Alquran dan Perbudakan Benarkah Keyakina
ALQURAN DAN PERBUDAKAN ; BENARKAH KEYAKINAN MUSLIM SEKARANG?
A. Perbudakan dalam Literasi Manuskrip
Perbudakan merupakan fenomena purba. Mulai zaman Babilonia, Aztec hingga
Abraham Lincoln. Perihal perbudakan, cuma kitab suci umat Islam saja yang
‘menyinggungnya’ dalam bentuk detil dibeberapa ayat yang membuat ‘ketegangan’
penafsiran bersifat debateble antara para penafsir kontemporer dan kalangan penafsir yang
tetap berpatokan pada tafsiran pemikiran-pemikiran awal peradaban Islam. Disamping itu
juga, adanya kajian-kajiannya dalam literatur klasik khasanah Islam yang masih menjadi
referensi utama kalangan salafi yang (mungkin) selalu dipahami sebagai meng-iya-kan oleh
ajaran Islam terhadap perbudakan oleh beberapa pihak.
Padahal jika kita mau bertanya pada diri sendiri, nurani kita pasti mengatakan bahwa
perbudakan harus diakui adalah suatu praktek yang menjijikan dan menistakan nilai-nilai
kemanusiaan dalam sejarah kehidupan manusia di dunia ini, dimana manusia menjadi aset
properti bagi sebagian manusia yang lain, tak memiliki kebebasan berkehendak, mereka
bekerja tanpa upah, berkeringat tapi tak pernah merasakan jerih payah yang Ia kerjakan, dan
tidak adanya jaminan jika sewaktu-waktu majikan memerdekakannya dihari tua, sementara Ia
sendiri tak memilki apa-apa setelah dimerdekakan dihari tuanya, karena hidupnya dimasa
muda telah habis ‘cuma’ untuk menjadi budak yang bekerja bagi tuannya (dan sejauh ini
penulis belum menemukan referensi terkait pelarangan membebaskan budak yang sudah tak
produktif, silahkan dicari dalam literatur fiqh, apakah ada aturan terkait itu dalam hukum
syariat atau hanya sekedar kewajiban moral yang tak memilki konsekuensi hukum?
Sedangkan kajian perbudakan sebagaimana dipraktekkan orang Kristen Eropa ataupun
Kristen Amerika sebelum zaman Rainassence bukan kajian yang dimaksud dalam tulisan ini).
Dalam khasanah keislaman awal, Muhammad (sebagaimana muslim yakini) dengan
dituntun wahyu keilahian mengatur lebih komperhensif menyangkut ‘hak-hak budak’, dan
kemudian di zaman tabiin (generasi setelah generasi Nabi), kajian terhadap perbudakan
mendapat tempat dalam literatur ilmu-ilmu fiqh dalam satu bab atau sub-bab tersendiri secara
komperhensif dibidang kajian literatur fiqh manapun. Tapi dalam pemahaman dan keyakinan
penulis terkait manuskrip teks suci, pengaturan perbudakan tersebut memiliki semangat
menghapuskan perbudakan dikalangan masyarakat Arab saat itu, bukan bertujuan untuk
mengukuhkan sistem perbudakan dengan legitimasi wahyu sebagaimana dalam alam sadar
mayoritas muslim dewasa ini. Hal ini bisa dilihat dari semangat pembebasan diberbagai ayat
Alquran. Misalnya; QS An-Nisa : 92, QS Al-Maidah : 89, QS. AL-Mujadilah : 3, dan
seterusnya, ataupun dalam nash Hadits, diantaranya dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud,
dinyatakan, “Barangsiapa membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya
(menghukumnya) balik”, dan masih banyak lagi hadits serupa. Ironisnya, banyak muslim alpa
akan semangat yang bersifat implisit dalam risalah Muhammad sekitar 1450 tahun lalu, yaitu
semangat kesetaraan nilai-nilai kemanusiaan dan pembebasan perdaban manusia dari
perbudakan.
