Demokrasi Dan Tata Pemerintahan Dalam Konsep Desa Dan Kelurahan (Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) Uudnri 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat)

DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP
DESA DAN KELURAHAN
(Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang
Kedaulatan Rakyat)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:
Setyo Nugroho
1110048000024

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M


|

- "tF

DEMOKRASI DAI\I TATA PEMERINTA}IAN DALAM KONSEP
DESA DAN KELURAHAN
(Analisis Yuridis Pasal

I Ayat

(2) UUDNRI 1945 Tentang

Kedaulatan Ralryat)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:


Setvo Nueroho
1110048000024

195403031976111

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAI\I NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU IIUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAI{ HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF' HIDAYATULLAII

JAKARTA
1435 rV2014

M

F='


PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi ini berjudul DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP

DBSA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal

I

ayat (2) UUDNRI 1945 tentang

Kedaulatan Rakyat), telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 05 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu,

yaitu Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilrnu Hukum dengan Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara.
Jakarta, 05 Mei 2014
ngesahkan

Fakultas Syariah dan Hukunr


196808121999031014

PANITIA UJIAN
Dr. Djawahir Heiazziey. S.H.. M.A.

Ketua

NrP. I 95003061 97603 r 00r
Sekretaris

Drs. Abu Tarnrin. S.H.. M.HLrm.

NrP. I 96509081 99503 100r
Pembimbing

Prof. Dr. H. A. Salrnari Masealatune. S.H.. M.H.

NrP. re540303 r976 t r t00l
Penguji I


Penguji

II

Drvi PutriCahyawati. S.H.. M,H.

Nur Habibi. SH.l.. M.H.

NIP. I 97608r 7200912100s

LEMBAR PERNYATAAI\
Dengan

l.

ini

saya menyatakan bahwa:

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata

I (SI) di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah I akarta.

2.

Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan

ini

telah

saya

cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

3.


Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berada

di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jekerte,.?4 Apnl2014

1

I 10048000024

ABSTRAK
SETYO NUGROHO. NIM: 1110048000024. DEMOKRASI DAN TATA
PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN (Analisis
Yuridis Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H /

2014 M. + 73 halaman + lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelenggaraan pemerintahan
pada tingkat desa dan kelurahan sebagai organisasi pemerintahan terendah di dalam
Negara Kesatuan Republik Indoensia. Hal ini terkait dengan penerapan asas
kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945.
Dampak penerapan asas tersebut terlihat pada bentuk sistem pemerintahan yang
diterapkan di Indonesia, yaitu sistem pemerintahan demokrasi diseluruh tatanan
pemerintahan, mulai dari tingkat pusat sampai dengan daerah, dari yang tertinggi,
hingga yang terendah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
mengedepankan pendekatan perundang-undangan, yaitu menggali data dan mencari
sumber informasi melalui undang-undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga
diperoleh melalui data yang sudah terkondifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun
artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa desa merupakan suatu bentuk
pemerintahan yang demokratis, baik secara undang-undang maupun sistem
kemasyarakatan berdasarkan adat istiadat yang hidup di masyarakat. Sementara itu,
kelurahan merupakan tatanan pemerintahan yang bersifat administratif yang tidak
mencerminkan penerapan sistem demokrasi berdasarkan asas kedaulatan rakyat yang
diterapkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Kata kunci: Kedaulatan, Demokrasi, Pemerintahan Desa dan Kelurahan,
Pemerintahan Adat.
Pembimbing

: Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.

Daftar Pustaka

: Tahun 1987 s.d. Tahun 2014

ii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,
nikmat serta anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP

DESA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 ayat (2) UUDNRI

1945 tentang Kedaulatan Rakyat)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan
kepada junjungan alam semesta Nabi Muuhammad SAW, yang telah membawa umat
manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi

ini, penulis banyak

mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang
terhormat :
1.

Dr. H. J. M. Muslimin, M. A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

2.

Dr. Djawihir Hejazziey, S.H., M.A., ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.
Abu Tamrin, S.H., M.Hum., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.


3.

Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan buah pikirannya untuk membimbing penulis dalam
proses hingga terselesaikannya dengan baik penelitian ini.

iii

4.

Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidataullah
Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff
Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5.

Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat
bermanfaat dan menjadi keberkahakan bagi penulis dan semoga Allah SWT
senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini
sebagai amal ibadah untuk beliau semua. Serta Kepada Bapak Nur Rohim Yunus
LL.M., Bapak Nur Habibi Ihya, S.HI., M.H., yang telah senantiasa membantu
penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini bahkan sebelum karya ini terbentuk.

6.

Kedua orang tua tercinta, terhormat, tersayang, malaikat tuhan yang menjaga
segumpal darah kecil yang terus tumbuh, mendedikasikan sepenuh hidupnya
untuk penulis, semua ilmu dan pengalaman dan ajaran-ajaran tentang kehidupan
yang menjadikan penulis jauh lebih baik, yaitu ayahanda tercinta, Drs. Sahidin
dan Ibunda Siti Maesuri, S.Sos,. Karya ini tak lepas dari pengajaran mereka
sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Begitu juga untuk masku, Kurnianto S.
L., S.E., dan Surianto S. L., S.T., dedikasi lebih dari hubungan kakak dan adik,
dan adik tercinta, Hardjanto Dwi Nugroho, yang selalu menemani dengan canda
gurau dan teman diskusi yang menyenangkan, doa kakak untuk keberhasilanmu
kelak. Terimakasih atas kepercayaan, keikhlasan serta kasih sayang kalian.
iv

7.

