RELASI ULAMA DAN UMARA DALAM SEJARAH ISLAM

DIRASAH ISLAMIYAH

RELASI ULAMA DAN UMARA
DALAM SEJARAH ISLAM
MUTOHHARUN JINAN MA
Pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta

L

ain halnya bila dengan cermat meng
ulas kembali manifestasi Islam dalam
pemerintahan yang menyejarah pascakenabian yang membentang hingga masyarakat Muslim kontemporer. Dalam bentangan sejarah kaum Muslim yang panjang dan
luas, ulama dan umara tidak hanya dapat
dibedakan, lebih dari itu keduanya tidak
24

12 - 24 RABIULAWAL 1432 H

Bakar Ash-Shidiq terpilih sebagai
pemimpin kaum Muslim dan masyarakat
Makkah-Madinah. Secara umum tidak terjadi polaritas ulama-umara sampai setidaknya pada kekhalifahan (khulafaurrasyidin),

meski kadang karena tuntutan perluasan
pemerintahan Islam daerah perluasan
ditentukan secara pragmatik dengan
catatan pengakuan atas khalifah sebagai
pemimpin umat dibawah naungan AlQur’an dan Sunnah Nabi.
Persoalan peran dan posisi ulama dan
umara mulai terlihat nampak jelas pada
masa pemerintahan pasca-khalifah yang
empat (khulafaurrasyidin). Dalam rentetan
sejarah Islam, sikap penguasa—kecuali
empat khalifah pertama dan Umar bin Abdul
Aziz dari Bani Umawiyah—dinilai membias
dari nilai-nilai Islam. Karena itu, banyak
ulama yang menjauhi penguasa, bahkan
melakukan penentangan terbuka seperti
yang dilakukan Imam Ahmad Bin Hanbal
terhadap Khalifah pada zamannya.
Realitas kekhalifahan yang tidak selalu
terbimbing di bawah wahyu bahkan memengaruhi pemikiran Al-Ghazali sehingga
pesimis terhadap kesatuan ulama dan

umara. Imam al-Ghazali menyatakan tidak
pantas dan tidak terpuji ulama mendekatkan
diri kepada penguasa. Ulama yang
bersentuhan dengan dinding kekuasaan
dikategorikan oleh Sang Hujjatul Islam
sebagai ulama syu’ (buruk). Al-Ghazali
hidup di masa kekuasaan Bani Abbasiah,
yang tidak sedikit penguasa berusaha
mengkoptasi ulama untuk melanggengkan
kekuasaan dan mendukung kebijakan
penguasa.
Seiring dengan perluasan wilayah
kekuasaan Islam, istilah sultan digunakan
untuk menyebut pemimpin pertama kalinya
diberikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid
kepada para menterinya. Sultan diperuntukkan bagi penguasa-penguasa daerah

Vi
sit


htt
p:/
/w
w

w.

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

jarang saling silang sebagai pemilik otoritas
kepemimpinan dalam masyarakat Muslim.
Oleh karena itu, persoalan posisi dan peran

ulama dan umara dalam masyarakat
Muslim sebenarnya merupakan gejala
belakangan, dengan segala pengaruh
dinamika global dan lokal.
Mengikuti formulasi Obert Voll (1997)
tentang kontinuitas dan perubahan
pemerintahan Islam telah terjadi empat
periode pemerintahan. Yaitu periode
komunitas umat (masa Nabi dan sahabat),
periode kekhalifahan, periode kesultanan
dan kerajaan, dan periode negara-bangsa.
Pada keempat periode tersebut dapat dilihat
hubungan ulama dan umara terjalin secara
dinamis.
Dalam sejarah, sejak awal lahirnya
agama Islam tidak ada pemisahan antara
kewajiban keagamaan dan kewajiban
kenegaraan. Pada masa Nabi baik
kepemimpinan keagamaan maupun
kepemimpinan kenegaraan bersatu pada

diri beliau. Demikian juga halnya semasa
para Khalifah mengganti Nabi. Komunitas
Muslim yang masih terbatas lazim dengan
sebutan sebagai ummah. Mungkin sekali
hal itu terjadi karena masyarakatnya masih
lebih sederhana dalam arti belum banyak
lembaga dan pranata yang majemuk
sebagaimana dalam masyarakat mutakhir.
Bahkan pengertian tentang negara saja
tumbuh secara pelan-pelan dari masyarakat kesukuan atau federasi kesukuan,
kemudian berkembang menjadi umat dan
lambat laun menjelma menjadi negara.
Selanjutnya setelah Nabi meninggal
muncul persoalan tentang sifat dasar kepemimpinan umat. Tampaknya Nabi sendiri tidak secara tegas menetapkan siapa
penggantinya. Sesudah Nabi, istilah yang
banyak dipakai untuk menyebut pimpinan
negara adalah khalifah. Namun persoalan
kepemimpinan segera teratasi setelah Abu

De

mo
(

Perspektif normatif
tentang (hubungan)
ulama dan umara dalam
Islam nyaris tanpa
persoalan. Disepakati
bahwa kedua pemilik
otoritas tersebut
merupakan paduan
yang utuh, tidak
terpisah, dan mustahil
dipertentangkan.
Rujukan normatif
tekstualnya adalah
keharusan umat
menaati pemimpin atau
ulil amri (An-Nisaa’ [4]:
59) dan pribadi Nabi

sendiri sebagai seorang
Rasul juga sekaligus
sebagai pemimpin
pemerintahan. Dengan
kalimat lain, pada
dasarnya Islam tidak
mengenal pemisahan
antara agama dan
negara.