B. Perkembangan HAM dewasa ini
Semangat masyarakat global menjunjung dan memperjuangkan HAM mendapat tempat
dalam isu internasional paska perang dingin. Dalam dunia kontemporer dewasa ini, bahkan
isu-isu HAM tak dibatasi oleh portal batas wilayah negara, pendekatan yang sangat
berpengaruh dalam isu-isu HAM adalah aliran hukum alam pada awalnya, yang mana meski
tidak memilki konstruksi falsafah kuat tetapi selalu menjadi aliran yang mempengaruhi teoriteori setelahnya. Memang membicarakan HAM dalam ranah teori saja kita akan selalu
memiliki berbagai alasan yang perlu diperdebatkan panjang lebar. Sebagaimana hal yang
dikemukakan Marx yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki hak asasi, tetapi hakhak tersebut merupakan ‘pemberian’ dari negara dimana dia berada, dalam pandangan Marxis
diujarkan bahwa kesejahteraan dan pemenuhan ekonomi setiap warga negara lebih utama
dibanding kebebasan berekspresi dan politik, alasan ini diperkuat dengan tuduhan fakta
empiris kondisi di Negara-negara Barat saat itu berupa ketimpangan yang tak terelakan saat
itu. Pendekatan yang bertolak belakang dengan teori Marxis adalah pendekatan tentang HAM
di Eropa Barat yang mana para teoretisinya mempercayai bahwa manusia akan menjadi
manusia yang seutuhnya dan bisa berbuat untuk hidupnya lebih baik jika mereka diberi hak
kebebasannya dan hak politiknya (dalam iklim demokrasi). Teori-teori tersebut (dan teori
yang lainnya) berangkat dari akal budi manusia dalam mencapai tatanan ideal bermasyarakat.
Meski secara prinsip dua aliran pendekatan sekuler ini berbeda dengan pendektan Islam, tapi
apa yang ingin dituju sama, kesetaraan.
C. Benarkah perbudakan adalah semangat Islam?
Memang dalam teks-teks Alquran tak ada yang secara eksplisit dan frontal
menegasikan ‘penghapusan perbudakan’ seperti halnya masalah khamr, riba ataupun
perzinahan, tapi jika kita merenungkan secara linguistik, banyak ayat-ayat Alquran maupun
hadits yang menjadikannya opsi pertama pembebasan budak sebagai bentuk hukuman kepada
pelaku kejahatan atau pelaku pelanggaran hukum-hukum Allah. Disamping itu, saat itu jika
Alquran menegaskannya secara frontal, maka; pertama; sama saja Allah ‘menyudutkan’
ruang gerak sosio-komunal Madinah (saya katakana sosio-komunal disini, bukan dengan
memakai kata ‘muslim’ karena masyarakat Madinah saat itu sangat kosmopolit dimana
warganya ada yang etnik Jews seperti klan Bani Quraidloh dan Sa’diyyah’ dan sebagainya,
muslim dan non muslim) yang saling bahu-membahu dalam merpertahankan kota mereka
dari agresi pihak Mekah yang ingin merebut kota Madinah dikarenakan ingin memburu
Muhammad sebelum karena ajaran Muhammad dikhawatirkan merusak tatanan sosial
masyarakat arab yang bersifat subordinasi, dimana suatu klan memilki kedudukan lebih
tinggi derajatnya dibanding klan yang lain. Hal ini (menurut Husain Haikal) bisa dilihat dari
konsep tata kota Mekah saat itu dimana kelas-kelas elit dari klan-klan tersebut berdiam
disekitar ‘ring satu’ dekat Kabah, dan klan lyang lebih rendah berada agak jauh dari ring satu
dan seterusnya. Dan ring terluar adalah ‘kawasan’ bagi budak ataupun mantan budak yang
tela merdeka.
