Pengaruh Pemberian Beberapa Sumber Bahan Organik dan Masa Inkubasi Terhadap Beberapa Aspek Kimia Kesuburan Tanah Ultisol

DAFTAR PUSTAKA
Anas,I. 2000. Potensi Sampah Kota untuk Pertanian Di Indonesia dalam Seminar
dan Lokakarya Pengelolaan Sampah organik Untuk Mendukung Program
Ketahanan Pangan dan Kelestarian Lahan Pertanian. Kongres
MAPORINA,6-7 September 2000,Malang. Hal. 1-11.
Ardjasa, W.S. 1994. Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Marginal Melalui
Pemupukan Fosfat Alam dan Bahan Organik Berlanjut Pada Pola : Padi
Gogo-Kedelai-KacangTunggak.
Prosiding
Seminar
Nasional
Pengembangan Lahan Kering Bagian I. Lembaga Penelitian Universitas
Lampung, Lampung.
Bayer C, Martin-Neto LP, Mielniczuk J, Pillon CN, Sangoi L. 2001. Changes in
soil organic matter fractions under subtropical no-till cropping
systems.Soil Sci. Soc. Am. J. 65: 1473-1478.
Brady, N.C. and R.R. Weil. 2002 The nature and Properties of Soils, 13th edition.
Macmillan, NewYork. 683 hal.
Djuarnani, N., Kristian, B. S. Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos.
Agromedia Pustaka.
Gusnidar, N. Hakim dan T. B. Prasetyo. 2010. Inkubasi Titonia Pada Tanah

Sawah Terhadap Asam-Asam Organik. J. Solum Vol. 7 : 1 ( 7 - 18 ).
Hakim. N. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah Masam dengan Teknologi
Pengapuran Terpadu. Padang. Aandalas University Press. 204 hal.
Hamed, M.H., M.A. Desoky., A.M. Ghallab., M.A. Faragallah. 2014. Effect Of
Incubation Periods And Some Organic Materials On Phosphorus Forms In
Calcareous Soils. International Journal Of Technology Enhancements And
Emerging Engineering Research Vol.2 (6); 2347-4289.
Hanafiah K.A , 2005. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Hartatik, W. 2007. Thithonia diversifolia Sumber Pupuk Hijau. Warta Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Vol. 29, No. 5. Bogor.
Hasibuan, B.E.,2004. Pupuk dan Pemupukan. Universitas Sumatera Utara,
Fakultas Pertanian, Medan.

Haynes, R.J. dan M.S. Mokolobate. 2001. Amelioration of Al toxicity and P
deficiency in acid soils by additions of organic residues: a critical review

Universitas Sumatera Utara

of the phenomenon and the mechanisms involved. Nutrient Cycling in

Agroecosystems 59: 47– 63.
Huang, P.M dan Schnitzer, M. 1997. Interaction of Soil Minerals with Natural
Organik and Microbes. SSSA Special Publication Number 17. Soil
Science Society of America . Inc. 920 pp.
Hutagaol,H.H. 2003. Efek Interaksi Perlakuan Kompos Kulit Durian dan Kapur
Dolomit terhadap pH, P-tersedia, KTK dan Al-dd pada Tanah Masam.
Skripsi Program Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Jama, B., C.A. Palm., R.J. Buresh., A.Niang., C,Gachengo., B. Amadalo. 2000.
Tithonia diversifolia as a green manure for soil fertility improvement in
western Kenya. Journal of Agroforestry Systems. 49 : 201-221.
Kusumastuti, A. 2014. Soil Available P Dynamics, pH, OrganiC-C, and P Uptake
of Patchouli (Pogostemon Cablin Benth.) at Various Dosages Of Organic
Matters and Phosphate in Ultisols. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan.
Vol. 14 (3): 145-151.
Lahuddin. 1999. Pengaruh Kompos Kulit Durian (Husk-Pulp Compost of Durio
zibethinus) terhadap Produktivitas Lahan Perkarangan, Makalah Seminar
dalam Prosiding Kongres Nasional VII HITI, Bandung.
Lahuddin, Sukirman dan H.Guchy. 2005. Efek Interaksi Perlakuan Kompos Kulit
Durian Dan Kapur Pada Tanah Asam Terhadap Keasaman Tanah. PTersedia, Dan Al Yang Dapat Dipertukarkan. Makalah Seminar
BKS.Barat, UNAND, Padang.

Mohammadi, S., M. Kalbasi dan H. Shariatmadari. 2009. Cumulative and
residual effects of organic fertilizer application on selected soil
properties, water soluble p, olsen-p and p sorption index. J. Agr. Sci.
Tech. 11: 487-497.
Munthe,S. 1997. Perubahan Beberapa Sifat Tanah Liat Aktivitas Rendah (Low
Activity Clay) Serta Hasil Tanaman Jagung (Zea mays. L) Akibat
Pemberian Dolomit dan Kompos Kulit Buah Kakao. Tesis S2 Program
Pasca Sarjana USU (Tidak Diterbitkan). Medan. Hal. 3-35.
Novizan. 2007. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Prahastuti, S.W. 2005. Jurnal Agroland: Perubahan Beberapa Sifat Kimia dan
Serapan P Jagung akibat Pemberian Bahan Organik dan Batuan Fosfat
Alam pada Ultisol Jasinga :12(1):68 – 74.
Prasetyo. B. H. dan D. A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Lahan Kering di
Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdeaya
Lahan Pertanian. Bogor.

Universitas Sumatera Utara

Riyaldi, 2000. Percepatan Proses Dekomposisi Serasah di Lapangan untuk

Sumber Pupuk Organik. Media Perkebunan No. 22. Februari-Maret
2000.
Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius,
Yogyakarta.
Sarief., 1984. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Scnitzer, M. 1991. Soil Organik Matter. The Next 75 Year Soil Science.
Soetopo, R., S., Septiningrum, K. dan Surahman A. 2010. Potensi Kompos Dari
Limbah Padat Pabrik Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman.
Berita Selulosa, Vol. 45, No. 1: 32 - 43.
Stevenson, F.J. 1982. Humus chemistery Genesis, Composition, Reaction.
Departement of Agronomy University Of Illinois p.26-54.
Subagyo, H. Nata Suharta dan Agus. B. Siswanto. 2000. Tanah - Tanah Pertanian
di Indonesia. Hlm. 21 - 66 dalam Buku Sumber Daya Lahan Indonesia
dan Pegelolaannya. Pusat Penelitian Tanah Agroklimat. Bogor.
Sugiyono. (2007). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Supriyadi. 2002. Thitonia diversifolia dan Theprosia Candida sebagai sumber
Bahan Organik Alternatif untuk Perbaikan P Tanah Andisol. Sains Tanah
Vol. I. No.2 . Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Suryani, A. 2007. Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk Dengan Berbagai
Bahan Organik Dalam Bentuk Kompos, Bogor.

Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik. Permasyarakatan dan
Pengembangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Tan, K.H. 2010. Principles of Soil Chemistry Fourth Edition. CRC Press Tailor
and Francis Croup. Boca Raton. London. New York. 362 p.
Tan. K. H. 1991. Dasar - Dasar Kimia Tanah. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. Hal. 183-197.
USDA. 2010. Key To Siol Taxonomy. Tenth edition. SMSS Technical
Monograph No. 6. Blacksburg. Virginia.
Walhi, 2008.Pertanian Terpadu Suatu Strategi untuk Mewujudkan Pertanian
Berkelanjutan. Artikel Pertanian, Jawa Barat.

