GELOMBANG ERUPSI MERAPI PENGUNGSI DAN JE

GELOMBANG ERUPSI MERAPI, PENGUNGSI,
DAN JEJARING POSKO MANDIRI
Best Practice Penanggulangan Bencana ala Dusun Kadisoka
Oleh: AB.Widyanta1
It is not always the case that what seems to be a disaster now is
judged to be one in the future. This is not always a comfort for
those involved at the time, but is worth keeping in mind.2
Pengantar
Tak usai-usainya bencana bertubi merundung negeri ini. Dari bulan Oktober hingga
November 2010 saja, tidak kurang dari 1200-an nyawa melayang karenanya. Beruntun setelah
banjir bandang Wasior dan Tsunami Mentawa, erupsi Merapi menyusul terjadi pada Selasa 26
Oktober 2010 lalu. Belum pulih benar kedukaan atas meninggalnya ribuan korban dan
kehancuran massif akibat bencana gempa bumi 4 tahun silam, 27 Mei 2006,3 kini warga YogyaJateng kembali berduka.
Sekilas, kita bisa mencermati dampak-dahsyat dari ketiga bencana yang terjadi secara
beruntun tersebut. Banjir bandang terjadi di Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wandoma,
Provinsi Papua Barat, pada Senin 4 Oktober 2010 pagi. Berdasarkan data BNPB per 29
November 2010, banjir bandang itu telah mengakibatkan korban meninggal 173 orang, 26 orang
luka berat, 2.374 orang luka ringan, 118 orang dilaporkan hilang, dan 9.016 orang mengungsi.
Sebanyak 987 unit rumah hancur dan puluhan fasilitas umum rusak. Total biaya pemulihan pasca
bencana banjir bandang Wasior diperkirakan mencapai Rp 370,53 miliar. 4
Belum tuntas penanganan banjir Wasior, selang 21 hari kemudian, gempa besar

berkekuatan 7,2 skala Richter yang diikuti tsunami mengguncang Sumatera Barat pada Senin 25
Oktober 2010, pukul 21.42 WIB. Pusat gempa berada pada 3,61 Lintang Selatan-99,93 Bujur
Timur dan berkedalaman 10 kilometer serta berlokasi di 78 km barat daya Pagai Selatan,
Mentawai, Sumatera barat. Berdasarkan keterangan BNPB per 29 November 2010, bencana
gempa bumi dan tsunami mentawai ini telah mengkibatkan korban meninggal sebanyak 509
orang, luka berat dan ringan 24 orang, 21 orang hilang, dan sebanyak 11.425 orang mengungsi.
Rumah rusak sebanyak 749 unit dan fasilitas umum rusak 34 unit. Total kerusakan dan kerugian
di Mentawai sebesar Rp 314,96 miliar. Menurut kalkulasi, untuk proses rehabilitasi-rekonstruksi
dan relokasi membutuhkan dana Rp 368,773 miliar. 5
1 AB.Widyanta adalah staf pada Kaldera Institute dan fellow pada Yayasan Sheep Indonesia, dan saat ini tengah
belajar di Program Pascasarjana Sosiologi UGM.
2 Dikutip dari David Nickson & Suzy Siddons, Project Management Disasters and How to Survive Them; London: Kogan
Page, 2006, hlm. 23.
3 Tercatat,bencana gempa bumi Yogya-Jateng, 27 Mei 2006, telah mengakibatkan korban meninggal 5.716; korban
luka-luka 37.927; rumah roboh/rusak berat 156.662; rumah rusak sedang/ringan 202.031. Total kerugian dan
kerusakan di seluruh sektor mencapai 292,2 triliun atau setara dengan 3 miliar dollar AS. Dikutip dari AB.Widyanta
(ed), Kisah Kisruh di Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007, hlm. 539-543. Baca juga AB.Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga yang
Dinisbikan dalam Governance Kebencanaan (Potret Penanganan Gempa Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai Tahun
VII No 1 2007, Governance Bencana, hlm.96. Untuk mengetahui kiprah dan semangat warga dalam penanganan pasca

gempa 27 Mei 2006, baca Bambang Shakuntala, Gempa 30 Juta Skalla Richter; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas, 2007. Baca juga Bambang Shakuntala, Apa Kabar Jogja Lama Tak Gempa; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka
Rakyat Cerdas, 2007
4 Lihat http://regional.kompas.com/read/2010/11/29/20314984/1.510.Unit.Rumah. di.Wasior.Direlokasi
5 Lihat http://regional.kompas.com/ read/2010/11/29/ 20314984/1.510.Unit.Rumah.di.Wasior.Direlokasi

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 1

Selisih satu hari paska gempa dan tsunami Mentawai, pada Selasa petang 26 Oktober
2010 erupsi Merapi menyusul terjadi di luar kebiasaan dan tabiatnya selama puluhan tahun lalu.
Berdasarkan data BNPB yang termutakhirkan per 8 Desember 2010 (44 hari pasca bencana),
jumlah korban meninggal karena erupsi Merapi mencapai 379 orang dan 179 orang masih
dirawat inap di rumah sakit. Penduduk yang masih berada di pengungsian sebanyak 21.338 orang
tersebar di 114 titik.6 Sementara itu, data kerusakan dan kerugian akibat dampak primer maupun
sekunder erupsi Merapi, hingga tulisan ini dirangkai, masih dalam proses penghitungan final oleh
Pemerintah Provinsi DIY dan Jawa Tengah.
Sebegitu mudahnya bencana menghempas ribuan nyawa, harta benda, institusi sosial, dan
penghidupan warga. Sebegitu instannya bencana tersaji sebagai kelumrahan yang seolah tak

terelakkan. Adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan lagi bahwa negeri ini terbentang di
the ring of fire kebencanaan. Sebagian besar kita tentu sudah sangat mafhum akan hal itu. Di balik
kesuburan, kekayaannya, dan keberlimpahannya, warga negeri ini harus hidup dan tinggal di
kawasan yang tingkat ancaman dan risiko bencananya tinggi (living with risk).7 Beragam bencana
seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, puting beliung,
kebakaran, dan kekeringan, senantiasa mengancam kehidupan warga.
Kesenantiasaan mendapati berjibunnya korban, kerusakan, dan kerugian yang diakibatkan
oleh beragam bencana itu, boleh jadi benak kita pun menggugat: “Sebegitu lekatkah kemalangan
dan kedukaan itu dengan kita? Hingga seberapa banyak lagi korban mesti berjatuhan dalam setiap
bencana terjadi? Hingga berapa kali lagi benak kita mesti mengunggah gugatan semacam ini
sementara korban selalu saja membelasah di setiap pasca bencana? Adakah ketidakberesan pada
kita sebagai entitas masyarakat warga maupun negara bangsa (nation state) ini?
Terasakan benar betapa masa-masa sulit senantiasa menggiring-paksa kita untuk kembali
mengunyah dan mencernai kerasnya lapis-lapis “batok” kehidupan. Tanpa berpretensi untuk
menjawab langsung gugatan kontemplasi tersebut di atas, tulisan ini akan mendiskripsikan
kembali apa yang sudah kita (negeri ini) punya dengan segenap cacat-celanya sekalipun. Tilikan
sekilas atas basis paradigma konstitusi penanggulangan bencana (disaster management) di negeri ini
akan mengawali tulisan. Setahap kemudian, tulisan ini secara khusus akan memapar fenomena
alam, gelombang erupsi eksplosif Merapi, sebagai “agen pemicu” bagi munculnya gelombang
bencana yang lebih besar lagi, seakan-seakan hendak menguras habis air mata. Sebagaimana

