Pewilayahan Komoditi Pertanian Berdasarkan Model Iklim Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur

A.

Latar Belakanq

1.

mum
Potensi suatu wilayah atau lahan ditentukan oleh ber-

bagai komponen

ekosistem yang saling berinteraksi, baik

komponen biotik maupun komponen fisik terutama iklim dan
tanah. Dalam kaitan ini prinsip dasar biologi menyatakan
bahwa sumberdaya genetik (biotik) menentukan potensi
internal suatu tanaman, yaitu kemampuan maksimum secara
biologis. Selanjutnya lingkungan (fisik) menentukan taraf
dan jenis potensi tanaman secara eksternal, yaitu taraf
dan kemampuan berproduksi yang mungkin dicapai tanaman
pada kondisi lingkungan tertentu.

Tanah merupakan komponen ekosistem yang tidak saja
sebagai media tumbuh tanaman, tetapi juga berfungsi sebagai pemasok air dan unsur-unsur kimia (hara) bagi tanaman.
Tanah mempunyai ciri-ciri dengan keragaman yang cukup besar antara satu dengan lain tempat, namun mengalami perubahan secara pelan, kecuali
jika terjadi deraan atau te. .
kanan yang bersifat eksplosif.

Disamping itu tanah mem-

punyai sistem yang lebih tertutup, sehingga ia berpeluang
lebih besar untuk dimodifikasi.
Iklim merupakan komponen ekosistem yang sangat dinamis dan beragam menurut ruang.

Ia dikendalikan oleh ber-

bagai proses fisika yang merupakan pengejawantahan dari

gejala termo dan hidrodinamika yang berlangsung dalam
sistem terbuka.

Dalam ha1 ini proses dan dinamika salah


satu unsur akan diikuti oleh unsur yang lain, dan yang
terjadi pada suatu tempat dipengaruhi atau mempengaruhi
kejadian di tempat lain. Bahkan ia tidak'hanya dikendalikan oleh peubah yang ada dalam sistem biosfir tetapi juga
dari luar biosfir. Dengan demikian kemampuan manusia sangat terbatas dalam memodifikasi dan mengendalikan iklim.
Walaupun dinamika iklim dikendalikan oleh proses fisika yang rumit, namun karakternya masih mungkin dikaji
berdasarkan berbagai indikator fisiografis, geografis dan
biotis tertentu. Sedangkan keragaman dan embutnya (fluktuasi) pada suatu tempat berada dalam suatu pola umum tertentu. Sehingga dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan
data historis atau time series (runut waktu), dapat diduga polabnya (karakter dan pola).
Selain itu, pendugaan dinamika iklim dan cuaca semakin dimungkinkan dengan perkembangan ilmu yang ditunjang
oleh teknologi komputer dengan berbagai piranti lunaknya.
Berbagai kemasan program memungkinkan untuk menduga dan
menyusun model matematik suatu proses yang rumit sekalipun, seperti halnya polah iklim suatu daerah.
~ e b a g a icontoh, analisis runut waktu digunakan sebagai salah satu pendekatan simulasi dan pemodelan dalam
menduga curah hujan, pola keseimbangan kelembaban (lengas)

3

tanah, suhu dan lain-lain. Suatu model yang dapat digunakan dalam studi lengas tanah dan energi suatu wilayah
adalah model dan teknik klimatonomi. ~ o d e l klimatonomi

dikembangkan dengan pendekatan numerik terhadap berbagai
parameter iklim dan fisik lain yang berperan dalam sistem
C

yang disimulasi. Di samping mencerminkan sifat iklim suatu wilayah, melalui eksperimentasi model klimatonomi dadiduga kemungkinan perubahan

iklim dan dampaknya ,

seperti pola keseimbangan air dan energi jika terjadi perubahan atau diberikan masukan tertentu.
Potensi dan pola lengas tanah sebagai salah satu
alternatif keluaran pemodelan klimatonomi merupakan faktor dominan dalam menetukan potensi lahan atau wilayah,
terutama lahan kering beriklim kering. Berdasarkan potensi tersebut dapat disusun berbagai alternatif pengembangan komoditi yang potensial pada wilayah tersebut.
2.

Spesifik
Untuk pertanian, secara kualitatif Indonesia dibeda-

kan atas tiga wilayah iklim, yaitu beriklim basah, bersuhu rendah (dataran tinggi), dan beriklim kering atau semi
-arid-tropik. Wilayah beriklim


kering kebanyakan terda-

pat di wilayah timur Indonesia, seperti Bali, Nusatenggara ~ a r a t ,Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur.
Sebagian besar wilayah beriklim kering ini mempunyai PDRB

(Produksi Domestik Regional Bruto) lebih rendah dibanding
daerah lain (B.P.S,

1984; 1988; Blantran de Rozari, 1989).

~ u j a ndi wilayaheberiklim kering ini mempunyai jumlah (jeluk) yang rendah dan periode curah yang pendek.
Akibatnya alternatif sitern usahatani sangat terbatas dan
sering diancam kegagalan akibat cekaman kekeringan. Oleh
sebab itu, tanpa perencanaan yang seksarna seringkali pembudidayaan suatu komoditi mengalami kegagalan atau berproduksi sangat rendah. Sebaliknya energi surya yang diterima permukaan bumi di wilayah ini relatif tinggi. Secara ekologis, wilayah ini lebih potensial jika masalah
kekurangan air dapat diatasi, atau setidaknya diantisipasi, misalnya dengan pemilihan komoditi atau varietas
yang tepat

(tahan kering, berumur pendek) atau dengan

pengelolaan dan konservasi lengas tanah secara efektif.

Jenis tanah di Nusa Tenggara Timur .umumnya adalah
Grumosol, Mediteran dan Aluvial menurut klasifikasi klasik dan Vertisol, Oxisol dan Entisol berdasarkan klasifikasi F.A.0

(1978) dan USDA (199.0). Akibat rendahnya curah

hujan proses pencucian tanah relatif kecil dan kadar basa
(kegaraman) tanah cukup tinggi. Pada umumnya pH tanah di
wilayah beriklim kering ini relatif tinggi (>

6,O).

Berdasarkan hal-ha1 tersebut diatas penelitian

ini

mengkaji dinamika dan model iklim terutama neraca air wilayah beriklim kering untuk mengka ji lanjut potensi dan

pengembangan berbagai komoditi pertanian. Dengan harapan
bahwa di satu pihak keekstriman iklim dapat diantisipasi
atau dihindarkan, di lain pihak potensi iklim ataupun tanah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Wilayah beriklim llkeringll
dengan periode hujan < 6
bulan yang dijadikan sasaran penelitian ini adalah KabuSikka dan Kabupaten Ende propinsi Nusa Tenggara
Timur, dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.

'~ropinsiNusa Tenggara Timur yang diwakili oleh kedua
Kabupaten tersebut secara ekonomi masih tertinggal
dibandingkan dengan propinsi lainnya.

2. Kendala bio-fisik utama dalam pernbangunan pertanian
di Propinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten
Sikka dan Kabupaten Ende adalah faktor iklim, terutama ketersediaan air akibat rendahnya curah hujan.
3.

Walaupun wilayah kedua kabupaten tersebut tidak begitu luas, tetapi terpadat penduduknya di Propinsi Nusa
Tenggara Timur , yaitu 139 dan 120 jiwa/km2 dibandingkan dengan 57,7 jiwa/km2 rata-rata NTT.

