ARIF FAKHRUDIN SHOBARI 270110140086 Kela

PENGEMBANGAN ZONASI POTENSI BAHAYA BENCANA GUNUNGAPI SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KOMUNIKASI
DAN INFORMASI TANGGAP BENCANA DI KAWASAN GUNUNG MERAPI
PROVINSI JAWA TENGAH
Arif Fakhrudin Shobari
Mahasiswa Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
270110140086
Kelas B
Abstrak
Bencana Gunungapi di Indonesia sudah menjadi hal yang harus dikaji secara mendalam terkait efek atau
dampak yang ditimbulkannya. Salah satunya adalah bencana gunungapi yang ditimbulkan oleh Gunung Merapi
yang merupakan salah satu gunungapi yang aling aktif di dunia. Pengembangan zona potensi bencana gunungapi
perlu dilakukan mengurangi risiko bencana yang terjadi. Berdasarkan peta zona potensi bencana yang dikeluarkan
oleh PVMBG, peta referensi volcanic hazard map of Merapi, dan dua penelitian yang dilakukan, wilayah yang
terkena dampak langsung akibat erupsi Gunug Merapi adalah wilayah barat daya dan selatan Gunung Merapi. Dari
potensi dan dampak bencana terebut tentunya akan mempengaruhi system manajemen komunikasi dan informasi
yang ada dimasyarakat. Maka perlu dilakukan system manajemen terpusat guna mengefisiensikan komnikasi serta
penyebaran dan pengumpulan informasi.
Kata kunci: Gunug Merapi, Zona Potensi Bencana, Sistem Komunikasi dan Informasi, Perilaku Masyarakat

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang
memiliki kondisi geografis dan geologi
yang kompleks. Kedua hal tersebut
menyebabkan negara Indonesia menjadi
negara yang rentan terhadap bencana alam.
Kondisi letak Indonesia yang dikelilingi
dan dipengaruhi oleh aktivitas tektonik
lempeng, yaitu lempeng tektonik Pasifik,
Eurasian, dan Indo-Australia, menjadikan
Indonesia rentan terhadap potensi bencana
khususnya bencana gempa bumi dan
gunungapi. Indonesia memiliki 129
gunungapi aktif yang merupakan 13% dari
jumlah gunungapi di dunia yang tersebar
dari ujung utara Sumatra, Jawa, Nusa
Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara
(Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, 2010).
Dalam beberapa dekade ini
Indonesia mengalami peningkatan aktivitas

vulkanik, salah satunya adalah aktivitas
Gunungapi Merapi, Provinsi Jawa Tengah.

Gunungapi
Merapi
atau
Merapi
Stratovolcano, dengan ketinggian + 2960
mdpl ini merupakan gunungapi paling aktif
di dunia. Dalam catatan sejarah letusan
Gunung Merapi yang tercatat berada pada
peride 250 sampai 3000 tahun kebelakang
dengan jumlah kurang lebh 33 kali letusan
dengan tujuh diantaranya merupakan
letusan terbesar. Terakhir Gunung Merapi
mengalami erupsi pada tahun 2014. Erupsi
Gunung Merapi ini tentunya memberikan
dampak bagi alam dan manusia baik
dampak baik maupun dampak buruk.
Namun secara langsung, aktivitas vulkanik

tersebut akan memberikan dampak negative
yang besar ketika bencana tersebut terjadi.
Dampak tersebut merupakan sebuah
bencana alam yang dapat memberikan
kerugian secara fisik, materil, maupun jiwa.
Dalam menanggapi hal tersebut,
maka perlu dilakukannya upaya untuk
meminimalisir risiko bencana yang terjadi.