Kekasih tercinta, pendamping hati dan belahan jiwa, adinda Nur Azan Ningsih,
A.M.Keb., doa hati dalam tinta abadi, Amin.

8.

Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2010 kelas A. Seluruh keluarga
besar Ilmu Hukum konsentrasi Kelembagaan Negara angkatan 2010 yang tidak
bisa disebutkan satu persatu, bukan sekedar kisah, tetapi suka duka dalam
pengabdian tentang ilmu dan persahabatan.

9.

Keluarga besar R. Kramalaksmana, khususnya untuk garis eyang dularis
(ayahanda dari ayah), pakde slipi (pakde Eko), pakde sunter (alm. pakde Bagio),
dan keluarga lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Keluarga besar kakek, alm. Alwi Ismail (ayahanda dari ibu) yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Sekianterimakasih.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.

Jakarta, 24 April 2014

Setyo Nugroho

v

FI

DAF"TAR ISI

BAB

II

--l-E

BAB

III

TINJAUAN

UMUM TENTANG DESA

KELURAI{AN.....,...

DAN

.........43

A. Desa-.........

.-....-..43

B.

.....-..48

Pernerintahan

Desa...-.

C. Pernerintahan Kelurahan...........-..

........52

DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM

BAB IV

KONSEP DESA DAN

KELURAHAN.........

A. Analisa Konsep Desa dan Kelurahan
Otonom....
B.

.........54

Sebagai

daerah

.-.------54

Analisa Konsep Desa dan Kelurahan Berdasarkan Pasal

I

(2) UUDNRI 1 945 Tentang Kedaulatan Rakyat.............-.59

PENUTUP

BAB V

A. Simpulan..
B.
DAFTAR

..................68

Saran.......-

PUSTAKA

LAMPIRAN

.........68

.............7A

ayat

DAFTAR LAMPIRAN
1. UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
2. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG
KELURAHAN

viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat
hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang
kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak
kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.1 Pada
kenyataan manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga
derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya.
Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk
menjalankan organisasi sosial tersebut.2 Kekuasaan dalam suatu organisasi,
dapat diperoleh berdasarkan legitimasi, religius, ideolgis eliter dan legitimasi
pragmatis. 3 Hanya saja legitimasi-legitimasi tersebut, cenderung mengarah
pada kekuasaan yang absolut karena kewenangan yang dimiliki yang
menjadikan ketiga legitimasi tersebut menjadi kekuasaan yang otoriter.4
Pada tahap berikutnya, yang menjadi masalah mendasar yang
menetukan bangunan suatu organisasi bahkan sebuah negara adalah konsep
1

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, artikel diakses pada 05 Aguatus
2013
dari
http://jimly.com/makalah/namafile/2/DEMOKRASI_DAN_HAK_ASASI_
MANUSIA.doc. h. 2.
2

3

Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 30-66.
4

Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi..., h. 2.

1

2

kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan
dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara. Kekuasaan tertinggi
tersebut, biasanya dipahami sebagai sesuatu yang abstrak, tunggal, utuh, dan
tak terbagi, serta tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.5
Kedaulatan inilah yang kemudian menjadikan segala tindakan dan
perilaku negara mendapatkan legitimasinya sehingga dapat dilakukan dan
dilaksanakan sebagaimana seharusnya atas apa yang telah direncanakan untuk
kemudian menjadi bagian dari pelaksanaan kekuasaan negara. Karena hakhak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara
individual.6
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme
kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.
Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang
kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori
kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai
oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.7
Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang tujuan bersama,
hak-hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian
tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batasbatasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai

5

Jenedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional-Praktek Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945. cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, Oktober 2012), h. 3.
6

Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi..., h. 2.

7

Ibid. h. 2.

3

hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang
kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara.
Berkenaan dengan hal tersebut, hukum yang diterapkan dan ditegaskan
harus mencerminkan kehendak rakyat, sehingga menjamin adanya peran serta
warga negara dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Hukum tidak
dibuat untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa,
melainkan untuk menjamin kepentingan segenap warga negara.8
Pemberian kewenangan kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang
lebih rendah dan lebih kecil merupakan kebutuhan mutlak dan tidak dapat
dihindari.9 Dibuktikan dengan berakhirnya sistem sentralistik dan mengarah
kepada sistem pemerintahan yang desentralistik dengan memberikan
keleluasaan pada daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas dan
bertanggung jawab.
Otonomi Daerah, adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdsarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundangundangan.10 Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah, yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

8

Jenedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional-Praktek Ketatanegaraan Indonesia..., h. 8.

9

Syaukani, H.R., Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan, cet.III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 21.
10

H.A.W. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Cet.II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 76.

4

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi Daerah memilki daerah yang mempunyai hak otonom, atau
biasa disebut dengan daerah otonom. Daerah otonom sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.11
Salah satu bentuk daerah otonom tersebut di atas yang juga menjadi
suatu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keaneka ragaman adat istiadat,
bahasa, pakaian, dan sebagainya. Sehingga kata “bhineka” dalam Bhineka
Tunggal Ika adalah suatu perlambangan terhadap kenaeka ragaman tersebut.
Dan itu pulalah sebabnya, dalam kenyataan terdapat pula keaneka ragaman
dalam kesatuan masyarakat yang terendah. Kesatuan masyarakat yang
dimaksud adalah desa.12
Masalah desa menjadi perhatian, hanya karena beraneka ragam istilah
yang dipergunakan, berbeda isi dan susunan masyarakatnya. Sementara itu,
kelurahan juga muncu sebagai pemerintahan terendah bersama dengan
pemerinthan desa. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka
penulis tertarik untuk mengajukan suatu tema, yaitu “DEMOKRASI DAN
TATA

11
12

PEMERINTAHAN

DALAM

KONSEP

DESA

DAN

Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
cet.VIII, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti, 1988), h. 284.

