Adsorpsi dan desorpsi ion kromium(VI) pada bentonit yang dimodifikasi Heksadesiltrimetilamonium bromida

ABSTRAK
JANTI WIDYANINGSIH. Adsorpsi dan Desorpsi Kromium(VI) pada Bentonit
yang Dimodifikasi Heksadesiltrimetilamonium Bromida. Dibimbing oleh ETI
ROHAETI dan ISKANDAR.
Bentonit merupakan sumberdaya mineral yang melimpah di Indonesia dan
berpotensi sebagai adsorben. Bentonit memiliki kemampuan adsorpsi yang tinggi
terhadap kation karena bermuatan negatif, namun kemampuan adsorpsinya rendah
terhadap anion. Penelitian ini bertujuan mengubah sifat bentonit dari hidrofilik
menjadi hidrofobik atau organofilik dengan memodifikasi bentonit asal
Leuwiliang dengan heksadesiltrimetilamonium bromida (HDTMABr), sehingga
dapat meningkatkan adsorpsi terhadap anion, seperti Cr(VI). Metode yang
diujikan pada penelitian ini adalah pembuatan organobentonit 25, 50 dan 100 %
KTK, penentuan kapasitas tukar kation (KTK), keasaman, dan kondisi optimum
adsorpsi Cr(VI) yang meliputi pH, waktu kontak, isoterm, serta desorpsi Cr(VI)
dari organobentonit. KTK bentonit, organobentonit 25, 50, dan 100 % berturutturut adalah 54.53, 45.14, 37.37, dan 20.72 me/100 g. Keasaman bentonit,
organobentonit 25, 50, dan 100 % berturut-turut adalah 4.95, 3.62, 0.90, dan 0.60
me/g. Kondisi optimum adsorpsi Cr(VI) oleh bentonit, organobentonit 25 %,
organobentonit 50 %, dan organobentonit 100 % terjadi pada kisaran pH 2 sampai
5, waktu kontak 3 sampai 4 jam, konsentrasi Cr(VI) 200 sampai 500 ppm, dan
kapasitas adsorpsi berturut-turut 4.44, 11.96, 22.09, dan 20.53 mg/g. Kemampuan
desorpsi Cr(VI) dari organobentonit oleh HCl 0.1 N, akuades, dan CaCl2 1 M

relatif kecil, hal ini menunjukkan bahwa Cr(VI) terperangkap kuat di dalam
organobentonit.

iii

ABSTRACT
JANTI WIDYANINGSIH. Chromium(VI) Adsorption and Desorption on
Bentonite Modified by Hexadecyltrimethylammonium Bromide. Supervised by
ETI ROHAETI and ISKANDAR.
Bentonite is abundant mineral in Indonesia and potentially as adsorbent.
Bentonite has negatively charge, so bentonite has high capability to adsorp
cations, while the capability of bentonite to adsorp anion was very low. This
research
was
modified
bentonite
from
Leuwiliang
with
hexadecyltrimethylammonium bromide (HDTMABr). The result of bentonite

modification was changes bentonite surface character from hidrofilic become
hidrofobic or organofilic, so that can adsorp anion, like Cr(VI). This research
made organobentonite 25, 50, and 100 % CEC. Some methodes were done in this
research, they were determination of CEC, acidity, and adsorption optimum
condition of Cr(VI) that covered determination of adsorption pH, contact time,
isotherm, and desorption of Cr(VI) from organobentonite. Capacity Exchange
Cation of bentonite, organobentonite 25 %, organobentonite 50 %, and
organobentonite 100 % were 54.53, 45.14, 37.37, and 20.72 me/100 g,
respectively. Acidity of bentonite, organobentonite 25 %, organobentonite 50 %,
and organobentonite 100 % were 4.95, 3.62, 0.90, and 0.60 mmol/g, respectively.
Optimum adsorption condition of Cr(VI) onto bentonite, organobentonite 25 %,
organobentonite 50 %, and organobentonite 100 % were consist of pH 2 until 4,
contact time 3 until 4 hours, on concentration 200 until 500 ppm. Adsorbtion
capacity of bentonite, organobentonite 25 %, organobentonite 50 %, and
organobentonite 100 %, respectively were 4.44, 11.96, 22.09, and 20.53 mg/g.
Ability of HCl, aquadest, and CaCl2 to desorbed Cr(VI) from organobentonite was
low, this matter showed that Cr(VI) was trapped strongly on organobentonite.

PENDAHULUAN
Dampak logam berat pada lingkungan

semakin meningkat akhir-akhir ini, khususnya
di lingkungan perairan. Logam berat tersebut
pada
umumnya
diakibatkan
oleh
meningkatnya populasi, ketidakteraturan arus
urbanisasi, pengembangan teknologi dan
industri, serta peningkatan pemanfaatan
industri (Igwe & Abia 2007). Salah satu
logam berat yang merupakan sumber polusi
adalah logam kromium (Cr). Logam ini
banyak
digunakan
dalam
industri
elektroplating, penyamakan kulit, pulp, serta
proses pemurnian bijih dan petroleum.
Kromium dapat membentuk tiga macam
senyawa yang masing-masing berasal dari

proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu
Cr2+ disebut kromium divalen, Cr3+ disebut
kromium trivalen, dan Cr6+ disebut kromium
heksavalen (Bastarache 2002). Kromium
trivalen merupakan bentuk yang paling
banyak berada di lingkungan. Kromium
trivalen dibutuhkan oleh manusia karena
bersama-sama dengan insulin menjaga kadar
gula darah. Kromium heksavalen memiliki
sifat yang lebih toksik jika dibandingkan
dengan
kromium
trivalen.
Kromium
heksavalen dapat menyebabkan kerusakan
hati, ginjal, pendarahan, kerusakan saluran
pernapasan, dan kanker paru (Kusnoputranto
1996). Oleh karena itu, kandungan logam
berat kromium dalam limbah industri harus
diminimalkan sebelum limbah dibuang ke

lingkungan.
Beberapa metode yang sudah berkembang
untuk pembersihan logam Cr(VI) dari
lingkungan perairan, antara lain secara kimia
menggunakan koagulan, secara fisika dengan
adsorpsi menggunakan arang aktif, dan secara
biologi menggunakan mikroba (Forlink 2000).
Namun, metode tersebut memiliki beberapa
kekurangan. Pengolahan limbah secara kimia
menggunakan koagulan akan menghasilkan
lumpur dalam jumlah besar, sedangkan
penggunaan arang aktif dalam pengolahan
limbah meskipun sangat efektif, tetapi
memerlukan biaya yang cukup tinggi
(Manurung et al. 2004). Saat ini dicari
adsorben yang mudah didapat serta ekonomis.
Adsorben alami yang berasal dari liat atau
sumber daya mineral menjadi alternatif dalam
penanganan cemaran logam berat di
lingkungan.

Bentonit merupakan sumber daya mineral
yang melimpah di Indonesia, akan tetapi
belum optimum pemanfaatannya. Cadangan
bentonit di Indonesia sekitar 380 juta ton,

merupakan aset potensial yang harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya (Syuhada et al.
2009). Salah satu aplikasi bentonit yang saat
ini banyak dikaji oleh institusi penelitian
internasional dan nasional adalah pemanfaatan
bentonit sebagai adsorben. Permukaan
bentonit memiliki muatan negatif, sehingga
bentonit memiliki kemampuan mengadsorpsi
ion-ion logam yang bermuatan positif,
sedangkan
kemampuannya
dalam
mengadsorpsi anion sangat rendah. Oleh
sebab itu, pengembangan pemanfaatan
bentonit sebagai adsorben anion penting untuk

diteliti.
Penelitian ini memodifikasi bentonit
dengan HDTMABr yang merupakan surfaktan
kationik.
Kation
HDTMA+
akan
menggantikan kation-kation pada ruang
antarlapisan bentonit melalui pertukaran
kation dan mengubah sifat permukaan
bentonit yang awalnya bersifat hidrofilik
menjadi hidrofobik atau organofilik sehingga
bentonit hasil modifikasi tersebut dapat
meningkatkan kemampuan adsorpsi anion
logam, seperti CrO42- atau Cr2O72-.
Penelitian ini bertujuan menentukan
kemampuan bentonit asal Leuwiliang yang
dimodifikasi HDTMABr dalam mengadsorpsi
Cr(VI) dan menentukan kondisi optimum
adsorpsi Cr(VI) terkait dengan parameter serta

sifat adsorpsi melalui persyaratan isoterm
adsorpsi meliputi pH adsorpsi, waktu kontak
adsorpsi, isoterm adsorpsi, serta dapat
mengetahui kemampuan desorpsi Cr(VI) dari
organobentonit.