Universitas Sumatera Utara

Wanjau, S., M. Jhon dan R. Thijssen. 2002. Pemindahan Biomassa Panen pupuk
Cuma - Cuma. Kenya Woodfuet dan Agroforestry.
Yunindanova, M B. 2009. Tingkat kematangan kompos tandan kosong kelapa
sawit dan penggunaan berbagai jenis mulsa terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman tomat ( Lycopersicon esculentum Mill.) dan cabai
(Capsicum annuum L.). Skripsi Program Studi Agronomi. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Fisika Tanah, fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium
PT. Socfin Indonesia, Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai
dengan Mei 2016.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah Ultisol
yang diambil di Desa Kampung Dalam, Kecamatan Silangkitan, Kabupaten
Labuhan Batu Selatan, Provinsi Sumatera Utara, pada kedalaman 0 - 20 cm secara
komposit, Bahan organik berupa kompos Tithonia, kompos tankos, kompos kulit
durian, pukan ayam, aquades untuk menyiram tanah dalam keadaan kapasitas
lapang dan bahan kimia yang digunakan untuk keperluan analisis.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pot plastik sebagai wadah
tanah, Cangkul untuk mengambil tanah, Timbangan untuk menimbang bahan,
Ayakan 10 mesh untuk mengayak tanah, dan Alat–alat laboratorium lainnya untuk
keperluan analisis.

Metode Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan 2 faktor perlakuan dan 3 ulangan yaitu :
Faktor I

: Bahan Organik (B)
B0 : Tanpa Bahan Organik (0 g/ pot)
B1 : Kompos Thitonia (10 g/pot)
B2 : Kompos Kulit Durian (10 g/pot)

Universitas Sumatera Utara

B3 : Kompos TKKS (10 g/pot)
B4 : Pukan Ayam (10 g/pot)
B5 : Kompos Thitonia ( 5 g/pot ) + Pukan Ayam ( 5 g/pot)
B6 : Kompos Kulit Durian ( 5 g/pot ) + Pukan Ayam ( 5 g/pot )
B7 : Kompos TKKS ( 5 g/pot) + Pukan Ayam ( 5 g/pot )
Faktor II

: Waktu Inkubasi (I)

I1

: Inkubasi 3 minggu

I2

: Inkubasi 4 minggu

Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan sebagai berikut :
B0I1

B1I1

B2I1

B3I1

B4I1

B5I1


B6I1

B7I1

B0I2

B1I2

B2I2

B3I2

B4I2

B5I2

B6I2

B7I2


Dari kombinasi diatas diperoleh 8 × 2 × 3 = 48 unit percobaan.
Model linier rancangan acak lengkap
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ∑ijk
Dimana :
Yijk

: Data pengamatan pada kelompok ke-i pada faktor B taraf ke-j dan faktor
I taraf ke-k

µ

: Nilai tengah umum

αi

: Pengaruh percobaan ke-j dari faktor K

βj


: Pengaruh percobaan ke-j dari faktor L

(αβ)ij : Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor K dan taraf ke-j dari faktor L
∑ijk

: Pengaruh galat taraf ke-i dari faktor K dan taraf ke-j dari faktor L pada
blok ke-k

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya data dianalisis dengan analisis varian pada setiap parameter
yang diukur dan di uji lanjutan bagi perlakuan yang nyata dengan menggunakan
uji Jarak Duncan ( Duncan Multiple Range Test ) Pada taraf 5%.
PELAKSANAAN PENELITIAN
Persiapan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah Ultisol dilakukan di Desa Kampung Dalam,
KecamatanSilangkitan, Kabupaten Labuhan Batu Selatan., Contoh tanah diambil
secara komposit pada kedalaman 0-20 cm. Kemudian dikering udarakan dan
diayak dengan ayakan 10 mesh.
Analisis Tanah Awal
Tanah yang telah kering udara dan telah diayak dengan ayakan 10 mesh
lalu dianalisis % KA dan % KL untuk mendapatkan kebutuhan air dan
menentukan berat tanah yang dimasukkan ke dalam pot plastik setara 1 Kg Berat
Tanah Kering Oven

( BTKO ). Selain itu analisis yang dilakukan ialah pH H2O

(elektrometri), P-tersedia (Bray II), Al-dd (Metode KCl 1 N), KTK(ekstraksi 1 N
NH4OAc pH 7,0).
Pembuatan Kompos
Tanaman Tithonia diperoleh dari Desa Tiga Panah, Kabupaten Karo.
Tihtonia terlebih dahulu dicacah menjadi potongan-potongan kecil dan
dilanjutkan dengan mesin pencacah bahan organik (chooper) hingga ukurannya
menjadi lebih halus kemudian diletakkan dalam satu tumpukan. Lalu diberikan
EM-4 (Effective Microorganism4) yang telah dicampur dengan air

(1 L

bioaktivator /50 L air), larutan ini berfungsi untuk mempercepat proses
pengomposan. Setelah itu wadah ditutup dengan plastik untuk menjaga suhu dan

Universitas Sumatera Utara

kelembaban.Tithonia dibolak balik setiap satu minggu sekali, serta dilakukan
penyiraman setiap dua hari sekali.
Kulit durian diperoleh dari Pajak Sore, Padang Bulan Medan. Kulit durian
terlebih dahulu dicacah menjadi potongan-potongan kecil dan dilanjutkan dengan
mesin pencacah bahan organik (chooper) hingga ukurannya menjadi lebih halus
kemudian diletakkan dalam satu tumpukan. Lalu diberikan EM-4 untuk
mempercepat proses pengomposan. Setelah itu ditutup wadah dengan plastik
untuk menjaga suhu dan kelembaban. Kulit durian dibolak balik setiap satu
minggu sekali, serta dilakukan penyiraman setiap dua hari sekali.
Tandan kosong kelapa sawitdiperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS) Medan. Tandan Kosong Kelapa Sawit terlebih dahuludicacah menjadi
potongan-potongan kecil dan diletakkan pada wadah yang tersedia. Lalu diberikan
EM-4 untuk mempercepat proses pengomposan. Setelah itu ditutup wadah dengan
plastik untuk menjaga suhu dan kelembaban. Tandan kosong kelapa sawit dibolak
balik setiap satu minggu sekali, serta dilakukan penyiraman setiap dua hari sekali.
Ukur suhu masing-masing kompos setiap 2 x sehari, Pada pengomposan
akan terjadi kenaikan temperatur yang cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan
temperatur kompos dapat mencapai 55-700C. Kisaran temperatur tersebut
merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pada kisaran
temperatur ini, mikroorganisme dapat tumbuh tigakali lipat dibandingkan dengan
temperatur yang kurang dari 550C (Djuarnani dkk., 2005). Jika suhu menurun
sebaiknya tumpukan dibalik dan diratakan, kemudian dicampurkan larutan
bioaktivator. Setelah kurang lebih 4 minggu dipanen kompos yang sudah matang,

