commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu proses yang hasilnya baru bisa dirasakan
setelah berlangsung beberapa tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Tindakan,
perilaku dan sikap anak saat ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul terbentuk atau bahkan pemberian dari Yang Maha Kuasa. Ada sebuah proses
panjang sebelumnya yang kemudian membuat sikap dan perilaku tersebut melekat pada dirinya.
Kultur sekolah merupakan budaya sekolah yang tercermin dari perilaku berbagai komponen sekolah baik kepala sekolah, guru, peserta didik, pegawai,
dan staf sekolah. Perpaduan tiga unsur
three in one
baik peserta didik, guru, dan orang tua yang bekerjasama dalam menciptakan komunitas lebih baik
melalui pendidikan yang berkualitas, serta bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, menjadikan sebuah sekolah unggul
dan favorit di masyarakat. Menurut Deal dan Peterson “ Budaya sekolah adalah
sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan, keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas
administrasi, peserta didik, masyarakat sekitar sekolah “. Muhaimin, 2006: 133
Lingkungan pendidikan yang harmonis dalam suasana kekeluargaan merupakan faktor pendukung terselenggaranya kegiatan pembelajaran yang baik,
sebab dengan lingkungan yang aman dan nyaman serta bersahabat, peserta didik
commit to user 2
akan tenang dalam belajar. Budaya sekolah sebagai karakteristik khas sekolah yang dapat diidentifikasi melalui nilai yang dianutnya, kebiasaan-kebiasaan yang
ditampilkannya, dan tindakan yang ditunjukkan oleh seluruh personil sekolah yang membentuk satu kesatuan khusus dari sistem sekolah. Budaya sekolah ini
merupakan seluruh pengalaman psikologis peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam
lingkungan sekolah ” Budaya sekolah efektif merupakan nilai-nilai, kepercayaan,
dan tindakan sebagai hasil kesepakatan bersama yang melahirkan komitmen seluruh personil untuk melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten
“. Aan Komariah dan Triatna, 2006: 102.
Krisis akhlak yang menimpa Indonesia saat ini berawal dari lemahnya penanaman nilai-nilai terhadap anak-anak baik dari orang tua , guru atau
komunitas masyarakat. Usaha mengembangkan pendidikan karakter tidak dapat berdiri sendiri. Pendidikan karakter mesti dipahami sebagai sebuah usaha bersama
yang dilakukan oleh sekolah, keluarga, komunitas masyarakat dan negara untuk membantu anak-anak muda dalam memahami, menumbuhkan nilai-nilai moral
fundamental yang berguna bagi pertumbuhan kepribadian mereka. Pendidikan karakter merupakan usaha pembudayaan dan pembudidayaan dalam lingkungan
pendidikan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 berbunyi :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
commit to user 3
Sekolah yang ingin mengembangkan pendidikan karakter dan pendidikan nilai bagi anak didiknya harus ada visi pendidikan karakter. Visi pendidikan
karakter yang ditetapkan sekolah merupakan cita yang akan diraih melalui kinerja lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas
dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan tersebut, setiap pengembangan karakter akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu
setiap sekolah semestinya menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter
yang dilakukan di dalam sekolah. Visi pendidikan di sekolah akan semakin menjiwai setiap individu ketika mereka semua merasa dilibatkan dalam penentuan
visi tersebut sehingga visi tersebut menjadi bagian dari keyakinan pribadi dan keyakinan komunitas sekolah.
Dengan visi tersebut, lembaga pendidikan itu memiliki misi, yaitu semacam penjabaran yang lebih praktis operasional, yang indikasinya dapat
diverifikasi, diukur, dan dievaluasi secara terus menerus. Misi adalah sebuah usaha menjembatani praksis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang
menjiwai seluruh gerak lembaga pendidikan. Bisa dikatakan tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan dilaksanakannya visi secara konsisten dan setia.
Visi yang baik akan membentuk kultur sekolah yang pada gilirannya akan memperbaiki prestasi dan mutu sekolah. Berkaitan dengan visi sekolah ini, ada
pendapat bahwa visi terdiri dari 6 lapisan . “Ada enam lapisan yang biasanya
dapat diamati langsung didalam sebuah lembaga pendidikan. Enam lapisan tersebut yaitu 1 operasional sekolah, 2 organisasi sekolah, 3 pembuatan
commit to user 4
program sekolah, 4 kebijaksanaan sekolah, 5 tujuan, 6 keyakinan dan asumsi”.