Banyak cara untuk meminimalisirnya, salah
satunya adalah upaya mitigasi dan tanggap
bencana. Pengembangan zonasi potensi
bencana gunungapi merpakan salah satu
upaya mitigasi bencana yang dapat
diaplikasikan dimasyarakat sekitar dimana
nantinya akan menjadi sebuah pedoman
untuk masyarakat lebih waspada dan
mengetahui zona-zona berbahaya ketika
berkegiatan
di

kawasan
gunungapi
khussnya di Gunung Merapi. Sistem
informasi dan komunikasi perlu juga
dipatenkan dan dikaji lebih mendalam
sebagai upaya tanggap bencana dan
diharapkan mampu meminimalisir risiko
bencana yang terjadi. Pada proses
penanggulangan bencana alam, kebutuhan
tidak hanya pada aspek logistik, akomodasi
dan transportasi, kesehatan atau pakaian.
Akan tetapi kebutuhan terhadap sistem
informasi
pada
pada
proses
penanggulangan
bencana
berbasis
manajemen, sangat dibutuhkan untuk

memudahkan melakukan kerja operasional
yang sistematis dan terkontrol dengan baik.
Untuk itu manajemen sistem informasi
kebencanaan menjadi mutlak diterapkan
(Jogiyanto,1990 dalam Jurnal Manajemen
Sistem Informasi Kebencanaan Studi Kasus
Jogja Tanggap Cepat Dalam Mengelola
Informasi Bencana Erupsi Merapi). Pada
penulisan ini bertujuan untuk memberikan
sebuah gagasan dan ide untuk bisa
diaplikasikan di kawasan Gunung Merapi
dalam upaya mengurangi risiko bencana.
2. Tinjauan Pustaka
a. Bencana Gunungapi
Schieferdecker (1959), mendefinisikan
gunungapi (volcano) adalah “a place at the
surface of the earth where magmatic
material from the depth erupts or has
erupted in the past, usually forming a
mountain, more or less conical in shape

with a craterin the top” (sebuah tempat di

permukaan bumi dimana bahan magma dari
dalam bumi keluar atau sudah keluar pada
masa lampau, biasanya membentuk suatu
gunung, kurang lebih berbentuk kerucut
yang mempunyai kawah di bagian
puncaknya).
Bencana
adalah
peristiwa
atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun
faktor
manusia
sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
(Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tahun
2008). Bencana gunung api merupakan
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan
dan
penghidupan
masyarakat
yang
disebabkan oleh factor alam yaitu letusan
gunungapi yang dapat menimbulkan korban
jiwa ataupun kerugian fisik mapun materil
serta damak psikologis masyarakat.
Bencana alam gunungapi ini merupakan
salah satu bencana alam geologi.
Bahaya letusan gunungapi terdiri dua
yakni bahaya primer dan bahaya sekunder.
Bahaya Primer merupakan bahaya yang

dampaknya langsung menimpa penduduk
ketika letusan berlangsung. misalnya, awan
panas, udara panas sebagai akibat samping
awan panas, dan lontaran material
berukuran blok (bom) hingga kerikil.
Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara
tidak langsung dan umumnya berlangsung
setelah letusan letusan terjadi, seperti lahar
dingin yang dapat menyebabkan kerusakan
lahan dan pemukiman. Lahan di gunung
Merapi menghadapi bahaya primer maupun
sekunder dari gunung Merapi berupa
rusaknya lahan akibat erupsi dan rusaknya
lahan akibat erosi dan banjir lahar dingin.
Kerusakan juga terjadi pada aktivitas

kehidupan soial ekonomi masyarakat di
daerah bencana.
Maka dampak bencana gunungapi ini
akan

banyak
menimbulkan
banyak
kerugian, dari mulai perekonomian
masyarakat, kebutuhan sandang, papan, dan
pangan, dampak psikologis, dan kerugiankerugian lainnya. Walaupun pada saat
setelahnya
ada
keuntungan
atau
kebermanfaatannya
akibat
bencana
gunngapi ini, salah satunya adalah tanah
yang subr.
b. Sejarah Aktvitas Gunung Merapi
Pada periode 250 sampai 3000 tahun ke
belakang tercatat kurang lebih 33 kali
letusan Gunung Merapi yang dimana tujuh
diantaranya merupakan letusan yang besar.

