkisar 85.60 – 169.46 gram, massa buah pada tingkat ketuaan 60 hari berkisar 96.75 – 236.22 gram dan massa buah pada tingkat ketuaan 70 hari berkisar 107.69 – 330.64 gram. Massa minimum buah memperlihatkan bahwa pada tingkat ketuaan 60 dan 70 hari masih diperoleh buah yang massanya kecil. Massa rata-rata buah belimbing semakin meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Peningkatan massa berkaitan dengan peningkatan ukuran buah selama bertambahnya tingkat ketuaan. Data massa buah belimbing pada berbagai tingkat ketuaan ditunjukkan pada Lampiran 5.

Panjang dan diameter buah belimbing yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 13. Panjang buah rata-rata terlihat semakin panjang dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Panjang buah pada tingkat ketuaan 40 hari berkisar 7.4 – 10.65 cm, panjang buah pada tingkat ketuaan 50 hari berkisar 7.6 – 10.95 cm, panjang buah pada tingkat ketuaan 60 hari berkisar 7.6 – 12.3 cm dan panjang buah pada tingkat ketuaan 70 hari berkisar 7.75 – 12.6 cm. Diameter buah rata-rata secara gradual terlihat meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan, walaupun secara nilai tidak memperlihatkan perbedaan yang besar. Narain et al. (2001) melakukan pengukuran massa buah belimbing kultivar Golden star dan melaporkan massa rata-rata untuk buah belimbing meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan.


(35)

33 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 350,0

30 40 50 60 70 80 Tingkat Ketuaan (hari)

Ma s s a ( g ) Rata-rata minimum maksimum

Gambar 12. Massa buah belimbing pada berbagai tingkat ketuaan

6,0 7,0 8,0 9,0

Gambar 13. Panjang dan diameter buah belimbing pada berbagai tingkat ketuaan Nilai kekerasan buah menurun dengan semakin bertambahnya tingkat ketuaan. Sebaran nilai kekerasan buah seperti pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar terlihat bagian ujung buah kurang keras dibandingkan dengan bagian tengah dan pangkal. Hal ini menunjukkan proses pematangan secara fisik diawali pada daerah ujung buah.

Menurut Winarno (1979) pada proses pengembangan dan pematangan tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan karena komposisi dinding sel berubah. Perubahan tersebut akan mengakibatkan buah akan menjadi lebih lunak apabila telah masak. Secara umum dinding sel terdiri dari selulose, hemiselulosa, zat pectin dan lignin. Menurut Chin et al. (1999) selama proses penuaan buah belimbing ditandai dengan penurunan kekerasan sebagai akibat modifikasi pektin dan hemiselulosa sel dinding, dimana secara parallel terjadi peningkatan aktivitas enzim utama sel dinding pectinesterase, β-galactosidase, dan β (1,4) glucanase.

10,0 11,0 12,0 13,0

30 40 50 60 70 80 Tingkat ketuaan (Hari)

P an jang ( c m ) Rata-rata minimum maksimum 0 2 4 6 8

30 40 50 60 70 80 Tingkat Ketuaan (Hari)

D iamet er ( c m

) MinimumRata-rata maksimum


(36)

0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2

30 40 50 60 70 80

Tingkat Ketuaan (Hari)

K

e

ker

a

san (

k

gf

) Pangkal

Tengah Ujung

Gambar 14. Sebaran nilai kekerasan buah belimbing berdasarkan tingkat ketuaan

Sifat Kimia Buah Belimbing

Nilai rata-rata total padatan terlarut (TPT) buah belimbing meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Nilai TPT berkisar dari 4.67 – 10.23

o

Brix. Hubungan antara nilai TPT dengan tingkat ketuaan ditunjukkan pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar dapat dilihat bahwa terdapat irisan antara nilai TPT satu tingkat ketuaan dengan tingkat ketuaan yang lain. Kondisi lingkungan perkembangan buah sangat berpengaruh seperti kondisi tanaman, cahaya, pemupukan dan sebagainya.

Gunasekera dan Arampath (1996) melaporkan hal yang sama untuk belimbing kultivar ”honey sweet” bahwa nilai TPT semakin bertambah dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Nilai TPT rata-rata untuk belimbing matang hijau sebesar 5.31 oBrix dan nilai rata-rata TPT untuk belimbing matang sebesar 8.83

o

Brix.

