Adsorpsi dan desorpsi kromium (VI) pada zeolit alam asal Lampung termodifikasi Heksadesiltrimetilamonium bromida

ABSTRAK
DERY SUPRAYOGI. Adsorpsi dan Desorpsi Kromium(VI) pada Zeolit Alam
asal Lampung Termodifikasi Heksadesiltrimetilamonium Bromida. Dibimbing
oleh ETI ROHAETI dan BETTY MARITA SOEBRATA.
Zeolit merupakan salah satu bahan mineral yang cukup melimpah yang telah
dilaporkan mampu mengadsorpsi kromium. Unsur kromium di alam terdapat
dalam 3 bentuk stabil, yaitu kromium logam, kromium(III), dan kromium(VI). Di
antara ketiga bentuk tersebut, kromium(VI) merupakan yang paling toksik dan
umumnya terdapat dalam bentuk anion, yaitu sebagai kromat (CrO42-) dan
dikromat (Cr2O72-). Oleh karena itu, sangat penting untuk menurunkan kadarnya
di lingkungan. Struktur zeolit yang bermuatan negatif berfungsi sebagai penukar
kation dan sedikit sebagai penukar anion. Oleh karena itu, proses modifikasi zeolit
dengan heksadesiltrimetilamonium bromida (HDTMABr) dimaksudkan untuk
meningkatkan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap anion dalam larutan. Zeolit yang
dimodifikasi HDTMABr pada dosis 50% dari nilai kapasitas tukar kation, telah
menyebabkan kenaikan kapasitas adsorpsi zeolit pada kromium(VI) dari 0.74
menjadi 1.40 mg/g. Adsorpsi dilakukan dengan ragam waktu adsorpsi, pH, dan
konsentrasi awal larutan kromium(VI). Kondisi optimum adsorpsi kromium(VI)
zeolit tanpa modifikasi diperoleh pada waktu adsorpsi 20 jam, dan konsentrasi
awal kromium(VI) 350 ppm pada pH 3.5. Sementara untuk zeolit modifikasi,
diperoleh kondisi optimum adsorpsi kromium(VI) pada waktu adsorpsi 23 jam,

dan konsentrasi awal kromium(VI) 350 ppm pada pH 5. Tipe isoterm adsorpsi
yang dianut oleh kedua adsorben adalah tipe isoterm adsorpsi Freundlich. Jumlah
ion kromium(VI) cukup banyak terdesorpsi pada zeolit tanpa modifikasi dan
zeolit modifikasi dengan menggunakan pelarut akuades sebesar 30.56 dan 0.33%.

ABSTRACT
DERY SUPRAYOGI. Adsorption and Desorption Chromium(VI) on Modified
Lampung’s Zeolite Hexadeciltrimetilamonium Bromide. Supervised by ETI
ROHAETI and BETTY MARITA SOEBRATA.
Zeolite is a mineral that is able to adsorp chromium. Chromium has three
stable forms in nature,i.e. metal chromium, trivalent chromium, and hexavalent
chromium. Among these forms, hexavalent chromium are the most toxic and
generally obtained in its anion form as chromat (CrO42-) and dichromat (Cr2O72-).
Therefore, it is very important to decrease content in environment. The function of
negative zeolite structure were cation exchange and their somewhat for anion
exchange. Therefore, modified zeolite with hexadeciltrimethylammonium
bromide (HDTMABr) was attempted to increase anion adsorption capacity of
zeolite in solution. Modified zeolite with HDTMABr at 50% dosage of its cation
exchange capacity, caused an increase the adsorption capacity of zeolite to
chromium(VI) from 0.74 to 1.40 mg/g. Adsorption was carried out by varying

adsorption time, solution acidity, and initial concentration of chromium(VI). The
optimum adsorption time, solution acidity, and initial concentration of
chromium(VI) for unmodified-zeolite were 20 hours, 3.5, and 350 ppm,
respectively. On the other hand, the optimum adsorption for modified-zeolite were
23 hours, 5, and 350 ppm, respectively. Isotherm type for both of adsorbent
followed Freundlich isotherm. Desorption of chromium(VI) on unmodifiedzeolite and modified-zeolite a lot off obtained using aquadest at level 30.56 and
0.33%, respectively.

PENDAHULUAN
Perkembangan dunia industri banyak
berdampak pada kehidupan manusia, baik
yang positif maupun negatif. Dampak
negatifnya adalah dihasilkannya cemaran
yang mengganggu lingkungan. Cemaran yang
sering menjadi perhatian adalah ion-ion logam
berat. Hal ini disebabkan ion-ion tersebut
bersifat toksik meskipun pada konsentrasi
yang rendah dan umumnya sebagai cemaran
utama bagi lingkungan (Suardana 2008).
Salah satu logam berat yang merupakan

sumber cemaran dan perlu dihilangkan dari
perairan adalah logam kromium (Cr).
Kromium banyak digunakan pada industri
elektroplating, penyamakan kulit, pendingin
air, pulp, cat, fotografi, serta proses
pemurnian bijih dan petroleum.
Unsur kromium di alam terutama terdapat
dalam tiga bentuk stabil, yaitu kromium
logam, kromium(III), dan kromium(VI).
Kromium(III) umumnya merupakan bentuk
yang umum dijumpai di alam dan dalam
material biologis. Kromium(III) memiliki sifat
racun yang rendah dibandingkan dengan
kromium(VI). Kromium(VI) merupakan salah
satu material anorganik pengoksida tinggi.
Kromium(VI) dapat menyebabkan kerusakan
hati, ginjal, saluran pernapasan, dan kanker
paru-paru (Kusnoputranto 1996).
Kromium(VI) umumnya terdapat dalam
bentuk anion, yaitu sebagai kromat (CrO42-)

dan dikromat (Cr2O72-). Kromium(VI)
merupakan bentuk kromium yang paling
toksik daripada bentuk valensi lainnya. Oleh
karena itu, sangat penting untuk menurunkan
kadarnya di lingkungan. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan
batas maksimum kandungan kromium (VI)
dalam air minum sebesar 0.050 mg L-1 dan
National Institute for Occupational Safety and
Health (NIOSH) mengusulkan bahwa tingkat
kandungan kromium harus dikurangi sampai
10-3 mg L-1 (Alias et al. 2008).
Salah satu metode untuk menurunkan
kandungan logam kromium dalam air limbah
adalah perlakuan sorpsi. Metode sorpsi
melibatkan interaksi antara analit dengan
permukaan zat padat (adsorben) (Diantariani
et al. 2008). Adsorben yang sekarang ini
banyak digunakan dalam penanganan limbah
kromium adalah zeolit alam (Suardana 2008).

Zeolit ada 2 macam, yaitu zeolit alam dan
sintetik. Zeolit alam pada umumnya memiliki
kristalinitas yang tidak terlalu tinggi, ukuran
porinya sangat tidak seragam, aktivitas
katalitiknya rendah, dan mengandung banyak

pengotor. Oleh karena itu, perlu diaktivasi dan
dimodifikasi terlebih dahulu sebelum dapat
digunakan sebagai pengemban logam aktif
(Setyawan & Handoko 2003).
Struktur zeolit yang bermuatan negatif
berfungsi sebagai penukar kation dan sedikit
sebagai penukar anion. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan fungsi zeolit agar dapat
menukar anion maka zeolit dapat dimodifikasi
dengan
bahan-bahan
organik
seperti
heksadesiltrimetilamonium (HDTMA), vinil

piridin, dan kitosan (Husaini 2003). Zeolit
yang telah dimodifikasi dengan suatu zat aktif
permukaan mempunyai kapasitas penukaran
anion yang lebih baik. Kation yang berada
pada kerangka zeolit umumnya alkali dan
alkali tanah, dapat dipertukarkan dengan
kation HDTMA sehingga permukaan zeolit
memiliki daya tarik untuk oksianion.
Penelitian ini bertujuan memodifikasi
zeolit alami dengan aktivasi secara
pemgasaman dan heksadesiltrimetilamonium
bromida (HDTMABr) kemudian menguji
kapasitas adsorpsinya pada kromium(VI)
dengan menentukan kondisi optimum adsorpsi
yang meliputi waktu adsorpsi, pH, konsentrasi
awal larutan kromium(VI), menentukan
isoterm adsorpsi kromium(VI) oleh zeolit
alami dan
zeolit termodifikasi serta
menentukan proses desorpsinya. Zeolit alam