Dari data tersebut menunjukan bahwa
letusan-letusan besar ini terjadi sekali
dalam 150-500 tahun. Pada periode Gunung
Merapi baru, terjadi beberapa kali letusan
besar pada 1768, 1822, 1849, dan 1872 lalu
letusan berkutnya pada tahun 1930-1931.
Erupsi yang terjadi pada tahun 1872 lebih
besar disbanding letusan pada tahun 1931,
Gambar 1. Grafik statistic G.Merapi dari

abad ke-18 hingga abad-20. (PVMBG)
dimana awan panas mencapai 20 kilometer
dari puncak Setelah letusan yang terjadi
pada tahun 1931, letsan kembali tejasi pada

1961 dan 2010. Pada tahun 2010 letusan
yang terjadi merupakan letusan yang cukup
dahsyat. Lunuran awan panas mencapai 15
km, sedangkan pada tahun 1961 tidak ada
catatan yang jelas mengena penyebaran

awan panas. Setelah erupsi pada tahun
2010, letusan kembali terjadi pada tahun
2014.
c. Zonasi Potensi Bencana Gunung Api
Zona adalah kawasan atau area yang
memiliki
fungsi
dan
karakteristik
lingkungan yang spesifik (Barnett, 1928:6061).
Zonasi
merupakan
upaya
pengelompokan suatu daerah atau wilayah
dengan mempertimbangkan aspek tertentu.
Zonasi
potensi
bencana
gunungapi
merupakan upaya pengelompokan dan
penandaan
wilayah
dengan
mempertimbangkan aspek-aspek seperti
data kegeologian agar dapat mengetahui
potensi atau dampak yang dapat
ditimbulkan dan dapat meminimalisir risiko
bencana. Zonasi ini dibuat berdasarkan
kemngkinan terkena aliran piroklastik dan
lava. Zonasi potensi bencana gunungapi
merupakan suatu hal yang perlu dilakukan,
khususnya di kawasan gunung Merapi.
Berdasarkan peta kawasan rawan bencana
gunungapi Merapi, Jawa Tengah dan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
yang
diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana, kawasan yang sangat
rawan terkena dampak besar secara
langsung adalah wilayah dibagian selatan
hingga barat daya dari Gunung Merapi,
karena
pergerakan
aliran
material
gunungapi diperkirakan bergerak kearah
tersebut. Wilayah sekitar yang berada pada
jarak 10 km termasuk kedalam zona yang
berpotensi terlanda hujan abu lebat dan
lontaran batu (pijar).
d. Geologi Gunung Merapi
Morfologi
Secara morfologi kawasan gunung
merapi terdiri dari satuan morfologi puncak

Gunung Merapi dengan ketinggian antara
2000-2848 meter dari permukaan laut.
satuan ini membentuk lembah-lembah
sempit berbentuk “V” yang menunjukkan
bahwa daerah ini berstadia muda dengan
tingkat erosi yang relatif vertikal, pola
penyaluran radial, pada umumnya lahannya
tidak dimanfaatkan oleh penduduk karena
sulit dan berbahaya untuk menjangkau
puncak karena dapat menelan korban jiwa
setiap saat.Satuan morfologi tubuh Gunung
Merapi memiliki ketinggian 750-2000
mdpl, pola penyaluran yang berkembang
adalah subparallel yang airnya dipasok dari
air tanah bebas dan merupakan daerah
resapan air tanah (recharge area), satuan
morfologi ini umumnya digunakan sebagai
kawasan wisata, lahan perkebunan tebu,
salak dan sebagian kayu hutan yang dapat
menahan dan meminimalisasi longsoran
bahan rombakan material Merapi saat
letusan Gunung Merapi terjadi.Satuan
morfologi kaki Gunung Merapi ketinggian
250-750 mdpl, satuan ini memiliki pola
penyaluran subdendritik yang mengalir di
atas satuan vulkanik Merapi muda.
Sungaisungai yang ada berfungsi sebagai
jalur pengangkutan material hasil erupsi
seperti lahar. Satuan morfologi ini selain
sebagai persawahan dan pemukiman
penduduk, morfologi ini yang paling subur
karena hampir semua jenis tumbuhan dapat
tumbuh subur khususnya kacang-kacangan
dan
umbi-umbian.Satuan
morfologi
pedataran Gunung Merapi ketinggian 50150 mdpl, satuan ini memiliki pola
penyaluran subdendritik yang mengalir di
atas satuan vulkanik Merapi muda. Sungaisungai yang ada berfungsi sebagai jalur
saluran irigasi yang sudah di beton di
tengah pemukiman. Morfologi ini sebagian
besar sudah dijadikan sebagai pemukiman
penduduk. perkantoran, industri serta lahan
sawah dan kebun.