4.


Berbeda dengan sistem usahatani di pulau Sumba dan
Timor yang didominasi oleh usahatani ternak, di kedua
Kabupaten ini petani lebih banyak menerapkan usahatani tanaman pangan dan perkebunan.

B.

Tuiuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah :

1.

Mengkaji polah dan dinamika iklim serta peubah fisik
yang erat kaitannya dengan neraca air melalui pemodelan iklim, menggunakan model evapoklimatonomi dalam

pendugaan potensi dan pola lengas tanah di Kabupaten
Sikka dan Kabupaten Ende, Nusatenggara Timur.
Menduga perubahan tatalneraca air wilayah penelitian
melalui eksperimentasi model evapoklimatonomi dengan
beberapa skenario perubahan embut iklim dan perubahan
pengelolaan atau penggunaan lahan.

Menghimpun data komponen agroekologi, terutama iklim,
tanah, vegetasi serta sistem usahatani, infrastruktur
dan komponen neraca air di wilayah penelitian untuk :
a. Mengidentifikasi lebih rinci beberapa karakteristik wilayah dan sifat fisik tanah yang erat kaitannya dengan potensi ketersediaan air (lengas) dan
kebutuhan spesifik tanaman.
b. Mengevaluasi dan menilai potensi agroekologi wilayah dan kesesuaian berbagai komoditi dengan mengintegrasikan sifat iklim, terutama yang dicerniinkan oleh model evapoklimatonomi dengan sifat tanah
serta beberapa peubah sosial-ekonomi.
c. Menduga potensi hasil tanaman jagung dan kedelai
(sebagai studi kasus) dengan metode/model simulasi,
baik pada kondisi normal maupun kondisi ekstrim
(kering)

.

Menyusun wilayah (zona) agroekologi dan wilayah pengembangan komoditi di Kabupaten Sikka dan Kabupaten
Ende berdasarkan potensi agroekologi dengan pertimbangan beberapa gatra sosial ekonomi dan kebijakan.
Kequnaan Penelitian

Model evapoklimatonomi yang disusun dalam penelitian
ini dapat digunakan untuk mengkaji dinamika iklim dan

peramalannya, khususnya lengas tanah dan curah hujan
untuk tujuan praktek atau pengembangan pertanian.

-.

2.

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan
pertimbangan dalam menetapkan strategi pembangunan
pertanian oleh ~emeriitah di kedua kabupaten. Bagi
peneliti, diharapkan dapat lebih mengarahkan penelitiannya dalam merakit paket teknologi usahatani tepatguna sesuai dengan agroekologi dan masalah yang ada.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan -seba-

gai rujukan atau pembanding serta untuk dikembangkan
pada wilayah beriklim kering lainnya baik di NTT,
maupun NTB dan sebagian Sulawesi.

1.


Kalibrasi dan transformasi parameter yang berperan,
model evapoklimatonomi layak dan dapat digunakan untuk menduga potensi dan pola/pertukaran serta perubahan lengas tanah atau neraca air masing-masing sistem tata air atau daerah aliran sungai (DAS).

2.

Akan terjadi transformasi tatalneraca air serta pola
dan potensi lengas tanah akibat perubahan iklim atau
perubahan fisik lahan karena penggunaan yang tidak
bijaksana

.

3.

Potensi hasil beberapa jenis tanaman yang diindikasikan oleh tanaman jagung dan kedelai di wilayah penelitian cukup tinggi namun sangat beragam menurut masa
tanam (growing season) atau potensi lengas tanah:

4.

Terdapat beberapa wilayah agroekologi dan wilayah potensial pengembangan komoditi menurut tingkat potensi

agroekologi dan faktor lainnya di kedua kabupaten.

11.
A.

TINJAUAN PUBTAKA

Affroekoaistem dan Dinamika Iklim

Sistem merupakan

gugus proses-proses fisik, kimia

danlatau biologi yang bekerja pada satu atau lebih peubah
input (masukan) dan merobahnya men jadi

.

peubah (peubah-

peubah) output (keluaran) (Dooge dalam Mustari, 1985)

.

Sedangkan ~ko-sistem adalah suatu sistem ekologi sebagai
satu unit komuniti tumbuh-tumbuhan dan binatang bersamasama dengan semua interaksi faktor-faktor fisik yang ada
di dalamnya (~shby,1971). Selanjutnya agak lebih sederhana, Ismal (1979) dan Odum (1961) sama-sama mendefinisikan ekosistem sebagai tatanan kesatuan secara utuh dan
menyeluruh antara segenap unsur-unsur lingkungan abiotik

. Oleh

dan biotik yang saling mempengaruhi (berinteraksi)

karena itu dimungkinkan bahwa salah satu atau lebih
komponennya dapat mencirikan atau sebagai indikator terhadap komponen yang lain pada ekosistem yang sama.
Agroekosistem merupakan proses dan hubungan yang rumit dan ditandai dengan berbagai lintasan sebab akibat
(interaksi) antar komponen-komponen ekosistem yang diperuntukkan bagi pertanian (Cox dan Atkins, 1979). Selanjutnya jika dikaitkan dengan def inisi sistem oleh Manetsch
dan Park (1976) agroekosistem dapat juga dikatakan sebagai suatu perangkat elemen (unsur) alami yang saling ber-

kaitan dan hingga batas-batas tertentu dapat dikelola dan
dimanfaatkan untuk pertanian.
Secara umum, pada suatu agroekosistem terdapat komponen-komponen dasar yang terdiri dari iklim dan tanah
sebagai komponen abiotik, tanaman, binatang dan manusia
C

sebagai komponen biotik. Disamping itu terlibat pula campur tangan manusia

(man-made) dalam bentuk pengelolaan

dan pembangunan sarana/prasarana (infrastruktur) yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi

komponen-

komponen dasar. Oleh sebab itu berbagai pakar berpendapat
bahwa dalam -mengevaluasi dan menganalisa suatu agroekosistem, campur tangan manusia ini kadang kala menjadi
faktor yang lebih dominan (Cox dan Atkins, 1979; F . A . 0 ,
1977; Ismal, 1979). Hal ini disebabkan faktor tersebut
secara serempak dapat mempengaruhi seluruh komponen sekaligus dan dalam periode yang lebih pendek.
Sebagai contoh, pada agroekosistem lahan kering jika
dibangun jaringan irigasi dan dilakukan pencetakan sawah
atau konversi hutan menjadi lahan pertanian. Pembangunan
jaringan irigasi, pencetakan sawah dan penebangan hutan
merupakan contoh dari campur tangan manusia yang sangat
besar dampaknya terhadap perubahan atau transformasi
suatu agroekosistem.
Iklim (dan cuaca) merupakan salah satu komponen abiotik (fisik) yang berpengaruh terhadap semua komponen da-

10

lam suatu ekosistem. Secara global dan deskriptif dapat
dinyatakan bahwa pokok pangkal dari proses dan dinamika
iklim adalah perubahan neraca bahanglenergi yang berkaitan dengan embut dan keragaman energi dipermukaan bumi.
karena rotasi