Narain et.al. (2001) telah melakukan pengukuran komposisi fisika dan kimia buah belimbing kultivar ”Golden star” pada tiga tingkat kematangan yaitu tua hijau dimana tekstur keras dan buah 100% berwarna hijau, setengah matang dengan kriteria tekstur keras dan buah berwarna kuning kehijauan dan matang dengan kriteria tekstur lunak dan buah 100 % berwarna kuning. Hasil yang diperoleh nilai rata-rata TPT bertambah dengah bertambahnya tingkat kematangan. Nilai rata-rata TPT untuk tua hijau sebesar 6. 01 oBrix, untuk setengah matang sebesar 7.30 oBrix dan untuk matang sebesar 10.83 oBrix. Nilai TPT yang diperoleh dapat menunjukkan kadar gula buah belimbing. Nilai TPT yang semakin besar berkaitan dengan kandungan gula yang juga semakin tinggi.


(37)

35

Pada tua hijau kandungan total gula 2.91 %, pada setengah matang sebesar 4.69 % dan pada buah matang sebesar 5.60 %.

Guilermo et. al. (2001) melakukan pengukuran kandungan gula pada buah belimbing yang dipetik pada tingkat kematangan hijau dan menunjukkan bahwa kandungan fruktosa yang terbesar yaitu 0.6 g/100 ml, kandungan glukosa sebesar 0.3 g/100 ml dan kandungan sukrosa sebesar 0.25 g/100 ml.

Total asam tertitrasi buah belimbing menurun dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Pada tingkat ketuaan 40 hari nilai total asam tertitrasi sebesar 0.36 %, pada tingkat ketuaan 50 hari 0.32 %, pada tingkat ketuaan 60 hari sebesar 0.31 % dan pada tingkat ketuaan 70 hari sebesar 0.27 %. Hubungan antara nilai total asam tertitrasi dan tingkat ketuaan ditunjukkan pada Gambar 15.

Hasil pengukuran total asam tertitrasi yang dilakukan Gunasekera dan Arampath (1996) pada belimbing kultivar ”honey sweet” berkisar antara 0.12 – 0.20 %. Nilai rata-rata total asam tertitrasi menurun dengan bertambahnya tingkat kematangan. Pada awal ketuaan nilai rata-rata total asam tertitrasi sebesar 0.20, pada buah yang matang sebesar 0.15 %, dan 0.12 % pada saat buah lewat matang. Narain et.al. (2001) menunjukkan bahwa total asam tertitrasi menurun dengan bertambahnya tingkat kematangan. Pada buah tua hijau nilai rata-rata total asam tertitrasi 0.98 %, pada setengah matang sebesar 0.51 % dan pada buah matang nilai rata-rata total asam tertitrasi sebesar 0.36 %. Dalam perhitungan total asam tertitrasi ini digunakan dasar jumlah asam sitrat. Kandungan asam askorbat rata-rata pada buah belimbing diperoleh sebesar 0.025 % pada buah tua hijau, 0.026 % pada buah setengah matang dan 0.023 % pada buah matang.

Asam oksalat juga terdapat pada buah belimbing. Kandungan asam oksalat pada buah yang mentah dan berkurang banyak pada saat proses penuaan dan pematangan. Menurut Watson dan George dalam Gunasekera dan Arampath (1996) kandungan asam oksalat pada buah belimbing saat mentah mencapai 0.7 % dan berkurang menjadi 0.04 % ketika buah tua dan matang.

Rasio TPT/ total asam tertitrasi bertambah dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Nilai rasio TPT/total asam tertitrasi paling rendah sebesar 9.39 oBrix/% pada buah dengan tingkat ketuaan 40 hari dan nilai terbesar 60.30 oBrix/%. Hubungan antara nilai rasio TPT/total asam tertitrasi ditunjukkan pada Gambar


(38)

16. Nilai rasio TPT/total asam rata-rata pada buah dengan tingkat ketuaan 40 hari adalah 16.07 oBrix/%, pada tingkat ketuaan 50 hari 20.73 oBrix/%, pada tingkat ketuaan 60 hari 24.33 oBrix/% dan pada tingkat ketuaan 70 hari 34.54 oBrix/%. Nilai TPT, total asam, dan rasio TPT/total asam buah belimbing untuk berbagai tingkat ketuaan dapat dilihat pada Lampiran 1 – 4.

Narain et.al. (2001) mendapatkan nilai rata-rata rasio TPT/total asam 6.13

o

Brix/% pada buah tua hijau, 14.31 oBrix/% dan pada buah yang matang sebesar 30.08 oBrix/%. Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan terdapat perbedaan yang signifikan pada setiap tingkat ketuaan.

