BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Karakter - AHMAD SHOBARI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Karakter 1. Pendidikan Arti pendidikan secara etimologi dari kata paedagogie berasal dari

  bahasa Yunani, terdiri dari kata “PAIS”, artinya anak, dan “AGAIN’, diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak (Ahmadi, Uhbiyati,, 2001 : 69).

  Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan mereka (Ikhsan, 2005 : 2).

  Definisi pendidikan juga dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dikutip oleh Ikhsan (2005 : 4-5), antara lain : 1). Driyarkara “Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.

  Pengangkatan manusia ke taraf insani”. 2). Ki Hadjar Dewantara

  “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak”. 3). GBHN tahun 1973 :

  “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”. Jadi dari uraian di atas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai :

  1). Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan dan berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa, 2). Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya dan merupakan perbuatan manusia, 3). Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki masyarakat, 4). Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju kedewasaan guna mencapai tujuan tertentu.

  2. Karakter Penulis paparkan tentang beberapa pengertian karakter itu dari beberapa sumber literatur yang dikemukakan oleh para ilmuwan, diantaranya sebagai berikut : 1.

  Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain (Hidayatullah, 2010 : 13).

2. Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, Charassein, yang artinya mengukir (Munir, 2010 : 2).

  3. Karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan (Khan, 2010 : 1).

  4. Karakter atau watak adalah ciri khas seseorang sehingga menyebabkan ia berbeda dari orang lain secara keseluruhan (Sastrowardoyo dalam Said, 2011 : 1). Dari beberapa pengertian karakater di atas sebenarnya dapat disimpulkan bahwa karakter itu tidak berbeda jauh dengan pengertian budi pekerti dan juga akhlak bahkan dapat diartikan sama antara karakter, budi pekerti dengan akhlak. Hal ini dikuatkan dengan pendapatnya Sa’aduddin dalam Hidayatullah (2010 : 11), yang mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti, antara lain ; tabi’at, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan, dapat berarti adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginannya, dan juga dapat diartikan watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabi’at dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi adat. Dengan kata lain pengertian karakter, akhlak, moral dan budi pekerti tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sehingga menurut Munir (2010 : 5), karakter itu dapat dibentuk, jika karakter bukan merupakan seratus persen turunan dari orang tuanya, namun jika gen hanyalah salah satu faktor pembentuk karakter, kita akan meyakini bahwa karakter bisa dibentuk semenjak lahir, jadi disini peran orang tua sangat besar dalam pembentukan karakter.

  Timbul pertanyaan yang menarik berdasarkan pengertian karakter di atas yaitu dapatkah karakter itu dirubah dari diri seseorang pada umumnya dan remaja pada khususnya. Munir (2010 : 9), menjelaskan jika karakter diartikan sebagaimana asalnya, yakni charassein, tentunya akan sulit untuk dirubah, namun jika menilik bahwa karakter bisa dibentuk atau dibangun, ia pasti dapat dirubah. Sebab pembangunan dan pembentukan itu sendiri sejatinya adalah perubahan. Hanya saja, jika bangunan itu adalah bangunan yang kokoh, butuh waktu lama dan energi yang tidak sedikit untuk mengubahnya.

3. Pendidikan Karakter

  Pendidikan karakter pendidikan yang mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami (Khan, 2010 : 1).

  Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa sehingga akan terwujud insan kamil (Aunillah, 2011 : 18).

  Berdasarkan pengertian di atas, maka pendidikan karakter merupakan sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan mendesak. Hal itu mengingat demoralisasi dan degradasi pengetahuan sudah sedemikian akut menjangkiti bangsa ini di semua lapisan masyarakat (Asmani, 2011 : 47).

  Sebab lain juga karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang konduksif untuk membangun bangsa yang unggul (Hidayatullah, 2010 : 15).

  Pendapat lain menjelaskan faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter adalah: pertama, sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual.