asal Lampung yang termodifikasi HDTMABr
dengan aktivasi secara pengasaman ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
nilai
kapasitas adsorpsinya terhadap kromium(VI)
yang lebih baik dibandingkan zeolit tanpa
modifikasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Zeolit
Zeolit pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1756 oleh Freiherr Axel Cronsted,
seorang ahli geologi kebangsaan Swedia yang
menamakannya dari bahasa Yunani yaitu zein
(mendidih) dan lithos (batu) yang berarti batu
mendidih. Zeolit didefinisikan sebagai suatu
aluminosilikat terhidrat yang terdiri atas
satuan-satuan tetrahedral SiO4 dan AlO4

dengan kerangka struktur berongga yang
ditempati oleh molekul-molekul air dan
kation. Kation pada rongga zeolit dapat
bergerak bebas sehingga memungkinkan
pertukaran ion tanpa merusak struktur zeolit
(Ming dan Mumpton 1989). Satuan-satuan
SiO4 dan AlO4 (Gambar 1) saling
berhubungan satu sama lain melalui
penggunaan bersama atom oksigen sebagai

PENDAHULUAN
Perkembangan dunia industri banyak
berdampak pada kehidupan manusia, baik
yang positif maupun negatif. Dampak
negatifnya adalah dihasilkannya cemaran
yang mengganggu lingkungan. Cemaran yang
sering menjadi perhatian adalah ion-ion logam
berat. Hal ini disebabkan ion-ion tersebut
bersifat toksik meskipun pada konsentrasi
yang rendah dan umumnya sebagai cemaran

utama bagi lingkungan (Suardana 2008).
Salah satu logam berat yang merupakan
sumber cemaran dan perlu dihilangkan dari
perairan adalah logam kromium (Cr).
Kromium banyak digunakan pada industri
elektroplating, penyamakan kulit, pendingin
air, pulp, cat, fotografi, serta proses
pemurnian bijih dan petroleum.
Unsur kromium di alam terutama terdapat
dalam tiga bentuk stabil, yaitu kromium
logam, kromium(III), dan kromium(VI).
Kromium(III) umumnya merupakan bentuk
yang umum dijumpai di alam dan dalam
material biologis. Kromium(III) memiliki sifat
racun yang rendah dibandingkan dengan
kromium(VI). Kromium(VI) merupakan salah
satu material anorganik pengoksida tinggi.
Kromium(VI) dapat menyebabkan kerusakan
hati, ginjal, saluran pernapasan, dan kanker
paru-paru (Kusnoputranto 1996).

Kromium(VI) umumnya terdapat dalam
bentuk anion, yaitu sebagai kromat (CrO42-)
dan dikromat (Cr2O72-). Kromium(VI)
merupakan bentuk kromium yang paling
toksik daripada bentuk valensi lainnya. Oleh
karena itu, sangat penting untuk menurunkan
kadarnya di lingkungan. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan
batas maksimum kandungan kromium (VI)
dalam air minum sebesar 0.050 mg L-1 dan
National Institute for Occupational Safety and
Health (NIOSH) mengusulkan bahwa tingkat
kandungan kromium harus dikurangi sampai
10-3 mg L-1 (Alias et al. 2008).
Salah satu metode untuk menurunkan
kandungan logam kromium dalam air limbah
adalah perlakuan sorpsi. Metode sorpsi
melibatkan interaksi antara analit dengan
permukaan zat padat (adsorben) (Diantariani
et al. 2008). Adsorben yang sekarang ini

banyak digunakan dalam penanganan limbah
kromium adalah zeolit alam (Suardana 2008).
Zeolit ada 2 macam, yaitu zeolit alam dan
sintetik. Zeolit alam pada umumnya memiliki
kristalinitas yang tidak terlalu tinggi, ukuran
porinya sangat tidak seragam, aktivitas
katalitiknya rendah, dan mengandung banyak

pengotor. Oleh karena itu, perlu diaktivasi dan
dimodifikasi terlebih dahulu sebelum dapat
digunakan sebagai pengemban logam aktif
(Setyawan & Handoko 2003).
Struktur zeolit yang bermuatan negatif
berfungsi sebagai penukar kation dan sedikit
sebagai penukar anion. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan fungsi zeolit agar dapat
menukar anion maka zeolit dapat dimodifikasi
dengan
bahan-bahan
organik
seperti
heksadesiltrimetilamonium (HDTMA), vinil
piridin, dan kitosan (Husaini 2003). Zeolit
yang telah dimodifikasi dengan suatu zat aktif
permukaan mempunyai kapasitas penukaran
anion yang lebih baik. Kation yang berada
pada kerangka zeolit umumnya alkali dan
alkali tanah, dapat dipertukarkan dengan
kation HDTMA sehingga permukaan zeolit
memiliki daya tarik untuk oksianion.
Penelitian ini bertujuan memodifikasi
zeolit alami dengan aktivasi secara
pemgasaman dan heksadesiltrimetilamonium
bromida (HDTMABr) kemudian menguji
kapasitas adsorpsinya pada kromium(VI)
dengan menentukan kondisi optimum adsorpsi
yang meliputi waktu adsorpsi, pH, konsentrasi
awal larutan kromium(VI), menentukan
isoterm adsorpsi kromium(VI) oleh zeolit
alami dan
zeolit termodifikasi serta
menentukan proses desorpsinya. Zeolit alam
asal Lampung yang termodifikasi HDTMABr
dengan aktivasi secara pengasaman ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
nilai
kapasitas adsorpsinya terhadap kromium(VI)
yang lebih baik dibandingkan zeolit tanpa
modifikasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Zeolit
Zeolit pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1756 oleh Freiherr Axel Cronsted,
seorang ahli geologi kebangsaan Swedia yang
menamakannya dari bahasa Yunani yaitu zein
(mendidih) dan lithos (batu) yang berarti batu
mendidih. Zeolit didefinisikan sebagai suatu
aluminosilikat terhidrat yang terdiri atas
satuan-satuan tetrahedral SiO4 dan AlO4
dengan kerangka struktur berongga yang
ditempati oleh molekul-molekul air dan
kation. Kation pada rongga zeolit dapat
bergerak bebas sehingga memungkinkan
pertukaran ion tanpa merusak struktur zeolit
(Ming dan Mumpton 1989). Satuan-satuan
SiO4 dan AlO4 (Gambar 1) saling
berhubungan satu sama lain melalui
penggunaan bersama atom oksigen sebagai

2

penghubung antara atom Si dan atom Al
membentuk rongga-rongga intrakristalin dan
saluran-saluran yang teratur (Tominaga 1987).