5

KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang
Kedaulatan Rakyat)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.

Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang tercakup dalam judul di atas
dan keterbatasan peneliti terakait penelitian yang akan dilakukan, maka
penelitian ini hanya difokuskan kepada penerapan dari proses
demokrasi dalam tatanan pemerintahan desa dan kelurahan berdasarkan
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tentang kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat, sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut
menandakan suatu pola demokrasi dalam penerapan dan pengelolaan
negara dan pemerintahan di Indonesia terkait di dalamnya dengan status
desa sebagai suatu bagian dari daerah yang otonom yang dapat
melakukan pengelolaan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat lokal setempat.

2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan pembatasan masalah di
atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
a.

Apakah

desa dan kelurahan merupakan bentuk tatanan

pemerintahan yang demokratis?
b.

Bagaimana perbedaan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan
dalam proses demokratisasi?

6

C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan suatu anggapan sementara yang masih harus di
buktikan kebenarannya. Maka berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis
mengemukakan hipotesis sebagai berikut:
1.

Bahwa desa merupakan suatu tatanan pemerintahan yang demokratis
sementara kelurahan merupakan tatanan pemerintahan yang tidak
demokratis.

2.

Terdapat perbedaan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan dalam
proses demokratisasi.

D. Tujuan dan ManfaatPenelitian
1.

Tujuan Penelitian
a) Menjelaskan tentang tatanan pemerintahan desa sebagai suatu bentuk
penerapan tatanan pemerintahan yang demokratis berdasarkan pada
asas kedaulatan rakyat.
b) Menjelaskan perbandingan tatanan pemerintahan desa dan kelurahan
sebagai bagian dari penerapan dan tata kelola pemerintahan yang
demokratis berdasarkan pada asas kedaulatan rakyat

2.

Manfaat Penelitian
a.

Manfaat teoritis, diharapkan dapat memperkaya kazanah keilmuan
terutama dibidang ilmu hukum, khususnya hukum kelebagaan
negara. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukanmasukan bagi para pihak di berbagai bidang, terutama terkait

7

masalah penanganan desa kedepannya dan masyarakat pada umunya
terkait dengan permasalahan yang dibahas di dalam peneltian ini.
b.

Manfaat praktis, diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi
teman mahasiswa, bagi para praktisi, penegak hukum, pembuat
peraturan di kalangan pemerintahan berkenaan dengan permasalahan
terkait dengan pemerintahan desa dan kelurahan kedepannya.

E. Metode Penelitian
Menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini,
digunakan suatu metode penelitian dengan pemaparan sebagai berikut :
1.

Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksplanatoris, dimana penelitian ini
dimaksudkan untuk melihat, mengkaji sejauh mana peraturan perundangundangan yang berlaku yang diterapkan oleh pemerintah, baik pusat
maupun daerah dengan kewenangannya kepada warga negara menjamin
setiap hak-hak warga negara yang masih memegang teguh kearifan lokal
atau adat istiadat setempat.
Melihat sejauh mana kecondongan pemerintah dalam menetapkan
peraturan akan kebijakan dari berbagai bidang dengan atau tanpa
memperhatikan masyarakat adat setempat yang hidup sebagai satu
kesatuan masyarakat adat ataupun “lokal” dalam naungan suatu
pemerintahan desa yang terkena dampak dari penerapan kebijakan
tersebut. Yang tentunya kemudian mencapai suatu pelaksanaan yang
ideal dari pemerintahan desa di Indonesia.

8

2.

Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
menggunakan gabungan dari beberapa pendekatan, yaitu:
Pertama pendekatan perundang-udangan. Dimana di dalam
penelitian ini, tentulah peneliti melihat sejauh mana perrundang-udangan
atau kebijakan-kebijakan terkait memenuhi aspek kemasyarakat atau
tidak terhadap komunitas lokal masyarakatnya.
Kedua, pendekatan perbandingan. Dimana dalam hal ini, peneliti
membandingkan dua mekanisme konsep penerapan pemerintahan
terendah di Indonesia antara pemerintahan desa dan kelurahan yang
keduanya sama-sama diakui oleh negara. Perbandingan itu ditekankan
pada

penerapan

demokrasi

berdasarkan

asas

kedaulatan

rakyat

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 sebagai
wujud pemerintahan rakyat.
3.

Teknik Pengumpulan Data:
a.

Bahan Hukum Primer, diantaranya:
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara

9

b.

Bahan Hukum Sekunder, diantaranya:
Buku

mengenai

otonomi

daerah,

buku

mengenai

ekologi

pemerintahan, buku mengenai Antropologi Hukum Di Indonesia,
buku mengenai Persepktif Baru Antropolgi Pedesaan.
4.

Pengolahan dan Teknik Analisis Data
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum
yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk
mendapatkan penjelasan yang sistematis.
Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik
kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke
permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan hukum itu
diolah dan diuraikan kemudian Penulis menganalisisnya (melakukan
penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan
dalam rumusan masalah

5.

Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman
Penulisan skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Review Terdahulu
Kajian mengenai desa sebagai salah satu bentuk daerah yang khas dan
memilki sifat otonom menjadi suatu bahan perbincangan yang hangat di
kalangan akademisi hukum, khususnya hukum ketatanegaran. Hal senada

10

terkait dengan eksistensi pemerintahan desa yang dianggap sebagai cikal
bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai karya ilmiah dan
tulisan baik berupa jurnal, buku, maupun tulisan-tulisan lainnya banyak yang
telah membahas terkait kedua hal ini.
Mengenai penelitian yang mengkolaborasikan antara tata pemerintahan
desa dengan penerapan konsep demokrasi dan perbandingannya dengan
pemerintahan kelurahan dengan desain yang dikatakan lebih modern, sejauh
penelusuran penulis belum pernah ada yang melakukan penerlitian terkait
dengan hal tersebut. Sehingga untuk memposisikan skripsi ini kiranya perlu
memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya agar kemungkinan terjadinya
pengulangan penelitian dapat dihindari.
1.

Tesis
Tesis tentang “Eksistensi Kebijakan Daerah Yang Demokratis
Dalam Sistem Pemerintahan Yang Bersih Bebas Dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme”, ditulis oleh Salamat Simanjuntak dari Program
Magister Hukum Universitas Gajah Mada pada tahun 2003.
Hasil dari tesis ini menjelaskan tentang pengaruh kebijakan
daerah dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi,
kolusi dan nepotisme (clean governance), dimana kebijakan daerah
merupakan instrumen penting untuk mewujudkan Clean Governance
dalam praktek dan penerapan pemerintahan yang demokratis. Penelitian
ini dibahas secara umum tidak terfokus pada daerah otonom tertentu,
terutama

berkenan

dengan

penerapan

pemerintahan

lokal

desa

11

dankelurahan, sementara penelitian penulis terfokus pada tingkatan
daerah otonom tertentu yaitu tatanan pemerintahan desa dan kelurahan.
2.

Buku
Buku
HUKUM

yang

berjudul

“REPUBLIK

TRADISIONAL DAN

HUKUM

DESA-PERGULATAN
MODERN

DALAM

DESAIN OTONOMI DESA”, ditulis oleh Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin,
S.H., dan Dr. Suprin Na’a, S.H., M.H., yang diterbitkan oleh penerbit
Alumni, Bandung, pada tahun 2010.
Buku ini menjelaskan tentang pronlematika yang terjadi di dalam
tatanan pemerintahan desa itu sendiri, dalam suatu lingkup sejarah yang
panjang, mulai dari jaman kerajaan hingga reformasi, berkenaan pula
dengan hal apa dan bagaimana hukum adat hidup, tumbuh dan
berkembang dalam tatanan kehidupan masyarakat, dan pembahasan
tentang pemerintahan desa yang dulu sempat diundangkan di dalam
perundang-undangan tersendiri, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dijelaskan secara umum
dalam buku ini.
Sementara itu, penelitian ini merujuk pada suatu pertanyaan
terkait penerapan demokrasi berdasarkan implementasi kedaulatan rakyat
yang tercantum di dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu pada Pasal 1
ayat (2) UUDNRI 1945 dan aplikasinya dalam peraturan perundangundangan yang kemudian apakah semua regulasi dan penerapan tersebut
dapat menjawab pertanyaan apakah desa dan kelurahan merupakan

12

tatanan pemerintahan yang demokratis dalam sistem ketatanegaran
Republik Indonesia. Dan perbandingan pada penerapan pemerintahan
kelurahan yang dianggap sebagai suatu tatanan pemerintahan lokal yang
lebih modern.
G. Kerangka Teori dan Konseptual
1.

Kerangka Teori
Menurut H. Krabbe (1857-1936) yang menjadi sumber hukum itu
adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa
hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, masih bersifat
primitif, atau yang tingkatannya masih rendah disebut insting hukum.
sedang dalam bentuknya yang lebih luar atau dalam tingkatnya yang
lebih tinggi disebut kesadaran hukum.13
Krabbe dalam banyak hal dipengaruhi oleh mahzab historis yang
di pelopori oleh seorang F.C.Von Savigny (1779-1961). Von Savigny
mengatakan, bahwa hukum itu harus tumbuh di dalam masyrakat itu
sendiri, berdasarkan kesadaran hukum yang terdapat di dalam masyarakat
itu sendiri, maka tidak mengherankan bahwa aliran ini menolak
kondifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon, karena pada dasarnya,
hukum tersebut berasal dari romawi.14
Selain itu, Von Savigny melalui mazhab historisnya menekankan
pada hukum sebagai pencerminan dari jiwa rakyat yang dinamakan
volkgeist, dimana hukum itu tumbuh bersama-sama dengan kekuatan dari

13
14

Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 156.
Ibid.