  

Kedua , kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter

yang baik (Hidayatullah, 2010 : 15).

  Perlu dijelaskan pula di sini tentang tujuan dari pendidikan karakter. Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip oleh Aunillah (2011 : 97-103), menjelaskan sedikitnya ada lima hal dasar yang menjadi tujuan dari penyelenggaraan pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut : a). Membentuk manusia Indonesia yang bermoral

  Persoalan moral merupakan masalah serius yang menimpa bangsa Indonesia. Setiap saat, masyarakat dihadapkan pada kenyataan merebaknya dekadensi moral yang menimpa kaum remaja, pelajar, masyarakat pada umumnya, bahkan para pejabat pemerintah.

  b). Membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan rasional Seseorang disebut mempunyai kepribadian atau karakter apabila ia berpikir rasional, mengambil keputusan yang tepat, serta cerdas dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya.

  c). Membentuk manusia Indonesia yang inovatif dan suka bekerja keras Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai yang diselenggarakan untuk menanamkan semangat suka bekerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada peserta didik, yang diharapkan akan mengakar menjadi karakter dan kepribaiannya.

  d). Membentuk manusia Indonesia yang optimis dan percaya diri

  Sikap optimis dan percaya diri merupakan sikap yang harus ditanamkan kepada peserta didik sejak dini, karena kurang sikap optimis dan percaya diri menjadikan kehilangan semangat untuk dapat bersaing menciptakan kemajuan.

  e). Membentuk manusia Indonesia yang berjiwa patriot Salah satu prinsip yang dimiliki oleh konsep pendidikan karakter adalah terbinanya sikap cinta tanah air. Hal yang paling inti dari sikap ini adalah kerelaan untuk berjuang, berkorban, serta kesiapan diri dalam memberikan bantuan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Maka peserta didik harus menyadari bahwa ilmu yang diperoleh harus bermanfaat bagi orang banyak.

4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter

  Pendidikan karakter diharapkan mampu membentuk kepribadian kuat yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Menurut Mujahidin dalam Taufiq (2010 : 143-149) perlu ditekankan prinsip-prinsip dalam pembentukan pribadi secara individual dan komunal, prinsip-prinsip tersebut diantaranya : prinsip keyakinan yang bersih (salimul ‘aqidah) ,ibadah yang benar (shahihul

  ibadah

  ), moral akhlak yang kokoh (matinul khuluq), jasmani yang kuat (qawiyyul jismi), berwawasan budaya (mutsaqqoful fikri), mampu memerangi hawa nafsu (mujahadatul linafsihi), pandai mengatur waktu (harisun ‘ala

  waqtihi

  ), teratur dalam urasan-urusannya (munadhomun lisyu’unihi), berjiwa entrepreneurship (qadirun ‘alal kasbi), bermanfaat bagi orang lain dan alam sekitarnya (nafi’un lighoirihi). Menurut penulis untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut di atas peran orang tua pada umumnya menjadi sangat penting karena orang tua di rumah adalah tempat pertama dan utama dalam membentuk karakter anak khususnya remaja, serta yang tidak kalah penting adalah peran lembaga pendidikan pada umumnya dan lembaga pendidikan Islam pada khususnya.

5. Tahapan-Tahapan Pendidikan Karakter

  Menurut Hidayatullah (2010 : 32), bahwa pendidikan karakter dapat diklasifikasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut : 1). Adab diajarkan pada usia 5-6 tahun

  Pada fase ini, hingga berusia 5-6 tahun anak dididik budi pekerti, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter sebagai berikut : a). Jujur, tidak berbohong

  b). Mengenal mana yang benar dan mana yang salah

  c). Mengenal mana yang baik dan mana yang buruk d). Mengenal mana yang yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.