Doni Koesoema 2010: 157 – 158
Penjelasan tentang enam lapisan tersebut adalah sebagai berikut : Lapisan pertama adalah lapisan operasional sekolah. Didalam lapisan operasional
sekolah ini orang akan melihat secara langsung berbagai macam kegiatan rutin yang terjadi di sekolah, seperti kehadiran peserta didik, peserta didik yang berlari-
lari masuk kelas ketika mendengarkan bel sekolah, kegiatan upacara bendera, kegiatan olah raga. Kegiatan ini dapat dilihat dan diamati secara langsung.
Lapisan yang kedua adalah organisasi sekolah, antara lain pengaturan jadwal pelajaran, jadwal piket guru, struktur tugas guru dan struktur tugas karyawan,
struktur guru pembimbing, petugas perpustakaan dan petugas laboratorium. Lapisan ketiga adalah pembuatan program sekolah ini berkaitan langsung dengan
sasaran program seperti program pengayaan spiritualitas, program perencanaan anggaran, program sukses ujian nasional, program kokurikuler, ekstra kurikuler.
Lapisan keempat berkaitan dengan kebijaksanaan sekolah
policy
. Kebijaksanaan ni ada yang secara tertulis melalui aturan kepegawaian sehingga para guru
mengetahui proses-proses promosi kepegawaian, kebijaksanaan penerimaan peserta didik baru, tata tertib pegawai, tata tertib peserta didik.
Lapisan kelima berupa tujuan
purpose
sekolah. Tujuan ini biasa disebut visi dan agar operasional dan dapat terukur maka dijelmakan melalui rumusan misi.
Lapisan keenam adalah keyakinan dan asumsi. Keyakinan dan asumsi dalam sebuah lembaga pendidikan ini biasanya tidak tertulis, namun diyakini ada dan
menjadi dasar berlangsungnya proses pendidikan. Keyakinan ini antara lain,
commit to user 5
kepercayaan pada peserta didik bahwa mereka datang ke sekolah memiliki tujuan belajar dan mengembangkan dirinya, orang tua mempercayakan anaknya pada
sekolah untuk di didik dan orang tua percaya pada sekolah bahwa dengan menyerahkan anaknya ke sekolah mereka akan mendapat pendidikan.
Fenomena yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sangat mendesak untuk adanya aktualisasi program pendidikan karakter. Degradasi moral melanda para
generasi muda Indonesia, bahkan sebagian pakar menyebutkan bahwa Indonesia sedang pada posisi krisis multidimensional. Hal ini terlihat fenomena-fenomena
sebagai berikut 1. Di kalangan remaja banyak terjadi kekerasan dalam bentuk tawuran.
2. Perilaku yang tidak sopan kepada teman maupun gurunya. 3. Adanya pengaruh kelompok yang kuat dalam hal kekerasan.
4. Penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas semakin meningkat. 5. Ketidakjelasan tentang pedoman moral.
6. Hilangnya rasa hormat pada orang tua dan guru 7. Semakin banyak orang tidak jujur.
8. Rasa benci dan arogan antar sesama “ Ratna Megawangi, 2008 : 7
Masih cukup banyak generasi muda di sekolah menengah yang nakal seperti bolos sekolah dan mabuk-mabukan, padahal kita mengetahui bahwa kenakalan itu
potensial untuk kejahatan. Remaja yang nakal potensial untuk berkembang menjadi orang dewasa yang jahat.
Saat ini sedang gencarnya mengenai pendidikan karakter sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai krisis yang menimpa bangsa. Pendidikan karakter
dipandang sebagai satu solusi mendasar dalam membangun bangsa. Pendidikan karakter harus diajarkan secara kognitif dengan segala ketentuan akademiknya.