13

rakyat, dan pada akhirnya bangsa itu mati bersama dengan hilangnya
kebangsaan. jadi bagi aliran ini, hukum itu tidak dibuat melainakn
ditemukan didalam masyarakat sebagai implementasi jiwa rakyat.15
Hukum juga tidak mempunyai daya laku dan penerapan yang
universal. Bahwa manusia di dunia ini terdapat beraneka ragam bangsa
dan tiap-tiap bangsa mempunyai semangat bangsanya sendiri atau jiwa
rakyat. Jiwa-jiwa itu berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat.
Pencerminan dari jiwa yang berbeda-beda itu pada kebudayaan atau adat
istiadat dari bangsa-bangsa yang berbeda tadi.16
Menurut Kranenburg (1880-1956), bahwa pemerintah tidak dapat
membuat hukum atas kehendaknya sendiri, bahwa harus diperhatikan
rasa hukum atau kesadaran hukum yang ada dimasyarakat. Perbedaan
nilai hukum dapat menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat
akibat adanya rasa hukum atau kesadaran hukum di dalam masyarakat itu
sendiri.

Perbedaan tersebut memungkinkan reaksi yang ditimbulkan

terhadap pembentukan hukum tersebut menjadi lamban dan ini kemudian
dapat melemahkan kekuasaan pemerintah.17
Kedaulatan sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah

dalam

membuat suatu sistem nilai bagi kehidupan masyarakat pada dasarnya
didasar atas apa yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi kekuasaan
15

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Juni 2012), h. 114.
16

A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik hukum Indonesia
(Perspektif Hukum Islam), cet.I, (Jakarta: Focus Grahamedia, September 2012), h. 18.
17

Soehino, Ilmu..., h. 158.

14

pemerintah, adalah bagaimana kekuasaan itu dapat diterima oleh
masyarakat.18
Pemikiran tersebut dikembangkan oleh Johannes Althusius (15631638), dimana dia tidak lagi menitik beratkan kekuasaan raja sebagai
kehendak tuhan seperti yang terjadi pada abad pertengahan melalui teoriteori yang diperlopori oleh diantaranya, Augustinus dan Thomas
Aquinas. Althusius berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah berasal
dari rakyat yang diperolehnya dari hukum yang tidak tertulis atau hukum
kodrat. Antara rakyat dengan raja membuat perjanjian yang disebut
dengan perjanjian penundukan.19
Sementara itu, Eugen Ehrlich (1862-1922) menyatakan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
di masyarakat. Teori ini sangat menekankan pentingya living law. Ehrlich
berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dan hukum yang hidup
(living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan, bahwa hukum positif
hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat.20
Senada dengan Ehrlich, Lawrence Meiere Friedman memiliki
sebuah perumpamaan, “without legal culture, the legal system is inertadead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”
Hukum di negara ini niscaya tak berdaya, ibarat ikan mati, jika tak
18
19
20

Ibid. h. 159.
Ibid.
A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959..., h. 19.

15

disokong oleh budaya hukum bangsa sendiri. Friedman memasukan
kultur hukum dalam teori sistem hukumnya, yaitu: (1) struktur
(structure), (2) substansial (substance), dan (3) kultur (legal culture).21
Struktur yaitu kelembagaan yang diciptaan oleh suatu sistem
hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka bekerjanya
sistem hukum tersebut. Subtansi adalah output dari sistem hukum, yaitu
norma-norma

hukum

berupa

peraturan-peraturan,

doktrin-doktrin,

keputusan-keputusan sejauh itu digunakan oleh pihak yang negatur dan
yang diatur. Kultur adalah seperangkat nilai dan sikap yang berkaitan
dengan hukum, yang akan menetukan kapan, mengapa, dan dimana
rakyat datang kepada hukum atau pemerintah atau menghindari
keduanya.22
Jiwa rakyat (volgeist) sebagaimana pendapat Von Savigny dan
hukum yang hidup di masyarakat (living law) sebagaimana pendapat
Eugen Ehrlich, berkembang di Indonesia melalui bentuk pemerintahan
desa yang kental dengan nilai tradisional dan adat-istiadat masyarakat
setempat. Hal ini diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan
wujud implementasi pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat di

21

Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, cet.I, (T.t.t,
Jurisprudance Press, Desember 2012), h. 5.
22

Ibid. h. 6.

16

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194523
sebagai hukum dasar bagi peraturan perundang-undangan di Indonesia.24
2.

Kerangka Konseptual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah desa diartikan
sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang
mempunyai sistem pemerintahan sendiri (diketuai oleh kepala desa). 25
Sementara itu, dalam Black’s Laws Dictionary, istilah desa (village)
diartikan sebagai “a modest assembage of houses and building for
dwellings and bussinesses. In some state, a manicipal corporation with a
smaller population than a city”.26
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa menyebutkan bahwa, desa adalah desa dan desa adat dengan nama
lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan

Pasal 18B ayat 2 UUDNRI 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur di dalam
undang-undang.”
23

24

Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
25

Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
ke-empat, cet.I. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 318.
Brian A. Garner, Ed., Black’s Laws Dictionary, cet.XI, (USA: Thomson Bussiness,
2004), h. 1599.
26

17

dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sementara itu, Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa, daerah otonom
yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kelurahan, menurut Pasal 1 ayat (5) diartikan sebagai, “wilayah
kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah
kerja Kecamatan.” Hanif Nurcolis menambahkan, bahwa Kelurahan
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang
mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat,
yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.27
Terkait dengan kedaulatan rakyat, Rousseau menjelaskan
kedaulatan rakyat sebagai suatu mekanisme dimana setiap masalah yang
dihadapi, maka penyelesaiaannya harus dilakukan

melalui kehendak

bersama. Melalui sebuah perjanjian yang dibentuk oleh masyarakat,
maka ditetapkanlah sutau bentuk kesatuan yang membela dan melindungi
kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap

27

Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, cet.XIV,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 1

18

orang. Setiap orang tetap mematuhi drinya sendiri, sehingga orang tetap
bebas dan merdeka seperti sediakala.28
Sri Soemantri mengutip pendapat E. Barker (1894-1983)
mengatakan, 29 demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian
diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sementara itu, Joseph A. Schumpeter (1883-1950) mengatakan bahwa
demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan
untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.30
H. Sistematika Penulisan
Dalam rangka mempermudah penyajian dan penulisan dari skripsi ini,
maka penulis melakukan pembagian ke dalam lima bab dengan sistematika
atau susunan sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, hipotesa penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, kerangka teori dan
konseptual, dan sistematika penulisan.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KEDAULATAN,
DEMOKRASI, DAN DAERAH OTONOM

28

Soehino, Ilmu..., h. 119.