gempa Yogya-Jateng 27 Mei 2006, gelombang modal sosial masyarakat warga Yogya-Jateng
kembali berkontribusi teramat besar dalam penanganan penyintas pasca erupsi Merapi. Hadirnya
beragam best practice kisah keberdayaan warga di Posko Mandiri dalam menangani pengungsi
secara swadaya menjadi oase di tengah kepungan kerangkeng besi (iron cage) rezim kebencanaan.
Eksemplar best practice Posko Mandiri Kadisoka hadir menyelamatkan kita dari jurang-gelap
pesisme penanganan pasca erupsi Merapi. Di ranah Posko Mandiri itulah, beragam prakarsa lokal
yang otentik dari masyarakat sipil secara riil telah menyumbang pada model-model alternatif yang
adekuat bagi perbaikan sistem tata kelola kebencanaan (disaster governance). Di jejaring Posko
Mandiri itulah potret konstitusionalisme warga dan konstitusionalisasi negara tengah
dikontestasikan.8 Melaui Posko Mandiri, kiprah warga Kadisoka memberikan eksemplar riil

Lihat http://regional.kompas.com/read/2010/12/09/17335451/Tanggap.Darurat.Merapi.Berakhir-8
Baca selengkapnya dalam UNISDR, Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives, Geneva: United
Nations, 2004.
8 Secara konseptual konstitusionalisasi merupakan suatu proses untuk meletakkan suatu bentuk pemerintah, negara
atau organisasi berada di bawah kontrol suatu konstitusi. Sedangkan istilah konstitusionalisme merujuk pada dua arti
berikut: sistem pemerintahan yang berbasis pada konstitusi dan kepercayan pada pemerintah yang berbasis pada
konstitusi. Dalam konteks tata kelola kebencanaan, konstitusionalisme ini bisa pahami secara luas (global) sebagai
upaya membumikan ide dan agenda penguatan prinsip-prinsip konstutisional, seperti aturan-aturan hukum, checks and
balance, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan mungkin juga demokrasi, demi perbaikan sistem yang lebih efektif

dan adil. Mengenai dua konsep di atas, baca P. Chollin, Dictionary of Politics and Government, Londong: Bloombury,
2004, hlm.53.
6
7

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 2

perihal kapabilitas warga mengelola “ruang publik” untuk menyemai spirit dan praksis
berdemokrasi secara legitimate di tengah himpitan krisis kemanusiaan sekalipun.
Sebagaimana tertera dalam kutipan di atas, ada satu keyakinan kuat dalam tulisan pendek
ini bahwa tidak semua kasus yang nampak sebagai bencana pada saat ini, akan nampak demikian
juga di masa yang akan datang. Memang tak senantiasa menyenangkan bagi mereka yang terlibat
pada saat bencana itu, namun adalah suatu kebernilaian dan keberhargaan untuk mencamkan (best
practice) itu di benak kita.9
Konstitusionalisasi Penanggulangan Bencana
Menyoal tentang bencana, kita bisa meminjam sebuah kutipan yang mungkin bisa
menuntun kita untuk mengupas lebih lanjut perihal disaster management yang adekuat, terutama
untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa dalam setiap kejadian bencana. Dalam sebuah buku

berjudul Catastrophe and Culture: The Anthropology of Disaster, Smith dan Hoffmann berupaya
meyakinkan kita bahwa terjadinya bencana pada hakekatnya tergantung pada tingkat kerentanan
individu, kelompok, lingkungan, dan institusi yang ada di dalam suatu masyarakat. Secara
provokatif, Smith dan Hoffman menyatakan:10
Bencana menjadi tak terhindarkan dalam konteks dimana pola “kerentanan”, kejadian di lokasi,
infrastruktur, organisasi sosial-politik, sistem produksi dan distribusi, dan ideologi masyarakat
terproduksi secara historis. Sebuah pola kerentanan masyarakat merupakan elemen pokok bencana.
Dalam kondisi itu, perilaku individu dan organisasi dalam keseluruhan bencana yang terjadi jauh
lebih merusak ketimbang yang akan ditimbulkan oleh kekuatan fisik agen yang merusak itu sendiri.
(Oliver Smith dan Hoffman, 2002:3)
Terurai jelas dalam kutipan di atas bahwa pola kerentanan masyarakat adalah elemen utama dari
bencana itu sendiri. Kondisi rentan yang melekat pada individu, lingkungan dan institusi itulah
yang menyebabkan fenomena alam berubah menjadi bencana bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, kerentanan dan kapasitas perorangan dan kelompok sosial pada
hakekatnya teramat menentukan daya tahan dan kemampuan mereka (individu maupun
masyarakat dalam menghadapi bencana dan memulihkan diri pasca bencana. Berbagai kondisi
seperti jejaring sosial, modal sosial, hubungan kekuasaan, pengetahuan dan ketrampilan, peran
gender, kesehatan, kekayaan, dan lokasi, kesemuanya memiliki derajad risiko dan kerentanan
terhadap bencana. Jika derajad kerentannya tinggi sedangkan kapasitas individu dan masyarakat,
serta negara (pemerintah) rendah, maka hampir bisa dipastikan bencana dalam bencana tak bisa

terelakkan lagi.11
Secara tekstual, nilai dan spirit seperti yang terurai di atas sebenarnya telah tertuang dalam
UU Penanggulangan Bencana No 24 Tahun 2007.12 Kendati telah berlaku selama hampir 4
tahun, praksis/realisasi UU Penanggulanan Bencana ini masih saja terseok keteteran hingga saat
ini. Alih-alih menerapkan, banyak pejabat tinggi Jakarta justru tidak paham (tidak sedikit pula
9 Terjemahan bebas dari kutipan buku David Nickson & Suzy Siddons, Project Management Disasters and How to Survive
Them; London: Kogan Page, 2006, hlm. 23
10 Kutipan Smith & Hoffmann ini dicuplik dan diterjemahkan dari Irwan Abdullah, Dialektika Natur, Kultur dan
Struktur: Analisis Konteks, Proses dan Ranah Dalam Konstruksi Bencana, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Antropologi, 13 November 2006, hlm 17.
11 Baca Susetiawan, Bencana dalam Bencana, kata pengantar dalam AB.Widyanta (ed.), Kisah Kisruh di Tanah Gempa,
Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006; Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas,
2007, hlm. xi-xxvi.
12 Terlepas dari segenap pro-kontra, UUPB No 4 Tahun 2007 diberlakukan sejak 27 April 2007. Jauh sebelum
gempa dan tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004, diskusi awal digelar pada tahun 2003 oleh UNDP,
OCHA, BAKORNAS PB dan MPBI. Selama 2005 – 2007, proses legal drafting didukung oleh UNDP melalui
Emergency Response and Transitional Recovery (ERTR). Baca MPBI & UNDP Indonesia, Lessons Learned: Disaster
Management Legal Reform; The Indonesian Experience, MPBI: 2007, hlm.7.