Litologi
Kawasan gunung Merapi tersusun oleh
batuan berupa breksi tuff dan endapan
vulkanik merapi tua yang berupa aliran lava
andesitic dan basaltic. Batuan ini dapat
ditemukan di bagian utara atau morfologi
puncak Gunung Merapi. Batuan breksi
vulkanik, tufa halus dan lahar terdapat pada
morfologi tubuh Gunung Merapi di daerah
Cangkringan, Kinahrejo Bebeng,Sidorejo
dan Turgotegal dan Kali Kuning Breksi
vulkanik ini menyebar dari arah utara ke
selatan yang meliputi daerah Bebeng,
Kinahrejo, Sidorejo dan Turgotegal.
Fasies Gunung Merapi
Fasies Gunung Merapi diidentifikasi
atas 4 fasies berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakkan oleh Muhammad Adam
dkk, yaitu fasies sentral, fasies proksimal,
fasiel medial dan fasies distal. Hasil
rekonstruksi
menunjukkan
komposisi
masing-masing fasies yaitu fasies sentral
yang dicirikan dengan asosiasi batuan beku
intrusi dangkal, kubah lava dan batuan
ubahan hidrotermal, topografi terjal, dip
perlapisan besar dan didominasi oleh
struktur vulkanik, fasies sentral berjarak 1
km dari pusat erupsi Gunung Merapi, fasies
proksimal dicirikan dengan breksi vulkanik,
tufa dan lahar, topografi terjal, dip
perlapisan 30°-34°, dan struktur vulkanik,
berjarak 6 km dari batas selatan fasies
sentral, fasies medial dicirikan dengan lapili
dan tufa kasar dip perlapisan 5°-20°,
topografi pedataran bergelombang dan
struktur vulkanik, berjarak 16,86 km dari
batas selatan fasies proksimal.dan fasies
distal dicirikan dengan tufa halus, tufa
kasar, lava basal, breksi vulkanik dan
batugamping, dip perlapisan 0°-27°,
topografi relatif datar dan struktur tektonik,
berjarak 20,56 km dari batas selatan fasies
medial.
e. Manajemen Bencana, Komunikasi, dan
Informasi

Menurut Ramli, Soehatman (2010:28)
manajemen bencana merupakan upaya
sistematis dan kom-prehensif untuk
menanggulangi semua kejadian bencana
secara cepat, tepat, dan akurat untuk
menekan korban dan kerugian yang
ditimbulkan. Model siklus manajemen
bencana yang berlangsung menunjukkan
bahwa sebelum bencana datang diperlukan
sebuah kesiapsiagaan, mitigasi, dan
pencegahan. Setelah bencana dating barulah
diperlukan penanganan darurat (tanggap
darurat), rehabilitasi (perbaikan akibat
bencana), dan rekonstruksi (pembangunan
kembali).
Komunikasi merupakan sebuah interaksi
yang dilakukan akibat suatu kebutuhan.
Manajemen komunikasi merupakan sebuah
upaya dalam mengorganisirkan atau
mengatur alur komunikasi agar penyebaran
informasi berjalan efektif dan efisien.
Manajemen
komunikasi
bencana
merupakan upaya yang komprehensif untuk
mencegah dan mengurangi resiko bencana
dengan mengelola proses produksi pesanpesan atau informasi tentang bencana,
penyebaran pesan danpenerimaan pesan
dari tahap prabencana, saatterjadi bencana
dan pascabencana.
Menurut Murdik, (2002 :33 ) informasi
adalah Data yang telah diolah menjadi
suatu
bentuk
yang
berarti
bagi
menerimanya dan bermanfaat dalam
pengambilan keputusan saat ini atau
mendatang. Sehingga informasi dapat
dikatan sebuah data yang telah diolah yang
memiliki kematangan dan memiliki
manfaat
yang
lebih
bagi
yang
menerimanya. Manajemen informasi sistem
merupakan penerapan sistem informasi di
dalam organisasi untuk mendukung
informasi di dalam organisasi untuk
mendukung
informasi-informasi
yan
dibutuhkan
oleh
semua
tingkatan
manajemen. Kumpulan dari interaksi