4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00

Gambar 15. Hubungan TPT dan total asam dengan tingkat ketuaan

Gambar 16. Hubungan rasio TPT/ total asam dengan tingkat ketuaan

30 40 50 60 70 80

Tingkat Ketuaan (Hari)

TP T ( ° B ri x ) Minimum Maksimum Rata-rata 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

30 40 50 60 70 80

Tingkat Ketuaan (Hari)

To ta l a s a m ( % ) Minimum Maksimum Rata-rata 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

30 40 50 60 70 80

Tingkat Ketuaan (Hari)

ra s io TP T/ to ta l a s a m ( °B ri x /% ) Minimum Maksimum Rata-rata


(39)

37

Program Pengolahan citra untuk Mengukur Warna Buah

Citra buah direkam menggunakan sistem perekaman citra seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Pengolahan citra untuk memperoleh parameter warna dilakukan dengan analisa menggunakan program pengolahan citra. Program pengolahan citra dibuat menggunakan bahasa pemrograman visual basic dan data hasil pengolahan citra disimpan sebagai database menggunakan MS Acces.

Program analisis citra mempunyai tahapan sebagai berikut: memanggil file citra yang sudah disimpan berupa bingkai citra ke dalam memori komputer, melakukan proses perhitungan terhadap data dan menyimpan kembali data hasil pengolahan ke dalam file citra yang baru.

Program pengolahan citra yang dibuat dapat berfungsi mengetahui parameter warna dalam model RGB, area dan panjang. Nilai warna yang dipeoleh adalah nilai rata-rata keseluruhan piksel objek. Area adalah jumlah piksel objek. Bentuk antar muka ketika program dijalankan seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Program yang dibuat juga dapat berfungsi untuk mengkonversi parameter warna dari model warna RGB ke model warna HSI, L*a*b* dan L*u*v*.

Program aplikasi pengolahan citra belimbing memiliki kemampuan untuk tresholding, proses penentuan diameter, luas area, dan warna. Urutan proses pengolahan citra adalah memanggil citra dengan mengklik Open Image pada menu file. File citra akan tampil pada picture 1, seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Perintah save akan menempatkan nama file pada daftar basis data.

Proses tresholding bertujuan untuk memisahkan antara objek dan background. Objek diset berwarna putih sedangkan background berwarna hitam. Proses tresholding seperti ditunjukkan pada Gambar 18. Proses tresholding dilakukan menggunakan nilai RGB dalam nilai heksadesimal. Proses tresholding akan menampilkan nilai warna RGB pada kotak teks Result RGB dan menampilkan nilai RGB. Program pengolahan citra ditunjukkan pada Lampiran 10.


(40)

Gambar 15. Tampilan program ketika membuka file citra

Gambar 17. Tampilan program ketika memanggil dan membuka file citra


(41)

39

Hubungan indeks rgb dengan Tingkat Ketuaan Buah

Nilai RGB yang diperoleh dari pengolahan citra merupakan nilai rata-rata keseluruhan piksel citra buah belimbing. Setiap piksel citra terdiri dari nilai R, G dan B. Nilai indek rgb dihitung menggunakan persamaan 1 – 3.

Sebaran nilai indeks rgb dihubungkan dengan tingkat ketuaan buah belimbing ditunjukkan pada Tabel 6 dan Gambar 17. Nilai rata-rata indeks warna r meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan, nilai rata-rata indeks g menurun dengan bertambahnya tingkat ketuaan dan nilai rata-rata indeks b meningkat sampai tingkat ketuaan 50 hari kemudian menurun dengan semakin bertambahnya tingkat ketuaan. Nilai indeks r yang meningkat menunjukkan derajat kemerahan buah yang bertambah dengan bertambahanya tingkat ketuaan dan nilai indeks g yang menurun dengan bertambahnya tingkat ketuaan menunjukkan penurunan derajat kehijauan buah. Perubahan nilai indeks warna dapat menjelaskan fenomena bertambahnya tingkat ketuaan buah belimbing ditandai dengan perubahan dari warna hijau secara gradual menjadi oranye seperti tampak pada pengamatan visual.

Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahawa nilai r = 0.384 dapat membedakan tingkat ketuaan 50 hari dan 60 hari, nilai indek r = 0. 407 dapat membedakan tingkat ketuaan 60 hari dan 70 hari. Nilai indeks r tidak dapat membedakan tingkat ketuaan 40 dan 50 hari, karena terdapat banyak nilai yang saling beririsan.

Gambar 17. menunjukkan bahwa nilai indeks g dan b pada masing-masing tingkat ketuaan beririsan sehingga indeks g dan b tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan.

Berdasarkan Tabel 7 nilai rasio indeks r/g = 0.88 dapat membedakan buah belimbing pada tingkat ketuaan 40 dan 50 hari, r/g = 0.98 dapat membedakan tingkat ketuaan 50 dan 60 hari dan r/g = 1.1 dapat membedakan tingkat ketuaan 60 dan 70 hari. Nilai rasio indeks r/g dapat digunakan untuk mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan.