Gambar 1 Struktur dasar zeolit.
Berdasarkan asalnya, zeolit dibedakan
menjadi dua, yaitu zeolit alam dan zeolit
sintetik. Zeolit alam terbentuk selama ribuan
tahun dalam bentuk sedimen yang terjadi
karena pencampuran debu-debu vulkanis
dengan air hujan, air tanah, atau air laut.
Sementara
zeolit
sintetik
dibuat
di
laboratorium. Berbagai jenis zeolit alam telah
ditemukan dan dianalisis rumus kimia unit
selnya. Pada saat ini dikenal sekitar 40 jenis
zeolit alam, meskipun yang mempunyai nilai
komersial hanya sekitar 12 jenis, di antaranya
klinoptilolit, mordenit, dan faujasit(Tabel 1).
Tabel 1

Jenis mineral zeolit yang terdapat
dalam batuan zeolit
Nama
Rumus Kima Unit Sel
Faujasit
Na58(Al58Si134O384).18H2O
Ferrierit
(Na2Mg2)(Al6Si30O72).18H2O
Hulandit
Ca4(Al8Si28O72).24H2O
Klinoptilolit (Na4K4)(Al8Si40O96).24H2O
Mordenit
Na8(Al8Si40O96).24H2O
Natrolit
Na4(Al4Si6O20).4H2O
Scolecit
Ca2(Al4Si6O20).6H2O
Thomsonit
(Na4K4)(Al8Si40O96).24H2O
Wairakit
Ca(Al2Si4O12).2H2O
Yugawaralit Ca(Al4Si6O20).6H2O
Kabasit
Ca2[Al4Si8O24].13H2O
Laumontit
Ca(Al2Si4O12).4H2O

Sumber: Hay (1966)

Zeolit sintetik dihasilkan dari beberapa
perusahaan seperti Union Carbide, ICI, dan
Mobil Oil, serta lebih dari 100 jenis telah
dikenal strukturnya antara lain zeolit A, X, Y,
dan L seperti tertera pada Tabel 2 (Thamzil
2005).
Tabel 2 Jenis-jenis zeolit sintetik
Nama
A
X
Y
L

Rumus Molekul
Na12[(AlO2)12(SiO2)12].27H2O
Na86[(AlO2)86(SiO2)106].264H2O
Na56[(AlO2)56(SiO2)136].250H2O
K9[(AlO2)9(SiO2)27].22H2O

Sumber: Hay (1966)

Zeolit merupakan material berpori yang
penggunanya sangat luas. Penggunaan zeolit
didasarkan atas kemampuannya melakukan
pertukaran ion, adsorpsi, dan katalisator.
Zeolit memiliki bentuk kristal yang sangat
teratur
dengan
rongga
yang
saling
berhubungan
ke
segala
arah
yang
menyebabkan luas permukaan zeolit sangat
besar sehingga sangat baik digunakan sebagai
adsorben (Sutarti & Rachmawati 1994).
Pada struktur zeolit terdapat atom Si yang
bermuatan +4, tetapi dengan adanya atom Al
yang bermuatan +3, yang menggantikan atom
Si, menyebabkan kerangka zeolit kekurangan
muatan positif atau kelebihan muatan negatif.
Selain itu semua atom Al dalam bentuk
tetrahedral sehingga atom Al akan bermuatan
negatif karena berkoordinasi dengan 4 atom
oksigen dan selalu dinetralkan oleh kation
alkali atau alkali tanah seperti K+, Na+, Mg2+ ,
dan Ca2+ untuk mencapai senyawa yang stabil.
Kation-kation ini dalam struktur rongga zeolit
tidak terikat pada posisi yang tetap, tetapi
dapat bergerak bebas dalam rongga zeolit dan
bertindak sebagai penukar ion yang dapat
dipertukarkan dengan kation lainnya. Sifat
tersebut memungkinkan zeolit berfungsi
sebagai penukar ion (Thamzil 2005).
Menurut Suwardi (1998), zeolit asal
Lampung memiliki kandungan mordenit
dengan montmorilonit sebagai mineral
pengotor, kandungan zeolit sebesar 68%, dan
nilai kapasitas tukar kation (KTK) sebesar 127
mek/100g. Aningrum (2006) melaporkan
zeolit asal Lampung memiliki nilai KTK
sebesar 89.62 mek/100g, luas permukaan
37.7768 m2/g, nisbah Si/Al 5.24, dan
kapasitas adsorpsi pada ion kromium(III)
sebesar 3.02 mg Cr/g zeolit. Suwardi (1998)
melaporkan hasil analisis kimia dari contoh
zeolit di daerah Lampung adalah SiO2:
65.00%, Al2O3: 13.28%, Fe2O3: 0.96%, CaO:
2.29%, MnO: 0.01%, MgO: 0.40%, Na2O:
0.94%, K2O: 3.41%, TiO2: 0.29%, kadar air:
6.34%, dan hilang pijar atau loss of ignition
(LOI): 9.08%.
Struktur dasar zeolit mempunyai rumus
sebagai
berikut
(Mx+,My2+)(Al(x+2y)Sin+
2+
berturut-turut
(x+2y)O2n).mH2O. M dan M
adalah kation monovalen dan divalen. Tanda
kurung pertama adalah kation yang dapat
tukar (exchangeable cations) sedangkan yang
kedua adalah kation struktural, disebut
struktural (penyusun dasar) karena bersamasama dengan atom O menyusun kerangka
zeolit, sedangkan m adalah suatu bilangan
tertentu yang khas untuk suatu zeolit (Gottardi
1976).

3

Kerangka aluminasilikat zeolit terdiri atas
unit bangun primer, sekunder, dan polihedral
sebagaimana terlihat pada Gambar 2-4.

Gambar 2

Tetrahedral alumina dan silika
(TO4) pada struktur zeolit.

Proses aktivasi secara fisis dilakukan
dengan pemanasan (kalsinasi) pada suhu 300375 °C selama 3-4 jam (Suwardi 2000).
Pemanasan ini bertujuan menguapkan air yang
terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit
sehingga jumlah pori dan luas permukaan
spesifiknya bertambah. Aktivasi secara kimia
dapat dilakukan dengan penambahan asam
dan
basa.
Penambahan
asam
yaitu
menggunakan larutan asam klorida atau asam
sulfat
yang
bertujuan
membersihkan
permukaan
pori,
membuang
senyawa
pengotor, dan menata kembali letak atom
yang dapat dipertukarkan. Penambahan basa
menggunakan larutan natrium hidroksida
(Suyartono & Husaini 1991).
Adsorpsi

Gambar 3

Unit bangun sekunder struktur
zeolit: Single-4-Ring (S4R),
Double-4-Ring (D4R), dan
Complex 4-1 (T5O10).

Gambar 4 Unit bangun polihedral struktur
zeolit.
Struktur kristal zeolit dengan semua atom
Si dan Al dalam bentuk tetrahedral (TO4)
disebut unit bangun primer. Unit bangun
sekunder terdiri atas unit tetrahedral SiO4 dan
AlO4 yang saling berhubungan dengan
pemakaian bersama atom oksigen membentuk
cincin, seperti cincin tunggal jenis lingkar 4,
6, 8, bentuk kubus, cincin ganda lingkar 4,
prisma heksagonal, dan dua cincin lingkar 6.
Zeolit hanya dapat diidentifikasi berdasarkan
unit bangun sekunder (UBS). Unit bangun
polihedral terdiri atas unit bangun sekunder
(Thamzil 2005).
Aktivasi Zeolit
Aktivasi zeolit adalah proses persiapan
sebelum zeolit digunakan. Aktivasi bertujuan
menghilangkan pengotor yang berupa oksida
logam dari alam yang menutupi rongga,
sehingga kapasitas tukar ion dan kapasitas
adsorpsi menjadi optimal. Peningkatan daya
guna zeolit sebagai adsorben dapat dilakukan
melalui aktivasi secara fisis maupun kimia
(Priatna et al. 1985).