Embut dan keragaman tersebut disebabkan
dan

revolusi bumi

dengan

posisi sumbunva mirina 2g029'

terhadap bidang normal lintasannya yang ternyata berbentuk ellips

(Barry dan Chorley,

1968;

Longley,

1970;

Oliver, 1982).
Menurut ~ o l t o n (1979), gerakan atmosfir sebagai pengendali utama terjadinya proses iklim dan cuaca, sangat
berkaitan dengan hukum-hukum dasar fisika tentang kekekalan

(konservasi) massa atau zat alir

(air, uap air,

udara), momentum dan energi. Ketiga unsur fisika tersebut
lebih mudah dipahami dan dimanifestasikan sebagai volume,
tekanan dan suhu. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa
proses terjadinya iklim dan cuaca dikendalikan oleh berbagai proses fisika yang berkaitan dengan dinamika ketiga
gatra tersebut. Suhu, volume dan tekanan tidak saja sebagai subjek (pengendali) proses iklim secara keseluruhan,
tetapi juga inerupakan objek (unsur iklim).
Hess (1959) menyimpulkan bahwa untuk mengkaji proses
yang mengakibatkan dinamika dan keragaman

iklim harus

melalui tiga bidang kajian, yaitu termodinamika, radiasi
dan hidrodinamika. Termodinamika adalah ilmu tentang pro-

ses atau transformasi energi menuju keadaan (status) equiblirium dalam suatu sistem.

Sedangkan radiasi adalah

kajian tentang emisi energi gelombang elektromagnetik
yang merambat pada suatu ruang dan diabsorbsi oleh suatu
zat atau material.

Selanjutnya bidrodinamika ilmu yang

berkaitan dengan gerakan zat alir atau massa yang disebabkan berbagai gaya yang bekerja padanya.

B. Neraca Air dan Lenuas Tanah
Produktivitas lahan per tahun dan produksi tanaman
setiap panen sangat ditentukan oleh ketersediaan air. Secara teknis ketersediaan

air merupakan faktor utama yang

menentukan jenis dan sebaran tanaman serta lamanya masa
tanam

(growing season) di daerah tropik. Masing-masing

jenis tanaman dan sistem usahatani membutuhkan air yang
beragam menurut sifat genetik, fenologi dan faktor lingkungan fisiknya.
Hampir semua tanaman mendapatkan air melalui tanah,
sehingga status dan keragaman lengas tanah menjadi penentu utama terhadap produksi tanaman. Lengas tanah sering
menjadi kendala produksi, baik karena rendahnya masukan
(curah hujan danlatau irigasi) maupun sifat fisik tanah
yang poros dan bersolum tipis. Keadaan ini banyak ditemui
di daerah beriklim kering danlatau pada lahan kering (te-

galan) serta sawah tadah hujan. Menurut Lettau dan Baradas (1973) dan Virmani (1983),

keragaman

dan perubahan

lengas tanah merupakan komponen neraca air yang rumit dan
melibatkan berbagai faktor, baik tanah maupun iklim.
Oleh karena itu, pendugaqn keragaman dan laju pertukaran

(perubahan) lengas tanah harus didasarkan kepada

pendekatanlanalisis neraca air yang komprehensif melibatkan segenap parameter yang berperan pada masing-masing
komponennya. Prinsip analisis neraca air adalah menghitung masukan

(input) dan keluaran

sistem yang dikaji

.

(output) pada suatu

Persamaan sederhana neraca air pada

suatu sistem atau lahan adalah :
CH

+

(Ir) = ET,

+ P, + R, + AT

atau :

dimana : CH
Ir
ETo
PC
R
A@

= curah hujan

= irigasi (jika diairi)
=
=
=
=

evapotranspirasi potensial
perkolasi
limpasan permukaan
perubahan lengas tanah

Evapotranspirast sebagai salah

satu komponen neraca

air mempunyai beberapa gatra dalam sistem tanaman, baik
fisiologis maupun fisik. Menurut Bey

(1981) dan Chang

(1969), evapotranspirasi merupakan komponen neraca air
yang unik karena peranannya langsung dan serempak dalam

dua proses fisika, yaitu proses pertukaran energi dan
pertukaran massa air. Selanjutnya ia juga.berperan pada
mobilitas berbagai hara dan ion dari tanah dan di dalam
jaringan tanaman.
Secara langsung kehilangan danlatau kebutuhan air
tanaman sangat ditentukan oleh laju penggunaan komsumtif
(compsumtive use) yang identik dengan laju evapotranspirasi tanaman. Chang (1969) dan Hillel (1971) membenarkan
asumsi tersebut atas dasar bahwa proporsi air yang secara
langsung terlibat dan kemudian terikat secara kimia dalam
biomassa sangat rendah ( C 2 , 5 % ) . Bahkan menurut teori
wsoil-plant-atmosphere systemw atau

~soil-plant-atmos-

phere continuumfl, tanaman dianalogikan sekadar tabung kapiler sebagai media/tempat air lewat dari tanah yang kemudian diuapkan melalui permukaan (stomata) daun ke atmosfir (Philip dalam Hillel, 1971). Dalam ha1 ini laju
evapotranspirasi ditentukan oleh gradien tekanan uap air
di dekat/dalam jaringan daun dengan lapisan perbatas.
Sama halnya dengan lengas tanah, evapotranspirasi
pada suatu kawasan atau wilayah, agak sulit diukur secara
langsung karena sangat beragam menurut jarak (space) dan
tapak (site) serta cepat berubah menurut waktu. Oleh sebab itu banyak metode atau pendekatan yang dirancang untuk menduga evapotranspirasi dalam mengevaluasi potensi
dan neraca air, baik secara mikro (tapak) maupun makro

atau regional (wilayah) (Chang, 1969; Doorenbos & Pruitt,
1978; Oke, 1979). Metode-metode pendugaan tersebut antara
lain dengan "formulasi empiriktl
, dan pendekatan "neraca

.

bahangw , Itwater badget", dan *@aerodinamikW

Metode yang lebih klasik untuk menduga evapotransC

pirasi dan neraca air suatu wilayah adalah cara Thornth-

. Mereka

waite dan Mather (1957) dan Mather (1978)

menya-

rankan dengan pendekatan sistem tata buku (book-kee~inq
system), yaitu menghitung masukan dan keluaran air dengan
analisis komponen neraca air pada periode yang sama. Cara
ini hanya efektif untuk sistem neraca air mikro (petakan).
Oke

(1979) menyarankan pendugaan evapotranspirasi

dengan pendekatan "water-budgetw, yaitu melalui evaluasi
kuantitatif

kaskad air dalam bidang tertentu. Cara ini

dilakukan dengan dua pendekatan, tergantung kepada ketersediaan data dan aras wilayah yang dievaluasi. Untuk aras
regional dengan data yang mungkin terbatas, pendekatan
pemodelan telah dimungkinkan dan lebih bermanfaatguna.

C. Analisis Sistem, ~imulasiclan Model

Analisis sistem (seperti agroekosistem dan tanaman)
adalah suatu studi tentang sistem danlatau organisasi
dengan menggunakan azas-azas ilmiah yang dapat menghasilkan suatu konsepsi danlatau model. Konsepsi .dan model ter-

sebut dapat digunakan sebagai dasar kebijakan, perubahan
struktur, taktik dan strategi pengelolaan sistem tersebut.
Patten (dalam Mustari, 1985) mengemukakan bahwa analisis sistem adalah serangkaian teknik untuk :
.