TINJAUAN PUSTAKA
Bentonit
Bentonit
merupakan
istilah
yang
digunakan di dalam dunia perdagangan untuk
sejenis batuliat yang mengandung lebih dari
85% montmorilonit. Bentonit mempunyai
rumus kimia Al2O3.4SiO2.XH2O, yaitu
senyawa
silikat
dan
alumina

yang
mengandung air terikat secara kimia
(Sukandarrumidi 1999).
Bentonit mempunyai warna dasar putih
dengan sedikit kecokelatan, kemerahan, atau
kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah
fragmen mineralnya. Bentonit bersifat lunak,
ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun,
mudah menyerap air, dan dapat melakukan
pertukaran ion. Berat jenis bentonit berkisar
antara 2.4 sampai 2.8 g/mL. Ukuran partikel
koloid bentonit sangat kecil dan mempunyai

PENDAHULUAN
Dampak logam berat pada lingkungan
semakin meningkat akhir-akhir ini, khususnya
di lingkungan perairan. Logam berat tersebut
pada
umumnya
diakibatkan

oleh
meningkatnya populasi, ketidakteraturan arus
urbanisasi, pengembangan teknologi dan
industri, serta peningkatan pemanfaatan
industri (Igwe & Abia 2007). Salah satu
logam berat yang merupakan sumber polusi
adalah logam kromium (Cr). Logam ini
banyak
digunakan
dalam
industri
elektroplating, penyamakan kulit, pulp, serta
proses pemurnian bijih dan petroleum.
Kromium dapat membentuk tiga macam
senyawa yang masing-masing berasal dari
proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu
Cr2+ disebut kromium divalen, Cr3+ disebut
kromium trivalen, dan Cr6+ disebut kromium
heksavalen (Bastarache 2002). Kromium
trivalen merupakan bentuk yang paling

banyak berada di lingkungan. Kromium
trivalen dibutuhkan oleh manusia karena
bersama-sama dengan insulin menjaga kadar
gula darah. Kromium heksavalen memiliki
sifat yang lebih toksik jika dibandingkan
dengan
kromium
trivalen.
Kromium
heksavalen dapat menyebabkan kerusakan
hati, ginjal, pendarahan, kerusakan saluran
pernapasan, dan kanker paru (Kusnoputranto
1996). Oleh karena itu, kandungan logam
berat kromium dalam limbah industri harus
diminimalkan sebelum limbah dibuang ke
lingkungan.
Beberapa metode yang sudah berkembang
untuk pembersihan logam Cr(VI) dari
lingkungan perairan, antara lain secara kimia
menggunakan koagulan, secara fisika dengan
adsorpsi menggunakan arang aktif, dan secara
biologi menggunakan mikroba (Forlink 2000).
Namun, metode tersebut memiliki beberapa
kekurangan. Pengolahan limbah secara kimia
menggunakan koagulan akan menghasilkan
lumpur dalam jumlah besar, sedangkan
penggunaan arang aktif dalam pengolahan
limbah meskipun sangat efektif, tetapi
memerlukan biaya yang cukup tinggi
(Manurung et al. 2004). Saat ini dicari
adsorben yang mudah didapat serta ekonomis.
Adsorben alami yang berasal dari liat atau
sumber daya mineral menjadi alternatif dalam
penanganan cemaran logam berat di
lingkungan.
Bentonit merupakan sumber daya mineral
yang melimpah di Indonesia, akan tetapi
belum optimum pemanfaatannya. Cadangan
bentonit di Indonesia sekitar 380 juta ton,

merupakan aset potensial yang harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya (Syuhada et al.
2009). Salah satu aplikasi bentonit yang saat
ini banyak dikaji oleh institusi penelitian
internasional dan nasional adalah pemanfaatan
bentonit sebagai adsorben. Permukaan
bentonit memiliki muatan negatif, sehingga
bentonit memiliki kemampuan mengadsorpsi
ion-ion logam yang bermuatan positif,
sedangkan
kemampuannya
dalam
mengadsorpsi anion sangat rendah. Oleh
sebab itu, pengembangan pemanfaatan
bentonit sebagai adsorben anion penting untuk
diteliti.
Penelitian ini memodifikasi bentonit
dengan HDTMABr yang merupakan surfaktan
kationik.
Kation
HDTMA+
akan
menggantikan kation-kation pada ruang
antarlapisan bentonit melalui pertukaran
kation dan mengubah sifat permukaan
bentonit yang awalnya bersifat hidrofilik
menjadi hidrofobik atau organofilik sehingga
bentonit hasil modifikasi tersebut dapat
meningkatkan kemampuan adsorpsi anion
logam, seperti CrO42- atau Cr2O72-.
Penelitian ini bertujuan menentukan
kemampuan bentonit asal Leuwiliang yang
dimodifikasi HDTMABr dalam mengadsorpsi
Cr(VI) dan menentukan kondisi optimum
adsorpsi Cr(VI) terkait dengan parameter serta
sifat adsorpsi melalui persyaratan isoterm
adsorpsi meliputi pH adsorpsi, waktu kontak
adsorpsi, isoterm adsorpsi, serta dapat
mengetahui kemampuan desorpsi Cr(VI) dari
organobentonit.

TINJAUAN PUSTAKA
Bentonit
Bentonit
merupakan
istilah
yang
digunakan di dalam dunia perdagangan untuk
sejenis batuliat yang mengandung lebih dari
85% montmorilonit. Bentonit mempunyai
rumus kimia Al2O3.4SiO2.XH2O, yaitu
senyawa
silikat
dan
alumina
yang
mengandung air terikat secara kimia
(Sukandarrumidi 1999).
Bentonit mempunyai warna dasar putih
dengan sedikit kecokelatan, kemerahan, atau
kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah
fragmen mineralnya. Bentonit bersifat lunak,
ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun,
mudah menyerap air, dan dapat melakukan
pertukaran ion. Berat jenis bentonit berkisar
antara 2.4 sampai 2.8 g/mL. Ukuran partikel
koloid bentonit sangat kecil dan mempunyai

2 1

kapasitas penukar ion yang tinggi dengan
pertukaran ion terutama diduduki oleh ion-ion
Ca2+ dan Mg2+.
Struktur montmorilonit (Gambar 1) terdiri
atas tiga lembar, yaitu satu lembar aluminol
(AlO62-) berbentuk oktahedral pada bagian
tengah yang diapit oleh dua buah lembar
silanol (SiO42-) berbentuk tetrahedral. Di
antara lapisan-lapisan silikat tersebut terdapat
ruang antarlapisan yang berisi kation
monovalen
maupun bivalen yang dapat
dipertukarkan, seperti Na+, Ca2+, dan Mg2+
(Syuhada et al. 2009).

Heksadesiltrimetilamonium (HDTMA)
Heksadesiltrimetilamonium adalah suatu
tetra substitusi kation amonium dengan
pengikatan nitrogen bervalensi lima secara
permanen dan rantai lurus panjang alkil (C16).
Rumus molekulnya adalah C19H42N+ (Gambar
2). HDTMA merupakan garam amonium
kuartener dengan kation organik yang dapat
dipertukarkan dengan kation anorganik yang
berada dalam ruang antarlapisan bentonit.
Adsorpsi Cr(VI) di perairan menggunakan
montmorilonit yang dimodifikasi dengan
HDTMA telah diteliti oleh Majdan et al.
(2006). Penelitian ini melaporkan bahwa
Cr(VI) sebagian besar teradsorpsi dengan
membentuk kompleks antara rantai alkil
surfaktan dan anion bikromat atau kromat.