Universitas Sumatera Utara

umumnya dengan ciri-ciri (kompos sudah tidak berbau, bentuknya tidak seperti
semula, suhunya sudah normal, warnanya coklat kehitaman).
Pupuk kandang ayam diperoleh dari lokasi peternakan ayam di
Kec. Simalingkar. Pupuk kandang selanjutnya di keringudarakan di Laboratorium
Fisika Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Aplikasi Bahan Organik
Aplikasi kompos dan pukan ayam sesuai dengan perlakuan dimana dosis
yang ditambahkan yaitu setara dengan 20 ton/ha. Kompos dimasukkan ke dalam
pot dan diaduk merata. Setelah itu diinkubasi sesuai perlakuan selama 3 minggu
dan 4 minggu, selama proses inkubasi tanah dilakuka penyiraman atau
dipertahankan pada kondisi kapasitas lapang.
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan 2 kali yaitu pada 3 minggu pertama dan
4 minggu selanjutnya. Sebelum sampel diambil, tanah pada pot diaduk merata
hingga homogen dan diambil 200 g lalu dimasukkan pada kantung plastik.
Parameter Pengamatan :
1. pH H2O metode elektrometri
2. Al-dd ( me/100g ) metode KCL 1 N
3. Kadar P-Tersedia tanah dengan metode Bray II
4. KTK tanah metode ekstraksi 1 N NH4OAc pH 7,0

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
pH
Dari hasil sidik ragam (Lampiran 5), menunjukkan bahwa pemberian
bahan organik dan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap pH tanah,
demikian juga kombinasi antara Bahan organik dan waktu inkubasi berpengaruh
nyata terhadap pH tanah.
Perbedaan perlakuan bahan organik, waktu inkubasi dan kombinasi antara
bahan organik dan waktu inkubasi terhadap pH tanah Ultisol disajikan pada
Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 1. Nilai rataan pH dari aplikasi bahan organik dan waktu iinkubasi pada
tanah Ultisol.
Lama Inkubasi
Perlakuan
I1
I2
(3 minggu)
(4 minggu)
B0 ( Tanpa bahan organik)
5,38 d
5,21 de
B1 ( Kompos Tithonia)
6,85 a
6,86 a
B2 ( Kompos Kulit durian)
6,97 a
7,03 a
B3 ( Kompos TKKS)
5,58 cd
5,63 cd
B4 (Pukan Ayam)
7,04 a
6,78 a
B5 (Tithonia + Pukan Ayam)
6,66 a
6,31 b
B6 (Kulit durian + Pukan ayam)
7,05 a
6,29 b
B7 (TKKS + Pukan Ayam )
5,93 c
5,90 c
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Tabel 1 menunjukkan bahwa kombinasi bahan organik dan waktu inkubasi
pada perlakuan B1I1 (kompos tithonia yang dinkubasi 3 minggu), B1I2 (kompos
tithonia yang dinkubasi 4 minggu), B2I1 (kompos kulit durian yang dinkubasi 3
minggu), B2I2 (kompos kulit durian yang dinkubasi 4 minggu), B4I1 (pukan ayam
yang dinkubasi 3 minggu), B4I2 (pukan ayam yang dinkubasi 4 minggu), B5I1
(Tithonia + Pukan Ayam yang dinkubasi 3 minggu), B6I1 (Kulit durian + Pukan
ayam yang dinkubasi 3 minggu), berpengaruh nyata terhadap pH tanah Ultisol

Universitas Sumatera Utara

dibandingkan pada perlakuan B0I1 (tanpa bahan organik yang diinkubasi 3
minggu) dan B0I2 (tanpa bahan organik yang diinkubasi 4 minggu) dan bahan
organik lainnya. Nilai rataan pH tertinggi yaitu 7,05 diperoleh pada perlakuan
B6I1 (Kulit durian + Pukan ayam yang dinkubasi 3 minggu) dan nilai rataan pH
terendah yaitu 5,21 pada perlakuan B0I2 (tanpa bahan organik yang
diinkubasi 4 minggu).
Tabel 2. Nilai rataan pH dari aplikasi bahan organik pada tanah Ultisol
Perlakuan

Rataan

B0 ( Tanpa bahan organik)
5,30 f
B1 ( Kompos Tithonia)
6,86 ab
B2 ( Kompos Kulit durian)
7,00 a
B3 ( Kompos TKKS)
5,61 e
B4 (Pukan Ayam)
6,91 ab
B5 (Tithonia + Pukan Ayam)
6,49 c
B6 (Kulit durian + Pukan ayam)
6,67 bc
B7 (TKKS + Pukan Ayam )
5,92 d
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Dari Tabel 2 diketahui bahwa pemberian bahan organik pada perlakuan
B2 (Kompos Kulit Durian) berpengaruh nyata terhadap pH tanah dibandingkan
dengan perlakuan B0 (Tanpa Bahan Organik) yaitu pH 5,30 menjadi pH 7,00 dan
bahan organik lainnya, namun memiliki nilai pH tanah yang tidak berbeda nyata
pada perlakuan B1 (Kompos Tithonia) dan B4 (Pukan ayam) yaitu 6,86 dan 6,91.
Tabel 3. Nilai rataan pH dari inkubasi bahan organik pada tanah Ultisol.
Perlakuan

Rataan

I1 (Inkubasi 3 minggu)
6,90 a
I2 (Inkubasi 4 minggu)
6,61 b
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan waktu inkubasi berpengaruh
nyata terhadap pH tanah Ultisol. Dimana data rataan pH tanah tertinggi diperoleh

Universitas Sumatera Utara

pada perlakuan I1 (waktu inkubasi 1 minggu) yaitu 6,43 sedangkan rataan pH
tanah terendah diperoleh pada perlakuan I2 (waktu inkubasi 2 minggu) yaitu 6,25.
Perbedaan pengaruh kombinasi bahan organik dan waktu inkubasi

pH

terhadap pH pada tanah Ultisol dapat dilihat pada Gambar 1.
8,00
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00

I1
I2

B0

B1

B2

B3

B4

B5

B6

B7

Bahan Organik
Gambar 1. Grafik pengaruh pemberian bahan organik dan waktu inkubasi pH
Ultisol.terhadap pH Ultisol.
Gambar 2 menunjukkan bahwa kombinasi bahan organik dan waktu
inkubasi memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pH tanah. pH tertinggi pada
perlakuan B6I1 (Kulit durian + Pukan ayam dengan inkubasi 3 minggu) dan pH
terendah pada perlakuan B0I2 (tanpa bahan organik dengan 4 minggu inkubasi).
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Dari hasil sidik ragam (Lampiran 7), menunjukkan bahwa pemberian
bahan organik berpengaruh nyata terhadap KTK tanah, tetapi waktu inkubasi serta
kombinasi antara Bahan organik dan waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata
terhadap KTK Ultisol.
Pengaruh pemberian bahan organik dan waktu inkubasi terhadap KTK
tanah Ultisol disajikan pada Tabel 4

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4. Nilai rataan KTK (me/100g) dari aplikasi bahan organik pada tanah
Ultisol.
Perlakuan

Rataan

B0 ( Tanpa bahan organik)
4,25 c
B1 ( Kompos Tithonia)
6,70 b
B2 ( Kompos Kulit durian)
9,10 a
B3 ( Kompos TKKS)
6,30 b
B4 (Pukan Ayam)
6,15 b
B5 (Tithonia + Pukan Ayam)
6,90 b
B6 (Kulit durian + Pukan ayam)
7,90 ab
B7 (TKKS + Pukan Ayam )
6,50 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Dari Tabel 4 diketahui bahwa pemberian bahan organik pada perlakuan
B2 (Kompos Kulit durian) berpengaruh nyata terhadap KTK tanah dengan nilai
rataan KTK tanah tertinggi yaitu 9,10 me/100g dibandingkan dengan nilai rataan
pada perlakuan B0 (tanpa bahan organik) yaitu 4,25 me/100g dan bahan organik
lainnya, namun memiliki nilai KTK tanah yang tidak berbeda nyata dengan
pemberian bahan organik pada perlakuan B6 (Kulit durian + Pukan ayam) yaitu
7,90 me/100g.
Pengaruh pemberian bahan organik terhadap KTK pada tanah Ultisol
dapat dilihat pada Gambar 2.
10