Karakter tidak dapat dibangun hanya diajarkan tetapi diinternalisasikan melalui pendekatan secara holistik. . Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu
commit to user 6
mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP, silabus
dan Rencana Program Pembelajaran RPP yang sudah ada. Prinsip pembelajaran agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan
selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri sendiri. Pendidikan Karakter merupakan pekerjaan bersama sebagai pendidik
untuk mampu membentuk karakter anak didik sehingga tercapai tugas perkembangannya secara optimal. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 6 dinyatakan bahwa “ Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan “. Konselor sekolah mengarah
pada profesi dan pembaharuan dalam memberikan bantuan kepada peserta didik untuk menyelesaikan masalah , membentuk karakter, mengembangkan bakat dan
minat serta dukungan kepada peserta didik dalam pencapaian prestasi akademik. Konselor sekolah menggunakan empat komponen untuk membentuk
karakter peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan konseling sehingga olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa bisa terintegrasi dengan baik dan pada
akhirnya tujuan dari pendidikan karakter bangsa, pendidikan nasional , bimbingan dan konseling dapat tercapai. Konselor sebagai profesi yang profesional memiliki
commit to user 7
tantangan di abad 21 ini untuk memberikan pembaharuan dan mampu menghapus paradigma negatif tentang tugas konselor. Kultur sekolah berbasis karakter lokal
dapat diterapkan melalui kegiatan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti pendapat Bimo Walgito 2010: 44 sebagai berikut:
Tugas seorang pembimbing di sekolah adalah membantu kepala sekolah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sekolah secara keseluruhan. Oleh
karena itu, sudah selayaknya bidang geraknya tidak terbatas kepada pemberian bimbingan dan konseling kepada anak didiknya saja, akan
tetapi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung
Karakter lokal adalah karakter yang digali dari nilai-nilai luhur budaya
bangsa kita, mungkin berupa pengetahuan lokal, ketrampilan lokal, kecerdasan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, norma-etika lokal, dan adat istiadat
lokal. Kota Kuduspun memiliki nilai karakter lokal yang disingkat Gusjigang kepanjangan dari bagus akhlaknya, pandai mengaji dan terampil berdagang.
Untuk menanamkan nilai-nilai karakter lokal sekolah berusaha menyelenggarakan kegiatan yang berbasis karakter melalui pembelajaran terintegrasi, kegiatan
keagamaan, kegiatan pembiasaan, dan juga kegiatan pengembangan diri yaitu Bimbingan dan Konseling serta kegiatan ekstra kurikuler. Kegiatan pembiasaan
seperti melakukan budaya sekolah. Dengan budaya sekolah yang baik akan bermanfaat dalam pembentukan karakter yang baik pula. Melalui pendidikan
karakter tersebut akan menciptakan peserta didik yang bermutu, tidak hanya dilihat dari aspek akademik saja namun juga dilihat dari sikap perilakunya. Para
peserta didik mendapat keuntungan untuk memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri mereka, membuat hidup
mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan
commit to user 8
dan memberi kepuasaan ketika para peserta didik memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar
untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin.
.
Kultur sekolah berbasis karakter lokal dalam hal ini yaitu sikap dan perilaku yang dapat melakukan budaya sekolah S 4 yaitu budaya senyum, salam,
sapa dan santun. Peserta didik dapat dikatakan sudah menerapkan budaya S 4 tersebut apabila bertemu dengan guru, bertemu dengan teman , bertemu dengan
orang lain disekitar sekolah dapat tersenyum, dapat memberi salam dan menyapa serta dapat menerapkan sikap sopan santun pada orang lain. Karakter lokal yang
diterapkan di sekolah mengacu karakter lokal kota Kudus yang di ajarkan Sunan Kudus yaitu bagus akhlaknya, pandai mengaji dan terampil berdagang. Namun
demikian tidak semua kultur sekolah dan karakter lokal tersebut dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, apalagi munculnya berbagai permasalahan yang
timbul di sekolah itu juga bisa jadi karena melemahnya nilai karakter pada peserta didik. Peserta didik yang terdiri dari beragam suku dan budaya seperti dari jawa
tengah, jawa barat, peserta didik dari keturunan cina, keturunan arab, batak kadang menyebabkan perselisihan dalam bergaul. Latar belakang keluarga peserta
didik yang berbeda seperti dari keluaraga kurang mampu, dari keluarga cukup mampu dan dari keluarga mampu, itu juga kadang menyebabkan permasalahan.