Gambar 2 Struktur HDTMABr
Organobentonit

Gambar 1 Struktur montmorilonit
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
bentonit berpotensi sebagai adsorben senyawa
non-kationik melalui proses aktivasi terlebih
dahulu. Penelitian Ceyhan & Baybas (1999)
menunjukkan
bahwa
bentonit
yang
dimodifikasi HDTMA dapat mengadsorpsi zat
warna tekstil. Iskandar & Djajakirana (2006)
melakukan penelitian terhadap absorpsi zat
organik dan anorganik pada limbah cair di
industri tekstil, pupuk, pestisida, pulp, dan
kertas menggunakan bentonit yang diaktivasi
dengan HDTMA. Penelitian ini melaporkan
bahwa HDTMA-bentonit dapat menurunkan
konsentrasi anion dikromat secara nyata pada
cairan limbah. HDTMA-bentonit juga dapat
menurunkan pH, warna, turbiditas, total
padatan, Chemical Oxygen Demand (COD),
dan Biology Oxygen Demand (BOD) pada
limbah cair industri tekstil dan pupuk. Selain
itu, Ramos et al. (2008) melaporkan bahwa
bentonit yang dimodifikasi HDTMA mampu
mengadsorpsi Cr(VI) dengan kapasitas
adsorpsi maksimum terjadi pada pH 5.

Bentonit memiliki kemampuan adsorpsi
yang rendah terhadap ion Cr(VI). Hal ini
disebabkan bentonit memiliki permukaan
yang bermuatan negatif, sedangkan ion Cr(VI)
yang terdapat di dalam perairan biasanya
dalam bentuk anion, sehingga terjadi tolakmenolak antara anion Cr(VI) dengan
permukaan bentonit. Kapasitas adsorpsi dari
bentonit ini dapat dinaikkan dengan
mengubah sifat permukaan bentonit melalui
modifikasi bentonit dengan HDTMABr.
Modifikasi bentonit dengan menggunakan
senyawa organik membentuk organobentonit
diawali tahap swelling. Sebelum ditambahkan
surfaktan,
bentonit
murni
dibiarkan
mengembang di dalam air (swelling) untuk
meningkatkan basal spacing (jarak basal)
sehingga mempermudah pertukaran kation.
Surfaktan yang mengandung amonium
kuartener seperti HDTMA memiliki muatan
positif pada ion nitrogen yang berfungsi
sebagai atom pusat yang berikatan dengan
empat radikal organik. Pertukaran kation
bertujuan untuk mengubah bentonit yang
bersifat hidrofilik (menarik air) menjadi
bersifat hidrofobik (menolak air), sehingga
dapat dicampur dengan material yang bersifat
hidrofobik juga seperti polimer (Syuhada et
al. 2009).
Konsentrasi, waktu mengembang, dan sifat
surfaktan dapat mempengaruhi kualitas
organobentonit yang dihasilkan (Syuhada et

3 1

al. 2009). Bentonit alam pada awalnya
mengandung kation-kation seperti Na+, Mg2+,
atau Ca2+ yang terikat secara ionik dengan
permukaan bentonit yang bermuatan negatif.
Kation-kation yang terdapat pada ruang
antarlapisan bentonit dapat dipertukarkan
dengan kation lain, termasuk surfaktan yang
bermuatan positif. Jarak basal bentonit
bertambah besar dengan masuknya surfaktan,
yaitu dari 12.69 Å menjadi 19.53 Å seperti
terlihat pada Gambar 3 (AG 2009). Pertukaran
kation anorganik dengan kation organik pada
kerangka bentonit dapat meningkatkan daya
adsorpsi bentonit terhadap anion.

Pewarnaan dengan DPC cukup sensitif dengan
nilai adsorptivitas molar berkisar 40.000
L/mol cm pada panjang gelombang 540 nm
(Clesceri et al. 2005).
Pengukuran kromium total menggunakan
metode spektrofotometri memerlukan suatu
pengoksidasi kuat sehingga kromium dengan
tingkat oksidasi lebih rendah dapat dianalisis
dengan metode ini. Menurut Clesceri et al.
(2005) beberapa oksidator yang dapat
digunakan adalah KMnO4, K2S2O8, dan
HClO4. Selain itu, Noroozifar dan Khorasani
(2003) menyatakan bahwa serium(IV) juga
efektif untuk mengoksidasi kromium trivalen
menjadi kromium heksavalen.
Adsorpsi

Gambar 3 Perubahan struktur bentonit
menjadi organobentonit.
Kromium
Kromium (Cr) merupakan salah satu
logam berat yang termasuk dalam unsur
transisi golongan VIB periode 4. Kromium
mempunyai nomor atom 24 dan nomor massa
51.996 g/mol. Logam ini berwarna putih
perak dan lunak jika dalam keadaan murni
dengan massa jenis 7.9 g/cm3 dan mempunyai
titik didih 2658 ºC (Sugiyarto 2003).
Kromium mempunyai konfigurasi elektron
3d54s1. Jika dalam keadaan murni, kromium
larut dengan lambat sekali dan dalam asam
encer membentuk garam Cr(II) (Vogel 1990).
Kromium
termasuk
logam
yang
mempunyai daya racun tinggi. Daya racun
kromium ditentukan oleh valensi ionnya.
Logam Cr6+ merupakan bentuk yang paling
banyak dipelajari sifat racunnya dikarenakan
Cr6+ merupakan racun yang sangat kuat dan
dapat mengakibatkan terjadinya keracunan
akut dan keracunan kronis (Soemirat 2002).
Kromium dapat diukur dengan beberapa
metode.
Salah
satunya
adalah
spektrofotometri sinar tampak. Kromium
heksavalen bila ditambah larutan 1,5difenilkarbazida (DPC) dalam larutan asam
membentuk kompleks berwarna violet yang
intensitasnya sebanding dengan banyaknya
kromium
heksavalen
dalam
contoh.

Peristiwa terakumulasinya partikel pada
suatu permukaan disebut adsorpsi (Atkins
1999). Partikel atau zat yang terakumulasi
pada permukaan disebut adsorbat, sedangkan
material tempat terjadinya adsorpsi disebut
adsorben. Adsorpsi merupakan suatu proses
pemisahan yang di dalamnya komponenkomponen tertentu dalam fase cair ditransfer
ke suatu permukaan adsorben padat. Adsorpsi
biasanya terjadi pada dinding-dinding pori
atau pada sisi spesifik dalam partikel (Mc
Cabe et al. 2001). Berdasarkan pada jenis
gaya tarik, dikenal adsorpsi fisik (fisisorpsi)
yang melibatkan gaya van der Waals, dan
adsorpsi kimia (kemisorpsi) yang melibatkan
reaksi kimia (Alberty & Silbey 1992).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
adsorpsi antara lain sifat fisik dan kimia
adsorben (luas permukaan, ukuran pori, dan
komposisi kimia), sifat fisik dan kimia
adsorbat (ukuran, kepolaran, dan komposisi
kimia molekul), konsentrasi adsorbat dalam
fase cair, karakteristik fase cair (pH dan suhu),
dan kondisi operasional adsorpsi. Kemampuan
adsorben mengadsorpsi adsorbat ditentukan
dengan menghitung isoterm adsorpsi.
Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi menunjukkan hubungan
kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat
dalam fluida dan pada permukaan adsorben,
pada suhu tetap. Kesetimbangan terjadi saat
laju pengikatan adsorben terhadap adsorbat
sama dengan laju pelepasannya.
Ada tiga isoterm adsorpsi umum untuk
adsorpsi gas atau cairan pada permukaan
padatan, yaitu isoterm Langmuir, Freundlich,
dan Brunaue-Emmett-Teller (BET). Isoterm
Langmuir maupun Freundlich digunakan
untuk tekanan gas atau konsentrasi larutan