0,30 0,33 0,36 0,39 0,42 45 48

30 40 50 60 70 80 0,

0,

Tingkat ketuaan (hari)

r

0,30 0,33 0,36 0,39 0,42 0,45 0,48

30 40 50 60 70 80

g


(42)

Gambar 17. Hubungan indeks rgb dan r/g dengan tingkat ketuaan

Tabel 7. Nilai statistik indeks warna rgb dan nilai ambang pada berbagai tingkat ketuaan buah belimbing

Indeks warna

Tingkat Ketuaan

(Hari)

minimum maximum Rata-rata SD Ambang bawah

Ambang Atas

40 0.343 0.371 0.361 0.005

50 0.361 0.385 0.374 0.005 0.384

60 0.382 0.414 0.394 0.008 0.384 0.407

r

70 0.407 0.466 0.432 0.015 0.407

40 0.402 0.434 0.419 0.006

50 0.382 0.410 0.395 0.007

60 0.365 0.392 0.381 0.007

g

70 0.343 0.380 0.362 0.008

40 0.209 0.235 0.220 0.004

50 0.222 0.241 0.232 0.004

60 0.202 0.238 0.225 0.008

b

70 0.180 0.228 0.206 0.011

40 0.790 0.912 0.861 0.024 0.88

50 0.883 1.000 0.946 0.026 0.88 0.98

60 0.981 1.135 1.035 0.035 0.98 1.1

r/g

70 1.074 1.333 1.193 0.062 1.1


(43)

41

Nilai R, G, dan B pada model warna RGB saling tidak bebas untuk menunjukkan warna buah. Konversi ke model warna HSI bertujuan untuk mendapatkan nilai parameter warna yang bebas. Konversi dari model warna RGB ke model warna HSI menggunakan persamaan 4-6.

Sebaran nilai HSI dihubungkan dengan tingkat ketuaan buah belimbing ditunjukkan pada Tabel 8 dan Gambar 18. Nilai rata-rata Hue (H) menurun dengan bertambahnya tingkat ketuaan, nilai rata-rata indeks Intensitas (I) meningkat sampai tingkat ketuaan 60 hari kemudian menurun pada tingkat ketuaan 70 hari, dan nilai rata-rata saturasi (S) menurun sampai tingkat ketuaan 50 hari kemudian meningkat dengan semakin bertambahnya tingkat ketuaan.

Nilai hue (H) menunjukkan warna buah yang sesuai persepsi manusia. Nilai hue pada tingkat ketuaan 40 hari berkisar 70.72 – 85.60; nilai hue pada tingkat ketuaan 50 hari berkisar 60.00 -70.05; pada tingkat ketuaan 60 hari berkisar 45.73 – 62.18; dan pada tingkat ketuaan 70 hari berkisar 34.82-52.31. Perubahan nilai hue dengan bertambahnya tingkat ketuaan buah belimbing menunjukkan perubahan warna buah dari hijau menuju ke warna kuning.

Berdasarkan Tabel 8. nilai H= 48.30 dapat membedakan buah belimbing pada tingkat ketuaan 60 dan 70 hari, H = 61.00 dapat membedakan tingkat ketuaan 50 dan 60 hari dan H = 73.10 dapat membedakan tingkat ketuaan 40 dan 50 hari. Nilai hue (H) dapat digunakan untuk mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan. Nilai hue telah digunakan oleh Abdullah et al.(2006) untuk membedakan buah berdasarkan tingkat kematangan. Nilai hue yang digunakan berkisar dari 10 – 74.

Nilai I yang meningkat sampai pada tingkat ketuaan 60 hari menunjukkan bahwa semakin mengkilat dengan bertambahnya tingkat ketuaan.

Besaran saturasi (S) dan intensitas (I) tidak dapat digunakan untuk membedakan tingkat ketuaan belimbing karena nilai S dan I, saling beririsan pada berbagai tingkat ketuaan tersebut.

30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00

H

0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50


(44)

Gambar 18. Hubungan Besaran model warna HSI dengan tingkat ketuaan Tabel 8. Nilai statistik HSI dan nilai ambang pada berbagai tingkat ketuaan buah

belimbing

min max Avg Std

Ambang Bawah

Ambang Atas

H 40 70.72 85.60 76.57 2.79 73.10

50 60.00 75.05 66.83 3.25 61.00 73.10

60 45.73 62.18 56.04 3.90 48.30 61.00

70 34.82 52.31 42.72 4.23 48.30

S 40 0.29 0.37 0.34 0.01

50 0.28 0.33 0.31 0.01

60 0.29 0.39 0.33 0.02

70 0.31 0.46 0.38 0.03

I 40 95.33 133.00 118.09 7.14

50 119.33 140.67 132.04 4.42

60 127.33 149.33 138.39 4.99

70 113.00 154.33 136.69 7.24


(45)

43

Sebaran nilai L*, a* dan b* pada model warna La*b* dihubungkan dengan tingkat ketuaan buah belimbing ditunjukkan pada Tabel 9 dan Gambar 19. Nilai rata-rata L* meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan dan menurun pada tingkat ketuaan 70 hari, nilai rata-rata a* meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan dan nilai rata-rata b* menurun sampai tingkat ketuaan 50 hari kemudian meningkat dengan semakin bertambahnya tingkat ketuaan. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya tingkat ketuaan buah belimbing ditandai meningkatnya warna merah dan menurunnya warna hijau.

