MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN AGROEKOWISATA DI KABUPATEN ENDE PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR.
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1 Perbedaan Modal Manusia dan Modal Sosial ………. ..………. 33
2.2 Bentuk, Tipe Partisipasi, dan Peran Masyarakat Lokal ..………. 60
4.1 Distribusi Populasi dan Sampel ……….. 106
4.2 Ringkasan Rule of Thumb Uji Validitas Convergent dan Discriminant …………. 118
4.3 Rule of Thumb Uji Reliabilitas Konstruk ……… 118
4.4 Rule of Thumb Evaluasi Model Struktural ……….. 119
5.1 Tingkat Kemiringan Lahan di Kecamatan Maurole ……… 123
5.2 Kondisi Tanaman Pangan di Kecamatan Maurole …..………... 124
5.3 Luas Lahan dan Produksi Padi Sawah Tadah Hujan dan Lahan Irigasi di Kecamatan Maurole Tahun 2015 ……….. 125
5.4 Produksi Sayuran dan Buah di Kecamatan Maurole ………... 126
5.5 Produksi Tanaman Perkebunan di Kecamatan Maurole ……….. 126
5.6 Kondisi Ternak di Kecamatan Maurole ………... 127
5.7 Sarana Perikanan di Kecamatan Maurole ……… 127
5.8 Rute, Jadwal, Jenis, dan Jumlah Kendaraan antarkota di Kecamatan Maurole…… 132
5.9 Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole ………... 135
5.10 Fasilitas Pendukung (Amenitas) di Kecamatan Maurole ……… 136
5.11 Unsur Ancilliary Services dalam Kegiatan Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole ……… 137
5.12 Data Kunjungan Wisatawan ke Danau Kelimutu Tahun 2012 s.d. 2014 ………… 145
5.13 Komposisi Warga Maurole Menurut Mata Pencaharian ………. 145
5.14 Identifikasi Modal Sosial pada Atraksi dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende ……….. 147
5.15 Convergent Validity Konstruk dan Nilai Indikator Tertinggi ……….. 149
5.16 Average Variance External (AVE) dan Akar Ave pada Atraksi di Kabupaten Ende………... 152
5.17 Laten Variabel Corelation dan Akar Average Variance External (AVE) ………... 153
5.18 Nilai Composite Reliabilty dan Cronbachs Alpha pada Atraksi Wisata di Kabupaten Ende ………... 154
5.19 Inner Model sebagai Pengujian Hipotesis ….. ………...………. 155
5.20 Nilai Koefisien Determinasi dan Kategori Penilaian ………...……… 161
5.21 Goodness of Fit (GoF) Index sebagai Pengukuran untuk Keseluruhan dari Prediksi Model ……… 165
5.22 Hubungan antara Tingkat Masyarakat, Dimensi Waktu dan Elemen Modal Sosial yang Mungkin Diubah dan Dikuatkan Melalui Percepatan Transformasi Sosial di Kecamatan Maurole ………... 192
(2)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Level Modal Sosial ... ………..……….. 24
2.2 Interrelasi Modal Sosial dengan Berbagai Faktor .……… 27
2.3 Konsep Aset Berbasis Model Sistem Pertanian .…….………..… 37
2.4 Aset Penghidupan Berkelanjutan …………..…. .……….. 38
2.5 Model Hubungan antara Budaya dan Tata Nilai, serta Penguatan Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende ……… 71
3.2 Kerangka Berpikir Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur ……… 95
3.3 Kerangka Konsep Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur …………..………. 101 4.1 Peta Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur ……… 4.2 Model Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kab. Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur……….
103 115 5.1 Hasil Output Analisis Bentuk Path Diagram ……….. 5.2 Perumusan Model Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata ………. …
160 212
(3)
DAFTAR ISTILAH
Istilah Arti
Adversity Ketabahan
Agrotourism Pariwisata pertanian
Alienasi Hilang, tergerus
Altruism Semangat untuk membantu dan mementingkan
kepentingan orang lain
Amenitas Pendukung
Ancylary Service Pelayanan tambahan
Anomie Kekacauan tanpa aturan
Application Penerapan
Artefact Kebendaan
Ascendance Kecenderungan menampilkan keyakinan diri,
dengan arah berlawanan
Asset-based sustainable development Pembangunan pertanian berkelanjutan
Ata mai Orang / penduduk pendatang
Ata mera Orang / penduduk asli
Attitude Sikap
Basic needs Kebutuhan-kebutuhan dasar
Belief Kepercayaan
Bottom-up Dari bawah ke atas
Bounding social capital Modal sosial yang mengikat Bridging social capital Modal sosial yang menjembatani
Charity Pemberian
Civic engagement Warga negara
Civility Keadaban
Collective sence of belonging Milik bersama
Comprehension Pemahaman
Cultural capital Modal budaya
Dependenability Keteguhan
(4)
Enabling Berkembang
Ende Lio Sare pawe Ende Lio yang sejahtera
Empowerment Pemberdayaan
Empowerment index atau Indeks pemberdayaan
Equality Kesamaan
Exit port Pelabuhan keluar
Expression disposition Kecendrungan ekspressi
Financial capital Modal finansial
Freedom Kebebasan
Gawi Tarian persaudaraan dan persahabatan budaya
Ende
Good governance Pemerintahan yang baik
Group collaboration Kelompok kerja sama
Gula aren, dan arak Gula dari nira enau dan minuman alkohol yang berbahan baku dari nira yang diberi ramuan
High trust Kepercayaan tinggi
Human capital Modal manusia
Humanitarian Kemanusiaan
Income Pendapatan
Independent–dependence
Independent
Dependence
Untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya
Kecenderungan untuk bergantung pada orang lain
Indigenous knowledge Teknologi lokal
Interpersonal Relasi antarpribadi
Klen Kelompok masyarakat yang terbentuk karena
kesamaan etnis, suku, dan ras yang ditransmisikan dari generasi ke generasi
Knowledge Pengetahuan
Landscape bentangan
Lembaga indipenden Pihak luar
(5)
Local distinctiveness Kekhasan lokal Local economic development (LED)
agricultural sector
pengembangan ekonomi lokal dalam sektor pertanian
Low cost production Produksi biaya rendah
Low trust Kepercayaan rendah
Mindset Pola pikir
Mosalaki Tokoh adat pada masyarakat Ende Lio
Mosalaki pu’u Koordinator atau ketua tokoh adat
Mosalaki ulu beu eko bewa Tamu yang dinobatkan Mutual understanding Kesalingpengertian
Natural features Alam
Necessary condition Syarat keharusan
Nira enau Air yang disadap dari pohon enau
Opportunities Peluang
Participatory Partisipastif
Particularfashion Kebiasaaan-kebiasaan khas
People centred Berpusat pada masyarakat
Pire te’u Budaya untuk menghalau hama tikus dalam
aktivitas pertanian
Power kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan
Public action Kegiatan umum
Receiving Menerima
Reciprocity transaction Transaksi timbal balik Re-newable natural capital Modal alam yang terbarukan
Resiprocity Hubungan timbalbalik
Responding Merespon
Responsible Bertanggung jawab
Resources Sumber daya
Role disposition Kecenderungan peranan
Rule of law Aturan main
Sail Berlayar
Self-empowerment Kemampuan diri
(6)
Self mobilization Mandiri
Self-reinforcing Bertambah dengan sendirinya
Shallow participation Partisipasi yang dangkal
Shared value Nilai-nilai bersama
Simetrical interdependency Saling bahu-membahu
Social bridging Menjembatani
Social capital Modal sosial yakni kemampuan sesorang
untuk bekerja sama dalam suatu komunitas atau kelompok yang menekankan terbangunnya relasi yang harmonis antar semua pihak yang terlibat untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Social order Keteraturan dalam masyarakat
Socialtimidity Takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal
Social glue perekat sosial
Social linking Menghubungkan (merupakan modal sosial
yang bergerak pada tataran lebih luas, yang tidak membedakan kelas dan status sosialnya).
Social virtue Kebajikan sosial
Sociometricdisposition Kecenderungan sosiometrik
Spectrum Lingkup
Spectrum of trust Lingkup kepercayaan
Stakeholder Pihak terkait dalam kelompok kerja
Sustainable Berkelanjutan
Taxonomy Klasifikasi
The norms and networks Norma dan jaringan
The Sustainable Livelihoods Framework Kerangka penghidupan berkelanjutan
Topdown Kebijakan dari atas ke bawah
Trial and error Cara coba salah
Universalisme Tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan
Valuing Menghargai
Voluntary Kesukarelaan
Way of life Pandangan hidup
(7)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman 1. Peta Kecamatan Maurole dan Kelimutu ……….……… 2. Data Primer dan Sekunder dalam Pengembangan Atraksi Wisata………..