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta


Page 3

yang buta) terhadap keberadaan dan isi UU Penanggulangan Bencana itu sendiri.13 Pilihan kata
“Penanggulangan Bencana”—yang merupakan translasi dari disaster management—itu sendiri
memang cenderung multi tafsir dan masih saja “kontroversial”, meskipun sejatinya konsep dan
maknanya pun telah terumuskan di dalam UUPB tersebut.14
Untuk lebih jelasnya, marilah kita tengok sekilas nukilan isi UUPB berikut ini. Pada Bab I
Keterangan Umum, Pasal 1, butir ke 5, ternyatakan secara jelas bahwa:15
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi.
Terartikulasikan pada butir itu bahwa Undang Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24
Tahun 2007 telah menggeser paradigma lama yang lebih berfokus pada “ketergopohan” tanggap
darurat (Disaster/Emergency Respon) menjadi paradigma baru Pengurangan Risiko Bencana (Disaster
Risk Reduction) yang jauh lebih padu dan komprehensif. Dengan kata lain, UUPB telah
mengadopsi sebuah pendekatan sistematis/holistik dalam penanggulangan bencana yang
mencakup tiga tahapan dari siklus berikut: pertama, perencanaan prabencana dan kesiapsiagaan
(yang mencakup pengurangan risiko bencana, mitigasi, kesiapsiagaan, dan rencana kontingensi);
kedua, pelaksanaan tanggap darurat (mencakup SAR dan distribusi bantuan); dan ketiga, pascabencana atau proses pemulihan (mencakup rehabilitasi dan rekonstruksi).16

Dengan kata lain, UUPB ini hadir sebagai konstitusi yang memungkinkan berlangsungnya
kiprah pendayagunaan segala sumber daya (yang mencakup dimensi alam, fisik, teknis, ekonomi,
sosial, budaya, politik, ideologis, dan institusional) untuk mengurangi jumlah korban saat bencana
terjadi. Pada hakekatnya, UUPB ini mengartikulasikan sejumlah nilai, prinsip, strategi dan
prioritas aksinya HFA (The Hyogo Framework for Action).17 HFA ini sendiri secara prinsipil
dirancang sebagai suatu bentuk tanggapan yang komprehensif dan berorientasi aksi atas

13 Ironi “kebutaan” yang menghenyak itu terjadi saat Wakil Ketua MPR RI, Hj Melani Leimena S mengunjungi
pengungsi di Stadion Maguwoharjo, pada Sabtu 4 Desember 2010. Di hadapan para jurnalis, Melani mengungkapkan
pihaknya mendesak segera dibuat Undang-undang (UU) tentang bencana. Selama ini sering terjadi anggaran tidak
bisa disalurkan lantaran proses yang panjang sehingga harus diatur mekanisme pemberian bantuan yang cepat. Lihat
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=230799&actmenu=36. Ke-nyleneh-an serupa dilakukan tokoh partai kesohor,
Ketua DPP PDI Perjuangan Maruarar Sirait. Di depan para jurnalis pada Rabu 3 November 2010, dengan sangat
meyakinkan ia berpendapat Indonesia membutuhkan undang-undang (UU) tentang bencana alam. UU tentang
bencana alam itu sebagai landasan hukum penanganan bencana alam yang kerap terjadi di republik ini. Lebih jauh ia
mengatakan: “Payung hukumnya harus ada dan saya sangat mau itu (bentuknya) undang-undang (bencana alam). Ini
harus ada good will bersama dari DPR dan pemerintah. Kita jangan hanya jadi pemadam kebakaran terus-menerus.”
Lihat http://www.pdiperjuangan-jatim.org/ v03/index.php?mod=berita&id=3735,
14 Sebuah tafsir yang tak kalah nyleneh mencuat dari Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi
Arief ini. Di depan para jurnalis, Rabu 7 April 2010, Andi menegaskan: “Idealnya, Indonesia memiliki UndangUndang Mitigasi Bencana. Sebelum itu terwujud, kita perlu membuat sebuah pedoman mitigasi bencana secara

nasional.” Dalam ungkapan itu, sepertinya Andi memahami kata “Penanggulangan” itu sebagai “respon” emergensi
semata. Jika asumsi itu benar, bukan tidak aneh bila Andi lantas “berhasrat” mencomot kata “Mitigasi” sebagai
antitesanya. Kiranya Andi Arif akan jauh lebih arif jika mau membaca utuh UU Penanggulangan Bencana. Tentang
komentar Andi di atas, lihat http://www.detiknews.com/read/2010/04/07/ 202023/1334190/10/andi-ariefindonesia-perlu-sistem-mitigasi-bencana-yang-terpadu
15 UU Penanggulangan Bencana No 24 Tahun 2007, hlm 2. Lihat juga pada Bab II Landasan, Azas, dan Tujuan;
Pasal 4, hlm. 6.
16Baca uraian lanjut Pasal 33 sampai dengan Pasal 58 UUPB No 24 Tahun 2007, hlm.17-25. Bandingkan dengan
MPBI & UNDP Indonesia, Lessons Learned: Disaster Management Legal Reform; The Indonesian Experience, Jakarta: MPBI,
2007, hlm.7.
17 HFA telah diadopsi oleh 168 negara dalam World Conference on Disaster Reduction, yang digelar di Kobe, Hyogo
Prefecture, Japan, 18-22 Januari 2005. Untuk konsep dan kerangka aksi HFA baca UNISDR, Words Into Action: A
Guide for Implementing the Hyogo Framework; Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the resilience of nations and
communities to disasters, Geneva: UNISDR, 2007, hlm..163-165.

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 4

kepedulian internasional tentang perkembangan dampak-dampak bencana pada individu,
masyarakat dan pembangunan nasional.18

Mencermati capaian-capaian konstitusionalisasi perihal disaster management di negeri ini,
sepertinya tak perlu lagi kita berkutat di aras tekstual. Dalam hemat penulis, adalah sebuah kemudharat-an untuk membeber dan menghampar beragam teori maupun konsep disaster management
di tengah penanganan bencana yang selalu berujung kecarut-marutan sebagaimana terekam dalam
berbagai pengalaman sejauh ini. Falsifikasi teori maupun konsep hanya akan menemukan
kebermaknannya tatkala itu dibenturkan pada realitas aktual. Uji empiris atas konsep
penanggulangan bencana (disaster management) terletak di aras realitas praksis dari penanggulangan
bencana itu sendiri.
Tersadari, diskontinuitas memori kita perihal pengalaman masa lalu seringkali tak
membuat kita lekas berguru dan belajar pada ragam best practice penanggulangan bencana yang
telah ditunjukkan secara riil oleh masyarakat warga. Agar tak tergolongkan sebagai manusia
defisit (baca: merugi), maka satu lagi pelajaran berharga mesti kita petik dari penanganan pasca
erupsi eksplosif Merapi itu. Karena pada prinsipnya manajemen kebencanaan mencakup tahapan
siklus pra-bencana, saat terjadinya bencana, dan pasca bencana, menjadi tidak salah jika kita
menempatkan pasca bencana ini sebagai awalan/titik pijak bagi kesiapsiagaan kita untuk
melakukan tata kelola kebencanaan yang lebih baik ke depan. Dari Posko Mandiri kita bisa
mengawali “think big at the beginning not at the end” itu.
Erupsi Eksplosif Merapi Jilid 1
Sehari pasca gempa dan tsunami Mentawai, erupsi Merapi menyusul terjadi di luar
kebiasaan dan tabiatnya selama hampir delapan dekade lalu. Tercatat sejak ditetapkannya status
Waspada menjadi Siaga pada Kamis 21 Oktober 2010, dan ditingkatkan lagi menjadi berstatus
Awas pada Senin 25 Oktober 2010, erupsi ekplosif Merapi pada akhirnya benar-benar terjadi
pada Selasa petang, 26 Oktober 2010.19
Berdasarkan pemantauan intensif sejak 21-23 Oktober 2010, sebetulnya sudah terprediksi
oleh Balai Penelitan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) bahwa erupsi
Merapi bisa berenergi besar. Menurut Kepala BPPTK Subandriyo, indikasi itu menguat dengan
adanya gejala pra-erupsi berupa frekuensi gempa vulkanik tinggi—lebih dari 50 kali—jauh
melebihi frekuensi gempa vulkanik pada masa praerupsi tahun-tahun sebelumnya. Gempa
multifase yang mengindikasikan pembentukan kubah lava justru turun, dari 479 kali (pada Rabu
2010) menjadi 321 kali (sepanjang Kamis 23 Oktober 2010), sementara guguran material semakin
meningkat, bahkan mencapai jarak terjauh 3,5 km. Turunnya frekuensi gempa multifase itu
mengindikasikan adanya penyumbatan gas. Dan itu berarti erupsi Merapi bisa berenergi besar,
lebih besar dari tahun 2006.20
Pada Senin 25 Oktober 2010, seiring mulai ditetapkannya status Awas, Kepala Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Surono, mengatakan
secara tegas bahwa tak ada alasan statusnya ditahan-tahan. Tanpa menyebut pihak mana yang
sebetulnya “menahan-nahan status”, Surono dalam scientific explanation-nya lebih jauh
menandaskan: 21