Hubungan masing-masing besaran dalam model warna La*b* dengan tingkat ketuaan ditunjukkan pada Gambar 19. Besaran L* dan b*, terlihat tidak dapat membedakan buah berdasarkan tingkat ketuaan. Besaran a* semakin meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan.

Tabel 9. Nilai statistik La*b* dan nilai ambang pada berbagai tingkat ketuaan buah belimbing

Tingkat Ketuaan

(Hari) Minimum maksimum

Rata-rata

Standar deviasi

Ambang Bawah

Ambang Atas

40 48,74 64,14 58,44 3,02

50 57,23 65,96 62,48 1,59

60 59,92 67,72 64,28 1,77

L*

70 52,57 69,61 62,79 2,88

40 -23,12 -15,43 -19,05 1,55 -15,60

50 -17,71 -9,55 -13,37 1,82 -15,60 -9,60

60 -11,72 -0,62 -7,55 2,48 -9,60 -1,22

a*

70 -5,17 10,05 2,42 3,73 -1,22

40 29,60 37,37 34,61 1,56

50 29,66 36,21 32,78 1,29

60 30,36 40,51 34,43 1,94

b*

70 32,08 43,72 37,43 2,47

Gambar menunjukkan adanya pengurangan warna hijau dan bertambahnya warna kuning. Nilai a* = -5,60 dapat mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan 40 dan 50 hari, nilai a* = -1,22 dapat mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan 50 dan 60 hari dan nilai a* = 4,47 dapat membedakan buah berdasarkan tingkat ketuaan 60 hari dan 70 hari.

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00

30 40 50 60 70 80

Ti k t K t (H i)

L*

-30,00 -20,00 -10,00 0,00 10,00 20,00

30 40 50 60 70 80

Tingkat Ketuaan (Hari)


(46)

20,00 30,00 40,00 50,00

30 40 50 60 70 80 Tingkat Ketuaan (Hari)

b*

Gambar 19. Hubungan Besaran model warna La*b* dengan tingkat ketuaan

Hubungan nilai Lu*v* dengan Tingkat Ketuaan

Sebaran nilai L*, u* dan v* pada model warna Lu*v* dihubungkan dengan tingkat ketuaan buah belimbing ditunjukkan pada Tabel 10 dan Gambar 20. Nilai rata-rata L* meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan dan menurun pada tingkat ketuaan 70 hari, nilai rata-rata a* meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan dan nilai rata-rata b* menurun sampai tingkat ketuaan 50 hari kemudian meningkat dengan semakin bertambahnya tingkat ketuaan. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya tingkat ketuaan buah belimbing ditandai meningkatnya warna merah dan menurunnya warna hijau.

Besaran L* dan v*, terlihat tidak dapat membedakan buah berdasarkan tingkat ketuaan dan Besaran u* terlihat dapat mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan. Besaran u* semakin meningkat dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Nilai u* = 0 dapat mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan 40 dan 60 hari dan nilai u* = 10 dapat mengklasifikasi buah berdasarkan tingkat ketuaan 50 dan 70 hari.

40 45 50 55 60

v*

45 50 55 60 65 70 75


(47)

45

-20 -10 0 10 20 30 40

30 40 50 60 70 80

Tingkat Ketuaan (Hari)

u*

Gambar 20. Hubungan Besaran model warna Lu*v* dengan tingkat ketuaan

Tabel 10. Nilai statistik Lu*v* dan nilai ambang pada berbagai tingkat ketuaan buah belimbing

Tingkat Ketuaan

(Hari)

Minimum maksimum Rata-rata

Standar deviasi

Ambang Bawah

Ambang Atas

40 48,74 64,14 58,44 3,02

50 57,23 65,96 62,48 1,59

60 59,92 67,72 64,28 1,77

L*

70 52,57 69,61 62,79 2,88

40 -16,56 -7,36 -11,77 1,90 -2,35

50 -10,38 0,54 -4,70 2,34 -2,35 0

60 -1,15 14,55 4,23 3,58 0 11,20

u*

70 8,02 32,60 20,16 5,88 11,20

40 42,28 54,54 50,46 2,56

50 44,41 53,20 48,99 1,68

60 45,25 55,88 50,10 2,20

v*

70 42,75 58,05 50,42 2,71


(48)