DIRASAH ISLAMIYAH

litm
erg
er.
co
m)

Ketika hubungan antara ulama dan umara membaik maka jayalah kerajaan Islam.


htt
p:/
/w
w

w.

pd

fsp

ummah menjadi negara-bangsa di kalangan kaum Muslim dengan sendirinya berimplikasi pada dikotomi peran-peran yang
dimainkan kedua pemilik otoritas tersebut.
Ulama dan umara menjadi dua jenis
kekuasaan yang sulit disatukan dalam satu
tangan. Kata “ulama” bentuk jamak (plural)
dari “’alim” yang artinya orang mengetahui.
Jadi, ulama—mengikuti kaidah linguistik
(bahasa)—adalah orang-orang yang
mengetahui. Kata “ulama” mengalami

penciutan makna dan tidak bermakna
jamak lagi, tapi tunggal. Yaitu, orang yang
hanya mengetahui dan memahami ilmu
agama secara mendalam.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun,
ulama disandang oleh siapa saja yang
memiliki keahlian dalam berbagai bidang
pengetahuan, dan dengan keahliannya itu
memiliki otoritas untuk memimpin dan
mengarahkan gerak masyarakat (umat).
Termasuk dalam kelompok ini adalah para
intelektual atau cendekiawan yang berbeda
dengan para pemimpin negara. Namun,
Ibnu Khaldun yang hidup pada abad ke-14
yangkala itu kekuasan Islam mulai runtuh
tetap membedakan ulama dan umara
(penguasa).
Dalam sejarah peran dan posisi ulama
seringkali tersubordinasi oleh peran umara.
Fatwa para ulama lantas menjadi semacam sumber legitimasi. Karena itulah, terdengar kisah tentang usaha umara untuk

“marangkul” ulama yang berpengaruh,

Vi
sit

yang merdeka atau takluk di bawah
kekuasaan Islam. Pada masa kesultanan
Seljuk, istilah sultan lantas dipakai sebagai
gelar untuk pimpinan politik dan militer
tertinggi, sementara istilah Khalifah lebih
terbatas kepada pimpinan keagamaan
saja. Hal ini menunjukkan telah merosotnya istilah Khalifah yang sudah mulai sejak
abad-abad akhir dari Khalifah Abbasiah di
Baghdad. Dan dengan jatuhnya Baghdad
pada tahun 1258, maka gelar Khalifah
hanyalah semacam gelar kehormatan
tanpa wewenang politik.
Berikutnya, perluasan masyarakat
Muslim ke berbagai penjuru dunia pemerintahannya mengambil bentuk sesuai
dengan warisan lokal antara lain dalam

bentuk kerajaan dan negara-bangsa.
Dalam bentuk kerajaan polarisasi peran
antara ulama dan umara semakin jelas
dapat dibedakan. Perkembangan masyarakat bisa menyebabkan terpisahnya
kepemimpinan agama dan kepemimpinan
negara karena berbagai alasan. Yang
pertama tentu saja karena harapan untuk
memperoleh pimpinan politik yang shalih
dan religius, serta memperoleh dukungan
yang luas dari umat tidak berhasil. Yang
kedua, mungkin juga karena makin majemuknya masyarakat dan makin luasnya
kekuasaan negara.

De
mo
(

Foto: WWW. GOOGLE.COM

Peran dan posisi
Perubahan bentuk pemerintahan dari

dengan memberinya jabatan sebagai qadli
atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita
tentang ulama besar yang menolak
tawaran raja dan kemudian mengalami
siksaan. Dalam bahasa sekarang seakanakan ulama besar ini menjadi semacam
“tokoh oposisi” yang tidak mau tunduk
kepada kekuasaan. Kritisisme ulama
terhadap pemerintahan telah menjadi
bagian menyatu dalam setiap zaman.
Lebih-lebih pada saat ini, ketika sistem
demokrasi merambah di kawasan
negara-negara Muslim, jarak antara
umara dan ulama diperbesar oleh banyak
faktor yang semakin kompleks. Masyarakat telah jauh mengalami proses deferensiasi dan para ulama seakan-akan hanya
mengkhususkan diri dalam soal-soal
keagamaan. Juga perkembangan ilmu
pengetahuan modern menyebabkan
perbedaan bidang antara ilmuwan dan
ulama walaupun secara bahasa
sebenarnya kedua kata itu masih searti.
Sekalipun demikian pengaruh ulama pada
masyarakat masih tetap besar sehingga
fatwa mereka sedikit banyak masih
memengaruhi legitimasi pemerintahan.
Bagaimanapun ulama masih punya
peranan politik. Dalam bahasa yang lebih
pragmatis, senantiasa ada usaha-usaha
untuk merangkul para ulama; baik itu
dilakukan oleh kekuatan politik penguasa,
atau golongan-golongan lain yang ingin turut
serta dalam pengambilan keputusan politik.
Di antara ulama, ada yang ingin tetap
merdeka dari kekuasaan, sambil memerankan fungsi sebagai pengawal moralitas
masyarakat. Meski begitu ulama tetap
kokoh dalam bingkai normatif yang ketat
ketika berhadapan dengan umara sebagai
ulil amri yang wajib ditaati sepanjang tidak
mengajak maksiat. Ulil amri menurut Ibnu
Taimiyah, adalah semua orang yang
memberi bimbingan dan mengatur
kehidupan baik itu raja, ulama, ilmuwan,
dan para birokrat. Dikisahkan, ada seorang
perempuan yang berani bertanya kepada
Abu Bakar Ash-Shiddiq: “Apa yang
menjamin kita dalam urusan taat kepada
negara?” Abu Bakar menjawab: “Selama
pemimpin kalian berlaku lurus”. Artinya,
kritisisme peran ulama sesungguhnya
akan berhenti sepanjang umara memenuhi
amanah yang diemban.l

SUARA MUHAMMADIYAH 04 / 96 | 16 - 28 FEBRUARI 2011

25