18Dalam

HFA inilah keterlekatan erat antara Disaster Risk Reduction dan Sustainable Development menemukan kerangka
operasionalnya. Baca UNISDR, Disaster Reduction and Sustainable Development, Geneva: UNISDR, 2003.
19 Menurut Eko Teguh Paripurno, ahli vulkanologi UPN Veteran Yogyakarta, erupsi eksplosif Merapi semacam ini
pernah terjadi pada tahun 1930, dengan menelan korban 1.367 orang dan 2.100 ternak mati. Sejak itu, erupsi Merapi
cenderung bersifat efusif dengan karakteristik aliran lava dan awan panas piroklastik (wedus gembel). Baca Gejala Erupsi
Merapi Eksplosif di Harian Kompas (Yogyakarta), edisi 26 Oktober 2010, hlm A. Baca Gesit Ariyanto dan Mohamad
Final Daeng, Tabiat Baru Gunung Merapi, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.14.
20Baca Merapi Bisa Berenergi Besar, Harian Kompas edisi Sabtu 23 Oktober 2010, hlm. 1.
21Pernyataan Surono ini dikutip dari reportasi Erupsi Merapi Makin Dekat, Harian Kompas edisi Selasa 26 Oktober
2010, hlm.15.
Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 5

Deformasi puncak yang hingga 21 Oktober (2010-pen) hanya 10,5 cm per hari, kini (25 Oktober
2010-pen) mencapai 42 sentimeter perhari. Kondisi itu menunjukkan magma dari perut gunung
sudah semakin mendekati puncak. Dari segi energi kegempaan, hal ini sudah jauh melampaui saat
erupsi tahun 2006.
Maka sejak hari itu pula, Kepala PVMBG Surono, yang selalu berteguh-prinsip zero
tolerance for a safe life,22 ini menghimbau agar masyarakat dan aparat pemerintah di empat
kabupaten, yaitu Klaten, Boyolali, Magelang dan Sleman, meningkatkan kesiapsiagaan. Ia juga
menghimbau warga di lereng Merapi untuk tidak beraktivitas di radius 8 km dari badan sungai.
Terkait penetapan Kepala PVMBG, maka sekitar 40.000 warga di kawasan rawan bencana III
sekeliling Merapi pun mulai diungsikan, terutama anak-anak dan orang lanjut usia. Mereka
berasal dari 12 Desa yang tersebar di Sleman (7 Desa), Magelang (2 Desa), dan Klaten (3 Desa).
Di DIY, pengungsian dilakukan di 7 barak pengungsian di Glagahharjo, Kepuhharjo,
Umbulharjo (Kecamatan Cangkringan); Hargobinangun dan Purwobinangun (Kecamatan
Pakem); serta Girikerto dan Wonokerto (Kecamatan Turi).23
Sebagaimana telah diprediksikan BPPTK, erupsi Merapi terbukti benar berenergi besar.
Pada Selasa 26 Oktober 2010 petang, tepatnya pukul 18.10, 18.15, dan 18.25, erupsi eksplosif
Merapi menghantam dan meluluh-lantakkan sejumlah dusun permukiman warga sekitar lereng.
Salah satu dusun yang paling parah tersapu awan panas adalah Dusun Kinahrejo. Tercatat per 27
Oktober 2010, korban meninggal sedikitnya 31 orang, termasuk di antaranya seorang wartawan
Vivanews.com, Yuniawan Nugroho,24 dan sosok fenomenal yang sangat kesohor, juru kunci cum
bintang iklan minuman suplemen “rosa-rosa”, Mbah Maridjan. Di tengah kemencekaman erupsi
Merapi, publik pun terkesiap dan bungkam dalam kedukaan. Kalayak telah kehilangan sosok
mengagumkan dari lereng Merapi ini.25
Padamnya listrik dan pekatnya abu vulkanik mengakibatkan terkendalanya proses
evakuasi tim SAR di daerah Kinahrejo. Spikulasi perihal keberadaan Mbah Maridjan pun
menyeruak. Rabu 27 Oktober 2010 dini hari, muncul kabar dari Komandan TNI AL Yogyakarta,
Aloysius Pramono, bahwa Mbah Maridjan telah ditemukan dalam kondisi selamat. Kabar sang
komandan pun akhirnya terbantahkan ketika jazad Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud
di rumahnya oleh tim SAR.26 Di kemudian hari, selama beberapa pekan pasca wafatnya Mbah
Maridjan, kalayak ramai membincang “panas” perihal “pertarungan” Surono (Kepala Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) yang mewakili alam pikir ilmiah-modern versus Mbah
Maridjan yang mewakili alam pikir mitologis. Sampai-sampai atribut kebesaran berupa julukan
“Mbah” pun kemudian “disematkan” publik untuk Surono. Maka di samping Mbah Maridjan,
“Mbah Surono” adalah sosok fenomenal yang lain. Dan dualisme terlahir pun dari erupsi Merapi
kali ini. Kontestasi tafsir mengenai kesahihan rasionalitas modern (teknologi) versus kearifan lokal
melanda benak publik dan media, baik di tingkat lokal maupun nasional.27
Doty Damayanti & Mohamad Final Daeng, Surono: Mayarakat Kita Kaget Dengan Gunungnya Sendiri, Harian Kompas
edisi 7 November 2010, hlm.23.
23 Terprediksikan oleh sejumlah pakar, jika erupsi terjadi, lava akan mengalir ke tujuh sungai/kali yang berhulu ke
Merapi, yaitu: Kali Bebeng, Krasak, Bedog, Boyong, Kuning, Gendol, dan Woro. Baca penjelasan Subadriyo, Kepala
Balai BPPTK, dalam Erupsi Merapi Makin Dekat, Harian Kompas edisi 26 Oktober 2010, hlm. 15.
24 Wartawan Yuniawan Nugroho tewas saat berupaya menjemput Mbah Maridjan, baca Menjemput Mbah Maridjan,
Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.J.
25 Baca esei substil-reflektif dari Bre Redana, Kita Semua Wedhus Gembel, Kompas edisi 7 November 2010.
26 Lihat http://www.kompas.com/read/xml/2010/10/27/07443517/mbah.maridjan.tewas.di.rumahnya.
27 Perihal diskursus luas yang mengangkat alam pikir modern versus mitologis ini bisa dicermati dalam sejumlah opini
berikut: Sari Bahagiarti K, Erupsi Merapi dan Kearifan Lokal, Harian Kompas edisi 30 Oktober 2010; Bre Redana,
Mbah Maridjan dalam Catatan Minggu, Harian Kompas edisi 31 Oktober 2010; Bre Redana, Kita Semua Wedhus
Gembel, Kompas edisi 7 November 2010; Goenawan Muhamad, Maridjan, Catatan Pinggir Tempo edisi 8 November
2010; Sindhunata, Gara-Gara Mbah Merapi, Harian Kompas edisi 19 November 2010; Radhar Panca Dahana, GaraGara Mbah Maridjan, Harian Kompas edisi 20 November 2010. Baca juga Kinahrejo Tetap Hidup Dalam Mitologi, Harian
Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.2
22