1

yang rendah, sedangkan isoterm BET ialah
modifikasi isoterm Langmuir pada tekanan
tinggi (Alberty & Silbey 1992).
Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich merupakan isoterm
yang paling umum digunakan dan dapat
mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik
(Jason 2004). Menurut Atkins (1999) pada
proses adsorpsi zat terlarut oleh permukaan
padatan diterapkan isoterm Freundlich yang
diturunkan secara empiris dengan persamaan:

x

= kC

m

dilogaritmakan, persamaan akan
x
1
menjadi: Log = Log k + Log C
m
n
x
dengan
(µg/g) adalah jumlah adsorbat yang
m
teradsopsi per satuan bobot adsorben, C (ppm)
adalah konsentrasi kesetimbangan adsorbat
dalam larutan setelah adsorpsi, sedangkan k
dan n adalah tetapan empiris yang
menunjukkan ikatan antara adsorbat dengan
adsorben.
Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir diturunkan berdasarkan
pada persamaan berikut:

=

m

αβ C
1 + βC

Isoterm Langmuir dipelajari untuk
menggambarkan pembatasan sisi adsorpsi
dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi
sentuh adsorben ada pada permukaannya dan
semuanya memiliki energi yang sama, serta
adsorpsi bersifat dapat balik (Atkins 1999).
Konstanta α, β dapat ditentukan dari kurva
hubungan C terhadap C dengan persamaan:
x
m

C
x
m

=

1

αβ

adsorben dalam larutan
= konstanta empiris

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan

Alat
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer UV-tampak Shimadzu 1700.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah bentonit asal Leuwiliang.
Metode

1n

Apabila

x

k, n

+

1

α

C

Keterangan:
x
= jumlah adsorbat teradsorpsi per
m
unit bobot adsorben
m
= bobot adsorben
C
= konsentrasi keseimbangan

Penelitian meliputi empat tahap, yaitu
penyiapan bentonit lolos ayakan 200 mesh,
penentuan kapasitas tukar kation (KTK)
bentonit, pembuatan organobentonit dengan
memodifikasi
bentonit
menggunakan
HDTMABr, dan analisis organobentonit
(Lampiran 1). Modifikasi bentonit dengan
HDTMABr menggunakan jumlah HDTMABr
bervariasi berdasarkan nilai KTK bentonit,
yaitu 100% KTK, 50% KTK, dan 25% KTK
(Lampiran 2). Seratus persen KTK artinya
jumlah HDTMABr yang ditambahkan
ekivalen dengan nilai KTK bentonit, yaitu
setiap molekul HDTMABr dianggap bereaksi
atau menggantikan posisi satu kation dapat
tukar monovalen pada bentonit.
Analisis
organobentonit
meliputi
penentuan
keasaman
dengan
metode
Titrimetri, penentuan kondisi optimum
adsorpsi Cr(VI) oleh organobentonit yang
meliputi penentuan pH optimum, penentuan
waktu kontak, penentuan isoterm dan
kapasitas adsorpsi Cr(VI), serta desorpsi
Cr(VI) dari organobentonit.
Pengukuran konsentrasi Cr(VI) mengikuti
prosedur pada metode standar (Clesceri et al.
2005). Sebanyak 10 mL larutan dimasukkan
ke
dalam
tabung reaksi,
kemudian
ditambahkan 7 tetes H2SO4-air (1:1) dan 0.2
mL DPC 0.25%, lalu dikocok dan diukur
serapannya pada panjang gelombang 540 nm
dengan spektrofotometer (Lampiran 4). Kurva
standar dibuat menggunakan larutan standar
K2Cr2O7 dengan konsentrasi 0, 0.1, 0.2, 0.4,
0.6, dan 0.8 ppm.
Penentuan Kapasitas Tukar Kation (KTK)

KTK ditentukan dengan cara destilasi.
Contoh dijenuhkan dengan larutan amonium
asetat 1 N pH 7, kemudian kadar amonium
yang setara dengan jumlah kation yang
dipertukarkan pada bentonit ditetapkan
dengan cara destilasi.

1

yang rendah, sedangkan isoterm BET ialah
modifikasi isoterm Langmuir pada tekanan
tinggi (Alberty & Silbey 1992).
Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich merupakan isoterm
yang paling umum digunakan dan dapat
mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik
(Jason 2004). Menurut Atkins (1999) pada
proses adsorpsi zat terlarut oleh permukaan
padatan diterapkan isoterm Freundlich yang
diturunkan secara empiris dengan persamaan:

x

= kC

m

dilogaritmakan, persamaan akan
x
1
menjadi: Log = Log k + Log C
m
n
x
dengan
(µg/g) adalah jumlah adsorbat yang
m
teradsopsi per satuan bobot adsorben, C (ppm)
adalah konsentrasi kesetimbangan adsorbat
dalam larutan setelah adsorpsi, sedangkan k
dan n adalah tetapan empiris yang
menunjukkan ikatan antara adsorbat dengan
adsorben.
Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir diturunkan berdasarkan
pada persamaan berikut:

=

m

αβ C
1 + βC

Isoterm Langmuir dipelajari untuk
menggambarkan pembatasan sisi adsorpsi
dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi
sentuh adsorben ada pada permukaannya dan
semuanya memiliki energi yang sama, serta
adsorpsi bersifat dapat balik (Atkins 1999).
Konstanta α, β dapat ditentukan dari kurva
hubungan C terhadap C dengan persamaan:
x
m

C
x
m

=

1

αβ

adsorben dalam larutan
= konstanta empiris

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan

Alat
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer UV-tampak Shimadzu 1700.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah bentonit asal Leuwiliang.
Metode

1n

Apabila

x

k, n

+

1

α

C

Keterangan:
x
= jumlah adsorbat teradsorpsi per
m
unit bobot adsorben
m
= bobot adsorben
C
= konsentrasi keseimbangan

Penelitian meliputi empat tahap, yaitu
penyiapan bentonit lolos ayakan 200 mesh,
penentuan kapasitas tukar kation (KTK)
bentonit, pembuatan organobentonit dengan
memodifikasi
bentonit
menggunakan
HDTMABr, dan analisis organobentonit
(Lampiran 1). Modifikasi bentonit dengan
HDTMABr menggunakan jumlah HDTMABr
bervariasi berdasarkan nilai KTK bentonit,
yaitu 100% KTK, 50% KTK, dan 25% KTK
(Lampiran 2). Seratus persen KTK artinya
jumlah HDTMABr yang ditambahkan
ekivalen dengan nilai KTK bentonit, yaitu
setiap molekul HDTMABr dianggap bereaksi
atau menggantikan posisi satu kation dapat
tukar monovalen pada bentonit.
Analisis
organobentonit
meliputi
penentuan
keasaman
dengan
metode
Titrimetri, penentuan kondisi optimum
adsorpsi Cr(VI) oleh organobentonit yang
meliputi penentuan pH optimum, penentuan
waktu kontak, penentuan isoterm dan
kapasitas adsorpsi Cr(VI), serta desorpsi
Cr(VI) dari organobentonit.
Pengukuran konsentrasi Cr(VI) mengikuti
prosedur pada metode standar (Clesceri et al.
2005). Sebanyak 10 mL larutan dimasukkan
ke
dalam
tabung reaksi,
kemudian
ditambahkan 7 tetes H2SO4-air (1:1) dan 0.2
mL DPC 0.25%, lalu dikocok dan diukur
serapannya pada panjang gelombang 540 nm
dengan spektrofotometer (Lampiran 4). Kurva
standar dibuat menggunakan larutan standar
K2Cr2O7 dengan konsentrasi 0, 0.1, 0.2, 0.4,
0.6, dan 0.8 ppm.
Penentuan Kapasitas Tukar Kation (KTK)

KTK ditentukan dengan cara destilasi.
Contoh dijenuhkan dengan larutan amonium
asetat 1 N pH 7, kemudian kadar amonium
yang setara dengan jumlah kation yang
dipertukarkan pada bentonit ditetapkan
dengan cara destilasi.