Kedua, dalam konteks lebih luas, Mekah-Medinah secara geografis merupakan tanah
tandus yang berada ditengah dua Imperium besar; (1) Romawi Timur yang beribukota
Constantinopel (sekarang Istanbul) yang secara religious adalah sekte Kristen Ortodok (yang
juga mengalami ‘gesekan politik’ dengan Romawi Barat yang berpusat di Roma yang mana
yang bersekte katholik karena dipicu ketegangan perbedaan doktrinal), (2) dan disebelah
Timur ada Imperium Persia yang ‘agama negaranya’ adalah zoroaster (lihat; Biografi
Muhammad Saw, karya Muhammad Husain Haikal, Doctor lulusan Sourbonne). Kedua
imperium ini saling mengalahkan dalam melakukan ekspansinya satu sama lain. Tentu saja
Mekah dan Madinah ‘tak dimasukkan dalam peta’ ekspansi kedua kekuatan tersebut, ini
dikarenakan Mekah dan Medinah tak sanggup menyediakan resources untuk peperangan dan
nilai ekonomi bagi kedua Imperium tersebut, dan Mekah-Medinah saat itu sendiri masih
terbelakang dalam hal kebudayaan dan peradaban. Mereka lebih tertarik wilayah yang
sekarang masuk dalam kedaulatan negara Yaman karena lebih subur. Maka, jika Alquran
menggunakan bahasa ‘kemanusiaan’ berkaitan tentang perbudakan secara frontal hanya akan
berpengaruh/diikuti oleh pemeluknya dan tidak akan berlaku efektif oleh lawan-lawan
komunitas Medinah awal (efektifitas dari tujuan hukum tak terpenuhi). Baik dari kalangan
Mekah saat itu, ataupun Imperium besar saat itu yang akan jadi lawan politik masyarakat
Arab paska fatkhu-makkah masih melegalkan perbudakan. Bahkan budak-budak tersebut
disuruh berperang, dan itu ‘legal’ dalam prinsip hukum Arab jahiliyyah ataupun kebiasaan 2
Imperium tersebut. Jelas disini Alquran menggunakan bahasa yang sangat fleksibel sesuai
pencapaian peradaban manusia saat itu, dan tetap relevan dimasa mendatang (masa kita dan
seterusnya) karena artikulasi bahasa penyampaiannya.
Hal diatas sesuai dengan apa yang dikatakan Bacon, ataupun Montesquieu yang saya
pahami bahwa keadilan itu bersifat universal dan tak mengenal geografis, tetapi hukum
bukan ada begitu saja tanpa memiliki ikatan logis dengan lingkungannya. Quran secara
implisit ‘ingin menegur’ pola sosial masyarakat periode Muhammad, sedangkan secara
implisit ingin mengingatkan kepada generasi sesudahnya bahwa perbudakan adalah tindakan
tidak manusiawi dan bertentangan dengan semangat egaliter dalam manuskrip kitab suci.
Alquran memilih bahasa ‘sangat cedas’ dalam memilih susunan bahasa. Berbicaralah kepada
suatu kaum sesuai dengan daya nalarnya.
D. Berarti Hukum Alquran temporer dong?
Ini adalah bagian menarik terkait ‘perenungan semangat Muhammad’ dan keyakinan
Muslim bahwa ‘yuridiksi’ Alquran berlaku tanpa mengenal tempat dan waktu. Sebelum lebih
jauh lagi, kita harus sepakat dalam satu titik. Bahwa apa yang bisa dicapai manusia
‘memahami pikiran Tuhan’ hanya sekian kecil persen dan bersifat temporer, dalam arti
siapapun mufassir-nya (tanpa mengurangi rasa hormat para ulama-ulama periode awal) tak
akan ada yang mampu memahami kebenaran absolut yang dikehendaki Tuhan. Jika kita
percaya mereka mampu mencapai kebenaran absolut, maka itu sama saja menyekutukan Ilah
(lihat Pusaran Energi Ka’bah, Agus Mustofa).
Dalam pemahaman saya, barisan teks-teks berkaitan perbudakan tersebut tidak selama
harus dipahami secara eksplisit. Dalam isu perbudakan kita harus lebih memahaminya secara
implisit dengan berangkat dari rasa sadar bahwa kita manusia (begitupun juga budak-budak
tersebut). Disamping itu ayat-ayat mengenai perbudakan merupakan ayat dalam arti
‘reaksioner’ atas fenomena masyarakat Arab (dan juga diluar komunitas Arab MekahMadinah).
Secara tekstual, Alquran menyikapi fenomena tersebut dalam hal ‘membela hak-hak
budak agar lebih manusiawi’ dalam menetapkan hubungan hukum antara tuan dan hamba.