Nilai TPT berkorelasi dengan kandungan sukrosa di dalam buah. Warna yang diperoleh dari pengolahan citra mempunyai korelasi terhadap nilai total padatan terlarut. Hubungan antara nilai TPT dengan indeks r, g, b dan R/G ditunjukkan pada Gambar 21. Indeks r, g dan r/g berkorelasi dengan nilai TPT. Nilai TPT yang semakin besar dapat ditunjukkan oleh peningkatan nilai indeks r dan penurunan nilai indeks g, serta peningkatan nilai r/g. Indeks r menunjukkan sifat warna merah dan indeks g menunjukkan sifat warna hijau. Indeks b cenderung semakin kecil pada nilai TPT yang semakin tinggi, namun dari Gambar 21. dapat dinyatakan bahwa perubahan indeks b tidak berkorelasi dengan perubahan nilai TPT.

Korelasi antara TPT dengan warna menggambarkan bahwa seiring dengan peningkatan ketuaan, pada buah terjadi penurunan kandungan klorofil dan peningkatan kandungan pigmen karoten dan flavonoid dan buah memiliki kandungan sukrosa yang semakin besar.

Gambar 21. Hubungan TPT dengan indeks r, g, b dan r/g

Hubungan total asam dengan RGB N=286

R2 = 0,8593

4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0,55

r TP T ( °B ri x )

R2 = 0,8552

4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

0,30 0,35 g 0,40 0,45

TP T ( °B ri x )

R2 = 0,4841

4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

0,17 0,20 0,23 0,26

b TP T ( °B ri x )

R2 = 0,8848

4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 r/g TP T ( °B ri x )


(49)

47

Buah belimbing memiliki rasa yang asam sepat pada awal ketuaan dan berubah bertahap menjadi manis dengan bertambahnya tingkat ketuaan. Hubungan total asam buah belimbing dengan warna RGB ditunjukkan pada Gambar 22. Peningkatan total asam ditunjukkan dengan penurunan indeks r dan r/g serta peninkatan indeks g namun berdasarkan Gambar 22 dapat dinyatakan bahwa total asam tidak berkorelasi linier dengan indeks r, g dan r/g. Perubahan total asam tidak dapat ditunjukkan oleh perubahan nilai b. Indeks g berkaitan dengan kandungan klorofil dan indeks r berkaitan dengan kandungan pigmen karaoten dan flavonoid dalam buah.

Total asam pada buah belimbing dengan tingkat ketuaan 40- 70 hari berkisar antara 0,2 – 0,5 %, artinya untuk massa buah belimbing sebesar 100 gram memiliki kandungan asam 0,2-0,5 gram. Perubahan kandungan asam buah selama proses penuaan sangat kecil sekali.

R2 = 0,4278 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50

0,30 0,35 0,40 0,45

g To ta l A s a m (% ) R2 = 0,4531 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60

0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 r To ta l A s a m (%) 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50

0,15 0,18 0,21 0,24 0,27

b To ta l A s a m ( % )

R2 = 0,4583

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60

0,70 0,80 0,90 1,00 1,10 1,20 1,30 1,40

R/G To ta l A s a m ( % )

Gambar 22. Hubungan total asam dengan indeks r, g, b dan r/g


(1)

Simpulan

1. Parameter warna R, G, R/G, hue, a*, u* yang diperoleh dari pengolahan citra berkorelasi secara nyata dengan tingkat ketuaan buah belimbing. Parameter warna B, L*, v* dan b* tidak berkorelasi secara nyata dengan tingkat ketuaan buah belimbing.

2. Parameter warna R/G, hue, a* dan u* yang diperoleh dari pengolahan citra berkorelasi secara nyata dengan nilai TPT dan nilai rasio TPT/total asam, namun tidak berkorelasi secara nyata dengan nilai kadar asam buah belimbing.

3. Kriteria rasa yang digunakan dihubungkan dengan nilai TPT adalah asam (nilai TPT < 8,18), sedang (nilai TPT 8.18 – 9.7) dan manis (nilai TPT > 9.7). Kriteria rasa dihubungkan dengan nilai rasio TPT/total asam adalah asam (nilai rasio/total asam < 28.84), sedang (nilai rasio TPT/total asam 28.84-42.60) dan manis (nilai rasio TPT/total asam > 42.60).

4. Model pemutuan belimbing dengan logika fuzzy berdasarkan karakteristik pengolahan citra dapat menggolongkan buah belimbing berdasarkan rasa asam, sedang dan manis.