228 229 3. Variabel Independen X (Modal Sosial) Indikator dari X1 ……….……… 232 4. Variabel independen X (Modal Sosial) dari Indikator dari X2………..…… 234 5. Variabel Independen X (Modal Sosial) dari Indikator dari X3 ……… 235 6. Variabel Dependen Y2 (Agroekowisata) dari Indikator dari Y2.1 s.d. Y2.3 ……. 237 7. Variabel Dependen Y1 (Perilaku) dari Indikator dari Y1.1 ……… ..……….. 239 8. Variabel Dependen Y1 (Perilaku) dari Indikator dari Y1.2 ………..………
9. Variabel Dependen Y1 (Perilaku) dari Indikator dari Y1.3 ……… 10.Identifikasi Modal Sosial dan Nilai Loading Factor SmarthPLS.……….……
241 243 245 11.Nilai Cross Loading………...………..………..
12.Nilai Outer Loadings (Means, STDEV, T-Values) ……… 13.Total Effects (Mean, STDEV, T-values) pada Setiap Atraksi...
249 252 253
xxi
(8)
DAFTAR ISI
No. Judul Halaman
SAMPUL DALAM ……… i
PRASYARAT GELAR ……… ii
LEMBAR PERSETUJUAN ……… iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………..… iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……… v
UCAPAN TERIMA KASIH ……….. vi
ABSTRAK ……… viii
ABSTRACT ……… ix
RINGKASAN ……….. x
DAFTAR ISI ……… xii
DAFTAR TABEL ……….. xv
DAFTAR GAMBAR ………. xvi
DAFTAR ISTILAH ……… xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xxi
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
1.1 Latar Belakang ……….. 1
1.2 Rumusan Masalah ……… 12
1.3 Tujuan Penelitian ……….. 12
1.4 Manfaat Penelitian ……… 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 14
2.1 Modal Sosial ………... 14
2.1.1 Definisi modal sosial ……… 17
2.1.2 Unsur pokok modal sosial ……… 20
2.1.3 Bentuk modal sosial ………. 23
2.1.4 Peran dan fungsi modal sosial ……….. 28
2.1.5 Tiga tipe modal sosial ………. 28
2.1.6 Parameter dan indikator modal sosial ………... 30 xii
(9)
2.2 Agroekowisata, Partisipasi, Pengetahuan, dan Sikap……….. 39
2.2.1 Agroekowisata ………..……….. 39
2.2.3 Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat tani ………..……… 47
2.2.4 Kelembagaan dan kelompok ……… 61
2.2.5 Model modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende Provinsi NTT ……… 69
2.2.6 Pengetahuan ………..………. 75
2.2.7 Sikap ……….. 77
2.2.8 Perilaku sosial ……… 81
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 90
3.1 Kerangka Berpikir ……….. 90
3.2 Kerangka Konsep ………... 96
3.3 Hipotesis ………... 100
BAB IV METODE PENELITIAN ……….... 102
4.1 Rancangan Penelitian ………... 102
4.2 Lokasi Penelitian ……… 102
4.3 Jenis dan Sumber Data ………..… 104
4.3.1 Jenis data ……… 104
4.3.2 Sumber data ……….. 104
4.4 Populasi, Sampel, dan Informan Kunci ……….. 105
4.5 Teknik Pengumpulan Data ……… 106
4.6 Variabel Penelitian ………. 107
4.6.1 Variabel independen ………... 108
4.6.2 Variabel dependen ………. 109
4.7 Metode Analisis Data …...……….. 4.7.1 Metode analisis kualitatif (deskriptif) …..……….. 4.7.2 Metode analisis kuantitatif ………. 110 110 111 4.8 Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian ………... 120
(10)
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 122
5.1 Gambaran Umum Kecamatan Maurole ……….……... 122
5.1.1 Kondisi geografis ………... 122
5.1.3 Sumber daya atraksi wisata di Kecamatan Maurole………….... 128
5.1.4 Aksesibilitas …...……….. 131
5.1.5 Amenitas ……….………. 134
5.1.6 Anciliary service (pelayanan tambahan) ……..………. 136
5.1.7 Letak, luas, kondisi geografis, demografis, sosial, dan ekonomi pada desa atraksi wisata ………... 139 5.1.8 Atraksi-atraksi wisata pada lokasi penelitian di Kabupaten Ende 140
5.1.9 Route perjalanan dari dan ke lokasi atraksi wisata ……….. 144
5.2 Identifikasi Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata………. 146
5.3 Analisis Pengaruh Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata 147
5.4 Konversi Diagram Jalur ke Persamaan Struktural (Outer Model ) ……. 160
5.5 Deskripsi Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku ……….. 166
5.6 Deskripsi Pengaruh Perilaku dalam Pengembangan Agroekowisata…… 168
5.7 Deskripsi Pengaruh Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende ………... 182
5.8 Modal Sosial pada Atraksi Wisata di Kabupaten Ende ……… 194
5.9 Hubungan Modal Sosial, Perilaku, dan Agroekowisata ………... 203
5.10 Rumusan Model Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata … 208 5.11 Kebaruan Penelitian ………. ………... 213
BAB VI Simpulan dan Saran ………... 215
6.1 Simpulan …..………... 215
6.2 Saran ……..……… 215
DAFTAR PUSTAKA ……….….. 217
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……… 228
(11)
(12)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Laporan bulanan data sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Mei 2012, menunjukkan penduduk Indonesia yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama masih didominasi sektor pertanian. Pada Februari 2012 pekerja di sektor pertanian berjumlah 41,20 juta jiwa. Mengikuti sektor pertanian, lapangan pekerjaan utama lainnya adalah perdagangan, jasa kemasyarakatan, dan sektor industri yang secara berurutan masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja.
Data BPS (2012) menunjukkan, jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2011, jumlah penduduk yang bekerja mengalami kenaikan terutama di sektor pertanian sebesar 1,9 juta orang (4,76%), sektor jasa kemasyarakatan sebesar 720 ribu orang (4,32%), serta sektor perdagangan sekitar 620 ribu orang (2,65%). Sedangkan sektor yang mengalami penurunan adalah sektor industri sebesar 330 ribu (2,27%) dan sektor konstruksi sebesar 240 ribu orang (3,78% ). Mencermati data tersebut, berarti sampai saat ini sektor pertanian masih menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, penyumbang devisa bagi negara dan sumber pendapatan masyarakat.
(13)
Di sisi lain, pembangunan pertanian merupakan salah satu upaya mengatasi masalah kemiskinan. Terutama pada kelompok masyarakat petani yang termarginalkan. Arifin (2005) mengatakan bahwa pembangunan pertanian Indonesia mempunyai beberapa agenda pokok, yang berkaitan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan.Terutama terhadap kelompok petani miskin yang dengan melakukan pemberdayaan dan pengefektifan jaringan kerja pada sentra produksi pertanian dan pusat-pusat pasar di perkotaan dan daerah lain. Agenda pokok yang dikemukakan tersebut mencerminkan bahwa ketersediaan kebutuhan pangan dan gizi yang cukup di dalam negeri, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat pada umumnya dan petani khususnya, merupakan pertimbangan yang sangat penting.
Selanjutnya, tujuan pembangunan pertanian yang ingin dicapai Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 adalah mewujudkan sistem pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal, meningkatkan dan memantapkan swasembada berkelanjutan, menumbuh-kembangkan ketahanan pangan dan gizi termasuk diversifikasi pangan, meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan ekspor produk pertanian, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Kementrian Pertanian, 2014).
Namun realitas menunjukkan bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan yang dilaksanakan di Indonesia belum mendapat perhatian yang serius. Rizqulloh (2012) menuliskan bahwa petani tidak lagi memegang peran sebagai penghasil dan pencipta dalam setiap tahapan kegiatan bertani. Namun justru dimanfaatkan tak lebih hanya sebagai pekerja dan konsumen. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kegiatan dalam bertani justru diatur oleh pihak di luar dirinya, seperti pemerintah, pasar ataupun perusahaan swasta. Sementara itu, para petani
(14)
masih diarahkan untuk menggunakan pupuk, pestisida, insektisida kimia yang cenderung berlebihan.