Sedangkan secara implisit yang bisa dipahami sepanjang waktu, Alquran (kira-kira) ingin
mengatakan ‘perbudakan adalah zalim, perbudakan adalah tindakan tidak manusiawi,
perbudakan harus dihapuskan’. Apakah dengan konsep perbudakan tradisional telah hilang
berarti Alquran yang mengatur perbudakan tidak ‘berlaku sepanjang zaman’ (firman Tuhan
berarti temporer)? Tidak, justru kalangan muslim harus bisa memcahkan ‘puzzle-puzle’
dalam kandungan ayat tersebut. Umpanya menyusun penafsiran ulang, karena bagaimanapun
konsep perbudakan juga mengalami evolusi dalam era kontemporer dewasa ini, dan perlunya
pendefisian ulang demi menjawab tantangan zaman karena perubahan pola dari pola
tradisional ke bentuk praktek yang bisa dicirikan sebagai perbudakan dewasa ini.
Ide-ide dalam tulisan ini berangkat dari pemikiran saya yang dalam mengkomparasikan
teori-teori hukum bahwa Alquran bisa dikatakan sebagai ‘konstitusinya’ umat muslim yang
mana ‘norma-norma’ yang terkandung dalam Alquran tersebut bermuara pada 3 hal abstrak
yang harus dilakukan (suruhan; ought to be/ ought to do) ; (1) Iman, (2) Ikhsan (berbuat
kebajikan), dan (3) Islam (berserah diri).
E. Penutup
Tentu saja, apa yang saya tulis ini hanyalah upaya kepo dalam ‘memahami apa mau
Tuhan’ sebagaimana ‘ke-kepo-an’ para penafsir periode awal. Tulisan yang banyak koreksi
disana-sini ini hanyalah upaya diri memahami agama berkaitan sosial. Karena berangkat dari
keyakinan saya bahwa Tuhan tak akan membebankan sesuatu dalam konteks sosial-horisontal
kepada manusia, pasti sesuai dengan kadar akal budi manusia, karena risalah berkaitan
kemasyarakatan tersebut untuk manusia, bukan yang lain. Sebagaimana dalam buku Prof.
Soerjono Soekanto, jika berkaitan dengan bahasan sosiologi (dalam konteks tulisan ini yang
dibahas adalah pola masyarakat muslim terkait perbudakan dalam hidup kesehariannya
zaman dahulu). Maka tujuan memahami sosiologi sebagai ilmu terapan (bukan ilmu murni),
tentu tujuannya adalah upaya memahami fenomena sosial dengan mengacu Alquran dan
hadits guna memahami fenomena saat ini yang tentu saja fenomena tersebut berbeda dan tak
akan sama dengan fenomena masyarakatzaman kenabian. Bukan bertujuan sebagaimana ilmu
murni yang berupa masa depan. Tafsir hanyalah akal budi manusia, bersifat relative dan
temporer.
Mengutip kata-kata Montesquieu, apa yang saya tulis ini; tidak ada maksud menyerang
pihak tertentu. Ini hanyalah upaya memahami hukum-hukum Tuhan yang ditujukan dalam
konteks sosial. Tentu saja, bukan dalam bentuk pemahaman yang telah mapan dan
terdoktrinkan ‘dengan baik’ dalam alur pikir muslim mapan mayoritas saat ini. Ini hanyalah
upaya saya agar agama tidak tampak asing dalam diri saya. Lantas, kenapa saya
mempublikasikannya? Karena dalam harap saya, anda memberi feedback berupa saran dan
kritik dalam diskusi dan bagi tulisan berikutnya. Mungkin ini adalah sebuah upaya gegabah
penulis untuk menjadikan Islam rahmatan lil ‘alamin bukan laknatan lil ‘alamin. Sebuah
upaya agar Islam bukan untuk golongan pemeluknya, tetapi juga untuk manusia seluruh alam
ketika kita semua sebagai manusia saling berhubungan denga yang lain.