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 6

Selain korban meninggal, di DIY, erupsi Merapi juga mengkibatkan korban luka yang
masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Bethesda, Sardjito, Panti Nugroho, dan Grhasia
sebanyak 18 orang, dan memaksa 16.093 warga mengungsi di tujuh barak yang telah disiapkan
oleh Pemda Sleman seperti tersebut di atas.28 Sementara di Jawa Tengah, tercatat korban
meninggal 1 orang meninggal, korban luka-luka 28 orang. Jumlah pengungsi di Magelang
sebanyak 16.247 jiwa, Boyolali sebanyak 3.621 jiwa, dan Klaten sebanyak 8.368 jiwa. Sehingga
jumlah total pengungsi mencapai 44.329 jiwa.29 Data per 29 Oktober 2010, tiga hari pasca erupsi,
korban meninggal tercatat jadi 35 orang,30 dua puluh di antaranya telah dimakamkan secara
massal di Dusun Tangkis, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada Kamis 28 Oktober 2010.31
Pada hari yang sama, di tempat terpisah, jenazah Mbah Maridjan dikebumikan di pemakaman
Dusun Srunen, Glagaharjo, Cangkriman, Sleman.32
Jatuhnya 35 korban jiwa ini tentu mengundang keprihatinan sekaligus memancing
tanggapan publik perihal sosialisasi pengurangan risiko bencana bagi warga yang bermukim di
wilayah seputar Merapi.33 Salah satu tanggapan yang paling lugas muncul dari Pengarah Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, Sarwidi. Secara tegas ia mengatakan:34
Selama ini evakuasi di lereng Merapi memang masih terhambat kendala kultural... Cara mengatasi
kendala kultural tersebut diperlukan pendekatan secara kultural untuk sosialisasi kepada masyarakat.
Pasca eruspsi Merapi, beragam gagasan tentang pengurangan risiko bencana memang semakin
mendapati ruangnya yang lebar untuk dibincangkan. Percaturan gagasan itu seolah berpacu
dengan hiruk pikuk aktivitas warga yang berjejal mengurusi diri dan kerabatnya dalam himpitan
keserbaterbatasan fasilitas posko pengungsian.35
Terdeteksi di hari ketiga pasca erupsi, sebagian warga mulai terserang kebosanan
sekaligus kerinduan pada rumah dan sapi yang tak terurus. Kesetiaan pada sapi sebagai gantungan
sekaligus pertaruhan hidup, telah mendorong keberanian warga untuk berjibaku menantang
maut. Tentu terlebih dulu mereka mesti piawai berkucing-kucingan dengan para petugas penjaga
portal radius-bahaya, di poros-poros jalan utama menuju kampungnya. Tak sedikit warga berhasil
lolos membawakan rumput untuk sapi kesayangan, berkat kehandalannya menyusur “jalan tikus”.
Demi sapi, hidup pun dipertaruhkan. Rupanya, evakuasi sapi tak kalah ruwetnya dari manusia
dalam situasi bencana.
Erupsi Eksplosif Merapi Jilid 2
Dari hari ke hari aktivitas Merapi bukannya mereda, bahkan justru menunjukkan tingkat
eskalasi yang kian mengkhawatirkan. Selama sepekan lebih gelombang bantuan kemanusiaan dari
berbagai kalangan masyarakat sipil Yogya-Jateng mulai merangsek ke sejumlah titik pengungsian
yang tersebar di perbatasan lingkar-luar radius bahaya 6 km. Aktivitas relawan-relawan
kemanusiaan pun terfokus ke seluruh titik pengungsian di 4 kabupaten sekeliling Merapi (Sleman,
Baca Menghitung Dampak Korban Merapi, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 28 Oktober 2010, hlm.A.
Baca Korban Tewas Merapi 32 Orang, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.1.
30 Baca Awan Panas dan Gempa Muncul Lagi, Harian Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm 15.
31 Baca Keluarga Abdi Dalem Itu Pergi..., Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm.H
32 Baca Korban Letusan Merapi Dimakamkan Massal; Mbah Maridjan Dimakamkan bersama dengan Adik Iparnya, Harian
Kompas edisi 29 Oktober 2010, hlm.2
33 Salah satu keprihatinan muncul dalam sarasehan kebencanaan BPPTK di Yogyakarta. Sarasehan dihadiri oleh
antropolog UGM Fauzan Zamzam, rohaniwan Romo Kirjito, sosiolog UIN Yogyakarta Sri Harini, dan Kepala Biro
Kompas DIY Thomas Pudjo Widijanto. Baca Awan Panas dan Gempa Muncul Lagi, Harian Kompas edisi 29
Oktober 2010, hlm.15. Baca juga Irene Sarwindaningrum dan Hariadi Saptono, Mengenang Mbah Maridjan, Pendakian
Personal versus Perburuan Kolektif, Harian Kompas edisi 28 Oktober 2010, hlm.1.
34 Pendapat Sarwidi ini dikutip dari reportase Pengungsian Kurang Fasilitas, Rumah Rusak akan Mendapat Ganti, Harian
Kompas (Yogyakarta) edisi 29 Oktober 2010, hlm. A.
35 Baca Pengungsian Kurang Fasilitas, Rumah Rusak akan Mendapat Ganti, Harian Kompas (Yogyakarta) edisi 29
Oktober 2010, hlm. A.
28
29