Salah satu metode yang digunakan untuk
menghilangkan zat pencemar dari air limbah
adalah adsorpsi (Diantariani et al. 2008).
Adsorpsi merupakan terjerapnya suatu zat
(molekul atau ion) pada permukaan adsorben.
Zat yang diadsorpsi disebut fase teradsorpsi
(adsorbat) dan zat yang mengadsorpsi disebut
adsorben. Adsorben pada umumnya adalah zat
padat yang berongga, contohnya zeolit. Pada
umumnya untuk dapat mengadsorpsi, zeolit
harus didehidrasi terlebih dahulu dengan
aktivasi, baik secara fisis maupun kimia.
Terdapat 2 metode adsorpsi, yaitu tumpak
(batch) dan lapik tetap (fixed bed). Pada
metode tumpak, larutan contoh dicampur dan
dikocok bersama-sama dengan adsorben
sampai tercapainya kesetimbangan. Adsorpsi
pada
fase
padat-cair
ini
mencapai
kesetimbangan saat adsorben telah jenuh oleh
adsorbat. Zat yang tidak teradsorpsi
dipisahkan dari adsorben dengan cara
penyaringan. Ketika kesetimbangan sudah
tercapai, kemudian dilakukan pengukuran
konsentrasi sisa larutan.
Metode lapik tetap merupakan metode
adsorpsi dalam kolom sebagai lapik dan zat
yang akan diadsorpsi dialirkan ke dalam
kolom tersebut sebagai influen. Larutan yang
keluar dari kolom merupakan sisa zat yang
tidak teradsorpsi yang disebut efluen. Influen
dialirkan melewati lapik hingga padatan lapik
tersebut mendekati jenuh dan pemisahan yang
diinginkan tidak dapat diperoleh lagi. Aliran
tersebut lalu diteruskan ke lapik berikutnya
hingga adsorben yang telah jenuh dapat
digantikan atau diregenerasi. Kemampuan
adsorpsi pada zeolit dapat dinyatakan oleh
kapasitas adsorpsi. Kapasitas adsorpsi adalah

4

jumlah adsorbat tiap gram adsorben (McCabe
2001).
Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi menunjukkan hubungan
kesetimbang antara konsentrasi zat terlarut
yang teradsorpsi pada permukaan padatan dan
jumlah
adsorben
pada
suhu
tetap.
Kesetimbangan terjadi pada saat laju
pengikatan adsorben terhadap adsorbat sama
dengan laju pelepasannya (Muhammad et al.
1998).
Terdapat
beberapa
isoterm
yang
dikembangkan
untuk
menggambarkan
interaksi antara adsorben dan adsorbat. Tipe
isoterm adsorpsi yang umum digunakan untuk
menggambarkan fenomena adsorpsi padat-cair
adalah tipe isoterm Langmuir dan Freundlich
(Alberty & Silbey 1992).
Isoterm Adsorpsi Langmuir
Isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan atas
beberapa asumsi, yaitu (a) adsorpsi hanya
terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), (b)
panas adsorpsi tidak tergantung pada
penutupan permukaan, (c) semua bagian dan
permukaannya bersifat homogen, dan (d)
sejumlah tertentu tapak aktif adsorben yang
membentuk ikatan kovalen atau ion (Oscik
1982). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir
dapat diturunkan secara teoritis dengan
menganggap terjadinya kesetimbangan antara
molekul-molekul zat yang diadsorpsi pada
permukaan adsorben dengan molekul-molekul
zat yang tidak teradsorpsi. Persamaan isoterm
adsorpsi Langmuir dapat dituliskan sebagai
berikut:
C

x/m

=

1

αβ

+

1

C

α

C merupakan konsentrasi kesetimbangan
adsorbat dalam larutan setelah adsorpsi (ppm),
x/m adalah massa adsorbat yang teradsorpsi
per gram adsorben, α,β adalah konstanta yang
berhubungan dengan afinitas adsorpsi (Atkins
1999).
Isoterm Adsorpsi Freundlich
Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich
didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (a)
terbentuknya beberapa lapisan (multilayer)
dari
molekul-molekul
adsorbat
pada
permukaan adsorben, (b) bagian tapak aktif
pada permukaan adsorben bersifat heterogen,
dan (c) hanya melibatkan gaya Van der Waals
sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu
bagian permukaan ke bagian permukaan lain
dari adsorben. Persamaan isoterm adsorpsi
Freundlich dapat dituliskan sebagai berikut:

Log (

x

) = log k +

m

1

log C

n

C merupakan konsentrasi kesetimbangan
adsorbat dalam larutan setelah adsorpsi (ppm),
x/m adalah massa adsorbat yang teradsorpsi
per gram adsorben, k,n adalah konstanta yang
berhubungan dengan afinitas adsorpsi (Atkins
1999).
Isoterm Freundlich menganggap bahwa
pada semua tapak permukaan adsorben akan
terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang
diberikan. Isoterm Freundlich tidak mampu
memperkirakan adanya tapak-tapak pada
permukaan yang mampu mencegah adsorpsi
pada saat kesetimbangan tercapai, dan hanya
ada beberapa tapak aktif saja yang mampu
mengadsorpsi molekul terlarut (Jason 2004).
Kromium
Kromium merupakan salah satu logam
berat unsur transisi golongan VIB dengan
sifat-sifat antara lain mempunyai nomor atom
24, massa atom 51.996 sma, massa jenis 7.9
g/cm3, titik didih 2658 °C, dan titik leleh 1875
°C. Kromium dapat membentuk 3 macam
senyawa yang berasal dari proses oksidasi
kromium oksida (CrO), yaitu kromium
divalen (+2), trivalen (+3), dan heksavalen
(+6). Bentuk kromium heksavalen adalah
CrO42- dan Cr2O72-, sedangkan dalam bentuk
kromium trivalen adalah Cr3+, [Cr(OH)]2+,
[Cr(OH)2]+, dan [Cr(OH)4]+ (Cotton &
Wilkinson 1989). Kromium mempunyai
konfigurasi elektron [Ar] 3d54s1. Jika dalam
keadaan murni melarut dengan lambat sekali
dalam asam encer membentuk garam
kromium(II) (Vogel 1990).
Kromium sebagai logam berat, termasuk
logam yang mempunyai daya racun tinggi.
Daya racun yang dimiliki oleh kromium
ditentukan oleh valensi ionnya. Kromium(VI)
merupakan bentuk yang paling banyak
dipelajari sifat racunnya, dikarenakan
kromium(VI) merupakan unsur toksik yang
sangat kuat dan dapat mengakibatkan
terjadinya keracunan akut dan keracunan
kronis
(Soemirat
2002).
Pemasukan
kromium(VI) ke dalam tubuh, walaupun
dalam jumlah yang sangat kecil dapat
menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan.
Akumulasi kromium(VI) dalam tubuh dapat
menyebabkan kanker hati dan ginjal (Jugade
& Joshi 2006).
Metode umum yang digunakan untuk
pengukuran kadar kromium total dan
heksavalen adalah spektrofotometri sinar

5

tampak. Metode ini didasarkan pada
pengukuran absorban larutan berwarna ungu
kemerahan yang menunjukkan terjadinya
kompleks
antara
1,5-difenilkarbazida
(DPC)]
dengan
[(C6H5NHNH)2CO)
kromium(VI) (Gambar 5). Reaksi kromium
dengan DPC sangat sensitif, absorpsivitas
molar kira-kira 40.000 L mol-1 cm-1 pada 530
atau 540 nm (Clesceri et al. 2005).
2+ Cr 2O7

Gambar 5 Reaksi antara DPC dan kromium
(VI) (Clesceri et al. 2005).

pengotor. Mineral pengotor kuarsa dan
feldspar
menyebabkan
KTK
rendah,
sedangkan
mineral
montmorilonit
menyebabkan KTK tinggi. Terdapat hubungan
yang erat antara KTK dan kandungan zeolit,
semakin tinggi kandungan zeolit, memiliki
nilai KTK semakin tinggi. Oleh karena itu,
besarnya nilai KTK pada contoh zeolit dapat
digunakan untuk menduga kandungan mineral
zeolit dan kualitas zeolit (Suwardi 1998).
Heksadesiltrimetilamonium
Heksadesiltrimetilamonium
(HDTMA)
adalah suatu tetra-substitusi kation amonium
dengan pengikatan nitrogen bervalesi lima
secara permanen dan rantai lurus panjang alkil
(C16)
yang
memberikan
tingkat
hidrofobisitas. HDTMA biasanya berada
dalam bentuk garamnya seperti HDTMA
bromida dan HDTMA klorida. HDTMABr
memiliki rumus molekul, yaitu C19H42NBr
dengan rumus bangun tertera pada Gambar 6
(Husaini 2003).