Sebuah hadist mengatakan bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah para umat
meninggalkan para ulama. Dalam pikir saya bertanya; apa penyebabnya? Apakah agama tak
dibutuhkan lagi oleh umat manusia atau para ulama/pemuka agama tersebut yang tak mampu
menjelaskan kepada umat dan membuat asing agama dalam akal budi umat? Tentu hal
semacam ini adalah tugas bagi generasi-generasi muslim saat ini pada khususnya, dan tugas
setiap generasi dalam agama-agama lain pada umumnya. Wassalam
A. Perbudakan dalam Literasi Manuskrip
Perbudakan merupakan fenomena purba. Mulai zaman Babilonia, Aztec hingga
Abraham Lincoln. Perihal perbudakan, cuma kitab suci umat Islam saja yang
‘menyinggungnya’ dalam bentuk detil dibeberapa ayat yang membuat ‘ketegangan’
penafsiran bersifat debateble antara para penafsir kontemporer dan kalangan penafsir yang
tetap berpatokan pada tafsiran pemikiran-pemikiran awal peradaban Islam. Disamping itu
juga, adanya kajian-kajiannya dalam literatur klasik khasanah Islam yang masih menjadi
referensi utama kalangan salafi yang (mungkin) selalu dipahami sebagai meng-iya-kan oleh
ajaran Islam terhadap perbudakan oleh beberapa pihak.
Padahal jika kita mau bertanya pada diri sendiri, nurani kita pasti mengatakan bahwa
perbudakan harus diakui adalah suatu praktek yang menjijikan dan menistakan nilai-nilai
kemanusiaan dalam sejarah kehidupan manusia di dunia ini, dimana manusia menjadi aset
properti bagi sebagian manusia yang lain, tak memiliki kebebasan berkehendak, mereka
bekerja tanpa upah, berkeringat tapi tak pernah merasakan jerih payah yang Ia kerjakan, dan
tidak adanya jaminan jika sewaktu-waktu majikan memerdekakannya dihari tua, sementara Ia
sendiri tak memilki apa-apa setelah dimerdekakan dihari tuanya, karena hidupnya dimasa
muda telah habis ‘cuma’ untuk menjadi budak yang bekerja bagi tuannya (dan sejauh ini
penulis belum menemukan referensi terkait pelarangan membebaskan budak yang sudah tak
produktif, silahkan dicari dalam literatur fiqh, apakah ada aturan terkait itu dalam hukum
syariat atau hanya sekedar kewajiban moral yang tak memilki konsekuensi hukum?
Sedangkan kajian perbudakan sebagaimana dipraktekkan orang Kristen Eropa ataupun
Kristen Amerika sebelum zaman Rainassence bukan kajian yang dimaksud dalam tulisan ini).
Dalam khasanah keislaman awal, Muhammad (sebagaimana muslim yakini) dengan
dituntun wahyu keilahian mengatur lebih komperhensif menyangkut ‘hak-hak budak’, dan
kemudian di zaman tabiin (generasi setelah generasi Nabi), kajian terhadap perbudakan
mendapat tempat dalam literatur ilmu-ilmu fiqh dalam satu bab atau sub-bab tersendiri secara
komperhensif dibidang kajian literatur fiqh manapun. Tapi dalam pemahaman dan keyakinan
penulis terkait manuskrip teks suci, pengaturan perbudakan tersebut memiliki semangat
menghapuskan perbudakan dikalangan masyarakat Arab saat itu, bukan bertujuan untuk
mengukuhkan sistem perbudakan dengan legitimasi wahyu sebagaimana dalam alam sadar
mayoritas muslim dewasa ini. Hal ini bisa dilihat dari semangat pembebasan diberbagai ayat
Alquran. Misalnya; QS An-Nisa : 92, QS Al-Maidah : 89, QS. AL-Mujadilah : 3, dan
seterusnya, ataupun dalam nash Hadits, diantaranya dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud,
dinyatakan, “Barangsiapa membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya
(menghukumnya) balik”, dan masih banyak lagi hadits serupa. Ironisnya, banyak muslim alpa
akan semangat yang bersifat implisit dalam risalah Muhammad sekitar 1450 tahun lalu, yaitu
semangat kesetaraan nilai-nilai kemanusiaan dan pembebasan perdaban manusia dari
perbudakan.