51

Sebanyak 2.5 g bentonit ditimbang,
dimasukkan ke dalam tabung. Selanjutnya
ditambahkan dengan amonium asetat pH 7
sebanyak 2 x 25 mL dengan selang waktu 30
menit. Setelah itu tabung yang masih berisi
contoh didiamkan selama 24 jam, lalu
disentrifugasi selama 15 menit kemudian
dicuci kembali dengan amonium asetat pH 7.
Setelah itu disaring, residu yang mengandung
bentonit dicuci dengan 100 mL etanol 96%
untuk menghilangkan kelebihan amonium.
Setelah itu, residu dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl, lalu ditambahkan dengan 25 mL
NaOH 0.1 N, Selanjutnya ditambahkan sedikit
batu didih dan akuades sampai setengah
volume labu.
Erlenmeyer yang berisi 10 mL H3BO3 1%
dan 3 tetes indikator Conway (larutan
berwarna merah) disiapkan untuk menampung
NH3 (yang dibebaskan dari proses destilasi),
kemudian dihubungkan dengan alat destilasi.
Selanjutnya dilakukan proses destilasi sampai
diperoleh 75 mL destilat (larutan berwarna
hijau). Destilat dititrasi dengan HCl 0.05 N
hingga warna merah muda dan volume titran
dicatat. Disiapkan pula blangko dengan
pengerjaan seperti contoh tetapi tanpa contoh
bentonit (Peraturan Menteri Pertanian
No.02/Pert/HK.060/2/2006. dalam Al-Jabri
2008). Kapasitas tukar kation (me/100 g)
bentonit dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
KTK =

(Vc − Vb) × N HCl
gram bentonit

x 100

Keterangan:
Vb
= volume HCl yang dibutuhkan
pada titrasi blangko (mL)
Vc
= volume HCl yang dibutuhkan
pada titrasi contoh (mL)
N HCl = normalitas HCl

Penyiapan Organobentonit

Penyiapan
organobentonit
dilakukan
dengan cara sebagai berikut: ke dalam tiga
buah erlenmeyer dimasukkan masing-masing
100 gram bentonit, kemudian ditambahkan
larutan HDTMABr sebanyak 100%, 50%, dan
25% KTK bentonit (Lampiran 2). Campuran
tersebut diaduk menggunakan pengaduk
magnet selama 24 jam pada suhu kamar.
Campuran HDTMA-bentonit (organobentonit)
dicuci dengan akuades sampai bebas Br- (diuji
dengan AgNO3 0.1 M, Lampiran 3).

Organobentonit dikeringkan pada suhu kamar
dan disimpan di dalam botol (Ceyhan &
Baybas 1999).
Penentuan Keasaman Organobentonit
(Diantariani et al. 2008)

Keasaman organobentonit diukur dengan
cara titrasi asam basa tidak langsung. Ke
dalam tiga buah erlenmeyer dimasukkan
masing-masing 0,5 gram organobentonit dan
ditambahkan 25 mL larutan NaOH 1 N.
Erlenmeyer ditutup rapat dan diaduk selama
24 jam, setelah itu disaring dan residunya
dibilas menggunakan akuades. Filtrat dan
bilasan
lalu
ditambahkan
indikator
fenolftalein, kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 1 N yang telah distandardisasi terlebih
dahulu sampai titik akhir tidak berwarna.
Perlakuan yang sama dilakukan terhadap
larutan blangko yang hanya mengandung 25
mL larutan NaOH 1 N. Keasaman bentonit
ditentukan sebagai kontrol dengan prosedur
yang sama. Keasaman organobentonit
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Keasaman organobentonit (me/g):

Keasaman =

( Vb − Vc ) × N HCl
g

Keterangan:
Vb
= volume HCl yang dibutuhkan pada
titrasi blangko (mL)
Vc
= volume HCl yang dibutuhkan pada
titrasi organobentonit (mL)
N HCl = normalitas HCl
g
= bobot organobentonit yang
ditimbang (g)
Penentuan pH Optimum Proses Adsorpsi
Cr(VI) pada Organobentonit

Penentuan pH optimum merupakan
parameter untuk mengetahui pH yang
dibutuhkan oleh organobentonit dalam
mengadsorpsi ion Cr(VI) secara maksimum
sampai tercapai keadaan jenuh. Prosedur
penentuan pH optimum dilakukan dengan
cara: ke dalam 7 buah erlenmeyer 250 mL,
dimasukkan masing-masing 0,5 gram contoh
organobentonit dan ditambahkan 25 mL
larutan Cr(VI) 200 ppm dengan pH larutan
masing-masing 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 dengan
penambahan HCl 1 M atau NaOH 1 M.
Kemudian diaduk dengan pengaduk magnet
selama 24 jam. Selanjutnya campuran disaring
dan filtratnya dimasukkan ke dalam labu takar

6 1

50 mL, kemudian diimpitkan dengan akuades.
Setelah itu ditentukan konsentrasi Cr(VI)
setelah adsorpsi. pH optimum bentonit tanpa
modifikasi ditentukan sebagai kontrol dengan
prosedur yang sama.
Selanjutnya dibuat kurva hubungan antara
pH larutan sebagai sumbu x dengan jumlah
Cr(VI) teradsorpsi (mg/g) sebagai sumbu y.
Jumlah Cr(VI) teradsorpsi didapatkan dari
hasil pengurangan antara jumlah Cr(VI) awal
dengan jumlah Cr(VI) sisa pada erlenmeyer.
Nilai pH yang memberikan adsorpsi Cr(VI)
paling besar merupakan pH optimum dan
digunakan sebagai acuan dalam penentuan
isoterm adsorpsi.

organobentonit dan ditambahkan 25 mL
larutan K2Cr2O7 dengan konsentrasi berturutturut 25, 50, 100, 200, 300, 500, dan 750 ppm,
kemudian diatur pH larutan sesuai dengan pH
optimum, lalu dikocok menggunakan alat
kocok selama waktu kontak optimum.
Selanjutnya campuran disaring dan filtratnya
dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL,
kemudian diimpitkan dengan akuades. Setelah
itu, dilakukan pengukuran konsentrasi Cr(VI)
setelah adsorpsi. Isoterm dan kapasitas
adsorpsi bentonit ditentukan sebagai kontrol
dengan prosedur yang sama. Kapasitas
adsorpsi dengan satuan mg/g dihitung
menggunakan persamaan:

Penentuan Waktu Kontak Optimum Proses
Adsorpsi Cr(VI) pada Organobentonit

Q=

Waktu kontak proses adsorpsi Cr(VI) pada
organobentonit merupakan parameter untuk
mengetahui waktu minimum yang dibutuhkan
oleh organobentonit dalam mengadsorpsi ion
Cr(VI) sampai tercapai keadaan jenuh.
Penentuan waktu kontak dilakukan dengan
cara: ke dalam 7 buah erlenmeyer 25 mL
dimasukkan masing-masing 0,5 gram contoh
butiran organobentonit dan ditambahkan 25
mL larutan Cr(VI) 200 ppm dengan pH
optimum yang diperoleh.
Campuran diaduk menggunakan pengaduk
magnet selama 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 12 jam.
Selanjutnya campuran disaring dan filtratnya
dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL,
kemudian diimpitkan dengan akuades,
kemudian ditentukan konsentrasi Cr(VI)
setelah adsorpsi. Waktu optimum bentonit
tanpa modifikasi ditentukan sebagai kontrol
dengan prosedur yang sama.
Setelah itu dibuat kurva hubungan antara
waktu (jam) sebagai sumbu x dengan jumlah
Cr(VI) yang teradsorpsi (mg/g) sebagai sumbu
y. Jumlah Cr(VI) teradsorpsi didapatkan dari
hasil pengurangan antara jumlah Cr(VI) awal
dengan jumlah Cr(VI) sisa pada erlenmeyer.
Waktu yang memberikan adsorpsi Cr(VI)
paling besar merupakan waktu kontak
optimum dan digunakan sebagai acuan dalam
penentuan isoterm adsorpsi.
Penentuan Isoterm dan Kapasitas Adsorpsi
Organobentonit