f.

sistem-sistem informasi yang bertanggung
jawab mengumpulkan dan mengolah data
untuk menyediakan informasi yang berguna
untuk semua tingkatan manajemen di dalam
kegiatan pelaksanaan dan pengoendalian.
SIM
selalu
berhubungan
dengan
pengolahan informasi yang didasarkan pada
komputer computer-based information
processing (Jogiyanto, 1990).
Manajemen penanggulangan bencana
akan berjalan sangat baik apabila didukung
oleh manajemen komunikasi dan informasi
yang baik pula, oleh karena itu manajemen
komunikasi dan informasi merupakan suat
hall yang penting dan sudah seharusnya
digalakan didaerah bencana.
Perilaku Tanggap Bencana
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Gonggo dan Hedwigis,
melalui pengkajian perilaku masyarakat
dari salah satu sampel warga sekitar
kawasan gunung Merapi untuk mewakili
secara umum perilaku masyarakat sekitar,
secara mental warga tersebut memiliki
mental yang siap dalam menanggapi
bencana. Namun secara pengetahuan dan
respon mereka masih kurang dalam
menghadapi bencana. Oleh karena itu perlu
dilakukan pelatihan khusus melalui
sosialisasi kebencanaan.

3. Metodelogi
Dalam penulisan ini diterapkan
metode induktif yaitu memadukan hasilhasil kajian pustaka dan penelitian
terdahulu
mengenai perkembangan
bencana gunung api kawasan Gunung
Merapi
dan
menganalisis
budaya
masyarakat
sekitar
dalam
upaya
menerapkan
sistem
informasi
dan
komunikasi tanggap bencana.
4. Hasil Dan Pembahasan
a. Pengembangan Zona Potensi
Gunungapi

Bencana

Pengembangan zona potensi bencana
gunung api telah dilakukan banyak oleh
peneliti terutama peneliti gunung api dan
peneliti
yang
bergelut
didalam
kebancanaan. PVMBG telah membuat
sebuah peta kawasan zona potensi bencana
gunung api yang terakhir diterbitkan tahun
2002 oleh Hadisantono, dkk. Dalam peta
tersebut terbagi menjadi beberapa zona
yang rentan terkena dampak bencana
gunung api. Pada tahun 2004 telah
dilakukan penelitian kembali oleh Wikanti,
dkk, mengenai pengembangan zona potensi
bencana gunungapi melalui metode
multitemporal yang dilakukan melalui
analisis
perubahan
penutup
lahan,
pengolahan data citra untuk menghasilkan
citra komposit yang ditajamkan dilakukan
dengan software ER-Mapper dan data yang
digunakan adalah data MOSMESSR dan
Landsat-ETM. Penelitian juga dilakukan
oleh Fajar Yulianto dan Parwati melalui
metode pengaplikasian model probabilistic
simulasi aliran material erupsi dengan
algoritma Monte Carlo dengan data citra
satelit DEM-SRTM. Dan telah dilakukan
penelitian oleh VSI,1995; Pardyanto,1978;
Lavigne et al., 2000 yang dihasilkannya
adalah peta zona bencana gunungapi
volcanic hazard map of Merapi.
Dari keempat pengembangan penentuan
zona potensi bencana gunungapi tersebut
memberikan hasil yang hampir sama dan
tidak jauh berbeda dimana pola zonasi
wilayah yang terkena dampak langsung
hasil erupsi Gunung Merapi berarah ke
Barat Daya dan Selatan. Dimana keempat
penelitian tersebut memberikan perkiraan
pergerakan aliran piroklastik kearah barat
daya dan selatan. Dalam Peta PVMG
menjelaskan mengenai tingkat kerawanan
jenis dan sifat bahaya gunungapi Merapi,
jalur penyelamatan diri dan lokasi
pengungsian. Dalam penelitian yang