B. Perkembangan HAM dewasa ini
Semangat masyarakat global menjunjung dan memperjuangkan HAM mendapat tempat
dalam isu internasional paska perang dingin. Dalam dunia kontemporer dewasa ini, bahkan
isu-isu HAM tak dibatasi oleh portal batas wilayah negara, pendekatan yang sangat
berpengaruh dalam isu-isu HAM adalah aliran hukum alam pada awalnya, yang mana meski
tidak memilki konstruksi falsafah kuat tetapi selalu menjadi aliran yang mempengaruhi teoriteori setelahnya. Memang membicarakan HAM dalam ranah teori saja kita akan selalu
memiliki berbagai alasan yang perlu diperdebatkan panjang lebar. Sebagaimana hal yang
dikemukakan Marx yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki hak asasi, tetapi hakhak tersebut merupakan ‘pemberian’ dari negara dimana dia berada, dalam pandangan Marxis
diujarkan bahwa kesejahteraan dan pemenuhan ekonomi setiap warga negara lebih utama
dibanding kebebasan berekspresi dan politik, alasan ini diperkuat dengan tuduhan fakta
empiris kondisi di Negara-negara Barat saat itu berupa ketimpangan yang tak terelakan saat
itu. Pendekatan yang bertolak belakang dengan teori Marxis adalah pendekatan tentang HAM
di Eropa Barat yang mana para teoretisinya mempercayai bahwa manusia akan menjadi
manusia yang seutuhnya dan bisa berbuat untuk hidupnya lebih baik jika mereka diberi hak
kebebasannya dan hak politiknya (dalam iklim demokrasi). Teori-teori tersebut (dan teori
yang lainnya) berangkat dari akal budi manusia dalam mencapai tatanan ideal bermasyarakat.
Meski secara prinsip dua aliran pendekatan sekuler ini berbeda dengan pendektan Islam, tapi
apa yang ingin dituju sama, kesetaraan.
C. Benarkah perbudakan adalah semangat Islam?
Memang dalam teks-teks Alquran tak ada yang secara eksplisit dan frontal
menegasikan ‘penghapusan perbudakan’ seperti halnya masalah khamr, riba ataupun
perzinahan, tapi jika kita merenungkan secara linguistik, banyak ayat-ayat Alquran maupun
hadits yang menjadikannya opsi pertama pembebasan budak sebagai bentuk hukuman kepada
pelaku kejahatan atau pelaku pelanggaran hukum-hukum Allah. Disamping itu, saat itu jika
Alquran menegaskannya secara frontal, maka; pertama; sama saja Allah ‘menyudutkan’
ruang gerak sosio-komunal Madinah (saya katakana sosio-komunal disini, bukan dengan
memakai kata ‘muslim’ karena masyarakat Madinah saat itu sangat kosmopolit dimana
warganya ada yang etnik Jews seperti klan Bani Quraidloh dan Sa’diyyah’ dan sebagainya,
muslim dan non muslim) yang saling bahu-membahu dalam merpertahankan kota mereka
dari agresi pihak Mekah yang ingin merebut kota Madinah dikarenakan ingin memburu
Muhammad sebelum karena ajaran Muhammad dikhawatirkan merusak tatanan sosial
masyarakat arab yang bersifat subordinasi, dimana suatu klan memilki kedudukan lebih
tinggi derajatnya dibanding klan yang lain. Hal ini (menurut Husain Haikal) bisa dilihat dari
konsep tata kota Mekah saat itu dimana kelas-kelas elit dari klan-klan tersebut berdiam
disekitar ‘ring satu’ dekat Kabah, dan klan lyang lebih rendah berada agak jauh dari ring satu
dan seterusnya. Dan ring terluar adalah ‘kawasan’ bagi budak ataupun mantan budak yang
tela merdeka.