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 7

Magelang, Klaten, dan Boyolali). Mengulang kesejarahan gempa 27 Mei 2006 silam, modal sosial
masyarakat Yogya-Jateng tak terpalingkan lagi. Modal sosial kembali mujarab sebagai jejaring
pengaman hak-hak dasar para penyintas/pengungsi. Sampai-sampai solidaritas sosial itu tak
sekadar menjangkau kebutuhan dasar berupa logistik dan layanan kesehatan untuk pengungsi,
namun ternak-ternak pun turut terjamah oleh ketercukupan pakan dan layanan kesehatan.
Lima hari pasca erupsi 26 Oktober 2010, Merapi kembali bergolak. Pada Minggu, 31
Oktober 2010, tiga kali erupsi eksplosif terjadi, tepatnya pada pukul 14.28, 15.16, dan 15.23.
Kepala PVMBG kembali meningkatkan daerah bahaya hingga radius 10 km dari puncak Merapi.
Radius hujan abu dan pasir semakin meluas memicu lonjakan jumlah pengungsi. Tercatat per 31
Oktober 2010 sore, pengungsi mencapai 39.091 orang di Magelang, dan 20.000 orang di
Yogyakarta.36 Erupsi berskala lebih kecil lagi-lagi terjadi pada keesokan harinya, Senin 1
November 2010 pukul 10.03. Sebagian besar material dan awan panas mengalir ke Kali Gendol
dan Kali Woro. Meningkatnya frekuensi erupsi membuat warga di 4 kabupaten kembali menjauhi
merapi untuk menyelamatkan diri. Proses evakuasi pun diwarnai kepanikan.37
Sekitar pukul 16.05 pada Rabu 3 November 2010, erupsi eksplosif Merapi meluncurkan
awan panas berskala lebih besar dari letusan pertama, 26 Oktober 2010. Sekitar dua jam sebelum
erupsi terjadi, Kepala PVMBG Surono, memerintahkan petugas pengamatan Gunung Merapi di
Sleman untuk mundur hingga di radius aman. Melihat aktivitas awan panas yang tak putus-putus
Surono akhirnya menetapkan radius bahaya primer dari semula 10 km meningkat menjadi 15 km,
meski akhirnya erupsi mulai mereda sekitar pukul 16.23. Erupsi Merapi yang berbarengan
guyuran deras hujan telah menyebabkan banjir lahar dingin di sejumlah kali: Kali Gendol, Kali
Kuning, Kali Boyong (Sleman); Kali Bebeng dan Kali Putih (Magelang). Air hujan bercampur
abu mengguyur rata sejumlah wilayah di Magelang.38
Ditetapkannya radius bahaya hingga 15 km itu memicu gelombang besar pengungsian
hingga mencapai 100.965 orang (Sleman 29.466 orang, Magelang 39.911 orang, Boyolali 22.687
orang, Klaten 13.010 orang). Rabu sore itu juga, lebih dari seratusan ribu pengungsi pun
berbondong mengosongkan barak yang setidaknya telah mereka tinggali selama hampir 10 hari.
Warga pengungsi pun semakin menjauh dari Merapi, mengejar radius aman di titik 15 km dari
puncak Merapi. Pemerintah di empat kabupaten kewalahan menyediakan penampungan untuk
sekian banyak pengungsi. Sejumlah bangunan milik publik seperti kantor pemerintah, sekolah,
dan berbagai gedung lain beralih fungsi jadi tempat pengungsian.39
Di pengungsian, malam berlalu mengiring keheranan warga yang semakin tak mengenali
lagi tabiat Merapi. Tiga kali sudah setidaknya warga menyingkir, menjauh, dan mencari tempat
yang aman dari erupsi Merapi. Namun rupanya gebalau belum juga mau berakhir. Baru
memasuki malam kedua warga tinggal di tempat pengungsiannya yang baru, kabar buruk kembali
menghentak. Titik kulminasi erupsi dahsyat Merapi pecah pada Jumat 5 November 2010 dini hari
pukul 01.00. Sontak kemencekaman dan kepanikan meruyak menghinggapi seluruh pengungsi.
Untuk keempat kalinya, Kepala Pusat PVMBG Surono terpaksa meluaskan lagi radius bahaya
primer dari 15 km menjadi 20 km pada Jumat dini hari itu.40
Proses evakuasi korban oleh tim SAR semakin diintensifkan. Setidaknya hingga sepekan
pasca erupsi terbesar ini, tim SAR kembali harus berjibaku menantang maut, beradu siasat,
kecepatan, dan ketangkasan untuk kemanusiaan. Kiprah tim SAR selama beberapa hari evakuasi
tim SAR pun terhambat karena Merapi masih berulang erupsi dan mengeluarkan wedhus gembel
yang cukup besar. Dalam konteks penanganan pengungsi di masa tanggap darurat ini, tingginya
integritas dan dedikasi diperankan juga oleh tim medis dan rumah sakit dari beragam kalangan.
Selang beberapa hari pasca erupsi, tercatat sebanyak 26 dusun di sepanjang Kali Gendol rusak
Baca Daerah Bahaya Kian Meluas, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.1 dan 15.
Baca Semburan Letusan Menyebar, Harian Kompas edisi 2 Nobember 2010, hlm.1
38 Baca Radius Bayaha Naik Jadi 15 Km, Harian Kompas edisi 4 November 2010, hlm.1 dan 15.
39 Baca Pengungsi Naik Jadi 100.000 Orang, Harian Kompas edisi 5 November 2010, hlm.1
40 Baca Merapi Peras Air Mata, Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm.1 dan 15.
36
37

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 8

diterjang awan panas dan material vulkanik Merapi. Sebanyak 25 dusun diantaranya berada di
wilayah Kecamatan Cangkringan.41 Data korban meninggal per 12 November 2010, sepekan
pasca erupsi, mencapai 161 korban meninggal (37 korban saat erupsi Gunung Merapi pada 26
Oktober 2010, sedangkan 124 korban meninggal pada 5 November 2010).42
Gelombang Besar Pengungsi
Tak terhindarkan lagi, babak gelombang pengungsian terbesar terjadi sepanjang hari
Jumat itu. Diperkirakan pengungsi meroket hingga empat kali lipat dari jumlah pengungsi dua
hari sebelumnya. Jumlah pengungsi hampir menembus angka 400.000, tepatnya 396.407 orang.43
Fluktuasi gelombang erupsi yang berkepanjangan ini—setidaknya 10 hari pasca erupsi pertama
26 Oktober 2010—tentu saja semakin memperpanjang ketidaktentuan nasib warga yang terusir
oleh gunungnya. Perluasan tingkat radius bahaya yang bermula dari hitungan 5, 10, 15, hingga 20
km, telah memaksa mayoritas warga berbondong berpindah dari posko satu ke posko lain dan
berakhir hingga tersebar di posko-posko di radius aman.
Di mana pun tempat pengungsian itu, warga tak hirau lagi, yang penting selamat. Sebaran
pengungsi menghambur ke delapan penjuru mata angin, menjauh dari titik erupsi Merapi. Di
DIY misalnya, ratusan ribu warga tersebar mengungsi hingga ke wilayah Kotamadya Yogyakarta,
Gunungkidul, Bantul, Kulon Progo. Sementara di Jawa Tengah, ratusan ribu warga tersebar
mengungsi mulai dari wilayah Solo, Sukoharjo, Klaten, Salatiga, Magelang, hingga Wonosobo.
Terpicu kekhawatiran yang berlebih pada sebagian warga, “eksodus” keluar Yogyakarta melalui
Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta sempat terekam sejak Jumat itu hingga beberapa hari
kemudian.44
Kondisi pasca erupsi Merapi terbesar ini benar-benar membekap nalar. Boleh jadi, tak
seorang pun mengira bahwa akan terjadi gelombang pengungsian semassif itu. Merapi benarbenar telah menguras air mata dan menterluntakan nasib ratusan ribu warganya. Meski telah
melakukan kesiapsiagaan, namun rupanya kondisi tetap saja malampaui batas keterjangkauan
pikir manusia. Dengan segenap daya gerak dan upaya yang serba cupet, pemerintah DIY dan
Jateng pun sejadinya menyiapkan sejumlah Posko Utama untuk manampung gelombang
pengungsian itu. Di DIY, pemerintah secara khusus menyiapkan sejumlah Posko Utama seperti
Stadion Maguwoharjo, GOR Pangukan, Youth Center, JEC. Di luar itu para pengungsi juga
menghuni di berbagai balai dusun, balai desa, kantor kecamatan, gedung sekolah, masjid, dan
seminari. Posko Utama terbesar yang sering jadi “sasaran” kunjungan para pejabat adalah Stadion
Maguwoharjo. Jumlah pengungsi yang tinggal di stadion Maguwoharjo itu tercatat sebanyak
9.500 jiwa.45
Menyikapi situasi darurat yang mencekam, seluruh institusi pendidikan sigap dan serentak
meliburkan aktivitasnya, setidaknya hingga sepekan pasca erupsi, 5-13 November 2010. Sejumlah
besar universitas di Yogyakarta seperti UGM, UNY, UII, STIE YKPN, UMY, UAD, USD,
UAJY, APMD, UJB, UKRIM, UTY, UMB Yogyakarta, UIN Yogyakarta, UPN Veteran
Yogyakarta, Kampus Tamansiswa, Widya Mataram, dan sejumlah kampus lainnya mendadak
beralih fungsi menjadi posko pengungsian mandiri di luar Posko Utama yang diurus pemerintah.
Bersama sebagian besar masyarakat warga, kalangan akademik universitas telah berperan besar
dalam melayani “tamu-tamu tak diundang” yang merangsek masuk kampus. Selain fasilitas MCK
relatif lebih memadai, kuatnya solidaritas sosial di universitas memang cukup berdaya memenuhi
berbagai kebutuhan dasar para pengungsi. Spirit filantropi dari para alumni kampus membuka
Baca Erupsi Kamis Merusak 26 Dusun, Harian Kompas edisi 7 November, hlm.1
http://regional.kompas.com/read/2010/11/12/21112941/Korban.Tewas.Merapi.Tercatat.161.
Orang
43 FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010. Lihat http://fprb. wordpress. com/2010/ 11/17/
berdayakan-posko-mandiri/
44 Baca Ketika Tercerabut dari Rumah, Harian Kompas edisi 7 November 2010, hlm.33.
45 FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
41