(1) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem,
yang merupakan perwujudan interaksi antar komponen
ekosistem atau antar subsistem.
(2) menjelaskan interaksi atau proses-proses

yang berperan pada suatu sistem secara keseluruhan akibat adanya
masukan. .

(3) menduga

atau meramal apa yang mungkin terjadi pada
sistem jika beberapa faktor atau komponen dalam
sistem tersebut berubah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenar-

nya analisis sistem (dalam ha1 ini agroekosistem dan tanaman) adalah metode ilmiah yang merupakan dasar dalam pemecahan masalah dalam pengelolaan sistem tersebut.
Simulasi sebagai salah satu kegiatan dalam analisis
agroekosistem dan tanaman secara garis besar meliputi tiga kegiatan utama (Soerianegara, 1978), yaitu :
(1) merumuskan model yang menggambarkan sistem dan proses
yang terjadi di dalamnya.
(2) memodifikasi/memanipulasi model atau melakukan ekspe-

rimentasi.
(3) mempergunakan model dan data untuk memecahkan perso-

alan

.

Dalam analisis agroekosistem dan simulasi yang
paling banyak berperan adalah model. Model dapat dianggap
sebagai konsepsi mental,

hubungan empirik atau kumpulan

pernyataan-pernyataan matematik/statistik atau dapat juga
dinyatakan sebagai representasi sederhana dari suatu sistem yang kompleks (Bey, 1987). Ini sejalan dengan rumusan
Mize dan Cox (1968) bahwa model merupakan gambaran absstrak dari suatu sistem, dimana hubuqgan antara peubahpeubah digambarkan sebagai hubungan sebab akibat.
Dalam bidang hidrologi (termasuk klimatologi/meteorologi), model kuantitatif dikelompokkan menjadi deterministik, parametrik, stokastik, dan

kombinasinya (Haan,

1977; Hillel, 1977). Dengan dasar itu, dapat dipandang
bahwa model sebagai kombinasi dari komponen-komponen yang
masing-masing mewakili sebuah titik dalam suatu spektrum
yang kontiniu, mulai dari deterministik murni pada satu
sisi hingga stokastik murni pada sisi lain (Gambar 1).

STOKASTIX
MURNI

DETERMINIBTIK
MURNI

PARAMETRIK
Gambar 1. Bkema arah dan alternatif sifat suatu
metode analisis kuantiatif dan model
(Bey, 1989)

Lebih lanjut Bey

(1987) mengemukakan bahwa - untuk

tujuan #Iforecasting" (peramalan), metode analisis kuantitatif iklim dibedakan atas metode kausal dan time series.
Metode Kausal mengasumsikan bahwa faktor yang akan dirama1 mempunyai hubungan sebab akibat yang konstan dengan
satu atau lebih'peubah bebas. Pada tahap awal metode analisis ini menentukan bentuk hubungan tersebut. Sedangkan
dalam metode Time Series (runut waktu), sistem yang dirama1 dianggap sebagai suatu kotak hitam (black box) yang
mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem tersebut.

Jadi peramalan hanya didasarkan pada nilai-nilai

(numerik) kejadian yang telah lalu.
Penggunaan model sangat bermanfaat untuk mengkaji
suatu sistem yang rumit, seperti suatu ekosistem spesifik
atau agroekosistem dan neraca (tata) air suatu wilayah.
Menurut Soerianegara (1978) dan Walter

(dalam Mustari,

1985) keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan
pendekatan analisis sistem adalah :
(1) memungkinkan kita melakukan penelitian yang bersifat
lintas sektoral dengan ruang lingkup lebih luas.
(2) mampu menentukan tujuan kegiatan pengelolaan dan per-

baikan terhadap sistem yang dihadapi.
(3) dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi atau

skenario tanpa mengganggulmemberikan perlakuan tertentu terhadap sistem.

(4) dapat dipakai untuk mendugalmeramal kelakuan dan keadaan sistem pada masa yang akan datang dan/atau menyusun suatu skenario yang mungkin terjadi pada sistem tersebut.
(5) dari segi waktu dan biaya lebih efisien.

Bey (1989), Manetsch dan Park (dalam Soerianegara,
1978) berpendapat bahwa bagaimanapun baiknya model yang
dirancang ia tetap mempunyai keterbatasan dan merupakan
distorsi dari sistem yang sebenarnya. Oleh karena itu,
model harus digunakan secara teliti dan seksama dengan
data yang sesahih dan selengkap mungkin.
Penyusunan suatu model dilakukan melalui tahapan-tahapan utama yang terdiri dari (Hillel, 1977; Soerianegara, 1978) :
(1) Menspesifikasi dan identifikasi sistem dan masalah
(2) Penyusunan/penentuan model konsepsi untuk sistem
(3) Penyusunan dan pemeriksaan program (komputer)

(4) Pemeriksaan parameter dan pengumpulan data
(5) Pelaksanaan ekspermentasi dan pengujian model
(6) Penyusunan kesimpulan dan rekomendasi

Pada Gambar 2. disajikan alur kegiatan dan tahapan
dari pemodelan suatu sistem.

+
&MAT1 RELAKUKAN SISTEM
I

-T='

DEFINISIKAN PERMASALAHAN

FORMULASIKAN DALAM BENTUK
MATEMATIK

3
SUSUN ALGORITMA

/

*I 3 TERIMA

I

SALLY KE KODE KOMPUTER
\

4

4

DUGA NILAI-NILAI PARAMETER

TERMA

Prn
ERIKSA PARAMETE

TERIMA

-

TERIMA
GUNAKAN MODEL UNTUK TUJUAN PRAKTIS

Gambar 2. Diagram alir tahapan Model Simulasi.
Disederhanakan dari Hillel (1977) dan
Soerianegara (1978).

D. Hodel Iklim dan Eva~oklimatonomi
Konsep neraca air (Oke, 1979) dan neraca energi oleh
Hess (1959) dan Geiger (1975) dalam menilai ~ o t e n s iair
dan variasi suhu suatu wilayah cukup sederhana, ternyata

.

dalam pelaksanaannya sangat rumit jika memperhitungkan
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Demikian juga konsep neraca air dan energi lain yang membutuhkan banyak
pengamatan, sehingga agak sulit diterapkan dalam kajian
yang bersifat regional atau wilayah.