Arah pembangunan yang demikian berdampak pada hal-hal berikut: (1) secara tak langsung telah menanamkan pola pikir petani bahwa bertani adalah
dengan pupuk, pestisida, dan insektisida kimia yang semuanya perlu dibeli dari perusahaan-perusahaan besar dengan biaya mahal; (2) melonjaknya biaya produksi pertanian dan pada saat yang bersamaan menurunkan kualitas lahan secara terus menerus; (3) penurunan produktivitas lahan dalam jangka panjang; (4) masih rendahnya kesadaran para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab kurangnya ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian terutama sumber air; (5) produksi tanaman pangan yang cenderung menurun dan membuat kondisi para petani semakin sengsara atau miskin; (6) adanya kebijakan untuk mengimpor beberapa komoditi tanaman produksi pertanian semakin meningkat; (7) engganan generasi muda untuk berkecimpung dalam dunia pertanian; (8) ke-lemahan dalam sistem alih teknologi karena tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan. Hal ini disebabkan karakteristik dan kondisi lahan pertanian di negara sumber teknologi berbeda dengan negara Indonesia. Teknologi tersebut perlu dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian Indonesia. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat; (9) masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan; dan (10) terbatasnya akses layanan usaha terutama permodalan.
(15)
Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 triliun untuk bisa diserap melalui tim kredit usaha rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus kredit bidang pangan dan energi. Berdasarkan hal tersebut, maka hal penting yang perlu diperhatikan adalah merubah pola pikir masyarakat mengenai potret petani Indonesia, merubah pola pikir para petani bahwa bertani dan meningkatkan hasil pertanian tidak harus menggunakan pupuk kimia produksi perusahaan, serta membangun sikap mental kemandirian sebagai keseharian dalam bertani.
Konsep kelembagaan lokal yang masih minim pada pengambil kebijakan pada hampir semua level mengakibatkan rendahnya peran serta masyarakat lokal baik sebagai pelaku maupun sebagai pengeskploitasi hasil pembangunan. Fatah (2010) mengemukakan bahwa salah satu penyebab kekurang-berhasilan dalam pencapaian pembangunan pertanian dan pedesaan adalah lemahnya pelibatan dalam pemanfaatan organisasi yang telah ada di tengah masyarakat pertanian dan pedesaan itu sendiri. Selanjutnya, Syahyuti (2011) mengungkapkan bahwa kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai. Bahkan Chambers (1983) mengatakan bahwa kesalahan fatal yang dilakukan oleh para profesional adalah adanya bias sebagai outsider, di mana mereka juga tidak
(16)
percaya bahwa masyarakat lokal (petani) tersebut adalah sumber ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, pandangan yang keliru tersebut harus dihilangkan, dan sebaliknya segala bentuk ketradisionalan seperti sosial, adat-budaya desa dan masyarakat harus diberdayakan guna mencapai tujuan pembangunan pertanian dan pedesaan (Elizabeth, 2010).
Widodo (2010) mengemukakan modernisasi pembangunan pedesaan dengan prespektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat pedesaan sebagai posisi inferior (periferi). Kebijakan pembangunan selalu topdown dan didominasi oleh pemerintah karena anggapan masyarakat desa belum mampu memberdayakan dirinya serta adanya hambatan budaya tradisional dan nilai-nilai lokal sehingga diganti dengan budaya modern yang lebih produktif. Konsep ini justru mengakibatkan tergerusnya budaya dan nilai-nilai lokal yang telah ada dalam kehidupan masyarakat desa sejak dahulu kala.
Fakta menunjukkan bahwa dalam pembangunan, modal merupakan salah satu faktor produksi penting. Adapun modal yang dimaksud adalah modal budaya, modal manusia, modal alam, dan modal sosial. Seperti halnya modal fisik atau modal manusia yang dapat meningkatkan produktivitas individu dan kelompok maka modal sosial pun demikian.
Modal sosial m erupakan konsep sosiologi yang digunakan dalam beragam ilm u seperti bisnis, ekonomika, perilaku organisasi, politik, kesehatan masyarakat, dan ilmu-ilmu sosial. Semua itu untuk menggambarkan adanya hubungan di dalam dan antarjejaring sosial. Jejaring itu memiliki nilai (Hasbullah, 2006). Bourdieu (1986) membedakan tiga bentuk modal yakni modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Modal sosial didefinisikan sebagai keseluruhan sumber daya aktual
(17)
atau potensial terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang tahan lama dan dilembagakan karena saling kenal dan adanya pengakuan.
Sementara itu Coleman (1999) berpendapat modal sosial secara fungsi adalah berbagai entitas dengan dua elemen yang sama: semua itu terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan tertentu. Jadi modal sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan, hubungan timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Modal sosial, merupakan sumberdaya yang netral dan memfasilitasi setiap kegiatan di mana masyarakat bisa menjadi lebih baik dan bergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu.
Menurut Putnam (2006) modal sosial sebagai nilai kolektif dari semua jaringan sosial dan kecenderungan untuk melakukan peningkatan hubungan satu sama lain. Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan
dan timbal balik dalam suatu masayarakat atau di antara individu-individu. Selain itu, konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih pada unsur individual. Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar terutama hubungan modal sosial dengan pembangunan atau pengembangan masyarakat. Fukuyama (1996) mengatakan modal sosial adalah sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Alasannya modal sosial yang kuat menjadi syarat pokok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan politik yang kuat. Dikupas juga tentang pentingnya modal sosial berbasis pada kepercayaan. Dalam keseharian, masyarakat berinteraksi dengan modal sosial yang kuat yang ditunjukkan dengan suasana saling percaya antarwarga. Bentuk modal ini memiliki hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa. Pada kasus pengembangan konsep local economic development (LED)
(18)
agricultural sector atau pengembangan ekonomi lokal dalam sektor pertanian.
LED di Indonesia, terutama pada wilayah perdesaan yang dominasi kegiatannya adalah pertanian, modal sosial menjadi hal yang perlu ditemukenali untuk menopang kegiatan ekonomi lokal berbasis pertanian.
Pertanian di Kabupaten Ende memiliki sejumlah potensi dan kendala dalam pengembangan ekonomi lokal wilayahnya terutama pada Kecamatan Maurole dan Kecamatan Kelimutu yang menjadi fokus penelitian. Pertanian merupakan aktivitas ekonomi dengan rentang kegiatan produksi dan pemasaran pada jangka waktu yang relatif pendek. Hal ini tidak dapat terlepas dari karakteristik hasil pertanian tersebut dengan usia masa penggunaan yang pendek, yakni masa kesegaran produk pertaniannya relatif singkat setelah dipanen sehingga harus cepat dipasarkan. Kegiatan pertanian di Kecamatan Maurole Kabupaten Ende memiliki peluang dalam akses pemasaran karena berada pada lokasi yang strategis. Dikatakan strategis karena lokasi aktivitas pertanian berada dekat pantai yang tenang dan indah serta mudah diakses baik laut, udara dan darat. Berdasarkan pertimbangan tersebut juga pantai Kecamatan Maurole ditetapkan sebagai salah satu destinasi singgah wisata layar yang diikuti beberapa negara. Selain itu, Kecamatan Kelimutu juga memiliki karakteristik sebagai wilayah pertanian di daerah pegunungan yang memiliki daya tarik yang ditunjang dengan keberadaan Danau Tiga Warna Kelimutu.
Komoditas yang diusahakan dalam aktivitas pertanian mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan dengan keragaman dan keunikan bernilai tinggi serta diperkuat oleh variasi kekayaan kultural menjadi daya tarik sebagai agroekowisata berbasis pertanian. Keseluruhannya sangat berpeluang besar menjadi andalan dalam perekonomian
(19)
Indonesia (Deptan, 2011). Sehubungan dengan potensi tersebut, preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis. Kecenderungan pemenuhan kebutuhan untuk menikmati objek-objek spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik menunjukkan peningkatan yang pesat. Hal ini merupakan signal tingginya permintaan akan agroekowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun produk yang mempunyai daya tarik spesifik (Deptan, 2011).
Salah satu usaha bisnis dibidang pertanian yang menekankan kepada penjualan jasa kepada konsumen adalah agroekowisata. Bentuk jasa tersebut dapat berupa keindahan, kenyamanan, ketentraman, dan pendidikan. Pengembangan usaha agroekowisata membutuhkan manajemen yang prima diantara subsistem, yaitu antara ketersediaan sarana dan prasarana wisata, objek yang dijual promosi dan pelayanannya (Deptan, 2011)
Objek agroekowisata tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan yang luas seperti yang terdapat pada areal perkebunan, tetapi juga dalam skala kecil karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Dengan adanya wisatawan mendatangi objek wisata telah membuka peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek agroekowisata, tetapi juga pasar dan semua keperluan yang dibutuhkan masyarakat.