KTK
(me/100g)

8
6
4
2
0
B0

B1

B2

B3

B4

B5

B6

B7

BAHAN ORGANIK
Gambar 2 . Grafik pengaruh pemberian bahan organik terhadap KTK tanah.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2 menunjukkan bahwa setiap bahan organik yang diaplikasikan
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap KTK tanah. Pada perlakuan bahan
organik B2 (kompos kulit durian) memiliki rataan KTK yang tertinggi dan pada
perlakuan B0 (tanpa bahan organik) memiliki rataan KTK yang terendah.
P-tersedia Tanah
Dari hasil sidik ragam pada (Lampiran 9), menunjukkan bahwa pemberian
Bahan organik berpengaruh nyata terhadap P-tersedia Ultisol, tetapi waktu
inkubasi serta kombinasi antara Bahan organik dan lama inkubasi tidak
berpengaruh nyata terhadap P-tersedia Ultisol.
Pengaruh pemberian bahan organik dan waktu inkubasi terhadap
P-tersedia Ultisol disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai rataan P-Tersedia (ppm) dari aplikasi bahan organik pada tanah
Ultisol.
Perlakuan

Rataan

B0 ( Tanpa bahan organik)
15,67 e
B1 ( Kompos Tithonia)
39,65 a
B2 ( Kompos Kulit durian)
33,57 b
B3 ( Kompos TKKS)
23,01 d
B4 (Pukan Ayam)
36,85 ab
B5 (Tithonia + Pukan Ayam)
35,22 b
B6 (Kulit durian + Pukan ayam)
33,50 b
B7 (TKKS + Pukan Ayam )
27,02 c
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Dari Tabel 5 diketahui bahwa pemberian bahan organik pada perlakuan
B1 (Kompos Tithonia) berpengaruh nyata terhadap P-Tersedia tanah dengan nilai
rataan tertinggi yaitu 39,65 ppm dibandingkan pada perlakuan B0 ( Tanpa bahan
organik) yaitu 15,67 ppm dan bahan organik lainnya, namun tidak berbeda nyata

Universitas Sumatera Utara

dengan pemberian bahan organik pada perlakuan B4 (Pukan Ayam) yaitu
36,85 ppm.
Pengaruh pemberian bahan organik terhadap P-tersedia pada tanah Ultisol

P-Tersedia
(ppm)

dapat dilihat pada Gambar 3.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
B0

B1

B2

B3

B4

B5

B6

B7

Bahan Organik
Gambar 3 . Grafik pengaruh pemberian bahan organik terhadap P-Tersedia tanah.
Gambar 3 menunjukkan bahwa setiap bahan organik yang diaplikasikan
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap P-Tersedia tanah. P-Tersedia tanah
tertinggi terdapat pada perlakuan B1 (kompos Tithonia) sedangkan P-Tersedia
tanah terendah terdapat pada perlakuan B0 (tanpa bahan organik).
Alumunium Dapat Dipertukarkan (Al-dd)
Dari hasil sidik ragam pada (Lampiran 11), menunjukkan bahwa
pemberian bahan organik berpengaruh nyata terhadap Al-dd Ultisol, tetapi waktu
inkubasi serta kombinasi antara bahan organik dan waktu inkubasi berpengaruh
tidak nyata terhadap Al-dd Ultisol.
Pengaruh aplikasi bahan organik dan waktu inkubasi terhadap Al-dd
Ultisol disajikan pada Tabel 6.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Nilai rataan Al-dd (me/100gr) dari aplikasi bahan organik pada tanah
Ultisol.
Perlakuan

Rataan

B0 ( Tanpa bahan organik)
0,67 c
B1 ( Kompos Tithonia)
0,36 b
B2 ( Kompos Kulit durian)
0,34 b
B3 ( Kompos TKKS)
0,36 b
B4 (Pukan Ayam)
0,21 a
B5 (Tithonia + Pukan Ayam)
0,23 a
B6 (Kulit durian + Pukan ayam)
0,18 a
B7 (TKKS + Pukan Ayam )
0,19 a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berarti berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Dari Tabel 6 diketahui bahwa bahan organik pada perlakuan B4 (Pukan
Ayam), B5 (Tithonia + Pukan Ayam), B6 (Kulit durian + Pukan ayam),
B7 (TKKS + Pukan Ayam ) berpengaruh nyata terhadap Al-dd tanah Ultisol
dibandingkan pada perlakuan B0 ( Tanpa bahan organik) dan bahan organik
lainnya. Nilai rataan Al-dd terendah pada perlakuan B6 (Kulit durian + Pukan
ayam) yaitu 0,18 me/100g dan nilai rataan tertinggi pada perlakuan B0 (Tanpa
bahan organik) yaitu 0,67 me/100g.
Pengaruh pemberian bahan organik terhadap Al-dd pada tanah Ultisol

Al-dd
(me/100g)

dapat dilihat pada Gambar 4.
0,80
0,70
0,60
0,50
0,40
0,30
0,20
0,10
0,00
B0

B1

B2

B3

B4

B5

B6

B7

Bahan Organik
Gambar 4. Grafik pengaruh perlakuan bahan organik terhadap Al-dd tanah.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4 menunjukkan bahwa setiap bahan organik yang diaplikasikan
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap Al-dd tanah. pada pemberian bahan
organik B6 (Kulit durian + Pukan ayam) memiliki rataan Al-dd yang terendah
dibandingkan dengan rataan Al-dd pada B0 (tanpa bahan organik) dan bahan
organik lainnya.
Koefisien Korelasi Antara pH(H2O), Al-dd dan P-Tersedia Tanah
Koefisien korelasi P-tersedia pada Tabel 7 menunjukkan bahwa Parameter
P-tersedia dengan pH-tanah berkorelasi positif dan berkorelasi negatif dengan
parameter Al-dd.
Tabel 7. Rangkuman koefisien korelasi dari parameter yang diukur.
Ph
P-tersedia
Al-dd
pH
1
P-tersedia
0,85**
1
Al-dd
-0,51**
-0,58**
1

Dari Tabel 7 diketahui bahwa hubungan korelasi antara P-tersedia dan pH
tanah adalah sangat kuat yang ditunjukan dengan nilai korelasi sebesar 0,85 yang
mendekati +1. Tanda positif menunjukkan bahwa korelasi yang terjadi antara

P-

tersedia dan pH tanah memiliki hubungan yang berbanding lurus.
Dari Tabel 7 diketahui bahwa hubungan korelasi antara P-tersedia dan
Al-dd tanah memiliki kriteria hubungan cukup kuat dengan nilai korelasi sebesar
-0,58 tanda negatif menunjukkan bahwa korelasi

yang terjadi

antara

P-tersedia dan Al-dd tanah memiliki hubungan yang berbanding terbalik.