5. Model logika fuzzy pemutuan buah belimbing berdasarkan kriteria nilai TPT dan nilai rasio TPT/total asam dengan 2 input R/G dan hue dapat menggolongkan rasa buah dengan tingkat akurasi 79 % dan 84%, sementara dengan input R/G dan a* dapat menggolongkan rasa buah dengan tingkat akurasi 83 % dan 85%, sedangkan dengan input R/G dan u*, dapat menggolongkan rasa buah dengan tingkat akurasi 81 % dan 83%

6. Model logika fuzzy pemutuan buah belimbing berdasarkan kriteria nilai TPT dan nilai rasio TPT/total asam dengan 3 input yaitu R/G, H dan a* dapat menggolongkan rasa buah dengan tingkat akurasi 79 % dan 83%.


(2)

83

Saran

Dalam penelitian ini penentuan bilangan fuzzy dilakukan secara trial and error. Untuk penelitian selanjutnya disarankan penentuan bilangan fuzzy untuk masing-masing gugus fuzzy dapat dioptimasi dengan menggunakan algoritma genetika, sehingga diharapkan dapat meningkatkan tingkat akurasi penggolongan buah berdasarkan rasa asam, sedang dan manis.

Oleh karena parameter warna belimbing hasil pengolahan citra dapat digunakan untuk menduga nilai TPT dan nilai rasio TPT/total asam yang berkaitan dengan rasa, maka disarankan untuk merancang sistem sortasi dengan computer online menggunakan pengolahan citra untuk menggolongkan buah belimbing berdasarkan rasa tersebut.


(3)

Anonim. 2000. Belimbing (Averrhoa carambola). Dalam : Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Pedesaan BAPPENAS. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Anonima. 2002. Rahasia di Balik Kenikmatan Buah dan Sayuran. Dalam : Wahana Informasi Teknologi Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Pertanian.Subdit Teknologi Pengolahan Hasil Holtikultura, Ditjen BPPHP Departemen Pertanian.

Abdullah, M.Z., J. Mohamad-Saleh, F. Syahir, and M. Azemi. 2005. Automated inspection system for colour and shape grading of starfruit (Averrhoa carambola L) using machine vision sensor. Transactions of the Institute of Measurement and Control. 27 (2): 65-87.

Abdullah, M.Z., J. Mohamad-Saleh, F. Syahir, and M. Azemi. 2006. Discrimination and classification of fresh cut starfruits (Averrhoa carambola L.) using automated machine vision system. Journal of Food Engineering. 76 (4): 506-523.

Abbott J.A, R. Lu, B.L. Upchurch, R.L. Stroshine. 1997. Technologies for non destructive quality evaluation of fruits and vegetables. Horticultural Reviews 20: 1-118.

Anjar S.L. 2005. Pemutuan belimbing (Averrhoa carambola L.) berdasarkan tingkat kemanisan dengan metode fuzzy. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Arham, Z., U. Ahmad, Suroso. 2004. Evaluasi mutu jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) dengan pengolahan citra digital dan jaringan syaraf tiruan. Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi. Jakarta.

Baker JE. 1989. Perubahan-perubahan morfologi selama pematangan dan penuaan, dalam Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Editor : Er.B. Pantastico. Terjemahan Kamariyani. Gajah mada University Press. Yogyakarta.

Briones V., J.M. Aguilera. 2005. Image análisis of changes in surface color of chocolate. Food Research International 38: 87-94

Budiastra IW, HK Purwadaria, D. Saputra. 1995. Assesment on physical characteristics of mango cultivar gedong using image processing. Proceedings


(4)

85

The Role of Agricultural Engineering to support Agricultural Industrialization Era. Bogor. 13-14 March, 1995.

Chin LH, ZM Ali, H. Lazan. 1999. Cell wall modifications, degrading enzymes and softening of carambola fruit during ripening. Journal of Experimental Botany 50 (335) : 767-775

Du C.J., D.W. Sun. 2004. Recent developments in the applications of image processing techniques for food quality evaluation. Trends in Food Science and Technology 15: 230-249

Hanbury A. and J. Sera. 2001. Mathematical morphology in the L*a*b* colour space. Technical Report. Centre de morphologie Mathematique. Francis.

Husen HA. 2006. Analisis pendapatan usaha tani dan pemasaran buah belimbing Depok varietas dewa dewi (Averhoa carambola L) (Kasus kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Irmansyah, HK Purwadaria, Suroso, U. Ahmad, W. Budiastra. 2008. Analisis warna

untuk klasifikasi tingkat ketuaan buah belimbing dengan menggunakan algoritma pengolahan citra. Jurnal Biofisika 4 (1): 61-72

Jahns G., H.M. Nielsen, W. Paul. 2001. Measuring image analysis attributes and modelling fuzzy consumer aspect for tomato quality grading. Computer and Electronics in Agriculture 31: 17-29

Kang S.P., A.R. East, F.J. Trujillo. 2008. Colour vision system evaluation of bicolour fruit: A case study with ‘B74’ mango. Postharvest Biology and Technology. 49: 77-85

Kavdir I., D.E. Guyer. 2003. Apple grading using fuzzy logic. Turki Journal Agriculture Forestry. 27(4): 375-382.