  2). Tanggungjawab diri diajarkan pada usia 7-8 tahun Perintah agar anak usia 7 tahun mulai menjalankan shalat menunjukkan bahwa anak mulai dididik untuk bertanggungjawab, terutama dididik bertanggungjawab pada diri sendiri. 3). Caring (peduli) diajarkan pada usia 9-10 tahun

  Pada fase ini anak dididik untuk peduli pada orang lain, terutama pada teman-teman sebaya yang setiap hari ia bergaul. Menghormati orang lain, menghormati hak-hak orang lain, bekerja sama di antara teman- temannya dan membantu serta menolong orang lain.

  4). Kemandirian diajarkan pada usia 11-12 tahun

  Berbagai pengalaman yang telah dilalui pada usia-usia sebelumnya makin mematangkan karakter anak sehingga akan membawa anak pada kemandirian. Kemandirian ini ditandai dengan kesiapan dalam menerima resiko sebagai konsekuensi tidak mentaati peraturan.

  5). Bermasyarakat diajarkan pada usia 13 tahun ke atas Berdasarkan klasifikasi diatas maka pendidikan karakter harus sesuai dengan perkembangan anak dan disesuaikan dengan tahap-tahap serta perkembangan anak.

6. Strategi Pendidikan Karakter

  Menurut Hidayatullah (2010 : 39), bahwa strategi pendidikan karakter dapat dilakukan dengan melalui sikap-sikap sebagai berikut : 1)

  Keteladanan Begitu pentingnya keteladanan sehingga Tuhan menggunakan pendekatan dalam mendidik umatnya melalui metode yang harus dan layak dicontoh. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keteladanan ,merupakan pendekatan pendidikan yang paling ampuh. Setidaknya ada tiga unsur agar seorang dapat diteladani atau menjadi teladan, yaitu : a). Kesiapan untuk dinilai

  b). Memiliki kompetensi minimal

  c). Memiliki integritas moral Dalam pendidikan karakter tugas seorang guru selaku pendidik amat sangat penting sekali, menurut Musbikin (2010 : 35), bahwa salah satu tugas khusus seorang guru adalah harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya.

  2). Penanaman kedisiplinan Kedisiplinan menjadi alat yang ampuh dalam mendidik karakter.

  Banyak orang sukses karena menegakkan kedisiplinan. Sebaliknya, banyak upaya membangun sesuatu tidak berhasil karena kurang atau tidak disiplin.

  Penegakkan kedisiplinan antara lain dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti peningkatan motivasi, pendidikan dan latihan, kepemimpinan, penerapan penghargaan dan hukuman dan penegakkan aturan.

  3). Pembiasaan Anak memiliki sifat yang paling senang meniru. Orang tuanya merupakan lingkungan terdekat yang selalu mengitarinya dan sekaligus menjadi idolanya. Bila mereka melihat kebiasaan baik dari ayah dan ibunya, maka mereka pun akan dengan cepat mencontohnya. Orang tua yang berperilaku buruk akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak- anak pun paling mudah mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut orang tuanya. 4). Menciptakan suasana yang konduksif

  Pada dasarnya tanggung jawab pendidikan karakter ada pada semua pihak yang mengitarinya, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Maka menciptakan suasana yang konduksif di lingkungan mana saja merupakan upaya membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter.

  5). Integrasi dan internalisasi Pendidikan karakter membutuhkan proses internalisasi nilai-nilai, karena pendidikan karakter harus mewarnai seluruh aspek kehidupan dan terintegrasi, karena pendidikan karakter memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek lain dan merupakan landasan dari seluruh aspek kehidupan.

  Untuk itu diperlukan pembiasaan diri untuk masuk kedalam hati agar tumbuh dari dalam. Pentingnya pendidikan atau pembelajaran terintegrasi atau terpadu didasarkan pada beberapa asumsi dan dasar pemikiran sebagai berikut : a).

  Fenomena yang tidak berdiri sendiri, maksudnya fenomena yang ada di dalam kehidupan dan di lingkungan kita selalu terkait dengan fenomena atau aspek yang lain.

  b).