Universitas Sumatera Utara

Pembahasan
Pengaruh Bahan Organik dan Waktu Inkubasi Terhadap pH Ultisol
Dari Tabel 1 sampai dngan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pengaruh
pemberian bahan organik, lama inkubasi dan kombinasinya, masing-masing
berpengaruh nyata terhadap pH tanah. Hasil tersebut juga dapat dilihat pada
Gambar 1 yang menunjukkan bahwa kombinasi setiap bahan organik dengan
waktu inkubasi masing-masing memberikan pegaruh yang berbeda terhadap pH
tanah dan dapat dilihat bahwa nilai pH pada pemberian bahan organik lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai pH pada perlakuan tanpa bahan organik baik pada
inkubasi 3 minggu maupun inkubasi 4 minggu. Pada kombinasi perlakuan B6I1
(Kulit Durian + Pukan Ayam yang diinkubasi 3 minggu) merupakan perlakuan
dengan nilai pH tanah tertinggi yaitu 7,05 dan menurut kriteria kesuburan tanah
tergolong dalam kriteria netral (Lampiran 8). Hal ini disebabkan karena kulit
durian + pukan ayam yang diinkubasi selama 3 minggu dalam proses
dekomposisinya akan melepaskan mineralnya, baik itu asam-asam organik
ataupun kation-kation basa, yang akan mengakibatkan peningkatan pH tanah.
Hal ini sesuai dengan Hamed (2014) yang menyatakan bahwa kandungan unsur
hara yang diberikan dari bahan organik pada tanah berkorelasi dengan lamanya
proses mineralisasi yang dibutuhkan suatu bahan organik untuk menyediakan hara
bagi tanah. Asam-asam organik sebagai hasil dekomposisi dapat mengikat ion H+
sebagai penyebab kemasaman dalam tanah sehingga pH tanah meningkat. Hal
tersebut didukung oleh Scnitzer (1991) yang menyatakan bahwa asam-asam
organik dapat mengikat ion H+ melalui gugus karboksil yang memiliki muatan
negatif, dengan reaksi sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

H

O

H

O

+

+H
R

C

C

R

NH+

O-

C

C

NH+

OH

Selanjutnya Bayer et al. (2001) menyatakan bahwa naik turunnya pH
tanah merupakan fungsi ion H+ dan OH-, jika konsentrasi ion H+ dalam larutan
tanah naik, maka pH akan turun dan jika konsentrasi ion OH- naik maka pH akan
naik. Bahan organik yang telah terdekomposisi akan dapat menghasilkan ion OHyang dapat menetralisir aktivitas ion H+.
Ultisol tergolong tanah agak masam hingga masam, Ultisol yang memiliki
kadar Al dan Fe tinggi menyebabkan keasaman dengan reaksi sebagai berikut :
Al3+ + H2O

Al(OH)3 + 3H+

Fe2+ + 1/4O2 + 3/2H2O

Fe(OH)2 + 2H+

Asam-asam organik akan mengikat Al3+ dan Fe2+ membentuk senyawa
komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi. Menurut Riyaldi (2000)
penambahan bahan organik pada tanah masam, antara lain Inseptisol, Ultisol dan
Andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar
tanah.
Pengaruh Bahan Organik dan Waktu Inkubasi Terhadap KTK Ultisol
Dari

Tabel

4

menunjukkan

bahwa

perlakuan

bahan

organik

berpengaruh nyata terhadap KTK tanah. Hasil tersebut juga dapat dilihat dari
Gambar 2 yang menunjukkan setiap perlakuan bahan organik memiliki pengaruh
yang berbeda terhadap KTK tanah dan dapat dilihat bahwa pada Pemberian bahan
organik memiliki nilai KTK yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa
pemberian bahan organik. Pada perlakuan B2 (Kompos Kulit Durian) merupakan

Universitas Sumatera Utara

bahan organik yang memiliki nilai KTK tanah tertinggi. Hal ini dipengaruhi
karena kompos kulit durian telah terdekomposisi, dimana bahan organik yang
telah terdekomposisi akan menghasilkan senyawa humik yang menyumbangkan
koloid-koloid tanah sehingga KTK tanah akan bertambah. Terjadinya penanbahan
ini juga disebabkan oleh bertambahnya muatan negatif koloid tanah. Muatan
negatif ini berasal dari gugus karboksil (COOH) dan hidroksil (OH) yang terdapat
dalam senyawa organik. Hal ini sesuai dengan Stevenson (1982) yang menyatakan
bahwa adanya gugus fungsional dari senyawa organik dapat menghasilkan
sejumlah muatan negatif pada koloid tanah. Hal ini sejalan dengan pendapat
Brady dan Weil (2002) yang menyatakan bahwa bahwa disosiasi

gugus COOH

dan OH dari senyawa organik dapat meningkatkan muatan negatif dalam tanah
sehingga dapat meningkatkan KTK tanah, namun pemberian bahan organik tidak
banyak memberikan penambahan terhadap KTK tanah.
Pengaruh Bahan Organik dan Waktu Inkubasi terhadap P-Tersedia Ultisol
Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa pengaruh pemberian bahan organik
berpengaruh nyata terhadap P-Tersedia Ultisol. Hasil ini dapat dilihat dalam
Gambar 2 yang menunjukkan bahwa bahwa dengan pemberian beberapa sumber
bahan organik terjadi penambahan P-tersedia pada tanah Ultisol dan pada
perlakuan B1 (Kompos Tithonia) merupakan bahan organik yang memiliki nilai
P-tersedia tanah tertinggi dan tergolong sangat tinggi (Lampiran 8). Hal ini
dikarenakan kandungan P yang terdapat pada kompos Tithonia tergolong kriteria
yang tinggi yaitu sebesar 0,89 % sehingga mampu menyumbangkan P kedalam
tanah. Hal ini sesuai dengan Wanjau, dkk., (2002) yang menyatakan bahwa hasil

Universitas Sumatera Utara

analisa laboratorium menunjukkan bahwa Konsentrasi fosfor di daun Tithonia
tergolong tinggi yang berkisar antara 0,27 - 0,38 % P.
Selanjutnya peningkatan P-tersedia disebabkan karena kompos Tithonia
yang telah terdekomposisi akan menghasilkan senyawa-senyawa organik yang
berperan sebagai pengkhelat, sehingga dapat menyebabkan P yang tidak larut
menjadi bentuk terlarut. Hal ini sesuai dengan Gusnidar, dkk., (2010) yang
menyatakan bahwa dalam proses inkubasi, Tithonia akan mengalami proses
dekomposisi sehingga akan menghasilkan asam-asam organik, hal tersebut
diakibatkan karena bahan organik tersebut sebagian besar telah terurai dengan
baik sehingga akan menghasilkan asam-asam organik. Hal ini didukung oleh
Haynes dan Mokolobate (2001) menyatakan bahwa peningkatan P terjadi karena
pembentukan senyawa komplek Al oleh senyawa-senyawa organik hasil
dekomposisi sehingga menurunkan kandungan Al-dd dan mengurangi adsorpsi P
oleh Al sehingga ketersediaan P meningkat.
Pengaruh Bahan Organik dan Waktu Inkubasi Terhadap Al-dd Ultisol
Dari Tabel 6 pengaruh pemberian bahan organik berpengaruh nyata
terhadap Al-dd Ultisol. Hasil ini dapat dilihat dalam Gambar 2 yang menunjukkan
bahwa dengan pemberian beberapa sumber bahan organik terjadi penurunan Al-dd
pada tanah Ultisol dan dapat dilihat bahwa pada pemberian bahan organik
memiliki nilai Al-dd tanah yang terendah dibandingkan dengan tanpa pemberian
bahan organik dan pada perlakuan B6 (Kulit Durian + Pukan Ayam) merupakan
bahan organik dengan nilai rataan Al-dd terendah. Hal ini disebabkan karena
pemberian Kulit Durian dan Pukan Ayam yang telah terdekomposisi di dalam
tanah akan menghasilkan asam-asam organik melalui proses mineralisasi bahan