Kondo N, U. Ahmad , M. Monta, H. Murase. 2000. Machine vision based quality evaluation of Iyokan orange fruit using neural networks. Computers and Electronics in Agriculture 29(2): 135-147

Leon K., D. Mery, F. Pedreschi. J. Leon. 2006. Color measurement in L*a*b* units from RGB digital images. Food Research International 39: 1084-1091

Lu G. and J. Phillips. 1998. Using perceptually weighted histograms for colour-based image retrieval. Fourth International Conference on Signal Processing, October 12-16, 1998. Beijing


(5)

Mazloumzadeh SM, M. Shamsi, H. Nezamabadipour. 2008. Evaluation of general purpose lifter for the date harvest industry based on a fuzzy inference system. Computer and Electronics in Agriculture 60 : 60-66

Mendoza F., P. Dejmek, J.M. Aguilera. 2006. Calibrated color measurement of agricultural foods using image analysis. Postharvest Biology and Technology 41: 285-295

Mendoza F., P. Dejmek, J.M. Aguilera. 2007. Colour and image texture analysis in classification of commercial potatochips. Food Research International 40: 1146- 1154

Miller W.M. and M. Zude. 2002. Non destructive Brix sensing of Florida grapefruit and honey tangerine. Proc. Fla. State Horticulture. Soc. 115: 56-50.

Miller W.M. and M. Zude. 2004. NIR-Based sensing to measure soluble solid content of Florida citrus. Applied Engineering in Agriculture. 20(3): 321-327

Munawar AA. 2002. Pendugaan kadar gula dan kekerasanbuah belimbing manis(Averhoa carambola) dengan teknologi Near Infrared. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian

Nakano K, K. Abe, T. Aida, D. Yang, C. Ato. 2004. A study on the development of grade judgement system for external quality of cantaloupe melon by fuzzy inference. AFITA/WWCA Joint Congress On IT agriculture. Bangkok. Thailand

Nakano K. 1997. Aplication of neural network to the color grading of apples. Computers and Electronic in Agriculture 18: 105-116

Narain N, PS. Bora, HJ Holschuh, Vasconcelos, MA Das. 2001. Physical and Chemical composition of Carambola fruit (Averhoa carambola L.) at three stages of maturity. Cien Technology Aliment 3(3): 144-148

Pedreschi, F., J. Leon, D. Mery., P. Moyano. 2006. Development of a computer vision system to measure the color of potato chips. Food Research International 39: 1092- 1098

Peirs A., J. Lammertyn. K. Ooms, BM. Nicolai. 2000. Prediction of the optimal picking date of different apple cultivars by means of VIS/NIR spectroscopy. Postharvest Biology and Technology 21: 189-199

Purwadaria H.K. and I.W. Budiastra. 1997. Computer controlled on-line system for mango grading using image processing and NIR measurement. Proceedings


(6)

87

GAU/IFAC 2ND International Symposium on Mathematical Modelling and Simulation in Agricultural and Bio-industries. 7-9 May 1997, Budapest, Hungary

Sandra. 2007. Pengembangan pemutuan buah manggis untuk ekspor secara non destruktif dengan jaringan syaraf tiruan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

Shahin, M.A., B.P. Verma, E.W. Tollner. 2000. Fuzzy logic model for predicting peanut maturity. Transaction of the ASAE. 43 (2): 483-490

Siller C.J., Muy R. D., Báez S,M., García E. R., Araiza L E., 2004. Quality of carambola (Averrhoa carambola L.) fruits harvested at four stages of maturity. Serie Horticultura, Vol. 10 (No. 1): 23-29

Sunarjono H., 2004. Berkebun belimbing manis. Penebar Swadaya. Depok.

Susanto, Suroso, I W Budiastra, H. K. Purwadaria. Classification of mango by artificial neural network based on near infrared diffuse reflectance. Proceedings Biorobotic II, 25-26 November 2000, Sakai , Osaka , Japan.

Thompson AK. 2003. Fruit and Vegetables : Harvesting, Handling and Storage. Blackwell Publishing Ltd. Inggris.

Winarno FG dan M. Aman.1981. Fisiologi Lepas Panen. PT. Sastra Hudaya. Jakarta Yalcin H, S. Tasdemir. 2007. Fuzzy expert system approach for determination of ∝

Linolenic acid content of eggs obtained from hens by dietary flaxseed. Food Science Technology International 13(3): 217-223

Yam, K.L. and SE. Papadakis. 2004. A Simple digital imaging method for measuring and analyzing color of food surfaces. Journal of Food Engineering 61: 137-142 Xu B., D.S. Dale, Y. Huang. 2002. Cotton color classification by fuzzy logic. Textile