dilakukan Wikanti dkk, memberikan
informasi mengenai tingkat kerawanan
jenis dan difat bahaya gunung api,
memberikan informasi mengenai perubahan
penutup lahan/penggunaan lahan yang
bermanfaat untuk memperkirakan risiko
bencana akibat letusan. Pada informasi
yang diberikan hasil penelitian Fajar
Yulianto dan Parwati dapat meberikan
informasi mengenai dampak kerusakan
infrastruktur yang diakibatkan hasil letusan.
Diperkirakan dari hasil simulasi Monte
Carlo model probabilistic sejumlah 362 unt
bangnan di kecamatan Cangkringan rusak.
Maka dari itu hasil erupsi Gunung
Merapi dari semua hasil penelitian ini
menunjukan
bahwa
daerah
yang
kemungkinan terkena dampak langsung
hasil letusan adalah daerah barat daya dan
selatan meliputi kecamatan Cangkringan,
Dukuh, Kemalang, Ngemplask, Pakem,
Salam, Srumbung, dan Turi.
b. Sistem Manajemen Komunikasi dan
Informasi
Melihat dampak yang ditimbulkan
dari kejadian tersebut dan kondisi perilaku
masyarakat yang masih sangat kurang akan
pengetahuan tanggap bencana, maka sudah
seharusnya system manajemen komunikasi
dan informasi mutlak diperhatikan guna
mengurangi
risiko
bencana.
Alur
komunikasi harus dibuat standar operasonal
prosedurnya
sehingga
penyampaian
informasi akan efektif dan efisien. Perlu
dibuat sebuah Base Communication
disetiap wilayah untuk mempermudah alur
komunikasi dan informasi terpusat. Dan
saran alat komunikasi yang digunakan
adalah alat komunikasi radio agar
komunikasi dilakukan secara cepat. Serta
komunikasi yang digunakan merupakan
manajemn komunikasi partisipatif, sesuai
dengan ketentuan UU Penanggulangan
Bencana Pasal 33 huruf b yaitu

Penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada saat tanggap darurat meliputi: (1)
Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap
lokasi, kerusakan, dan sumber daya; (2)
Penentuan status keadaan darurat bencana;
(3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat
terkena bencana; (4) Pemenuhan kebutuhan
dasar; (5) Perlindungan terhadap kelompok
rentan; dan (6) Pemulihan dengan segera
prasarana dan sarana vital.
Gambar 2. Manajemen Komunikasi Bencana
Gambar diatas merupakan alur komunikasi
yang dilakukan terjadi bencana sehingga
komunikasi berjalan efektif dan efisien. Hal
tersebut
perlu
disosialisasikan
kepada

masyarakat disana agar mereka paham dan
tanggap ketika terjadi bencana.
5. Kesimpulan
Setelah dilakukan pengkajian pada
beberapa hasil penelitian dan data sekunder
yang ada didapat bahwa dari Kegiatan
Erupsi Gunung Merapi didapat zona potensi
bencana gunungapi. Pada zonasi wilayah
ini didapat bahwa wilayah yang terkena
dampak secara langsung adalah wilayah
dibagian barat daya dan selatan gunung
merapi meliputi 8 kecamatan. Wilayah
tersbut mendapat dampak langsung dari
penyebaran aliran piroklastik, lava, dan
awan panas.