Kapasitas Tukar Kation
Kemampuan pertukaran ion zeolit
merupakan
parameter
utama
dalam
menentukan kualitas zeolit. Kemampuan ini
dinyatakan sebagai nilai kapasitas tukar kation
(KTK). KTK adalah jumlah milligram
ekuivalen (mek) kation yang dapat
dipertukarkan maksimum oleh 100 g bahan
penukar ion dalam kondisi kesetimbangan.
Nilai KTK zeolit bergantung pada derajat
substitusi
jumlah atom Al3+ atau Fe3+
4+
terhadap Si
yang menghasilkan muatan
negatif pada kerangka zeolit. Semakin besar
derajat substitusi menunjukkan semakin
banyak kation alkali atau alkali tanah yang
diperlukan untuk menetralkan muatan negatif
pada kerangka sehingga nilai KTK makin
besar (Ming dan Mumpton 1989). Selain itu,
nilai KTK juga bergantung pada suhu,
konsentrasi dari kation dalam larutan, jenis
anion yang tergabung dengan kation, pelarut,
ukuran kation baik dalam bentuk hidrat dan
anhidrat, serta muatan kation (Nizam 2007).
Zeolit mempunyai KTK yang sangat
tinggi, sekitar 80-200 mek/100g. Zeolit yang
mempunyai KTK kurang dari 80 mek/100g
menunjukkan kandungan zeolit murninya
sangat rendah, sehingga mutunya juga sangat
rendah (Suwardi 2000). Nilai KTK yang
rendah disebabkan oleh rendahnya kandungan
zeolit pada contoh dan pengaruh mineral

Gambar 6 Struktur HDTMA bromida.
Menurut Li (1998) HDTMA merupakan
kation organik yang dapat dipertukarkan
dengan kation anorganik yang berada dalam
kerangka zeolit. Pertukaran kation anorganik
dengan kation organik pada kerangka zeolit
dapat meningkatkan daya adsorpsi zeolit
terhadap anion. Menurut Nizam (2007)
HDTMA merupakan garam amonium
kuartener yang kationnya dapat dipertukarkan
dengan kation lain yang berada pada struktur
zeolit, yang memungkinkan peningkatan
adsorpsi zeolit pada ion dikromat.
Zeolit memiliki muatan negatif dalam
struktur jaringan yang merupakan hasil dari
substitusi isomorfik kation dalam jaringan
kisi-kisi kristal. Karena adanya muatan negatif
ini maka zeolit memiliki kemampuan yang
kecil atau bahkan tidak memiliki daya jerap
pada anion. Zeolit yang termodifikasi dengan
amina kuartener seperti HDTMA, daya
adsorpsinya terhadap anion dapat meningkat
khususnya untuk mengadsorpsi oksianion
anorganik dalam larutan encer. Amina
kuartener pada permukaan zeolit dapat
menetralisir muatan negatif. Oleh karena itu,
perlakuan proses pelapisan permukaan zeolit
dengan amina kuartener tidak menurunkan

6

daya jerap zeolit yang secara alamiah memang
tinggi (Husaini 2003).
HDTMA terdiri atas gugus amina yang
merupakan gugus kepala hidrofilik dan
hidrokarbon yang merupakan gugus ekor
hidrofobik. Interaksi antar ekor hidrokarbon
pada HDTMA membentuk 2 lapisan (bilayer).
Lapisan pertama gugus amina yang bermuatan
positif melekat pada permukaan eksternal dari
zeolit yang bermuatan negatif sehingga
berperan sebagai penukar kation dalam
kerangka zeolit. Lapisan kedua, dengan ikatan
hasil interaksi antara gugus hidrofobik,
muatan positif dari gugus amina yang
mengarah keluar untuk mengadsorpsi ion
bermuatan negatif sehingga berperan sebagai
penukar anion. Pembentukan dua lapisan
(bilayer) HDTMA pada permukaan zeolit
dapat disajikan seperti pada Gambar 7 (Nizam
NA 2007).

zeolit
termodifikasi,
serta
desorpsi
kromium(VI) dari zeolit (Lampiran 1).
Preparasi Zeolit
Zeolit dicuci dengan akuades, digiling
dengan mortar, lalu diayak sehingga diperoleh
zeolit dengan ukuran butir lolos ayakan 60
mesh. Kemudian dilakukan pemanasan dalam
oven bersuhu 300 °C selama 3 jam.
Aktivasi zeolit
Aktivasi zeolit dilakukan secara kimia,
yaitu dengan cara pengasaman. Sebanyak 100
gram zeolit siap pakai, dilarutkan ke dalam
250 mL HCl 4.0 M. Campuran diaduk dengan
pengaduk magnet selama 60 menit. Kemudian
dibilas dengan akuades sampai pH netral dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 300 °C
selama 3 jam.
Pembuatan Zeolit Modifikasi HDTMABr

HDTMA
Bilayer

Permukaan

Gambar 7 Pembentukan dua lapisan (bilayer)
HDTMA pada zeolit.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
Zeolit alam asal Lampung.
Alat-alat yang digunakan antara lain
perangkat
spektrofotometer
UV-Vis
Shimadzu.
Metode
Penelitian ini terdiri atas 3 tahap. Tahap
pertama mencakup preparasi zeolit, aktivasi
zeolit alam dengan pengasaman, penentuan
KTK dan pembuatan zeolit modifikasi
HDTMABr. Penentuan nilai KTK dilakukan
di Laboratorium Mineralogi, Departemen
Manajemen Sumber Daya Lahan, Institut
Pertanian Bogor. Tahap kedua adalah
penentuan
kondisi
optimum
adsorpsi
kromium(VI) oleh zeolit meliputi waktu
adsorpsi, pH, dan konsentrasi awal larutan
kromium(VI). Tahap ketiga adalah penentuan
isoterm adsorpsi zeolit tanpa modifikasi dan

Sebanyak 100 g zeolit dikocok dalam 180
mL larutan HDTMABr dosis 50, 100, dan
200% dari nilai KTK. Selanjutnya dikocok
selama 8 jam, didekantasi, disaring, dibilas
dengan akuades sampai pH netral, dan residu
dikeringudarakan (Li 1998; Husaini 2003).
Penentuan Kapasitas Tukar Kation
Sebanyak 2.5 g zeolit dimasukkan ke
dalam tabung perkolasi yang telah dilapisi
berturut-turut dengan filter pulp dan pasir
terlebih dahulu dengan susunan (1) bagian
bawah adalah filter pulp untuk menutup
lubang pada dasar tabung dan diatasnya 2.5 g
pasir, (2) bagian tengah diisi 2.5 g zeolit, dan
(3) bagian atas ditutup dengan 2.5 g pasir.
Ketebalan setiap lapisan pada sekeliling
tabung diupayakan sama. Selanjutnya
diperkolasi dengan amonium asetat pH 7
sebanyak 2 × 25 mL dengan selang waktu 30
menit. Setelah itu tabung perkolasi yang
masih berisi contoh diperkolasi dengan 100
mL etanol 96% untuk menghilangkan
kelebihan amonium dan perkolat ini dibuang.
Sisa etanol dalam tabung perkolasi dibuang
dengan pompa isap dari bawah tabung
perkolasi atau pompa tekan dari atas tabung
perkolasi. Selanjutnya zeolit diperkolasi
dengan NaCl 10% sebanyak 50 mL, filtrat
ditampung dalam labu takar 50 mL dan
diimpitkan dengan larutan NaCl 10%.
Setelah itu, filtrat dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam labu didih. Akuades
digunakan untuk membilas labu takar.
Selanjutnya ditambahkan sedikit batu didih

6

daya jerap zeolit yang secara alamiah memang
tinggi (Husaini 2003).
HDTMA terdiri atas gugus amina yang
merupakan gugus kepala hidrofilik dan
hidrokarbon yang merupakan gugus ekor
hidrofobik. Interaksi antar ekor hidrokarbon
pada HDTMA membentuk 2 lapisan (bilayer).
Lapisan pertama gugus amina yang bermuatan
positif melekat pada permukaan eksternal dari
zeolit yang bermuatan negatif sehingga
berperan sebagai penukar kation dalam
kerangka zeolit. Lapisan kedua, dengan ikatan
hasil interaksi antara gugus hidrofobik,
muatan positif dari gugus amina yang
mengarah keluar untuk mengadsorpsi ion
bermuatan negatif sehingga berperan sebagai
penukar anion. Pembentukan dua lapisan
(bilayer) HDTMA pada permukaan zeolit
dapat disajikan seperti pada Gambar 7 (Nizam
NA 2007).