Universitas Sumatera Utara

organik yang akan membentuk senyawa khelat dengan Al bebas dalam tanah,
sehingga Al yang dapat dipertukarkan menurun dan terdapat hubungan antara
Al-dd terhadap pH dan P-tersedia tanah, yaitu dengan penurunan Al-dd maka
akan meningkatkan pH dan P-tersedia tanah. Hal ini disebabkan Al3+ merupakan
logam yang dapat mengikat P dan membuat pH menjadi masam hal ini dapat
dilihat dari reaksi sederhana sebagai berikut:
Al3+ + H2PO4- + 2H2O
Larut

2H+ + Al(OH)2H2PO4
Tidak Larut

Semakin banyak ion Al yang mengalami hidrolisis, semakin banyak ion
H+ yang disumbangkan, dan semakin masamlah tanah tersebut. Penurunan jumlah
Al-dd akibat penambahan bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan jumlah
P menjadi tersedia dan pH tanah menurun. Hal ini sesuai dengan
Huang dan Schnitzer (1997) dengan peningkatan takaran asam humat maka terjadi
pula peningkatan gugus fungsional asam humat, sehingga dapat membentuk
kompleks melalui gugus fungsional karboksil (-COOH) dan phenolik (-OH)
dengan Al3+ dalam jumlah yang cukup banyak. Akibatnya Al3+ yang dapat
dipertukarkan menjadi berkurang.
Koefisien Korelasi Antara pH dan Al-dd Dengan P-Tersedia
Dari Tabel 5 diketahui bahwa hubungan korelasi antara P-tersedia dan pH
tanah adalah sangat kuat dan searah. Artinya jika pH meningkat maka P-tersedia
meningkat. Hal ini disebabkan karena pH mempengaruhi kelarutan Al3+ dan Fe2+
di dalam tanah melalui aktifitas asam-asam organik yang dapat mengkhelat Al3+
dan Fe2+ sehingga P tidak dapat terikat dan tidak terhidrolisis kembali, akibatnya
pH akan meningkat dan diikiti dengan peningkatan P-tersedia. Selanjutnya
menurut Riyaldi (2000) penambahan bahan organik pada tanah masam, antara lain

Universitas Sumatera Utara

Inseptisol, Ultisol dan Andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu
menurunkan Al tertukar tanah.
Dari Tabel 5 diketahui bahwa hubungan korelasi antara P-tersedia dan
Al-dd tanah adalah cukup kuat dan tidak searah. Artinya jika Al-dd menurun
maka P-tersedia meningkat. Hal ini disebabkan karena asam-asam organik yang
dihasilkan oleh dekomposisi bahan organik mampu mengkhelat Al3+ sehingga P
tidak dapat diikat oleh Al3+ sehingga P tersedia dan Al-dd menurun. Selanjutnya
menurut ardjasa (1994) asam – asam organik akan menghasilkan anion organik
yang mempunyai sifat dapat mengikat ion Al, Fe dari dalam larutan tanah, dengan
demikian konsentrasi ion Al, Fe dalam tanah akan berkurang dan fosfat akan
tersedia lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN
1. Pemberian bahan organik mempengaruhi terhadap pH, P-Tersedia,

Al-dd

dan KTK tanah Ultisol.
2. Bertambahnya waktu inkubasi mempengaruhi pH, akan tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap P-Tersedia, Al-dd serta KTK tanah Ultisol.
3. Kombinasi bahan organik dan waktu inkubasi mempengaruhi pH tanah,
akan tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap P-tersedia, Al-dd serta KTK
tanah Ultisol.
SARAN
Perlu dilakukan pegujian bahan organik dengan berbagai takaran dosis
dan waktu inkubasi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sifat kimia, fisik,
dan biologi tanah.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Ultisol
Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian (potensial), asalkan
dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada tanah Ultisol
sehingga dapat menjadi yang siap dimanfaatkan untuk budidaya tanaman apabila
iklimnya mendukung. Tanah Ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5
(Walhi, 2008).
Konsepsi pokok dari Ultisol adalah tanah-tanah berwarna merah kuning
yang sudah mengalami proses hancuran iklim lanjut sehingga merupakan tanah
berpanampang dalam sampai sangat dalam (>2m), menunjukkan adanya kenaikan
liat dengan bertambahnya kedalaman yaitu terbentuknya horixon bawah
akumulasi liat (disebut horizon B argilik), dengan reaksi agak masam sampai
masam dengan kandungan basa-basa yang rendah. Dari data analisis tanah Ultisol
dari berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki
ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4 - 4,8). Kandungan bahan organik lapisan
atas yang tipis (8-12 cm), umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong
rendah (5-10). Kandungan N, P, dan K yang bervariasi sangat rendah, baik lapisan
atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar rendah, kandungan K-dd
hanya berkisar 0-0,1 me/100 (Subagyo, dkk., 2000).
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah mineral masam (acid soil) yang
merupakan potensi besar untuk perluasan dan peningkatan produksi pertanian di
Indonesia. Pemanfaatan Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan umumnya
terkendala oleh sifat-sifat kimia yang dirasakan berat bagi para petani untuk

Universitas Sumatera Utara

mengatasinya, karena kondisi ekonomi dan pengetahuan yang umumnya lemah.
Kendala utama yang dijumpai didalam kaitannya dengan pengembangan Ultisol
untuk lahan pertanian terutama karena termasuk tanah yang mempunyai harkat
keharaan yang rendah (Prahastuti, 2005).
Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan
sedimen dan granit ( > 60% ). Kejenuhan Al berhubungan erat dengan pH tanah.
Tanah Ultisol mempunyai reaksi agak masam sampai masam dengan kandungnan
basa - basa rendah yang di ukur dengan kejenuhan basa pH 7 < 50% pada
kedalaman 125 cm dibawah atas horizon argilik atau 180 cm dari permukaan
tanah (USDA, 2010).
Potensial Hidrogen (pH)
Kemasaman tanah atau pH (potential of hydrogen) adalah nilai yang
menggambarkan jumlah relatif ion H+ dalam larutan tanah. Larutan tanah disebut
beraksi asam jika pH berada pada kisaran 0-6. Artinya, larutan tanah mengandung
ion H+ lebih besar daripada ion OH-. Sebaliknya, jika jumlah ion H+ dalam tanah
lebih kecil daripada ion OH-, larutan tanah disebut bereaksi basa (alkali) atau
memiliki pH 8-14. Jika jumlah ion H+ dalam larutan tanah sama dengan ion OH-,
larutan tanah disebut bereaksinetral dengan pH 7. Semakin banyak kandungan
ion H+ di dalam tanah, reaksi tanah akan semakin asam ( Novizan, 2007).
Unsur Hara Fosfor
Senyawa P-organik dalam tanah antara lain fosfolipida, asam suksinat,
fitin dan inositol fosfat yang dapat didekomposisi dengan baik oleh mikroba
tanah. Unsur P-anorganik mudah bersenyawa dengan berbagai ikatan seperti Al,
Fe, Ca, dan Mn. Senyawa P-anorganik dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian

Universitas Sumatera Utara

yaitu besi fosfat (FePO4), aluminium fosfat (AlPO4), kalsium fosfat (Ca3(PO4)2)
dan reductant soluble. Bentuk FePO4 dan AlPO4 dominan ditemukan pada tanah
masam (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Ion fosfat yang diperuntukkan bagi tanaman tingkat tinggi sebagian besar
ditentukan pH tanah. Jika pH tinggi P yang mudah larut ialah dalam bentuk
H2PO4-. Kalau pH menurun menjadi sedikit atau cukup asam , bentuk ion ialah
HPO4- dan H2PO4-. Sedangkan jika keberadaan dalam bentuk sangat asam
sebagian besar fosfor dalam bentuk H2PO4- . P organik terlebih dahulu mengalami
mineralisasi agar bisa dimanfaatkan tanaman (Sarief,1984).
Pada tanah–tanah tropika umumnya mengalami intensitas pelapukan
tinggi,

bentuk–bentuk

P–terfiksasi

dapat

terselubung

(occluded)

oleh

oksida – oksida Fe dan Al membentuk P-terselubung yang kelarutannya sangat
rendah. Hal ini kemudian menyebabkan pada tanah – tanah tua ( seperti Oksisol
dan Ultisol ) ketersediaan P menjadi sangat rendah, meskipun kadangkala total
kandungan P-nya tinggi (Hanafiah, 2005).
Alumunium Dapat Dipertukarkan (Al-dd)
Peran Al dapat ditukar pada tanah Ultisol,Oxisol dan Alfisol sangat
penting,karena pada tanah - tanah tersebut sering ditemukan kejenuhan Al nisbi
yang tinggi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Ultisol mempunyai
kejenuhan Al yang lebih tinggi daripada tanah - tanah yang lain, bahkan bisa
mencapai lebih dari 85%. Didalam tanah Al-dd akan mengendap pada pH antara
5,5 sampai 6,0 sehingga pada tanah - tanah yang mempunyai pH lebih besar dari
6,0 kandungan Al-dd dan kejenuhan Al nisbi rendah bahkan peranannya dapat
diabaikan (Munthe,1997)

Universitas Sumatera Utara

Bahan organik sangat berperan dalam memperbaiki sifat kimia dan juga
dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Bahan organik juga sangat berperan
dalam pembebasan P-fiksasi oleh senyawa Al dan Fe. Asam - asam organik yang
dilepaskan mampu mengikat ion logam seperti Al dan ion Fe di dalam tanah,
kemudian membentuk senyawa kompleks yang sukar larut. Senyawa - senyawa
termasuk asam humat dan fulvat mampu membentuk kompleks dengan ion-ion
logam (Tan,1991).
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah didefinisikan sebagai kemampuan
suatu koloid tanah untuk mengadsorpsi kation dan mempertukarkannya. KTK
biasanya dinyatakan dalam milliekuivalen per 100 gr. Pertukaran ini hanya terjadi
jika larutan tanah berada dalam keadaan tidak seimbang dengan koloid tanah.
Larutan tanah dan dan koloid tanah sangat jarang berada dalam keadaan seimbang
antara satu dengan lainnya. Selalu saja terjadi perubahan yang disebabkan oleh
tercucinya kation ke lapisan tanah yang lebih dalam akibat aliran air atau beberapa
kation diserap oleh tanaman. Kapasitas Tukar Kation tanah yang rendah dapat
ditingkatkan dengan bahan organik seperti kompos atau pupuk kandang.
(Novizan, 2007).
Bahan Organik
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan
tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah
menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga
menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk
kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting

Universitas Sumatera Utara

bagi negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat
sehingga tercipta tanah-tanah rusak yang jumlah maupun intensitasnya meningkat
(Suryani, 2007).
Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan tanaman tergantung pada laju
proses dekomposisinya. Secara umum faktor - faktor yang mempengaruhi laju
dekomposisi ini meliputi faktor bahan organik dan faktor tanah. Faktor bahan
organik meliputi komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin dan ukuran bahan,
sedangkan faktor tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur dan
suplai oksigen, serta reaksi tanah, ketersediaan hara terutama N, P, K, dan S
(Hanafiah, 2005).
Pupuk Kandang Ayam
Kotora ayam merupakan salah satu pupuk kandang yang sering digunakan
oleh petani saat ini . secara keseluruhan kotoran ayam mengandung 55 % H2O,
1,00 % N, 0,80 % P2O5 dan 0,04 % K2O. pemberian pupuk kandang ini
memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap kesuburan tanah dan
pertumbuhan tanaman, bahkan lebih baik dari pupuk kandang hewan besar
( Hasibuan, 2004 ).
Pupuk kandang selalu di aplikasikan sebelum atau pada saat pengolahan
sebelum benih atau bibit tanaman. Sebagai pupuk dasar pupuk kandang di
aplikasikan secara sebar merata di seluruh permukaan tanah kemudian tanah
dibajak dan di garu, selain sebagai pupuk dasar pupuk kandang dapat juga
digunakan sebagai pupuk susulan. Pupuk kandang dapat ditambahkan bersama
pupuk kimia pada saat tanam dengan cara membenamkan diantara tanaman sejajar

Universitas Sumatera Utara

dengan

baris

tanaman.

Rekomendasi

pupuk

kandang

yang

digunakan

20 – 25 ton/Ha ( sutanto, 2002).
Kompos Tithonia Diversifolia
Tithonia diversifolia mampu menghasilkan biomassa dalam jumlah besar
(275 ton bahan hijauan setara 55 ton berat kering per hektar), nisbah C/P kurang
dari 200, daun - daun kering Tithonia diversifolia mempunyai kandungan N
(3,15%), P (0,32 %), K (3,1 %), polifenol larut (2,9 %), lignin (9,8 %) serta
menurunkan jerapan P oleh Al-Fe oksida dalam tanah (supriyadi, 2002).
Tithonia diversifolia merupakan sejenis gulma yang dapat tumbuh di
sembarang tanah, namun menggandung unsur hara yang tinggi terutama N, P, K,
yaitu 3,5% N ;0,38% P ; dan 4,1% K yang berfungsi untuk meningkatkan pH
tanah, Menurunkan Al-dd serta meningkatkan kandungan P, Ca dan Mg tanah
(Hartatik, 2007).
Menurut Hakim (2006), dari pelapukan bahan organik akan dihasilkan
asam humat, asam vulvat, serta asam - asam organik lainnya. Asam - asam itu
dapat mengikat logam seperti Al dan Fe, sehingga mengurangi kemasaman serta
pengikatan P dan P akan lebih tersedia. Anion - anion organik seperti sitrat, asetat,
tartrat dan oksalat yang dibentuk selama pelapukan bahan organik dapat
membantu pelepasan P yang diikat oleh hidroksida - hidroksida Al, Fe, dan Ca
dengan jalan bereaksi dengannya, membentuk senyawa kompleks.
Pemberian Tithonia pada tanah Ultisol untuk mensubstitusi N dan K
pupuk buatan dapat meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd, serta
meningkatkan kandungan hara P, Ca, dan Mg tanah (Hartatik,2007).