Sebaliknya konsep

yang terlalu sederhana tidak mampu menunjukkan diskriminasi antara keadaanlwilayah dengan.iklim, tanah atau vegetasi. Salah satu konsep yang mampu memberikan keluaran
neraca air dan energi berikut hubungan antar komponen dan
/

perubahannya pada suatu wilayah adalah teknik dan model
klimatonomi (Bey, 1981 dan Molion, 1975).
Model klimatonomi yang mulanya dikembangkan oleh
Lettau (1969; 1977),

Lettau dan Lettau (1975), pada dae-

rah subtropik dan kutub bertujuan untuk (a) menjelaskan
sebab-sebab (secara fisik)

keragaman iklim menurut ruang

dan waktu berdasarkan hukum-hukum

fisika

radiasi,

kon-

duksi dan konveksi, (b) mensintesis iklim lokal danlatau
regional dengan model numerik (kuantitatif) dengan menggunakan prinsip konservasi energi dan massa. Model klimatonomi ini kemudian dikembangkan pula untuk daerah tropik

antara lain oleh Supornrutana (dalam Bey, 1981) di Bangkok, pengaruh pembukaan hutan ter.hadap neraca air di DAS
(daerah aliran .sungai) Amazon oleh Molion (1975) dan neraca air DAS di Fipilina oleh Lettau dan Baradas (1973).
Di Indonesia model ini dikembangkan oleh Bey (1981) dan
r

Bey, Irsal dan Koesmaryono (1990) untuk menyusun skenario
proses rekolonisasi tumbuhan hutan di pulau Krakatau dan
tata air Sub-DAS Konto, Kali Brantas, Jawa Timur.
Prinsip dasar dari model klimatonomi adalah menspesifikasi keseimbangan (balance requirement) dan parameterisasi aliran energi dan massa (zat alir,

khususnya air

dan uap air) dengan menurunkan runut waktu masukan (forcing input) untuk runut waktu keluaran (response function). Dalam ha1 ini studi daur (siklus) harian, bulanan
dan tahunan dari suhu dan lengas tanah pada suatu lokasi
atau wilayah didasarkan kepada tanggapan terhadap masukan
insolasi (energi surya) dan presipitasi yang juga menyebabkan adanya proses terhadap masukan (Lettau dan Lettau,
1975;- Bey 1982).
Keuntungan utama dari model ini tidak hanya dapat
digunakan untuk menduga potensi dan pertukaran lengas/air
tanah dan energi pada suatu lahan tetapi dimungkinkan untuk menduga perubahan yang terjadi akibat berbagai alternatif pengelolaan dan masukan pada suatu lahan. Jika data
runut waktu dari berbagai parameter tersedia, model ini

lebih berdayaguna dalam perancangan pembangunan dan pengembangan pertanian suatu daerah. Hal ini semakin mudah
dan efisien dilaksanakan dengan adanya berbagai kemasan
program komputer
Model klimatonomi terdiri dari tiga submodel klimatonomi, yaitu "short wave climatonomvw (klimatonomi gelom-

bang pendek),

weva~oclimatonomy~(evapoklimatonomi) dan

.

m@thermoclimatonom~B@
(termoklimatonomi) Submodel klimatonomi gelombang pendek yang berkaitan dengan runut waktu
irradiasi ekstra-atmosfir (masukan) dan energi surya yang
diserap permukaan aktif (keluaran).
Submodel evapoklimatonomi berkaitan dengan
yang diserap permukaan dan presipitasi

energi

(terutama curah

hujan) sebagai masukan. Sedangkan keluarannya adalah pertukaran dan pola lengas tanah. Selanjutnya masukan pada
submodel termoklimatonomi adalah selisih antara variasi
tahunan atau harian energi surya dengan bahang laten, dan
keragamanlperubahan suhu permukaan sebagai keluaran.

E. Model 8imulasi dan Potensi Basil Tanaman
Hasil panen yang ditentukan oleh produksi biomassa
(bahan kering), merupakan perujudan akhir hasil proses
fotosintesis. Oleh sebab itu produksi bahan kering merupakan fungsi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR, photo-

synthetic active radiation) yang diintersepsi oleh daun,
laju pertumbuhan dan tipe daun (Elston, 1983; Chang, 1968;
dan de Witt, Brouwer dan Penning de Vries, 1971)

. Lebih

lanjut Rabbige (1983), Squire (1990), Thornley (1976) dan
Wigham (1983) merinci bahwa produksi bahan kering berasal
"

dari aliran assimilat yang besarnya tergantung kepada
radiasi datang dan luas daun aktif berfotosintesis. Namun
demikian faktor air (lengas tanah), suhu udara dan hara
tanaman juga sangat berperan.
Potensi produksi suatu tanaman menurut Alberda (1971)
dan Tanaka (1983) adalah produksi bahan kering pada periode tertentu, dimana akar tumbuh pada kondisi lingkungan
optimal, memperoleh pasokan air dan hara yang cukup. Laju
pertumbuhan tanaman hanya tergantung kepada energi surya
yang diperoleh tanaman. Oleh sebab itu unfuk menduga potensi hasil suatu tanaman pada umumnya adalah mengkonversi total PAR yang diterima tanaman menjadi bahan kering sesuai dengan kemampuan genetik tanaman, pengelolaan
dan

masukan.

Dengan

teknik

simulasi

dan

modeling,

berbagai peubah tersebut dapat diintegrasikan secara
langsung dalam menentukan potensi tanaman.
Bakema dan Jansen (1985) menyatakan bahwa model simulasi tanaman disusun oleh satu gugus persamaan yang
menghitung fotosintesis potensial tanaman sebagai fu'ngsi
dari data cuaca harian dan perkembangan tanaman, luas

24

daun. Charles-Edward (1982) menuliskan persamaan laju
produksi biomassa per satuan waktu sebagai berikut :

Ri adalah jumlah energi radiasi yang diintersepsi tanaman
C

selama i hari dengan efisiensi tanaman menggunakan energi

.

(e)

Rs adalah kehilangan (perombakan) biomassa akibat

respirasi. Efisiensi e, merupakan fungsi dari pengelolaan,
pemupukan, lengas tanah dan konstanta genetik tanaman.
France dan Thornley (1984), Penning de Vries et a1
(1989) mengisyaratkan bahwa model simulasi'untuk menduga
potensi hasil tanaman, setidaknya harus bertitik tolak
dari peubah genetik dan cuaca. Peubah genetik yang digunakan antara lain fenologi, laju pertumbuhan potensial,
dan tipe daun, sedangkan peubah cuaca adalah radiasi surya dan suhu udara. Diassumsikan bahwa air dan atmosfir
(C02) tidak menjadi kendala atau dapat dimanipulasi.
Sesuai dengan tujuannya, assumsi yang dipakai, jumlah dan jenis peubah yang dilibatkan,

et a1

Penning de ~ r i e s

(1989) menstratifikasi sistem simulasi pendugaan

potensi tanaman atas empat aras, yakni :
1. Aras I : potensi hasil suatu tanaman

(dengan peubah
genetik tertentu) pada suatu kondisi iklim,' dengan
asumsi bahwa air, faktor tanah dan hara pada kondisi
optimal. Laju pertumbuhan tanaman hanya dipengaruhi
oleh radiasi surya dan suhu udara.

2. Aras 11 : potensi hasil suatu tanaman pada kondisi

lengas tanah dan iklim tertentu, dimana faktor tanah
dan hara dianggap dalam keadaan optimal. Laju pertumbuhan tanaman merupakan fungsi dari surya dan suhu
udara, dan status lengas tanah.
3. Aras I11 : potensi suatu tanaman pada kondisi iklim,
v

lengas tanah dengan aras nitrogen tertentu. Laju pertumbuhan tanaman merupakan fungsi dari radiasi surya,
s&u udara, lengas tanah dan aras nitrogen dalam tanah.
4. Aras IV

: potensi hasil suatu tanaman pada kondisi
iklim, lengas tanah, aras nitrogen, aras fosfor dan
hara lainnya. Hampir semua faktor dalam sistem produksi tanaman, kecuali konsentrasi C 0 2 di udara merupakan
peubah-peubah dalam model pertumbuhan tanaman.