42Baca

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 9

peluang bagi penggalangan donasi untuk mereka. Bagaimanapun, sejarah mesti mencatat peran
profetik kalangan civitas akademik ini. Secara tak terduga dan terencana, spirit “kampus untuk
rakyat” serentak terimplementasikan dalam arti yang sebenar-benarnya justru oleh erupsi Merapi,
bukan by designed. Sedikit berbeda dari penanganan pasca gempa Yogya-Jateng 2006 silam yang
lebih banyak berbau LSM, kini giliran dunia kampuslah yang lebih banyak memainkan peran.
Di luar itu semua, rumah-rumah pribadi warga—yang hampir bisa dipastikan tak akan
pernah terdata dalam statistik kebencanaan—juga telah berandil besar dalam penyelamatan warga
pengungsi. Justru di rumah-rumah warga itulah pengungsi mendapati tempat pengungsian yang
jauh lebih ramah manusia dan lingkungan. Peran Posko Mandiri yang dikelola secara swadaya
oleh berbagai kalangan masyarakat warga maupun kelembagaan sosial di tingkat lokal terbukti
sangat berperan menentukan dalam penyelamatan pengungsi. Sayangnya, kemandirian,
keberdayaan, dan kehandalan Posko Mandiri berada dalam dilema dalam perjalannya. Di satu sisi
Posko Utama bertumpuk donasi bantuan dan layanan pemerintah maupun publik luas, namun di
sisi lainnya Posko Mandiri semakin melemah daya topang layanannya.46 Di sejumlah titik, hal itu
dialami terutama oleh Posko Mandiri yang relatif kecil peluang aksesnya pada jejaring sosial yang
lebih luas. Lebih jauh, alokasi distribusi layanan dari Posko Utama ke Posko Mandiri nampaknya
lebih mungkin pada kemustahilan ketimbang keniscayaan. Watak birokrasi prosedural yang
dominatif telah menggencet peluang akses bantuan bagi Posko Mandiri.
Beredarnya surat Bupati Sleman tertanggal 19 November 2010 membuktikan tentang
kerasnya mesin birokrasi pemerintahan di negeri ini. Surat edaran bernomor 361/2847 itu berisi
tentang pemulangan dan penarikan pengungsi (untuk pindah ke posko utama yang ditetapkan
Pemda Sleman). Pihak kecamatan menyampaikan surat kepada para dukuh di wilayah kecamatan
Kalasan, Turi, Cangkringan, dan Pakem. Dalam surat itu tertera sebagian kutipan berikut:47
...Seiring perubahan ancaman bahaya erupsi Merapi untuk wilayah Kabupaten Sleman, semula radius
20 km menjadi 10 km di sebelah barat Kali Boyong, dan 15 km sebelah timur Kali Boyong dari
puncak, maka dilakukan kebijakan pemulangan dan penarikan pengungsi yang tersebar di wilayah
saudara ke lokasi yang ditentukan yaitu di Stadion Maguwoharjo, Youth Center, dan GOR
Pangukan. Sehubungan hal tersebut diminta kepada saudara untuk memberikan dorongan kepada
pengungsi agar mau pindah ke lokasi yang telah ditentukan.
Alih-alih membangun kapasitas koordinatif dengan jajaran di bawahnya, pemerintah daerah
justru memilih jalan pintas demi memperingan tugasnya sebagai birokrat. Tentu saja kasus
semacam itu tak jumbuh bahkan bertolak belakang dengan sebutannya sebagai pelayan
masyarakat. Memang, persoalan kemanusiaan toh bukan urusan pemerintah saja, kendati itulah
urusan utama mereka sebenarnya sebagai penyelenggara negara walfare state (sebagaimana
tercantum dalam konstitusi dasar negeri ini). Tercermin dalam surat edaran itu perihal watak
birokrasi sesungguhnya, sebentuk birokrasi yang malas, loyo, dan tak mau repot. Dalih efisisensi
dan kemudahan mendistribusi layanan itu jelas mengindikasikan secara sangat kuat bahwa
pemerintah yang hendak ingkar atas hakekat hak-hak warga negara.
Untung saja, hakekat rasa empati itu adalah miliki setiap nurani manusia yang tersentuh.
Rasa empati adalah elan vital yang senantiasa menjaga tetap-tegaknya solidaritas sosial masyarakat
warga. Seakan mengulangi prestasi penanganan gempa Yogya-Jateng 2006 silam, masyarakat
warga DIY-Jateng tampil sebagai garda terdepan setidaknya dalam dua urusan yang paling
menyolok berikut ini: Pertama, sebagai tuan rumah (host), penerima ratusan ribu pengungsi.
Tanpa komando, warga membuka posko-posko mandiri dan bahkan tak sedikit yang rela berbagi
ruang rumah mereka untuk para pengungsi. Bagaimanapun juga, realitas menunjukkan, sebaran
pengungsi itu telah melampaui batas-batas administratif, lintas kecamatan, lintas kabupaten, dan
bahkan lintas provinsi. Kedua, sebagai jejaring penyuplai pangan dan logistik standar kedaruratan
46
47

FPRB, Seruan, Berdayakan Posko Mandiri, 17 November 2010.
Surat Bupati Sleman, No 361/1847, 19 November 2010, Perihal Pemulangan dan Penarikan Pengungsi.