  Memandang objek sebagai suatu keutuhan, dalam memandang dan mengkaji suatu objek harus scara utuh dan tidak secara parsial.

  c).

  Tidak dikotomi, jika objek dipandang sebagai fenomena yang tidak berdiri sendiri dan sekaligus merupakan suatu keutuhan, maka objek tidak dapat dipisahkan. Untuk melaksanakan tahapan-tahapan pendidikan karakter, prinsip- prinsip pendidikan karakter, dan strategi pendidikan karakter, maka dalam pendidikan karakter paling tidak dibutuhkan pilar-pilar yang saling kait mengait. Suparlan dalam Asmani (2011 : 50), menjelaskan sembilan pilar dalam pendidikan karakater, yaitu; tanggung jawab (responbility), rasa hormat (respect), keadilan (fairness), keberanian (courage), kejujuran (honesty), kewarganegaraan (citizenship), disiplin diri (self- dicipline) , peduli (caring), dan ketekunan (perseverance).

B. Remaja 1.

  Pengertian Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali, 2011 : 9).

  Masa remaja menurut Mappiare dalam Ali (2011 : 9), berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi laki-laki. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12-13 tahun sampai dengan 17-18 tahun adalah masa remaja awal, dan usia 17-18 tahun sampai dengan 21- 22 tahun adalah remaja akhir.

  Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri yang sering disebut dengan identitas ego (ego identity), ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa (Bischof dalam Ali, 2011 : 16-18).

  Perkembangan emosi pada masa remaja memiliki karakteristik tertentu menurut periode perkembangannya. Ali dan Asrori (2011, cet. Ketujuh : 68-69), menjelaskan tentang karakteristik untuk setiap periodenya, yaitu : a). Periode Pra Remaja

  Selama periode ini terjadi gejala-gejala yang hampir sama antara remaja putra dan putri. Perubahan fisik belum nampak jelas, tetapi pada remaja putri biasanya memperlihatkan penambahan berat badan yang cepat sehingga merasa gemuk mengakibatkan gerakan- gerakan menjadi kaku.

  b). Periode Remaja Awal Selama periode ini perkembangan fisik yang semakin tampak adalah perubahan fungsi alat kelamin semakin nyata, sehingga remaja sering mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu. Akibatnya, tidak jarang mereka menyendiri sehingga merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau mempedulikannya.

  c). Periode Remaja Tengah Tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja, yaitu mampu memikul sendiri juga menjadi masalah tersendiri bagi mereka. Akibatnya, seringkali remaja ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, pantas, dan baik untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri.

  d). Periode Remaja Akhir

  Selama periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa. Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orang tua juga menjadi lebih bagus dan lancar serta pilihan arah hidup sudah semakin jelas.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja

  Menurut Gunarsa dan Gunarasa dalam Dariyo (2004 : 14) bahwa secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja diantaranya : 1). Faktor endogen (nature), bahwa perubahan-perubahan fisik dan psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orang tuanya, diantaranya postur tubuh, bakat minat, kecerdasan, kepribadian dan sebagainya.

  2). Faktor exogen (nurture), bahwa perubahan dan perkembangan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu itu sendiri, seperti lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

  3). Faktor interaksi antara endogen dan exogen, dalam kenyataannya masing –masing faktor tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi.

C. Pendidikan Islam 1.

  Pengertian Dalam khasanah pendidikan Islam, pengertian kata pendidikan, pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim.

  Dari ketiga istilah tersebtu term yang popular digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam (Arif, 2008 : 25).

  Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat ahli pendidikan Islam, dalam kitab Tarikh al- al-Islamiyah yang dikutip Arif (2008 : 25-33), menjelaskan

  Tarbiyah

  ketiga term tersebut sebagai berikut :

  a) Istilah al-tarbiyah

  Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb, yang berarti tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.

  Jika ditinjau dari asal katanya, dapat dilihat pada tiga bentuk, yaitu : a.