Lebih jauh dikatakan bahwa simulasi pada aras I lebih banyak ditujukan untuk menduga potensi genetik suatu
tanaman pada suatu lahan dengan kondisi iklim tertentu.
Misalnya potensi hasil suatu varietas padi pada lahan sawah beririgasi dengan masukan teknologi yang optimal.
Simulasi pada aras I1 bertujuan untuk menduga potensi hasil tanaman pada musim tanam (growing season) tertentu dengan menerapkan masukan teknologi usahatani secara optimal. Kebanyakan simulasi aras I1 ini digunakan
untuk menduga potensi agroekologi dan/atau produktivitas
tanaman pada suatu wilayah/daerah. Keluarannya dapat digunakan dalam pewilayahan agroekologi dan komoditi.
Sedangkan simulasi pada aras 111 dan IV bersifat
lebih spesifik lokasi atau tapak (site), yaitu pendugaan

26

hasil tanaman dengan aras masukan teknologi usahatani,
khususnya pemupukan dengan dosis tertentu. Simulasi ini
banyak digunakan dalam menguji hasil nyata lapang (actual
yield) dengan potensi tanamanlvarietas dengan tindakan
agronomis dan sistem usahatani tertentu.
C

Jagung merupakan tanaman C-4 dengan titik jenuh cahaya yang cukup tinggi, laju fotorespirasi dan titik kompensasi C02 yang rendah. Oleh sebab itu, pada kondisi intensitas radiasi surya tinggi laju pertumbuhan dan potensi hasil tinggi dengan laju fotosintesa 70-100 mg co2/dm2
per jam (F.A.O.,

1978; Hatch dan Slack, 1970).

Cuany, Swink dan Shafer (1970) bahwa hasil jagung di
daerah temperate seperti di Amerika mencapai 17-22 t/ha
dengan rata-rata hasil petani sekitar 11 t/ha. Selanjutnya Frey (1971) melaporkan bahwa di daerah tropik lintang
menengah hasil jagung tertinggi mencapai 10-12 t/ha. Sedangkan di lintang rendah dengan pengelolaan yang optimal
menghasilkan biji 5-9 t/ha. Pada radiasi surya sekitar
448-603 kal/cm2/hari, produksi

biomassa total di daerah

tropik berkisar antara 10-19 t/ha dengan ILD 3.7-4.8
ngan indeks panen 0.34-0.41

de-

(Fisher dan Palmer, 1983). Di

Indonesia hasil rata-rata jagung hanya 2.19 t/ha, namun
hasil penelitian, jagung varietas Arjuna mampu menghasilkan 4.6 t/ha di Jawa (Muhajir, 1984; Puslitbangtan, 1988;
Subandi, 1988)

.

Model simulasi untuk pendugaan potensi hasil jagung
telah dikembangkan di Amerika, khususnya oleh Badan Litbang Pertanian USA (USDA-ARS) sejak lebih dari 20 tahun
yang lalu. Salah satu model simulasi yang terkenal adalah
IICERES-MAYZE Model1' yang terdiri dari dua versi, yaitu
versi baku (standard) dan versi nitrogen. Menurut Ritchi
(1986) dan

it chi et a1 (1986), versi baku mensimulasi

potensi hasil berdasarkan potensi genotipe, cuaca harian
selama pertwnbuhan dan karakteristik umum tanah. Sedangkan pada versi nitrogen mensimulasi hasil jagung berdasarkan dinamika nitrogen dalam tanah dan tanaman, selain
potensi genetik dan cuaca.
Kedelai termasuk tanaman kelompok adaptasi C-3 yang
aktivitas respirasi dipengaruhi oleh radiasi surya dengan
titik jenuh cahaya sedang (FAO, 1978; dan Whigham, 1983)

.

Menurut Kassam (dalam FAO, 1978) pada saat langit cerah
dengan intensitas radiasi surya 1.4 lylmenit atau kurang
lebih setara 650 lylhari mempunyai laju fotosintesis sekitar 35 mg ~o~/drn~/rnenit
atau 2.1-3.5

g bahan keringlhal

hari. ~erbagaipenelitian menunjukkan bahwa produksi biji
kedelai mencapai 6.9 t/ha dengan produksi

bahan

kering

10.2 tlha, terutama di daerah temperatelsub-tropis.
Whigham, Minor, dan Carmer (1978) melaporkan bahwa
penanaman kedelai di daerah tropis dengan lintang sekitar
lo0 Utara memberikan produksi biji rata-rata 2.0 t/ha de-

. ngan kisaran 0.5-4.5

t/ha. ~erangkaian penelitian terha-

dap varietas Wilis di Indonesia menghasilkan biji sekitar
*

1.6-2.7
0.9

t/ha, namun pada tingkat petani masih di bawah

t/ha (Manwan et al,

1990;

dan Guhardja,

Selanjutnya penelitian pot oleh Boer

1991).

(1988), varietas

P

yang sama menghasilkan biji sekitar 17.2 glrumpun atau
sekitar 3.2 t/ha dengan produksi bahan kering 9.4 t/ha.
Dari banyak model simulasi tanaman yang dapat digunakan untuk menduga potensi hasil kedelai, model simulasi
dan paket program SOYGRO termasuk metode yang lebih praktis namun dengan keluaran yang lebih lengkap. Model simulasi SOYGRO mulai dikembangkan sejak tahun 1980 oleh
Universitas Florida dan IBSNAT (Inter. Benchmark Sites
Network for Agrotech. Transfer) di Amerika Serikat (IBSNAT, 1986; Jones et all 1989). Model SOYGRO telah mengalami beberapa kali penyempurnaan sesuai dengan perubahan
versinya. Versi terakhir adalah SOYGRO 4.2

yang 'lebih

sensitif terhadap peubah-peubah genetik menurut varietasl
galur, tanggal dan jarak tanam, serta pengelolaan irigasi.

Setiap tanaman (komoditi) membutuhkan syarat tumbuh
serta mempunyai daya adaptasi (kisaran) dan tanggap tertentu terhadap lingkungan. Di lapangan, kondisi tersebut

29

merupakan interaksi antara potensi agroekologi (alamiah)
dengan paket teknologi sistem usahatani dan infrastruktur.
Menurut Odum (1977), Cox dan Atkins (1979), akibat

-

interaksi antara lingkungan dengan vegetasi (tanaman) terdapat zona-zona vegetasi secara alami di muka bumi. Pada
r

kondisi alami peranan iklim lebih menonjol dalam menentukan zona vegetasi tersebut. Bahkan para pakar sering menggunakan jenis dan penyebaran vegetasi alami untuk mengidentifikasi dan mendeliniasi iklim, seperti yang dilakukan oleh Koppen (dalam

Chambers 1978) serta Schmidt dan

Ferguson (1951). Namun demikian pada suatu agroekosistem,
campur tangan manusia kadangkala lebih dominan, tergantung kepada kemampuan untuk menyesuaikan diri danlatau
memanipulasi lingkungan tersebut.
Berdasarkan prinsip ekologi di atas, studi tentang
karakteristik lingkungan terutama iklim dapat digunakan
untuk menentukan jehis komoditi' yang cocok pada suatu
agroekosistem. Dalam ha1 ini pada suatu agroekosistem dapat dimungkinkan beberapa alternatif sistem usahatani dan
komoditi. Oleh karena itu, berbagai gatra lain perlu dipertimbangkan, seperti keunggulan banding suatu komoditi,
sosial ekonomi, kebijakan, infrastrutur dan lain-lain.
Irsal et a1 (1990) mengemukakan konsepsi dasar dalam
pewilayahan (zonasi) komoditi secara bertahap diawali
dengan studi agroekologi utama yang hanya mempertimbang-

kan faktor bio-fisik, yaitu iklim, tanah, dan topofisiografi. Faktor lingkungan biologis, sosial ekonomi, kebijaksanaanlpolitik dan faktor penunjang lainnya dipertimbangkan pada' tahap-tahap berikutnya (Gambar 3 )

.