Kecamatan Maurole memiliki potensi wilayah yang cukup dalam mendukung perkembangan aktivitas wisata. Potensi-potensi itu adalah potensi pertanian yang mencakup potensi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Tanaman pangan yang cukup menonjol yaitu padi sawah, juga berbagai jenis sayuran dan buah-buahan (BPS, 2013). Demikianpun
(20)
dengan Kecamatan Kelimutu merupakan sentra pertanian hortikultura bagi masyarakat Kabupaten Ende.
Terkait dengan penelitian ini, potensi yang diteliti di Keamatan Maurole mencakup pertanian padi sawah, pengambilan nira enau untuk pembuatan gula aren, dan arak, serta atraksi pantai. Atraksi padi sawah yang ditampilkan selama ini adalah dalam bentuk aktivitas pengolahan lahan secara manual dengan tenaga hewan atau membajak, menanam, memanen ,dan menanak dengan bambu. Sedangkan atraksi pengambilan nira enau yang ditampilkan adalah cara menyayat tandan enau, mengambil nira, alat yang digunakan, bahan pembuat minuman dari nira, dan alat penampung nira. Atraksi pembuatan gula aren dengan atraksi yang ditampilkan adalah alat, tungku memasak nira, alat cetak dan cara mencetak gula aren, kemasan, dan menjual gula aren. Atraksi pantai adalah keadaan pantai yang indah, tenang, bersih, dan telah menjadi destinasi singgah wisata layar dunia. Selanjutnya potensi yang diteliti di Kecamatan Kelimutu khususnya di Desa Waturaka, adalah yang berkaitan dengan potensi agrowisata tanaman hortikultura dan telah menjadi tempat tujuan wisata bagi wisatawan wisata layar.
Terkait dengan berbagai potensi tersebut, hasil penelitian Gunarto (2011) menyatakan bahwa buah markisah solok memiliki keunikan yang luar biasa yakni rasanya sangat manis dan sangat potensial untuk dikembangkan di Solok. Karena keunikaanya, markisah sangat disukai oleh konsumen sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Selanjutnya, Wihasta dan Prakoso (2012) mengemukakan bahwa perkembangan desa wisata termasuk agrowisata seperti desa wisata Kembang Arum berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial di desa wisata ini berkaitan dengan tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi terkait dengan kesejahteraan masyarakat.
(21)
Selain itu, usaha perkebunan dan peternakan dapat juga dijadikan atraksi agrowisata. Hasil penelitian Sujono (2010) menyatakan bahwa budidaya ternak kelinci dapat dijadikan sebagai atraksi wisata. Hal ini telah dibuktikan bahwa di Agrowisata Kota Batu para kelompok ternak kelinci telah menjadikan kelinci yang diolah menjadi bakso sebagai pendukung wisata. Manfaat bagi peternak yakni terjadinya peningkatan pendapatan.
Potensi di Kecamatan Maurole yang tak kalah menariknya adalah potensi pariwisata yakni wisata bahari. Menurut Dahuri (2009) kawasan pesisir dan laut Indonesia merupakan tempat ideal bagi aktivitas pariwisata bahari. Dikatakannya jika potensi wisata bahari yang tersebar di kepulauan nusantara ini dikembangkan, maka nilai ekonominya sangat besar. Senada dengan pendapat tersebut, Gautama dan Sunarta (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor menarik dalam melakukan kegiatan wisata bagi wisatawan adalah keramahan, pelayanan jasa, kondisi pesisir, kualitas dan keindahannya, dan berlayar memakai jukung. Aktivitas wisata layar merupakan salah satu bentuk wisata bahari. Wisata layar sangat diminati dan mengalami perkembangan yang pesat. Diperkirakan setiap tahun terdapat 10 juta jenis aktivitas wisata layar yang berkembang di dunia (Mesima, 2013). Secara rinci kondisi yang ada pada aktivitas masyarakat Kecamatan Maurole dapat dikemukakan sebagai berikut: pengembangan agro-ekowisata Kecamatan Maurole terjadi karena faktor ketidaksengajaan dan secara tak langsung memaksa masyarakat melakukan deversifikasi usaha pertanian. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan pelaksana dan petugas pariwisata Kabupaten Ende (10 Oktober 2013), dan mengatakan bahwa: “aktivitas pertanian yang dilakukan petani adalah inisiatif mereka dan belum ada perencanaan dari pihak manapun untuk mengembangkannya dalam bentuk lain” (Fatima,
(22)
Komunikasi pribadi, 2013). Namun dengan adanya kegiatan sail Indonesia, Kecamatan Maurole dijadikan sebagai destinasi singgah. Terkait dengan itu, pihak pemerintah Kabupaten Ende berkoordinasi dengan masyarakat setempat dalam mempersiapkan kondisi di lokasi untuk menerima peserta sail dari berbagai negara.
Selain itu, skala usaha pertanian yang dikembangkan masih bersifat semi komersial sehingga pendapatan atau income masih kecil. Di sisi lain, konversi usaha dan produk pertanian di Kecamatan Maurole juga disebabkan oleh aspek eksternal yang tidak dapat dihindari petani seperti harga pupuk yang meningkat drastis sehingga biaya tambah meningkat, sementara produksi pertanian menurun dan harga jual tidak mengalami kenaikan. Dengan demikian, salah satu alternatif pertimbangan petani dalam aktivitas pertanian adalah pengembangan agroeko-wisata sebagai salah satu bentuk mekanisme survival masyarakat agraris.
Diasumsikan bahwa faktor penghambat lain adalah aktivitas pertanian belum sepenuhnya secara komprehensif, serta keterbatasan sumber daya menyebabkan partisipasi semua elemen masyarakat dalam pengembangan agroekowisata belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kondisi ini juga diperkuat karena penggagas atau ide dikembangkannya aktivitas pertanian menjadi atraksi wisata yang bermuara pada agroekowisata bukan berasal dari petani sendiri. Ditinjau dari konteks modal sosial dalam pengembangan agroekowisata, belum dilakukan perencanaan secara sengaja baik oleh para petani setempat maupun oleh pemerintah serta stakeholder lainnya. Modal sosial masyarakat dalam aktivitas pertanian yang ditampilkan, merupakan hal yang alami sesuai dengan kultur dan karekateristik masyarakat yang bercirikan masyarakat pedesaan. Di samping itu, terbatasnya pengetahuan petani dalam bidang agroekowisata menyebabkan usaha pertanian belum dapat dikelola secara baik sesuai tujuannya,
(23)
dengan demikian modal sosial masyarakatpun belum dapat diimplementasikan secara baik. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, secara umum dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pengaruh modal sosial terhadap perilaku dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende?
2. Bagaimanakah pengaruh modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende?
3. Bagaimanakah pengaruh perilaku dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende?
4. Bagaimanakah perumusan model modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende?
1.3 Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Untuk menganalisis pengaruh modal sosial terhadap perilaku dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende.
2. Untuk menganalisis pengaruh modal sosial dalam pengembangan agro-ekowisata di Kabupaten Ende.
3. Untuk menganalisis pengaruh perilaku petani dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende.
(24)
4. Untuk merumuskan model modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan manfaat praktis yang berkaitan dengan pengembangan agroekowisata berbasiskan modal sosial di Kabupaten Ende. Pada aspek teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Mampu menambah kasanah pengetahuan tentang modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende.
2. Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan agroekowisata berbasis modal sosial.
Sedangkan manfaat secara praktis yang diharapkan adalah sebagai berikut. 1. Dapat mengungkapkan pendekatan-pendekatan yang perlu diambil dalam
memberdayakan masyarakat dalam pengembangan agroekowisata dengan memanfaatkan modal sosial.
2. Dirumuskannya model pengembangan agroekowisata berbasis modal sosial. 3. Dapat menjadi bahan masukan dan saran bagi para pelaku pengembangan
agroekowisata serta pengambil kebijakan (pemerintah), untuk memberdayakan dan merumuskan penyesuaian kelembagaan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan tetap memperhatikan kearifan lokal sebagai bagian dari modal sosial.
(25)
(26)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Modal Sosial
Modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spectrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 1996).
Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bias diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas masyarakat dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan keteguhan hati (dependability). Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum, dimana merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor yang penting bagi kesehatan ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar kultural (Fukyama,1996). Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi untuk mencapai kemajuan ekonomi bagi masyarakat atau bangsa tersebut (Durkheim, 1973). Secara umum modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial
(27)
(social glue) yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama. Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat. Pada masyarakat memiliki kapabilitas trust yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas trust yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), akan memiliki potensi modal sosial yang lemah.