29

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, cet.I. (T.t.t,
Prestasi Pustakaraya, 2010), h. 170-171.
30

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan,
cet.II, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, September 2001), h. 5.

19

Bab ini membahas tetang penjelasan mengenai otonomi, bentuk
penerapan dari otonomi itu sendiri dalam sistem pemerintahan
nasional,

serta

implementasi

penerapan

demokrasi

dalam

kehidupan bermasyarakat.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DESA DAN KELURAHAN
Bab ini membahas tentang desa dan kelurahan, perkembangan dan
penerapan pemerintahan desa dan kelurahan di indonesia serta
perbandingan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan.
BAB IV DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM
KONSEP DESA DAN KELURAHAN
Bab ini membahas analisa tentang pemerintahan desa dan
kelurahan

dipandang

dari

aspek

demokrasi

menurut

asas

kedaulatan rakyar berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB V

PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan
saran bagi permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KEDAULATAN, DEMOKRASI,
DAN DAERAH OTONOM

A. Kedaulautan Negara
Negara berasal dari bahasa latin, status atau statum yang berarti
keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat tetap atau
tegak. 1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata negara di padankan
dengan kata nagari (negari), yang diartikan sebagai wilayah atau sekumpulan
kampung yang dipimpin (di kepalai) oleh seorang penghulu. Wilayah ini
sering disebut juga dengan wilayah distrik.2
Miriam Budiardjo (1923-2007) mengartikan negara sebagai organisasi
dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
oleh rakyatnya. Negara mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat, menertibkan gejala-gejala kekuasaan
di dalam masyarakat, memaksakan kekuasaannya terhadap semua golongan
kekuasaan lainnya, dan menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.3
Sementara itu, Jean Bodin (1530–1596) mengatakan bahwa, negara
adalah kesatuan dari keluarga yang berbeda, awalnya hanya ada satu
keluarga, kemudian keluarga lain datang untuk berkumpul dan bersama
1

A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, cet.I,
(Bandung: Fajar Media, Agustus 2013), h. 25.
2

Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
ke-empat, cet.I., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 948 & 957.
3

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi, Cet.IV, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010), h. 17, 48 & 49.

20

21

membentuk negara yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang
berdaulat. Sehingga bersama-sama mereka dapat mempertahankan diri
dengan baik. Maka, keluarga merupakan asal dari negara, baik secara akal
maupun sejarah.4
Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya
suatu negara adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Suatu
komunitas tidak akan dianggap sebagai negara bila tidak memilki kedaulatan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kedaulatan berasal dari kata daulat yang
memiliki arti mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara
atau daerah.5
Kedaulatan berasal dari kata sovereignty (Inggris), souverainete
(Prancis), sovranus (Italia). Kata-kata tersebut berasal dari bahasa latin
superanus yang berarti yang tertinggi (supreme). Dalam ilmu politik modern,
kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan mutlak yang tidak dapat diganggu
gugat untuk memakasakan kehendak kepada rakyat dan rakyat harus
mematuhinya.6
Pada awalnya kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang
bersifat mutlak, karena tidak ada kekuasaan lain yang mengatasinya
(superlatif), kemudian dengan timbulnya hubungan antar bangsa dan negara,
maka kedaulatan dibatasi dengan adanya perjanjian internasional yang

169.

4

Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 78.

5

Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar..., h. 298.

6

Ni’matul Huda, Ilmu Negara, cet.IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2012), h.

22

membatasi kedaulatan negara ke luar. Sementara kedaulatan ke dalam
dibatasi oleh hukum positif.7
Di bawah ini, penulis mengemukakan beberapa bentuk-bentuk
kedaulatan:
1.

Kedaulatan Tuhan
Yaitu kedaulatan yang menerangkan bahwa kekuasaan tertinggi
berada pada Tuhan.8 Teori ini muncul pada abad pertengahan (abad VXV) yang berkaitan erat dengan perkembangan agama katolik yang
diorganisir oleh gereja. Sehingga muncul dualisme pemerintahan dalam
negara, yaitu pemerintahan oleh negara melalu pemerintah, dan
pemerintahan oleh gereja.9
Ada tiga pakar yang menganut teori ini, yaitu; Augustinus,
Thomas Aquinas, dan Marsilius. Ketiganya sepakat bahwa kedaulatan itu
berada pada Tuhan. Namun perdebatan muncul diantara ketiganya
mengenai siapakah yang akan mewakili tuhan di dunia ini, raja ataukah
paus, karena hakikatnya sudah disetujui bahwa kekuasaan tertinggi
negara oleh ketiga ahli tersebut adalah tuhan.10
Augustinus (354-430 SM) berpendapat bahwa, paus adalah yang
berhak mewakili Tuhan di dunia ini, baik itu dalam pelaksanaan negara
ataupun keagamaan. Thomas Aquinas (1225-1274) berpendapat bahwa,

7

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.VII, (Jakarta: Graha Media
Pratama, September 2008), h. 122.
8

Ibid., h. 123.