Atau permasalahan yang lain seperti peserta didik yang tidak tertib di sekolah, bila bertemu guru menghindar tidak menyapa, peserta didik yang tidak
menghormati guru seperti bermain
handpone
saat guru menerangkan pelajaran,
commit to user 9
berkata kasar pada teman, peserta didik yang tidak jujur yaitu mencontek saat ulangan, jajan tidak mau membayar. Perilaku tersebut mencerminkan Akhlak
yang kurang bagus. Kenyataan di lapangan berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara
pada tanggal 19 Oktober 2013 yang dilakukan peneliti dengan Koordinator BK di SMP 1 Kudus peserta didik belum sepenuhnya melaksanakan budaya sekolah
S4 senyum, salam, sapa dan santun serta belum sepenuhnya memiliki karakter lokal Gusjigang Bagus akhlaknya, pandai mengaji, terampil berdagang . Sikap
yang ditunjukkan misalnya adanya peserta didik yang mencontek waktu ulangan, adanya peserta didik yang tidak menghormati guru, peserta didik yang tidak
menyapa bila ketemu guru, atau peserta didik yang hanya mengenal guru yang mengajarnya saja. Permasalahan tersebut menandakan budaya dan karakter
peserta didik masih rendah. Apabila keadaan demikian tidak mendapatkan penanganan segera dari pendidik, maka peserta didik tidak dapat menerapkan
budaya sekolah yang baik dan tidak memiliki karakter yang baik. Gagasan penerapan pendidikan dan budaya bangsa dilakukan melalui tiga
jalur yaitu terintegrasi melalui pelajaran, pengembangan diri yang terjadwal dan yang tidak terjadwal, serta melalui budaya sekolah. Oleh karena itu permasalahan
penerapan kultur sekolah dan karakter lokal pada peserta didik tidak hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran saja, tetapi juga menjadi tanggung
jawab konselor di sekolah yaitu melalui layanan Bimbingan dan Konseling,. Pembentukan karakter melalui tiga jalur harus dapat diwujudkan. Namun
pengintegrasian pendidikan karakter di sekolah belum lancar.
commit to user 10
Hal ini seperti yang disampaikan oleh pendapat berikut ini Ada tiga alasan mengapa pendidikan karakter itu begitu sulit diterapkan
dalam kerangka kinerja pendidikan kita karena : alasan pertama adalah ketidakpahaman konseptual tentang apa yang
disebut dengan pendidikan karakter. Kedua, ketidakjelasan konseptual ini mengakibatkan kebijakan di tingkat lokal yang mengatasnamakan
pendidikan karakter tidak tepat sasaran dan tidak integral, Ketiga, ketika diterapkan dalam kerangka lembaga kependidikan, pendidikan karakter
mengalami persoalan serius seputar tatacara evaluasi. Doni Kusuma,2010 : 123 .
Peran konselor sangat diperlukan dalam pembentukan akhlak peserta didik. Konselor perlu melakukan layanan bimbingan kepada peserta didik yang
perilakunya kurang bagus, namun demikian peserta didik masih ada yang belum menerapkan budaya sekolah dan masih ada yang perilakunya kurang bagus.
Layanan yang sering diberikan oleh konselor yaitu layanan bimbingan klasikal dalam mengurangi peserta didik yang kurang bagus akhlaknya, namun jika hanya
layanan itu saja yang diberikan sudah pasti peserta didik masih saja menunjukkan perilaku kurang bagus akhlaknya . Oleh karena itu peranan konselor sangat
dibutuhkan dalam upaya melaksanakan pembentukan karakter dan budaya sekolah sebagai unjuk kerja konselor yang profesional dalam ikut menyelenggarakan
pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan . Bertitik tolak dari kenyataan tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang layanan Bimbingan dan Konseling dalam menerapkan kultur sekolah berbasis karakter lokal. Atas dasar itu maka penulis mengambil judul
“ PENERAPAN KULTUR SEKOLAH BERBASIS KARAKTER LOKAL
DALAM PROSES LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SMP 1 KUDUS”
commit to user 11
B. Rumusan Masalah