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 10

bagi segenap warga pengungsi. Dalam situasi bencana, spirit nasi bungkus menjadi penanda
hadirnya ketulusan, cinta yang penuh welas asih antar sesama warga. Nasi bungkus adalah simbol
sederhana hadirnya hati untuk kemanusiaan yang satu.48
Posko Mandiri ala Kadisoka
Kadisoka. Sebuah nama dusun yang jelas tak asing bagi para pemancing di Yogyakarta.
Dusun itu memang kesohor dengan kolam pemancingannya. Beberapa petak kolam jumbo
seluasan 500 m2 di selatan jalan aspal biasa jadi ancar-ancar orang untuk melacak arah dusun.
Namun beberapa pekan pasca erupsi Merapi, tak satupun pemancing nongkrong di tepian
petakan kolam. Aliran abu vulkanik yang mengalir kolam ternyata telah membunuh berton-ton
ikan milik warga Kadisoka. Tak kurang dari Rp. 120 juta mesti di tanggung kelompok Suka
Makmur dan Mina Suka Mandiri, 2 paguyuban peternak ikan di Kadisoka. Dusun ini memang
terkategorikan sebagai wilayah terdampak erupsi Merapi, secara tidak langsung. Hanya karena
lupa menutup lubang-lubang masuknya aliran air Kali Kuning dari sisi timur dusun, sejumlah
kolam warga terlanjur terkontaminasi abu vulkanik Merapi. Beragam ikan seperti ikan patin,
gurameh, nila, dan lele bergeleparan tak terselamatkan lagi.
“Bagoran ikan-ikan itu segera kami bagikan ke dapur-dapur umum, agar bisa dimasak ibuibu di dapur umum untuk lauk para pengungsi di sini, Mas. Ya, karena kesibukan warga di posko,
sebagian ikan tak sempat terurus sampai membusuk di kolam,” ungkap Suradi (44 tahun), Kepala
Dusun Kadisoka, di suatu sore sebelum ia nimbrung chek-up di layanan medis yang
diselenggarakan Komisi Penanggulangan Bencana Yayasan Sheep Indonesia (KPB-YSI) untuk
para pengungsi.49 Sudah sepekan lebih lamanya, ia kurang tidur, karena tergerak oleh rasa
tanggungjawab untuk menjagai puluhan motor milik relawan Pokso, yang mayoritas mahasiswa.
Warga pengungsi sendiri tak berada di posko itu, namun tinggal menyebar di rumah-rumah
warga Kadisoka. Berjarak kurang lebih dua kilometer ke arah timur dari Posko Utama
pengungsian terbesar di Yogyakarta, Stadion Maguwoharjo, dusun Kadisoka ini dijadikan ajang
“perhelatan” bela rasa untuk kemanusiaan, sejak erupsi terbesar Merapi, 5 November 2010.
Tak pernah terbersit di benak warga Dusun Kadisoka bahwa akan punya “gawe” sebesar
ini, tak terkecuali Suradi. Sebagai kepala dusun, ia bahkan sudah berkoordinasi dengan sejumlah
ketua RT dan pemuda karangtaruna untuk memberitahukan perihal kesiapsiagaan kepada warga.
Jadi sewaktu-waktu situasi Merapi memburuk, warga bisa mengungsi cepat. Baju, bekal, dan
segenap perlengkapan sudah mereka siapkan. Para pemilik dan pengemudi truk pun telah
dirembugi. Dipesankan pula pada warga agar motor atau mobil diparkir menghadap jalan kendati
di dalam garasi. Pada intinya, warga telah siap mengungsi saat waktunya tiba. “Eh, tidak tahunya,
setelah letusan besar itu dusun kami malah kedatangan banyak pengungsi,” imbuh, Supardi,
Ketua RT 1 Dusun Kadisoka, saat menunggu antrian check up medis oleh dr.Manik dari KPBYSI.50 Kendati berada di zona aman, tapi dalam peta radius bahaya 20 km yang terakhir
ditetapkan PVMBG, letak Dusun Kadisoka memang tidak terpaut jauh, selang 2-3 kilometer saja.
Dari puncak Merapi, letak Kadisoka berada di kilometer 23. 51 Rasa was-was warga menemukan
akar rasionalisasinya di sini.
Merangseknya serombongan besar pengungsi secara tiba-tiba ke Dusun Kadisoka jelas
membuat Suradi gelagepan. Dari glenak-glenik tetangga magersari, teryakinkan perlunya rapat
dusun. Lekaslah Suradi menggelar rembug warga pada Sabtu malam, 6 November 2010, guna
menyikapi kedatangan pengungsi sebanyak itu. Hadir pada malam itu 10 orang ketua RT di
dusun Kadisoka bersama istrinya masing-masing (ibu-ibu ketua RT); Sukapti—seorang warga
48 Baca Susetiawan, Nasi Bungkus, dalam Jurnal Warta Pedesaan Tahun XXVIII No.11 November 2010, Yogyakarta:
PSPK – UGM, hlm.3-4. Baca juga Eny Prihtiyani & Mawar Kusuma, Bangkitnya Spirit Nasi Bungkus dari Yogyakarta...,
Harian Kompas edisi 6 November 2010, hlm. 1 & 15.
49 Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 15 November 2010.
50 Wawancara penulis dengan Supardi, Ketua RT 1 Dusun Kadisoka, pada 15 November 2010.
51 Wawancara penulis dengan Suradi, Kadus Kadisoka, pada 27 November 2010.

Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri – AB.Widyanta

Page 11

Dusun Kadisoka dan tokoh penggerak perempuan; Joko Pamungkas—seorang warga dusun
Kadisoka, dosen UPN Veteran Yogyakarta, dan pengurus KOMPAYO (Komunitas Masyarakat
Pati di Yogyakarta); Andreas Subiyono—seorang warga dusun Kadisoka yang kesehariannya
bertugas sebagai Direktur Yayasan Sheep Indonesia; Masjuki—seorang warga dusun Kadisoka
yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai perkebunan swasta; sejumlah relawan KMPP
(Kesatuan Mahasiswa Pelajar Pati); dan sejumlah kaum muda karangtaruna dusun. Dan tentu
saja seluruh warga yang hadir tahu bahwa bintang utama pembicaraan di rapat itu adalah warga
pengungsi.
Rembugan menelurkan pembagian tugas dan peran masing-masing. Layaknya rapat
kabinet, pembagian Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) terperinci sebagai berikut: Kepala Dusun
Kadisoka menjadi penanggungjawab utama kegiatan Posko Mandiri; 10 ketua RT
penanggungjawab penanganan pengungsi di RT masing-masing; 10 ibu (istri) ketua RT bertugas
untuk mengkoordinir dapur umum di RT masing-masing; Sukapti bertugas sebagai koordinator
umum dapur umum Posko Mandiri Kadisoka: Joko Pamungkas bertugas sebagai koordinator
penggalangan dana, sekaligus koordinator harian Posko Mandiri; Andreas Subiyono bertugas
sebagai koordinator pelayanan medis, sekaligus koordinator training relawan; Masjuki bertugas
sebagai bendahara Posko Mandiri; KMPP bertugas melakukan assessment/ pendataan sekaligus
mendistribusikan bantuan; dan sejumlah pemuda karangtaruna bertugas mengelola urusan umum
dan keamanan seluruh dusun.
Penggalangan dana warga secara swadaya dimulai. Bantingan uang terkumpul dalam
jumlah yang lumayan untuk mengawali dapur umum, agar nasi bungkus mulai terdistribusikan di
keesokan hari. Donasi warga semakin bertamba