9

A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 187.

10

Soehino, Ilmu..., h. 153.

23

kedudukan raja dan paus adalah sama, yang membedakan keduanya
adalah kedudukan kewenangannya dalam memerintah. Marsilius (12701340), berpendapat bahwa wakil pelaksana dari kedaulatan Tuhan adalah
raja.11
2.

Kedaulatan Raja
Yaitu kedaulatan yang berada sepenuhnya di tangan raja sebagai
wakil Tuhan di dunia. Hal ini yang mendasari kehendak mutlak oleh raja
karena anggapan kehendak raja adalah kehendak Tuhan yang
bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, bukan kepada masyarakat
yang dipimpinnya. 12 Kedaulatan ini berkembang melalui pemikiran
Marsilius.13
Menurut Marsilius, negara berkembang tidak semata karena
kehendak Tuhan, tapi karena perjanjian dari orang-orang yang hidup
bersama. Melalu perjanjian ini, rakyat melegitimasi seseorang sebagai
penguasa, dimana raja diberikan kewenangan untuk mengatur kehidupan
bersama, menjaga perdamaian, dan rakyat tunduk kepadanya.14
Bentuk

penundukan

rakyat

terhadap

penguasa

(factum

subjectiones) dibedakan kedalam dua macam. Pertama, concessio, yaitu

11

Ibid.

12

A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 188.

13

Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 178.

14

Soehino, Ilmu..., h. 64-67.

24

rakyat tunduk kepada penguasa dalam menjalankan kekuasaannya
sebagai pelaksana pemerintahan (eksekutif).15
Kedua, Translatio, yaitu rakyat yang tunduk secara mutlak
kepada raja yang mereka pilih. Penguasa atau raja memiliki kekuasaan
dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan dalam menentukan
peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan dalam masyarakat.
Maka, raja tidak hanya bertindak sebagai eksekutif, tetapi juga pembuat
undang-undang (legislatif).16
Pada zaman rainessance, teori ini berkembang melalui pemikiran
Niccolo

Machiavelli

(1469-1527)

dalam

bukunya

Il

Principe.

Menurutnya, raja harus memiliki sifat sebagai serigala dan singa. Sebagai
serigala, ia dapat mengetahui dan membongkar rahasia yang dapat
menjatuhkan kekuasaannya. Maka, raja dapat bersikap licik demi
mempertahankan kekuasaannya. Sebagai singa, raja dapat menaklukan
binatang-binatang lainnya.17
Menurutnya, hukum dan kekuasaan adalah sama, karena pemilik
kekuasaan adalah pemilik hukum, begitupun sebaliknya, yang tidak
memiliki kekuasaan, maka tidak memiliki hukum.18 Maka, raja sebagai
wakil Tuhan memegang kedaulatan di dunia. Raja berkuasa secara
absolut dalam melakukan apa yang dikehendakinya, karena kehendak

15

Ibid., h. 65.

16

Ibid.

17

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 74-75.

18

Soehino, Ilmu..., h. 73.

25

raja adalah apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam mencapai tujuan
negara.19
3.

Kedaulatan Negara
Kedaulatan negara dapat di artikan sebagai kehendak negara
dalam kewenangannya mengatur urusannya sendiri tanpa adanya
intervensi atau campur tangan pihak lain, baik dari dalam maupun dari
luar negara. 20 Negara melalui pemerintah berdaulat untuk memimpin
setelah mendapatkan legitimasi dari rakyat untuk memimpin, kemudian
menggunakan kekuasaannya untuk mengatur masyarakat dan hubungan
antar negara.21
Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus
tunduk kepada negara, menjadikan negara sebagai suatu kebutuhan yang
menciptakan peraturan hukum. Adanya hukum itu karena adanya negara,
tiada satupun hukum yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.
Penganut teori ini adalah Jean Bodin dan George Jellinek.22
George Jellinek (1919-2010) menyatakan bahwa, hukum itu
adalah merupakan penjelmaan dari kehendak atau kemauan negara.
Negara menciptakan hukum, maka negara sebagai satu-satunya sumber
hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi atau

19

Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 178.

20

A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 188.

21

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 127.

22

Soehino, Ilmu..., h. 154

26

kedaulatan. Di luar negara, tidak ada satupun yang berhak menetapkan
aturan hukum.23
Sementara itu, Jean Bodin sependapat dengan Jellinek, bahwa
negara merupakan satu-satunya pemilik kedaulatan dan pemegang penuh
kekuasaan terhadap pembentukan hukum. Kedaulatan merupakan
kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum yang memiliki sifat tunggal,
asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi.24
Tunggal berarti hanya negaralah yang memiliki kewenangan
untuk membuat aturan hukum. Asli berarti kekuasaan tersebut tidak
diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Abadi berarti negara
mempunyai kedaulatan dalam wujudnya yang abadi. Tidak dapat dibagibagi artinya kedaulatan itu tidak dapat dipindahkan kepada orang atau
badan lain, baik sebagian atau seluruhnya.25
4.

Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang menggambarkan

suatu sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki
kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat.

26

Ajaran ini memberi

kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau disebut juga dengan pemerintahan
dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.27

23

Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 182.