Universitas Sumatera Utara

Analisa laboratorium menunjukkan bahwa Tithonia segar terdiri dari 20%
bahan kering dan mengandung nitrogen 4,6%. Konsentrasi fosfor di daun Tithonia
sangat tinggi (0,27 - 0,38% P). Jumlah P di daun Tithonia lebih tinggi daripada
tingkat yang ditemukan di tumbuhan polong yang biasanya digunakan di
pertanian maupun pada hutan dan perkebunan, yang hanya sebesar 0,15 - 0,20%
fosfor (Wanjau, dkk, 2002).
Kompos Kulit Durian
Kompos kulit durian memiliki asam asam organik yang mampu
membentuk senyawa kompleks dengan ion – ion aluminium, sehingga aluminium
ini sangat sukar bebas/aktif dalam memfiksasi fosfat. Reaksi yang sama
berkemungkinan dapat terjadi antara anion asam organik dengan kation asam
( H+ ) sehingga keasaman tanah semakin rendah akibat perlakuan kompos kulit
durian ( lahuddin, Sukirman dan Guchy, 2005).
Berdasarkan penelitian Hutagaol (2003) menunjukan bahwa pemberian
kompos kulit buah durian dengan dosis takaran 20 ton/ha berpengaruh sangat
nyata untuk menetralkan sebagian efek meracun Al dalam larutan tanah dan juga
meningkatkan KTK tanah serta pH tanah.
Peningkatan pH tanah yang disebabkan oleh pemberian kompos
disebabkan oleh kandungan basa basa kompos yang sangat tinggi sehingga
menyebabkan peningkatan pH yang sangat jelas. Peningkatan basa basa ini juga
menyebabkan ketersediaan hara bagi pertumbuhan tanaman. Akibat langsung dari
peningkatan pH adalah terjadinya peningkatan ketersediaan P pada tanah tersebut.
Penambahan kompos limbah kota seperti kompos kulit buah durian dan kompos
kulit buah kakao juga menyebabkan Al-dd menurun dengan jelas (Anas, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Karakteristik kulit durian segar
No.

Karakteristik

1.
Kandungan kulit buah durian
2.
Kandungan air
3.
Kandungan abu
4.
Kadar C
5.
Kadar N
6.
C/N
7.
P
8.
K
*:setelah menjadi kompos (Lahuddin, 1999)

Nilai

62,4 %
95,5 %
4,6 %
40,6 % (26,01 %*)
0,98 % (2,59 %*)
41,4
0,13 %
1,71 %

Tandan kosong Kelapa Sawit (TKKS)
TKKS sebagai salah satu limbah sawit semakin banyak dengan semakin
meningkatnya perkebunan kelapa sawit. TKKS memiliki beberapa keunggulan
memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat
fisik, kimia dan biologi. TKKS merupakan bahan organik yang mengandung
unsur N, P, K dan Mg. Salah satu potensi TKKS yang cukup besar adalah sebagai
bahan pembenah tanah dan sumber hara bagi tanaman. Potensi ini didasarkan
pada materi TKKS yang merupakan bahan organik dengan kandungan hara yang
cukup tinggi. Secara fisik tandan kosong kelapa sawit terdiri dari berbagai macam
serat dengan komposisi antara lain sellulosa sekitar 45,95%; hemisellulosa sekitar
16,49% dan lignin sekitar 22.84%. Tandan kosong sawit mengandung 42,8 % C,
2,90 % K2O, 0,80 % N, 0,22 % P2O5, 0,30 % MgO dan unsur - unsur mikro antara
lain 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn (Yunindanova, 2009).
Keunggulan kompos TKKS meliputi kandungan kalium yang tinggi, tanpa
penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam
tanah dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Selain itu
kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1)

Universitas Sumatera Utara

memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan; (2) membantu kelarutan
unsur - unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman; (3) bersifat
homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman; (4) merupakan
pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah dan (5) dapat
diaplikasikan pada sembarang musim (Soetopo dan Surahman, 2010 ).

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan
Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti
Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi
(4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha)
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Ditinjau dari sebaran luasnya menjadikan Ultisol sangat potensial untuk
usaha budidaya pertanian. Namun tanah Ultisol merupakan tanah yang memiliki
tingkat kesuburan tanah yang rendah, hal ini disebabkan oleh banyak faktor
diantaranya pH yang bersifat masam, Al-dd yang tinggi, kandungan P-tersedia
dalam tanah Ultisol yang rendah karena ion P dalam tanah diikat oleh oksida Al
dan Fe. Kapasitas Tukar Kation (KTK) dalam tanah Ultisol tergolong rendah hal
ini menyebabkan kation-kation dalam tanah berupa K+, NH4+, Ca++ dan lain-lain
mudah terlindi akibatnya tanah miskin akan unsur hara. Hal ini mengindikasikan
bahwa tanah sudah mengalami pelapukan lanjut sehingga kesuburan tanah
menjadi rendah (Kusumastuti, 2014).
Penambahan bahan organik

merupakan salah satu upaya yang dapat

digunakan untuk mengatasi masalah keharaan dalam tanah tersebut. Bahan
organik dalam proses dekomposisinya akan melepaskan asam - asam organik
yang dapat mengikat Al dan membentuk senyawa kompleks, sehingga Al menjadi
tidak larut. Pemberian bahan organik merupakan salah satu cara untuk
mempercepat proses ameliorasi tanah terutama tanah Ultisol (Tan, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Secara umum dapat dikatakan bahwa bahan organik memperbesar
ketersediaan P tanah melalui proses dekomposisi yang menghasilkan asam – asam
organik, dimana asam – asam tersebut menghasilkan ion yang dapat memutuskan
ikatan antara P dengan unsur – unsur Al, Fe, sehingga P menjadi tersedia.
Bahan organik (kompos) yang dapat dimanfaatkan adalah kompos
Tithonia diversifolia yang merupakan tanaman legum, banyak tumbuh sebagai
semak di sekitar lahan pertanian. Kulit buah durian dan Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS) merupakan bahan organik yang sangat mudah diperoleh
dikarenakan produksinya yang tinggi khususnya di Sumatera utara. dan pupuk
kandang ayam merupakan pupuk kandang yang mudah di dapat dan tersedia
dalam jumlah banyak.
Inkubasi bahan organik merupakan hal yang penting dalam proses
pengomposan bahan organik. Inkubasi ditujukan agar reaksi bahan organik dan
tanah dapat bejalan dengan baik, oleh karena itu perlakuan inkubasi sangat perlu
diperhatikan agar nantinya unsur hara dapat tersedia bagi tanaman. Hal ini sesuai
dengan Jama et al., (2000) yang menyatakan bahwa inkubasi dilakukan untuk
dapat memberikan kesempatan bagi mikroorganisme untuk dapat berkembang dan
bermetabolisme

untuk

menguraikan

kandungan

bahan

organik

menjadi

senyawa-senyawa anorganik yang nantinya akan diserap oleh tanaman. Hal ini
didukung oleh Gusnidar, dkk., (2010) yang menyatakan bahwa dalam
pemanfaatan Tithonia diversifolia sebagai pupuk alternatif untuk padi sawah, cara
pemberian yang tepat kompos Tithonia pada tanah sawah adalah dengan cara
diaduk dan diinkubasi pada kapasitas lapang selama 3 minggu. selama proses

Universitas Sumatera Utara

inkubasi, Tithonia akan mengalami proses dekomposisi sehingga akan
menghasilkan asam-asam organik.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian
tentang