Kedua, dalam konteks lebih luas, Mekah-Medinah secara geografis merupakan tanah
tandus yang berada ditengah dua Imperium besar; (1) Romawi Timur yang beribukota
Constantinopel (sekarang Istanbul) yang secara religious adalah sekte Kristen Ortodok (yang
juga mengalami ‘gesekan politik’ dengan Romawi Barat yang berpusat di Roma yang mana
yang bersekte katholik karena dipicu ketegangan perbedaan doktrinal), (2) dan disebelah
Timur ada Imperium Persia yang ‘agama negaranya’ adalah zoroaster (lihat; Biografi
Muhammad Saw, karya Muhammad Husain Haikal, Doctor lulusan Sourbonne). Kedua
imperium ini saling mengalahkan dalam melakukan ekspansinya satu sama lain. Tentu saja
Mekah dan Madinah ‘tak dimasukkan dalam peta’ ekspansi kedua kekuatan tersebut, ini
dikarenakan Mekah dan Medinah tak sanggup menyediakan resources untuk peperangan dan
nilai ekonomi bagi kedua Imperium tersebut, dan Mekah-Medinah saat itu sendiri masih
terbelakang dalam hal kebudayaan dan peradaban. Mereka lebih tertarik wilayah yang
sekarang masuk dalam kedaulatan negara Yaman karena lebih subur. Maka, jika Alquran
menggunakan bahasa ‘kemanusiaan’ berkaitan tentang perbudakan secara frontal hanya akan
berpengaruh/diikuti oleh pemeluknya dan tidak akan berlaku efektif oleh lawan-lawan
komunitas Medinah awal (efektifitas dari tujuan hukum tak terpenuhi). Baik dari kalangan
Mekah saat itu, ataupun Imperium besar saat itu yang akan jadi lawan politik masyarakat
Arab paska fatkhu-makkah masih melegalkan perbudakan. Bahkan budak-budak tersebut
disuruh berperang, dan itu ‘legal’ dalam prinsip hukum Arab jahiliyyah ataupun kebiasaan 2
Imperium tersebut. Jelas disini Alquran menggunakan bahasa yang sangat fleksibel sesuai
pencapaian peradaban manusia saat itu, dan tetap relevan dimasa mendatang (masa kita dan
seterusnya) karena artikulasi bahasa penyampaiannya.
Hal diatas sesuai dengan apa yang dikatakan Bacon, ataupun Montesquieu yang saya
pahami bahwa keadilan itu bersifat universal dan tak mengenal geografis, tetapi hukum
bukan ada begitu saja tanpa memiliki ikatan logis dengan lingkungannya. Quran secara
implisit ‘ingin menegur’ pola sosial masyarakat periode Muhammad, sedangkan secara
implisit ingin mengingatkan kepada generasi sesudahnya bahwa perbudakan adalah tindakan
tidak manusiawi dan bertentangan dengan semangat egaliter dalam manuskrip kitab suci.
Alquran memilih bahasa ‘sangat cedas’ dalam memilih susunan bahasa. Berbicaralah kepada
suatu kaum sesuai dengan daya nalarnya.
D. Berarti Hukum Alquran temporer dong?
Ini adalah bagian menarik terkait ‘perenungan semangat Muhammad’ dan keyakinan
Muslim bahwa ‘yuridiksi’ Alquran berlaku tanpa mengenal tempat dan waktu. Sebelum lebih
jauh lagi, kita harus sepakat dalam satu titik. Bahwa apa yang bisa dicapai manusia
‘memahami pikiran Tuhan’ hanya sekian kecil persen dan bersifat temporer, dalam arti
siapapun mufassir-nya (tanpa mengurangi rasa hormat para ulama-ulama periode awal) tak
akan ada yang mampu memahami kebenaran absolut yang dikehendaki Tuhan. Jika kita
percaya mereka mampu mencapai kebenaran absolut, maka itu sama saja menyekutukan Ilah
(lihat Pusaran Energi Ka’bah, Agus Mustofa).
Dalam pemahaman saya, barisan teks-teks berkaitan perbudakan tersebut tidak selama
harus dipahami secara eksplisit. Dalam isu perbudakan kita harus lebih memahaminya secara
implisit dengan berangkat dari rasa sadar bahwa kita manusia (begitupun juga budak-budak
tersebut). Disamping itu ayat-ayat mengenai perbudakan merupakan ayat dalam arti
‘reaksioner’ atas fenomena masyarakat Arab (dan juga diluar komunitas Arab MekahMadinah).
Secara tekstual, Alquran menyikapi fenomena tersebut dalam hal ‘membela hak-hak
budak agar lebih manusiawi’ dalam menetapkan hubungan hukum antara tuan dan hamba.