zeolit
termodifikasi,
serta
desorpsi
kromium(VI) dari zeolit (Lampiran 1).
Preparasi Zeolit
Zeolit dicuci dengan akuades, digiling
dengan mortar, lalu diayak sehingga diperoleh
zeolit dengan ukuran butir lolos ayakan 60
mesh. Kemudian dilakukan pemanasan dalam
oven bersuhu 300 °C selama 3 jam.
Aktivasi zeolit
Aktivasi zeolit dilakukan secara kimia,
yaitu dengan cara pengasaman. Sebanyak 100
gram zeolit siap pakai, dilarutkan ke dalam
250 mL HCl 4.0 M. Campuran diaduk dengan
pengaduk magnet selama 60 menit. Kemudian
dibilas dengan akuades sampai pH netral dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 300 °C
selama 3 jam.
Pembuatan Zeolit Modifikasi HDTMABr

HDTMA
Bilayer

Permukaan

Gambar 7 Pembentukan dua lapisan (bilayer)
HDTMA pada zeolit.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
Zeolit alam asal Lampung.
Alat-alat yang digunakan antara lain
perangkat
spektrofotometer
UV-Vis
Shimadzu.
Metode
Penelitian ini terdiri atas 3 tahap. Tahap
pertama mencakup preparasi zeolit, aktivasi
zeolit alam dengan pengasaman, penentuan
KTK dan pembuatan zeolit modifikasi
HDTMABr. Penentuan nilai KTK dilakukan
di Laboratorium Mineralogi, Departemen
Manajemen Sumber Daya Lahan, Institut
Pertanian Bogor. Tahap kedua adalah
penentuan
kondisi
optimum
adsorpsi
kromium(VI) oleh zeolit meliputi waktu
adsorpsi, pH, dan konsentrasi awal larutan
kromium(VI). Tahap ketiga adalah penentuan
isoterm adsorpsi zeolit tanpa modifikasi dan

Sebanyak 100 g zeolit dikocok dalam 180
mL larutan HDTMABr dosis 50, 100, dan
200% dari nilai KTK. Selanjutnya dikocok
selama 8 jam, didekantasi, disaring, dibilas
dengan akuades sampai pH netral, dan residu
dikeringudarakan (Li 1998; Husaini 2003).
Penentuan Kapasitas Tukar Kation
Sebanyak 2.5 g zeolit dimasukkan ke
dalam tabung perkolasi yang telah dilapisi
berturut-turut dengan filter pulp dan pasir
terlebih dahulu dengan susunan (1) bagian
bawah adalah filter pulp untuk menutup
lubang pada dasar tabung dan diatasnya 2.5 g
pasir, (2) bagian tengah diisi 2.5 g zeolit, dan
(3) bagian atas ditutup dengan 2.5 g pasir.
Ketebalan setiap lapisan pada sekeliling
tabung diupayakan sama. Selanjutnya
diperkolasi dengan amonium asetat pH 7
sebanyak 2 × 25 mL dengan selang waktu 30
menit. Setelah itu tabung perkolasi yang
masih berisi contoh diperkolasi dengan 100
mL etanol 96% untuk menghilangkan
kelebihan amonium dan perkolat ini dibuang.
Sisa etanol dalam tabung perkolasi dibuang
dengan pompa isap dari bawah tabung
perkolasi atau pompa tekan dari atas tabung
perkolasi. Selanjutnya zeolit diperkolasi
dengan NaCl 10% sebanyak 50 mL, filtrat
ditampung dalam labu takar 50 mL dan
diimpitkan dengan larutan NaCl 10%.
Setelah itu, filtrat dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam labu didih. Akuades
digunakan untuk membilas labu takar.
Selanjutnya ditambahkan sedikit batu didih

7

dan akuades sampai setengah volume labu
didih. Sebanyak 10 mL NaOH 40%
ditambahkan ke dalam labu didih yang berisi
contoh dan secepatnya ditutup. Disiapkan pula
penampung untuk NH3 yang dibebaskan, yaitu
Erlenmeyer yang berisi 10 mL H3BO3 1%
yang ditambahkan 3 tetes indikator Conway
(berwarna merah) dan dihubungkan dengan
alat destilasi. Destilasi dihentikan jika volume
destilat yang ditampung mencapai 75 mL
(berwarna hijau). Destilat dititrasi dengan HCl
0,05 N hingga warna merah muda. Dilakukan
pula pengujian terhadap blanko. Volume hasil
titrasi contoh dan blanko dicatat (Peraturan
Menteri
Pertanian
No.02/Pert/HK.060/
2/2006, diacu dalam Al-Jabri 2008). KTK
zeolit dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut:
(Vc − Vb) × N HCl
× 100
KTK (mek/100 g) =
gram zeolit
Keterangan:
= volume HCl yang dibutuhkan
pada titrasi blanko (mL)
Vc
= volume HCl yang dibutuhkan
pada titrasi contoh (mL)
N HCl = normalitas HCl
Vb

Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi
Sebanyak 2.5 g zeolit tanpa modifikasi dan
zeolit modifikasi dimasukkan kedalam 10 mL
larutan
kromium(VI)
dengan
ragam
konsentrasi awal 150, 250, dan 350 ppm serta
pH 2, 3.5, dan 5, kemudian larutan dikocok
dengan shaker. Adsorpsi dilakukan dengan
variasi waktu adsorpsi 20, 23, dan 26 jam.
Setelah itu, campuran disaring, dan filtrat
dianalisis kadar kromium(VI)-nya dengan
spektrofotometer UV-Vis. Penentuan kondisi
optimum adsorpsi dilakukan menggunakan
metode response surface dengan rancangan
acak lengkap faktorial. Kondisi yang
digunakan sebagai faktor adalah waktu
adsorpsi, pH, dan konsentrasi awal larutan
kromium(VI) sedangkan responnya kapasitas
adsorpsi (Q). Kapasitas adsorpsi dihitung
dengan cara:
Q=

V(Co − C)
m

Keterangan:
Q = kapasitas adsorpsi (mg/g)
V = volume larutan (L)
Co = konsentrasi Cr (VI) awal (ppm)
C = konsentrasi Cr (VI) sisa (ppm)
m = massa zeolit (g)

Penentuan Isoterm Adsorpsi
Sebanyak 2.5 g zeolit tanpa modifikasi dan
zeolit modifikasi dimasukkan ke dalam 10 mL
larutan
kromium(VI)
dengan
variasi
konsentrasi 150, 200, 250, 300, dan 350 ppm
pada kondisi pH optimum dan dikocok
dengan shaker selama waktu optimum.
Campuran disaring, lalu filtrat dianalisis kadar
kromium(VI)-nya dengan spektrofotometer
UV-Vis. Kemudian dibuat persamaan regresi
linier menggunakan persamaan Langmuir dan
Freundlich untuk menentukan tipe isoterm
yang sesuai (Atkins 1999).
Analisis Kromium
Analisis kromium dilakukan dengan cara
memasukkan sejumlah larutan kromium(VI)
yang akan diukur kedalam labu takar 50 mL.
Kemudian ditambahkan 5 tetes H2SO4 0.2 N
dan 5 tetes H3PO4 85% (sampai pH 1.2),
diencerkan dengan air bebas ion sampai tanda
tera dan dikocok sampai bercampur merata,
ditambahkan 1.0 mL larutan difenilkarbazida
dan dikocok. Setelah didiamkan selama 5-10
menit larutan diukur dengan spektrofotometer
UV-Vis pada λ 540 nm (Clesceri et al. 2005).
Pembuatan kurva standar diawali dengan
menyiapkan larutan standar kromium(VI)
berbagai konsentrasi, yaitu 0.1, 0.2, 0.4, 0.6,
0.8, dan 1.0 ppm, lalu masing-masing dipipet
dan dimasukkan kedalam tabung reaksi.
Blanko dibuat dengan menggantikan larutan
standar oleh air bebas ion dalam jumlah yang
sama. Selanjutnya larutan-larutan ini diukur
serapannya dan dibuat kurva standar
hubungan antara konsentrasi kromium(VI)
dan serapan untuk menentukan konsentrasi
kromium contoh.
Desorpsi
Sebanyak 2.5 g zeolit tanpa modifikasi dan
zeolit modifikasi dimasukkan kedalam 3 buah
Erlenmeyer dan direndam dalam 10 mL
larutan kromium(VI) dengan konsentrasi dan
pH optimum yang diperoleh, dikocok selama
waktu adsorpsi optimumnya. Selanjutnya
campuran disaring dan filtrat dianalisis kadar
kromium(VI)-nya.
Residunya
dimasukkan
ke
dalam
Erlenmeyer dan direndam dengan akuades
sebanyak 10 mL pada Erlenmeyer pertama,
HCl 1 M sebanyak 10 mL pada Erlenmeyer
kedua, dan Na2EDTA 0.05 M sebanyak 10
mL pada Erlenmeyer ketiga. Campuran
kemudian dikocok selama 30 menit untuk
Erlenmeyer partama, 6 jam untuk Erlenmeyer