Modal sosial dirintis Hanifan (1916) di Virginia (Aghajanian, 2012) menyatakan bahwa modal sosial merupakan sesuatu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat seperti simpati, hubungan sosial dalam masyarakat, dan kehidupan bermasyarakat yang membentuk suatu unit sosial. Makna modal sosial itu mengacu pada kekuatan hubungan sosial dalam bermasyarakat, termasuk kehidupan individu dalam keluarga, maupun kelompok sosial. Kekuatan hubungan sosial tercermin dari perilaku baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta membina hubungan dan kerja sama yang erat diantara individu dalam keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Kushandajani, 2006). Konsep ini didaur ulang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Konsep modal sosial (social capital) diperkenalkan kembali oleh Putnam (1993) sewaktu meneliti Italia pada tahun 1985. Fukuyama berpendapat bahwa tidak ada kesepakatan tentang definisi yang pasti tentang modal sosial.
(28)
Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah kemampuan warga untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Schaft dan Brown (2002) menyatakan bahwa modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama masyarakat dapat diselenggarakan dengan mudah. Modal sosial menurut Fukuyama ( 1991) adalah serangkaian nilai atau norma sosial yang dihayati oleh anggota kelompok, yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara para anggota. Salah satu modal sosial yang terpenting adalah trust atau kepercayaan. Pendapat tersebut didukung oleh Paldam (2000) bahwa kepercayaan adalah keyakinan para anggota masyarakat dan dapat diandalkan karena saling berlaku jujur. Kepercayaan bagaikan minyak pelumas yang akan membuat kelompok masyarakat atau organisasi dapat bertahan.
Setiap masyarakat memiliki persediaan modal sosial yang berbeda-beda dalam radius dari kepercayaan, yaitu seberapa jauh jangkauan norma-norma moral kerjasama, seperti kejujuran pemenuhan kewajiban, solidaritas, dan rasa keadilan berlaku. Apakah kepercayaan satu terhadap lainnya berlaku untuk keluarga atau kelompoknya saja, atau berlaku juga bagi kelompok yang lebih luas. Kepercayaan merupakan unsur penting dalam pembentukan modal sosial (social capital), yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas nasional. Hilangnya kepercayaan ini mengakibatkan banyak energi dan waktu terbuang untuk mengatasi berbagai konflik yang terjadi. Pembentukan modal sosial dan kepercayan tidak terlepas dari permasalahan budaya. Semakin tinggi nilai modal sosial suatu masyarakat semakin tinggi pula tingkat kebudayaannya. Pada akhirnya budaya menjadi fokus dalam perbaikan kualitas kehidupan bangsa.
(29)
Coleman (1990) mengemukakan
k
onsep modern tentang modal sosial. Modal sosial menjadi fokus diskusi dan penelitian serta pengembangannya dalam berbagai kebijakan pembangunan terutama banyak diilhami oleh karya-karya Robert D Putnam seperti; (1) making democracy work: civic transition in modern Italy, 1993, dan bowling alone: america’s declining social capital,1995. Begitu juga dengan Fukuyama dengan karyanya; (1) the end of history and the last man, 1992; (2) trust, the social virtues and the creation of prosperity, 1995; (3) the great disruption, human nature and the reconciliation of human order, 1999; (4) social capital and civil society, 1999; (5) social capital and development: the coming, 2002, dan karyanya yang lain. Bordieu (1983, 1986) dengan teori sosialnya. Coleman (1998) yang mengkhususkan bahasannya pada dimensi modal sosial dan pendidikan serta masih banyak lagi para pemikir modal sosial yang lainnya.Berdasarkan teori yang dikemukakan tersebut, modal sosial merupakan kemampuan seseorang untuk bekerja sama dalam kelompoknya. Kemampuan tersebut terlaksana karena adanya kepercayaan yang kuat untuk membangun kerja sama melalui jaringan interaksi dan komunikasi yang harmonis dan kondusif. Intensitas komunikasi yang tinggi dan dalam waktu yang lama memungkinkan hubungan tersebut diikat dengan norma aturan yang belaku.
2.1.1 Definisi modal sosial
Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
(30)
dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal.
Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu modal manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial.
Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial rendah. Collin (1981) melakukan kajian tentang apa yang dia sebut sebagai phenomena mikro dan interaksi sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri dalam suatu masyarakat.
Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma asosiasi atau norma kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial
(31)
dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk. Pada akhirnya mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.
Bank Dunia (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan- hubungan yang tercipta, dan norma norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Cohen dan Prusak (2001) memberikan pengertian bahwa modal sosial sebagai stok dan hubungan yang aktif antarmasyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh kepercayaan (trust) kesalingpengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif.
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa modal sosial adalah modal yang dalam prakteknya telah lahir sejak manusia membentuk komunitas dalam kurun waktu yang cukup lama. Kebersamaan tersebut melahirkan rasa saling percaya, saling terbuka, saling memperhatikan atau saling memberi dan menerima tanpa pamrih. Kepercayaan yang melekat pada setiap individu dalam komunitas tersebut memberi ruang untuk selalu melakukan interaksi dan membangun relasi yang intim, serta jaringan yang lebih luas dalam memenuhi kebutuhan baik individu maupun kelompok yang dibingkai oleh norma aturan yang dibuat bersama.
Jadi modal sosial dapat dikatakan sebagai pendorong terlaksananya modal-modal lain. Modal sosial lebih menekankan pada hubungan antar manusia yang terlihat jelas dari adanya relasi dan interaksi diantara pihak yang terlibat dan modal manusia ditekankan pada kemampuan manusia dalam kualitas diri yang ditunjukan
(32)
oleh kinerja yang nyata dapat diukur melalui kemampuan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan lain-lain.
2.1.2 Unsur pokok modal sosial
1. Partisipasi dalam suatu jaringan. Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pula pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial. Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergetis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.
2. Resiprocity. Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu. Pada masyarakat, dan pada kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Keuntungan
(33)
lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah membangun diri, kelompok, lingkungan sosial, dan fisik secara hebat.
3. Trust. Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling kurang yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993, 1995, dan 2002). Dalam pandangan Fukuyama (1996), kepercayaan adalah sikap saling mempercayai di masya-rakat, memungkinkan masyarakat tersebut bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
4. Norma sosial. Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.
5. Nilai-Nilai. Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat.
(34)
6. Tindakan proaktif. Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan
yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Ide dasar dan premis ini, bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif. Mereka melibatkan diri dan mencari kesempatan kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dan sisi material tapi juga kekayaan hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok, tanpa merugikan orang lain, secara bersama-sama. Mereka cenderung tidak menyukai bantuan bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif.
7. Modal sosial yang menjembatani (bridging social capital). Bentuk modal sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dan suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip universalisme tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan dan kemanusiaan (humanitarian), terbuka, dan mandiri.
Prinsip pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dan setiap anggota kelompok. Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan dan kemanusiaan. Bahwasan-nya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota
(35)
dan orang lain merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok atau melalui masyarakat tertentu.
2.1.3 Bentuk modal sosial
Memperhatikan berbagai pengertian modal sosial yang sudah dikemukakan, maka pengertian modal sosial yang lebih luas adalah berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan terbentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan genealogis, dan lain-lain. Namun pembentukan jaringan masyarakat untuk mendapatkan modal sosial perlu diorganisasikan dalam suatu institusi dengan perlakuan khusus. Mekanisme modal sosial yang dapat dilakukan adalah dengan cara kerjasama.
Kerjasama merupakan salah satu upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku dalam mengatasi konflik. Konflik tersebut timbul karena tingkah laku seseorang atau kelompok yang dianggap menjadi penghambat bagi orang atau kelompok lain dan berdampak pada ketidakharmonisan. Dengan demikian ciri modal sosial sebagai sebuah modal yang bersifat sosial, dapat membentuk relasi sosial yang mampu bersinergi dan berkompetisi untuk mencapai kemenangan.
Modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan untuk menggam-barkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial. Berdasarkan penjabaran yang dikemukakan pengertian modal sosial yang berkembang selama ini mengarah pada terbentuknya tiga level modal
(36)
sosial, yakni pada level nilai, kultur, persepsi, dan institusi, serta mekanisme, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Level Modal Sosial
Sumber : Diadaptasi dari Praktikno, dkk. (2001)
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan, dalam pengertian yang luas, modal sosial bisa berbentuk jaringan sosial atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati, kewajiban, norma pertukaran, dan civic engagement yang kemudian diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khsusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Dalam level mekanis-menya, modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama sebagai upaya penye-suaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik.