Sedangkan secara implisit yang bisa dipahami sepanjang waktu, Alquran (kira-kira) ingin
mengatakan ‘perbudakan adalah zalim, perbudakan adalah tindakan tidak manusiawi,
perbudakan harus dihapuskan’. Apakah dengan konsep perbudakan tradisional telah hilang
berarti Alquran yang mengatur perbudakan tidak ‘berlaku sepanjang zaman’ (firman Tuhan
berarti temporer)? Tidak, justru kalangan muslim harus bisa memcahkan ‘puzzle-puzle’
dalam kandungan ayat tersebut. Umpanya menyusun penafsiran ulang, karena bagaimanapun
konsep perbudakan juga mengalami evolusi dalam era kontemporer dewasa ini, dan perlunya
pendefisian ulang demi menjawab tantangan zaman karena perubahan pola dari pola
tradisional ke bentuk praktek yang bisa dicirikan sebagai perbudakan dewasa ini.
Ide-ide dalam tulisan ini berangkat dari pemikiran saya yang dalam mengkomparasikan
teori-teori hukum bahwa Alquran bisa dikatakan sebagai ‘konstitusinya’ umat muslim yang
mana ‘norma-norma’ yang terkandung dalam Alquran tersebut bermuara pada 3 hal abstrak
yang harus dilakukan (suruhan; ought to be/ ought to do) ; (1) Iman, (2) Ikhsan (berbuat
kebajikan), dan (3) Islam (berserah diri).
E. Penutup
Tentu saja, apa yang saya tulis ini hanyalah upaya kepo dalam ‘memahami apa mau
Tuhan’ sebagaimana ‘ke-kepo-an’ para penafsir periode awal. Tulisan yang banyak koreksi
disana-sini ini hanyalah upaya diri memahami agama berkaitan sosial. Karena berangkat dari
keyakinan saya bahwa Tuhan tak akan membebankan sesuatu dalam konteks sosial-horisontal
kepada manusia, pasti sesuai dengan kadar akal budi manusia, karena risalah berkaitan
kemasyarakatan tersebut untuk manusia, bukan yang lain. Sebagaimana dalam buku Prof.
Soerjono Soekanto, jika berkaitan dengan bahasan sosiologi (dalam konteks tulisan ini yang
dibahas adalah pola masyarakat muslim terkait perbudakan dalam hidup kesehariannya
zaman dahulu). Maka tujuan memahami sosiologi sebagai ilmu terapan (bukan ilmu murni),
tentu tujuannya adalah upaya memahami fenomena sosial dengan mengacu Alquran dan
hadits guna memahami fenomena saat ini yang tentu saja fenomena tersebut berbeda dan tak
akan sama dengan fenomena masyarakatzaman kenabian. Bukan bertujuan sebagaimana ilmu
murni yang berupa masa depan. Tafsir hanyalah akal budi manusia, bersifat relative dan
temporer.
Mengutip kata-kata Montesquieu, apa yang saya tulis ini; tidak ada maksud menyerang
pihak tertentu. Ini hanyalah upaya memahami hukum-hukum Tuhan yang ditujukan dalam
konteks sosial. Tentu saja, bukan dalam bentuk pemahaman yang telah mapan dan
terdoktrinkan ‘dengan baik’ dalam alur pikir muslim mapan mayoritas saat ini. Ini hanyalah
upaya saya agar agama tidak tampak asing dalam diri saya. Lantas, kenapa saya
mempublikasikannya? Karena dalam harap saya, anda memberi feedback berupa saran dan
kritik dalam diskusi dan bagi tulisan berikutnya. Mungkin ini adalah sebuah upaya gegabah
penulis untuk menjadikan Islam rahmatan lil ‘alamin bukan laknatan lil ‘alamin. Sebuah
upaya agar Islam bukan untuk golongan pemeluknya, tetapi juga untuk manusia seluruh alam
ketika kita semua sebagai manusia saling berhubungan denga yang lain.
Sebuah hadist mengatakan bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah para umat
meninggalkan para ulama. Dalam pikir saya bertanya; apa penyebabnya? Apakah agama tak
dibutuhkan lagi oleh umat manusia atau para ulama/pemuka agama tersebut yang tak mampu
menjelaskan kepada umat dan membuat asing agama dalam akal budi umat? Tentu hal
semacam ini adalah tugas bagi generasi-generasi muslim saat ini pada khususnya, dan tugas
setiap generasi dalam agama-agama lain pada umumnya. Wassalam