Penentuan kapasitas adsorpsi Cr(VI)
dilakukan untuk mengetahui konsentrasi
K2Cr2O7 maksimum yang dapat diadsorpsi
oleh organobentonit. Ke dalam 7 buah
erlenmeyer 250 mL dimasukkan masingmasing
0,5
gram
contoh
butiran

V (C awal − C akhir )
m

Efisiensi adsorpsi dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan:
%E=

 C awal − C akhir 

 x 100%
C awal



Keterangan persamaan tersebut adalah % E
merupakan efisiensi adsorpsi, Q adalah
kapasitas adsorpsi per bobot adsorben (mg/g
adsorben), V adalah volume larutan (L), C
awal adalah konsentrasi awal larutan (ppm), C
akhir adalah konsentrasi akhir larutan (ppm),
dan m adalah massa adsorben (g).
Pola isoterm adsorpsi diperoleh dengan
membuat
persamaan
regresi
linier
menggunakan persamaan Langmuir dan
Freundlich (Atkins 1999). Kurva isoterm
Langmuir merupakan kurva hubungan antara
konsentrasi (ppm) kesetimbangan adsorbat
dalam larutan setelah adsorpsi (C) sebagai
sumbu x dan perbandingan konsentrasi
kesetimbangan dengan jumlah adsorbat
teradsorpsi per satuan bobot adsorben, C/(x/m)
dengan satuan g/L sebagai sumbu y,
sedangkan
kurva
isoterm
Freundlich
merupakan kurva hubungan antara logaritma
konsentrasi (ppm) kesetimbangan adsorbat
dalam larutan setelah adsorpsi (C) sebagai
sumbu x dan logaritma jumlah adsorbat yang
teradsobsi per satuan bobot adsorben (x/m)
dengan satuan mg/g sebagai sumbu y.
Bila linearitas isoterm Langmuir lebih
besar dari isotherm Freundlich, maka adsorpsi
Cr(VI) oleh organobentonit mengikuti tipe
isoterm Langmuir, sebaliknya bila linearitas
isoterm Freundlich lebih besar dari isotherm
Langmuir, maka adsorpsi Cr(VI) oleh

1

organobentonit
Freundlich.

mengikuti

tipe

isoterm

Desorpsi Cr(VI) dari Organobentonit

Organobentonit diaplikasikan ke dalam
larutan K2Cr2O7 untuk menentukan kondisi
optimum dan mengetahui kemampuan
adsorpsi terhadap Cr(VI), kemudian diteliti
mengenai kemampuan desorpsi Cr(VI) dari
organobentonit.
Desorpsi
Cr(VI)
dari
organobentonit dilakukan dengan menimbang
masing-masing 1 gram organobentonit,
kemudian dimasukkan ke dalam 3 buah
erlenmeyer
125
mL.
Selanjutnya
organobentonit direndam dengan 100 mL
larutan Cr(VI) menggunakan konsentrasi
optimum yang didapat, kemudian pH
campuran diatur pada pH optimum dan diaduk
dengan alat kocok selama waktu kontak
optimum.
Selanjutnya campuran disaring dan
residunya dimasukkan ke dalam erlenmeyer
dan direndam dengan akuades sebanyak 100
mL pada erlenmeyer pertama, HCl 0.1 N
sebanyak 100 mL pada erlenmeyer kedua, dan
CaCl2 1 M sebanyak 100 mL pada erlenmeyer
ketiga. Campuran kemudian diaduk selama 14
jam, setelah itu diukur konsentrasi Cr(VI)
yang terdesorpsi. Serapan yang terbesar
menunjukkan bahwa konsentrasi Cr(VI) yang
terdesorpsi oleh pelarut besar, sehingga
pelarut tersebut dapat mendesorpsi Cr(VI) dari
organobentonit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penambahan HDTMABr pada pembuatan
organobentonit
merupakan
modifikasi
bentonit yang bertujuan meningkatkan
kemampuan adsorpsi bentonit terhadap
Cr(VI). Permukaan bentonit pada awalnya
memiliki muatan negatif, sehingga mampu
mengikat ion-ion yang bermuatan positif
(kation), seperti Ca2+, Na+, dan Mg2+,
sebaliknya bentonit memiliki kemampuan
adsorpsi yang rendah terhadap ion-ion
bermuatan negatif (anion), seperti Cr2O72- dan
CrO42-.
Bentonit memiliki kation-kation yang
dapat dipertukarkan. HDTMABr merupakan
senyawa organik yang bermuatan positif.
HDTMABr dapat larut di dalam air
membentuk ion HDTMA+ dan Br-, sehingga
bila larutan HDTMABr dicampurkan ke
dalam bentonit, akan terjadi pertukaran kation.
Kation-kation yang terdapat di ruang

antarlapisan bentonit, seperti Ca2+, Na+, dan
Mg2+ dapat dipertukarkan dengan HDTMA+.
Petukaran kation Ca2+, Na+, dan Mg2+ dengan
HDTMA+ mengubah bentonit yang bersifat
hidrofilik menjadi hidrofobik atau organofilik,
sehingga dapat mengadsorpsi zat-zat organik
dan ion Cr(VI).
Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kapasitas tukar kation bentonit setelah
dimodifikasi
dengan
HDTMABr
(organobentonit) lebih rendah dari KTK
sebelum dimodifikasi. Nilai KTK bentonit
sebelum dimodifikasi HDTMABr adalah
54.53
me/100
g,
sedangkan
KTK
organobentonit 25%, 50%, dan 100%
berturut-turut adalah 45.14, 37.37, dan 20.72
me/100 g. Hal ini menunjukkan adanya
pemblokiran sebagian sisi pertukaran dalam
bentonit oleh HDTMA. Semakin banyak
HDTMA menempati sisi pertukaran, maka
semakin banyak sisi pertukaran yang diblokir
sehingga menyebabkan menurunnya KTK.
Nilai KTK organobentonit 100% masih
tinggi. Hal ini menunjukkan belum semua
kation-kation pada ruang antarlapisan bentonit
dipertukarkan oleh HDTMA+ akibat waktu
pengocokan yang kurang lama atau kecepatan
pengocokan yang kurang, sehingga pertukaran
kation antara kation pada ruang antarlapisan
bentonit dengan HDTMA+ tidak maksimal.
Penurunan KTK yang diperoleh pada
penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan
penelitian yang lain. Penelitian Iskandar &
Djajakirana (2006) melaporkan bentonit yang
dimodifikasi dengan HDTMA mengalami
penurunan KTK dari 83.95 menjadi 19.40
me/100 g, sedangkan berdasarkan Syuhada et
al. (2009), bentonit yang dimodifikasi
menggunakan
jenis
surfaktan
di(hydrogenatedtallow)-dimetilamoniumklorida
(DTDA) mengalami penurunan KTK dari
45.05 menjadi 16.43 me/100 g. Perbedaan
hasil penurunan KTK dari penelitianpenelitian tersebut dikarenakan perbedaan asal
bentonit serta jenis dan jumlah surfaktan yang
digunakan dalam penelitian.
Keasaman Organobentonit

Perlakuan modifikasi pada bentonit
menurunkan nilai keasaman bentonit hasil
modifikasi. Keasaman organobentonit 25%,
50%, dan 100% berturut-turut adalah 3.62,
0.90, dan 0.60 me/g, sedangkan keasaman
bentonit yang belum dimodifikasi HDTMABr
adalah 4.95 me/g (Lampiran 5). Keasaman
organobentonit yang dilaporkan Ramos et al.