Kahne dan Baeily (1999) membingkai modal sosial dengan kebersamaan yaitu modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga yang lain yang mungkin masih berada dalam satu etnis. Disini masih berlaku sistem kekerabatan
Nilai, Kultur, Persepsi : Simpati, kewajiban, kepercayaan,
norma pertukaran
Institusi:
Ikatan antar dan dalam institusi, jaringan
Mekanisme :
Tingkah laku, kerja sama, sinergi
(37)
berdasarkan klen. Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati/kebersamaan, mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang mereka percaya.
Dalam komunitas ini, rule of law/aturan main merupakan aturan atau kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan sanksi yang jelas seperti aturan Undang-Undang. Namun ada juga sanksi non formal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa pengucilan, rasa tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya ( Kahne dan Bailey, 1999).
Hal ini berakibat akan adanya social order/keteraturan dalam masyarakat. Selanjutnya, adalah tipe perikatan, merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Hal ini muncul karena berbagai macam kelemahan yang ada di sekitarnya sehingga kelompok masyarakat tersebut memutuskan untuk membangun suatu kekuatan dari kelemahan yang ada.
Aldridge (2001) menggambarkannya sebagai “pelumas sosial”, yaitu pelancar dari roda-roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah komunitas. Wilayah kerjanya lebih luas dari pada tipe yang pertama.
Modal sosial bisa bekerja lintas kelompok etnis, maupun kelompok kepentingan. Misalnya “Asosasi Masyarakat Adat Indonesia.” Kelompok ini bisa beranggotakan seluruh masyarakat adat yang ada di Indonesia, baik di Sumatra,
(38)
Kalimantan, sampai dengan Papua. Keanggotaannya lebih luas dan tidak hanya berbasis pada kelompok tertentu (Tempo Interaktif Kamis 20 September 2001).
Sementara itu secara lebih jelas, Woolcock (2002) mencoba membedakan tiga macam tipe modal sosial yaitu: ( 1) Modal Sosial: karakteristik karena adanya
ikatan yang kuat (atau "perekat sosial") seperti antara anggota atau antara anggota keluarga dari kelompok etnis; (2) hubungan yang menjembatani; dan (3) hubungan sosial yakni menghubungkan karakteristik sosial melalui hubungan antara orang dengan tingkat kekuasaan yang berbeda atau seperti hubungan status sosial antara elit politik dan masyarakat atau antara individu dari kelas sosial yang berbeda.
Ketiga pandangan tersebut sebenarnya merupakan prinsip yang menjadi dasar pengelompokan modal sosial, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Modal sosial yang mengikat (bounding social capital) merupakan jenis modal sosial lebih banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karenanya menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat mikro dan komunal karena itu hubungan yang terjalin di dalamnya lebih bersifat eksklusif. Sedangkan modal sosial yang menjembatani) sebaliknya, ia lebih bersifat inklusif dengan lebih banyak menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang melekat padanya. Modal sosial yang menghubungkan (social linking) merupakan modal sosial yang bergerak pada tataran lebih luas, karena mereka tidak membedakan kelas dan status sosialnya.
Konferensi tingkat tinggi (KTT) pembangunan sosial yang dilaksanakan di Kopenhagen Maret 1995, konsep modal sosial menjadi topik yang hangat dan kata kunci dalam merespon tiga agenda pokok konferensi yakni: mengurangi
(39)
kemiskinan, menciptakan angkatan kerja yang produktif, dan meningkatkan integrasi sosial (Raharjo, 2001). Gambar 2.2 menunjukkan bahwa modal sosial pada praktiknya tidak hanya membawa dampak positif tapi juga dampak negatif aktivitas agroekowisata, bila tidak dikelola dengan baik. Munculnya dampak negatif ini, disebabkan oleh keterbatasan dalam modal sosial, antara lain akibat dari pendekatan, unit analisis, rentang cakupan, dan orientasi analisis yang masih sangat luas dan multidimensional, sehingga menyulitkan dalam pengukuran dan pengembangan kapasitas modal sosial untuk berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat pada segala bidang, termasuk dalam pengembangan agroekowisata.
Gambar 2.2
Interrelasi Modal Sosial dengan Berbagai Faktor Sumber: diadaptasi dari Hasbullah ( 2006) Faktor Luar Komunitas
1. Agama 2. Globalisasi 3. Urbanisasi
4. Politik dan pemerintahan 5. Kebijakan pemerintah 6. Pendidikan
7.Hukum dan UU 8. Tingkat kriminalitas 9. Nilai-nilai universal
Modal Sosial 1.Kelompok/Group
2.Identitas Kolektif: Norma / nilai; trust reciprocity, partisipasi dan proactivity 3. Tujuan bersama
4. Kerja sama kelompok (group
collaboration)
Faktor Dalam Komunitas 1. Organisasi sosial dalam
komunitas: Kepercayaan lokal, pola, dan sistem produksi, serta reproduksi, serta politik lokal
2. Norma dan nilai-nilai (nilai uang, waktu, dan nilai-nilai yang melekat dalam komunitas)
Jaringan Sosial (Group and Social Network) 1. Typology jaringan (Network type : bonding, bridging & lingking)
2. Struktur jaringan ( relasi kekuasaan, rentang, & besaran, orientasi hubungan, dll)
3.Spektrum transaksi jaringan & kualitas jaringan (network transaction and network qualities: support strukture, kualitas interaksi)
Hasil/Dampak Positif Social Capital 1. Kohesifitas kelompok
2. Memperluas jaringan eskternalitas positif 3. Sikap toleran dan inklusif
4. Meningkatnya ketahanan sosial dan komu-nitas, mampu mengatasi kerawanan sosial. 5. Lebih mengoptimalkan pd pembangunan 6. Meningkatnya pengetahuan, ide baru dan
kesejahteraan masyarakat
Hasil/Dampak Negatif Social Capital 1. Eksklusifisme sosial, kesukuan, & sektarian 2. Sikap intoleran pada perbedaan & pihak lain 3. Hancurnya kesatuan
4.Korupsi & nepotisme atas nama kelompok 5. Munculnya hambatan pembangunan 6.Penentangan terhadap perubahaan
(40)
2.1.4 Peran dan fungsi modal sosial
Modal sosial mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: (1) alat untuk menyelesaikan konflik yang ada di dalam masyarakat; (2) memberikan kontribusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial; (3) membentuk solidaritas sosial masyarakat dengan pilar kesukarelaan; (4) membangun partisipasi masyarakat; (5) sebagai pilar demokrasi; dan (6) menjadi alat tawar menawar pemerintah
Disintegrasi sosial terjadi karena potensi konflik sosial yang tidak dikelola secara efektif dan optimal, sehingga termanifest dengan kekerasan. Sebagai alat untuk mengatasi konflik yang ada di dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya hubungan antara individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat yang bisa menghasilkan trust, norma pertukaran serta civic engagement yang berfungsi sebagai perekat sosial yang mampu mencegah adanya kekerasan.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa dalam kehidupan yang positif diperlukan adanya perubahan di dalam masyarakat. Dari modal sosial yang eksklusif dalam suatu kelompok menjadi modal sosial yang inklusif yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis.
2.1.5 Tiga tipe modal sosial
Woolcock (2001) menyebutkan tiga tipe modal sosial sebagai berikut.
1. Social bounding ( perekat sosial) nilai, kultur, persepsi, dan tradisi atau adat-istiadat. Pengertian social bounding adalah, tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga lain.
(41)
Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati /kebersamaan. Bisa juga menwujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yg mereka percaya. Rule of law/aturan main merupakan aturan atau kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan sanksi yang jelas seperti aturan Undang-Undang. Namun ada juga sangsi non-formal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa pengucilan, rasa tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komuni-tasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya. Hal ini berakibat akan adanya sosial order/ keteraturan dalam masyarakat.
2. Social bridging (jembatan sosial), bisa berupa institusi maupun mekanisme. Social bridging merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada di sekitarnya, sehingga mereka memutuskan untuk membangun kekuatan dari kelemahan.
Social bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Tujuannya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat agar masyarakat mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik SDM (sumber daya manusia) dan SDA (sumber daya alam) dapat dicapai.