24

Soehino, Ilmu..., h. 78-79.

25

Ibid.

26

A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 191.

27

Soehino, Ilmu..., h. 124

27

John Locke (1632-1704) menyatakan bahwa negara memiliki
kekuasaan terhadap rakyat karena rakyat memberikan kewenangan untuk
berkuasa atas mereka, namun kekuasaan yang dimiliki negara memiliki
batas-batas tertentu. Batas-batas tersebut adalah hak yang melekat pada
diri manusia ketika ia lahir, yaitu hak atas kehidupan, kemerdekaan, dan
milik pribadi. Negara tidak dapat mengambil atau mengurangi hak-hak
tersebut.28
Menurut Locke, negara diciptakan karena suatu perjanjian
kemasyarakatan antar rakyat. Tujuannya adalah melindungi hak-hak
yang dimiliki oleh manusia sejak lahir tersebut (hak atas kehidupan,
kemerdekaan, dan milik pribadi), terhadap bahaya dari dalam maupun
dari luar. Locke menjelaskan, rakyat sesungguhnya tidak menyerahkan
sepenuhnya kedaulatannya kepada negara.29
Sementara itu, J.J. Rousseau (1712-1778) melalui ajaran kontrak
sosialnya mengemukakan dua hal pokok mengenai kedaulatan rakyat.
Pertama, adanya penyerahan kehendak seluruhnya dari rakyat dalam
pembentukan negara (Volente the Tous). Kedua, adanya penyerahan
sebagian kehendak oleh masyarakat kepada negara dalam pelaksanaan
kekuasaan negara (Volente the Generale).30
Volente the Tous merupakan bentuk penyatuan kehendak dari
masyarakat untuk menyatukan diri dalam suatu wadah organisasi yang
28

Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 188.

29

Ibid., h. 189.

30

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 124.

28

disebut dengan negara. Perjanjian ini dibuat dalam rangka pernyataan
kehendak tersebut sehingga masyarakat dapat berdiri sendiri yang
kemudian menjadi negara dan membedakannya dengan kelompok
lainnya.31
Volente the Generale adalah suatu bentuk keputusan bersama
tentang apa dan bagaimana negara akan dijalankan serta dilaksanakan
oleh masyarakat setelah diadakannya kehendak bersama (Volente the
Tous).32 Perjanjian ini tidak lagi di dasari pada suara seluruh masyarakat,
tetapi suara dari kehendak umum masyarakat yang telah menentukan
pilihannya.33
Inti dari pemikiran Rousseau adalah kedaualatan rakyat
merupakan cara untuk memecahkan masalah berdasarkan sistem tertentu
yang memenuhi kehendak umum. Kekuasaan atas kedaulatan rakyat
tersebut tidak hanya ditunjukan kepada hal terkait penyelenggaraan
kekuasaan pemerintah dan peradilan, tetapi juga kekuasaan dalam
pembentukan peraturan.34
5.

Kedaulatan Hukum
Menurut Krabbe, dalam teori kedaulatan hukum atau rechtsouvereiniteit, kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah
hukum itu sendiri. Karena penguasa maupun rakyat sebagai warga

31

Ibid.

32

Soehino, Ilmu Negara, Soehino, Ilmu..., h. 160

33

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 124.

34

A. Salman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 194.

29

negaranya, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.
Semua sikap, tingkah laku, perbuatan yang hendak dilakukan, harus
sesuai atau menurut aturan hukum yang berlaku.35
Kekuasaan itu tidak terletak pada kehendak pribadi dari pada
penguasa (raja), melainkan terletak pada hukum yang tidak berpribadi
(opersonnlijk). Sumber hukum adalah kesadaran hukum dari manusia
yang merupakan alat pengukur untuk menentukan baik atau tidaknya
suatu peraturan hukum yang berlaku yang diterima oleh masyarakat
dengan kesadaran hukumnya.36
Paham dari Krabbe ini dipengaruhi oleh Von Savigny melalui
mazhab historisnya yang berkembang setelah revolusi Prancis. Dimana
Savigny menyatakan bahwa hukum timbul bersama-sama dengan
kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak tumbuh atas kehendak atau
kemauan negara. Maka, berlakunya suatu hukum terlepas dari kemauan
negara.37
Terkait implementasi dari bentuk kedaulatan, menurut Max Weber
(1864-1920), setiap otoritas menyatakan dirinya sendiri dan berfungsi sebagai
administrasi dan dengan beberapa cara memerlukan otoritas, karena
aturannya menghendaki beberapa tipe kekuasaan untuk memerintah yang
diberikan kepada seseorang. Setiap individu dapat memiliki kekuasaan

35

Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 136.

36

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 127.

37

A. Salaman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 191.

30

dengan segala macam cara. Maka, untuk mengatur kelompok-kelompok
manusia diperlukan adanya “instansi khusus”, yaitu otoritas.38
Otoritas tersebut, menurut Weber, mendapatkan kewenangan untuk
mengatur baik secara tradisional, kharismatik, maupun rasional legal. Secara
tradisional, masyarakat menganggap bahwa kedudukan kekuasaan di landasi
oleh tradisi dan kepercayaan masyarakatnya akan tradisi tersebut. Wewenang
kharismatik dilandasi pada kharisma (mistik, kesaktian, wahyu) dari
seseorang. Sementara itu, rasional-legal berlandaskan pada kedudukan
seorang pemimpin berdasarkan aturan hukum yang berlaku.39
Undang-Undang