Menurut banyak pakar yang dituangkan dalam rumusan
"

Seminar Sehari tentang Peningkatan Pemanfaatan Agrometeorologi Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Pengembangan Perkebunan (PERHIMPI, 1989), penggunaan faktor
iklim dan topografi sebagai parameter utama dalam pewilayahan komoditi suatu daerah didasarkan kepada beberapa
pertimbangan antara lain :
1. iklim dan topografi secara
sangat sulit dimodifikasi.

teknis

operasional

2. iklim merupakan salah satu komponen agroekosistem

yang sulit diduga.
3. iklim dalam batas tertentu dapat digunakan untuk

mengindikasikan komponen agroekosistem lain, terutama faktor tanah dan vegetasi.
Iklim tidak hanya menentukan kesesuaian lahan melalui kemungkinan tumbuh tidaknya suatu komoditi dan tinggi
rendahnya

(magnitute) hasil panen, tetapi juga sangat

mempengaruhi kemantapan (stabilitas) hasil komoditi tersebut (Arsyad, 1988; Karama dan Irsal, 1988). Untuk tanaman industri dan komoditi eksport, kualitas, kemantapan
produksi merupakan tuntutan dalam pengolahan dan pema-

.

Rktor Dominan 6
Spcsifik tiap TIpe
A#. E P n g m
&

I

Zona
Apkologi
Pngmatik

-

.

-K

I

A

Ekolo@.
~ o r n o d ~ uJ
.
.

1

Kewuaian
Komoditi

Potcnsi
Penanaman

I

Faktor
Sosial Ekonomi

Kebijaksanaan
Pemcrintah

'

Komoditi Priorifas

"'

I

(Pcailayahan Komoditi)

Gambar 3. Diagram alir tahapan studi dan pewilayahan agroekologi dan zona komoditi.
saran.

Sedangkan pada tanaman pangan, kedua gatra

penting dalam menjaga keamanan pangan

ini

(food security)..

Gatra lumintu (sustainable) merupakan salah satu tuntutan
dalam pembangunan pertanian tangguh berwawasan lingkungan
(Satari dan Darwis, 1988).

Gatra lain'yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan zona komoditi akhir-akhir ini adalah mmwawasanlingkunganw dalam arti : cocok, sesuai dan layak untuk mendapatkan produksi optimal, mantap dan tidak menganggu kelestarian sumberdaya alam

dan lingkungan.

Dalam ha1 ini

secara ekologis sesuai dan cocok dengan syarat tumbuh komoditi dan dapat berproduksi secara optimal, layak (feasible) dalam arti secara ekonomis menguntungkan
secara teknis operasional memungkinkan.

serta

Selanjutnya ma-

sukan yang diberikan dalam pembudidayaan komoditi tersebut tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan dan menjamin
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta menjamin keberlanjutan produktivitas lahan.

G. Aqroekoloqi dan Sistem Usahatani Kabupaten Sikka dan
Kabu~atenEnde
1. Geologi, Topografi dan Tanah

Pulau Flores termasuk pulau-pulau vulkanik Nusa
Tenggara bersama Bali, Lombok, Sumbawa, Alor, dan Wetar
(Bemmelen, 1949)

. Kondisi

fisiografi dan topografi Kabu-

paten Sikka dan Kabupaten Ende yang berada dibagian tengah Pulau Flores beragam, terletak dari no1 hingga 1200
m. dpl (meter di atas permukaan laut).. Lebih dari 24%
dari wilayahnya terletak >500 m.dpl. Sekitar 17% wilayah
mempunyai kemiringan 0-15%, 34 dan 49% wilayah dengan ke-

miringan 15-40, dan >41%. Kebanyakan wilayah ini bergelombang hingga berbukit, bahkan beberapa di antaranya,
khususnya bagian tengah merupakan wilayah perbukitan dengan kemiringan yang terjal atau torehan.
Faktor pembentuk tanah yang dominan di daerah ini
adalah iklim. Pergantian musim kemarau dan musim hujan
yang sangat nyata secara intensif mempengaruhi proses pembentukan tanah (Brouwer, 1942). Pada daerah hilir dan dataran terbentuk tanah ~ l u v i a ldan Grumosol, pada daerah
berombak adalah tanah Regosol, sedang di daerah bergelombang tanah Latosol, Mediteran, ~ambisol,~itosol,dan Kompleks (Regosol, Kambisol dan Litosol)

a am pi ran 1).

Sebagian besar tanah di wilayah penelitian ini mempunyai tekstur sedang hingga kasar dengan kadar bahan.organik rendah (Balittro, 1986; dan Puslittanak, 1990), sehingga kapasitas menahan air

(water holding capacity)

rendah. Menurut Blantran de Rozari (1989), Tim Rintisan
Iklim BMG mendapatkan nilai kapasitas menahan air tanah
di daerah ini sekitar 10% volume tanah.

2.

Hidrologi
Sesuai dengan kondisi fisiografi dan geografi serta

curah hujan yang rendah, di kedua kabupaten ini tidak
terdapat sungai-sungai besar dan panjang. Namun demikian
di sini terdapat banyak sungai kecil yang kebanyakan ber-

34

air hanya selama musim hujan. Dari 4 sungai yang relatif
besar dan panjang 3 diantaranya bermuara di selatan (laut
Sawu) , Nangapanda yang bermuara di dekat Ende. Tiga sungai lainnya adalah, Mautenda, Iligetang dan Nebe (Kantor
~tattistikNTT, 1986; Sandi, 1976).
"

~ a s i l studi Ditjen Pengairan dan PT
(1982) menyimpulkan bahwa kedua kabupaten
DAS, yakni

Indah Karya

terdiri dari 8

Lowo Rea, Nanga Panda, Lowo Dondo, Wai Wajo,

Mage Panda, Wai Doing, Wai Gete dan Nanga Gete. Masing
masing DAS diberi nomor dari 12 hingga 19. Pada masingmasing DAS mengalir 18-21 sungai dan anak sungai.
3. Iklim

3.1.