Kapasitas modal sosial termanifestasikan dalam ketiga bentuk modal sosial tersebut (nilai, institusi, dan mekanisme) yang dapat memfasilitasi dan
(42)
menjadi arena dalam hubungan antarwarga, antarkelompok yang berasal dari latar belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama, maupun tingkatan sosial ekonomi. Ketidakmampuan untuk membangun nilai, institusi, dan mekanisme bersifat lintas kelompok akan membuat masyarakat yang bersangkutan tidak mampu mengembangkan modal sosial untuk membangun integrasi sosial. 3. Social linking (hubungan/jaringan sosial). Merupakan hubungan sosial yang
dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya: Hubungan antara elite politik dengan masyarakat umum. (Dalam hal ini elite politik yang dipandang khalayak sebagai public figure/tokoh, dan mempunyai status sosial dari pada masyarakat kebanyakan. Namun mereka sama-sama mempunyai kepentingan untuk mengadakan hubungan.
Pada dasarnya ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung dari keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat dalam ikatan sosial tergantung bagaimana individu dan masyarakat memaknainya.
2.1.6 Parameter dan indikator modal sosial
Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma, dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat.
(43)
Namun demikian, pada masyarakat dikenal beberapa jenis modal, yaitu modal budaya (cultural capital), modal manusia (human capital), modal keuangan (financial capital) dan modal fisik.
Modal budaya lebih menekankan pada kemampuan yang dimiliki seseorang, yang diperoleh dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitarnya Modal keuangan merupakan uang tunai yang dimiliki, tabungan pada bank, investasi, fasilitas kredit dan lainya yang bisa dihitung dan memiliki nilai nominal. Modal fisik dikaitkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan material atau fisik. (Putnam, 1993).
Modal manusia lebih merujuk pada kemampuan, keahlian yang dimiliki individu. Manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia, yakni: modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal ketabahan (adversity), modal moral, dan modal kesehatan (Ancok, 2007). Jadi modal sosial berbeda dengan modal lain tersebut, karena modal sosial bersifat kumulatif dan berkembang dengan sendirinya (Putnam, 1993). Karenanya, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan.
Berbeda dengan modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988). Manusia sebagai makhluk multidimensi berkontribusi besar sebagai modal tenaga kerja
(44)
melalui dua potensi modal yang melekat padanya yakni modal manusia dan modal sosial. Pembangunan ekonomi suatu wilayah sepantasnya diawali dengan pembangunan komponen modal sosial dan modal manusia. Modal sosial sendiri diukur melalui partisipasi dalam kegiatan sosial sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Penekanan tingkat kemiskinan ini dilaksanakan melalui eksternalitas positif (transfer pengetahuan dan teknologi) yang memengaruhi produktivitas rumah tangga (Alesina dan Ferrara, 1999).
Setiap program pengembangan pembangunan diperlukan sumberdaya manusia berkualitas untuk mencapai tujuannya. Sumber daya manusia yang dimaksud mencakup modal manusia yang ditekankan pada kualitasnya, dan modal sosial untuk memercepat proses dan mutu hasil pengembangan pembangunan. Mengacu pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antarmanusia tersebut menghasilkan kepercayaan dan memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1996).
Kedua sumberdaya tersebut memiliki keunikan masing-masing. Jadi keunikan pada modal manusia terlihat pada kecerdasan yang nyata dilihat melalui ketrampilan, jenjang pendidikan formal, dan pada modal sosial terlihat pada kemampuan bekerja sama dan meluasnya jaringan kerja sama dan relasi yang dibangun oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu komunitas. Perbedaan modal manusia dan modal sosial tersebut dapat dilihat dari sisi fokus, ukuran, output, dan model (Coleman, 1988).
(45)
Tabel 2.1
Perbedaan Modal Manusia dan Modal Sosial
No. Faktor pembeda
Modal
Manusia Sosial
1. Fokus terletak pada potensi perorangan
misalnya dalam hal mutu sumberdaya manusia
terletak pada hubungannya dengan jejaring sosial yang dibentuk organisasi. Basisnya adalah saling percaya di antara individu. Hal ini menjadi modal dalam membangun kerjasama dan solidaritas.
2. Pengukuran Jauh lebih mudah, bisa dilihat dari lamanya sekolah, kualifi-kasi, dan kompetensinya. Terma-suk dapat diukur kiner-janya yang merupakan fungsi dari mutu sumberdaya manusianya.
Cukup sulit dilihat dari gam-baran abstrak tentang sikap (nilai), partisipasi dan keperca-yaan. Dan sering dilihat dari gambaran sejauh mana modal sosial, misalnya kekuatan jeja-ring sosial ekonomi mampu mengembangkan program pengembangan organisasi.
3. Output Pendapatan dan produktifitas;
dan tak langsung berupa kese-hatan dan kegiatan sosial di lingkungan organisasi
Bisa berdampak pada ekonomi masyarakat. Misalnya kohesi sosial akan mampu memerkuat jejaring sosial sehingga dapat memerlancar usaha-usaha eko-nomi bisnis masyarakat seki-tarnya. Begitu pula pelatihan dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja namun juga bisa meningkatkan kemam-puan seseorang dalam memba-ngun jejaring sosial.
4. Model Sangat terkait dengan
keberha-silan investasi. Secara langsung pengaruhnya dapat dilihat dalam meningkatkan pendapatan bisnis.
Tidak mudah melihat dampak-nya terhadap pengembangan organisasi.
Lebih menonjol adalah terja-dinya proses interaktif antar-komponen karyawan secara sirkular. Pengaruhnya adalah dalam memerkuat model pengembangan elemen modal sosial yang ada.
(46)
Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks).
1. Kepercayaan. Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1996), kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya kita mengharapkan orang lain untuk mewujudkan niat baik, dan percaya kepada sesama manusia. Kita cenderung untuk bekerja sama, untuk berkolaborasi dengan orang lain dalam hubungan kolegial / kekerabatan. (Cox, 1995). Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie (kekacauan tanpa aturan) dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).
2. Norma. Norma-norma terdiri atas pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993;
(47)
Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.
3. Jaringan sosial. Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain, mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.
Berdasarkan pada parameter tersebut, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain: (1) perasaan identitas; (2) perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi; (3) sistem kepercayaan dan ideologi; (4) nilai-nilai dan tujuan-tujuan; (5) ketakutan-ketakutan; (6) sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat; (7) persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial); (8) opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu; (9) keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya; (10) tingkat kepercayaan; (11) kepuasaan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya; dan (12) harapan yang ingin dicapai di masa depan (Spellerber, 1997; Suharto, 2005).
(48)
Modal sosial dapat dikatakan lahir dari bawah (bottom-up), tidak hierarkis dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, modal sosial bukan merupakan produk dari inisiatif dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).
Kaitannya dengan agroekowisata bahwa modal sosial yang bersifat bottom-up lebih menekankan pada pemberdayaan berbasis masyarakat. Kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk membangun diri sendiri dapat membang-kitkan semangat kemandirian yang tinggi. Sebaliknya pengembangan agroeko-wisata berbasis investasi, sarat dengan berbagai kebijakan publik yang cenderung mengikat dan memaksa. Jika kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan modal sosial, dapat mematikan kreativitas masyarakat dan menjurus pada kehancuran. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pretty menampilkan posisi strategis dalam pengentasan kemiskinan dan pembanguan pertanian.
Posisi strategis modal sosial dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan pertanian tergambar dalam konsep dan pendekatan “asset-based sustainable development” atau pembangunan pertanian berkelanjutan dari Pretty (1999), dan konsep “The Sustainable Livelihoods Framework” atau kerangka penghidupan berkelanjutan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.
(49)
yag
Kerangka penghidupan berkelanjutan merupakan aset penghidupan berkelanjutan yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, mencakup modal alam, modal sosial, modal manusia, modal finansial, dan modal fisik yang dijabarkan berikut. (1) Modal alam : tanah dan penghasilan, sumber air dan air, pohon dan hasil hutan, margasatwa, makanan liar dan serat, keanekaragaman hayati, jasa lingkungan; (2) Modal sosial: jaringan dan koneksi, perlindungan, lingkungan, kekerabatan, hubungan kepercayaan dan saling mendukung, kelompok formal dan informal, aturan umum dan sanksi representasi kolektif, mekanisme partisipasi dalam pengambilan keputusan, kepemimpinan; (3) Modal manusia: kesehatan, makanan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, kapasitas untuk bekerja, kapasitas untuk beradaptasi; (4) Modal fisik : infrastruktur; transportasi - jalan, kendaraan, Faktor konstektual: 1)Lingkungan pertanian 2)iklim 3)budaya 4)ekonomi 5)hukum 6)politi 7)sosial Dibentuk oleh: lembaga dan kebijakan eksternal
Modal alam yang terbarukan Modal sosial: vertikal dan horisontal proses partisipasi Keterampilan dan teknologi baru
input bukan yang terbarukan
Finansial: pendapatan, kredit, jaminan
Petani, sistem ke-hidupan, masy.