Kegiatan erupsi gunung Merapi
akan memberikan dampak yang sangat
besar
bagi
system
manajemen
komunikasi dan Informasi yang ada di
masyarakat. Sistem komunikasi dan
Informasi harus dilakukan secara
terpusat dan memiliki alur koordinasi
yang jelas. Kondisi komunikasi dan
informasi yang dilakukan di kawasan
Gunung Merapi ini sudah sesuai dengan
kriteria pada Undang-undang Pasal 33.
6. Daftar Pustaka
Yulianto, Fajar & Parwati. 2012.
Aplikasi Model Probabilistik
Untuk Simulasi Aliran Material
Erupsi Studi Kasus : Gunung
Merapi,
Jawa
Tengah
(Application Of
Probabilistic
Model For Eruption Material
Flow Simulation Case Study:
Merapi Volcano, Central Java).
Jurnal Penginderaan Jauh Vol.9
No.1 Juni 2012 : 1-11
Asriningrum, Wikanti; Noviar, Heru;
Suwarsono. 2004. Pengembangan
Metode Zonasi Daerah Bahaya
Letusan Gunung Api Studi Kasus
Gunung
Merapi.
Jurnal
Penginderaan Jauh dan Pengolahan
Data Citra Digital Vol.1, No.1, Juni
2004:66-75
Adam, Muhammad; Irfan, lfa Ria; Nur,
Irzal.
Identifikasi
dan
Rekontruksi
Fasies
Gunung
Merapi
Provinsi
Daerah
Istimewa Yogyakarta. Fakultas
Teknik
Geologi
Universitas
Hassanudin
Wardyaningrum, Damayanti. 2014.
Perubahan
Komunikasi
Masyarakat
Dalam
Invasi
Mitigasi Bencana Di Wilayah
Rawan Bencana Gunung Merapi.
Jurnal ASPIKOM, Volume 2
Nomor 3, Juli 2014, hlm 179-197

Prihatmono, Ign Gonggo; Tarra,
Hedwigis
Judith.
Perilaku
Tanggap
Bencana
Erupsi
Gunung Merapi Keluarga E..
Yang Tinggal Di Hunian Tetap
Pedukuhan
Kuwang
Desa
Argomulyo
Kecamatan
Cangkringan Kabupaten Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Akper Panti Rapih Yogyakarta
Yudhistira; Hidayat, Wahyu Krisna;
Hadiyarto, Agus. 2011. Kajian
Dampak Kerusakan Lingkungan
Akibat Kegiatan Penambangan
Pasir Di Desa Keningar Daerah
Kawasan Gunung Merapi. Jurnal
Ilmu Lingkungan, Volume 9, Issue
2:76-84(2011)
Lestari, Puji; Prabowo, Agung; Wibawa,
Arif.
2012.
Manajemen
Komunikasi Bencana Merapi
2010 Pada Saat Tanggap Darurat.
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume
10, Nomor 2, Agustus 2012,
halaman 173-197
Habibullah, Hasbi. 2015. Dampak
Erusi
Merapi
Terhadap
Peningkatan
Perekonomian
Masyarakat. Skripsi Fakultas
Dakwah
dan
Komunikasi
Universitas Islam Negeri Snan
Kalijaga Yogyakarta.
Suhartini.
2006.
Fenomena
Penambangan
Pasir
dan
Pembangunan Besert Dampak
Lingkungan
Yang
Ditimbulkannya (Studi kasus di
Sekitar
Merapi
dan
di
Kabupaten
Bantul).
Dipublikasikan dalam Seminar
Nasional MIPA 2006 oleh Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam
Universitas
Negeri
Yogyakarta

LAMPIRAN

Permana,
Septian
Aji.
2015.
Manajemen Sistem Informasi
Kebencanaan: Studi Kasus Jogja
Tanggap Cepat Dalam Mengelola
Informasi
Bencana
Erupsi
Merapi.
Seminar
Nasional
Universitas PGRI Yogyakarta 2015