1

organobentonit
Freundlich.

mengikuti

tipe

isoterm

Desorpsi Cr(VI) dari Organobentonit

Organobentonit diaplikasikan ke dalam
larutan K2Cr2O7 untuk menentukan kondisi
optimum dan mengetahui kemampuan
adsorpsi terhadap Cr(VI), kemudian diteliti
mengenai kemampuan desorpsi Cr(VI) dari
organobentonit.
Desorpsi
Cr(VI)
dari
organobentonit dilakukan dengan menimbang
masing-masing 1 gram organobentonit,
kemudian dimasukkan ke dalam 3 buah
erlenmeyer
125
mL.
Selanjutnya
organobentonit direndam dengan 100 mL
larutan Cr(VI) menggunakan konsentrasi
optimum yang didapat, kemudian pH
campuran diatur pada pH optimum dan diaduk
dengan alat kocok selama waktu kontak
optimum.
Selanjutnya campuran disaring dan
residunya dimasukkan ke dalam erlenmeyer
dan direndam dengan akuades sebanyak 100
mL pada erlenmeyer pertama, HCl 0.1 N
sebanyak 100 mL pada erlenmeyer kedua, dan
CaCl2 1 M sebanyak 100 mL pada erlenmeyer
ketiga. Campuran kemudian diaduk selama 14
jam, setelah itu diukur konsentrasi Cr(VI)
yang terdesorpsi. Serapan yang terbesar
menunjukkan bahwa konsentrasi Cr(VI) yang
terdesorpsi oleh pelarut besar, sehingga
pelarut tersebut dapat mendesorpsi Cr(VI) dari
organobentonit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penambahan HDTMABr pada pembuatan
organobentonit
merupakan
modifikasi
bentonit yang bertujuan meningkatkan
kemampuan adsorpsi bentonit terhadap
Cr(VI). Permukaan bentonit pada awalnya
memiliki muatan negatif, sehingga mampu
mengikat ion-ion yang bermuatan positif
(kation), seperti Ca2+, Na+, dan Mg2+,
sebaliknya bentonit memiliki kemampuan
adsorpsi yang rendah terhadap ion-ion
bermuatan negatif (anion), seperti Cr2O72- dan
CrO42-.
Bentonit memiliki kation-kation yang
dapat dipertukarkan. HDTMABr merupakan
senyawa organik yang bermuatan positif.
HDTMABr dapat larut di dalam air
membentuk ion HDTMA+ dan Br-, sehingga
bila larutan HDTMABr dicampurkan ke
dalam bentonit, akan terjadi pertukaran kation.
Kation-kation yang terdapat di ruang

antarlapisan bentonit, seperti Ca2+, Na+, dan
Mg2+ dapat dipertukarkan dengan HDTMA+.
Petukaran kation Ca2+, Na+, dan Mg2+ dengan
HDTMA+ mengubah bentonit yang bersifat
hidrofilik menjadi hidrofobik atau organofilik,
sehingga dapat mengadsorpsi zat-zat organik
dan ion Cr(VI).
Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kapasitas tukar kation bentonit setelah
dimodifikasi
dengan
HDTMABr
(organobentonit) lebih rendah dari KTK
sebelum dimodifikasi. Nilai KTK bentonit
sebelum dimodifikasi HDTMABr adalah
54.53
me/100
g,
sedangkan
KTK
organobentonit 25%, 50%, dan 100%
berturut-turut adalah 45.14, 37.37, dan 20.72
me/100 g. Hal ini menunjukkan adanya
pemblokiran sebagian sisi pertukaran dalam
bentonit oleh HDTMA. Semakin banyak
HDTMA menempati sisi pertukaran, maka
semakin banyak sisi pertukaran yang diblokir
sehingga menyebabkan menurunnya KTK.
Nilai KTK organobentonit 100% masih
tinggi. Hal ini menunjukkan belum semua
kation-kation pada ruang antarlapisan bentonit
dipertukarkan oleh HDTMA+ akibat waktu
pengocokan yang kurang lama atau kecepatan
pengocokan yang kurang, sehingga pertukaran
kation antara kation pada ruang antarlapisan
bentonit dengan HDTMA+ tidak maksimal.
Penurunan KTK yang diperoleh pada
penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan
penelitian yang lain. Penelitian Iskandar &
Djajakirana (2006) melaporkan bentonit yang
dimodifikasi dengan HDTMA mengalami
penurunan KTK dari 83.95 menjadi 19.40
me/100 g, sedangkan berdasarkan Syuhada et
al. (2009), bentonit yang dimodifikasi
menggunakan
jenis
surfaktan
di(hydrogenatedtallow)-dimetilamoniumklorida
(DTDA) mengalami penurunan KTK dari
45.05 menjadi 16.43 me/100 g. Perbedaan
hasil penurunan KTK dari penelitianpenelitian tersebut dikarenakan perbedaan asal
bentonit serta jenis dan jumlah surfaktan yang
digunakan dalam penelitian.
Keasaman Organobentonit

Perlakuan modifikasi pada bentonit
menurunkan nilai keasaman bentonit hasil
modifikasi. Keasaman organobentonit 25%,
50%, dan 100% berturut-turut adalah 3.62,
0.90, dan 0.60 me/g, sedangkan keasaman
bentonit yang belum dimodifikasi HDTMABr
adalah 4.95 me/g (Lampiran 5). Keasaman
organobentonit yang dilaporkan Ramos et al.

8 1

(2008) adalah 0.5 me/g. Perbedaan nilai
keasaman ini disebabkan oleh perbedaan asal
bentonit.
Keasaman bentonit dipengaruhi oleh
kation yang dapat dipertukarkan, kemampuan
hidrasi liat, dan muatan negatif di permukaan
(Frenkel 1973). Menurut Alemdaroglu (2003)
keasaman bentonit disebabkan oleh kelabilan
proton yang berasal dari gugus (-OH) di sudut
oktahedral.
Penentuan keasaman dilakukan dengan
metode titrasi asam basa secara tidak
langsung, yaitu bagian asam direaksikan
dengan basa NaOH yang diberikan berlebih
terukur. Sisa NaOH yang tidak bereaksi
dengan contoh dititrasi dengan HCl yang telah
distandardisasi (Lampiran 6), sehingga jumlah
zat-zat yang bereaksi setara. Reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut:
RH + NaOH → RNa + H2O + NaOH
NaOH + HCl → NaCl + H2O
R adalah makromolekul bentonit dan H adalah
proton gugus (-OH) yang bersifat asam.
Gugus (-OH) dari makromolekul bentonit
akan melepaskan H+, kemudian H+ yang
dilepaskan akan berikatan dengan ion OHdari NaOH.
Keasaman
organobentonit
semakin
menurun dengan bertambahnya konsentrasi
HDTMABr. Kation HDTMA+ yang terikat
pada bentonit merupakan gugus amonium
kuartener yang tidak memiliki proton yang
dapat bereaksi dengan gugus (-OH) dari
NaOH, sehingga semakin kecil jumlah OHdari NaOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan H+ pada organobentonit.

pH Optimum Proses Adsorpsi Cr(VI) pada
Organobentonit

Kapasitas adsorpsi Cr(VI) pada bentonit
dan organobentonit dipengaruhi oleh pH
larutan Cr(VI) yang akan diadsorpsi.
Kapasitas adsorpsi Cr(VI) juga semakin
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
HDTMABr yang ditambahkan ke dalam
bentonit (Gambar 4). Kapasitas adsorpsi
Cr(VI) tertinggi terdapat pada organobentonit
100%.
Bentonit yang belum dimodifikasi dan
organobentonit 25% memiliki pH optimum 4
dengan kapasitas adsorpsi terhadap Cr(VI)
masing-masing 2.54 dan 5.10 mg/g.
Organobentonit 50% memiliki pH optimum 5
dengan kapasitas adsorpsi terhadap Cr(VI)