Sirkulasi Udara dan Musim

Iklim Pulau Flores sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
angin musim secara latitudinal yang bergerak dari dan ke
arah katulistiwa. Namun demikian dengan adanya pegunungan
dibagian tengah pulau, angin lokal agak mempengaruhi curah dan distribusi hujan (Blantran de Rozari, 1986).
Berdasarkan sirkulasi udara dan angin musim, periode
satu tahun di Flores dibedakan atas dua musim. Selama Desember-April angin Monsoon Barat Laut bertiup melalui
laut Flores dan Pulau Sumbawa. Kelembaban nisbi massa
udara pada angin tersebut meningkat dengan adanya pegunungan di bagian tengah pulau Flores. Akibatnya selama

periode ini hujan tercurah di sebagian besar wilayah ini,
kecuali di pantai utara sekitar teluk Pedang yang merupakan daerah bayangan hujan dan datangnya angin bersifat
Selama periode Juni-September/Oktober, angin
Monsoon Tenggara dari Australia bertiup secara dominan
I.

dengan cepat menuju laut Flores. Angin tersebut kurang
lembab, sehingga periode ini merupakan musim kemarau.
Selama masa peralihan selama bulan Oktober/Nopember
dan Mei angin bertiup dari berbagai jurusan dan memberikan dampak lokal yang ikut meragamkan curah hujan tergantung kepada sifat dan arah angin serta kondisi topografi
dan ciri khas setiap'lokasi.(Metzner, 1982).
3.2.

Curah Hujan dan Tipe Iklim
Metzner (1982) mengemukakan bahwa di Flores terdapat

tiga wilayah

(zona) curah hujan menurut pola umumnya,

yaitu :
1. Pantai

Utara Kering, curah hujan 2000 mm/tahun dan dua periode hujan yang cukup
.
panjang (~opember-Aprildan Mei-~uli); contoh :
Bajawa dan Ruteng.
3. Lerenglsisi Selatan Pegunungan, curah hujan 10002000 mm/tahun; contoh : Ende, Lela dan Ladelero.

36

Blantran de Rozari (1986), membedakan NTT atas tiga
klas curah hujan berdasarkan bulan basah dan kering
(200 mm/bulan) < 3 bulan dan bulan kering (6 bulan. Tipe E3
terutama terdapat di pedalaman dan pantai selatan Ende.

C

4. Status Sistem Usahatani dan Komoditi Pertanian
4.1.

Agroekosistem dan Bistem Usahatani

Menurut studi agroekosistem Kepas (1986), Momuat dan
Malian (1988), Poffenberger dan Suryanata (1986) di wilayah penelitian terdapat empat agroekosistem lahan yang
sekaligus yang mencirikan sistem usahatani (SUT) dan komoditi yang diusahakan, yakni persawahan, pekarangan,
tegalan serta lahan kering dan padang pengembalaan.
Lahan persawahan umumnya ditanam hanya sekali padi
sawah dengan sistem pengairan teknis, sederhana dan tadah
hujan. Lahan pekarangan ditanam beraneka jenis tanaman
tahunan seperti kelapa, pisang, alpukat, kemiri, dan coklat. Di sela-sela tanaman tersebut selama musim hujan sering di tanam beberapa jenis tanaman pangan seperti
jagung, kacang hijau dan ubi kayu.
Lahan tegalan umumnya berupa lahan kering di daerah
dataran atau sedikit bergelombang hingga miring.

Keba-

nyakan daerah dataran di tanam jagung sebagai tanaman
utama, atau ditumpang sarikan dengan kacang hijau, kapas,
dan ubi kayu. Selain itu terdapat tanaman tahunan teru-

-

38

tama kelapa, asam, dan jambu mente.

Di daerah lereng dan

perbukitan banyak juga ditanam tanaman pangan selain
tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri seperti
cengkeh, kemiri, kopi, kapuk, alpukat dan coklat.
Lahan peladangan merupakan lahan kering di celah-celah perbukitan dan agak subur di pegunungan yang umumnya
terjal, kebanyakan lahan ini ditanami selama satu atau
dua tahun kemudian ditinggalkan. Pada lahan ini umumnya
diusahakan tanaman pangan, terutama jagung, dan kacangkacangan. Sekarang sistem peladangan semakin berkurang,
terpencar secara sporadis di beberapa wilayah di Kabupaten Ende bagian tengah dan utara atau di sekitar perbatasannya dengan Kabupaten Sikka.
4.2.

Status Sitem Usahatani Tanaman Pangan
Sistem usahatani (SUT) tanaman pangan merupakan mata

pencarian sekitar 79.4% dan 83% dari penduduk Kabupaten
Sikka dan Kabupaten Ende, dan menyerap tenaga kerja sekitar 67 790 dan 64 190 orang. Sumbangan (kontribusi) SUT
tanaman pangan terhadap pendapatan daerah regional bruto
(PDRB) sekitar 28.3% dan 27.5% untuk masing-masing kabupaten dengan laju pertumbuhan 4.34 dan 3.72%/tahun.
Total luas panen tanaman pangan tahun 1989 di Kabupaten Sikka sekitar-30 104 ha dan di Kabupaten Ende sekitar 21 818 ha. Total 11 195 ha luas sawah yang dapat di-

airi di Kabupaten Ende hanya 3 5 0 5 ha ( 3 1 . 3 % ) yang telah
digarap, dan dari 44 7 2 8 ha lahan kering hanya 2 7 2 3 0 ha
( 6 0 . 9 1 % ) yang telah digarap (Tabel 1)

.

Tabel 1. Luas panen dan produksi beberapa jenis
tanaman pangan pada tahun
di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende.

193?
..........................................................
:

Tanaman

Luas Panen
(ha)
K.S
K.E

Produksi
(ton)
K.S
K.E

(tonlha)
K.S
K.E~)
'

..........................................................
Padi sawah
Padi gogo
JWFng
~ b i
kayu
Ubi jalar
Kacang tanah
Kacang hijau
Total areal

889

3 951

5233

10996

5.88

3.27

7 749

5 540

5792

8913

0.75

1.89

12 873

6 049

139060

24435

10.80

4.04

3 454

6 017

22350

63290

6.47

10.52

355

126

1077

1434

3.03

11.38

135

632

239

0.90

1.77

1843

td

0.50

td

1 071
3 713

,

td

3 0 104 2 1 818

175987 1 0 9 3 0 7

..........................................................

-

-

Sumber : Dipertan Kab. Sikka ( 1 9 8 9 ) , Kantor Statistik
Sikka ( 1 9 9 0 ) , dan Dipertan Kab. Ende ( 1 9 8 9 )
Kantor Statistik Ende ( 1 9 9 0 ) . .
2 , K.S = Kabupaten Sikka; K.E = Kabupaten Ende
td = tidak ada data atau luasnya sangat kecil

'I

Produktivitas tanaman pangan umumnya masih rendah,
selain karena curah hujan yang rendah dan eratik, sebagian petani belum menggunakan verietas unggul, pemupukan
dan pola tanam yang optimal. Hal ini erat .kaitannya dengan rendahnya apresiasi petani terhadap teknologi usahatani introduksi danlatau terbatasnya penyediaan

sarana

produksi (Momuat dan Malian, 1988; Poffenberger dan Suryanata, 1986; Yasin et al, 1990).
4.3.

Status Sistem Usahatani Tanaman Perkebunan/Industri
Pada umumnya areal pertanaman tanaman perkebunan dan

,.

industri terpencar secara sporadis di berbagai kecamatan
di kedua kabupaten. Total luas areal tanaman perkebunan
di Kabupaten Sikka sekitar 47 000 ha. Hampir seperduanya
adalah tanaman kelapa, sisanya tanaman coklat,jambu mente,
dan kemiri. Total produksi tanaman perkebunan pada tahun
1989 adalah 16 049 ton, 12 ribu t