8

kedua, dan 14 jam untuk Erlenmeyer ketiga.
Setelah itu larutan disaring kembali, dan filtrat
dianalisis kadar kromium(VI)-nya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kapasitas Tukar Kation
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan
salah satu sifat kimia terpenting zeolit dalam
hubungannya sebagai bahan adsorpsi. KTK
dapat digunakan sebagai parameter kualitas
zeolit. KTK merupakan ukuran jumlah kation
yang dapat dipertukarkan. Kation-kation yang
dapat dipertukarkan dari zeolit adalah kation
yang tidak terikat secara kuat di dalam
kerangka tetrahedral zeolit sehingga dengan
mudah
akan
dipertukarkan
melalui
penggantian oleh H+ pada pencucian asam.
Pengubahan menjadi bentuk H-zeolit hanya
merupakan proses pertukaran ion tanpa
mengubah kerangka silika-alumina zeolit.
Pencucian oleh asam selain menukarkan
kation juga menghilangkan kation pengotor
yang menutupi rongga zeolit seperti oksidaoksida logam termasuk silika dan alumina
bebas.
Kemampuan pertukaran zeolit merupakan
fungsi dari tingkat substitusi Al terhadap Si
pada struktur bangun zeolit. Hal ini
dikarenakan semakin tinggi tingkat substitusi
Al terhadap Si maka muatan negatif yang
dihasilkan pada kerangka zeolit semakin
banyak. Semakin banyak muatan negatif maka
semakin banyak pula jumlah kation NH4+
yang diperlukan untuk menetralkannya. Oleh
karena itu, nilai kapasitas tukar kation akan
meningkat. Hal ini dapat dilihat nilai KTK
zeolit teraktivasi lebih besar nilainya
dibandingkan dengan zeolit awal sebelum
diaktivasi (Tabel 3). Hasil ini mendukung
simpulan Haryati (2007) bahwa aktivasi oleh
asam dapat meningkatkan KTK.
Tabel 3 Data kapasitas tukar kation
KTK (mek/
Sampel
100g)
Zeolit awal
56.36
Zeolit teraktivasi
61.62
50 % KTK
57.14
Zeolit100 % KTK
57.67
HDTMABr
200 % KTK
58.89
Nilai KTK zeolit teraktivasi berada
dibawah nilai KTK kriteria zeolit dengan
kualitas tinggi (80-200 mek/100g). Hal ini
dimungkinkan
terjadinya
dealuminasi

sebagian Al pada kerangka klinoptilolit akibat
pengasaman, sehingga tingkat substitusi Al
terhadap Si turun dan rasio Si/Al mengalami
peningkatan. Dengan demikian, muatan
negatif zeolit menjadi lebih sedikit dan
banyaknya kation yang dapat dipertukarkan
menjadi berkurang.
Hasil pengujian nilai KTK zeolit
termodifikasi pada berbagai komposisi
HDTAMBr dengan dosis 50%, 100%, dan
200% nilai KTK berturut-turut sebesar 57.14;
57.67; dan 58.89 mek/100g. Semakin besar
dosis HDTMABr yang digunakan untuk
memodifikasi zeolit, hanya menurunkan
sedikit nilai KTK setelah aktivasi. Hal ini
dikarenakan, ukuran molekul HDTMABr
lebih besar daripada ukuran pori dari
permukaan zeolit. Sehingga pertukaran kation
HDTMABr dengan kation yang terdapat pada
zeolit hanya sebatas dengan kation pada
permukaan luar dari zeolit. Karena besarnya
ukuran molekul HDTMABr dibandingkan
ukuran pori zeolit, sehingga kation yang
berada dalam kerangka zeolit tidak dapat
dipertukarkan (Nizam 2007).
Selain itu, dosis HDTMABr yang
ditambahkan ke dalam zeolit berpengaruh
pada mutu hasil pelapisan HDTMABr pada
permukaan zeolit. Dosis HDTMABr yang
tinggi dapat menyebabkan jumlah HDTMABr
yang ditambahkan jumlahnya berlebihan yang
menyebabkan terjadi lapisan ganda (bilayer)
pada permukaan zeolit yang dapat menutup
seluruh pemukaan luar zeolit, karena
permukaan luar zeolit lebih kecil daripada
molekul HDTMABr. Menurut Huasini (2003)
hal ini justru tidak dikehendaki, karena
permukaan zeolit yang terbentuk tidak mampu
mengadsorpsi anion.
Perlakuan
dosis
HDTMABr
yang
ditambahkan pada zeolit dalam tahap
penelitian
selanjutnya
adalah
dosis
HDTMABr yang dapat menurunkan nilai
KTK paling besar dari nilai KTK zeolit
setelah diaktivasi. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini dosis HDTMABr yang
ditambahkan pada zeolit sebesar 50% nilai
KTK. Hal ini dikarenakan zeolit termodifikasi
HDTMABr yang memiliki nilai KTK kecil
berarti zeolit tersebut memiliki kemampuan
untuk mengadsorpsi anion lebih besar
daripada kation. Karena ion kromium(VI)
dalam penelitian ini dalam bentuk anion.

8

kedua, dan 14 jam untuk Erlenmeyer ketiga.
Setelah itu larutan disaring kembali, dan filtrat
dianalisis kadar kromium(VI)-nya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kapasitas Tukar Kation
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan
salah satu sifat kimia terpenting zeolit dalam
hubungannya sebagai bahan adsorpsi. KTK
dapat digunakan sebagai parameter kualitas
zeolit. KTK merupakan ukuran jumlah kation
yang dapat dipertukarkan. Kation-kation yang
dapat dipertukarkan dari zeolit adalah kation
yang tidak terikat secara kuat di dalam
kerangka tetrahedral zeolit sehingga dengan
mudah
akan
dipertukarkan
melalui
penggantian oleh H+ pada pencucian asam.
Pengubahan menjadi bentuk H-zeolit hanya
merupakan proses pertukaran ion tanpa
mengubah kerangka silika-alumina zeolit.
Pencucian oleh asam selain menukarkan
kation juga menghilangkan kation pengotor
yang menutupi rongga zeolit seperti oksidaoksida logam termasuk silika dan alumina
bebas.
Kemampuan pertukaran zeolit merupakan
fungsi dari tingkat substitusi Al terhadap Si
pada struktur bangun zeolit. Hal ini
dikarenakan semakin tinggi tingkat substitusi
Al terhadap Si maka muatan negatif yang
dihasilkan pada kerangka zeolit semakin
banyak. Semakin banyak muatan negatif maka
semakin banyak pula jumlah kation NH4+
yang diperlukan untuk menetralkannya. Oleh
karena itu, nilai kapasitas tukar kation akan
meningkat. Hal ini dapat dilihat nilai KTK
zeolit teraktivasi lebih besar nilainya
dibandingkan dengan zeolit awal sebelum
diaktivasi (Tabel 3). Hasil ini mendukung
simpulan Haryati (2007) bahwa aktivasi oleh
asam dapat meningkatkan KTK.
Tabel 3 Data kapasitas tukar kation
KTK (mek/
Sampel
100g)
Zeolit awal
56.36
Zeolit teraktivasi
61.62
50 % KTK
57.14
Zeolit100 % KTK
57.67
HDTMABr
200 % KTK
58.89
Nilai KTK zeolit teraktivasi berada
dibawah nilai KTK kriteria zeolit dengan
kualitas tinggi (80-200 mek/100g). Hal ini
dimungkinkan
terjadinya
dealuminasi