7.46 mg/g. Hasil yang sama juga diperoleh
pada penelitian Ramos et al. (2008), bahwa
organobentonit dapat mengadsorpsi Cr(VI)
secara optimum pada pH 5, begitupula dengan
hasil penelitian Diantariani et al. (2008)
mengenai adsorpsi Cr(VI) menggunakan
rumput laut juga melaporkan bahwa pH
optimum adsorpsi pada pH 5. Organobentonit
100% memiliki pH optimum 2 dengan
kapasitas adsorpsi terhadap Cr(VI) 9.16 mg/g
(Lampiran 10). Kurva standar penentuan pH
dapat dilihat pada Lampiran 7, 8, dan 9.
Jenis anion Cr(VI) yang paling dominan
terdapat di dalam larutan yang memiliki pH 2
sampai 12 adalah anion HCrO4- dan CrO42(Ramos et al. 2008). Anion HCrO4merupakan jenis yang paling dominan di
dalam larutan pada kisaran pH 2 sampai 4,
sedangkan anion CrO42- dominan terdapat di
dalam larutan pada pH 9 sampai 12 (Ramos et
al. 2008). pH optimum yang dihasilkan adalah
2, 4, dan 5 sehingga jenis anion Cr(VI) yang
paling dominan terdapat di dalam larutan dan
diadsorpsi organobentonit adalah HCrO4-.
Pengaruh pH terhadap kapasitas adsorpsi
dapat ditunjukkan dari interaksi elektrostatik
antara permukaan organobentonit dengan
Cr(VI) dalam larutan, yaitu permukaan
organobentonit bermuatan negatif pada pH
lebih dari 10 dan bermuatan positif pada pH
kurang dari 10 (Ramos et al. 2008). Hal ini
menunjukkan pada pH lebih dari 10 akan
terjadi tolakan elektrostatik di permukaan
antara organobentonit dan Cr(VI) yang samasama bermuatan negatif, sebaliknya pada pH
kurang dari 10 terjadi interaksi elektrostatik
antara organobentonit yang bermuatan positif
dengan anion Cr(VI) yang bermuatan negatif.
Muatan positif permukaan meningkat dengan
menurunnya pH, hal ini menyebabkan
kapasitas adsorpsi Cr(VI) oleh organobentonit
optimum pada pH rendah.
Efisiensi adsorpsi Cr(VI) pada bentonit
adalah 24.91% pada pH optimum 4, pada
organobentonit 25% pada pH optimum 4
adalah 50.34%, pada organobentonit 50%
pada pH optimum 5 adalah 73.22%, dan pada
organobentonit 100% pada pH optimum 2
adalah 89.99% (Lampiran 10). Hal ini
menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi
Cr(VI) oleh bentonit atau organobentonit
sejalan dengan efisiensi adsorpsi (Gambar 17,
Lampiran 12), artinya semakin besar kapasitas
adsorpsi Cr(VI) oleh adsorben, maka persen
efisiensi akan semakin besar pula, sehingga
proses adsorpsi akan semakin efisien.

9

Gambar 4 Hubungan antara jumlah Cr(VI) teradsorpsi dengan pH larutan.
Bentonit, Organobentonit 25%, Organobentonit 50%, Organobentonit 100%.

Waktu Kontak Optimum Proses Adsorpsi
Cr(VI) pada Organobentonit

Penentuan waktu optimum adsorpsi
dilakukan untuk mengetahui waktu minimum
yang dibutuhkan oleh adsorben dalam
mengadsorpsi ion logam Cr(VI) secara
maksimum sampai tercapai keadaan jenuh.
Kapasitas
adsorpsi
bentonit
semakin
meningkat pada waktu kontak 1 sampai 4 jam,
akan tetapi pada waktu kontak 5 sampai 12
jam kapasitas adsorpsi Cr(VI) mengalami
penurunan (Gambar 5).
Kapasitas
adsorpsi
Cr(VI)
oleh
organobentonit 25% dan 50% mengalami
kenaikan pada waktu 1 dan 2 jam, meskipun
kemudian mengalami penurunan pada waktu 3
jam, kapasitas adsorpsi meningkat kembali
pada waktu 4 jam, selanjutnya kapasitas
adsorpsi menurun kembali (Gambar 5).
Turunnya jumlah ion logam Cr(VI) yang
teradsorpsi setelah pengocokan lebih dari
waktu
optimum
disebabkan
oleh
ketidakstabilan ikatan antara organobentonit

dengan ion
logam Cr(VI), sehingga
kemungkinan ada Cr(VI) yang terlepas
kembali. Organobentonit 100% mengalami
peningkatan kapasitas adsorpsi pada waktu 1
sampai 3 jam, kemudian kapasitas adsorpsi
cenderung
konstan.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa bentonit, organobentonit
25%, dan organobentonit 50% memiliki waktu
kontak optimum 4 jam dengan kapasitas
adsorpsi terhadap Cr(VI) masing-masing
adalah 1.95, 8.80, dan 8.79 mg/g (Lampiran
11). Oleh karena itu, waktu kontak optimum
digunakan sebagai acuan dalam penentuan
isoterm adsorpsi Cr(VI) selanjutnya.
Penelitian Diantariani et al. (2008)
mengenai adorpsi Cr(VI) menggunakan
rumput laut melaporkan bahwa waktu
optimum adsorpsi adalah 12 jam dengan
kapasitas adsorpsi 5.06 mg/g. Hasil ini
menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi
Cr(VI) menggunakan organobentonit lebih
tinggi dibandingkan menggunakan rumput
laut.

Gambar 5 Hubungan antara jumlah Cr(VI) teradsorpsi dengan waktu kontak.
Bentonit, Organobentonit 25%, Organobentonit 50%, Organobentonit 100%.

101

Isoterm dan Kapasitas Adsorpsi
Organobentonit

Penentuan isoterm adsorpsi dilakukan
untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ion
logam Cr(VI) yang direaksikan terhadap
jumlah ion logam Cr(VI) yang diadsorpsi oleh
adsorben pada suhu kamar. Hasil penelitian
menunjukkan
dengan
bertambahnya
konsentrasi adsorbat yang diinteraksikan,
maka jumlah ion logam Cr(VI) yang
teradsorpsi pada organobentonit semakin
bertambah. Pola isoterm ini memperlihatkan
afinitas yang relatif tinggi antara adsorbat (ion
logam Cr(VI)) dengan adsorben pada tahap
awal dan selanjutnya konstan.
Organobentonit 100% memiliki kapasitas
adsorpsi terbesar dibandingkan dengan
kapasitas adsorpsi adsorben lainnya karena
dengan meningkatnya HDTMABr yang
digunakan untuk memodifikasi bentonit
diharapkan ruang antarlapisan pada bentonit
memiliki rongga yang lebih banyak, sehingga
dapat memerangkap lebih banyak ion logam
Cr(VI) dari larutan, sehingga dapat
meningkatkan kapasitas adsorpsi.
Konsentrasi K2Cr2O7 optimum bentonit,
dan organobentonit 25% pada penelitian ini
berturut-turut sebesar 200 dan 300 ppm,
sedangkan konsentrasi K2Cr2O7 optimum
organobentonit 50% dan 100% adalah 500
ppm. Kapasitas adsorpsi Cr(VI) pada bentonit,
organobentonit 25%, 50%, dan 100% pada
penelitian ini berturut-turut sebesar 4.44,
11.96, 22.09, dan 20.53 mg/g (Lampiran 13 ).
Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan
adsorben lain yang telah dilaporkan. Hasil
yang diperoleh Ramos et al. (2008),
organobentonit memiliki kapasitas adsorpsi
terhadap Cr(VI) sebesar 10 mg/g, sedangkan
hasil penelitian Diantariani et al. (2008)
melaporkan kapasitas adsorpsi dari rumput
laut terhadap ion logam Cr(VI) adalah 13.50
mg/g. Selain itu, berdasarkan penelitian
Iskandar & Djajakirana (2006) kapasitas
adsorpsi organobentonit terhadap Cr(VI)
adalah 8.89 mg/g.
Proses adsor