  Raba-yarbu-tarbiyah, yang berarti memiliki makna bertambah dan berkembang, b.

  Rabiya,-yarba-tarbiyah, yang memiliki makna tumbuh dan berkembang, c.

  Rabba-yarubbu-tarbiyah, yang memiliki makna memperbaiki, menguasai, memelihara, dan merawat, memperindah, mengatur, dan menjaga kelestariannya.

  Dari pengertian-pengertian diatas, dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang terkandung dalam term al-

  tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu : memelihara

  dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan dan melaksanakan pendidikan secara bertahap.

  b). Istilah al-Ta’lim Penggunaan istilah al-ta’lim bersumber dari ‘allama, berarti pengajaran yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan dan ketrampilan.

  Kata ta’lim menurut tinjauan bahasanya mempunyai asal kata dasar makana sebagai berikut : 1). Berasal dari kata dasar ‘allama-ya’lamu, yang berarti mengecap atau memberi tanda, 2). Berasal dari kata dasar ‘alima-ya’lamu, yang berarti mengerti atau memberi tanda.

  c). Istilah al-Ta’dib Adapun kata al-ta’dib secara bahasa merupakan masdar darti kata addaba, mempunyai kata dan makna dasar sebagai berikut : a.

  Ta’dib, berasal dari kata dasar ‘aduba-ya’dubu, yang berarti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun, b.

  Berasal dari kata dasar ‘adaba-ya’dibu, yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan, c. Kata ‘addaba, sebagai bentuk kata kerja ta’dib, mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin dan memberi tindakan.

  Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa ta’dib, mengandung pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan hatinya untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan.

  Dibawah ini akan Penulis paparkan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan Islam dipandang dari segi istilah : a). Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani

  Pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.

  b). Menurut Hasan Langgulung Pendidikan Islam adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik. c). Menurut Ahmad Fuad Al-Ahwaniy Pendidikan Islam adalah pranata yang bersifat sosial yang tumbuh dari pandangan hidup tiap masyarakat. Pendidikan senantiasa sejalan dengan pandangan falsafah hidup masyarakat tersebut, atau pendidikan itu pada hakekatnya mengaktualisasikan falsafah dalam kehidupan nyata. Pendapat lain menjelaskan bahwa pendidikan Islam pada hakekatnya bertujuan melahirkan generasi muda yang mampu mengelola, memakmurkan, menguasai dan menerapkan hukum dan aturan Allah di muka bumi. Itulah juga visi para Nabi dan Rasul, bukan untuk melahirkan manusia-manusia perusak bumi dan alam. Itulah yang dimaksud Allah dalam ayatNya bahwa Allah akan menciptakan para Khalifah dari kalangan manusia yang kelak dipertanyakan oleh para malaikat. Karenanya Allah akan mengangkat dari hamba-hambaNya yang dalam hidiupnya menuntut ilmu, beberapa derajat ( http://www.psikologi-

  

islam.com/detail-analisis-43-perspektif-normatif-dan-skarakter-

pen didikan-islam-html).

2. Tujuan Pendidikan Islam

  a). Tujuan secara universal Rumusan tujuan pendidikan yang bersifat universal dapat diruju pada hasil konggres sedunia tentang Pendidikan Islam sebagai berikut :

  “Education should aim at the balanced growth of total personality of

  man through the training of man’s, intellect the rational self,

feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the

growth of man in all its aspect, spiritual, intellectual, imaginative,

physical, scientific, linguistic, both individual and collectively, and

motivate all these aspect toward goodness and attainment of

perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of

complete submission to Allah on the level individual, the community and humanity at large”.

