BENARKAH ADA BID’AH DALAM KEBUDAYAAN?PERTAUTAN DIRASAT ISLAMIYYAH DAN ANTROPOLOGI (1)

SOHIFAH

BENARKAH ADA BID’AH DALAM KEBUDAYAAN?:

PERTAUTAN DIRASAT ISLAMIYYAH
DAN ANTROPOLOGI (1)

De
mo
(

Vi
sit

fsp
pd
w.

htt
p:/
/w

w

PENGANTAR
Menarik apa yang saya baca dalam proposal kegiatan Dialog
Kebudayaan yang diselenggarakan Lembaga Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Kegiatan Dialog Kebudayaan disebut-sebut bahwa ada pekerjaan rumah mendesak yang perlu diselesaikan oleh Muhammadiyah. Ada fenomena budaya phobia di lingkungan aktivis Muhammadiyah, dan
fenomena itu membawa arus balik menjadi Muhammadiyah-phobia dan menjurus ke Islamophobia. Saya belum meneliti sendiri
apa yang terjadi di akar rumput masyarakat dalam hubungannya
dengan Muhammadiyah. Karena istilah TBC (Tahayul, Bid’ah,
Khurafat) yang bisa dilekatkan pada Muhammadiyah, sekarang
telah diambil oper dan dikembangkan lagi oleh beberapa organisasi
sosial keagamaan Islam yang lain.
Saya tidak akan masuk ke wilayah teknis-operasional tentang
konsep dan implementasi apa yang disebut “bid’ah” (praktik-praktik
keberagamaan lokal sebagai yang dianggap menyimpang dari
ajaran islam yang “murni” atau “otentik”), tetapi saya hanya akan
melihatnya dari perspektif keilmuan yang lebih luas, yaitu hubungan
dan pertautan antara Studi Islam (Dirasah Islamiyyah) dengan
Pendekatan Antropologi (agama), karena budaya dan kebudayaan
terkait dengan disiplin antropologi.

Seperti yang biasa saya sampaikan dalam beberapa tulisan
bahwa agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Yaitu normativitas (teks, ajaran,
belief, dogma) dan juga historisitas (praktik dan pelaksanaan ajaran , teks, belief, dogma tersebut dalam kehidupan konkret di lapangan, seperti di lingkungan kehidupan komunitas (organisasi sosial
keagamaan; organisasi profesi), masyarakat pedesaan (rural)
atau perkotaan (urban), situasi konteks politik (regim pemerintahan
Order Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi), jaman yang
berbeda (abad tengah, modern, postmodern), tingkat pendidikan
yang berbeda (Pesantren, MI, Mts, Aliyah, atau SD, SMP, dan
SMA dan lebih-lebih S 1, 2 dan 3 di perguruan tinggi dan otodidak),
pelatihan atau training (halaqah, tarbiyah, pengajian majlis taklim),
pendidikan umum dan pendidikan agama, pesantren kilat dan
begitu seterusnya. Bahkan sekarang ada yang merasa cukup
lewat internet, situs-situs, e book dan begitu seterusnya.
Studi agama dan studi Islam kontemporer perlu memerhatikan dua entitas tersebut dengan cermat, sehingga para dosen,
mahasiswa dan peminat studi agama dan studi Islam tidak terkejutkejut dan tidak perlu kecewa. Apalagi marah-marah meluapkan

litm
erg
er.
co

m)

M. AMIN ABDULLAH*)

56

25 RABIULAWAL - 9 RABIULAKHIR 1432 H

Jejak peradaban Islam lama seperti ini perlu dimaknakan kembali.

emosi , jika terjadi dan menjumpai “perbedaan tafsir keagamaan”
pada level historisitas, meskipun idealnya memang tak perlu adanya perpecahan karena bersumber dari sumber ajaran normative
yang sama, yaitu teks-teks atau nash-nash Al-Qur’an dan AlSunnah. Realitas seperti ini berlaku untuk semua penganut agamaagama besar dunia, baik yang Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam)
maupun agama-agama non Abrahamik (Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, Bahai dan lain-lain), serta tradisi-tradisi atau agama
lokal yang lain selain yang disebut diatas.
Lantaran rumit dan kompleksnya situasi yang dihadapi maka
pendekatan antropologi terhadap agama diperlukan untuk memberi
wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas dan
substansi agama yang sampai sekarang masih dianggap sangat
penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk

kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik maupun budaya para
penganutnya. Diperlukan ‘peta’ wilayah yang cukup jelas sebelum
masuk ke jantung kota yang sangat kompleks, minimal untuk
mengetahui jalan-jalan protokol supaya tidak tersesat jalan, syukur
kalau dapat diperoleh dan dilengkapi peta yang lebih detil sampai