Dengan akses pada stok modal
berikut: modal alam, modal sosial, modal manusia, modal fisik, dan
modal finansial
Akumulasi pada: Modal alam Modal manusia
Modal sosial
Makanan dan produk pasar lain
Menipisnya: Modal alam Modal manusia Modal sosial Fungsi positif Fungsi negatif Gambar 2.3
Konsep Aset Berbasis Model Sistem Pertanian ( Pretty, 1999)
(50)
penampungan aman dan bangunan; pasokan air dan sanitasi; energi; komunikasi; alat dan teknologi; alat dan peralatan untuk produksi; benih, pupuk, pestisida; teknologi tradisional; (5) Modal finansial : tabungan, kredit / utang - formal, informal, LSM , pengiriman uang, pensiun, dan upah (IFAD, 2014).
Mengacu pada paparan tentang modal sosial yang telah dikemukakan, maka parameter modal sosial yang digunakan untuk kajian dalam penelitian ini adalah kepercayaan, norma, dan jaringan sosial. Pretty (1999), Dharmawan (2007), IFAD (2014)
Gambar 2.4
Aset Penghidupan Berkelanjutan Sumber: Dharmawan (2007), IFAD (2014)
Modal manusia
Modal alam Modal
sosial
Modal fisik
Modal finansial Kemiskinan
(51)
2.2 Agroekowisata, Partisipasi, Pengetahuan, dan Sikap
2.2.1 Agroekowisata
Sebelum memahami agroekowisata, perlu diulas tentang agrowisata. Dalam istilah sederhana, agrowisata atau agritourism didefinisikan sebagai perpaduan antara pariwisata dan pertanian dimana pengunjung dapat mengunjungi kebun, peternakan atau kilang anggur untuk membeli produk, menikmati pertunjukan, mengambil bagian aktivitas, dan makan suatu makanan atau melewatkan malam bersama di suatu areal perkebunan atau taman.
Agrowisata atau agritourism adalah sebuah alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali potensi ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan (Farmstop, 2013). Di Indonesia, agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata dan bertujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.
Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Deptan, 2012).
(1)
menjadi idola bagi atletnya dan orang lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain misalnya seorang siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses dalam pembelajaran penjas maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas jasmani yang ditunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung teman-temannya untuk beraktivitas jasmani dengan benar; (3) Faktor lingkungan. Lingkungan alam terkadangdapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Misal-nya orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku sosialnya seolah keras pula, ketika berada di lingkungan masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalam bertutur kata; dan (4) Tata budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi. Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda.
2.2.8.3 Bentuk dan jenis perilaku sosial
Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan oleh sikap sosialnya. Sikap menurut Azhari (2004) adalah “suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Sedangkan sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial yang menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap salah satu obyek sosial (Gerungan, 2012).
Berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang pada dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian yang dapat teramati ketika seseorang
(2)
berinteraksi dengan orang lain. Seperti dalam kehidupan berkelompok, kecen-derungan perilaku sosial seseorang yang menjadi anggota kelompok tertentu terlihat jelas diantara anggota kelompok yang lainnya. Perilaku sosial dapat dilihat melalui sifat-sifat dan pola respon antarpribadi sebagai berikut.
1. Kecenderungan perilaku peran mencakup: (1) Sifat pemberani dan pengecut secara sosial. Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial, biasanya dia sukamempertahankan dan membela haknya, tidak malu-malu atau tidak seganmelakukan sesuatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat dalam mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat tenaga. Sedangkan sifatpengecut menunjukkan perilaku atau keadaan sebaliknya, seperti kurang suka mempertahankan haknya, malu dan segan berbuat untuk menge-depankan kepentingannya; (2) Sifat berkuasa dan sifat patuh. Orang yang memiliki sifat sok berkuasa dalam perilaku sosial biasanya ditunjukkan oleh perilaku seperti bertindak tegas, berorientasi kepada kekuatan, percaya diri, berkemauan keras, suka memberi perintah dan memimpin langsung. Sedangkan sifat yang patuh atau penyerah menunjukkan perilaku sosial yang sebaliknya, misalnya kurang tegas dalam bertindak, tidak suka memberi perintah dan tidak berorientasikepada kekuatan dan kekerasan; (3) Sifat inisiatif secara sosial dan pasif. Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka mengorganisasi kelompok, tidak sauka mempersoalkan latar belakang, suka memberi masukan atau saran-saran dalam berbagai pertemuan, dan biasanya suka mengambil alih kepemimpinan. Sedangkan sifat orang yang pasif secara sosial ditunjukkan oleh perilaku yang bertentangan dengan sifat
(3)
orang yang aktif, misalnya perilakunya yang dominan diam, kurang berinisiatif, tidak suka memberi saran atau masukan; dan (4) Sifat mandiri dan tergantung. Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat segala sesuatunya dilakukan oleh dirinya sendiri, seperti membuat rencana sendiri, melakukan sesuatu dengan cara-cara sendiri, tidak suak berusaha mencari nasihat atau dukungan dari orang lain, dan secara emosiaonal cukup stabil. Sedangkan sifat orang yang ketergantungan cenderung menunjukkan perilaku sosial sebaliknya dari sifat orang mandiri, misalnya merencanakan dan melakukan segala sesuatu harus mendapat saran dan dukungan orang lain, dan keadaan emosionalnya relatif labil.
2. Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial: (1) Dapat diterima atau ditolak oleh orang lain. Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang lain biasanya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, loyal, dipercaya, pemaaf dan tulus menghargai kelebihan orang lain. Sementara sifat orang yang ditolak biasanya suak mencari kesalahan dan tidak mengakui kelebihan orang lain; (2) Suka bergaul dan tidak suka bergaul. Orang yang suka bergaul biasanya memiliki hubungan sosial yang baik, senang bersama dengan yang lain dan senang bepergian. Sedangkan orang yang tidak suak bergaul menunjukkan sifat dan perilaku yang sebaliknya; (3) Sifat ramah dan tidak ramah. Orang yang ramah biasanya periang, hangat, terbuka, mudah didekati orang,dan suka bersosialisasi. Sedang orang yang tidak ramah cenderung bersifat sebaliknya; dan (4) Simpatik atau tidak simpatik. Orang yang memiliki sifat simpatik biasanya peduli terhadap perasaan dan keinginan orang lain,
(4)
murah hati dan suka membela orang tertindas.Sedangkan orang yang tidak simpatik menunjukkna sifat-sifat yang sebaliknya.
3. Kecenderungan perilaku ekspresif yakni: (1) Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka bersaing (suka bekerjasama). Orang yang suka bersaing biasanya menganggap hubungan sosial sebagai perlombaan, lawan adalah saingan yang harus dikalahkan, memperkaya diri sendiri. Sedangkan orang yang tidak suka bersaing menunjukkan sifat-sifat yang sebaliknya; (2) Sifat agresif dan tidak agresif. Orang yang agresif biasanya suka menyerang orang lain baik langsung ataupun tidak langsung, pendendam, menentang atau tidak patuh pada penguasa, suka bertengkar dan suka menyangkal. Sifat orang yang tidak agresif menunjukkan perilaku yang sebaliknya; dan (3) Sifat kalem atau tenang secara sosial. Orang yang kalem biasanya tidak nyaman jika berbeda dengan orang lain, mengalami kegugupan, malu, ragu-ragu, dan merasa terganggu jika ditonton orang. Orang yang suka pamer biasanya berperilaku berlebihan, suka mencari pengakuan, berperilaku aneh untuk mencari perhatian orang lain.
Perilaku sosial individu menurut Krech, et al. (1962), bahwa sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial. Lebih lanjut Krech et al. (1962)
(5)
mengungkapkan bahwa untuk memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari : (1) Kecenderungan peranan (role disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu, (2) Kecenderungan sosiometrik (sociometric disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, dan kepercayaan terhadap individu lain, dan (3) Ekspressi (expression disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Selanjutnya diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan peranan (role
disposition) terdapat empat kecenderungan yang bipolar, yaitu. (1)
Ascendance-social timidity. ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal; (2) Dominace-submissive. Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) Social initiative-social passivity. Social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh; dan (4) Independent–dependence. Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergan- tung pada orang lain.
Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, jika menunjukkan ciri-ciri
(6)
respons interpersonal sebagai berikut: (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai ketika menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut. (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila melakukan suatu tindakan.
Kecenderungan tersebut adalah hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau.
Berdasarkan bentuknya perilaku dapat dibedakan ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau partisipasi yang sering disebut dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).