  “Pendidikan harus ditujukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal pikiran, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian, pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual, intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik tingkat perseorang, kelompok maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya” (Nata, 2010 : 61).

  b). Tujuan secara nasional Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan Islam nasional ini adalah tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan oleh setiap Negara (Islam). Dalam kaitan ini, maka setiap negara merumuskan tujuan pendidikannya dengan mengacu kepada tujuan universal sebagaimana tersebut di atas. Untuk itu tujuan pendidikan Islam secara nasional menurut Ali (2011: 63-64) adalah merujuk kepada tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rasa seni, serta bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa dan negara.

  Berdasarkan uraian tujuan pendidikan Islam di atas maka dalam pendidikan Islam perlu ditanamkan nilai-nilai yang sangat mendasar kepada peserta didik yang menjadi inti dari kegiatan pendididikan. Zayadi dalam Majid dan Andayani (2011 : 92-98), mengemukakan bahwa sumber nilai yang berlaku dalam pranata kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :

  1. Nilai Ilahiyah Dalam nilai Ilahiyah ini terdapat beberapa nilai yang sangat mendasar, yaitu: iman, Islam, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur, dan sabar. Meskipun hanya sedikit yang disebutkan di atas, itu akan cukup mewakili nilai-nilai keagamaan mendasar yang perlu ditanamkan pada peserta didik, sebagai bagian yang amat penting dari pendidikan.

  2. Nilai Insaniyah Pendidikan tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada pengajaran. Karena itu keberhasilan pendidikan bagi peserta didik tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh peserta didik itu menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang suatu masalah semata. Justru yang lebih penting bagi umat Islam, ialah seberapa jauh tertanam nilai-nilai kemanusiaan yang mewujud nyata dalam tingkah laku dan budi pekertinya sehari-hari. Nilai-nilai akhlak yang perlu ditanamkan pada peserta didik diantaranya, yaitu: silaturrahmi, al-ukhuwah,

  

al-musawah (berharkat dan martabat sama), al-‘adalah,

husnudzan, tawadlu’, al-wafa (tepat janji), insyirah (lapang dada), amanah, iffah (sikap penuh harga diri), qawamiyah (sikap tidak boros), dan al-munfiqun (sikap menolong sesama manusia).

3. Sumber Pendidikan Islam

  Kata sumber dalam bahasa Arab disebut mashdar yang jamaknya , dapat diartikan starting point (titik tolak), point of origin

  mahadir

  (sumber asli), origin (asli), source (sumber), infinitive (tidak terbatas),

  

verbal nounce (kalimat kata kerja), dan absolute or internal object

(mutlak atau tujuan yang bersifat internal).

  Menurut Hasan Langgulung dalam Ali (2011 : 75-83), bahwa sumber pendidikan Islam adalah : 1). Al-Qur’an

  Secara harfiah al-Qur’an berarti bacaan atau yang dibaca. Hal ini sesuai dengan tujuan kehadirannya, antara lain agar menjadi bahan bacaan untuk dipahami, dihayati dan diamalkan kandungannya. Adapun secara istilah al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad bin Abdullah melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disampaikan kepada generasi berikutnya secara mutawatir (tidak diragukan), dianggap ibadah bagi orang yang membacanya, yang dimulai dari surat al- Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. 2). As-Sunnah

  Secara harfiah as-Sunnah adalah jalan hidup yang dijalani atau dibiasakan, apakah jalan hidup itu baik atau buruk, terpuji maupun tercela.

  Adapun pengertian as-Sunnah menurut para ahli hadits adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya. Sunnah menurut para ahli hadits sama dengan pengertian hadits. 3). Sejarah Islam

  Pendidikan sebagai sebuah praktik pada hakekatnya merupakan peristiwa sejarah, karena praktik pendidikan tersebut terekam dalam tulisan selanjutnya dapat dipelajari oleh generasi selanjutnya. Sejarah mencatat adanya lembaga pendidikan Dar al-Arqam, rumah para ulama, suffah, kuttab, masjid, al-badiah, al-qushur (istana), toko buku, al-ashlun al-adabiyah (sanggar sastra), madrasah, baitu

  al-hikmah , al-bimaristan (rumah sakit pendidikan), al-ribath

  (lembaga pendidikan bagi calon sufi), al-zawiyah (bagian masjid yang digunakan untuk pendidikan spiritual), dan majelis taklim.