SOHIFAH

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

ford Geertz. Field note research (penelitian melalui pengumpulan catatan lapangan) dan bukannya studi teks atau pilologi seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis adalah andalan
utama antropolog. Talal Asad menggambarkan kerja antropologi

sebagai berikut:
“Anthropologists who seek to describe rather than to moralize
will consider each tradition in its own term-even as it has come to
be reconstituted by modern forces – in order to compare and
contrast it with others. More precisely, they will try to understand
ways of reasoning characteristic of given traditions. Such
anthropologists will also need to suppress their personal distaste
for particular traditions if they are to understand them. Beyond that,
they should learn to treat some of their own Enlightenment
assumptions as belonging to specific kinds of reasoning- albeit
kinds of reasoning that have largely shaped our modern worldand not as the ground from which all understanding of nonEnlightenment traditions must begin”. (Talal Asad, Genealogies
of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity
and Islam. Baltimore and London, The Johns Hopkins University
Press, l993, h.200. Garis bawah dari penulis).
Kedua, Yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi
adalah local practices , yaitu praktik konkret dan nyata di lapangan.
(Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan lokal,
sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa
dengan tradisi dan adat setempat-lokal), maka di sinilah masalah
terbesar, untuk tidak menyebutnya dengan ketegangan, dalam

studi Islam muncul. Dalam studi Islam, khususnya dari literatur
Hadits dikenal istilah “bid’ah” – baik yang hasanah maupun sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan, praktik lokal dianggap
keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati
dengan sungguh-sungguh untuk dapat memahami tindakan dan
kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh). Praktik hidup
yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan
tahunan, lebih–lebih ketika manusia melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau
amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan tersebut (rites de pessages)?
Peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan. Apa yang
dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme
kehidupan yang sangat penting tersebut?
Ketiga, antropologi selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antarberbagai domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains). Bagaimana hubungan antara
wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Kehidupan
tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar
berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada
satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas
dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.l Bersambung

Vi
sit


htt
p:/
/w
w

w.

menjangkau ke jalan-jalan kecil, gang-gang, nomor rumah yang
dituju dan begitu seterusnya. Pendekatan antropologi terhadap
entitas keberagamaan dan entitas ke-Islaman adalah ibarat pembuatan peta yang dimaksud.
Pendekatan antropologi bersikap deskriptif, melukiskan apa
adanya dari realitas yang ada, dan bukannya normatif , dalam arti
tidak ada keinginan dari si pembuat peta untuk mencoret, menutup atau tidak menggambar atau menampilkan alur jalan yang
dianggap kira-kira tidak enak atau berbahaya untuk dilalui. Pendekatan antropologi bersikap jujur, apa adanya, tanpa ada muatan
interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, sekte, organisasi, ras, etnis, agama, gender, minoritasmayoritas) untuk tidak membuat peta
(keagamaan manusia) apa adanya. Di sini
bedanya dari corak pendekatan Teologi (dalam
Kristen) atau Kalam dan fiqih (dalam Islam)
lama, yang kadang tidak ingin menampilkan

gambar dan peta keagamaan apa adanya
karena adanya interes-interes golongan
keagamaan (sekte, madzhab, organisasi politik
keagamaan)- seperti penekanan pentingnya
pada sejarah penyelamatan (salvation history)
yang ditawarkan dan di klaim hanya dimiliki
oleh
agama
tertentu
dengan
mengesampingkan agama- agama lainsehingga peta atau gambar yang dibuat menjadi
kabur dan tidak begitu jelas untuk melihat
agama-agama secara utuh-komprehensif.
Jika memang begitu, lalu apa yang dimaksud
dengan pendekatan antropologi terhadap
agama, atau sebutlah pendekatan antropologi
agama?

De
mo

(

Ciri fundamental cara kerja pendekatan
antropologi
Setidaknya ada 4 (empat) ciri fundamental cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama. Pertama, bercorak descriptive,
bukannya normatif. Pendekatan antropologi bermula dan diawali
dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan orang,
masyarakat, kelompok setempat yang diamati dan diobservasi
dalam jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang biasa
disebut dengan thick description (pengamatan dan observasi
di lapangan yang dlakukan secara serius, terstruktur, mendalam
dan berkesinambungan). Thick description dilakukan dengan
cara antara lain Living in, yaitu hidup bersama masyarakat yang
diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam
waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan
bisa bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. John R Bowen,
misalnya, melakukan penelitian antropologi masyarakat Muslim
Gayo, di Aceh, Sumatra, selama bertahun-tahun. (John R. Bowen,
Religions in Practice: An Approach to the Anthropology of

Religion, Boston, Allyn and Bacon,2002, h. 2). Begitu juga
dilakukan oleh para antropolog kenamaan yang lain , seperti ClifFoto: WWW. GOOGLE.COM

Keynote Speech, disampaikan dalam Dialog Kebudayaan,
LPM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 15 Januari 2011.
SUARA MUHAMMADIYAH 05 / 96 | 1 - 15 MARET 2011

57