sebagian Al pada kerangka klinoptilolit akibat
pengasaman, sehingga tingkat substitusi Al
terhadap Si turun dan rasio Si/Al mengalami
peningkatan. Dengan demikian, muatan
negatif zeolit menjadi lebih sedikit dan
banyaknya kation yang dapat dipertukarkan
menjadi berkurang.
Hasil pengujian nilai KTK zeolit
termodifikasi pada berbagai komposisi
HDTAMBr dengan dosis 50%, 100%, dan
200% nilai KTK berturut-turut sebesar 57.14;
57.67; dan 58.89 mek/100g. Semakin besar
dosis HDTMABr yang digunakan untuk
memodifikasi zeolit, hanya menurunkan
sedikit nilai KTK setelah aktivasi. Hal ini
dikarenakan, ukuran molekul HDTMABr
lebih besar daripada ukuran pori dari
permukaan zeolit. Sehingga pertukaran kation
HDTMABr dengan kation yang terdapat pada
zeolit hanya sebatas dengan kation pada
permukaan luar dari zeolit. Karena besarnya
ukuran molekul HDTMABr dibandingkan
ukuran pori zeolit, sehingga kation yang
berada dalam kerangka zeolit tidak dapat
dipertukarkan (Nizam 2007).
Selain itu, dosis HDTMABr yang
ditambahkan ke dalam zeolit berpengaruh
pada mutu hasil pelapisan HDTMABr pada
permukaan zeolit. Dosis HDTMABr yang
tinggi dapat menyebabkan jumlah HDTMABr
yang ditambahkan jumlahnya berlebihan yang
menyebabkan terjadi lapisan ganda (bilayer)
pada permukaan zeolit yang dapat menutup
seluruh pemukaan luar zeolit, karena
permukaan luar zeolit lebih kecil daripada
molekul HDTMABr. Menurut Huasini (2003)
hal ini justru tidak dikehendaki, karena
permukaan zeolit yang terbentuk tidak mampu
mengadsorpsi anion.
Perlakuan
dosis
HDTMABr
yang
ditambahkan pada zeolit dalam tahap
penelitian
selanjutnya
adalah
dosis
HDTMABr yang dapat menurunkan nilai
KTK paling besar dari nilai KTK zeolit
setelah diaktivasi. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini dosis HDTMABr yang
ditambahkan pada zeolit sebesar 50% nilai
KTK. Hal ini dikarenakan zeolit termodifikasi
HDTMABr yang memiliki nilai KTK kecil
berarti zeolit tersebut memiliki kemampuan
untuk mengadsorpsi anion lebih besar
daripada kation. Karena ion kromium(VI)
dalam penelitian ini dalam bentuk anion.

9

Kondisi Optimum Adsorpsi
Zeolit Tanpa Modifikasi
Penentuan kondisi optimum adsorpsi zeolit
tanpa modifikasi (ZTM) dilakukan dengan
mengukur 3 parameter, yaitu waktu adsorpsi,
konsentrasi
awal,
dan
pH
larutan
kromium(VI). Hasil penelitian menunjukan
bahwa
kondisi
optimum
adsorpsi
kromium(VI) oleh zeolit tanpa modifikasi
diperoleh pada waktu adsorpsi 20 jam,
konsentrasi awal larutan kromium(VI) 350
ppm pada pH 3.5 (Tabel 4).
Tabel 4

Kondisi optimum adsorpsi zeolit
tanpa modifikasi
Kondisi
Q
Parameter
Optimum
(mg/g)

Waktu
Konsentrasi
pH

20 jam
350 ppm

0.74

3.5

Pada kondisi optimum diperoleh nilai
kapasitas adsorpsi (Q) sebesar 0.74 mg/g.
Artinya, setiap 1 g zeolit mengadsorpsi 0.74
mg kromium(VI). Data selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 3 dan 4.
Waktu optimum adsorpsi yang diperoleh
adalah 20 jam. Waktu optimum merupakan
waktu terjadi keadaan kesetimbangan antara
laju adsorpsi dan desorpsi (Alias et al. 2008).
Setelah melewati 20 jam, kapasitas adsorpsi
mengalami penurunan (Lampiran 5). Hal ini
menunjukkan pada waktu pengocokkan 20
jam, kontak antara zeolit sebagai adsorben dan
larutan kromium(VI) sebagai adsorbat telah
mengalami
kesetimbangan.
Akibatnya
permukaan zeolit seluruhnya mengadsorpsi
ion kromium(VI). Apabila dilanjutkan,
kemungkinan akan terjadi proses desorpsi
adsorbat yang telah teradsorpsi.
Adsorpsi kromium(VI) oleh zeolit
dipengaruhi oleh pH larutan kromium(VI).
Kapasitas adsorpsi kromium(VI) pada zeolit
tanpa modifikasi optimum berlangsung pada
pH larutan kromium(VI) sebesar 3.5. Menurut
Alias et al. (2008) bentuk ion kromium (VI)
pada kisaran pH 2-6 adalah ion HCrO4- dan
dikromat (Cr2O72-). Oleh karena itu, anion
kromium(VI) yang paling dominan terdapat di
dalam larutan pada pH 3.5 dan diadsorpsi
zeolit tanpa modifikasi adalah ion HCrO4-.
Secara
umum
kapasitas
adsorpsi
mengalami peningkatan dengan turunnya pH
dan mengalami penurunan dengan naiknya
pH. Peningkatan dan penurunan kapasitas
adsorpsi tersebut 0.01-0.03 mg/g (Lampiran

4).
Peningkatan
kapasitas
adsorpsi
kromium(VI) pada suasana asam ini diduga
karena pada larutan terjadi kesetimbangan
kromat-dikromat, pada pH rendah terdapat
kromium(VI) dalam bentuk ion dikromat
(Cr2O72-) yang lebih mudah masuk dan
teradsorpsi pada zeolit dibandingkan dengan
bentuk ion kromat (CrO42-). Hal ini
disebabkan bentuk molekul dikromat yang
lebih sesuai dengan rongga zeolit (Alias et al.
2008). Penurunan kapasitas adsorpsi dengan
kenaikan pH hal ini kemungkinan karena
terjadi penurunan gaya elektrostatis dari
interaksi antara adsorben dan adsorbat (Wang
XS et al. 2008).
Zeolit merupakan mineral silikat yang
termasuk ke dalam group tektosilikat dengan
pola susunan tetrahedron-SiO4 dan AlO4
membentuk pola tenunan, dengan energi
ikatan total sebesar 155.500 kg kal/mol (Paton
1978). Pada zeolit terjadi penggantian
isomorfis 1 sampai 2 atom Si oleh Al
sehingga menjadi bermuatan negatif 1-2.
Muatan negatif ini merupakan muatan tetap
(permanent
charge)
sehingga
tidak
terpengaruh
oleh
perubahan
pH
lingkungannya ( Ismangil & Hanudin 2005).
Oleh karena itu, pengaruh pH larutan
kromium(VI) tidak akan memengaruhi
muatan negatif kerangka satuan tetrahedronSiO4 dan AlO4 stuktur zeolit.
Group mineral tektosilikat mempunyai
nilai pH abrasi 7-9. Nilai pH abrasi
merupakan
indikasi
ketahanan
ikatan
antarsatuan
dan
antarkerangka
satuan
tetrahedron-SiO4
dan
AlO4.
Mineral
tektosilikat mempunyai nilai pH abrasi 7-9,
artinya ikatan O-Si-O dan O-Al-O dalam
rantai tetrahedron akan terdegradasi dalam
larutan yang be