  4). Pendapat Para Sahabat dan Filsuf Para sahabat dan filsuf adalah orang-orang yang memiliki keinginan dan komitmen yang kuat untuk membangun kehidupan manusia yang bermartabat. Mereka mencurahkan segenap waktu, tenaga dan kemampuannya untuk memikirkan dan membimbing umat manusia. Mereka memikirkan tentang hakekat manusia, alam, ilmu pengetahuan, akhlak, kebaikan, kebahagiaan, sosial, politik, kesejahteraan umat dan pendidikan.

  5). Mashalahat al-Mursalah dan Uruf Secara harfiah berarti kemaslahatan umat. Adapun dalam arti yang lazim digunakan, yaitu undang-undang, peraturan atau hukum yang tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an, namun dipandang perlu diadakan demi kemaslahatan umat.

D. Penelitian terdahulu

  Judul penelitian “Pandangan Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Tentang Pendidikan Akhlaq” skripsi Darsitun tahun 2011 halaman 50.

  Penulis hanya mengutip kesimpulan tentang pandangan Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tentang pendidikan akhlak terhadap makhluk yaitu meliputi :

  • sendiri dari menyakiti orang lain, baik itu dengan harta atau dengan sesuatu yang berkaitan dengan jiwa, atau mungkin juga yang berhubungan dengan kehormatan dirinya. Untuk itu, orang yang belum mampu menahan dirinya dari menyakiti sesama, maka dia belumlah berakhlak mulia, akan tetapi sebaliknya dia adalah orang yang berperilaku buruk.

  Mencegah gangguan maksudnya hendaknya seseorang menahan dirinya

  • kemurahan hati, artinya hendaklah engkau selalu mengerahkan sifat kedermawanan diri dan kemurahan hati. Dan arti kedermawanan disini bukanlah seperti yang disangkakan oleh sebagian orang yaitu hanya memberikan harta saja, akan tetapi arti sesungguhnya adalah rela memberikan jiwa, kedudukan, harta dan ilmu pengetahuan.

  Memberi bantuan yang dimaksud disini adalah kedermawanan dan

  • bertemu dengan yang lainnya, karena wajah yang ceria dapat membuat orang lain merasa gembira, bisa menimbulkan rasa kasih sayang dan rasa cinta, dan juga dapat memberikan kelapangan dada pada diri anda dan diri orang yang bertatap muka dengan anda.

  Berwajah ceria maksudnya disini adalah wajahnya berseri-seri ketika

  Berdasarkan dari kesimpulan penelitian terdahulu di atas, maka jelas sekali bahwa pandangan Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tentang pendidikan akhlak sangat berhubungan dengan judul skripsi yang sedang penulis teliti, dimana mencegah gangguan dan memberi bantuan dalam pendidikan karakter termasuk dalam 18 nilai yang harus dikembangkan pada remaja khususnya yaitu nilai peduli lingkungan dan juga keduanya merupakan tahapan dalam pendidikan karakter yaitu tahapan caring (peduli) yang diajarkan mulai usia 9-10 tahun.

  Sedangkan berwajah ceria dalam pendidikan karakter juga termasuk dalam nilai yang sedang dikembangkan, yaitu tergolong dalam nilai religius, dimana berwajah ceria sangat-sangat diajarkan dalam agama Islam kepada seluruh umat manusia karena itu merupakan shadaqah yang tidak memerlukan biaya. Berwajah ceria juga merupakan tahapan dalam pendidikan karakter yaitu tahapan adab yang harus diajarkan mulai usia 5- 6 tahun. Jadi perlu ditegaskan kembali bahwa kesimpulan dari penelitian terdahulu di atas ada kaitannya dengan judul skripsi yang sedang penulis teliti.